98
BAB V. KESIMPULAN, SARAN DAN RINGKASAN
V.1 Kesimpulan Pemberian ekstrak etanol daun pegagan (C. asiatica (L.). Urb. ) dapat menurunkan kadar BDNF di cerebellum pada tikus putih (Sprague Dawley) pascastres
listrik
kronik.Ekspresi
BDNF
di
cerebellumdijumpai
pada
laminamolekuler, sel Purkinje dan granular.
V.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada tingkat genomik untuk menilai efek neuroprotektif dari ekstrak etanol daun pegagan terhadap ekspresi mRNA BDNF dan reseptor TrkB di cerebellum tikus yang diinduksi oleh paparan stres listrik kronik. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai “downstream signaling” dari BDNF dan reseptor TrkB yang berperan dalam neuroproteksi cerebellum setelah pemberian ekstrak etanol daun pegagan pada tikus yang diinduksi oleh paparan stres listrik kronik. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai adanya kemungkinan peranan faktor neurotropin lainnya, seperti NGF, bFGF, GDNF, NT-3 maupun NT-4/5 pada efek neuroprotektif ekstrak etanol daun pegagan di cerebellum tikus yang diinduksi oleh paparan stres listrik kronik.
79
99
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut melalui pengecatan imunohistokimia untuk menilai aktivitas antioksidan maupun antiapoptosis ekstrak etanol daun pegagan di cerebellum tikus pascastres listrik kronik. 5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada subjek penelitian tikus neonatus, baik periode prenatal maupun postnatal, untuk mengetahui pengaruh paparan stres listrik kronik terhadap kadar BDNF di cerebellum, mengingat cerebellum tikus neonatus lebih rentan terhadap stres oksidatif. 6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai efek neuroprotektif dari ekstrak etanol daun pegagan terhadap fungsi motorik tikus yang diinduksi oleh paparan stres listrik kronik.
V.3 Ringkasan V.3.1 Latar Belakang Otak menjadi organ utama yang menginterpretasikan dan merespon stres, sekaligustarget dari hormon stres(McEwen, 2008).Stres berulang mengubah karakteristik elektrik pada sinaps, morfologi dan kapasitas proliferasi sel-sel saraf di otak (Joëls et al., 2007).Hormon glukokortikoid merupakan mediator utama yang berperan dalam adaptasi dan pengaturan respon stres (Tsigos & Chrousos, 2002). Hormon glukokortikoid dapat menghambat uptake glutamat (Sapolsky, 1999) dan glukosa (Laron, 1999) oleh sel saraf dan glia, sekaligus menurunkan kadar ATP selama stres akut (Sapolsky, 1999). Beberapa penelitian pada manusia dan hewan coba berhasil membuktikan keterlibatan proses oksidatif pada respon adaptasi otak terhadap stres.Cerebellum
100
rentan terhadap streskarena memiliki banyak reseptor glukokortikoid (Pavlik & Burescova cit. Biran et al., 2012).Kerentanan cerebellum terhadap stres oksidatif juga didasari oleh tingginya kandungan lipid dan zat besi, serta rendahnya kadar antioksidan endogen, seperti glutation dan vitamin E (Assunção et al., 2008). Stres kronikmenurunkan ekspresi mRNA reseptor glukokortikoid pada lapisan sel granular dan sel Purkinje cerebellum (Kitraki et al., 1999), dimana hal tersebut diyakini merupakan proses desensitisasi akibat peningkatan kadar glukokortikoid (Wilber & Wellman, 2009). BDNF merupakan famili neurotropin yang berperandalam proliferasi, diferensiasi dan kelangsungan hidup sel saraf (Beckinschtein et al., 2008). BDNF terlibat dalam pertumbuhan neurit, sintesis neurotransmiter dan transmisi sinaps dengan berikatan pada reseptor TrkB (Binder &Scharfman, 2004).BDNF dapat melindungi sel-sel saraf dari stres oksidatif yang disebabkan oleh hipoglikemia, iskemia, hipoksia dan toksisitas etanol (Sun et al., 2008). BDNF memiliki efek antiapoptosis, antiinflamasi, antiepilepsi dan neuroprotektif terhadap toksisitas glutamat (Chen et al., 2013).Delesi gen BDNF pada mencit (BDNF-/-) terbuktimenghambat arborisasi dendrit sel Purkinje, menyebabkan apoptosis sel granular dan foliasi abnormal cerebellum (Schwartz et al., 1997). Stres, baik akut maupun kronik,mempengaruhi sintesis BDNFdi otak. Stres kronik menurunkan ekspresi protein BDNF (GrØnli et al., 2006; Shi et al., 2010), sedangkan stres akut justru sebaliknya (Molteni et al., 2001;Bland et al., 2007).Meskipunpengaruh stres terhadap sintesis BDNFmenunjukkan hasil yang berbeda-beda,BDNF diyakini memiliki efek neuroprotektif dan berperan penting
101
dalam kelangsungan hidup sel-sel saraf. Rendahnya kemampuan BDNF melewati sawar darah-otak menyebabkan sulitnya pemanfaatan protein tersebut sebagai neuroprotektor (Allen & Dawbarn, 2006).Pengobatan tradisional dan modern saat ini tengah mengembangkan antioksidan alami yang berpotensi melindungi sistem saraf dari radikal bebas, antara lain Curcuma longa, Panax ginseng, dan Centella asiatica (Mitra et al., 2007). Centella asiatica (L.). Urb. atau pegagan telahlama dikenal sebagai obat tradisional yang berkhasiat meningkatkan memori dan kemampuan mental. Pada streskronik, C. asiaticamenunjukkanefekansiolitik(Wanasuntronwong et al., 2012)dan antidepresan (Liang et al., 2008).Selain itu, kandungan terpenoid dan fenol pada C.asiatica diyakini memiliki efek antioksidan (Subathra et al., 2005) dan antiapoptosis (Omar et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekstrak C. asiatica meningkatkan kadar enzim antioksidan (Kumar et al., 2009), serta menghambat pembentukan MDA dan NO (Hussin et al., 2007). Kandungan madecassoside pada C. asiaticadapat meningkatkan ekspresi protein BDNF dan protein antiapoptosis Bcl-2 pada penyakit Parkinson (Xu et al., 2013). Ekstrak etanol daun C. asiatica meningkatkan tampilan memoripascastres listrik kronik, disertai peningkatan kadar BDNF dan penurunan kadar NO pada serum (Sari et al., 2014). Kandungan antioksidan yang tinggi(Zainol et al., 2003), dan kemampuanmelewati sawar darah-otak (Krishnamurthy et al., 2009)menjadi latarbelakang perlunya dikaji dan diteliti bagaimana pengaruh pemberian ekstrak etanol daun C. asiaticaterhadap kadar BDNF di cerebellum pada tikus putih pascastres listrik kronik.
102
V.3.2 Tinjauan Pustaka V.3.2.1 Cerebellum.Cerebellum adalah subbagian dari otak (encephalon) yang berperan dalam koordinasi gerakan volunter, keseimbangan, sikap tubuh, cara berjalan serta proses belajar dan memori dari aktivitas motorik (Patestas & Gartner, 2006).Cerebellum terletak pada fossa cranii posterior, aspek inferior dari lobus occipitalis hemispherium cerebri, dan dibatasi oleh tentorium cerebelli. Fissura transversalis membagi cerebellum menjadi tiga lobus, yaitu lobus anterior, posterior dan flocculonodularis.Cerebellum tersusun dari cortex cerebellaris dan empat pasang nucleus cerebelli profundus, antara lain nucleus fastigii, globosus, emboliformis dan dentatus. Vermis dan hemispherium cerebelli dipisahkan oleh fissura dangkal yang diisi oleh vena paravermis. Vermis pada mamalia terdiri dari 10 lobulus (I-X). Pada hemispherium cerebelli, dijumpai lobulus ansiformis dan paramedian yang dipisahkan oleh fissura intercruralis (Larsell cit. Voogd, 2003). Cortex cerebellaris terdiri dari tiga lapisan sel, meliputi lamina molekuler, sel Purkinje dan granular. Tiap lapisan tersusun dari beberapa tipe sel saraf, antara lain: 1) sel granular, neuron glutamatergik berukuran kecil, memiliki axon yang bercabang, dan membentuk serabut paralel pada lapisan molekuler; 2) sel Purkinje, neuron GABAergik berukuran besar, output utama cortex cerebellaris, dan bersinaps dengan nucleus cerebelli profundus; 3) sel stellatum/keranjang dan sel Golgi merupakan sel-sel interneuron inhibitoris, dimana sel Golgi merupakan umpan balik negatif bagi sel granular(Voogd & Glickstein, 1998; Patestas & Gartner, 2006).
103
V.3.2.2 Brain-derived neurotrophic factor (BDNF). BDNFadalah famili neurotropin yang memiliki struktur mirip faktor pertumbuhan, dan berperandalam proliferasi, diferensiasi serta kelangsungan hidup selsaraf (Beckinschtein et al., 2008). BDNF diperlukan dalam pertumbuhan neurit, sintesis neurotransmiter dan transmisi sinaps dengan berikatan pada TrkB(Binder &Scharfman, 2004).Pada manusia, genBDNF berada padakromosom11p, tersusun dari empat non-coding exon-5’(I-IV) dan satu codingexon-3’(V) yang mengkode BDNF dari promoter yang berbeda (Binder&Scharfman, 2004). Ekspresi gen BDNF bervariasi pada tiap jaringan, dimana pada otak sangat dipengaruhi oleh stimulus, seperti latihan fisik, kejang, iskemik, stres osmotik dan obat antidepresan (Cunha et al., 2010). BDNF terlokalisasi somatodendritik, baik pada neuron presinaps maupun postsinaps (Cunha et al., 2010). Sekresi BDNF dipicu oleh depolarisasi sel saraf yang bergantung padaionCa2+.BDNFdiangkut secara retrograde maupunanterogradetergantung pada distribusi reseptor BDNF (Zheng et al., 2012). Neurotropin berikatan pada satu atau lebihTrk dengan afinitas lebih kuat daripadap75NTR. Ikatan BDNF dengan Trk dapat mengaktifkan beberapa kaskade sinyal, antara lainPLC,PI3Kdan Ras, dimana ketiga kaskadetersebut berperan penting
dalam
kelangsungan
hidup
sel
saraf
dan
pertumbuhan
neurit(Murray&Holmes, 2011).Paparan akut BDNFmeningkatkan ekspresi dan insersiTrkB di hippocampus (Nagappan&Lu, 2005).p75NTRberperan dalam proses pro- dan antitropik, seperti pertumbuhan neurit dan apoptosis (Murray & Holmes, 2011).
104
BDNFdapat mempengaruhi sintesis protein pada tahap transkripsi maupun translasi (Bekinschtein et al., 2008).BDNFmeningkatkan fosforilasi CREB pada Ser-133, dan menginduksi ikatan CREB dengan CRE pada regio promoter dari gen c-fos, eger-1 (zif-268),nNosdan gen lainnya. BDNFmengaktifkan kaskade sinyal mTOR dan ERK yang berperan sebagai regulatortranslasi lokal maupun global. BDNFmengendalikan sintesis lokalbeberapa protein yang terlibat dalam plastisitas, sepertiCaMKII, Arc dan homer 2 (Ying et al., 2002).Sinyal CaMKII memperantarai autoregulasi ekspresi BDNF (Cunha et al., 2010). BDNF diyakini memiliki efek neuroprotektif (Pluchino et al., 2013; Singh & Su, 2013), serta terlibat dalam plastisitas sinaps dan fungsi kognitif (Yamada & Nabeshima, 2003). Pada iskemia otak, BDNF menunjukkan efek antiapoptosis, antiinflamasi, antiepilepsi dan neuroprotektif terhadap toksisitas glutamat (Chen et al., 2013). Efek neuroprotektif BDNF tersebut diperantarai oleh kaskade sinyal intraseluler melalui jalur MAPK dan PI3K (Klöker et al., 2000; Sun et al., 2008). BDNF memicu fosforilasi faktor transkripsi CREB yang dapat berikatan dengan gen tertentu terutama melalui jalur ERK 1,2 (Sun et al., 2008). Pemberian BDNF secara intraventrikuler pada tikus menurunkan volume infark dan jumlah sel apoptosis pascaoklusi vena. BDNF memicu proliferasi, dan meningkatkan aktivitas fagositosis mikroglia. BDNFmelindungi sel saraf dari eksitotoksisitas glutamat dan NO pada kultur sel kortikal. BDNF melindungi sel saraf dari neurotoksisitas yang disebabkan oleh β-amiloid (Arancibia et al., 2008). BDNF dapat meningkatkan aktivitas antioksidan enzimatis, fosforilasi CREB, dan
105
ekspresi protein Arc.Selain itu, BDNF juga terbukti menginduksi dan memelihara LTP (Zheng et al., 2012). Pada cerebellum, BDNF berperan dalam neurogenesis sel granular (Gao et al., 1995). BDNF meningkatkan pertumbuhan neurit, maturasi, diferensiasi, dan menjaga kelangsungan hidup sel granular. Hal tersebut diperantarai oleh aktivitas reseptor TrkB, dimana inhibitor tirosin kinase (K252a) menghambat efek tersebut. BDNF meningkatkan ekspresi mRNA faktor transkripsi c-fos dan c-jun melalui jalur MAPK yang diperantarai olehTrkB (Courtney et al., 1997). Selain itu, BDNF dapat menghambat pemotongan dan aktivitas enzimatis caspase-3 sebagai efektor apoptosis sel saraf (Klöker et al., 2000). BDNF melindungi sel granular cerebellum dari apoptosis yang diinduksi oleh kehilangan glukosa (Tong & Perez-Polo, 1998). Hipoglikemia meningkatkan kadar ion Ca2+ intraseluler yang memicu apoptosis dan sitotoksisitas. Pada kultur sel granular cerebellum, BDNF terbukti meningkatkan imunoreaktifitas c-fos. Hal ini menunjukkan bahwa BDNF berperan dalam kelangsungan hidup sel granular cerebellum. Selain itu. BDNF melindung sel granular cerebellum dari apoptosis dan neurotoksisitas yang diinduksi oleh hipokalemia (Tong & Perez-Polo, 1998). V.3.2.3Stres, cerebellum dan BDNF.Stres kronik menurunkan ekspresi reseptor glukokortikoid (Kitraki et al., 1999), sekaligus menghambat umpan balik negatif dari aksis HPA (Pérez-Nievaz et al., 2007). Hormon glukokortikoid dapat melewati sawar darah-otak (de Kloet et al., 2005), dan berinteraksi homodimerik dengan GRE dari beberapa gen pada sistem stres (Tsigos & Chrousos, 2002). Hal tersebut dapat menghambat faktor transkripsi, seperti c-jun,c-fosdan NF-κβ
106
yangberperan
dalampembelahan
sel.
Hormonglukokortikoidmengganggu
stabilitas mRNA, dan menurunkan translasi protein-protein yang terlibat dalam potensial aksi sel saraf (Tsigos & Chrousos, 2002). Stres kronik dapat meningkatkan pelepasan glutamat di otak, serta ekspresi reseptor NMDA dan AMPA pada membran postsinaps (Musazzi et al., 2010). Hal tersebut menyebabkan pelepasan blokade ion Mg2+ dari reseptor NMDA sehingga memicumobilisasi ion Ca2+dalam jumlah banyak menuju sitosol (Popoli et al., 2013). Pengaktifan reseptor NMDA oleh glutamat dalam jangka waktu yang lama menyebabkan influks ion Ca2+, dan akumulasi ion Ca2+ pada matriks mitokondria (Numakawa et al., 2011). Eksitotoksisitas glutamat menyebabkan delayed Ca2+deregulation (DCD) pada kultur sel granular cerebellum (Castilho et al., 1999). Otak sangat sensitif terhadap stres oksidatif karena tingginya kebutuhan oksigen (Cui et al., 2004).Stres dapat menurunkan aktivitas enzim antioksidan, seperti SOD, CATdanGST, danmemicu produksi O2-, .OH dan H2O2(Şahin & Gümüşlü, 2004; Cui et al., 2012). Stres juga meningkatkan oksidasi lipid, protein dan DNAdi otak. Hal tersebut ditandai oleh peningkatan kadar MDA dan protein karbonil (Şahin & Gümüşlü, 2007; Ramezani et al., 2012). Cerebellum sangat sensitif terhadap stres karena memiliki banyak reseptor glukokortikoid (Pavlik & Burescoca cit. Biran et al., 2012). Stres meningkatkan permeabilitas sawar darah-otak (Junjua, 2012), dan menurunkan ekspresi reseptor glukokortikoid di cerebellum (Kitraki et al., 1999; Wilber & Wellman, 2009). Hal ini menandakan terjadi peningkatan kadar kortikosteron di cerebellum, sekaligus
107
sebagai penanda kerentanan terhadap stres oksidatif/nitrosatif (Pérez-Nievaz et al., 2007). Glukokortikoid menyebabkan apoptosis sel granular dan menghambat proliferasi prekusor sel granular imatur di cerebellum (Biran et al., 2012). Stres, baik akut maupun kronik,mempengaruhi sintesis BDNFdi otak.Paparan stres kronik ringandapat menurunkan ekspresi protein BDNF dan CREB terfosforilasi di gyrus dentatus, tetapi tidak terjadi di formatio hippocampi lainnya (GrØnli et al., 2006).Glukokortikoid berperan dalam regulasi BDNF (Pluchino et al., 2013).Glukokortikoidmenurunkan aktivitas AP-1 dan CREB yang
sangat
diperlukan
dalam
transkripsi
gen
BDNF.
Glukokortikoid
mengganggu stabilitas, dan memicu degradasi mRNA BDNF. Glukokortikoid juga menghambat sintesis dan sekresi BDNF dengan menurunkan aktivitas faktor inisiasi translasi, molekul eksositosis (annexin-1) dan enzim proteolitik, seperti furin dan metalloproteinase (Suri & Vaidya, 2013). Hal tersebut diperantarai oleh reseptor glukokortikoid dan mineralokortikoid (Suri & Vaidya, 2013). Glukokortikoid mempengaruhi kaskade sinyal BDNF melalui reseptor TrkB dan p75NTR. Glukokortikoid menurunkan influks ion Ca2+ pada membran postsinaps, dan menghambat kaskade sinyal yang diperantarai oleh TrkB. Terjadi penurunan ekspresipTrkB dan pERK 1,2 di gyrus dentatus setelah pemberian kortikosteron jangka panjang (Gourley et al., 2008). Hormon glukokortikoid dapat mempengaruhi regulasi kaskade sinyal PLC-γ oleh BDNF (Suri & Vaidya, 2013). Glukokortikoid juga mempengaruhi sinyal BDNF melalui jalur PI3K-Akt dengan meningkatkan ekspresi SHIP1 sebagai regulator negatif pada jalur tersebut (Zhang & Daynes, 2007). Pengaruh glukokortikoid pada kaskade sinyal BDNF melalui
108
reseptor p75NTR melibatkan kaskade sinyal JNK, aktivasi NF-κβ, sinyal ceramide dan Rho familiy GTPase (Suri & Vaidya, 2013). V.3.2.4 Centella asiatica (L.). Urb.Centella asiatica merupakan habitus berupa terna atau herba tahunan dengan marga Centella, suku Apiaceae, bangsa Apiales, kelas Dicotyledoneae, subdivisi Angiospermae dan divisi Spermatophyta (Badan POM RI, 2008).Tanaman ini merupakan terna liar tanpa batang, tetapi memiliki rimpang pendek dan stolon-stolon yang menjalar dengan panjang 10-80 cm. Centellaasiatica telah lama dikenal berkhasiatmenyembuhkan luka, dan mengobati beberapa penyakit kulit, seperti lepra, lupus, ulkus varikosa, eksim dan psoriasis. Pengobatan tradisional Indiamemanfaatkan tanaman C. asiatica untuk menghilangkan rasa cemas, dan memicu relaksasi ketika bermeditasi (Wijeweera et al., 2006).Centellaasiaticameningkatkan memori dan kemampuan mental umum pada anak retardasi mental (Kuppurajan cit. Mitra et al., 2007). Centella asiatica mengandung beberapa zat kimia aktif, seperti terpenoid (monoterpenoid, sesquiterpenoid, diterpenoid, triterpenoid, tetraterpenoid), fenol (flavonoid, fenilpropanoid dan tanin), alkaloid, karbohidrat, vitamin, mineral, asam amino, poliasetilen dan lain-lain (Chong &Aziz, 2011).Derivat utama triterpenoid pentasiklik pada C. asiatica, antara lain asiatic acid, madecassic acid, madasiatic acid, asiaticoside dan madecassoside(Orhan, 2012).Fenol merupakan antioksidan utama pada C. asiatica yang banyak ditemukan pada daun daripada pelepah daun (petiole) dan akar (Zainol et al., 2003). Centella asiatica berkhasiat pada susunan saraf pusat, antara lain sebagai stimulan saraf, rejuvenant, sedatif, ansiolitik, serta meningkatkan daya ingat dan
109
kecerdasan (Zheng &Qin, 2007).Ekstrak cair C. asiatica menghambat oksidasi lipid dan protein, serta meningkatkan aktivitasenzim antioksidan, seperti GST, SOD dan CAT (Subathra et al., 2005; Hussin et al., 2007).Glikosida triterpenoid, seperti madecassoside dapat mencegah penyakit Parkinson dengan meningkatkan ekspresi protein antiapoptosis Bcl-2 dan BDNF di otak (Xu et al., 2013). Ekstrak etanolC. asiaticamenghambat aktivitas enzim caspase-9 yang berperan dalam pengaktifan jalur apoptosis (Omar et al., 2011).Ekstrak cair C. asiatica terbukti mencegah agregasi β-amiloid intraseluler pada sel neuroblastoma manusia (MC65) (Soumyanath et al., 2012).Ekstrak cair C. asiaticamemperbaiki gangguan perilaku dan memori pada penyakit Alzheimer. Hal tersebutdisebabkan oleh penurunan aktivitas enzimAChE, disertai peningkatan kadar antioksidan di otak (Kumar et al., 2009).Ekstrak etanol C. asiatica terbukti meningkatkan kadar BDNF serum pada tikus pascastres listrik kronik (Sari et al., 2014).
V.3.3 Landasan Teori 1. Stres meningkatkan aktivitas aksis HPA dan sistem simpatoadrenomedular, memicu peningkatan amplitudo dan sinkronisasi pulsasi CRH dan AVP pada sistem portal hipofisis, serta meningkatkan episode sekresi ACTH dan hormon glukokortikoid (Tsigos & Chrousos, 2002; Joëls et al., 2007). Stres kronik menurunkan ekspresi reseptor glukokortikoid (Kitraki et al., 1999) sehingga menghambat umpan balik negatif dari aksis HPA (Pérez-Nievaz et al., 2007). 2. Glukokortikoid menghambat uptake glutamat dan glukosa oleh sel saraf dan glia, serta menurunkan kadarATP selama stres akut (Laron, 1999; Sapolsky,
110
1999). Stres kronik meningkatkan pelepasan glutamat di otak, serta ekspresi reseptor NMDA dan AMPA pada membran postsinaps (Musazziet al., 2010). Hal ini menyebabkan pelepasan blokade ion Mg2+dari reseptor NMDA, dan memicu mobilisasi ion Ca2+ dalam jumlah banyak menuju sitosol (Popoli et al., 2013). Selain itu, stres kronik menurunkan aktivitas antioksidan endogen, dan meningkatkan produksi ROS (Şahin & Gümüşlü, 2004). Hal tersebut menyebabkanoksidasi lipid dan protein yang ditandaioleh peningkatan kadar MDA dan protein karbonil (Şahin & Gümüşlü, 2007). 3. Cerebellum sangat rentan terhadap stres karena memiliki banyak reseptor glukokortikoid (Pavlik & Burescova cit. Biran et al., 2012).Stres kronik dapatmenurunkanekspresi mRNAreseptor glukokortikoid pada lapisan sel granular dan sel Purkinje cerebellum (Kitraki et al., 1999). Selain itu, glukokortikoid menyebabkan DCD, dan akumulasi ion Ca2+ pada matriks mitokondria yang dapat memicu apoptosis sel granular cerebellum (Castilho et al., 1999). 4. Pada cerebellum, BDNF berperan dalam pertumbuhan neurit, maturasi, diferensiasi dan kelangsungan hidup sel granular (Gao et al., 1995). BDNF melindungi sel granular cerebellum dari apoptosis dengan cara menghambat pemotongan dan aktivitas enzim caspase-3 (Klöker et al., 2000). Stres kronik menurunkan ekspresi protein BDNF dan CREB terfosforilasi yang sangat diperlukan dalam transkripsi gen BDNF (Suri & Vaidya, 2013). 5. Centella asiaticamemiliki efek neuroprotektif terhadap stres oksidatif dengan cara menurunkan kadar kortikosteron plasma dan radikal bebas intraseluler
111
(Subathra et al., 2005), mencegah agregasi β-amiloid (Soumyanath et al., 2012), serta meningkatkan ekspresi protein BNDF, antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-xL dan neurotransmiter monoamin di otak (Xu et al., 2013). Centella asiatica
dapat
melewati
sawar
darah-otak
denganmenurunkan
permeabilitasmembran (Krishnamurthy et al., 2009).
V.3.4 Cara Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan eksperimental sederhana atau posttest only control group design(Pratiknya, 2011). Subjek penelitian yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus),galur Sprague Dawley,jantan, umur 2 bulan, berat badan 100150 gram, sebanyak 20 ekor tikus diperoleh dari Unit Pemeliharaan HewanPercobaan (UPHP) Universitas Gadjah Mada. Subjek penelitian dibagi menjadi 4 kelompok secara random, yaitu kelompok perlakuan (KP1, KP2 dan KP3) dan kelompok stres (KS) masing-masing sebanyak 5 ekor tikus. Tikus diadaptasikan dengan lingkungan di Kandang Hewan Coba Bagian Anatomi, Embriologi dan Antropologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Madaselama 7 hari.Perlakuan hewan cobadibagi menjadi 4 kelompok masingmasing selama 28 hari. Perlakuan dimulai sejak hari pertama dengan memberikan ekstrak etanol daun pegagan pada KP1, KP2 dan KP3 masing-masing dengan dosis 150, 300 dan 600 mg/kgbb/hari, dan memberikan aquades pada KS per oral denganmenggunakan sonde.
112
Perlakuan stres listrik diberikan 30 menit setelah pemberian ekstrak etanol daun pegagan pada KP1, KP2 dan KP3, dan pemberian aquades pada KS. Pada tahap ini, hewan coba berupa tikus putih dimasukkan ke dalam aparatus plexiglass shock box berukuran 50 x 25 x 25 cm3yang dialiri listrik sebesar 50 V/ 0,8 mA secara teratur, yaitu setiap 15 detik diberikan aliran listrik selama 5 detik atau 3 kali per menit5 detik per pemberian stres, dengan total perlakuan 10 menit per hari, selama 28 hari.Tikus diawasi penuh selama perlakuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.Selama pemberian perlakuan, berat badan tikus ditimbang pada hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28. Tikus dikorbankan dengan cara dekapitasi untuk mendapatkan jaringan segar dengan menggunakan prosedur dekapitasi tanpa anestesi dari IACUC. Tikus dipindahkan dari kandang hewan coba menuju tempat dekapitasi, bagian kepala diletakkan pada permukaan yang rata dan bersih, lalu dibiarkan hingga tenang. Setelah kepala berada pada posisi yang tepat, pemotongan dilakukan dengan lembut dan cepat menggunakan pisau atau alat guillotine yang tajam. Setelah tulang calvaria cranii dibuka, jaringan otak meliputi hemispherium cerebri, cerebellum dan batang otak diambil dengan hati-hati, lalu diletakkan pada cawan petri. Cerebellum dipisahkan dari hemispherium cerebri dan batang otak secara manual, dan langsung disimpan pada suhu -80oC di Laboratorium Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Rangkaian proses preparasi jaringan otak dilakukan pada cawan petri dalam suasana dingin. Ekstraksi protein dan pemeriksaan kadar BDNF pada jaringan cerebellum dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas
113
Gadjah Mada. Ekstraksi protein dilakukan dengan menggunakan larutan ekstraksiprotein PRO-PREPTM (Intron Biotechnology; Cat. No. 17081). Prosedur ekstraksi protein dari jaringan cerebellum, antara lain:jaringan cerebellum sebanyak ±20 mg dihancurkan, dan dihomogenasikan dengan larutan ekstraksi protein PRO-PREPTM sebanyak 600 µL;lisat jaringan cerebellum diinkubasi pada suhu -20oC selama 30 menit; lisat disentrifugasi 12.000 rpm pada suhu 4oC selama 10 menit, kemudian supernatan dipisahkan dari pellet, dan disimpan pada suhu -80oC. Pemeriksaan kadar BDNF pada jaringan cerebellum dilakukan dengan metode ELISA menggunakan rat BDNF ELISA kit (Boster Immunoleader; Cat. No. EK0308). Larutan sampel dan standard sebanyak 0,1 ml ditambahkan ke dalam sumuran-sumuran yang dilapisi dengan anti-rat BDNF antibody, kemudiandiinkubasi pada suhu 37oC selama 90 menit.Setelah cairan dibuang, piringan dikeringkan, dan ditambahkan biotinylated anti-rat BDNF antibody sebanyak 0,1 ml, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 60 menit. Piringan dicuci dengan TBS/PBS 0,01 M sebanyak 3 kali, kemudian dikeringkan. Larutan ABC sebanyak 0,1 ml ditambahkan ke dalam sumuran, lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Piringan dicuci dengan TBS/PBS 0,01M sebanyak 5 kali, lalu dikeringkan. TMB color developing agent sebanyak 90 µL ditambahkan ke dalam sumuran, dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 25-30 menit hingga terlihat bayangan berwarna biru pada empat larutan standard dengan konsentrasi tertinggi. TMB stop solution sebanyak 0,1 ml ditambahkan ke dalam sumuran hingga warna berubah seketika menjadi kuning. Optical density (O.D.) absorbansi
114
dibaca pada panjang gelombang 450 nm dengan microplate reader paling lama 30 menit setelah penambahan TMB stop solution.Kurva konsentrasi standard terhadap O.D.450diberi tanda sehingga konsentrasi BDNF pada sampel dapat diukur dengan menggunakan kurva standard tersebut. Pengecatan imunohistokimia jaringan cerebellum dilakukan dengan antibodi anti-BDNF.Potongan jaringan dalam blok parafin dipotong pada bidang koronal dengan ketebalan 4 µm, dimana tiap jaringan diambil 6 lembar potongan preparat dengan jarak 100 µm. Preparat yang telah difiksasi pada gelas objek diwarnai dengan antibodi-anti BDNF (abcam®; Cat. No. ab80436). Proses awal pengecatan adalah jaringan dideparafinisasi dengan larutan xylol, lalu dilanjutkan dengan rehidrasi dalam larutan alkohol konsentrasi bertingkat, yaitu alkohol 100% hingga 70%. Peroksidase endogen pada jaringan diblok dengan larutan H2O2 0,3% dalam metanol, kemudian dilakukan heat-induced antigen retrievel (HIAR) dalam larutan citrate buffer pH 6,0. Preparat didinginkan pada suhu ruang selama 30 menit, lalu dicuci dengan larutan PBS pH 7,4. Pada tahap selanjutnya, prosedur pengecatan dilakukan dengan Starr Trek HRP Universal Detection Kit (Biocare Medical®; Cat. No.STUHRP700 H, L10). Protein pada jaringan diblok dengan larutan background sniper, lalu diinkubasi dengan larutan antibodi primer antiBDNF dengan pengenceran 1:100 pada suhu 4oC selama satu malam (overnight). Pada hari berikutnya, jaringan diinkubasi dengan antibodi sekunder trekkie universal link, laludicuci dengan larutan PBS pH 7,4. Jaringan diinkubasi dengan streptavidin yang telah dilabel oleh enzim horseradish peroxidase (HRP), yaitu trek avidin-HRP, laludicuci dengan larutan PBS pH 7,4. Jaringan diinkubasi
115
dengan substrat 3,3’-diaminobenzidine (DAB), yaitu betazoid DAB chromogen, kemudiandiwarnai dengan larutan counter-staining hematoxyllin Meyer. Setelah pengecatan selesai, preparat didehidrasi dengan larutan alkohol konsentrasi bertingkat, yaitu alkohol 50% hingga 100%, lalu direndam dengan larutan xylol. Preparat direkatkan pada gelas objek dengan canada balsam, lalu ditutup dengan gelas penutup (cover glass). Setelah kering, preparat histologis dilihat dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 400 kali.
V.3.5 Hasil Penelitian dan Kesimpulan V.3.5.1 Karakteristik hewan coba.Jumlah tikus yang dapat menyelesaikan penelitian hingga akhir adalah sebanyak 20 ekor tikus, meliputi KS sebanyak 5 ekor, KP1 sebanyak 5 ekor, KP2 sebanyak 5 ekor, dan KP3 sebanyak 5 ekor. Berdasarkan data berat badan sebelum perlakuan dan setelah perlakuan diketahui keempat kelompok mengalami peningkatan berat badan. Terdapat perbedaan yang bermakna antara berat badan sebelum perlakuan dan setelah perlakuan pada KS yang diberikan aquades, serta KP1, KP2 dan KP3 yang masing-masing diberikan ekstrak etanol daun pegagan (C. asiatica (L.). Urb.) dengan dosis 150, 300 dan 600 mg/kgbb/hari yang diikuti dengan perlakuan stres listrik kronik (p < 0,05).Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat pengaruh paparan stres listrik kronik terhadap peningkatan berat badan tikus. Stres, baik akut maupun kronik, mempengaruhi perilaku makan (Maniam & Morris, 2012). Penelitian pada hewan umumnya menunjukkan bahwa stres dapat menurunkan nafsu makan, kecuali bila diberikan akses terhadap makanan
116
enak (palatable food)selama periode stres. Fenomena bidirectional hubungan stres terhadap perilaku makan dipengaruhi oleh intensitas dan jenis stres, serta komposisi bahan gizi yang terkandung dalam makanan terutama pada makanan berkalori tinggi (Torres & Nawson, 2007). Beberapa penelitian pada tikus membuktikan bahwa stres kronik ringan meningkatkan berat badan dengan cara memicu polifagia, dimana hal tersebut diduga akibat peningkatan kebutuhan energi dan asupan makanan berkalori tinggi selama periode stres (Bazhan & Zelena, 2013). Stres kronik juga dapat memicu polidipsia pada mencit (Goto et al., 2014).Peningkatan kadar kortikosteron pascastres kronikmeningkatkan nafsu makan selama fase penyembuhan stres (Torres & Nawson, 2007; Maniam & Morris, 2012). Berdasarkan data jumlah feses tikus(faecal pellet)diketahui bahwa keempat kelompok mengalami defekasi selama durasi perlakuan stres listrik kronik.Kelompok
dengan
jumlah
fesespaling
banyak
adalah
KP2
(5,8±1,08pellet),sedangkan kelompok dengan jumlah feses paling sedikit adalah KS (4,32±0,77 pellet).Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat pengaruh paparan stres listrik kronik terhadap fisiologis saluran cerna terutama refleks defekasi. Stres kronik memicu hiperresponsif mukosa colon. Hal tersebut diduga akibat peningkatan pelepasan serotonin (5-HT) dari sel-sel enterochromaffin (EC) pada mukosa colon yang diinduksi oleh stres kronik. Pemberian 5-HT terbukti memicu refleks perisitaltik dan defekasi dengan cara mengaktifkan reseptor 5HT4/5-HT1p, sedangkan pemberian antagonis reseptor 5-HT4 (SB-207266) justru
117
menghambat efek tersebut (Sanger et al., 2008).Meskipun mekanisme pelepasan 5-HT oleh sel EC belum diketahui dengan pasti, proyeksi eferen neuron-neuron noradrenergik pada sel EC disertai pelepasan noradrenalin sebagai respon stres diduga juga ikut terlibat. CRH diyakini berperan penting dalam motilitas, transit dan ekskresi feses. Hal tersebut juga melibatkan aktivitas reseptor CRH dan jaras eferen nervus vagus (Taché & Bonaz, 2007). Pemberian CRH eksogen secara intraserebrovaskular dan paparan stres restraint kronik dapat meningkatkan jumlah feses tikus, sedangkan pemberian antagonis CRH (α-Helical) dan 5-HT3 (ramosentron dan azasentron) justru menghambat efek tersebut (Miyata et al., 1999).Hal tersebut membuktikan bahwa interaksi CRH dan reseptornya pada susunan saraf pusat memperantarai perubahan fisiologis saluran cerna terutama yang melibatkan pelepasan 5-HT oleh sel EC maupun neuron-neuron serotonergik pada colon. V.3.5.2 Kadar brain-derived neurotrophic factor (BDNF).Berdasarkan data kadar BDNF pada jaringan cerebellum setelah perlakuandiketahui bahwa rerata konsentrasi protein BDNF (pg/mL) pada KS, KP1, KP2 dan KP3berturutturut adalah 1.217,10±301,40, 771,46±241,45, 757,05±268,29, 627,00±246,02. Uji one way ANOVA menunjukkanperbedaan bermakna konsentrasi protein BDNF
antar
kelompok
(p<
0,05).
Pada
hasil
analisis
uji
post-hoc
LSDdiketahuibahwa terdapat perbedaan bermakna konsentrasi protein BDNF antara KS yang diberikan aquades dengan KP1, KP2 dan KP3 yang masingmasing diberikan ekstrak etanol daun pegagandengan dosis 150, 300 dan 600 mg/kgbb/hari selama 28 hari yang diikuti dengan perlakuan stres listrik kronik (p
118
< 0,05).Tidak ada perbedaan bermakna pada konsentrasi protein BDNF antara KP1, KP2 dan KP3 (p > 0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa paparan stres listrik kronik pada tikus sebesar 50 V/0,8 mA selama 28 hari diduga meningkatkan kadar BDNF di cerebellum.Penelitian yang dilakukan oleh Miki et al. (2014) menyebutkan bahwa paparan stres kronik dengan metode maternal deprivation (MD) selama 3 jam/hari pada tikus neonatus postnatal hari ke-10 hingga hari ke-15 meningkatkan ekspresi mRNA dan protein BDNF serta reseptor TrkB di cerebellum.Hal yang berbeda disampaikan oleh Heaton et al. (2004) yang menyebutkan bahwa stres oksidatif pada tikus yang diinduksi oleh etanol sebanyak 400, 800 dan 1.600 mg/dl justru menurunkan kadar BDNF pada kultur sel granular cerebellum. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan perbedaan hasil penelitian ini. Yang pertama, tidak adanya pengaruh atau justru peningkatan kadar BDNF di cerebellum pascastres kronik mungkin disebabkan oleh umur, galur dan jenis kelamin tikus. Hal tersebut telah terbukti meningkatkan derajat kerentanan cerebellum terhadap stres oksidatif.Menurut Kumar et al. (2013) sel-sel granular cerebellum tikus neonatus usia postnatal hari ke-4 hingga hari ke-9 paling rentan mengalami stres oksidatif.Paparan stres usia dini (early life stress), galur dan jenis kelamin tikusmemberikan pengaruh jangka panjang terhadap perubahan ekspresi neurotropin di otak terutama BDNF. Yang kedua, berkaitan dengan pemilihan jenis, intensitas dan durasi stres. Penelitian yang dilakukan oleh Shi et al. (2010) menyebutkan bahwa paparan stres ringan akut dengan metode forced swim stress pada tikus meningkatkan
119
ekspresi mRNA dan protein BDNF di hippocampus, tetapi paparan stres ringan kronik selama 21 hari justru sebaliknya.Hal tersebut mungkin disebabkan oleh perubahan aktivitasglukokortikoid dan reseptornya di otak yang diinduksi oleh stres dengan modalitas yang berbeda-beda (Kitraki et al., 1999; Ray et al., 2011). Aktivitas hormon glukokortikoid di otak sangat dipengaruhi oleh kadar dan jumlah reseptor, serta banyaknya molekul co-activator atau co-repressor yang terlibat.Menurut de Kloet et al. (2005) pada fase penyembuhan pascastres terjadi penurunan kadar hormon glukokortikoid, dan perubahan aktivitas reseptor, baik reseptor mineralokortikoid (RM) maupun reseptor glukokortikoid (RG). Aktivasi RM akan mempertahankan struktur, eksitabilitas dan stabilitas sinaps, sedangkan RG justru menghambataktivitas seluler.Ikatan hormon glukokortikoid dengan reseptornya memodulasi ekspresi berbagai gen target, seperti gen BDNF dan reseptor TrkB dengan cara berikatan pada RM/RG responsive elements dari gengen tersebut (Bennett & Lagopoulos, 2014). Yang ketiga, peningkatan kadar BDNF di cerebellum diduga merupakan sebuah respon adaptasi protektif otak terhadap kerusakan struktur dan fungsi yang disebabkan oleh paparan stres listrik kronik. Stres, baik fisik maupun psikologis, menghambat neurogenesismeliputi proliferasi, diferensiasi dan kelangsungan hidup sel saraf (Joёls et al., 2008). BDNF diyakini memegang peranan penting dalam proliferasi, diferensiasi dan proteksisel saraf (Numakawa et al., 2011), serta regulasi fungsi sinaps dan sinaptogenesis pada susunan saraf pusat dan tepi (Yamada & Nabeshima, 2003).
120
Sebagai neuroprotektor, BDNF telah terbukti dapat menghambat apoptosis sel-sel saraf yang diinduksi oleh stres dengan cara meningkatkan ekspresi protein antiapoptosis Bcl-2 dan inhibitor caspase, sekaligus menghambat ekspresi protein proapoptosis Bax dan Bad (Chen et al, 2013).Ekspresi BDNF di cerebellum cukup banyak terutama pada sel-sel granular cerebellum (Schwartz et al., 1997). Selain itu, BDNF juga terbukti meningkatkan aktivitas enzim antioksidan, dan berperan penting dalam perbaikan DNA (Yang et al., 2013). BDNF juga terlibat dalam homeostasis energi (Marosi & Mattson, 2014). Hormon glukokortikoid terbukti menurunkan uptake glukosa oleh sel saraf dan glia (Laron, 1999). Ikatan BDNF dan reseptor TrkB dapat meningkatkan ekspresi GLUT 3 dan Na+-dependent amino acid transporter yang berperan penting dalam transport glukosa dan sintesis protein (Burkhalter et al., 2003). Peranan BDNF dalam pertumbuhan neurit, sinaptogenesis dan antiapoptosis diduga mendasari terjadinya peningkatan kadar BDNF di cerebellum pascastres listrik kronik. Kemungkinan lain yang dapat menjelaskan peningkatan kadar BDNF di cerebellum pascastres listrik kronik adalah peranan sel makrofag pada cedera sel. Menurut Dagnino-Subiabre et al. (2006) sel makrofag akan meningkatkan sintesis BDNF sebagai respon protektif terhadap kerusakan sel. Penelitian yang dilakukan oleh Batchelor et al. (1999) menyebutkan bahwa sel makrofag dan mikroglia yang teraktivasi segera setelah cedera sel mampu meningkatkan ekspresi mRNA BDNF dan glial-derived neurotrophic factor (GDNF) pada lapisan striatum. Hal tersebut mungkin diperlukan oleh neuron-neuron dopaminergik dalam pertumbuhan neurit (sprouting) setelah cedera sel.
121
Pada penelitian ini, pemberian ekstrak etanol daun pegagan pada tikus putih dengan dosis 150, 300 dan 600 mg/kgbb/hari selama 28 hari yang diikuti dengan perlakuan stres listrik kronik menurunkan kadar BDNF di cerebellum. Tidak dijumpai pengaruh perbedaan dosis terhadap kadar BDNF di cerebellum pascastres listrik kronik. Hal tersebut berbeda dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sari et al. (2014) yang menyebutkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun pegagan pada tikus putih dengan dosis 150, 300 dan 600 mg/kgbb/hari selama 28 hari, dan diikuti dengan perlakuan stres listrik kronik justru dapat meningkatkan kadar BDNF di hippocampus. Centella asiatica berkhasiat sebagai neuroprotektor terhadap kerusakan sel yang disebabkan oleh stres oksidatif. Hal tersebut diperantarai oleh zat kimia aktif yang terkandung pada C. asiatica, antara lain saponin triterpenoid pentasiklik dan fenol (Seevaratnam et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Subathra et al. (2005) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak cair C. asiatica pada tikus dengan dosis 300 mg/kgbb/hari selama 60 harimenurunkan peroksidasi lipid dan protein karbonil, sekaligus meningkatkan aktivitas antioksidan enzimatis, seperti GST, SOD dan CAT di cortex, hypothalamus, striatum, hippocampus dan cerebellum. Menurut Sari et al. (2014) pemberian ekstrak etanol daun pegagan pada tikus terutama dengan dosis 600 mg/kgbb/hari selama 28 hari menurunkan kadar NO serum pascastres listrik kronik. Centella asiatica terbukti berkhasiat sebagai antiapoptosis. Penelitian yang dilakukan oleh Omar et al. (2011) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak etanol C. asiatica sebanyak 1-50 µg/mL pada kultur sel neuroblastoma (SH-SY5Y) yang
122
diinduksi oleh buthionine sulfoximine(BSO) dapat menurunkan aktivitas caspase9. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh inhibisi protein proapotosis p53, Bad dan Bax, atau justru peningkatan ekspresi protein antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-xL. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Uvarajan et al. (2013) yang menyebutkan bahwa pemberian asiaticoside dengan dosis 50 mg/kgbb/hari selama 21 hari pada tikus yang diinduksi oleh 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine(MPTP) meningkatkan ekspresi protein Bcl-2, serta menurunkan ekspresi protein Bax di striatum dan mecencephalon. Pada penelitian ini, pemberian ekstrak etanol daunC. asiaticadiduga telah meningkatkan aktivitas enzim antioksidan, dan mencegah apoptosis sel saraf pada cerebellum yang diinduksi oleh stres listrik kronik. Penurunan kadar BDNF di cerebellum mungkin merupakan suatu proses “down regulation”oleh sel-sel saraf dan glia yang merespon aktivitas neuroprotektif ekstrak etanol daun C. asiatica. Berdasarkan hasil penelitian ini diduga efek neuroprotektif ekstrak etanol daun C. asiatica di cerebellum tidak diperantarai oleh BDNF melainkan faktor neurotropin lain, seperti neural growth factor (NGF), basic fibroblast growthfactor (bFGF), GDNF, NT-3 maupun NT-4/5. Famili neurotropin tersebut terbukti mengaktifkan kaskade sinyal intraseluler yang sama dengan BDNF, seperti PLC, PI3K dan ERK (Murray & Holmes, 2011), serta terlibat langsung dalam proliferasi, diferensiasi dan kelangsungan hidup sel saraf (Cai et al., 2014). Hasil penelitian yang serupa pernah disampaikan oleh Numakawa et al. (2006) yang menyebutkan bahwa efek neuroprotektif α-tocopherol (vitamin E) terhadap stres oksidatif yang diperantarai oleh sinyal intraseluler PI3K dan MAPK
123
tidak melibatkan aktivitas reseptor TrkB maupun ekspresi protein BDNF. Pada penelitian tersebut, pemberian α-tocopherol diduga meningkatkan ekspresi protein antiapoptosis Bcl-2 dengan cara memodulasi sinyal intraseluler yang diperantarai oleh faktor neurotropin, seperti bFGF. Penurunan kadar BDNF di cerebellum pada penelitian ini mungkin juga dipengaruhi oleh regulasi ekspresi reseptor TrkB. Kemungkinan lainnya yang dapat menjelaskan penurunan kadar BDNF di cerebellum adalah efek ansiolitik (Wijeweera et al., 2006), antidepresan (Liang et al., 2008) dan antistres (Hemamalini & Rao, 2013) pada C. asiatica. Hal tersebut mempengaruhi aktivitas hormon glukokortikoid dan respon adaptasi cerebellum terhadap stres kronik. Derivat utama saponin triterpenoid pentasiklik, yaitu asiatic acid dan asiaticoside diduga memperantarai efek tersebut. Meskipun hingga saat ini peranan cerebellum dalam aspek emosional masih berupa spekulasi, beberapa penelitian menyakini terdapat hubungan resiprokal cerebellum dengan aksis HPA terutama yang melibatkan vermis cerebelli (Schutter & Honk, 2005; Schmahmann et al., 2007).
V.3.6 Kesimpulan Pemberian ekstrak etanol daun pegagan (C. asiatica (L.). Urb. ) dapat menurunkan kadar BDNF di cerebellum pada tikus putih (Sprague Dawley) pascastres listrik kronik. Ekspresi BDNF di cerebellum dijumpai pada lamina molekuler, sel Purkinje dan granular.