BAB VI PEMBAHASAN
Halitosis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanda nafas tidak sedap pada saat nafas dihembuskan. Halitosis merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan nafas tidak sedap yang berasal baik dari rongga mulut
maupun diluar rongga mulut.1Halitosis terbagi atas true halitosis,
pseudohalitosis, halitophobia dan psychogenic halitosis.6,7,8 VSC (Volatile Sulfur Compounds) merupakan unsur utama penyebab halitosis. Volatile Sulfur Compound merupakan hasil produksi dari aktivitas bekteribakteri anaerob di dalam mulut yang berupa senyawa berbau yang tidak sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain disekitarnya. Di dalam aktivitasnya di dalam mulut, bakteri anaerob bereaksi dengan protein-protein yang ada, protein di dalam mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut1,6,11 Halitosis mempunyai banyak factor penyebab, diantaranya adalah makanan dan minuman yang dikonsumsi yang bisa menghasilkan bau tak sedap, oral hygiene yang buruk, penyakit periodontal, xerostomia atau mulut kering, kebiasaan buruk misalnya merokok, penyakit sistemik seperti diabetes meliitus dan gangguan pada 43
saluran pernafasan, serta obat-obatan tertentu yang dapat membuat mulut kering sehingga terjadinya bau mulut.6,8,9 Penelitian mengenai Halitosis atau oral malodor atau biasa dikenal sebagai bau mulut yang tidak sedap sudah banyak dilakukan sejak dahulu di negara-negara Maju. Badan survey nasional kesehatan dan kesejahteraan Jepang pada tahun 1999 melaporkan sekitar 15% penduduk mempunyai masalah kesehatan gigi dan mulut yang sama yaitu oral malodor atau bau mulut.17 Oral malodor menempati rangking ke empat tertinggi yang paling sering dikeluhkan di Jepang. Persentasi penduduk yang menderita halitosis akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia dan cenderung akan terus berlanjut sampai kelompok usia 45-54 tahun. Sekitar 7,6% dari usia 15-24 tahun, 10,1% dari usia 2534 tahun, 17,7% dari usia 35-44 tahun, dan 20,7% dari usia 45-54 tahun. Dari kelompok usia 55-64 tahun atau lebih, persentasi oral malodor akan berkurang secara berangsur-angsur. Pada survey yang dilakukan secara umum di Jepang oleh Miyazaki, menunjukkan bahwa 6 dari 23% orang mengeluhkan bau mulutnya. Perhatian mengenai oral malodor atau bau mulut relatif tinggi di Jepang. Di Amerika serikat, 10 dari 30 % dari populasi penduduknya menderita halitosis. Liu pada tahun 2006 melakukan inverstigasi prevalensi bau mulut penduduk negara Cina, dan ditemukan 27,5% dari populasi penduduk memiliki oral malodor berdasarkan tes organoleptik yang dilakukan.17,18
44
Sebuah survei cross-sectional terbaru yang dilakukan di Rio de Janeiro, Brazil menunjukkan bahwa prevalensi halitosis pada laki-laki tiga kali lebih tinggi dibanding perempuan, tanpa melihat usia. Dan resiko terjadinya halitosis tiga kali lebih tinggi pada orang yang berusia 20 tahun atau lebih dibandingkan usia 20 tahun kebawah dengan melihat jenis kelamin.19 Tapi kemudian pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Michael pada tahun 2009 di Bern,Swiss menyatakan bahwa lakilaki dan perempuan mempunyai nilai yang hampir sama untuk menunjukkan bahwa seseorang menderita halitosis atau tidak, dengan artian bahwa jenis kelamin tidak terlalu mempengaruhi seseorang menderita halitosis atau tidak. Penelitian ini diikuti oleh 419 sampel, 183 laki-laki dan 236 perempuan.20 Pada tabel 5.1 mengenai distribusi sampel berdasarkan karakteristik penelitian memiliki kemiripan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu dilihat dari jenis kelamin pada penelitian ini yaitu terdapat 9 sampel berjenis kelamin laki-laki dan 21 sampel berjenis kelamin perempuan. Biasanya jumlah sampel laki-laki lebih banyak dibanding perempuan pada penderita halitosis seperti pada penelitian Masayuki pada tahun 2007 di Jepang yang menunjukkan bahwa laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi dibanding perempuan.17 Hasil pada penelitian kali ini bisa disebabkan oleh jumlah laki-laki mahasiswa kedokteran gigi Unhas angkatan 2014 yang lebih sedikit dibanding mahasiswa berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin tidak seutuhnya
45
mempengaruhi seseorang menderita halitosis, namun halitosis itu sendiri disebabkan oleh oral hygiene yang kurang dan berbagai factor lainnya.21 Pada tabel 5.2 merupakan distribusi kategori halitosis pada tiap konsentrasi larutan kumur berdasarkan jenis kelamin sampel penelitian. Setelah diberikan intervensi yaitu berkumur dengan ekstrak kulit kayu manis konsentrasi 2% terlihat penurunan yang lebih besar pada perempuan daripada laki-laki. Hal ini bisa disebabkan karena perempuan memiliki oral hygiene yang lebih baik dibanding lakilaki. Sehingga factor yang dapat memperlambat reaksi intervensi yang diberikan bisa dengan mudah diatasi. Factor yang dimaksud dalam oral hygiene misal tingginya angka DMFT atau OHIS yang dimiliki oleh sampel laki-laki, kebiasaan buruk seperti merokok, dan penyakit periodontal yang diderita. Hal ini berkolerasi dengan penelitian Masayuki pada tahun 2007 yang melalukan penelitian mengenai Prevalensi dari oral malodor dan factor-faktor hubungannya pada orang dewasa di Akita, Jepang. Sampel sebanyak 2.141, laki-laki 877 dan perempuan 1162, dimana hasilnya laki-laki memiliki prevalensi oral malodor yang lebih tinggi daripada perempuan. Perokok mempunyai prevalensi oral malodor yang lebih tinggi dibanding bukan perokok. Prevalensi oral malodor meningkat sesuai dengan angka kerusakan gigi atau oral hygiene yang kurang, dan orang dengan kondisi mulut kering memiliki prevalensi oral malodor yang lebih tinggi pula dibanding yang tidak mulut kering. Kemudian, orang yang mempunyai gigi tiruan
46
tapi oral hygiene yang kurang, maka prevalensinya pun akan naik. Dan juga sampel yang memiliki lapisan kotoran lidah yang tebal , tingginya angka gusi berdarah pada saat probing, tingginya angka kalkulus, dan memiliki periodontal poket yang dalam, maka mempunyai prevalensi oral malodornya pun akan tinggi.17 Halitosis masih merupakan sebuah masalah bagi tiap individu yang merasa mempunyai bau mulut yang tidak sedap, oleh karena itu terdapat berbagi cara untuk mengatasi bau mulut atau halitosis tersebut. Salah satunya adalah dengan menggunakan obat kumur. Obat kumur masih sangat popular di masyarakat ketika ingin menghilangkan bau mulut. Obat kumur tersebut mengandung zat-zat yang bisa membunuh bakteri penyebab bau mulut serta mempunyai bau yang harum dan segar setelah digunakan. Beberapa bahan dasar dalam obat kumur adalah klorheksidin, triklosan, alkohol, klorin dioksida, fenol, ion metal seperti zinc, serta minyak esensial.23 Salah satu obat tradisional yang digunakan untuk menghilangkan bau mulut, perdarahan gusi, rasa gatal di gusi adalah daun sirih. Secara in vitro telah dilakukan penelitian efektifitas daun sirih dan kayu manis terhadap bakteri anaerob, kedua bahan tersebut mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan dengan cara mematikan bakteri.24
47
Sekitar 85% pasien dengan diagnosis halitosis asli, bau yang dihasilkan dari dalal mulut umumnya berasal dari mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme penyebab halitosis yaitu Centipeda periodontii, Eikenella corrodens, Enterobacteriaceae, Fusobacterium nucleatum subsp. Nucleatum, Fusobacterium nucleatum subsp. Polymorphum,
Fusobacterium
nucleatum
subsp.
vincentii,
Fusobacterium
periodonticum, Porphyromonas endodontalis, Porphyromonas gingivalis, Prevotella (Bacteroides) melaninogenica, Prevotella intermedia, Bacteroides (Bacteroides) loescheii, Solobacterium moorei, Tannerella forsythia (Bacteroides forsythus), Treponema denticola.25 Pada tabel 5.3 yaitu perbedaan nilai rata-rata halitosis (skala breath checker) sebelum dan sesudah berkumur larutan kumur ekstrak kayu manis konsentrasi 2%, 4%, 8%. Setelah diberikan intervensi larutan kumur ekstrak kayu manis konsentrasi 2% terjadi penurunan nilai rata-rata halitosis menjadi 0,77. Setelah diberikan intervensi konsentrasi 4% terjadi kenaikan nilai rata-rata halitosis menjadi 1,13 dan pemberian intervensi konsentrasi 8% terjadi kenaikan nilai rata-rata halitosis mencapai 1,90. Walaupun terdapat kenaikan nilai rata-rata halitosis pada konsentrasi 4% dan 8% namun hasil uji statistic, Repeated ANOVA test, diperoleh nilai p:0,000 (p<0.05), hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai halitosis yang signifikan antara sebelum berkumur dan sesudah berkumur larutan dengan konsentrasi 2 %, 4% dan 8%. Tidak terjadi penurunan nilai rata-rata pada konsentrasi
48
yang lebih besar bisa saja diakibatkan oleh konsumsi makanan sebelum dilakukan percobaan, adanya kontaminasi udara pada alat ukur, dan juga bisa disebabkan oleh alat ukur breath checker yang mendeteksi bau yang tajam dari aroma ekstrak kulit kayu manis dari konsentrasi 4% dan 8%. Secara keseluruhan ekstrak kulit kayu manis tetap dapat menunrunkan kadar halitosis. Hal ini bisa terjadi karena kandungan ekstrak kulit kayu manis mengandung berbagai macam zat yang dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penyebab halitosis. Beberapa diantaranya yaitu minyak atsiri mengandung eugenol yang tergolong turunan senyawa fenol yang mempunyai efek antiseptic dan bekerja dengan merusak membran sel. Secara in vitro, minyak atsiri memiliki aktivitas untuk menghambat kolonisasi dengan cara mengganggu permeabilitas membrane dan proses transportasi. Kemudian, saponin menunjukkan aktifitas sebagai antibakteri dengan cara merusak membran sitoplasma dan membunuh sel.16 Flavonoid merupakan senyawa toksik yang mengakibatkan struktur tiga dimensi protein terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada kerangka kovalen. Hal ini menyebabkan protein denaturasi, namun aktifitas biologisnya menjadi rusak sehingga protein pada bakteri tidak dapat melakukan fungsinya.16
49
Kayu manis juga mengandung tannin. Tanin bekerja dengan cara merusak dinding sel bakteri menyebabkan sel bakteri tanpa dinding yang disebut protoplasma. Kerusakan dinding bakteri yang menyebabkan kerusakan membrane sel yaitu hilangnya sifat permeabilitas membrane sel, sehingga keluar masuknya zat-zat antara lain, nutrisi, enzim-enzim, tidak terseleksi. Apabila enzim keluar dari dalam sel, maka akan terjadi hambatan metabolism sel dan selanjutnya akan mengakibatkan terhambatnya pembentukan ATP yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan sel. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi hambatan pertumbuhan bahkan kematian sel.16 Pada tabel 5.4 yaitu Hasil uji beda lanjut nilai rata-rata halitosis (skala breath checker) antara kelompok sebelum dan setelah berkumur larutan kumur ekstrak kayu manis konsentrasi 2%, 4%, dan 8%. Pada tabel ini kelompok konsentrasi 2% dibanding dengan 4% diperoleh perbedaan nilai halitosis yang signifikan, namun nilai rata-rata halitosis pada konsentrasi 2% lebih rendah dibandingkan konsentrasi 4%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa larutan kumur ekstrak kayu manis konsentrasi 2% yang paling efektif dalam menurunkan kadar halitosis dan konsentrasi 8% tidak efektif dalam menurunkan halitosis. Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yenni pada tahun 2008 tentang Daya anti bakteri ekstrak daun sisik naga dibandingkan dengan ekstrak daun saga, daun sirih dan kayu manis terhadap isolat
50
bakteri dari penderita periodontitis kronis. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ekstrak kayu manis memiliki daya hambat minimal ekstrak terhadap bakteri black pigmented ( Porphyromonas gingivalis dan Provotella spp) yaitu sebesar 20,8% secara in vitro dan daya bunuh minimal pada konsentrasi 41,7% secara in vitro.24
51