BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan AsySyafi‟i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan perwalian nikah dari mulai dasar hukum, pandangan Abu Hanifah dan Asy-Syafi‟i, metode istimbath yang dipakai oleh keduanya, Agar uraian tersebut dapat dipahami dengan jelas dan singkat, maka berikut ini penulis kemukakan kesimpulannya ; 1. Kedudukan wali nikah bagi golongan Abu Hanifah yaitu bahwa perempuan dewasa,
gadis
maupun janda dapat
menikahkan dirinya
dan
anak
perempuannya. Salah satu dasarnya adalah al-Qur‟an surat al-Baqarah 230 yang artinya : “Kemudian apabila suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi bagi hingga ia menikah dengan suami yamg lain” Kata “nikah” adalah bentuk pelaksanaan pernikahan dari perempuan itu sendiri. Dan diantara hadis yang dijadikan dasar yakni yang artinya : “Janda itu lebih berhak dengan dirinya daripada walinya” (HR Al-Khamsah kecuali Al-Bukhari)
103
Adapun golongan Asy-Syafi‟i yang menganggap bahwa wali nikah adalah salah satu rukun nikah, maka salah satu dasarnya yaitu al-Qur‟an surat alBaqarah ayat 232 yang artinya : “Maka apabila telah sampai (habis) masa „iddah mereka, janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma‟ruf” Adanya peran “menghalangi” bagi wali menunjukkan adanya peran wali dalam suatu proses pernikahan. Sedangkan hadis yang dijadikan dasar diantaranya ialah yang artinya : “Tidak sah nikah kecuali ada wali” (HR Ahmad, Abu Dawud, Al-Turmuzi dan Ibnu Majah) 2. Metode istimbath dalam hukum perwalian nikah Asy-Syafi‟i mendasari pendapatnya dengan hadis riwayat Az-Zuhri dari „Aisyah sesungguhnya Nabi SAW bersabda yang artinya : “Perempuan siapa saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal” Pandangan Abu Hanifah hadis-hadis yang mempersyaratkan wali dalam pernikahan itu adalah tertentu pada anak kecil yang tidak sah baginya pentasarufan yang berkaitan dengan kaidah-kaidah agama secara umum. Maka sesungguhnya akad nikah seperti halnya jual beli, oleh karena itu jika seseorang yang akad jual belinya bisa diterima maka akad nikahnya pun bisa diterima. Apabila sesuatu bertentangan dengan kias ini maka harus ditakhses, dan ini adalah kaidah usul.
104
Berbeda dengan pendapat golongan Asy-Syafi‟i yang tidak mengqiyaskan akad nikah dengan jual beli, oleh karenanya akad nikah tidak dapat disamakan dengan akad (pentasarufan) jual beli Golongan Asy-Syafi‟i juga mendasarkan pada akad nikah yang dilaksanakan oleh Abu Bakar RA dalam menikahkan putrinya „Aisyah untuk Rasul, ia adalah anak perempuan kecil dan perawan. Maka dapat diketahui bahwa „illah (alasan) kewenangan wali adalah pada masalah “perawan”. Dan „illah ini berlaku pula pada perawan secara umum. Berbeda dengan janda yang telah mengetahuinya maka kewenangan wali tidak boleh mendahuluinya Perbedaan istimbath dengan qiyas ini terletak pada „illah “kecil” dan “perawan”. Maka pendapat Abu Hanifah : “wali tidak berwenang memaksa perawan dewasa”. Karena „illahnya “perawan”. Sedangkan golongan AsySyafi‟i : “wali berwenang memaksa perawan dewasa dan tidak berwenang janda sekalipun kecil” karena „illahnya adalah “kecil” Golongan Asy-Syafi‟i mendasari pendapatnya dengan ayat al-Qur‟an surat alBaqarah ayat 232 yang artinya : “Maka apabila telah sampai (habis) masa „iddah mereka, janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma‟ruf” Menurut pendapat Asy-Syafi‟i ( وجه الداللةsasaran pembicaraan) ayat ini adalah para wali. Golongan Abu Hanifah mengambil dasar al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 230 yang artinya : “Kemudian apabila suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi bagi hingga ia menikah dengan suami yamg lain”
105
Penunjukan kata nikah sasarannya adalah perempuan, hal ini mengandung pengertian bahwa pelaksanaan akad nikah dilaksanakan atas kewenangan dan keinginan perempuan itu sendiri. 3. Hasil dari pendapat keduanya a. Pendapat Asy-Syafi‟i yang memberi pemahaman bahwa wali adalah yang lebih tepat memilihkan calon suami bagi perempuan mauliyahnya daripada perempuan itu sendiri. Namun tidak berarti hak penuh untuk melangsungkan akad nikah, bahkan dapat dibatalkan pernikahannya dengan seorang suami (yang tidak mendapat persetujuannya) b. Wali nikah tidak disyaratkan rasyid karena sesungguhnya rasyid diperlukan untuk menghilangkan sifat kekurangan seperti fasik dan khiyanat dalam berbagai mu‟amalat sedangkan dalam perwalian nikah hanya sebatas untuk dapat memberikan pilihan bagi perempuan mauliyahnya dalam hal kafa‟ah dan mahar misil, yang mana apabila diterapkan tanpa ada keduanya akan berakibat buruk bagi mauliyahnya dan walinya. c. Dari pendapat keduanya dapat dikompromikan bahwa sesungguhnya pernikahan terdapat hak bersekutu antara perempuan dan walinya. Tidak diperkenankan salah satu dari keduanya berdiri sendiri dalam melaksanakan akad nikah tetapi persekutuan hak yaitu dengan pernyataan persetujuan keduanya. Seorang perempuan tidak dapat menolak (begitu saja) tanpa mempertimbangkan masukan walinya karena naluri keperempuannya yang menjadikan tidak patut berbuat sendirian. Demikian pula dengan seorang wali tidak boleh mengabaikan hak perempuan mauliyahnya. Adanya sebuah hadis yang meriwayatkan seorang gadis yang datang kepada Nabi SAW dan
106
mengatakan bahwa dirinya dinikahkan oleh ayahnya dengan anak pamannya dengan tujuan meningkatkan martabatnya, lalu Nabi menyuruh agar dipanggil ayahnya, namun kemudian gadis itu menerima apa yang diperbuat ayahnya, hanya ingin memberitahu bahwa dirinya mempunyai hak. d. Tidak adanya paksaan adalah hal yang sesuai dengan kaidah syari‟ah oleh karenanya bagi janda yang berakal lagi cakap, ayahnya tidak mengambil peran kecuali sedikit dan atas ridlonya. Bagaimana bisa diperbolehkan menyerahkan kemerdekaan dan harga dirinya kepada orang yang dia kehendaki tanpa ridanya dan menjadikannya terikat ? padahal sabda Rasul SAW :”Bertakwalah kepada Allah dalam masalah perempuan karena sesungguhnya mereka adalah separuh bagian bagimu” ( )اتقوا هللا فى النساء فانهن عوان عندكم 4. Perwalian nikah dalam perundang-undangan. a. Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Islam ayat (1) dirumuskan sebagai berikut : “Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yamg memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil, dan balig”. Dalam pelaksanaannya, akad nikah atau ijab dan qabul penyerahannya dilakukan oleh wali mempelai perempuan atau yang mewakilinya dan qabul (penerimaan) oleh mempelai laki-laki. Dalam Undang-undang perkawinan secara eksplisit tidak diatur tentang perwalian nikah, hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan : “Perkawinan yang dilangsungkan dimuka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa, dan suami atau istri“.
107
b. Pasal 28 menyatakan bahwa “Pernikahan bagi perempuan yang tidak mempunyai wali seperti yatim dan lainnya dalam ketentuan hakim ketua didaerah perwaliannya” Dalam undang-undang di Mesir bahwa perwalian jalur anak kebawah lebih diutamakan dari pada jalur ayah keatas hal ini berbeda dengan mazhab Syafi‟i yang tidak menjadikannya jalur anak dalam urutan perwalian. c. Di Libanon berlaku aturan sesuai golongan Sunni, tentang perwalian nikah disebutkan pada Undang-undang Hak-hak Keluarga Pasal 10 dijelaskan : “Wali dalam pernikahan adalah keluarga (kerabat)” yaitu : anak laki-laki, cucu lakilaki, dan terus kebawah, kemudian ayah, kakek, dan terus keatas, kemudian jalur saudara laki-laki seperti saudara laki-laki syaqiq (seayah seibu), saudara laki-laki seayah, dan anak-anak mereka, kemudian jalur saudara ayah laki-laki seperti paman syaqiq, paman seayah,
dan putra-putra mereka. Kemudian
sesudah urutan tersebut kewenangan menikahkan adalah bagi hakim. d. Dalam Hukum Keluarga Aljazair secara tegas wali tidak diperbolehkan menikahkan tanpa persetujuan calon pengantin perempuan, dan hukum tidak menyatakan bahwa akad pernikahan seorang wanita adalah tugas wali, meskipun dia ayahnya atau hubungan laki-laki lain dekat (atau hakim jika tidak ada wali) 5. Batasan Usia Nikah Berdasarkan pengamatan berbagai pihak menunjukkan bahwa usia nikah yang belum
masak
secara
lahir
batin
dikhawatirkan
kesejahteraan
bagi
keturunannya, bahkan sering kali menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan
108
dengan misi dan tujuan pernikahan yakni, sakinah, mawaddah, warahmah (ketentraman dan kasih sayang).
B. SARAN-SARAN Setelah mengadakan kajian dan mengetahui perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-Syafi‟i, metode istimbat yang dipakai keduanya, penulis menganjurkan beberapa saran untuk bahan renungan dan kajian lebih lanjut : 1. Perlu kajian lebih mendalam dan komprehensif tentang wali nikah baik kedudukannya, kewenangan wali, perempuan mauliyahnya dan „illah yang menjadikan alasan dalam pengambilan hukum perwalian nikah. Hal ini akan dapat membuka wawasan dan pemahaman dalam menyikapi keadaan sosial (kultur masyarakat) berkaitan wali nikah. 2. Perlu menumbuh-kembangkan kesadaran secara kreatif serta menelusuri norma-norma (hukum keluarga) Islam dan hukum perwalian dalam pernikahan pada khususnya. 3. Perlu kajian untuk menentukan kriteria atau batasan-batasan yang dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan tentang masalah perwalian agar prinsip hukumnya bisa difahami lebih mudah serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. 4. Perlu rekontruksi dan pendefinisian wali nikah selama tidak bertentangan dengan hukum Allah (al-Qur‟an) dan Rasul-Nya (al-Sunah) sehingga disamping adanya idealitas pelaksanaan norma hukum tersebut tetapi juga
109
realitas. Dengan demikian akan terbentuk image pada masyarakat bahwa ajaran Islam adalah dinamis, sempurna, berlaku setiap waktu dan tempat.
C. PENUTUP Sampai disini pembahasan wali nikah semoga mendapat perhatian untuk kajian lebih lanjut secara komprehensif. Saran dan kritik membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan hasil kajian ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT sandaran dan harapan semua urusan. Semoga bermanfaat. Amiin.
110