BAB VI IDENTIFIKASI DAN ANALISIS SUBSTITUSI SATU BASA (SNP) DAN KERAGAMAN NUKLEOTIDA RGA DAN DGA ASAL DNA GENOM PISANG Abstrak Studi tentang identifikasi SNP telah banyak dilakukan, namun demikian masih sedikit informasi tentang SNP pada tanaman pisang terutama yang berhubungan dengan gen-gen yang berfungsi dalam mekanisme ketahanan dan pertahanan tanaman pisang terhadap penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaman putatif SNP berdasarkan sekuen putatif gen RGA dan DGA (chitinase dan β-1,3-glucanase) yang diisolasi dari genom pisang. Analisis SNP terhadap fragmen RGA menghasilkan 16 SNP (2 indel) asal Rejang dengan kepadatan satu SNP setiap 32 basa, dan 9 SNP asal Calcuta-4 dengan kepadatan satu SNP setiap 55 basa, sedangkan dari gen chitinase diidentifikasi sebanyak 22 putatif SNP dengan kepadatan satu SNP setiap 20 basa, dan dari gen β-1,3-glucanase berhasil diidentifikasi 9 SNP dengan kepadatan satu SNP setiap 99 basa. Keragaman nukleotida sekuen RGA berkisar 0.489 % sampai 1.383 % dengan rasio substitusi basa non synonymous (Ka) terhadap basa synonymous (Ks) kurang dari 1 mengindikasikan bahwa keragaman dibentuk oleh seleksi negatif selama proses evolusi. Keragaman nukleotida sekuen DGA berkisar antara 0.508 % sampai 1.416 %. Rasio Ka/Ks > 1 dari gen chitinase mengindikasikan keragaman dibentuk berdasarkan seleksi positif, dan nilai D Tajima negatif mengindikasikan adanya gen chitinase yang dalam kondisi selective sweeping. Keragaman nukleotida β-1,3-glucanase dibentuk berdasarkan seleksi berimbang dengan Ka/Ks <1 dan nilai D Tajima positif. Fragmen RGA asal Rejang menghasilkan 4 kombinasi haplotipe dengan keragaman haplotipe 0.85714, dan Calcuta-4 menghasilkan 7 kombinasi haplotipe dengan keragaman 0.88889. Fragmen gen chitinase menghasilkan 8 kombinasi haplotipe dengan keragaman 0.93333, dan gen β-1,3-glucanase menghasilkan 4 kombinasi haplotipe dengan keragaman 0.85714. Berdasarkan analisis jejaring tahapan mutasi, diketahui pola mutasi RGA terkelompokkan berdasarkan asal kultivar, sedangkan dari hasil analisis jejaring haplotipe pada fragmen gen DGA dapat menunjukkan jarak mutasi antar gen DGA anggota dari haplotipe tersebut.
Kata kunci: DGA, haplotipe, pisang, RGA, SNP
88
IDENTIFICATION AND ANALYSIS OF SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP) AND NUCLEOTIDE DIVERSITY OF RGA DAN DGA FROM BANANA GENOMIC DNA Abstract Many studies on SNPs in many crops have been done. However, less information regarding SNPs on genes that involved in disease resistance of banana. In this study, RGAs and DGAs sequences isolated from banana were used as sequence materials for SNP identification and SNP diversity analysis. Analysis of SNP revealed that 16 and 9 putative SNPs have been identified from RGA sequences of Rejang and Calcuta-4, respectively. The SNP density was one SNP in every 32 bases for Rejang, and every 55 bases for Calcuta-4. Analysis of SNP identified 22 putative SNPs from banana chitinase genes and 9 putative SNPs from banana β-1,3-glucanase genes. The SNP density was one SNP in every 20 bases for chitinase genes, and every 99 bases for β1,3-glucanase genes. The nucleotide diversity of RGAs ranged from 0.489 % to 1.383.% with Ka/Ks <1, indicated that highly nucleotide diversity was under negative selection during evolution period. The nucleotide diversity of DGAs ranged from 0.508.% to 1.416 % with Ka/Ks >1 for chitinase gene, and negative Tajima’D value, indicated that the genes were under selective sweeping during evolution. β-1,3Glucanase had Ka/Ks <1 and positive Tajima’D value, indicated that nucleotide diversity was under selective balance. RGA sequences from Rejang generated 4 haplotype combinations with haplotype diversity score was 0.85714, while RGA sequences from Calcuta-4 yielded 7 haplotype combinations with 0.88889 of haplotype diversity score. Eight haplotype combinations with 0.93333 of haplotype diversity score were obtained from banana chitinase genes, while 4 haplotype combinations with 0.85714 of haplotype diversity score were generated from banana β-1,3-glucanase genes. Based on the network analysis, nucleotide mutation pattern of RGAs was grouped by cultivar origins. Haplotype network analysis of DGA fragments indicated mutation distances of DGAs as the member of respective haplotype.
Keywords: Banana, DGA, haplotype, RGA, SNP,
89
Pendahuluan Mutasi titik yang terjadi pada makhluk hidup disebabkan oleh perubahan basa nukleotida yang terjadi pada runutan DNA suatu gen. Perubahan basa tersebut ada yang bisa menyebabkan perubahan protein dan ada juga yang tidak. Perubahan basa nukleotida suatu gen dapat berupa substitusi, inversi atau delesi. Substitusi adalah penggantian satu basa bisa dari kelas yang sama dan disebut transisi, ataupun dari kelas basa yang berbeda atau disebut tranversi. Contoh dari transisi adalah basa purin menggantikan basa purin (T C), dan pirimidin menggantikan pirimidin (A G), sedangkan transversi adalah penggantian satu basa dengan basa lain dari kelas yang berbeda, yaitu basa purin menggantikan basa pirimidin atau sebaliknya (A T, A C, C G, G T) (Primmer et al. 2002). Single nucleotide polymorphism (SNP) adalah substitusi basa nukleotida pada satu situs nukleotida tertentu di dalam genom makhluk hidup. Substitusi basa nukleotida (SNP) sangat banyak tersebar dalam DNA genom dan mempunyai potensi sebagai marka. Dengan memahami SNP akan bisa memahami mekanisme mutasi secara molekuler (Li et al. 1984; Zhao & Boerwinkle 2002) dan menduga asal populasi dari makhluk hidup yang ada saat ini (Kaessmann et al. 1999; Zhao et al. 2000; Jorde et al. 2001), karena sebagian profil SNP bisa menggambarkan informasi yang relevan yang melengkapi keseluruhan profil SNP lintas genom (Daly et al. 2001). Frekuensi ditemukannya SNP bervariasi tergantung pada tanamannya. Pada tanaman jagung ditemukan 1 SNP per 31 pasang basa (pb) di bagian noncoding region dan 1 SNP per 124 pb di bagian coding region (Ching et al. 2002). Pada kedelai ditemukan 1.64 SNP per 1 kb coding region dan 4.85 SNP per 1 kb non-coding region (Zhu et al. 2001). Kanazin et al. (2002) melaporkan keberadaan 1 SNP setiap 189 pb pada tanaman barley. Polimorfisme satu nukleotida sangat banyak ditemukan sehingga berpotensi sebagai marka yang tersebar di semua bagian genom tanaman. Keberadaan SNP juga berpotensi ditemukan pada sekuen DNA dari RGA dan DGA (chitinase dan β-1,3-glucanase). Namun demikian, informasi situs SNP pada RGA dan DGA yang berasal dari tanaman pisang belum dievaluasi, apalagi digunakan untuk studi genetik dan seleksi ketahanan terhadap patogen meskipun berbagai marka molekuler yang lain telah digunakan (Lorenzen et al. 2011). Pada masa mendatang penelitian yang berbasis SNP akan terus dilakukan terutama untuk mengembangkan marka molekuler untuk seleksi terhadap karakter tertentu sesuai dengan gen dasar dari SNP tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaman perubahan basa nukleotida pada sekuen RGA dan DGA berdasarkan hasil proses perunutan (sequencing) DNA genom asal beberapa kultivar pisang.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 sampai Maret 2013 di laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.
90
Data Sekuen Penelitian ini menggunakan data sekuen RGA dan DGA yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya, yaitu Percobaan 2, 3 dan 4. Data sekuen RGA yang digunakan dalam penelitian ini adalah 14 sekuen yaitu: MNBS1-MNBS14 hasil dari Percobaan 2. Sebelum dianalisis sekuen RGA dikelompokkan berdasarkan asal kultivar pisang (Tabel 13). Data sekuen DGA adalah 8 sekuen gen chitinase (MaChi) yang diperoleh dari Percobaan 3, dan 4 sekuen gen β-1,3-glucanase (MaGlu) hasil dari Percobaan 4. Analisis Data SNP Polimorfisme SNP, rekonstruksi haplotipe, keragaman haplotipe dan pembuatan jejaring haplotipe dianalisis menggunakan SniPlay, perangkat lunak berbasis web untuk SNP (Dereeper et al. 2011). Keragaman runutan nukleotida, jumlah situs synonymous dan non-synomimous, dan uji D Tajima dianalisis menggunakan perangkat lunak DNASP ver. 5.0 (Librado & Rozas 2009). Prakiraan keanekaragaman menggunakan nilai Pi (π). Pi adalah rata-rata jumlah perbedaan per situs antara 2 sekuen atau disebut juga keragaman nukleotida. Rasio substitusi non synonymous (Ka) dan synonymous (Ks) dari daerah coding region, digunakan bantuan perangkat lunak berbasis web ‘Ka/Ks Calculation Tool’ dari Bergen Centre for Computational Service (http://services.cbu.uib.no/tools/kaks). Untuk mengetahui pola mutasi basa nukleotida yang terjadi antar haplotipe, digunakan analisis jejaring haplotipe berdasarkan alogaritma Median Joining (Bandelt et al. 1999). Perangkat lunak yang digunakan adalah Network ver. 4.6.1.1 (http://www.fluxus-engineering.com/sharenet.htm), sedangkan untuk mengetahui pola mutasi basa nukleotida dari keseluruhan fragmen RGA yang diperoleh dari penelitian ini (MNBS1-MNBS14) berdasarkan metode Templeton (1992) dan menggunakan perangkat lunak TCS ver 1.2.1 (Clement et al. 2000).
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tabel 13 Pengelompokan RGA berdasarkan asal kultivar pisang Asal Kultivar RGA Ukuran (pb) Klutuk Wulung MNBS1 524 MNBS2 523 Rejang MNBS3 524 MNBS4 523 MNBS5 524 MNBS6 524 MNBS7 524 MNBS8 524 MNBS9 524 Calcuta-4 MNBS10 524 MNBS11 524 MNBS12 524 MNBS13 524 MNBS14 524
91
Hasil dan Pembahasan Analisis SNP Sekuen RGA Dari data sekuen RGA yang berhasil diisolasi dari penelitian ini, analisis berdasarkan asal kultivar tidak dapat dilakukan pada MNBS yang berasal dari Klutuk Wulung, karena dari kultivar tersebut hanya diperoleh satu sekuen. Untuk analisis SNP diperlukan minimal 2 sekuen. Namun demikian MNBS1 asal Klutuk Wulung tersebut digunakan untuk analisis pola mutasi nukleotida secara keseluruhan bersama-sama sekuen lain yang berasal dari Rejang dan Calcuta-4. Berdasarkan hasil analisis diperoleh jumlah situs SNP RGA yang berasal dari Rejang sebanyak 16 situs (Tabel 14) dan dari Calcuta-4 sebanyak 9 situs (Tabel 15). Substitusi basa yang terjadi baik secara transisi maupun transversi pada sekuen RGA dari kedua kultivar tersebut. Substitusi basa secara transisi pada kedua kultivar lebih tinggi dari pada tranversi, yaitu 64 .% pada Rejang dan 73 % pada Calcuta-4, sedangkan subsitusi secara transversi sebesar 36 % untuk Rejang dan 27 % untuk Calcuta-4 (Gambar 28). Secara umum, frekuensi kejadian substitusi secara transisi lebih tinggi dari pada transversi untuk gen-gen yang menyandi karakter agronomi (Yang et al. 2004; Zeng et al. 2009). Hal Hal ini disebabkan di dalam substitusi secara transisi, basa yang menggantikan dan yang digantikan mempunyai struktur ruang yang seimbang di antara tulang punggung DNA penyusun basa (Guo & Jamison 2005). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa delesi hanya te rjadi pada Rejang. Delesi satu basa hanya terdapat pada bagian akhir dari fragmen MNBS2 dan MNBS4. Berdasarkan hasil analisis SNiPlay dapat diidentifikasi sebanyak 16 situs polimorfisme pada fragmen RGA asal kultivar Rejang, yang terdiri atas 14 putatif SNP dan 2 indel. Putatif SNP yang teridentifikasi sebagian besar adalah bialel, kecuali SNP pada posisi 6 untuk RGA asal Rejang yang trialel (Tabel 13), sedangkan dalam fragmen RGA asal kultivar Calcuta-4 diidentifikasi 9 putatif SNP dan sebagian besar adalah bialel, kecuali posisi 3 (trialel) dan 6 (tetraalel) (Tabel 15).
Jumlah Kejadian
6 5 4 3
Rejang
2
Calcuta
1 0 A-G
T-C
Transisi
C-G
|
T-G
A-T
A-C
Transversi
Gambar 28. Variasi SNP pada RGA yang berasal dari DNA genom pisang Rejang dan Calcuta-4
92
Tolok ukur kestabilan keragaman dapat dilihat dari kepadatan SNP pada daerah yang disandikannya. Kepadatan SNP pada fragmen MNBS asal Rejang lebih tinggi dari pada RGA asal Calcuta-4. Kepadatan SNP fragmen MNBS asal Rejang adalah satu SNP setiap 32 basa nukleotida, sedangkan pada Calcuta-4 adalah satu SNP setiap 55 basa nukleotida. Kepadatan SNP juga sejalan dengan nilai keragaman nukleotida. Keragaman nukleotida dari MNBS asal Rejang sebesar 1.363 % dan keragaman nukleotida MNBS asal Calcuta-4 sebesar 0.489 %. Perbedaan keragaman nukleotida bisa terjadi baik dalam populasi maupun antar populasi, seperti yang terjadi pada RGA asal Panicum virgatum (Zhu et al. 2013). Perbedaan keragaman nukleotida disebabkan beberapa faktor, antara lain ukuran populasi patogen yang berinteraksi dengan R gene tanaman inang (Ravensdale et al. 2011), dan lokasi asal dari populasi inang yang mungkin berhubungan dengan keragaman patogen daerah asal (Barret et al. 2009). Pada penelitian ini Calcuta-4 adalah pisang introduksi yang berasal dari India yang kemungkinan kondisi keragaman patogen yang berbeda dengan di Indonesia, sehingga menyebabkan proses evolusi dari gen RGA yang juga berbeda. Untuk melihat kenetralan mutasi yang terjadi pada sekuen DNA, digunakan rasio antara substitusi nukleotida non-synonymous (yang menyebabkan perubahan residu asam amino), yang dinyatakan dengan Ka dan substitusi nukleotida synonymous (tidak menyebabkan perubahan residu asam amino) yang dinyatakan dengan Ks (Zhang & Yu 2006). Pada penelitian ini baik pada Rejang ataupun Calcuta-4, nilai Ka/Ks adalah kurang dari 1 (Ka/Ks < 1) (Tabel 15), menandakan jumlah substitusi basa nukleotida non-synonymous lebih kecil dari pada synonymous. Hal ini menunjukkan bahwa proses seleksi ke arah pembersihan dari mutasi yang merusak (Hurst 2002). Tabel 14. Karakter dari 16 SNP yang diidentifikasi pada sekuen RGA (MNBS) dari kultivar Rejang. Posisi Variasi Frekuensi SNP Mayoritas alel Minoritas alel SNP substitusi SNP (%) 1 3 [C/G] 25.0 G C 2 6 [A/T/C] 25.0 C T 3 7 [A/G] 50.0 A G 4 15 [A/G] 25.0 G A 5 114 [T/C] 25.0 T C 6 215 [A/G] 25.0 A G 7 309 [T/G] 25.0 T G 8 394 [A/T] 25.0 A T 9 451 [A/G] 25.0 G A 10 452 [A/G] 25.0 A G 11 466 [A/T] 25.0 A T 12 472 [A/G] 50.0 A G 13 507 [T/C] 25.0 C T 14 515 indel (1) 25.0 insertion deletion 15 519 indel (1) 25.0 insertion deletion 16 524 [A/T] 25.0 A T
93
Tabel 15. Karakter dari 9 SNP yang diidentifikasi pada sekuen RGA (MNBS) dari kultivar Calcuta-4. Posisi Variasi Frekuensi SNP Mayoritas alel Minoritas alel SNP substitusi SNP (%) 1 3 [A/T/G] 11.1 G T 2
6
[A/T/C/G]
11.1
C
T
3
7
[A/G]
33.3
G
A
4
41
[A/G]
11.1
A
G
5
177
[T/G]
11.1
G
T
6
189
[A/G]
11.1
A
G
7
215
[A/G]
11.1
G
A
8
270
[A/G]
11.1
G
A
9
500
[A/G]
11.1
G
A
Tabel 16. Parameter keragaman genetik RGA asal DNA genom 2 kultivar pisang Asal Kultivar
Jumlah Jumlah sekuen SNP
Jumlah situs yang dianalisis
Ka/Ks
Keragaman Jumlah Keragaman nukleotida D Tajima haplotipe haplotipe (%)
Rejang
4
16
524
0.3224
1.363
0.80946
4
0.85714
Calcuta-4
9
9
524
0.2602
0.489
-0.07385
7
0.88889
Keterangan: Ka=substitusi non-synonymous, Ks=substitusi synonymous
Tabel 17. Sekuen dan frekuensi haplotipe dari RGA asal DNA genom pisang Kultivar Rejang
Calcuta-4
Haplotipe haplo1 haplo2 haplo3 haplo4 haplo1 haplo2 haplo3 haplo4 haplo5 haplo6 haplo7
Sekuen Haplotipe GCAGTATAGGAGCTTA CCGGTATAGAAACATA GAAACGGAAAAACTTA GCGGTATTGATGTTAT AGAAGAAGA GCAATGGAG ACGAGAGGG GCAAGAGGG GCGAGAGGG GGGAGAGGG GCGGGAGGG
Frekuensi (%) 25 25 25 25 11.1 11.1 22.2 11.1 22.2 11.1 11.1
Hasil uji Tajima (Tajima 1989) yang dilakukan terhadap sekuen RGA terlihat adanya perbedaan nilai D antara RGA yang berasal dari kultivar Rejang dan Calcuta-4. Hasil analisis memperlihatkan kultivar Rejang bernilai positif, sedangkan Calcuta-4 bernilai negatif (Tabel 16). Hal ini menunjukkan tingginya keragaman nukleotida dari RGA yang di dalam Rejang dan diduga terjadi seleksi yang berimbang, yang berarti
94
adanya pembersihan alel-alel yang bersifat merusak dan mempertahankan alel-alel yang menguntungkan (Carlson et al. 2005). Nilai D Tajima negatif dari Calcuta-4 diduga berhubungan dengan suatu proses yang disebut selective sweep dan bottleneck (Galtier et al. 2000), pada saat setelah terjadi pembuangan keragaman alel yang bersifat merusak dan tertinggal satu atau sedikit alel yang menguntungkan dan dipertahankan, kemudian diikuti dengan peningkatan populasi (Innan & Stephan 2000). Selain itu, hasil analisis menggunakan SNiPlay juga menunjukkan adanya keragaman haplotipe dari fragmen RGA asal Rejang dan Calcuta-4. Fragmen RGA asal Rejang mempunyai keragaman haplotipe sebesar 0.857 (Tabel 16) yang terdiri atas 4 haplotipe dengan frekuensi masing-masing haplotipe sebesar 25.% (Tabel 17), sedangkan RGA asal Calcuta-4 mempunyai keragaman haplotipe sebesar 0.889 (Tabel 16) yang terdiri atas 7 haplotipe dengan 5 haplotipe mempunyai frekuensi sebesar 11 % dan 2 haplotipe mempunyai frekuensi sebesar 22 % (Tabel 17). Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa frekuensi haplotipe dipengaruhi jumlah haplotipe dalam populasi, sedangkan jumlah haplotipe tergantung dari ukuran populasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Beaty et al. (2005), yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap nilai keragaman haplotipe. Pada Calcuta-4, ada 2 haplotipe yang mempunyai frekuensi lebih besar dari yang lainnya, yaitu haplo3 dan haplo5, seperti yang digambarkan dalam jejaring haplotipe (Gambar 29B). Dari hasil analisis jejaring menggunakan metode Median-Joining (Bandelt et al. 1999), terlihat pola perubahan yang menunjukkan posisi-posisi nukleotida yang mengalami mutasi, baik yang langsung menjadi suatu haplotipe maupun yang melalui beberapa tahapan mutasi. Satu titik persimpangan yang perubahan nukleotida belum merujuk pada suatu haplotipe tertentu dan disebut median vector (mv) (Gambar 29). Berdasarkan hasil analisis jejaring menggunakan TCS, terlihat bahwa RGA terkelompokkan menurut kultivar asal dari fragmen tersebut diisolasi (Gambar 30). Gen MNBS2-MNBS5 yang berasal dari Rejang berada dalam satu kelompok dan begitu juga dengan MNBS6-MNBS14 berada dalam satu kelompok untuk RGA yang berasal dari Calcuta-4. Gen MNBS1 yang berasal dari Klutuk Wulung berada di luar jejaring (outgroup) diduga karena perbedaan substitusi basa nukleotidanya yang besar sehingga TCS tidak bisa mengidentifikasi hubungan dengan jejaring yang dibentuk oleh RGA asal Rejang dan Calcuta-4. Gambar 30 juga bisa menjelaskan mengenai proses evolusi dari gen MNBS, berdasarkan pola mutasi dari basa nukleotida, sekaligus menggambarkan jarak antar gen berdasarkan pola subsitusi dari basa nukleotida. Terpisahnya RGA asal Klutuk Wulung dengan jejaring RGA asal Rejang dan Calcuta-4 disebabkan oleh adanya substitusi basa nukleotida pada RGA asal Klutuk Wulung yang tidak terdapat pada RGA asal Rejang dan Calcuta-4. Hal ini diduga leluhur dari RGA tersebut yang mungkin berasal dari populasi yang berbeda, atau dapat dikatakan berasal dari spesies yang berbeda. Dalam hal ini MNBS1 berasal dari Musa balbisiana (BB) dan MNBS2-MNBS14 berasal dari Musa acuminata (AA). Kasus serupa juga ditemukan oleh Rabemananjara et al. (2007) pada gen cytochrome b mitokondria asal katak beracun Madagaskar, bahwa perbedaan spesies katak menghasilkan pola jejaring haplotipe dari gen cytochrome b mitokondria yang terpisah.
(B)
(A) Haplo3
Haplo4
Haplo1
Haplo4 Haplo3 Haplo1 Haplo2 Haplo5
Haplo2
Haplo6
Haplo7
MNBS2 MNBS3
MNBS4 MNBS5
MNBS6 MNBS7 MNBS8
MNBS9 MNBS10 MNBS11
MNBS12 MNBS13 MNBS14
Gambar 29 Jejaring haplotipe berdasarkan metode Median Joining (Bandelt et al. 1999) dari RGA asal Rejang (A) dan Calcuta-4 (B). Warna haplotipe mewakili gen MNBS yang menjadi anggota dari haplotipe yang bersangkutan. Ukuran bulatan menunjukkan mutasi/substitusi /substitusi pada sekuen gen MNBS, mv: frekuensi haplotipe. Angka-angka pada alur jejaring menunjukkan posisi mutasi median vector.
96
MNBS13
MNBS1 MNBS 12
MNBS 11
MNBS 9
MNBS 8
MNBS 10
MNBS 14
MNBS 7
MNBS 6
MNBS 4
MNBS 3
MNBS 2
MNBS 5
Gambar 30 Jejaring tahapan mutasi/sustitusi basa nukleotida sekuen gen MNBS asal tanaman pisang. Bentuk kotak mempunyai bobot outgroup yang lebih tinggi dari bulatan. Warna bulatan atau kotak menunjukkan kultivar asal MNBS diisolasi (merah: Klutuk Wulung, biru: Calcuta4, hijau: Rejang). Angka dan huruf pada alur jejaring menunjukkan posisi dan subsitusi basa yang terjadi.
97
Analisis SNP Sekuen Chitinase dan β-1,3-Glucanase Berdasarkan hasil analisis diperoleh jumlah situs SNP sebanyak 22 situs untuk fragmen gen chitinase (Tabel 18) dan 9 situs SNP (satu indel) untuk fragmen gen β-1,3-glucanase (Tabel 19). Substitusi basa secara transisi maupun transversi terjadi pada kedua fragmen gen tersebut. Pada fragmen gen chitinase substitusi basa secara transversi (63.6 %) lebih tinggi dari pada transisi (36.4 %), sedangkan pada fragmen gen β-1,3-glucanase proporsi transisi dan transversi adalah sama, yaitu 50 % (Gambar 31). Walaupun secara umum proporsi transisi lebih tinggi dari transversi (Gojobori et al. 1982; Collins & Jukes 1994), namun demikian proporsi sebaliknya bisa juga terjadi, seperti yang ditemukan oleh Escalante et al. (1988) pada beberapa gen (AMA-1, LSA-1, MSP-1, MSP-2, MSP3, and Pfs8/45) asal Plasmodium falciparum yang mempunyai proporsi transversi lebih tinggi dari transisi. Dari 22 putatif SNP yang yang teridentifikasi pada fragmen gen chitinase, 4 putatif SNP adalah trialel (Tabel 18), sedangkan semua putatif SNP pada fragmen gen β-1,3-glucanase adalah bialel (Tabel 19). Kepadatan SNP fragmen gen chitinase lebih tinggi dari kepadatan gen β-1,3-glucanase. Kepadatan SNP gen chitinase adalah satu SNP setiap 20 basa nukleotida, dan kepadatan gen β-1,3glucanase adalah satu SNP setiap 99 basa nukleotida. Berdasakan analisis netralisme mutasi diperoleh nilai Ka/Ks > 1 untuk gen chitinase, yaitu 7.3043 (Tabel 20). Hal ini menunjukkan proses fiksasi substitusi basa nukleotida non synonymous terjadi begitu cepat dalam proses mutasi dibandingkan dengan substitusi basa nukleotida yang synonymous, yang artinya sedang terjadi proses seleksi positif (Hurst (Hurst 2002) untuk menghasilkan sifat-sifat yang menguntungkan. Skor nilai Ka/Ks < 1 dari gen β-1,3-glucanase sebesar 0.2127, yang artinya sedang terjadi seleksi yang berimbang antara pembersihan alel-alel yang merugikan/merusak dengan mempertahankan alel-alel yang menguntungkan.
7
Jumlah Kejadian
6 5 4 chitinase
3
β-1,3-glucanase
2 1 0 A-G Transisi
T-C
C-G |
T-G
A-T
A-C
Transversi
Gambar 31 Variasi SNP pada fragmen gen chitinase dan β-1,3-glucanase yang berasal dari DNA genom beberapa kultivar pisang.
98
Tabel 18. Karakter dari 22 SNP yang diidentifikasi pada sekuen chitinase Posisi Variasi Frekuensi SNP Mayoritas alel Minoritas alel SNP substitusi SNP (%) 1 65 [T/C/G] 12.5 C G 2 85 [T/G] 12.5 G T 3 107 [A/C/G] 12.5 G C 4 110 [A/C] 12.5 C A 5 111 [A/C/G] 12.5 A G 6 112 [T/G] 50.0 T G 7 117 [A/G] 12.5 A G 8 125 [T/C] 12.5 C T 9 128 [A/T] 12.5 T A 10 129 [A/C] 12.5 C A 11 147 [A/G] 12.5 G A 12 178 [A/G] 25.0 G A 13 210 [A/T] 37.5 T A 14 237 [A/G] 12.5 G A 15 256 [A/G] 12.5 G A 16 262 [C/G] 12.5 C G 17 329 [A/C] 12.5 C A 18 364 [A/C] 12.5 A C 19 373 [T/C/G] 12.5 G C 20 378 [A/C] 12.5 C A 21 383 [A/T] 12.5 T A 22 396 [A/G] 25.0 G A
Tabel 19. Karakter dari 9 SNP yang diidentifikasi pada sekuen β-1,3-glucanase Posisi Variasi Frekuensi SNP SNP substitusi SNP (%) Mayoritas alel Minoritas alel 1 30 [A/C] 25.0 C A 2 91 [C/G] 25.0 G C 3 480 [A/G] 25.0 G A 4 538 [A/C] 25.0 C A 5 618 [A/G] 25.0 G A 6 677 [A/G] 25.0 A G 7 753 [T/C] 25.0 C T 8 778 [A/C] 25.0 C A 9 780 indel (1) 50.0 insertion deletion
99
Tabel 20 Parameter keragaman genetik gen chitinase dan β-1,3-glucanase asal DNA genom pisang Asal Kultivar
Jumlah Jumlah sekuen SNP
Chitinase
8
22
Jumlah situs yang dianalisis
Ka/Ks
438
7.3043
Keragaman Jumlah Keragaman nukleotida D Tajima haplotipe haplotipe (%)
1,416
-0.26287
β-1,34 9 788 0.2127 0,508 0.74644 Glucanase Keterangan: Ka=substitusi non-synonymous, Ks=substitusi synonymous
8
0.93333
4
0.85714
Tabel 21 Sekuen dan frekuensi haplotipe dari gen chitinase dan β-1,3-glucanase asal DNA genom pisang Gen Haplotipe Sekuen Haplotipe Frekuensi (%) Chitinase haplo1 CTGCCTACTCGGTGGCCAGCTA 12.5
β-1,3glucanase
haplo2
CGGCATACTCGATGGCCAGCTG
12.5
haplo3
CGGCAGACTCGGAGGCCCGCTA
12.5
haplo4
CGGCAGACTCGGAGGCCAGCTG
12.5
haplo5
CGGCAGATTCGGTGGCCAGCTG
12.5
haplo6
CGGCATACTCGGTGGCCAGCTG
12.5
haplo7
TGGCAGACTCGGTGGCCAGCTG
12.5
haplo8 haplo1
CGAACTGCAAAAAAAGAATAAG CGGCGACAA
12.5 25.0
haplo2
CGGAGACCT
25.0
haplo3
ACACAGTCT
25.0
haplo4
CGGCGACCA
25.0
Dari hasil uji Tajima diperoleh nilai negatif pada fragmen gen chitinase (-0.26287) dan nilai positif pada fragmen gen β-1,3-glucanase (0.74644). Nilai D Tajima yang ada pada fragmen gen chitinase menunjukkan adanya pembersihan terhadap alel-alel yang tidak menguntungkan setelah diperoleh satu atau beberapa alel yang bersifat menguntungkan atau yang disebut selective sweep (Galtier et al. 2000), sedangkan pada pada fragmen gen β-1,3glucanase terjadi seleksi yang berimbang antara pembersihan alel yang tidak menguntungkan dengan mempertahankan alel yang menguntungkan (Carlson et al. 2005). Hasil analisis SNiPlay menunjukkan keragaman haplotipe dari gen chitinase (0.9333) lebih tinggi dari keragaman haplotipe gen β-1,3-glucanase (0.85714) (Tabel 20). Selain itu jumlah haplotipe dari fragmen gen chitinase (8 haplotipe) juga lebih tinggi dari pada jumlah haplotipe fragmen gen β-1,3glucanase (4 haplotipe) (Tabel 21). Hal ini dipengaruhi oleh jumlah putatif SNP ada di dalam fragmen masing-masing gen dan populasi yang dianalisis.
(A)
Haplo8
Haplo3
(B)
Haplo1
Haplo2
Haplo7 Haplo4
Haplo6
Haplo3
MaChi-Rjg MaChi-Br MaChi-Klt#1 MaChi-Klt#2
MaChi-AH#1 MaChi-AH#2 MaChi-Kpk#1 MaChi-Kpk#2
MaGlu-Rjg MaGlu-Klt MaGlu-AH MaGlu-Br
Haplo1
Haplo4
Haplo5 Haplo2
Gambar 32 Jejaring haplotipe berdasarkan metode Median Joining (Bandelt et al. 1999) dari fragmen gen chitinase (A) dan β-1,3glucanase (B). Warna haplotipe mewakili gen yang menjadi anggota dari haplotipe yang bersangkutan. Angka-angka pada alur jejaring menunjukkan posisi mutasi/substitusi pada sekuen gen, mv: median vector.
101
Hasil analisis jejaring haplotipe menggunakan metode Median Joining (Bandelt et al. 1999) menunjukkan jarak serta pola substitusi basa nukleotida yang terjadi pada fragmen gen chitinase dan β-1,3-glucanase (Gambar 32). Pada fragmen gen chitinase Haplo 8 yang beranggotakan gen chitinase asal Rejang mempunyai jarak terjauh dengan 15 titik mutasi dengan haplotipe terdekat (Haplo2). Hasil analisis jejaring juga memperlihatkan bahwa mutasi yang terjadi pada 2 gen chitinase yang berasal dari satu kultivar yang sama belum tentu mempunyai jarak yang terdekat. Sebagai contoh Haplo1 dan Haplo3 yang masingmasing beranggotakan gen chitinase yang berasal dari Klutuk Wulung mempunyai jarak 8 titik mutasi. Begitu juga dengan Haplo2 dan Haplo5 yang beranggotakan gen chitinase yang berasal dari Ambon Hijau mempunyai jarak 3 titik mutasi (Gambar 32A). Berdasarkan hasil analisis jejaring dapat diduga satu gen chitinase yang berasal dari Rejang sedang mengalami seleksi positif. Dalam jejaring haplotipe fragmen gen β-1,3-glucanase terlihat bahwa Haplo3 yang beranggotakan fragmen gen β-1,3-glucanase yang berasal dari Klutuk Wulung mempuyai jarak yang paling jauh dengan 8 titik mutasi dengan haplotipe terdekat (Gambar 32B).
Simpulan Dari gen MNBS yang diisolasi dari pisang, diidentifikasi sebanyak 9 sampai 14 putatif SNP yang terdiri atas bialel, trialel dan tetraalel, sedangkan dari gen chitinase diidentifikasi sebanyak 22 putatif SNP (bialel dan trialel), dan 9 putatif SNP bialel berasal dari fragmen gen β-1,3-glucanase. Identifikasi dan analisis keragaman putatif SNP yang terdapat pada fragmen gen MNBS, chitinase dan β-1,3-glucanase bisa dijadikan sebagai dasar untuk studi pola mutasi yang terdapat pada gen-gen tersebut dan studi evolusi gen terutama yang berhubungan dengan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Dengan menggunakan teknologi bioinformatika, putatif SNP berbasis RGA dan DGA yang teridentifikasi dapat digunakan sebagai marka terutama untuk marka ketahanan terhadap penyakit penting tanaman pisang. Oleh karena itu tahapan selanjutnya adalah seleksi dan evaluasi putatif SNP yang dapat digunakan untuk marka ketahanan terhadap penyakit.
Daftar Pustaka Bandelt HJ, Forster P, Röhl A. 1999. Median-joining networks for inferring intraspecific phylogenies. Mol Biol Evol 6:37–48. Barret LG, Thrall PH, Dodds PN, Merwe M van der, Linde CC, Lawrence GJ, Burdon JJ. 2009. Diversity and Evolution of Effector Loci in Natural Populations of the Plant Pathogen Melampsora lini. Mol Biol Evol 26(11):2499–2513. Beaty TH, Fallin MD, Hetmanski JB, McIntosh I, Chong SS, Ingersoll R, Sheng X, Chakraborty XR, Scott AF. 2005. Haplotype Diversity in 11 Candidate Genes Across Four Populations. Genetics 171: 259–267. Carlson CS, Thomas DJ, Eberle MA, Swanson JE, Livingston RJ, Rieder MJ,
102
Nickerson DA. 2005. Genomic regions exhibiting positive selection identified from dense genotype data. Genome Res. 15(11):1553-1565. Ching A, Caldwell KS, Jung M, Dolan M, Smith OS, Tingey S, Morgante M, Rafalski AJ. 2002. SNP frequency, haplotype structure and linkage disequilibrium in elite maize inbred lines. BMC Genet 3:19. Clement X, Posada D, Crandall K. 2000. TCS: a computer program to estimate gene genealogies. Mol Ecol 9:1657-1659. Collins DW, Jukes TH, 1994 Rates of transition and transversion in coding sequences since the human-rodent divergence. Genomics 20:386–396. Daly MJ, Rioux JD, Schaffner SF, Hudson TJ, Lander ES. 2001. High-resolution haplotype structure in the human genome. Nat Genet 29:229–232. Dereeper A, Nicolas S, Cunff LL, Bacilieri R, Doligez A, Peros J-P, Ruiz M, This P. 2011. SNiPlay: a web-based tool for detection, management and analysis of SNPs. Application to grapevine diversity projects. BMC Bioinforma. 12:134 http://www.biomedcentral.com/1471-2105/12/134. Escalante AA, Lal AA, Ayala FJ. 1998. Genetic Polymorphism and Natural Selection in the Malaria Parasite Plasmodium falciparum. Genetics 149:189–202. Galtier N, Depaulis F, Barton NH. 2000. Detecting bottlenecks and selective sweeps from DNA sequence polymorphism. Genetics 155:981–987. Gojobori T, Li W-H, Graur D. 1982. Patterns of nucleotide substitution in pseudogenes and functional genes. J Mol Evol 18:360–369. GuoY, Jamison DC. 2005. The distribution of SNPs in human gene regulatory regions. BMC Genomics 6:140 doi:10.1186/1471-2164-6-140 Hurst LD. 2002. The Ka/Ks ratio:diagnosing the form of sequence evolution. TRENDS Genet 18(9):486-487. Innan H, Stephan W. 2000. The Coalescent in an exponentially growing metapopulation and its application to Arabidopsis thaliana. Genetics 155:2015–2019. Jorde LB, Watkins WS, Bamshad MJ. 2001. Population genomics: a bridge from evolutionary history to genetic medicine. Hum Mol Genet 10:2199–2207. Kaessmann H, Heißig F, Haeseler A von, Pääbo S. 1999. DNA sequence variation in a non-coding region of low recombination on the human X chromosome. Nat Genet 22:78–81. Kanazin V, Talbert H, See D, DeCamp P, Nevo E, Blake T. 2002. Discovery and assay of single-nucleotide polymorphisms in barley (Hordeum vulgare). Plant Mol Biol 48:529–537. Li W-H, Wu C-I, Luo C-C. 1984. Nonrandomness of point mutation as reflected in nucleotide substitutions in pseudogenes and its evolutionary implications. J Mol Evol 21:58–71. Librado P, Rozas J. 2009. DnaSP v5: A software for comprehensive analysis of DNA polymorphism data. Bioinformatics 25:1451-1452 doi:10.1093/bioinformatics/btp187. Lorenzen J, Hearne S, Mbanjo G, Nyine M, Close T. 2011. Use of molecular markers in banana and plantain improvement. Acta Hort 897:281-287. Primmer CR, Borge T, Lindell J, Sætre GP. 2002. Single nucleotide polymorphism characterization in species with limited available sequence
103
information: High nucleotide diversity revealed in the avian genome. Mol Ecol 11:603-612. Rabemananjara FCE, Chiari Y, Ramilijaona OR, Vences M. 2007. Evidence for recent gene flow between north-eastern and south-eastern Madagascan poison frogs from a phylogeography of the Mantella cowani group. Front Zool 4:1 doi:10.1186/1742-9994-4-1. Ravensdale M, Nemri1 A, Thrall PH, Ellis JG, Dodds PN. 2011. Co-evolutionary interactions between host resistance and pathogen effector genes in flax rust disease. Mol Plant Pathol 12(1): 93–102. Tajima F. 1989. Statistical methods for testing the neutral mutation hypothesis by DNA polymorphism. Genetics 123:585–595. Templeton AR, Crandall KA, Sing CF. 1992. A cladistic analysis of phenotypic associations with haplotypes inferred from restriction endonuclease mapping and DNA sequence data. III. Cladogram estimation. Genetics 132:619–633. Walker JE, Saraste M, Runswick MJ, Gay NJ. 1982. Distantly related sequences in the α- and β-subunits of ATP synthase, myosin, kinases and other ATPrequiring enzymes and a common nucleotide binding fold. EMBO J 1(8):945-951. Yang W, Bai X, Kabelka E, Eaton C, Kamoun S, van der Knaap E, Francis D. 2004. Discovery of single nucleotide polymorphisms in Lycopersicon esculentum by computer aided analysis of expressed sequence tags. Mol Breed 14: 21–34. Zeng X-H, Wei Y-M, Jiang Q-T, Qi P-F, Zheng Y-L. 2009. SNP analysis and haplotype identification in chymotrypsin inhibitor-2 (CI-2) gene of barley. Agric Sci China 8(1):8-14. Zhang Z, Yu J. 2006. Evaluation of six methods for estimating synonymous and nonsynonymous substitution rates. Genom Proteom Bioinforma 4(3):173-181. Zhao Z, Boerwinkle E. 2002. Neighboring-nucleotide effects on single nucleotide polymorphisms: a study of 2.6 million polymorphisms across the human genome. Genome Res 12:1679–1686. Zhao Z, Jin L, Fu YX, Ramsay M, Jenkins T, Leskinen E, Pamilo P, Trexler M, Patthy L, Jorde LB et al. 2000. Worldwide DNA sequence variation in a 10kilobase noncoding region on human chromosome 22. Proc Natl Acad Sci 97:11354–11358. Zhu Q, Bennetzen JL, Smith. 2013. Isolation and diversity analysis of resistance gene homologues from switchgrass. G3 3(6):1031-1042. Zhu YL, Hyatt S, Quigley C, Song QJ, Grimm D, Young N, Cregan P. 2001. Single nucleotide polymorphisms (SNPs) in soybean genes, cDNAs, and random genomic sequence. Di dalam: Proceeding of Plant & Animal Genome IX Conference; San Diego, 13-17 Jan 2001. California.