BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, yaitu: Pertama, telah terjadinya pelanggaran klaim kedaulatan wilayah yang dilakukan oleh China atas Kepulauan Spratly di wilayah Laut China Selatan. Dimana China mendasarkan klaimnya atas okupasi yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus dilakukan dengan cara damai dan tindakan okupasi harus mempunyai akibat hukum di wilayah yang diduduki. Kemudian okupasi China terhadap perairan Kepulauan Spratly yang diklaim sebagai perairan historis juga tidak memenuhi ketentuan hukum internasional, dimana hukum internasional mensyaratkan bahwa perairan historis dapat dikatakan sah apabila dapat dibuktikan adanya penerapan kedaulatan oleh negara dalam jangka waktu tertentu, dideklarasikan secara terbuka
dan
mendapatkan
pengakuan
dari
masyarakat
internasional.
Kenyataannya okupasi yang dilakukan China sendiri tidak mendapatkan pengakuan dari negara-negara yang letaknya langsung mengelilingi perairan Kepulauan Spratly. Prinsip uti possidetis juris dapat diterapkan oleh Vietnam berdasarkan batas-batas wilayah yang dahulunya pernah diduduki oleh Prancis sebagai negara proktetoratnya. Namun, prinsip ini tetap harus ditindaklanjuti dengan melakukan kesepakatan dengan negara-negara yang juga memiliki
134
kepentingan di wilayah yang menjadi objek sengketa. Kemudian berkaitan dengan beberapa dasar klaim kedaulatan yang diajukan oleh Filipina, Filipina lebih tepat menggunakan alas klaim dengan metode UNCLOS 1982 karena klaim berdasarkan UNCLOS 1982 karena memiliki kekuatan hukum dan pengaturannya lebih jelas. Sehingga Filipina sebagai negara kepulauan (memiliki karakteristik sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UNCLOS 1982) sah dalam penggunaan garis pangkal lurus kepulauan, hak kedaulatan serta hak berdaulat di wilayah Laut China Selatan serta beberapa fitur laut yang masuk dalam zona maritime yang menjadi haknya. Begitu juga halnya dengan Malaysia dan Brunei. Sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan UNCLOS 1982, setiap negara pantai untuk menarik luasan laut territorial (Pasal 2), hak atas landas kontinen (76) dan ZEE (55). Artinya kedua negara pun memiliki hak yang telah diberikan oleh UNCLOS 1982 untuk mengklaim wilayah perairan yang berdekatan dengan negara pantainya. Kedua, pada prinsipnya sengketa yang terjadi antara dua negara atau lebih dari dua negara harus berpedoman pada ketentuan internasional yakni penyelesaian sengketa harus dilakukan dengan damai sesuai dengan ketentuan Piagam PBB, UNCLOS Bab XV, TAC Bab IV. Negara-negara yang terlibat dalam sengketa sejauh ini telah mempraktikkan penyelesaian sengketa secara damai tersebut seperti dengan melakukan kerjasama di wilayah sengketa, kerjasama tersebut meliputi penelitian di bidang kelautan seperti The Joint Oceanographic and Marine Scientific Research Expedition in the South China Sea (JOMSRE-South China Sea) antara Filipina dan Vietnam, Memorandums of
135
Agreement (MOA) yang terdiri dari MOA on Cooperation on Fisheries, MOA on Oil Spill Preparedness and Respons, MOA on Search and Rescue at Sea, Joint Marine Seismic Undertaking (JMSU) yang melahirkan Agreement-Bilateral Marine
Seismic
Undertaking
antara
Filipina
(Philipine
National
Oil
Company/PNOC) dan China (China National Offshore Oil Corporation/CNOOC), dan A Tripartite Agreement for Joint Marine Scientific Research in Certain Areas in South China Sea. Kerjasama ini merupakan bentuk implementasi dari Pasal 123 UNCLOS 1982 dan Artikel 6 Declaration of Conduct aut China Selatan yang telah disepakati kelima negara yang bersengketa pada tahun 2002. Dalam lingkup regional, negara-negara tersebut telah melakukan berbagai pertemuan untuk melakukan negosiasi seperti halnya dengan kegiatan Lokakarya Pengelolaan Konflik Laut China Selatan (Managing Potential Conflicts in the South China Sea Workshop), pertemuan AMM yang akhirnya menghasilkan
Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea (DOC South China Sea) dan ditandatangani pada tahun 2002 oleh negara-negara ASEAN dan China. Tujuan dari DOC ini yaitu untuk mengatur tingkah laku negara-negara yang terlibat sengketa. Cara ini memiliki kesesuaian dengan apa yang diatur dalam TAC 1976 dinyatakan bahwa: “the High Contracting Parties shall be guided by fundamental principles including : d. Settlement of differences or disputes by peaceful means; e. Renunciation of the threat or use of force.
136
B. Rekomendasi Menanggapi permasalahan mengenai tuntutan kedaulatan di wilayah Kepulauan Spratly, disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Menurut hemat penulis, sengketa terhadap klaim kedaulatan atas fitur laut (pulau-pulau kecil ataupun karang) di Kepulauan Spratly yang terjadi hingga sampai saat ini harus dikesampingkan terlebih dahulu oleh negara-negara pengklaim dan bersama-sama mencari solusi yang dapat diterapkan dalam waktu dekat. Tanpa perlu menunggu untuk dinyatakannya klaim negara mana yang valid ataupun sebaliknya, yang perlu ditekankan adalah penekanan potensi konflik di wilayah Kepulauan Spratly agar stabilitas kawasan regional tetap terjaga. 2. Sengketa mengenai klaim kedaulatan di wilayah Laut China Selatan sudah selayaknya diselesaikan dengan berpedoman pada aturan internasional serta dengan tanpa adanya penundaan yang lebih lama lagi. Penyelesaian sengketa harus dilakukan dengan mekanisme damai untuk menjamin keamanan dan perdamaian di kawasan Asia. Dengan saling menghormati kedaulatan masingmasing negara dan menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang relevan diharapkan negara yang bersengketa dapat duduk bersama dalam suatu forum formal untuk membicarakan kegiatan-kegiatan apa yang dapat memungkinkan untuk mengurangi sengketa dimana hasil pembicaraan ini disepakati untuk dirumuskan dalam satu dokumen yang sifatnya mengikat dan mengimplementasikan hal tersebut dalam setiap kebijakan nasional yang berkaitan dengan wilayah sengketa. Penyelesaian sengketa damai melalui
137
mekanisme diplomatik khususnya negosiasi merupakan jalan yang tepat untuk menyelesaikan sengketa di Kepulauan Spratly. Negosiasi ini jangan hanya dijalankan melalui pendekatan formal tapi juga dilakukan dengan pendekatan informal. Hal ini bertujuan untuk memperbesar potensi terselesaikannya sengketa di wilayah Laut China Selatan dan para pihak akan sama-sama diuntungkan dengan hasil negosiasi tersebut. Sehingga peneliti sepakat bahwa metode pengembangan kerjasama di wilayah sengketa merupakan jalan yang cukup bijak untuk meredam sengketa dalam waktu sementara dan untuk meningkatkan kembali hubungan baik antar negara. Oleh karenanya, kegiatan kerjasama ini harus terus dilaksanakan.Meskipun begitu, dengan terus berjalannya
kerjasama
ini,
negara-negara
bersengketa
tetap
harus
berkomunikasi mencarikan solusi yang terbaik bagi sengketa mereka yang sesungguhnya.
138