BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan KRA Golo memiliki tujuh ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain oleh anak, yaitu halaman Balai RW, selokan, lapangan, halaman SD, lahan kosong, dan dua ruas jalan (Gg. Sido Luhur dan Gg. Bakung). Alokasi ruang publik yang digunakan untuk bermain tersebut belum memadai dimana hanya sebesar 2,87% dari luas total wilayah KRA Golo. Setidaknya suatu wilayah memiliki minimal 5% dari luas total wilayahnya yang dialokasikan sebagai tempat bermain anak (Kak Seto dalam bulletin.penataanruang.net, 2014). Ketujuh ruang publik yang digunakan untuk bermain tersebut merupakan external public space (selokan dan kedua ruas jalan) dan external and internal “quasi” public space (halaman Balai RW, halaman SD, lapangan, dan lahan kosong). Pengukuran kriteria ruang untuk bermain pada penelitian ini hanya mengakomodir pengukuran kriteria keamanan, kenyamanan, kelengkapan fasilitas bermain, dan aksesibilitas sesuai dengan teori Moore (dalam Dewi, 2012), namun tidak menutup kemungkinan terdapat kriteria lain untuk mengukur ruang yang layak atau sesuai sebagai tempat bermain anak. Berdasarkan hasil pengukuran kriteria keamanan, ruang publik yang memiliki kriteria aman adalah kedua ruas jalan. Ruang publik dengan kriteria cukup aman adalah halaman Balai RW, sedangkan ruang publik dengan kriteria tidak aman adalah selokan, lapangan, halaman SD, dan lahan kosong. Berdasarkan pengukuran kriteria kenyamanan, ruang publik yang memiliki kriteria nyaman adalah halaman Balai RW dan halaman SD. Ruang publik dengan kriteria tidak nyaman adalah selokan, lapangan, lahan kosong, dan kedua ruas jalan. Berdasarkan hasil pengukuran kriteria kelengkapan fasilitas bermain, ruang publik yang memiliki kriteria lengkap adalah halaman Balai RW dan halaman SD. Ruang publik dengan kriteria
cukup lengkap adalah lahan kosong, sedangkan ruang publik dengan kriteria tidak lengkap adalah selokan, lapangan, dan kedua ruas jalan. Berdasarkan hasil pengukuran kriteria aksesibilitas, ruang publik yang memiliki kriteria aksesibel adalah halaman Balai RW dan kedua ruas jalan. Ruang publik dengan kriteria tidak aksesibel adalah selokan, lapangan, halaman SD, dan lahan kosong. Keempat kriteria di atas ternyata tidak mempengaruhi anak dalam memilih tempat bermain. Anak cenderung memilih lokasi bermain yang mereka anggap terdapat banyak teman dan ramai. Suatu ruang yang digunakan untuk bermain dapat mempengaruhi perilaku bermain anak, oleh karena itu dilakukan pengukuran perilaku bermain anak di ketujuh lokasi ruang publik yang digunakan untuk bermain. Pengukuran perilaku bermain anak pada penelitian ini hanya mengakomodir indikator kondisi sosial anak dengan teman-temannya, perbedaan gender dalam peluang bermain, jenis permainan, dan aktivitas yang mengurangi kegiatan bermain anak sesuai dengan teori Hurlock (dalam Setiawan, 2006), namun tidak menutup kemungkinan terdapat indikator lain untuk mengukur perilaku bermain anak dalam memanfaatkan sebuah ruang. Anak melakukan aktivitas bermain di ketujuh lokasi ruang publik secara berkelompok, walaupun terdapat anak yang bermain secara individual di satu lokasi yaitu di selokan. Umumnya tidak terdapat perbedaan gender dalam peluang bermain di ketujuh lokasi ruang publik, namun di selokan terdapat kecenderungan bermain menurut kelompok gender. Selain itu anak laki-laki cenderung lebih banyak melakukan interaksi langsung dengan ruang terbuka, hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang ditemui dimana 23 dari 35 responden adalah anak laki-laki. Sedikitnya terdapat 42 jenis permainan yang dilakukan oleh anak di ketujuh ruang publik dan anak tidak memiliki aktivitas lain yang dapat mengurangi aktivitas bermain mereka. Berdasarkan
pengukuran
perilaku
bermain
tersebut
dapat
menggambarkan bahwa anak memiliki ketertarikan atau preferensi spasial
yang berbeda-beda terhadap suatu ruang untuk bermain. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak yang bermain secara berkelompok pada masing-masing ruang publik yang berbeda-beda. Sebagai contoh anak yang bermain di halaman Balai RW berkelompok 2-8 anak, sedangkan di lapangan dan halaman SD anak bermain secara berkelompok paling banyak yaitu 7-12 anak dan 5-15 anak. Banyaknya anak yang bermain dalam sebuah kelompok juga menggambarkan peran ruang tersebut sebagai tempat bersosialisasi. Halaman SD sebagai kesatuan dari fungsi pendidikan dan lapangan yang memiliki luas terbesar menjadi lokasi paling baik untuk bersosialisasi bagi anak karena banyaknya jumlah anak yang bermain secara berkelompok di kedua lokasi ini. Aktivitas bermain anak di ketujuh ruang publik ini secara tidak langsung membentuk fenomena spasial. Ruang publik yang digunakan untuk bermain cenderung mengelompok di bagian utara wilayah Kampung Golo, yaitu di wilayah permukiman dengan kepadatan tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa anak memanfaatkan ruang publik yang ada di sekitar rumahnya untuk bermain karena sebagian besar anak tersebut bermukim di permukiman kepadatan tinggi dimana jaraknya <200m dari ruang publik yang mengelompok tersebut. Aktivitas bermain anak juga membentuk suatu pola penggunaan ruang publik, yaitu ruang publik yang digunakan setiap hari (halaman Balai RW, selokan, lapangan, dan kedua ruas jalan), hari sekolah (halaman SD), akhir pekan (lahan kosong), dan pada musim tertentu (kuburan). Komponen pembentuk ruang yang menjadi analisis struktur ruang dalam penelitian ini adalah luasan ruang publik yang digunakan untuk bermain, peralatan bermain yang tersedia, dan banyak sedikitnya permainan yang dilakukan. Ketujuh ruang publik yang digunakan untuk bermain memiliki luas yang berbeda-beda. Lapangan merupakan ruang publik terluas dengan luas sebesar ±5.500݉ଶ , sedangkan selokan memiliki luas terkecil sebesar ±140݉ଶ . Halaman Balai RW memiliki peralatan bermain paling banyak yang terdiri dari dua buah ayunan, engklek, engrang, bakiak, dan
karung. Halaman SD memiliki sepasang ring basket dan kotak pasir, lahan kosong hanya memiliki sepasang gawang sepak bola yang terbuat dari bambu. Selokan, lapangan, dan kedua ruas jalan tidak memiliki fasilitas bermain apapun. Peralatan bermain yang tersedia di ruang publik tidak mempengaruhi banyak sedikitnya permainan yang dilakukan oleh anak. Seperti yang terjadi di ruas jalan dan lapangan yang tidak dilengkapi dengan peralatan bermain, di kedua lokasi ini anak dapat melakukan 15 dan 14 jenis permainan. Hal ini menggambarkan bahwa aktivitas bermain di luar ruang dapat mendorong anak bermain aktif dan kreatif walaupun lokasi bermain tidak dilengkapi dengan fasilitas bermain. Proses terbentuknya ruang publik dibedakan menjadi dua, ada yang dengan sengaja diciptakan oleh pihak tertentu untuk diperuntukan khusus sebagai tempat bermain atau disebut dengan ruang publik harfiah (literal public space) dan ada pula ruang publik yang “diciptakan” sendiri oleh anak sebagai tempat bermain walaupun fungsi utama dari ruang tersebut bukan sebagai tempat bermain atau disebut dengan ruang publik metafora (metaphorical public space). Ruang publik yang termasuk dalam ruang publik harfiah adalah Halaman Balai RW, lapangan, dan halaman SD, sedangkan yang termasuk dalam ruang publik metafora adalah selokan, lahan kosong, dan kedua ruas jalan. Anak cenderung lebih sering bermain di lokasi ruang publik metafora atau ruang yang mereka ciptakan sendiri untuk aktivitas bermain. Hal ini dapat dilihat dari peringkat ruang publik favorit berdasarkan observasi peneliti yang dilakukan dengan menghitung jumlah penggunaan masingmasing ruang publik untuk bermain dalam 9 hari observasi. Kedua ruas jalan yang termasuk dalam ruang publik metafora merupakan ruang publik yang paling sering digunakan untuk bermain yakni digunakan sebanyak 9 hari. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan responden terjadi beberapa interaksi antar ruang publik yang terdapat di KRA Golo. Interaksi
terjadi antara halaman Balai RW dengan ruas jalan II dan pos kamling yang berada di sebelah barat halaman Balai RW. Interaksi ruang selanjutnya terjadi antara halaman SD, ruas jalan I, selokan, dan lapangan. Interaksi juga terjadi antara ruas jalan I dengan pos kamling yang terdapat di ruas jalan tersebut. Interaksi antar ruang publik ini terjadi karena anak cenderung bermain dinamis dengan berpindah-pindah dari ruang publik satu ke ruang publik lain sehingga terjadi interaksi antar ruang publik yang saling berdekatan atau mengelompok seperti penjelasan di atas. Selain interaksi antar ruang publik, interaksi juga terjadi antar Kampung Golo dengan kampung lain. Interaksi terjadi antara Kampung Golo dengan Kampung Ngelak Lor, Kampung Tuntungan, Kampung Batikan Baru, Kampung Celeban, dan Kampung Mergangsang Lor. Terjadinya interaksi antar kampung tidak terlepas dari adanya pengaruh faktor penarik dan pendorong. Keberadaan SD Golo menjadi faktor penarik, dengan fungsinya sebagai pendidikan maka mengakibatkan cakupan anak yang masuk ke dalam lingkungan tersebut menjadi lebih besar. Kemudian yang menjadi faktor pendorong terjadinya interaksi adalah tidak tersedianya ruang publik yang dibutuhkan oleh anak di kampung asal mereka. Seperti yang ditemukan di lahan kosong, anak yang bermain di lokasi ini mengaku bahwa di kampung mereka tidak terdapat lahan yang cukup untuk bermain sepak bola sehingga mereka bermain di lahan kosong yang ada di KRA Golo. Beberapa ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain di dalamnya terdapat konflik fungsional dimana ruang tersebut memiliki fungsi ganda. Konflik fungsional terdapat di lapangan dimana digunakan sebagai tempat pembakaran sampah, lahan kosong digunakan warga untuk menggembala kambing, kedua ruas jalan yang dilintasi oleh kendaraan dan pada ruas jalan I juga digunakan sebagai tempat parkir kendaraan dan becak. Terdapatnya fungsi ganda pada keempat lokasi ruang publik ini sebenarnya dapat mengganggu aktivitas bermain, namun hal ini tidak mengurangi ketertarikan atau menghambat anak untuk dapat bermain di ruang tersebut.
5.2. Saran 1. Keamanan merupakan hal sangat vital dalam tempat bermain sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan keamanan di ruang publik yang digunakan untuk bermain oleh anak. Upaya yang dapat dilakukan adalah membersihkan semak-semak yang terdapat di lapangan agar tidak menjadi sarang binatang, menutup atau memindahkan cicin sumur yang terdapat di lahan kosong, memindahkan posisi kabel tower ke tempat yang lebih tinggi, membersihkan selokan secara rutin dan berkala, dan mempercepat proses pembangunan perpustakaan di halaman Balai RW dan halaman SD. 2. Kenyamanan ruang publik dapat ditingkatkan dengan melengkapi ruang publik yang memungkinkan dengan tempat duduk seperti di halaman Balai RW, dan lapangan. 3. Perawatan fasilitas bermain yang terdapat di beberapa ruang publik harus ditingkatkan agar kondisinya tetap terjaga dengan baik. 4. Aksesibilitas menuju lokasi bermain dapat ditingkatkan dengan membuat jalur khusus bagi pejalan kaki sehingga anak tidak mengalami kesulitan untuk menjangkau lokasi bermain. 5. Membuat rambu-rambu (plangisasi) untuk pengendara kendaraan motor agar memperlambat laju kendaraan dan berhati-hati saat melintas karena banyak anak yang bermain di kedua ruas jalan dan Jalan Golo yang berdampingan dengan selokan. 6. Terdapat beberapa hal yang belum dikaji dalam penelitian ini sehingga dapat dikaji dalam penelitian selanjutnya. Saran penulis untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut: •
Penelitian selanjutnya dapat mengidentifikasi kualitas ruang bermain yang belum tercakup dalam penelitian ini.
•
Penelitian selanjutnya dapat mengaplikasikan kajian spasial dalam cakupan wilayah yang lebih luas dengan menekankan pada satu atau beberapa analisis spasial saja.
•
Penelitian selanjutnya juga dapat menerapkan metode dan tujuan yang sama pada lokasi yang berbeda atau Kampung Ramah Anak lainnya yang terdapat di Kota Yogyakarta maupun di daerah lain sehingga dapat menjadi perbandingan.
•
Penelitian selanjutnya dapat mengkaji apakah terdapat hubungan antara ketersediaan tempat bermain di luar ruang dengan perilaku bermain anak di era digital ini.