BAB VI. Sembahyangan lain dan asal usulnya Selain sembahyangan yang berhubungan dengan tanggal tertentu dari suatu ‘Sin Beng’ (shejid, singtan, kiesien, dll), masih ada lagi beberapa sembahyangan yang sering dilakukan oleh orang Tionghoa pada umumnya dan klenteng Po An Thian pada khususnya. Sembahyangan ini terbagi menurut dua jenis perhitungan, yaitu perhitungan Im Lek (Yin Li perhitungan lunar/ bulan, sering disebut juga dengan Long Lek/ Nong Li atau Khong Lek/ Kong Li ) dan perhitungan Yang Lek (Yang Li perhitungan matahari / nasional). Penanggalan Buddhis, termasuk dalam penanggalan yang berdasarkan lunar/ bulan. Hanya saja perhitungan Buddhis dimulai setahun setelah wafatnya Sang Buddha, yaitu tahun 542 SM, sedangkan perhitungan yang biasa digunakan dalam penanggalan Im Lek dimulai saat Khong Cu lahir, yaitu tahun 551 SM. Inilah sebabnya mengapa sistem Im Lek sering disebut sebagai Khong Lek dan terlihat memiliki jumlah tahun yang lebih tua dari tahun Buddhis. Dua jenis persembahyangan yang termasuk di bagian perhitungan menurut Yang Lek (Ceng Beng dan Tang Cik), tidak terdapat dalam daftar sembahyangan klenteng Po An Thian, tetapi persembahyangan itu selalu dilaksanakan oleh para penganut Konfusius. Sembahyangan-sembahyangan itu adalah :
陰歷
孔歷
農歷 陽歷
Berdasarkan Im Lek : Sembahyang Imlek Sembahyangan imlek dilakukan pada tanggal 1 bulan 1 imlek, atau pada saat Tahun Baru Imlek. Sehari sebelum tahun baru, yaitu pada malam tahun baru, biasanya diadakan sembahyang Tutup Tahun, yaitu persembahyangan untuk mengucap syukur atas segala yang telah diperoleh sepanjang tahun yang akan lewat. Keesokan harinya, yaitu pada hari tahun baru, setelah mereka beranjangsana dan bermaaf-maafan dengan keluarga dan handai taulannya, mereka kembali bersembahyang di klenteng-klenteng | http:// poanthian.blogspot.com
136
sambil memohon agar dalam setahun mendatang diberikan berkah rejeki dan keselamatan. Menurut legenda, pada jaman dahulu terdapatlah monster pemakan manusia yang bernama Nian. Monster Nian ini hanya muncul pada malam tahun baru dan mulai memangsa manusia. Suatu ketika, seorang tua berhasil mengalahkan monster Nian hanya karena orang tua tersebut memakai pakaian berwarna merah. Ternyata monster Nian sangat takut terhadap warna merah. Itulah sebabnya perayaan tahun baru imlek sangat didominasi oleh unsur warna merah, yang dimaksudkan agar monster Nian tidak berani mengganggu lagi. Dalam tradisi tahun baru imlek, juga sering dibagikan hadiahhadiah uang yang dibungkus dalam amplop warna merah. Amplop ini sering disebut sebagai ‘Ang Pao’ atau ‘Hong Bao’ ( ).
紅包
Goan Siauw (Yuan Xiao) 元宵 Goan Siauw atau Siang Goan lebih dikenal dengan nama perayaan Cap Go Meh, jatuh pada tanggal 15 bulan 1 Imlek, sebagai perayaan penutup dari seluruh rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek. Biasanya sehari sebelum perayaan Goan Siauw diadakan Gia Ang atau pawai / kirab pusaka dan arca para ‘Sin Beng’. Pada acara pawai atau kirab Gia Ang ini, seluruh pusaka dan tanda kebesaran dari suatu klenteng akan ikut dibawa bersama-sama dengan para ‘Sin Beng’ yang ditempatkan dalam ‘Kio’ atau joli/ tandu. Arak-arakan pawai ini umumnya melalui jalan-jalan umum dalam kota tempat klenteng berada, yang mengandung makna agar berkah keselamatan dan rejeki menyebar pada seluruh area yang dilewati oleh para ‘Sin Beng’. Bagi masyarakat Tionghoa yang rumahnya kebetulan dilewati oleh arakarakan ini, umumnya menyalakan hio dan pedupaan/ wewangian serta bersiap-siap di depan rumah untuk menghormat ‘Sin Beng’ yang akan lewat, sambil memohon rejeki dan keselamatan. Pawai atau kirab Gia Ang kadang-kadang tidak hanya berlangsung satu kali. Pawai ini dilanjutkan lagi pada keesokan harinya, yaitu pada tanggal 15. Pada malam harinya seusai kirab, masyarakat mengadakan sembahyangan Goan Siauw secara bersamasama. Bagi masyarakat Pekalongan, acara Goan Siauw atau Cap Go Meh biasanya ditandai dengan memakan ‘Lontong Cap Go Meh’ , | http:// poanthian.blogspot.com
137
yaitu semacam ketupat yang dimakan bersama-sama dengan opor ayam dan berbagai bumbu lainnya. Acara ini bisa berlangsung sepanjang malam, sebab bagi mereka yang belum sempat mengucapkan selamat tahun baru kepada handai taulannya, ini merupakan kesempatan terakhir dalam tahun itu. Sebenarnya nama Goan Siauw/ Yuan Xiao adalah nama seorang pembantu dari kaisar Wu Di di jaman dinasti Han. Di saat tahun baru tiba, Yuan Xiao ingin menjenguk keluarganya, namun aturan istana melarang semua pembantu meninggalkan istana. Hari demi hari berlalu, Yuan Xiao terus berusaha mencari akal untuk dapat keluar istana dan menemui keluarganya. Akhirnya ditemukan akal, dengan perantaraan sahabatnya, Yuan Xiao berhasil menemui kaisar. Di depan kaisar, Yuan Xiao bercerita bahwa dalam mimpinya semalam ia dipesan oleh Dewa Surga untuk menyampaikan berita kepada kaisar Wu Di, bahwa Dewa Api berniat membakar habis ibukota Chang An pada tanggal 16 bulan 1 imlek. Agar niatan dewa api tersebut tidak dapat terlaksana, maka pada malam tanggal 15 bulan 1 imlek, semua rakyat harus memasang lentera merah, memasang petasan dan kembang api serta berpesta di luar rumah, sehingga seolah-olah sedang ada kebakaran. Beruntunglah kaisar Wu Di mempercayai cerita Yuan Xiao, ia lalu memerintahkan agar pada malam tanggal 15 segera dilaksanakan pesta lentera dan kembang api, serta seluruh rakyat untuk merayakannya di luar rumah. Akhirnya Yuan Xiao berhasil berkumpul bersama keluarganya pada malam tanggal 15 itu untuk merayakan tahun baru bersama-sama. Pesta lentera ini dari tahun ke tahun semakin marak, bahkan terdapat semacam permainan dalam pesta lentera ini. Lentera-lentera yang dipasang diberi tulisan teka-teki, barang siapa yang dapat menebak teka-teki tersebut, boleh mengambil lentera tadi. Itulah legenda asal muasal adanya pesta Goan Siauw atau Yuan Xiao dan pesta lentera pada tanggal 15 bulan 1 Imlek. Puja Waisak (Vaisakha Puja) 吠舍佉 Perayaan Waisak biasanya jatuh pada tanggal 15 bulan 4 Imlek. Kata Waisak (:Jawa Kawi) atau Vaisakha (:Sansekerta) adalah nama bulan ke enam menurut penanggalan India kuno. Dalam tradisi Buddhis, perayaan Waisak dilakukan tepat tiga bulan sesudah perayaan | http:// poanthian.blogspot.com
138
Magha Puja (bulan Magha adalah bulan ke tiga). Sedangkan perayaan Magha Puja itu sendiri, jatuhnya bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh (tanggal 15 bulan 1 Imlek). Secara nasional, perayaan Waisak ini umumnya jatuh pada sekitar bulan Mei – Juni. Perayaan Waisak ini dimulai pertama kali pada tahun 542 SM, yaitu setahun setelah parinibbana (wafat)nya Sakyamuni Buddha. Pada intinya memperingati tiga peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan Sakyamuni Buddha, yaitu saat kelahiran ke dunia, saat pencerahan sempurna dan saat parinibbana (wafat)nya Sakyamuni Buddha. Ketiga peristiwa ini terjadi pada bulan Waisak pada tahun berlainan, dan sebagian orang mempercayai bahwa ketiga peristiwa ini juga terjadi pada hari yang sama (purnama sempurna/ tanggal 15). Dalam memperingati perayaan ini, biasanya pada saat detik Waisak dilakukan meditasi bersama. Detik Waisak dihitung berdasarkan detik pada saat bulan mencapai titik purnama sempurna, sehingga dapat terjadi detik-detik tersebut jatuh pada pagi, siang ataupun malam hari. Twan Ngo (Duan Wu) 端午 Twan Ngo lebih dikenal dengan nama perayaan Peh Cun, jatuh pada tanggal 5 bulan 5 Imlek. Kata ’Twan’ atau ‘Duan’ artinya adalah ujung, sedangkan kata ‘Wu’ sering dituliskan dengan arti ‘siang hari’ ( ) atau ‘lima’ ( ). Sering pula disebut dengan nama ‘Duan Yang’ ( : disebut demikian sebab unsur ‘yang/ positif’ pada hari ini sangat dominan), ‘Chong Wu’ ( = rangkap lima) atau ‘Tian Zhong Jie’ ( = perayaan tengah hari). Perayaan ini berhubungan dengan cerita legenda Kut Goan (Qi Yuan) yang hidup pada tahun 343 SM – 278 SM. Diceritakan bahwa Kut Goan adalah seorang penasehat raja Chu Huai yang sangat jujur dan setia. Namun karena Kut Goan difitnah oleh selir kesayangan raja, akhirnya ia diusir dari istana. Seperginya Kut Goan dari istana, raja dan puteranya berhasil dijebak dan dibunuh oleh bangsa Thai. Kut Goan yang mendengar bahwa negaranya berhasil dijajah oleh bangsa Thai, menjadi sangat kecewa. Ia menuliskan sajak-sajak yang berusaha membangkitkan patriotisme bangsanya. Tapi karena ia sangat
午 陽 天中節
五
端
重五
| http:// poanthian.blogspot.com
139
kecewa melihat keadaan yang tidak membaik, akhirnya ia bunuh diri dengan mengikat dirinya pada sebuat batu besar dan menceburkan dirinya ke laut. Kejadian ini terjadi pada tanggal 5 bulan 5 tahun 278 SM. Para nelayan yang melihat Kut Goan bunuh diri, berusaha menolong namun tidak berhasil menemukan jasad Kut Goan. Akhirnya mereka melemparkan makanan yang sudah dibungkus ke dalam laut, dengan harapan agar ikan dan kepiting memakan makanan tersebut dan tidak mengusik jasad Kut Goan. Inilah asal mula perayaan Twan Ngo atau Peh Cun. Makanan yang biasa dibuang ke laut ini dikenal dengan nama BakCang, yaitu makanan yang terbuat dari beras atau ketan dan di dalamnya diisi potongan daging, dibungkus dengan daun bambu, serta diikat dengan tali jerami. Selain BakCang ada juga yang disebut KweeCang, yaitu ketan yang diberi semacam ragi (tanpa daging), dibungkus dengan daun bambu, diikat dengan tali jerami lalu digodok / dikukus. Cara mengikat BakCang maupun Kweecang ini sangat unik, sebab dibuat menyerupai limas segitiga, sehingga bila dijatuhkan ke arah manapun juga, selalu ada ujung lancip yang mengarah atas. Hal ini dimaksudkan sebagai lambang semangat hidup orang Tionghoa. Selain ramai-ramai membuang BakCang ke laut, pada hari Peh Cun juga sering diadakan lomba perahu naga. Dipercayai juga bahwa pada hari Peh Cun, telur mentah dapat berdiri tegak di permukaan yang datar, sebab pada hari itu gaya gravitasi bumi mencapai kekuatan tertinggi. Konon telur yang sudah diberdirikan ini dapat mengobati berbagai penyakit. Pada era sekarang, perayaan Peh Cun tidak hanya dilakukan di laut, tapi mereka juga merayakannya di klenteng-klenteng, dengan membawa sesajian KweeCang. Setelah usai sembahyangan sebagian orang biasanya membawa pulang KweeCang-KweeCang tersebut untuk digantung di atas pintu rumah sebagai penolak bala. Tiong Goan Ciat (Zhong Yuan Jie) 中元節 Tiong Goan dikenal sebagian orang dengan nama Pu Du ( ), atau sembahyangan Cio Ko, atau sembahyang rebutan, jatuh pada tanggal 15 bulan 7 Imlek. Kaum Buddhis menyebut sembahyangan ini
普渡
| http:// poanthian.blogspot.com
140
dengan nama Upacara Ullambana (:bahasa Sansekerta) atau Patidana (:bahasa Pali), yang berarti Pelimpahan Jasa. Sebenarnya sembahyang Tiong Goan lebih bermakna sebagai peringatan turunnya Tee Koan (Di Guan 地官 ), salah satu dewa dari Sam Koan Tay Te yang menguasai bumi. Menurut cerita, pada setiap tanggal 15 bulan 7 Imlek, Tee Koan turun ke dunia untuk mengatur kelahiran dan kematian, mengatur penempatan roh-roh dan mengurus pengampunan dosa. Oleh sebab itu, Tee Koan memiliki gelar : Zhong Yuan She Zui Di Guan Er Ping Qing Xu Da Di, yang artinya Jing Hi Tay Te (Qing Xu Da Di) sebagai penguasa bumi tingkat menengah (Di Guan Er Ping), pada setiap hari Tiong Goan (Zhong Yuan) turun ke dunia untuk mengampuni dosa manusia (She Zui). Karena pada hari Tiong Goan ini arwah-arwah akan ditempatkan/ dipindahkan ke tempat yang sesuai dengan beratringannya perbuatan mereka semasa hidup di dunia fana, maka perlu diadakan suatu upacara sembahyangan untuk menghantar mereka, sekaligus memberikan bekal kepada mereka. Sembahyangan ini tidak ditujukan kepada suatu arwah tertentu saja, tetapi kepada semua arwah tanpa pandang bulu. Inilah sebabnya sembahyangan pada hari Tiong Goan disebut sebagai sembahyangan Pu Du (Pu = umum, Du = menyeberangkan). Sedangkan disebut sebagai sembahyangan Cio Ko atau rebutan, karena pada saat itu para arwah saling berebut (‘Cio’) untuk mengambil bekal makanan yang disediakan, agar mereka tidak kelaparan ditempatnya yang baru. Bagi penganut Buddhis, sembahyangan ini bermakna memberikan jasa kebaikan bagi makhluk-makhluk yang berada dalam alam penderitaan. Dikisahkan pada suatu ketika raja Bimbisara, diganggu oleh suara-suara rintihan tanpa wujud. Ketika hal ini ditanyakan kepada Sang Buddha, Beliau menjawab bahwa suara rintihan itu adalah suara para sanak keluarga raja yang terlahir di alam menderita. Mereka sangat menderita dan telah lama menunggu pelimpahan jasa kebajikan yang dilakukan atas nama mereka. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, raja Bimbisara segera melakukan berbagai kebajikan atas nama sanak keluarganya yang telah meninggal dan melakukan pembacaan-pembacaan paritta (sutra). Sejak | http:// poanthian.blogspot.com
141
saat itu suara-suara rintihan tidak pernah mengganggu raja Bimbisara lagi. Dalam upacara sembahyangan Tiong Goan, selain memberikan sesajian bekal makanan kepada arwah-arwah yang kelaparan, biasanya juga dilanjutkan dengan kegiatan sosial berupa pembagian beras dan bahan makanan lain, kepada panti-panti asuhan dan kepada masyarakat kurang mampu. Kegiatan ini memberi makna bahwa kebajikan yang kita lakukan, selain memberikan kebaikan pada diri kita, juga bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Tiong Ciu Ciat (Zhong Qiu Jie) 中秋節 Perayaan Tiong Ciu (pertengahan musim semi) memiliki beberapa versi legenda, yang paling terkenal adalah legenda Siang Go. Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 8 Imlek, sehingga sering disebut juga Pek Gwee Tiong Ciu. Perayaan ini erat hubungannya dengan suatu jenis kue yang dikenal dengan nama Kue Bulan (Tiong Ciu Pia / Zhong Qiu Yue Bing). Pada awalnya, perayaan Tiong Ciu ditujukan sebagai pemujaan kepada hari lahir dewi Rembulan yang sering disebut sebagai Thay Im Nio (Tai Yin Niang). Diceritakan bahwa Thay Im Nio asalnya adalah seorang gadis yang bernama Siang Go (Chang E). Ia diperisteri oleh Hou Yi, seorang pemanah ulung yang asalnya adalah seorang malaikat sakti. Karena telah melakukan kesalahan, akibatnya Hou Yi menjadi manusia biasa dan tidak dapat kembali ke kahyangan. Suatu ketika Hou Yi memohon kepada Ong Bo Nio Nio (Xi Wang Mu) agar diberi obat untuk dapat hidup abadi dan kembali menjadi malaikat. Karena belum memiliki kesempatan yang tepat untuk berpamitan dengan isterinya, maka obat yang sudah didapat oleh Hou Yi tidak segera diminumnya, tetapi disimpan pada salah satu tiang rumahnya. Pada suatu hari tanpa sengaja, obat itu diketemukan oleh Siang Go. Karena tertarik akan aroma wanginya, Siang Go menenggak habis obat itu. Akibatnya tubuh Siang Go menjadi ringan dan perlahanlahan melayang naik. Merasa tertarik akan sinar rembulan yang indah, Siang Go memutuskan untuk pergi kesana. Ternyata di rembulan keadaannya sunyi sekali, namun Siang Go tidak dapat turun kembali ke bumi. | http:// poanthian.blogspot.com
142
Disana Siang Go hidup kesepian dan hanya ditemani oleh seekor kelinci. Jadilah Siang Go sebagai dewi penguasa rembulan. Hou Yi pada akhirnya juga dapat kembali menjadi malaikat dan diberi kedudukan di matahari sebagai Thay Yang Kong (Tai Yang Gong). Konon pada saat-saat tertentu (saat gerhana matahari), Hou Yi bertemu dengan Siang Go untuk melepas rindu. Pada hari lahir dewi rembulan, masyarakat melakukan sembahyangan di halaman rumahnya dengan menyajikan kue-kue yang dibuat bundar seperti rembulan. Kue-kue tersebut kemudian dimakan bersama-sama sanak keluarga. Tradisi ini pernah menolong rakyat Tiongkok di bawah pimpinan Cu Goan Ciang (Zhu Yuan Zhang), dalam usahanya mengusir penjajah Mongol. Kue-kue Bulan yang biasanya digunakan sembahyang, diisi dengan kertas berisikan perintah rahasia untuk menyerang bangsa Mongol pada hari dan jam yang telah ditentukan. Pada masa sekarang, sembahyangan Tiong Ciu tidak hanya khusus ditujukan kepada dewi rembulan, namun lebih banyak ditujukan sebagai sembahyangan syukur atas segala berkah dan keberuntungan yang telah diterima selama setahun yang lalu. Kue Bulan yang mengingatkan perjuangan melawan bangsa Mongol, tetap dipergunakan sebagai sajian utama dalam persembahyangan syukur tersebut. Selain legenda Siang Go di atas, masih banyak legendalegenda lainnya. Hal ini menjadikan makna perayaan Tiong Ciu semakin luas, bahkan tanggal 15 bulan 8 juga dianggap sebagai hari yang baik untuk memadukan unsur Im dan Yang, misalnya dengan mencari jodoh, mengajukan lamaran, bertunangan, dll.
Berdasarkan Yang Lek Ceng Beng (Qing Ming) 清明 Makna Ceng Beng sebenarnya memiliki dua pengertian. Yang pertama adalah saat dimulainya suatu musim (kala), dan yang kedua adalah saat peringatan sembahyangan kepada leluhur. Dalam pengertian musim (kala), Ceng Beng dimulai pada kala pertama di bulan ke tiga menurut penanggalan Im Lek. Sering disebut juga dengan Ceng Beng Ciat (Qing Ming Jie ). Kala ini merupakan saat yang
清明節
| http:// poanthian.blogspot.com
143
sesuai untuk mulai bercocok tanam. Dalam perhitungan Im Lek terdapat 24 kala ( ) dalam satu tahun peredaran matahari. Ceng Beng dalam pengertian sembahyangan untuk arwah leluhur, jatuh setiap tanggal 5 April. Apabila tahunnya kabisat maka jatuh pada tanggal 4 April. Perayaan ini tidak menggunakan perhitungan Imlek (tanggalan Bulan), tetapi perhitungan Yanglek (tanggal Matahari/ Nasional). Menurut cerita, tradisi sembahyangan Ceng Beng merupakan hasil cetusan ide kaisar pertama dinasti Beng (Ming), yang bernama Cu Goan Ciang (Zhu Yuan Zhang). Diceritakan bahwa pada masa negeri Tiongkok dijajah oleh bangsa Mongol (dinasti Goan/ Yuan), ada sebuah keluarga miskin yang memiliki anak bernama Cu Goan Ciang. Karena kemiskinan mereka, maka Cu Goan Ciang dititipkan pada sebuah biara untuk bekerja. Setelah dewasa, Goan Ciang ikut bergerilya dalam perkumpulan yang melawan bangsa Mongol. Berkat keuletan dan kecerdasannya, ia akhirnya menjadi kepala perkumpulan tersebut. Setelah bangsa Mongol berhasil ditaklukkan dan diusir, Goan Ciang akhirnya diangkat sebagai kaisar pertama dinasti Beng. Sesudah Goan Ciang menjadi kaisar, iapun teringat akan orang tuanya. Goan Ciang berusaha mencari tahu keberadaan orang tuanya, namun berita yang didapat adalah bahwa mereka telah meninggal dunia dan tidak diketahui dimana letak makamnya. Akhirnya Goan Ciang menemukan sebuah cara untuk mengetahui makam orang tuanya. Ia menitahkan agar semua rakyat negerinya melakukan pembersihan pada makam masing-masing keluarga, serta memberi tanda pada makam yang telah dibersihkan dan disembahyangi, dengan suatu kertas putih (sering disebut kertas Ko Coa atau Ji Zhi, umumnya diletakkan di atas Bongpay/ nisan dan ditindih batu agar tidak terbawa angin). Sehari setelah titah tersebut dilaksanakan oleh seluruh rakyat, Goan Ciang mengunjungi tempat pemakaman yang terletak di desa kelahirannya. Disana ia mendapati dua buah makam yang tidak terawat dan belum diberi tanda kertas. Maka Cu Goan Ciang berkesimpulan bahwa kedua makam tersebut adalah makam kedua orang tuanya.
節气
| http:// poanthian.blogspot.com
144
Akhirnya tradisi sembahyangan dan memberi tanda pada makam yang telah disembahyangi, berlangsung terus dari tahun ke tahun, meskipun Cu Goan Ciang telah menemukan makam orang tuanya. Tradisi ini kemudian dikenal dengan tradisi sembahyangan Ceng Beng (Qing = bersih; Ming = terang), yang bermakna membersihkan makam keluarga agar memancarkan sinar terang. Dalam era modern seperti sekarang ini, banyak jenasah yang tidak lagi dimakamkan melainkan dikremasi. Hal ini memang lebih memudahkan baik dari segi ekonomi maupun sosial. Abu jenasah yang telah dikremasi, kemudian dibawa ke rumah penitipan abu atau dilarung di tengah laut. Walaupun tidak dimakamkan, namun tradisi Ceng Beng tetap dilaksanakan. Bagi yang abu jenasahnya berada di rumah penitipan, sanak keluarganya bersembahyang di rumah penitipan tersebut. Sedangkan bagi yang abunya dilarung di tengah laut, mereka bersembahyang di tepi pantai ataupun menyewa perahu untuk bersembahyang di tengah laut. Bahkan tradisi memberikan kertas Ko Coa/ Ji Zhi -pun tetap dilaksanakan setelah mereka usai bersembahyang, dengan cara melempar ke tengah laut atau ditinggal di rumah penitipan abu. Selain sembahyangan kepada leluhur, Ceng Beng juga sering ). dihubungkan dengan Perayaan Makan Dingin (Han Shi Jie Perayaan ini berhubungan dengan legenda Kay Cu Tui (Jie Zi Tui) yang mati terbakar tanpa sengaja oleh raja Zhong Er, sehari sebelum perayaan Ceng Beng. Kay Cu Tui adalah sahabat Zhong Er yang telah menolong Zhong Er pada masa susah. Teringat jasa Kay Cu Tui, maka Zhong Er berniat menemuinya untuk diberi penghargaan. Namun ternyata Kay Cu Tui bersembunyi di hutan dan tidak bisa diketemukan. Zhong Er kemudian memerintahkan agar hutan itu dibakar, supaya Kay Cu Tui mau keluar menemuinya. Tanpa disangka, ternyata malah Kay Cu Tui mati terpanggang di dalam hutan itu. Dalam penyesalannya, Zhong Er memerintahkan agar jenasah Kay Cu Tui dikebumikan dengan upacara kenegaraan dan pada hari itu semua rakyat dilarang menyalakan api selama satu hari. Perayaan ini biasanya ditandai dengan makan semacam bubur yang disiram dengan air gula, serta kue yang dibuat dari buah kurma cina (Zhi Tui Bing).
寒食節
| http:// poanthian.blogspot.com
145
HUT Kemerdekaan RI Sembahyangan ini bertujuan untuk memperingati jasa-jasa para pahlawan bangsa, yang telah berjuang meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Selain itu sembahyangan ini bertujuan agar bangsa Indonesia senantiasa diberkahi oleh kemakmuran dan kesejahteraan pada tahun-tahun yang mendatang. Sembahyangan ini biasanya dilakukan oleh umat secara bersama-sama setiap tanggal 17 Agustus. Tang Cik (Dong Zhi) 冬至 Perayaan Tang Cik atau perayaan memasuki masa musim dingin jatuh pada tanggal 22 Desember. Apabila tahunnya kabisat maka jatuh pada tanggal 21 Desember. Sama seperti Ceng Beng, perayaan ini menggunakan perhitungan Yang Lek. Tang Cik lebih dikenal dengan nama sembahyang ronde. Perayaan ini ditandai dengan membuat ronde, yaitu makanan yang dibuat dari tepung ketan, diolah bulat-bulat kecil, kemudian digodok dengan air gula. Cara makannya dengan dicampur air jahe panas, dan uniknya pada perayaan ini jumlah ronde yang akan dimakan biasanya disamakan dengan jumlah umur si pemakan. Tradisi ini sebenarnya merupakan tradisi turun-temurun dari Tiongkok. Pada saat memasuki musim dingin, rakyat Tiongkok yang hidup jauh dari kota, mempersiapkan makanan yang bersifat panas namun tahan lama dalam penyimpanannya. Sifat ketan yang tahan lama dan sifat jahe yang panas menjadikannya cocok sebagai bahan dasar makanan ini. Makanan ini sengaja dibuat bulat-bulat kecil dengan maksud bahwa si pemakan haruslah memiliki kebulatan hati dalam menghadapi kerasnya hidup. Bulatan itu dibuat kecil untuk menghindari kita agar tidak tersedak waktu memakan ronde tersebut. Karena sudah menjadi sifat orang Tionghoa untuk senantiasa menghormati leluhurnya, maka hidangan ronde-pun akhirnya juga disajikan di meja persembahyangan. Hal ini semata-mata bermaksud mengajak para leluhur maupun para dewa untuk ikut menikmati pesta persiapan memasuki musim dingin.
| http:// poanthian.blogspot.com
146