BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kabupaten Ngawi mempunyai sumber daya budaya berupa objek/situs cagar budaya yang cukup banyak dan beragam jenisnya. Dari semua objek/situs cagar budaya yang berada di Kabupaten Ngawi masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan dapat dijadikan sebagai potensi tersendiri bagi Kabupaten Ngawi terkait dengan rencana pengembangan kawasan budaya baik pengembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, pariwisata, dan dari segi ekonomis. Berdasarkan pada hasil analisa yang telah dilakukan, terdapat 4 (empat) macam tipologi kawasan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi. Tipologi tersebut digunakan untuk menentukan suatu kawasan cagar budaya yang dikelompokan berdasarkan pada Undang-Undang Cagar Budaya No. 10 Tahun 2011 mengenai cagar budaya, kondisi eksisting objek/ situs cagar budaya, dan kesamaan karakteristik yang terdapat pada masingmasing objek/situs cagar budaya. Adapun keempat tipologi kawasan yang telah terbentuk tersebut antara lain adalah: a. Tipologi kolonial, yang terdiri dari Kawasan Ngawi Purba serta Benteng Van Den Bosch, kemudian termasuk di dalamnya Makam Patih Pringgokusumo dan Makam Patih Ronggolono; b. Tipologi purbakala, yang terdiri dari situs Arca Banteng dan Museum Trinil; c. Tipologi tokoh nasional, yang terdiri dari Monumen Soerjo dan situs rumah peninggalan Dr. Radjiman Widyodiningrat. d. Non-tipologi, yang terdiri dari Pabrik Gula Soedhono, Pabrik Teh Jamus, Masjid Jami Baiturrahman, dan Pesanggrahan 223
Srigati. Dikarenakan kedudukannya yang lemah serta kurang berpotensi untuk dibentuk sebagai suatu kawasan. Pada tipologi kawasan kolonial, penetapan batas deliniasi kawasannya adalah sebagai berikut: a. Menyesuaikan dengan lokasi persebaran situs b. Bentuk aliran Sungai Bengawan Solo yang memisahkan kedua situs termasuk sempadan sungai yang kemudian disesuaikan dengan kondisi geografis kawasan c. Gerbang yang dibuat guna memperkuat citra kawasan kolonial pada Benteng Van Den Bosch sebagai focal point (sesuatu yang dapat menarik perhatian) d. Batas administratif kawasan sebagai berikut: Utara : Desa Ngawi Purba dan Desa Selopuro Timur : Desa Ngawi Purba Selatan : Kota Ngawi Barat : Desa Selopuro e. Luas kawasan ± 30 - 60 Ha f. Bentuk penggunaan lahan yang mendukung dalam kawasan berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik serta fungsi komersial yang diperuntukkan sebagai blok perdagangan dan jasa g. Permukiman yang termasuk dalam kawasan adalah permukiman yang berfungsi sebagai hunian, penginapan, dan usaha kecil seperti cinderamata h. Perumusan peraturan terkait dengan penetapan kawasan atau bangunan cagar budaya yang berarsitektural kolonial i. Kebiasaan masyarakat pada Desa Ngawi Purba yang dapat menjadi sebagai ciri khas adalah Upacara Jamasan Pusaka Ngawi serta melakukan ziarah pada makam leluhur yang dilakukan secara rutin setiap tahun ketika Hari Jadi Kota Ngawi Pada tipologi kawasan purbakala, penetapan batas deliniasi kawasannya adalah sebagai berikut: a. Menyesuaikan dengan lokasi persebaran situs
224
b. Daerah sempadan sungai yang termasuk dalam kawasan adalah sempadan Sungai Bengawan Solo sebagai lokasi perkiraan ditemukannya fosil c. Area lahan pertanian dan perkebunan tidak dimasukkan dalam kawasan, hanya sebagai pembatas di luar kawasan d. Pengenal kawasan dapat berupa gapura atau patung yang identik dengan zaman purbakala e. Batas administratif kawasan sebagai berikut : Utara : Desa Ngancar Timur : Desa Kalang Selatan : Desa Pelang Kidul Barat : Desa Kedunggalar dan Desa Wonokerto f. Luas kawasan ± 30 – 60 Ha g. Bentuk penggunaan lahan yang mendukung dalam kawasan berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik serta fungsi komersial yang diperuntukkan sebagai blok perdagangan dan jasa h. Permukiman yang termasuk dalam kawasan adalah permukiman yang berfungsi sebagai hunian dan usaha kecil seperti cinderamata atau produk kerajinan lokal i. Bangunan lain yang termasuk dalam kawasan adalah bangunan berupa fasilitas umum dan kantor pemerintahan j. Perumusan kebijakan terkait dengan penentuan situs atau benda cagar budaya yang digolongkan menjadi benda purbakala Pada tipologi kawasan purbakala, penetapan batas deliniasi kawasannya adalah sebagai berikut: a. Menyesuaikan dengan lokasi persebaran situs b. Area hutan jati yang berada di sekitar situs sebagian termasuk dalam kawasan, apabila diperkirakan memiliki keterkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampau c. Area lahan pertanian dan perkebunan tidak dimasukkan dalam kawasan, hanya sebagai pembatas di luar kawasan d. Pengenal kawasan dapat berupa gapura atau papan penanda yang disesuikan dengan kondisi bangunan situs agar tidak lebih menonjol e. Batas administratif kawasan sebagai berikut : 225
f. g.
h. i. j.
Utara : Desa Bangunrejo Lor dan Desa Karanganyar Timur : Desa Bangunrejo Kidul Selatan : Desa Kayutrejo dan Desa Jatigembol Barat : Desa Gendingan Luas kawasan ± 30 – 60 Ha Bentuk penggunaan lahan yang mendukung dalam kawasan berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik serta fungsi komersial yang diperuntukkan sebagai blok perdagangan dan jasa berupa usaha kecil pengrajin cinderamata maupun produk kerajinan lokal Permukiman yang termasuk dalam kawasan adalah permukiman yang berfungsi sebagai hunian Bangunan lain yang termasuk dalam kawasan adalah bangunan dengan fungsi fasilitas umum Kegiatan atau aktivitas yang diperbolehkan dalam kawasan adalah kegiatan upacara guna memperingati suatu peristiwa atau kegiatan yang dilakukan untuk menghormati jasa yang dilakukan oleh para tokoh di masa lampau
5.2 Saran Dari penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan adalah: a. Kabupaten Ngawi memiliki potensi sumber daya kebudayaan yang cukup banyak dan beragam jenisnya, baik kebudayaan berupa benda peninggalan sejarah maupun kebudayaan berupa kultur masyarakat yang unik. Oleh karena itu, potensi kebudayaan tersebut perlu dioptimalkan fungsinya dan dibuat arahan pengembangan agar memiliki nilai manfaat lebih baik bagi masyarakat maupun bagi Kabupaten Ngawi. b. Penentuan jenis tipologi kawasan cagar budaya yang telah dihasilkan dari penelitian ini, dapat dikembangkan sebagai bentuk arahan revitalisasi kawasan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi. Sehingga nantinya seluruh kawasan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi akan tetap 226
terlindungi dan terpelihara dengan baik serta keberadaannya selalu terjaga. c. Tipologi kawasan cagar budaya yang telah dihasilkan dari penelitian ini, dapat dikembangkan atau diarahkan sebagai suatu kawasan sesuai dengan potensi dan kekhasannya. Pada jenis tipologi kolonial dapat dikembangkan sebagai suatu kawasan pariwisata bersejarah sehingga selain mengenalkan potensi cagar budaya terkait juga dapat meningkatkan perekonomian lokal bagi Kabupaten Ngawi. Sedangkan, pada kedua tipologi kawasan cagar budaya yang lainnya yaitu tipologi purbakala dan tipologi tokoh nasional dapat diarahkan sebagai kawasan pariwisata yang berbasis edukatif. Sehingga nantinya nilai manfaat yang dihasilkan dari kawasan tersebut memiliki prinsip berkelanjutan. d. Dalam melakukan pengembangan kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi akan dapat berjalan dengan baik apabila melibatkan seluruh pihak, mulai dari pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Sehingga nantinya pengembangan kawasan dapat dilakukan secara maksimal. Selain itu, dengan melibatkan masyarakat, tentu saja secara tidak langsung akan turut menjaga dan melindungi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi. e. Rekomendasi untuk studi lanjutan, yaitu : Pelestarian Kawasan Cagar Budaya di Kabupaten Ngawi Berbasis Partisipasi Masyarakat Pengembangan Kawasan Cagar Budaya di Kabupaten Ngawi Berdasarkan Jenis Tipologi
227
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
228