BAB V KESIMPULAN Politisasi identitas Betawi dilakukan oleh Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas, yaitu dengan penggunaan pakaian yang dibarengi dengan bahasa Betawi. Pemakaian simbol identitas yang dilakukan oleh pasangan bukan tanpa maksud dan tujuan. Mereka menghipnotis pemilih dengan cara yang kasat mata agar mereka mendapat citra sebagai orang asli Jakarta, bukan pendatang seperti pasangan-pasangan lain yang menjadi rival mereka. Selain itu, mereka juga ingin mendekatkan dengan pemilih mereka secara fisik yang tujuannya agar terjalin kedekatan hubungan psikologis antara kandidat ke pemilih yang terlebih dahulu dipetakan berdasarkan basis identitas personal. Kedua, Penggunaan isu-isu putra daerah dan asli Jakarta maupun Betawi ke publik, dengan mengumbar isu sebagai orang asli Jakarta dan Betawi dengan menyinggung kandidat lain yang merupakan pendatang. Mereka ingin mendapatkan simpatik dari warga Jakarta dengan mengumbar isu bahwa yang pantas untuk mendapatkan jabatan gubernur Jakarta merupakan orang asli Jakarta yang notebene mengetahui persis seluk-beluk Jakarta. Hal ini pula yang membuat kandidat menunjukkan border dirinya dengan pasangan lain yang merupakan pendatang.
89
Ketiga, Memobilisasi organisasi etnis yaitu melalui Bamus Betawi. Hal inilah yang menjadi temuan yang penting bagi penelitian. Mereka tidak hanya sebatas pemakaian simbol dan atribut identitas, tetapi telah memasuki tahap penggalangan massa Betawi secara real. Kandidat bersama Bamus Betawi membuat organ taktis selama kampanye, yaitu FBNR. Secara khusus, mereka merekrut massa Betawi dengan cara yang smooth agar massa Betawi merasakan kedekatan dengan pasangan dan timbul solidaritas untuk memilih pasangan sesama Betawi. Mereka secara underground merekrut massa Betawi melalui ormas-ormas Betawi yang berada dibawah koordinasi Bamus Betawi dengan melakukan pelatihan relawan-relawan yang berasal dari setiap ormas Betawi. Pada nyatanya, kandidat pun ikut terjun langsung dalam proses pembuatan hingga pelaksanaan FBNR ini. Adapun alasan mereka menggunakan identitas dalam proses kampanye karena mereka merasa bahwa mereka lah orang asli Jakarta dan Betawi sehingga mereka pantas untuk memakai hal tersebut sehingga menunjukkannya kepada publik. Ditambah dengan keadaan yang membuat mereka bersatu dan dicap sebagai pasangan asli Betawi membuat mereka semakin lekat dengan identitas Betawi. Foke-Nara memang tidak memusatkan sasaran pemilih mereka pada masyarakat Betawi saja, tetapi mereka tidak mau kehilangan suara Betawi. Tidak bisa dipungkiri mereka juga mengharapkan dukungan Betawi karena faktor satu etnis. Hal ini yang membuat mereka memperhitungkan suara Betawi dan sekaligus menjadi alasan mengapa mereka menonjolkan ragam identitas Betawi ke permukaan selama kampanye.
90
Penelitian ini dibingkai oleh teori politisasi identitas. Mengapa demikian? Karena politisasi identitas dapat diartikan sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, dalam hal ini berbasiskan etnis. Pemakaian simbol dan jaringan identitas yang dipakai oleh Foke-Nara menjelaskan bahwa identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit yang menekankan pada aspek kekuasaan, yaitu perebutan predikat gubernur Jakarta. Jadi, terdapat penguatan dan pengentalan identitas dalam suatu wilayah hanya untuk kepentingan elit memperoleh kekuasaan. Cuplikan ini menggambarkan bahwa identitas bergeser ke ranah politik karena telah mengalami perubahan kepentingan dan tujuan. Identitas yang mereka miliki dipakai demi pencitraan. Pencitraan kerap kaitannya dengan simbol-simbol dan wacana politik dari elit yang berkuasa. Wacana yang dimaksudkan disini sebagai rangkaian bahasa, teks, citra, maupun gambar. Konstruksi yang dibangun jika direproduksi terus-menerus maka akan membawa implikasi positif sehingga menimbulkan simpati bahkan empati dari masyarakat (Sy, 2010: 3). Konstruksi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh Foke-Nara sebagai strategi kampanye mereka. Penelitian ini menjelaskan bahwa identitas menjadi alat komoditi baru bagi elite politik. Arah politik identitas menjadi lebih jelas setelah perubahan sistem dari sentralisasi ke desentralisasi. Daerah yang mempunyai otoritas penuh dapat memilih kepala daerahnya sendiri. Dari sini, arena dan aktor yang bermain kian berubah ke ranah yang lebih lokal sehingga identitas menjadi topik yang
91
paling digemari. Hal ini dapat dilihat dari track record politisasi identitas Betawi di Jakarta. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, politisasi identitas Betawi kerap dipolitisir oleh elite-elite pemerintah dan elite Betawi itu sendiri. Arena dan aktor yang bermain berada di level atas. Beranjak ke era Reformasi, politisasi identitas bermain di ranah yang lebih bawah. Dapat dilhat terdapat perubahan pola politisasi identitas yang terjadi seiring perubahan sistem pemerintahan. Refleksi dari penelitian ini bahwa pemakaian identitas tidak hanya dilakukan di daerah-daerah yang primordialismenya masih kuat tetapi ternyata justru di Jakarta yang demografi penduduknya lebih heterogen. Hal ini terkait dalam pemetaan massa yang dilakukan oleh kandidat berdasarkan perilaku politik pemilih. Mayoritas masyarakat Indonesia termasuk Jakarta partisipasi politiknya masih dipengaruhi oleh etnis dan agama (via jurnas.com). Didalam penelitian LSI menyebutkan bahwa perilaku politik di Jakarta belum sekular karena adanya kekuatan etnik yang berimbang, yaitu Betawi dan Jawa. Hal ini juga menghambat munculnya perilaku politik berdasarkan gagasan dan program. Keseimbangan etnik menjadi kekuatan sosial yang mempengaruhi perilaku politik pemilih, terutama ketika elite partai gagal mengawinkan dalam satu pasang calon yang mewakili dua etnik ini (LSI, 2012). Pada akhirnya, penelitian ini berusaha untuk membaca adanya praktekpraktek politik dari pemakaian atribut maupun simbol identitas di pilkada. Biasanya kajian mengenai identitas berkaitan dengan pengaruh terhadap perilaku pemilih dan juga bagaimana sebuah identitas dibangun dan dipertahankan. Tetapi kajian ini melihat bahwasanya identitas sebagai salah satu strategi untuk menarik 92
massa. Peneliti berharap kajian ini dapat menjadi lokus baru dalam melihat sisi identitas. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dalam segala hal penulisan, baik dari alur cerita, hingga paragraf yang tersusun. Tetapi penulis berharap penelitian ini dapat membuka wawasan bagi pembaca mengenai politik identitas sehingga dapat menjadi referensi mengenai studi politik identitas.
93