BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 15 SMP di Kabupaten Sleman mengenai implementasi pendidikan antikorupsi dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, dapat disimpulkan bahwa implementasi sudah berjalan namun belum sesuai dengan harapan. Karena tidak sedikit kantin kejujuran yang mengalami kerugian hingga menyebabkan kebangkrutan. Hal tersebut disebabkan siswa belum jujur ketika membeli di kantin kejujuran. ketidakjujuran terjadi karena belum berhasilnya internalisasi nilai kejujuran serta nilai-nilai lain pada saat proses pembelajaran yang akan menghalangi adanya korupsi bila terinternalisasi dengan baik. Implentasi pendidikan antikorupsi dilakukan dengan melaksanakan pengintegrasian dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Pada
langkah
pertama
pendidikan
antikorupsi
diintegrasi melalui Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sesuai dengan silabus yang telah dirancang untuk pendidikan antikorupsi. Dari 13 SMP yang diobservasi pada saat proses pembelajaran dan diwawancarai ada 10 SMP yang telah memakai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dari hasil diseminasi pendidikan antikorupsi sedangkan 3 SMP dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran pendidikan antikorupsi dengan
memasukan
nilai-nilai 94
karakter.
Sekolah-sekolah
yang
95
menggunakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dari hasil diseminasi adalah SMP Muh 3 Depok, SMP N 2 Pakem, SMP N 1 Sleman, SMP N 1 Seyegan, SMP N 1 Mlati, SMP N 1 Minggir, SMP N 4 Ngagglik, SMP N 4 Prambanan, SMP Muh 2 Kalasan, SMP N 1 Cangkringan. Sedangkan sekolah yang belum menggunakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dari hasil diseminasi adalah SMP N 2 Gamping, SMP N 1 Godean dan SMP N 3 Tempel. Secara umum perencanaan pelaksanaan implementasi pendidikan antikorupsi dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sudah berjalan dengan baik tanpa kendala yang berarti. Langkah selanjutnya adalah dengan mengintegrasikan pendidikan antikorupsi dalam materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam melakukan pengintegrasian, guru mengaitkan mengenai korupsi dalam materi pelajaran, menyadarkan tindakan-tindakan siswa yang menjurus akan terbentuknya pribadi yang korup, kemudian memotivasi siswa untuk tidak melakukan hal-hal yang akan mendorong siswa menjadi pribadi yang korup, serta guru menanamkan dan mengembangkan tentang nilai-nilai yang harus tertanam dalam kepribadian siswa agar siswa menjadi pribadi yang anti terhadap korupsi. Namun masih ada guru yang ketika sedang melakukan pembelajaran tidak melaksanakan pengintegrasian pendidikan antikorupsi dalam proses pembelajaran. Dari 13 SMP yang diobservasi bisa disimpulkan bahwa guru yang mengintegrasikan pendidikan antikorupsi, mengaitkan materi pelajaran dengan korupsi ada 9 sekolahan. Sekolah tersebut yaitu SMP N 1 Minggir, SMP N 1 Seyegan, SMP N 1
96
Sleman, SMP N 1 Mlati, SMP N 4 Prambanan, SMP N 4 Ngaglik, SMP Muh 3 Depok, SMP N 1 Cangkringan dan SMP N 1 Godean. Sedangkan guru yang belum mengaitkan materi pelajaran dengan korupsi namun mengembangkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi ada 2 sekolah yaitu SMP 2 Gamping dan SMP Muhammadiyah 2 Kalasan. Sisanya guru dari SMP N 3 Tempel dan SMP N 2 Pakem tidak mengaitkan materi dengan pendidikan antikorupsi serta tidak juga mengembangkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi, dikarenakan terlalu fokus dalam menyampaikan materi pokok pelajaran dan mengondisikan kelas. Selain pembelajaran dikelas juga telah ada sekolahan yang menjadikan nillai-nilai acuan pendidikan antikorupsi selalu menjadi tema ketika amanat upacara bendera yang dilakukan secara rutin pada hari Senin yaitu SMP N 1 Seyegan dan SMP N 1 Mlati. Belum sesuainya implementasi pendidikan antikorupsi dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan harapan, tentu saja terjadi karena banyak kendala dialami. Kendala untuk implementasi pendidikan antikorupsi dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas adalah siswa acuh tak acuh terhadap materi yang diajarkan oleh guru karena tidak tertarik dengan Pendidikan Kewarganegaraan sehingga nilai yang diajarkan tidak sampai kepada siswa. Sikap acuh tak acuh siswa juga tidak terlepas dengan metode yang digunakan guru, ketika guru hanya berceramah maka anak menjadi bosan. Namun kebanyakan guru memang hanya menggunakan metode ceramah ketika mengajar sehingga nilai-nilai
97
tidak tersalurkan dengan baik kepada siswa. Permasalahan selanjutnya adalah kurangnya keteladaanan untuk tidak korupsi. Langkah berikutnya yang menjadi bukti apakah nilai-nilai antikorupsi sudah tersalurkan dan terserap menjadi kepribadian siswa yaitu kantin kejujuran. Kantin kejujuran memang menjadi laboratorium pendidikan antikorupsi. Implementasi pendidikan dilihat dari kantin kejujuran pada kenyataanya belum terlaksana dengan baik. Dari 15 guru SMP yang telah mengikuti diseminasi pendidikan antikorupsi dan masingmasing sekolah tersebut mendapat bantuan dana dari Sekretariat Direktorat Jendral Pendidikan Dasar untuk membuka kantin kejujuran ternyata hanya 13 SMP yang membuka kantin kejujuran, 2 SMP belum membuka kantin kejujuran. Kantin kejujuran yang masih bisa berjalan baik selain SMP N 1 Mlati yang memiliki pengelola khusus kantin kejujuran, walaupun pernah mengalami kecurangan atau kerugian adalah SMP N 1 Minggir, SMP N 1 Sleman, SMP N 1 Godean, SMP N 1 Seyegan, SMP N 4 Prambanan, SMP N 4 Depok, SMP Muh 2 Kalasan, SMP N 2 Gamping, dan yang kondisinya cukup memprihatinkan adalah kantin kejujuran SMP N 2 Berbah. Kantin kejujuran yang tidak bisa bertahan lagi adalah kantin kejujuran yang dimiliki oleh SMP N 3 Tempel, SMP N 1 Cangkringan, SMP N 4 Ngaglik. Kantin kejujuran merupakan laboratorium pendidikan antikorupsi, sehingga keberadaan kantin kejujuran menjadi ukuran kejujuran yang dimiliki oleh siswa. Dengan cukup banyaknya kantin yang
98
merugi bisa dikatakan bahwa nilai-nilai antikorupsi belum tertanam pada kepribadian siswa Kendala-kendala yang dialami dalam mengelola kantin kejujuran yang merupakan laboratorium pendidikan antikorupsi memang cukup banyak. Kendala-kendala tersebut diantaranya siswa yang belum bisa jujur ketika membeli di kantin kejujuran karena belum berhasilnya internalisasi nilai kejujuran serta nilai-nilai antikorupsi lain ke dalam diri siswa, serta kesulitan untuk melacak identitas siswa yang belum bisa berperilaku jujur untuk diberikan pengertian lebih serta siswa yang kurang antusias untuk membeli kebutuhan di kantin kejujuran. B. Saran Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, peneliti memiliki saran sebagai berikut: 1. Guru menggunakan metode yang bervariasi dan menyenangkan ketika mengajar, bukan hanya ceramah. Metode ceramah akan membuat anak menjadi bosan dan tidak mendengarkan ketika pelajaran sedang berlangsung. Ketika menggunakan metode yang menarik, akan lebih mudah untuk mendapatkan perhatian siswa sehingga ilmu dan nilainilai antikorupsi yang diajarkan akan lebih mudah terserap oleh siswa. 2. Keteladanan sangat di perlukan dalam pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi merupakan pendidikan yang bertujuan untuk
99
membentuk kepribadian siswa yang anti terhadap korupsi maka diperlukan contoh dari guru dan semua warga sekolah. Misalnya guruguru juga membeli keperluan di kantin kejujuran dengan jujur. 3. Guru memberikan reward kepada siswa yang memiliki kepribadian antikorupsi secara verbal
maupun nonverbal dihadapan siswa lain,
sehingga siswa lain termotivasi untuk berbuat hal yang sama. Sehingga guru berkewajiban menjadi pengamat yang baik bagi siswanya. 4. Guru mengajak siswa untuk menghindari perbuatan mengolok-olok siswa
apabila
ada
siswa
yang
melakukan
kesalahan,
untuk
menumbuhkan nilai-nilai antikorupsi. 5. Pemajangan alur pembelian di kantin kejujuran dirasa perlu, mengingat banyaknya jumlah siswa yang dimiliki setiap sekolahan. Pemajangan alur pembelian akan mempermudah siswa untuk memahami tata urutan ketika membeli di kantin kejujuran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Wahab & Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta Agus Wibowo. 2013. Pendidikan Anrikorupsi Di Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Belajar Anonim. (2012). Lahan dan Jumlah Korupsi Semester 1 di Indonesia Versi ICW. Diakses dari http://justisianews.com/lahan-dan-jumlah-korupsi-semester1-di-indonesia-versi-icw/ pada tanggal 21 Oktober 2012, 19.30 WIB. Burhan Bugin. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada Chablullah Wibisono. 2011. Memberantas Korupsi dari Dalam Diri. Jakarta: AlWasat Cholisin. 2000. Materi Pokok Ilmu Kewarganegaraan-Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Universitas Terbuka Danang Prasetyo. 2012. Blak-Blakan Bahas Mapel PKn. Yogyakarta: Cabe Rawit Dwi Siswoyo, dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press Dyatmiko Soemodihardjo. 2012. Yogyakarta: Shira Media Feri
Memberantas
Korupsi
Di
Indonesia.
Santoso. (2012). Polri Sidik 577 Kasus Korupsi. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2012/10/15/14571831/2012.Polri.Sidik.5 77.Kasus.Korupsi. pada tanggal 21 Oktober 2012, Jam 19.00 WIB.
Hadari Nawawi. (2000). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press. Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Model Integrasi Pendidikan Antikorupsi Pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.
100
101
Khoirul Annas. (2011). Implementasi Pendidikan Anti Korupsi Dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Di Smp Negeri 2 Semarang. Diakses dari http://annaskhoirul.blogspot.com/2011/02/pendidikan-antikorupsi-di-smp.html pada tanggal 23 Januari 2013, Jam 16.50 WIB. KPK. 2006. Memahami untuk Membasmi-Buku Saku untuk Memahami Tindak Piana Korupsi. Jakarta : KPK Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang pidana korupsi
komisi pemberantasan tindak
Lexy J. Moleong. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta