BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Sesuai dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka lembaga-lembaga publik harus berupaya untuk mengimplementasikan keterbukaan informasi publik sesegera mungkin. Hal ini terkait dengan upaya pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang baik, transparan, dan akuntabel (good governance). Untuk memaksimalkan proses implementasi, maka setiap lembaga publik harus memiliki departemen khusus yang kemudian concern di dalam hal tersebut. Salah satu departemen yang kemudian relevan terhadap wacana keterbukaan informasi publik ini adalah departemen kehumasan. Hal yang kemudian tumbuh menjadi rasa ingin tahu peneliti adalah mengenai implementasi keterbukaan informasi publik pada bank sentral, Bank Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa Bank Indonesia memiliki wewenang dan tugas yang berkaitan dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran di Indonesia. Maka dari itu menjadi menarik untuk mengetahui lebih mendalam mengenai bagaimana peran humas dari Bank Indonesia dalam proses implementasi keterbukaan informasi publik di dalamnya. Setelah melakukan penelitian, terdapat hal menarik yang diperoleh oleh peneliti, dimana ternyata Bank Indonesia menjadi salah satu lembaga independen yang cukup antusias menyambut munculnya wacana keterbukaan informasi publik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa upaya penerbitan peraturan yang muncul sebelum UU KIP tersebut diberlakukan. Beberapa peraturan tersebut ialah: Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia tentang Kewajiban Menjaga Informasi Rahasia (PDG KMIR), Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia tentang Manajemen Informasi Bank Indonesia (PDG MIBI), dan Surat Edaran Penatalaksanaan (Governance) Informasi Bank Indonesia (SE Information Governance).
Pada
dasarnya
ketiga
peraturan
tersebut
dibuat
untuk
mengklasifikasikan jenis informasi, menata sistem layanan informasi, dan juga mengoordinasikan satuan kerja di Bank Indonesia agar aware dengan isu ini. 150
Dalam proses implementasi UU KIP, Bank Indonesia kemudian menugaskan Departemen Komunikasi (DKom) atau humas Bank Indonesia sebagai departemen yang akan bertanggung jawab terkait hal ini. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa DKom merupakan departemen yang menangani masalah kehumasan dan dirasa memiliki koor kerja yang relevan untuk melaksanakan implementasi keterbukaan informasi publik. Dalam upaya mewujudkan keterbukaan informasi publik yang dikehendaki oleh Bank Indonesia, maka humas memiliki kewenangan untuk menentukan media apa saja yang akan digunakan. Salah satu media yang kemudian dibentuk untuk mengambil peran utama dalam proses layanan informasi publik adalah BICARA (Bank Indonesia CAll and InteRAction). BICARA merupakan contact center yang memiliki konsep sebagai single point of contact bagi pelayanan informasi publik di Bank Indonesia. Semua permohonan informasi yang masuk harus diarahkan ke dalam satu pintu, dicatat, dan dijawab dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Melalui tugas BICARA sebagai single point of contact, diharapkan dapat mendukung upaya Bank Indonesia untuk mengintegrasikan seluruh layanan informasi publik dengan efektif dan sistematis. Pada proses implementasi keterbukaan informasi publik di BICARA, humas memiliki andil yang signifikan. Hampir pada setiap langkah yang diambil, humas memiliki peran dan keterlibatan. Untuk dapat memetakan peran humas tersebut maka penelitian ini didasarkan pada teori implementasi kebijakan oleh George C. Edwards III dan juga prinsip-prinsip dasar pelaksanaan UU KIP. Dari kedua sumber tersebut maka diambil tujuh indikator utama, yakni komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi, kecepatan menjawab, ketepatan waktu menjawab, biaya, dan cara atau prosedur yang digunakan. Peneliti kemudian menemukan beberapa fakta menarik terkait dengan ketujuh indikator tersebut. Untuk indikator pertama yakni komunikasi, peneliti melihat bahwa transmisi dan konsistensi pesan yang disampaikan oleh BICARA sudah cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari hampir nihilnya kasus sengketa informasi di Bank Indonesia. Namun begitu untuk poin pencapaian sasaran bisnis,
151
BICARA masih perlu meningkatkan kinerjanya sehingga dapat mencapai targettarget yang sudah ditetapkan. Indikator selanjutnya adalah mengenai sumber daya dan struktur birokrasi. BICARA mengalami masalah dalam hal keterbatasan SDM sehingga perlu segera dilakukan recruitment. Dengan begitu tidak akan banyak abandoned calls yang muncul dan memengaruhi poin pencapaian sasaran bisnis. Sedangkan mengenai struktur birokrasi, BICARA telah mampu membuat struktur birokrasi dan juga Standard Operating Procedure (SOP) yang matang dan siap diaplikasikan di dalam unit tersebut. Untuk indikator-indikator selanjutnya adalah terkait dengan prinsip-prinsip yang tertera dalam UU KIP. Indikator pertama adalah cepat, dimana BICARA memiliki standar dan indikator tersendiri mengenai batas kecepatan menjawab permohonan, yang disebut dengan First Call Resolution, Average Handle Time, dan batas waktu dering telepon. Sementara untuk indikator tepat waktu, BICARA dapat dikatakan sudah mengaplikasikannya dengan baik. Semenjak kemunculan BICARA, Bank Indonesia hampir tidak pernah lagi mengalami sengketa informasi dengan masyarakat karena persoalan pelanggaran batas waktu. Dua indikator terakhir yang diteliti adalah terkait dengan biaya dan alur yang digunakan. BICARA memberlakukan biaya lokal bagi pemohon informasi yang ingin menelepon ke line 500131, dan tidak dikenakan biaya bagi yang ingin datang langsung ke visitor center BICARA. Sedangkan untuk alur permohonan, masih terdapat proses yang sedikit janggal dan blur. Di dalam alur tersebbut masih terdapat tumpang tindih tanggung jawab pada sistem leveling yang digunakan, antara humas BI, BICARA, dan PPID. Oleh karena itu, humas BI perlu melakukan pengajian ulang terhadap alur yang sudah ditetapkan tersebut proses permohonan informasi dapat dilayani dengan lebih baik. Dari beberapa indikator tersebut kemudian dilihat bagaimana kecenderungan peran dari humas Bank Indonesia, apakah lebih condong pada peran manajemen atau justru peran teknis. Peran manajemen sendiri terdiri dari the expert prescribers, the communication facilitators, dan juga sebagai the problem-solving
152
process facilitators sedangkan peran humas secara teknis adalah sebagai the communication technician. Setelah dilakukan penelitian dan analisis lebih lanjut ternyata hasilnya memperlihatkan bahwa humas Bank Indonesia dalam konteks implementasi pada BICARA, lebih berperan dalam ranah manajemen. Hal tersebut terkait dengan struktur humas dalam BICARA yang memang berada pada posisi kepala divisi hingga manajer. Sementara untuk bagian teknis langsung dikerjakan oleh agents yang telah dipilih melalui lembaga outsourcing yakni PT. Telexindo Bizmart. Humas memiliki peran dalam ranah manajemen seperti merumuskan dokumen panduan kunci untuk pelaksanaan instrumen-instrumen implementasi UU KIP di Bank Indonesia, merencanakan dan membuat Standard Operating Procedure (SOP) serta Struktur Organisasi BICARA, menjalin kerja sama dengan lembaga outsourcing, menentukan indikator pencapaian sasaran bisnis BICARA, dan lain sebagainya. Sementara beberapa peran humas dalam ranah teknis adalah: memberikan pelatihan dan knowledge sharing kepada agent BICARA dan membangun kerja sama antardivisi humas untuk mempromosikan BICARA serta alur permohonan informasinya melalui kanal-kanal komunikasi dan informasi yang ada di Bank Indonesia. Dalam proses implementasi UU KIP di BICARA ini tentu saja masih didapatkan beberapa hambatan yang dialami oleh humas. Salah satu hambatan yang ditemukan adalah terkait dengan software yang digunakan dalam BICARA. Saat ini program CRM yang digunakan belum sepenuhnya sempurna, karena sistem recording yang belum mapan. Selain itu program CISCO juga menjadi salah satu program yang sedang dalam tahap perkembangan lebih lanjut. Melihat perkembangan teknologi yang selalu bergerak dinamis maka para agents dituntut untuk selalu memperbaharui knowledge-nya. Secara keseluruhan keterlibatan humas dalam implementasi keterbukaan informasi publik di Bank Indonesia terutama pada BICARA memiliki porsi yang sangat besar. Mulai dari pembentukan BICARA hingga proses pelaksanaannya semua melibatkan campur tangan dari pihak humas. Namun satu hal yang perlu diperhatikan oleh humas adalah upaya untuk mempromosikan dan meningkatkan 153
awareness masyarakat akan contact center BICARA. Hal tersebut dapat dimulai dengan menjalin komunikasi dan strategi dengan kantor-kantor perwakilan Bank Indonesia di seluruh daerah. Karena sejauh ini jumlah permohonan informasi yang masuk masih dapat tergolong sedikit dan berasal dari daerah Jabodetabek saja. Maka perluasan publikasi dan peningkatan awareness masyarakat menjadi poin penting yang harus segera dilaksanakan oleh humas Bank Indonesia dalam upaya implementasi keterbukaan informasi publik ini.
B. Saran Selain beberapa poin kesimpulan di atas, akan dipaparkan pula mengenai beberapa saran dari perspektif peneliti mengenai peran humas dalam upaya implementasi keterbukaan informasi publik di Bank Indonesia, khususnya di contact center BICARA. Guna memaksimalkan upaya implementasi tersebut pertama-tama humas harus memikirkan ulang mengenai target pencapaian sasaran bisnis bagi BICARA. Seperti yang kita ketahui bahwa hingga saat ini target yang ditetapkan belum juga dapat tercapai dengan baik. Oleh karenanya humas harus mengaji ulang apakah target yang ditetapkan tersebut sudah sesuai. Apabila belum maka harus dilakukan revisi dan penetapan ulang mengenai sasaran bisnis tersebut. Namun apabila memang sudah sesuai, maka kemudian yang menjadi titik kajian adalah kinerja dari agents yang ada. Humas harus mendalami apa alasan di balik belum tercapainya sasaran bisnis tersebut dan menemukan cara yang tepat untuk meningkatkan kinerja agents agar dapat mencapai sasaran pencapaian bisnis yang dikehendaki. Selanjutnya humas juga harus concern untuk membahas mengenai perekrutan agents bagi BICARA. Saat ini jumlah agents di contact center ini masih sangat terbatas. Oleh karenanya sering muncul abandoned calls pada waktu-waktu tertentu. Hal ini tentu menjadi hambatan bagi upaya pelayanan informasi publik yang prima. Apalagi ke depannya BICARA bercita-cita untuk mengintegrasikan seluruh satuan kerja yang ada di Bank Indonesia. Jika hal ini akan dilakukan maka
154
perekrutan agents untuk ditempatkan di masing-masing satker adalah hal utama yang harus segera dilaksanakan. Selain meningkatkan jumlah SDM, humas juga harus segera menyediakan software yang saat ini sangat diperlukan oleh BICARA yakni sistem recording. Selama ini memang sistem CRM yang digunakan sudah bisa merekam namun tidak secara menyeluruh. BICARA membutuhkan sistem recording yang dapat menyimpan seluruh percakapan melalui line telepon dalam keseluruhan jam kerja yang ada. Rekaman tersebut nantinya dapat digukan sebagai evidence apabila terdapat sengketa dan juga dapat digunakan sebagai indikator assessment bagi agents oleh Quality Assurance. Saran yang berikutnya adalah mengenai perbaikan sistem levelling yang ada di BICARA. Bagi peneliti masih terdapat alur yang janggal dan kurang jelas pada level 2. Di dalam SOP memang tercantum bahwa level 2 terdiri dari Grup Humas, Team Leader, Supervisor, Quality Assurance, Business Analyst. Namun dari pihak humas juga menjelaskan bahwa level 2 termasuk PPID. Dimana PPID memiliki tugas untuk menjawab pertanyaan yang di luar batas kewenangan agents sebagai level 1. Peran PPID sendiri menjadi tidak jelas, karena terjadi tumpang tindih kewajiban yang terdapat di dalam titik ini. Selain itu juga terdapat sistem yang rumit, dimana level 2 diduduki oleh terlalu banyak posisi sehingga sistem eskalasi seolah-olah menjadi tidak sistematis. Dalam hal ini humas hendaknya mengaji ulang mengenai tugas dan tanggung jawab dari masing-masing bagian yang ada. Beberapa saran di atas diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak terkait agar dapat memperbaiki sistem layanan informasi publik melalui BICARA. Dengan begitu cita-cita Bank Indonesia untuk memiliki sistem layanan informasi yang terintegrasi, transparan, dan kredibel dapat terwujud dengan baik. Untuk penelitian
selanjutnya,
fokus
penelitian
dapat
diarahkan
pada
pelanggan/stakeholders, dalam mengetahui efektivitas implementasi keterbukaan informasi yang dilakukan oleh BICARA. Walau bagaimana pun contact center ini memang masih terhitung sangat dini. Namun begitu tentu tidak boleh menjadi halangan untuk selalu memberikan layanan informasi yang terbaik kepada masyarakat. 155