54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
•
Kesimpulan
Analisa regresi CAPM terhadap saham-saham dalam indeks LQ45 memberikan hasil negatif karena tidak didukung oleh variabel independennya.
•
Penerapan model CAPM untuk menentukan rate of return dari saham-saham di dalam LQ45 tidak dapat dilakukan.
•
Uji hipotesis untuk menentukan hubungan y-intercept dengan koefisien risk free asset. a. Untuk periode pertama : H0 : δ0 ≤ 0,000296 H1 : δ0 > 0,000296 δ0 adalah koefisien untuk suku bunga SBI Uji hipotesis pada periode pertama: Hasil t-statistik untuk koefisien tersebut diperoleh nilai -0,607. Nilai tersebut dibandingkan dengan t-tabel untuk tingkat signifikan sebesar 5% dan degree of freedom 44. Nilai t-tabel yang didapatkan dari table t-distribution adalah 1,684. Karena nilai t-statistik lebih kecil dibandingkan dengan nilai t-tabel, maka kesimpulannya tidak ada bukti yang cukup untuk menolak H0. Ini berarti di dalam uji model tersebut, nilai suku bunga SBI adalah di bawah 0,000296. Kesimpulannya tingkat suku
54
55
bunga SBI tidak mendukung model CAPM dalam penghitungan nilai imbal hasil sebuah emiten. b. Untuk periode kedua : H0 : δ0 ≤ 0,000234 H1 : δ0 > 0,000234 δ0 adalah koefisien untuk suku bunga SBI Uji hipotesis periode kedua: t-statistik menunjukkan nilai -0,659. Nilai tersebut dibandingkan dengan t-tabel untuk tingkat signifikan sebesar 5% dan degree of freedom 44. Nilai t-tabel yang didapatkan dari table t-distribution adalah 1,684. Karena nilai t-statistik lebih kecil dibandingkan dengan nilai ttabel, maka kesimpulannya tidak ada bukti yang cukup untuk menolak H0. Ini berarti di dalam uji model tersebut, nilai suku bunga SBI adalah di bawah 0,000234. Kesimpulannya tingkat suku bunga SBI tidak mendukung model CAPM dalam penghitungan nilai imbal hasil sebuah emiten. c. Untuk periode ketiga : H0 : δ0 ≤ 0,000202 H1 : δ0 > 0,000202 δ0 adalah koefisien untuk suku bunga SBI Uji hipotesis periode ketiga : t-statistik diperoleh sebesar -2,850. Nilai tersebut dibandingkan dengan t-tabel untuk tingkat signifikan sebesar 5% dan degree of freedom 44. Nilai t-tabel yang didapatkan dari table t-distribution adalah 1,684. Karena nilai t-statistik jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai t-tabel, maka kesimpulannya tidak ada bukti yang cukup untuk menolak
56
H0. Ini berarti di dalam uji model tersebut, nilai suku bunga SBI di bawah 0,000202. Kesimpulannya tingkat suku bunga SBI tidak mendukung model CAPM dalam penghitungan nilai imbal hasil sebuah emiten. d. Untuk periode keempat : H0 : δ0 ≤ 0,000202 H1 : δ0 > 0,000202 δ0 adalah koefisien untuk suku bunga SBI Uji hipotesis periode keempat: t-statistik sebesar 1,911. Nilai tersebut dibandingkan dengan t-tabel untuk tingkat signifikan sebesar 5% dan degree of freedom 44. Nilai t-tabel yang didapatkan dari table t-distribution adalah 1,684. Karena nilai t-statistik lebih besar dibandingkan dengan nilai t-tabel, maka kesimpulannya ada bukti yang cukup untuk menolak H0. Ini berarti di dalam uji model tersebut, nilai suku bunga SBI lebih besar daripada 0,000202. Kesimpulannya tingkat suku bunga SBI mendukung model CAPM dalam penghitungan nilai imbal hasil sebuah emiten. •
Uji hipotesis untuk mengetahui apakah risk premium signifikan di dalam model CAPM dengan metode sebagai berikut: a. Untuk periode pertama : H0 : δ1 ≤ 0,002154 H1 : δ1 > 0,002154 δ1 adalah koefisien untuk beta, atau risk premium Uji hipotesis untuk periode pertama: Nilai t-statistik untuk risk premium adalah 0, 984, atau lebih rendah jika dibandingkan dengan t-tabel yaitu 1,684.
57
Oleh karena itu, tidak ada bukti yang cukup untuk menolak hipotesa nul. Dengan demikian, pada periode pertama tersebut, penulis menemukan bahwa penggunaan CAPM untuk mengukur tingkat imbal hasil saham-saham yang terdaftar di LQ45 tidak didukung dari sisi risk premiumnya. b. Untuk periode kedua : H0 : δ1 ≤ 0,003223 H1 : δ1 > 0,003223 δ1 adalah koefisien untuk beta, atau risk premium Uji hipotesis risk premium untuk periode kedua: Nilai t-statistik untuk risk premium adalah 0.704, atau lebih rendah jika dibandingkan dengan t-tabel yaitu 1,684. Oleh karena itu, tidak ada bukti yang cukup untuk menolak hipotesa nul.
Dengan demikian, pada periode kedua, penulis kembali
menemukan bahwa penggunaan CAPM untuk mengukur tingkat imbal hasil saham-saham yang terdaftar di LQ45 tidak didukung dari sisi risk premiumnya seperti pada uji hipotesis di periode pertama. c. Untuk periode ketiga : H0 : δ1 ≤ -0,000021 H1 : δ1 > -0,000021 δ1 adalah koefisien untuk beta, atau risk premium Uji hipotesis risk premium untuk periode ketiga: Nilai t-statistik untuk risk premium adalah 2,411, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan t-tabel yaitu 1,684. Oleh karena itu, ada bukti yang cukup untuk menolak hipotesa
58
nul kami. Pada periode ketiga ini model CAPM didukung oleh tingkat risk premiumnya. d. Untuk periode keempat : H0 : δ1 ≤ 0,002541 H1 : δ1 > 0,002541 δ1 adalah koefisien untuk beta, atau risk premium Uji hipotesis untuk periode keempat: Nilai t-statistik untuk risk premium adalah -0,970, atau lebih rendah jika dibandingkan dengan t-tabel yaitu 1,684. Oleh karena itu, tidak ada bukti yang cukup untuk menolak hipotesa nul kami. Artinya pada periode keempat, metode CAPM tidak didukung oleh tingkat risk premiumnya.
•
Perhitungan Required Rate of Return Karena dalam uji hipotesis untuk variabel-variabel dalam CAPM tidak saling mendukung, maka model CAPM untuk menentukan required rate of return saham-saham di dalam indeks LQ45 tidak efektif.
•
History vs Futures Kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data statistk tidak dapat langsung diterapkan pada data masa depan tanpa melihat kondisi masa depan. Begitu pula halnya dengan penerapan CAPM pada tesis ini yang berdasarkan data historis. Tesis ini menggunakan data-data (SBI, return harian dari saham-saham dalam LQ45, dan JSX) yang mana pada periode pengumpulan data tersebut terjadi tren
59
penurunan SBI dan gejolak politik dalam negeri. Untuk membuat kesimpulan pada masa yang akan datang, perlu dilihat apakah ada perbedaan-perbedaan yang signifikan antara keadaan yang akan datang dengan keadaan pada masa penulisan tesis (antara lain : kenaikan tingkat SBI).
5.2
•
Saran
Investor perlu mencermati β (resiko saham) untuk menghitung hubungannya dengan return dari saham-saham tersebut. Karena dari kesimpulan kami menunjukkan bahwa β berhubungan significant dengan return walaupun tidak dapat digunakan pada model CAPM (Capital Asset Pricing Model) secara keseluruhan karena tidak didukung oleh risk-free assetnya.
•
Mungkin kita harus menggunakan β dengan metode pengukuran asset pricing yang lain.
•
Metode-metode yang lain antara lain APT (Arbitrage Pricing Theory),
•
Perhatikan situasi equilibrium sebagai salah satu asumsi penerapan model CAPM dapat efektif. Situasi equilibrium ini sangat penting karena jika dilihat dari negara lain, penggunaan CAPM secara mentah-mentah memang tidak dapat digunakan, harus dimodifikasi. Salah satu asumsi dapat diterapkannya model CAPM untuk menentukan required rate of return secara efektif, maka pasar harus dalam kondisi equilibrium, dimana
60
equilibrium pasar terjadi jika harga-harga dan aktiva berada di suatu tingkat ang tidak dapat memberikan insentif lagi untuk melakukan perdagangan spekulatif (Jones, 1995). Implikasi dari asumsi equilibrium ini adalah semua investor akan memilih portofolio pasar, yaitu portofolio yang berisi dengan semua aktiva yang ada di pasar.
Portofolio pasar merupakan portofolio aktiva beresiko yang
optimal, yaitu yang berada di efficient frontier menurut Markowitz. Namun sayangnya kondisi equilibrium ini sangat sulit terjadi pada suatu pasar yang masih berkembang seperti Indonesia, oleh karena itu hal ini juga berakibat bahwa penerapan model CAPM untuk pasar yang masih berkembang ini menjadi sulit tercapai. Menjadi tidak aneh karena di pasar yang masih berkembang sering terjadi bias yang disebabkan oleh perdagangan yang tidak sinkron (nonsynchronous trading). Salah satu penyeban perdagangan tidak sinkron adalah transaksi perdagangan yang jarang terjadi atau disebut dengan pasar yang tipis (thin market), dan pasar yang tipis merupakan ciri dari pasar modal yang sedang berkembang seperti Indonesia.