BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil temuan dan hasil pengamatan yang sudah dilakukan hingga proses pembahasan kasus dan lintas kasus maka dapat dirumuskan kesimpulan dari hasil penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini meliputi ringkasan temuan, kontribusi teoritik, implikasi kebijakan dan rekomendasi. Kesimpulan penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
6.1. Ringkasan Temuan
Bentuk kerjasama antar daerah di Subosukawonosraten adalah badan kerjasama antar daerah yang dinamakan Badan Kerjasama Antar Daerah Subosukawonosraten. Penelitian ini merupakan penelitian dengan mengambil dua kasus yang ada dalam Badan Kerjasama Antar Daerah Subosukawonosraten. Kasus pertama adalah Kasus Kerjasama Layanan Transportasi-Bus Batik Solo Trans (BST) dan kasus kedua adalah Kasus Kerjasama Layanan Wisata Terpadu. Dari hasil penelitian dan pembahasan dari kedua kasus ini, dapat diketahui bahwa setiap kasus memiliki proses perencanaan kolaboratif yang berbeda. Kasus I yaitu kerjasama layanan Bus BST merupakan kasus yang memiliki penggerak (motor). Penggerak kerjasama adalah Kota Surakarta. Kota Surakarta berperan sebagai inisiator, regulator, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pihak yang mengevaluasi layanan Bus BST ini. Kabupaten lain yaitu Kabupaten
170
171
Sukoharjo, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar berperan sebagai pendukung untuk memberikan rekomendasi dan perijinan trayek maupun penempatan shelter-shelter. Bentuk kerjasama pada Kasus I adalah kerjasama monosentris. Bentuk kerjasama Kasus I merupakan
kerjasama monosentris
karena pada Kasus I terjadi dominasi peran oleh satu kota inti yaitu Kota Surakarta terhadap kabupaten lain yang hanya berperan sebagai pendukung. Untuk proses perencanaan kolaboratif pada Kasus I meliputi proses-proses: (1) proses dialog dan identifikasi, (2) proses kelembagaan, (3) proses persetujuan dan komitmen, (4) proses rencana, (5) proses sosialisasi, (6) proses implementasi dan pencapaian tujuan, (6) proses evaluasi, (7) proses pengembangan. Untuk faktorfaktor yang mempengaruhi proses kerjasama Kasus I meliputi: (1) tingkat kepentingan yang berbeda setiap pelaku, (2) keterbatasan dana/ anggaran, (3) pemahaman kepada masyarakat yang memerlukan waktu lama, (4) minat masyarakat yang cukup tinggi. Kasus II yaitu kerjasama layanan paket wisata terpadu. Kasus II merupakan kasus yang tidak memiliki penggerak (motor) karena Kasus II ini merupakan kasus kerjasama yang seimbang artinya setiap daerah melakukan kerjasama secara bersama-sama dan memiliki peran yang sama. Oleh karena itu, bentuk kerjasama Kasus II adalah kerjasama polysentris karena kerjasama dilakukan secara bersama-sama oleh kota inti (Kota Surakarta) dan kota satelit (Kabupaten se-Subosukawonosraten). Untuk proses perencanaan kolaboratif pada Kasus II meliputi proses-proses: (1) proses dialog dan identifikasi, (2) proses kelembagaan, (3) proses persetujuan dan komitmen, (3) proses rencana, (4) proses
172
implementasi
dan pencapaian
tujuan,
(5)
proses
evaluasi,
(6)
proses
pengembangan. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi proses kerjasama Kasus II meliputi: (1) tingkat kepentingan yang sama setiap pelaku, (2) kerjasama dengan jaringan luas, (3) dana ditanggung bersama-sama. Dari Kasus I dan Kasus II, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan proses perencanaan kolaboratif. Perbedaannya terletak pada proses sosialisasi. Kasus I yang merupakan kasus kerjasama monosentris (satu wilayah sebagai penggerak), memerlukan proses sosialisasi untuk menyampaikan maksud dan tujuan (pengadaan Bus BST) kepada pemerintah daerah lain yang terlibat. Untuk Kasus II yang merupakan kasus kerjasama polysentris (semua wilayah memiliki peran yang sama dan seimbang), maka tidak memerlukan proses sosialisasi.
6.2. Kontribusi Teoritik
Penelitian ini menghasilkan kontribusi teoritik bahwa proses perencanaan kolaboratif yang didominasi satu penggerak (monosentris) perlu dilakukan poses sosialisasi. Dalam setiap proses perencanaan kolaboratif, kerjasama monosentris didominasi oleh kota inti, sedangkan daerah pinggiran kota inti hanya berperan sebagai pendukung. Adanya dominasi peran mengakibatkan kepercayaan yang terbangun dari kerjasama monosentris tidak kuat maka diperlukan sosialisasi. Kerjasama monosentris di Subosukawonosraten merupakan kerjasama yang berhasil. Keberhasilan kerjasama monosentris Subosukawonosraten sangat
173
dipengaruhi oleh faktor kekuasaan di atasnya. Kekuasaan di atasnya tersebut adalah MoU (perjanjian) dan masyarakat. Proses perencanaan kolaboratif dalam kerjasama polysentris tidak memerlukan proses sosialisasi kepada pelaku lain karena setiap proses dilakukan bersama-sama. Setiap proses yang dilakukan bersama-sama dapat mempermudah membangun kepercayaan antarpelaku. Selain itu, kerjasama polysentris adalah kerjasama yang pelakunya sejenis yaitu sama-sama dilakukan oleh pemerintah daerah di kota inti maupun kota satelit dengan tingkat kepentingan yang sama. Dengan pelaku yang sejenis maka tingkat kepercayaan diantara pelaku lebih kuat dibandingkan
dalam
Subosukawonosraten
kerjasama merupakan
monosentris. kerjasama
Kerjasama
yang
berhasil.
polysentris
di
Keberhasilan
kerjasama polysentris di Subosukawonosraten sangat dipengaruhi faktor kesamaan kepentingan setiap pelaku. Dari penjelasan-penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa titik keberhasilan ditentukan dalam proses awal yaitu perumusan ide dan rencana yang disepakati bersama-sama sehingga setiap pelaku memiliki kesamaan kepentingan dan keterlibatan dalam melakukan kerjasama. Selain itu, terdapat perbedaan faktor penentu keberhasilan antara kerjasama monosentris dan polysentris di Subosukawonosraten. Faktor penentu keberhasilan kerjasama monosentris adalah faktor MoU dan masyarakat, sedangkan faktor penentu keberhasilan kerjasama polysentris adalah kesamaan tingkat kepentingan setiap pelaku. Dari faktor-faktor penentu
keberhasilan
baik
kerjasama
monosentris
dan
polysentris
di
Subosukawonosraten, maka dapat disimpulkan bahwa faktor penentu keberhasilan
174
kerjasama monosentris adalah faktor eksternal, sedangkan faktor penentu keberhasilan kerjasama polysentris adalah faktor internal. Faktor penentu keberhasilan
kerjasama monosentris
merupakan faktor eksternal karena
keberhasilan kerjasama berasal dari pihak luar (bukan berasal dari para pelaku), sedangkan faktor penentu keberhasilan polysentris adalah faktor internal karena keberhasilan kerjasama berasal dari para pelaku. Kontribusi teoritik lain yaitu dengan menganalisis Kasus Kerjasama Trans Jogja dan BST. Penelitian ini menghasilkan kontribusi teoritik bahwa keberhasilan kerjasama monosentris tidak hanya dikarenakan faktor MoU dan masyarakat, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor keterlibatan pemerintah di atasnya. Pemerintah di atasnya tersebut adalah pemerintah setingkat provinsi.
6.3. Implikasi Kebijakan Pemerintah
Mengingat pada Kasus I dan Kasus II terdapat perbedaan proses perencanaan kolaboratif yaitu pada Kasus I merupakan kerjasama monosentris sehingga memerlukan proses sosialisasi dan pada Kasus II merupakan kerjasama polysentris sehingga tidak memerlukan proses sosialisasi, maka implikasinya diperlukan langkah-langkah untuk mendorong setiap wilayah ikut berperan aktif dalam kerjasama. Setiap wilayah yang didorong untuk berperan dan berkontribusi yang sama akan berdampak pada keberhasilan program yang dikerjasamakan karena setiap pelaku memiliki kepentingan yang sama. Oleh karena itu, dalam
175
melakukan kerjasama, setiap wilayah didorong agar melakukan kerjasama yang polysentris. Dari kasus bus Trans Jogja yang sama-sama merupakan kasus kerjasama monosentris, tetapi dapat diketahui bahwa bus Trans Jogja berjalan lancar tanpa ada salah satu pemerintah yang merasa dirugikan. Faktor penentu berada pada dominasi peran yang berasal dari pemerintah yang lebih tinggi (Dinas Perhubungan Provinsi DIY), sedangkan kasus bus BST peran utama berasal dari Pemerintah yang setara kab/ kota. Oleh karena itu, pada kasus bus Trans Jogja, jenis kerjasamanya adalah kerjasama monosentris dengan motor vertikal (peran didominasi oleh pemerintah provinsi dan peran pemkot/ pemkab sebagai pendukung), sedangkan kasus bus BST, jenis kerjasamanya adalah kerjasama monosentris dengan motor horizontal (peran didominasi oleh pemkot dan peran pemkab sebagai pendukung). Kesamaan tingkat pemerintahan menjadikan hambatan dalam bekerjasama, maka implikasinya adalah masing-masing daerah harus menghilangkan egosentrisme daerah untuk mencapai tujuan bersama.
6.4. Rekomendasi Penelitian Lebih Lanjut
Mengingat penelitian ini memiliki jangka waktu yang terbatas dan penelitian ini memiliki temuan bahwa (a) keterlibatan dan kepentingan yang tinggi ditemukan pada kerjasama polysentris, dan (b) ketelibatan dan kepentingan yang rendah ditemukan pada kerjasama monosentris. maka saran penelitian selanjutnya ada dua yaitu:
176
(1) Adakah kasus kerjasama polysentris yang setiap pelaku atau anggotanya memiliki keterlibatan dan kepentingan yang rendah? (2) Adakah kasus kerjasama monosentris yang setiap pelaku atau anggotanya memiliki keterlibatan dan kepentingan yang tinggi?
Dua pertanyaan penelitian tersebut sangat potensial untuk diteliti sehingga hasilnya dapat berguna dalam memberikan kontribusi dan strategi terhadap kerjasama antar daerah dan perencanaan kolaboratif. Apabila kedua pertanyaan penelitian tersebut berhasil diteliti, maka dapat digunakan untuk menganalisis apakah bentuk kerjasama (monosentris dan polysentris) dan tingkat keterlibatan dan kepentingan mempengaruhi keberhasilan kerjasama.