363
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk maka ditarik tiga kesimpulan, yakni: 1. Pasca amandemen konstitusi kekuasaan presiden terdiri dari tiga pola sebagaimana yang diamantkan oleh UUD NRI Tahun 1945, yakni; kekuasaan mandiri, kekuasaan dengan konfirmasi, dan kekuasaan dengan konsultasi. Dalam bahasa yang lebih normatif, yaitu; pertama, kekuasaan presiden yang sifat mandiri; kedua, kekuasaan presiden yang memerlukan persetujuan dari cabang kekuasaan lainnya; dan ketiga, kekuasaan presiden dengan adanya pertimbangan dari cabang kekuasaan lainnya. Cabang kekuasaan yang secara langsung mempengaruhi kekuasaan presiden dengan konfirmasi dan dengan konsultasi adalah DPR dan Mahkamah Agung. Pengaruh DPR dan Mahkamah Agung pada kekuasaan presiden pasca amandemen konstitusi merupakan bentuk penegasan prinsip checks and balances yang dianut oleh UUD NRI Tahun 1945 yang juga merupakan spirit dari perubahan konstitusi. Sayangnya, dari penelitian ini diketemukan reduksi kekuasaan presiden yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan
364
konstitusional kepada presiden secara langsung. Terjadi pengaburan makna dalam penjabaran pada tingkat peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI Tahun 1945. 2. Setelah perubahan UUD Tahun 1945 hubungan presiden dengan lembaga negara tidak lagi bersifat vertikal-hierarkis dengan prinsip supermasi MPR sebagai jelmaan dari kedualatan rakyat melainkan bersifat horisontal-fungsional dengan penekanan prinsip checks and balances sehingga tidak terjadinya dominasi atas lembaga negara terhadap lembaga negara lainnya. Adanya prinsip checks and balances dalam pola hubungan presiden dengan cabang kekuasaan lainnya merupakan salah satu perwujudan dari purifikasi sistem pemerintahan presidensial yang dilakukan pasca amandemen konstitusi. Presiden yang memiliki legitimasi yang kuat akibat dipilih secara langsung oleh rakyat tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Sebagai imbangannya, DPR yang merupakan salah satu lembaga perwakilan rakyat tidak dapat dibekukan dan atau dibubarkan oleh presiden. Kekurangannya, lembaga perwakilan rakyat tidak hanya direpresentasikan oleh DPR semata, terdapat pula DPD dan MPR yang juga merupakan bagian lembaga perwakilan rakyat. Namun konstitusi pasca amandemen hanya mengatur ketentuan bahwa presiden tidak dapat membekukkan dan atau membubarkan DPR, tidak termasuk DPD dan MPR.
365
Hal lain yang timbul pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Konstitusi yang menghendaki adanya pola hubungan yang sifatnya horisontalfungsional dengan prinsip checks and balances dimentalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga pola hubungan yang terbangun antar lembaga negara adalah vertikal-hierarkis. Prinsip checks and balances hanya terikat pada lembaga negara utama semata yang merupakan penerjemahan dari pemisahan kekuasaan yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang kekuasaan eksekutif, dan cabang kekuasaan yudikatif. 3. Pasca perubahan UUD Tahun 1945, terlihat bahwa setidaknya ada dua implikasi yang timbul atas penggunaan kekuasaan presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pertama, lebih melihat implikasi pelaksanaan kekuasaan presiden secara yuridis dan kedua, melihat implikasi politik atas pelaksaanan kekuasaan presiden. Pada implikasi yuridis, yakni dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait lembaga negara utama yang diikat oleh prinsip checks and balances membawa implikasi pada pelaksanaan kekuasaan presiden sehingga yang terbangun adalah bahwa kedudukan presiden sebagai representasi lembaga kepresidenan mempunyai kedudukan lebih utama derajatnya ketimbang lembaga negara lain yang tidak termasuk kategori lembaga negara utama. Bukan hanya itu, implikasi lainnya berhubungan dengan soal pengawasan
oleh
cabang
kekuasaan
lainnya
terhadap
366
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan oleh presiden. Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan menjadi penting untuk diawasi sekaligus merupakan penerapan secara implementatif prinsip checks and balances antar cabang kekuasaan agar presiden tidak berubah menjadi diktator. Di samping itu, presiden sebagai representasi dari lembaga kepresidenan dalam pola hubungannya dengan lembaga negara lain, seharusnya dibangun atas pola yang baik. Pola yang tidak tertata secara baik dapat berimplikasi pada sengketa kewenangan antar lembaga negara. Di saat yang bersamaan pula, implikasi yang dapat ditimbulkan adalah atas berbagai peraturan yang diprodusir oleh presiden. Peraturan yang dikeluarkan oleh presiden seharusnya dapat diuji baik secara materiil ataupun formal, namun terdapat peraturan yang
dikeluarkan
oleh
presiden
yang
tidak
mendapatkan
mendapatkan ruang untuk diuji secara materiil. Masih
pada
persoalan
implikasi
yuridis,
perihal
kebiasaan
ketatanegaraan dalam kaitannya dengan hubungan internasional yang menghendaki pelaksanaannya dilakukan oleh presiden. Kebiasaan tersebut membawa implikasi terkait dengan perjanjian internasional yang dilakukan presiden tanpa melibatkan DPR dalam bentuk konfirmasi. Konstitusi menegaskan bahwa presiden dalam melakukan perjanjian internasional meminta persetujuan DPR. Lazimnya, DPR hanya dilibatkan dalam proses ratifikasi bahkan terdapat perjanjian
367
internasional yang tidak melibatkan DPR, dan hanya ditetapkan dengan
Keputusan
Presiden.
Hal
tersebut
berdampak
pada
pemberlakuan atas perjanjian internasional yang dilakukan oleh presiden dan mengikat para pihak yang melakukan perjanjian tersebut sekaligus mengikat seluruh unsur kohesi dari negara. Perihal implikasi politik, yang harus diperhatikan adalah adanya kepentingan politik terkait proses seleksi dan pemilihan pejabat publik yang dilakukan oleh presiden dengan melibatkan cabang kekuasaan lainnya. Bahkan terjadi pengaburan makna konstitusi yang memerintahkan presiden untuk mendapatkan persetujuan dari cabang kekuasaan lainnya dalam proses seleksi dan pemilihan pejabat publik. Selain itu, implikasi atas adanya dual legitimacy dan mekanisme checks and balances memicu ketegangan antara presiden dan DPR. Presiden yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan diawasi oleh DPR
yang memiliki
kewenangan konstitusional
untuk
melakukan fungsi pengawasaan, hal ini tentunya akan berdampak luas bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. B. Saran 1. Kebutuhan terbesar adalah menyiapkan langkah besar untuk melakukan penataan kembali kekuasaan presiden dalam konstitusi dengan mengamandemen konstitusi. Secara tegas konstitusi telah menarik bandul kekuasaan presiden ke arah parlemen sehingga akan berdampak pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
368
2. Sesegera mungkin, menata pola hubungan presiden dengan cabang kekuasaan lainnya agar tidak terciptanya kasta antar hubungan lembaga negara yang dibangun dalam amandemen konstitusi, sehingga dapat menjadi pangkal tolak dalam penyelenggaraan pemerintahan.