BAB V PEMBAHASAN DAN INTERPRETASI
Hasil pengolahan data yang didapat akan dibahas dan dianalisis pada bab ini. Analisis dilakukan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan secara geometri yang berdasarkan pada data geofisika yang menunjukkan penyebaran batuan dengan susceptibilitas tinggi dan data geologi yang diperoleh dari studi literatur peta geologi. Interpretasi dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
V.1.
Interpretasi Kualitatif
Analisis secara kualitatif dilakukan untuk melokalisasi daerah yang memiliki anomali dengan intensitas yang besar, yang diduga menunjukkan adanya body yang menjadi target dari penelitian ini. Peta anomali magnetik (gambar V.1) menunjukkan penyebaran pasangan pola kontur tertutup positif dan negatif di beberapa bagian lokasi penelitian. Secara umum pasangan pola kontur positif dan negatif ini menunjukkan arah Utara – Selatan yang secara kualitatif menunjukkan keberadaan benda anomali di bawah permukaan. Harga anomali magnetik yang diperoleh berada pada rentang -1400 nT sampai dengan 2000 nT. Dugaan lokasi keberadaan benda anomali ditandai dengan lingkaran (warna biru, garis putusputus), dimana pada daerah-daerah inilah akan dilakukan analisis secara kuantitatif untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.
A
C
E
G
420700
nT 420600
2000 1800 1600
420500
1400 1200 1000
420400
800 600 400
420300
200 0 420200
-200 -400 -600
420100
-800 -1000 -1200
420000
-1400 419900
B 259500
259600
259700
259800
D
F
259900
260000
H 260100
--- : Lokasi keberadaan sumber anomali berdasarkan analisis kualitatif)
(
Gambar V.1. Peta Anomali Magnetik Total
V.2.
Interpretasi Kuantitatif
Untuk menjawab kondisi bawah permukaan (subsurface) lokasi penelitian tidak cukup hanya dengan melakukan interpretasi kualitatif, oleh karena itu butuh dilakukan interpretasi kuantitatif untuk memastikan kondisi bawah permukaan berdasarkan model magnetik dan geologi. Interpretasi kuantitatif akan dilakukan dengan pemodelan ke depan (forward modelling) 2 (dua) dimensi dan inversi dengan menggunakan software Mag3D. Pemodelan ke depan akan dilakukan dengan bantuan filter sinyal analitik yang dihitung dengan transformasi Hilbert sebagai guidance. Sinyal anomali magnetik yang berbentuk dipolar tentunya akan membuat interpretasi menjadi lebih rumit dengan tingkat ambiguitas yang tinggi, akan tetapi dengan bantuan sinyal analitik yang berbentuk monopolar maka dapat dilakukan interpretasi dengan lebih mudah dan hasil yang serupa walaupun dilakukan oleh orang yang berbeda. Selain itu, sifat filter sinyal analitik yang tidak terpengaruh arah magnetisasi membuat sinyal analitik cukup mudah untuk diaplikasikan pada data dari berbagai tempat di muka bumi. Filter sinyal analitik dihitung dengan transformasi Hilbert dengan menggunakan bantuan Software Signproc for Windows ver. 1.56 sedangkan pemodelan ke depan dilakukan dengan menggunakan software Mag2D for windows version 2.01 G.R.J Cooper 1994 - 2004. Adapun input dalam melakukan pemodelan ini adalah : •
Data peta anomali magnetik yang dibuat dengan Surfer verson 8.0 Golden Software 1993-2002 yang di slice untuk mendapatkan penampang.
•
Input parameter awal untuk pemodelan ke depan. Geomagnetic Field Parameters ; Intensitas : 41945, Inklinasi : -10,5o, Deklinasi : 0,9o
•
Data geologi seperti litologi, struktur, petrografi.
Letak penampang dibuat berdasarkan hasil dari interpretasi kualitatif yang telah melokalisasi keberadaan anomali magnetik yang diduga sebagai body. Hasil dari hasil pemodelan ke depan ini akan dijadikan acuan untuk membuat model inversi. Harga kerentanan magnetik body 0.008 yang didapat dari hasil pemodelan diatas dan letak body anomali-nya yang didasarkan pada analisis kualitatif yang telah dilakukan (peta sinyal analitik dan peta anomali magnetik) akan digunakan sebagai model referensi inversi.
Hijau : Calculated Magnetic Anomaly, Hitam : Hasil Filter Sinyal Analitik
B
A
North Æ South
100
300
700
----- : Observed Magnetic Anomaly : Calculated Magnetic Anomaly 50
Gambar V.2. Penampang anomali magnetik lintasan A-B dimana
didapatkan 2 (dua) body anomali dengan harga k = 0.008 emu. (atas) anomali magnetik vs sinyal analitik, (bawah) pemodelan ke depan.
Hijau : Calculated Magnetic Anomaly, Hitam : Hasil Filter Sinyal Analitik
D
C
----- : Observed Magnetic Anomaly
North Æ South
: Calculated Magnetic Anomaly
Gambar V.3. Penampang anomali magnetik lintasan C-D dimana
didapatkan tiga body anomali dengan harga k = 0.008 emu. (atas) anomali magnetik vs sinyal analitik, (bawah) pemodelan ke depan.
F
E Hijau : Calculated Magnetic Anomaly, Hitam : Hasil Filter Sinyal Analitik
North Æ South
----- : Observed Magnetic Anomaly : Calculated Magnetic Anomaly
Gambar V.4. Penampang anomali magnetik lintasan E-F dimana
didapatkan beberapa body anomali dengan harga k = 0.008 emu. (atas) anomali magnetik vs sinyal analitik, (bawah) pemodelan ke depan.
H
G Hijau : Calculated Magnetic Anomaly, Hitam : Hasil Filter Sinyal Analitik
North Æ South
----- : Observed Magnetic Anomaly : Calculated Magnetic Anomaly
Gambar V.5. Penampang anomali magnetik lintasan G-H dimana
didapatkan tiga body anomali dengan harga k = 0.008 emu. (atas) anomali magnetik vs sinyal analitik, (bawah) pemodelan ke depan.
SI
A
C
E
G
B
Gambar V.6.
D
F
H
Hasil pemodelan inversi pada kedalaman ± 50 m (berdasarkan penampang)
Keseluruhan penampang yang dibuat berarah Utara-Selatan. Pada beberapa gambar diatas, dapat dilihat perbandingan penampang sinyal analitik dengan penampang peta anomali magnetik total. Dari keseluruhan penampang sinyal analitik dapat dilihat bahwa nilai-nilai puncak akan berada diatas tubuh bijih. Akan tetapi saat body anomali-nya bertumpuk (super impose), maka respon sinyal analitik pun akan menyatu dan amplitudonya menjadi lebih besar sehingga agak sulit menginterpretasi body anomali dengan spesifik tanpa teknik pemodelan lainnya. Secara umum filter sinyal analitik dapat membantu memberi batasanbatasan dalam melakukan pemodelan ke depan yang bersifat trial and error untuk mendapatkan solusi yang lebih unik. Hasil inversi 3D yang telah dilakukan (gambar V.6), menunjukkan hasil yang serupa dengan hasil pemodelan ke depan yang telah dilakukan dimana terlihat adanya tubuh bijih yang diduga mengandung mineralisasi Fe (yang ditandai dengan nilai kerentanan magnetik tinggi antara 0,5 s/d 2,5 SI). Hal ini diperkuat dari data geologi daerah Alue Sungai Pinang (Cameron dkk, 1982) mengenai adanya kandungan mineral magnetit dan hematit pada daerah ini. Pada
kedalaman sekitar 100 m dari hasil inversi 3D, terlihat adanya anomali yang diduga menerus ke arah selatan daerah penelitian. Harga k yang seragam mengindikasikan bahwa tubuh mineralisasinya merupakan jenis batuan yang sama.
Lokasi Penelitian
Gambar V.7. Simplified Geological Map, Lembar Tapaktuan
Lingkaran biru pada gambar V.7 diatas, menunjukkan lokasi tempat penelitian dilakukan. Akibat peristiwa tektonik yang terjadi pada daerah ini, maka terbentuklah struktur sesar Anu-Batee. Dimana struktur sesar ini merupakan zona lemah yang memungkinkan terjadinya magmatisme, yaitu adanya intrusi magma menerobos batuan lebih tua yang merupakan anggota batugamping. Akibat adanya kontak magmatik ini, terjadilah proses rekristalisasi, alterasi, mineralisasi, dan penggantian (replacement) pada bagian kontak magma dengan batuan yang diterobosnya. khususnya disekitar kontak intrusi tersebut, sehingga terbentuk mineralisasi bijih besi, berupa mineral besi magnetit, hematit dan oksida besi.
V.3.
Estimasi Sumberdaya
Setelah diyakini adanya tubuh intrusi yang mengandung mineralisasi bijih besi pada daerah penelitian, maka akan dicoba diestimasi volume-nya agar diketahui potensi cadangannya. Estimasi sumberdaya akan coba dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan metoda konvensional dan dengan metoda hasil inversi. Metoda konvensional akan dilakukan berdasarkan pada peta anomali magnetik dengan menduga lokasi keberadaan tubuh bijih yang mengandung mineralisasi bijih besi, sedangkan metoda kedua akan dilihat dari hasil inversi data magnetik yang akan menghitung volume anomali yang memiliki nilai kerentanan magnetik diatas 0,5 SI.
A.
Metoda Perhitungan Konvensional
Estimasi ini akan dilakukan berdasarkan pada peta anomali magnetik dibawah, sehingga hasil penaksiran sumberdaya ini hanya akan dikategorikan sebagai inferred resources (Tabel V.1). Dari peta topografi pada gambar IV.3 kita bisa dilihat ketinggian maksimum lokasi penelitian adalah 731 m.d.p.l dan ketinggian minimumnya adalah 382 m.d.p.l. Karena keterbatasan data yang dimiliki, maka dalam estimasi awal sumber daya ini akan memakai beberapa asumsi. Batuan yang merupakan tubuh bijih menurut peta geologi lembar tapaktuan adalah batuan andesitik.
C B F D A E
Gambar V.8.
Skema daerah A, B, C, D, E dan F untuk menghitung volume tubuh bijih besi.
Tabel V.1 Klasifikasi Cadangan/Sumberdaya Mineral Rancangan Standar Nasional Indonesia, Dewan Standardisasi Nasional, 1997 Increasing level of geological confidence Exploration Stage Mining Feasibility
Feasible
Not Yet Feasible
Detailed Exploration Proven Reserve
Measured Resources
Tingkat Keyakinan hasil perhitungan
General Exploration
Prospecting
Reconnaissance
Inferred Resources
Hypothetical Resources
Probable Reserve Indicated Resources
Hasil pemodelan ke depan dan inversi menunjukkan bahwa tubuh bijih berada mulai kedalaman 20-40 meter dari permukaan. Karenanya kedalaman tubuh bijih secara kasar akan digunakan 60 m. Bentuk tubuh bijihnya pun diasumsikan sebagai intrusi melihat hasil dari hasil pemodelan inversi 3D, sehingga metoda perhitungan yang digunakan adalah metoda kerucut terpancung. Dimana tubuh bijihnya akan diasumsikan berbentuk kerucut yang terpotong bagian puncaknya seperti terlihat pada gambar V.9. Lokasi tubuh-tubuh bijih akan diasumsikan berada pada lokasi-lokasi A, B, C, D, E dan F pada gambar V.8.
Rumus perhitungan yang digunakan untuk menghitung volume tubuh bijih dengan metoda ini adalah : V=
L ( S1 + S 2 + S1 S 2 ) ................................................................. (V.1) 3
S1
L
S2
Gambar V.9. Skema metoda perhitungan cadangan kerucut terpancung
Dengan demikian, perhitungan potensi sumberdaya pada daerah penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel V.2. Perhitungan Sumberdaya Metoda Kerucut Terpancung
(m²)
(m²)
A
17.663
31.400
Panjang tubuh intrusi (m) 60
B
11.304
22.687
C
7.850
D
Lokasi
Luas S1 Luas S2
Approx. Approx.
Volume
75
r2 100
(BCM) 1.452.250
60
60
85
1.000.090
17.663
60
50
75
745.750
7.850
17.663
60
50
75
745.750
E
20.000
25.000
60
-
-
1.347.214
F
7.850
17.663
60
50
75
745.750
Volume Total (approx.)
r1
6.036.804
Dari hasil perhitungan diatas, bisa dilihat potensi sumberdaya mineralisasi Fe yang terdapat pada daerah penelitian adalah 6.036.804 BCM. Tentunya karena dianggap sebagai inferred resource maka tingkat kesalahan (error) dari perhitungan ini masih cukup besar (70% - 100%, Tabel V.3) sehingga diperlukan langkah-langkah eksplorasi lebih terperinci untuk meningkatkan keyakinan akan potensi sumberdaya pada daerah penelitian. Menurut peta geologi lembar tapaktuan, pada lokasi penelitian mineralisasi Fe terdapat pada mineral-mineral Magnetit dan Hematit dengan kandungan Fe total 70% – 72,4%. Tetapi hal ini perlu dibuktikan dengan melakukan pengujian kadar Fe total secara terstruktur sehingga kadar rata-rata pada daerah penelitian dapat diestimasi dengan lebih akurat dan perhitungan cadangan dapat dilakukan tingkat keyakinan yang lebih tinggi.
B.
Metoda Perhitungan Menggunakan Hasil Inversi 3D
Dalam estimasi sumberdaya metoda ini, akan digunakan sebuah asumsi bahwa tubuh bijih yang mengandung mineralisasi bijih besi berada pada nilai kerentanan magnetik lebih besar dari 0,05 SI. Hasilnya dapat dilihat pada gambar V.10. Dari perhitungan ini, didapatkan total sumberdaya pada daerah penelitian
adalah 18.512.500 BCM.
Gambar V.10. Perhitungan Sumberdaya menggunakan Software Rockplot 3D
Untuk estimasi sumberdaya yang lebih baik dan akurat, maka perlu dilakukan beberapa langkah lebih lanjut diantaranya adalah : 1. Survei geologi lebih lanjut pada daerah interest dan perluasan survei ke arah selatan untuk mengetahui kemenerusan tubuh bijih secara lateral. Survei ini mencakup pembuatan sumur uji atau parit uji pada lokasi A,B,C,D, E dan F untuk mengetahui kemenerusan tubuh bijih secara vertikal. 2. Pengujian sampel secara kimia untuk mengetahui kadar Fe total pada daerah interest, Sehingga perhitungan sumberdaya pada daerah penelitian dapat dilakukan dengan tepat.
3. Analisis mineralogi sampel, untuk mengetahui jenis-jenis mineral yang terdapat pada daerah penelitian. 4. Pemboran inti (core drilling) dapat dilakukan apabila hasil survei lanjutan menunjukkan hasil yang mengindikasikan keberadaan sumberdaya yang memadai pada daerah penelitian. Tabel V.3. Perkiraan Tingkat Kesalahan (Error) Pada Masing-Masing Tingkat Keyakinan
Kategori
Perkiraan
Kondisi Data
Error
Saat Development :
Mineralisasi/bijih dilakukan
tersingkap
sampling
dan
dengan
telah
volume
&
0 – 10 %
intensitas yang cukup melalui pemboran detil Measured ↔ Proven
Pada Program Pemboran Detil :
Kondisi
dan
Mineralisasi
kemenerusan
pada
semua
Bijih
tempat
& telah
5 – 20 %
diidentifikasikan dengan pemboran Class – I :
Kondisi
dan
Mineralisasi
kemenerusan regular
–
Bijih
menerus
& telah 20 – 40 %
diidentifikasikan dengan pemboran, namun Indicated ↔ Probable
dengan jarak yang relatif masih jauh Class – II :
Kondisi
dan
Mineralisasi
kemenerusan
irregular
–
Bijih
fluktuatif
& telah 40 – 70 %
diidentifikasikan dengan pemboran, namun dengan jarak yang relatif masih jauh Mineralisasi Inferred ↔ Possible
diinterpretasikan
berdasarkan
sifat kemenerusan dari titik-titik yang telah 70 – 100 % diketahui, pemboran masih acak.
(Dimodifikasi dari Valee, 1986)