96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan. 1.
Kebebasan pilihan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Kota Bandung dapat berjalan efektif hanya dalam kondisi jika Pelaku Usaha dan Konsumen mempunyai semangat dan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara keduabelah pihak. Namun dalam hal keduabelah pihak terutama Pelaku Usaha yang tidak mempunyai itikad baik, kebebasan pilihan penyelesaian sengketa ini tidak akan menjadi efektif, bahkan cenderung disalahgunakan oleh Pelaku Usaha untuk tidak memilih atau tidak merespon, sehingga akan mengalami kebuntuan dalam penyelesaian sengketa konsumen tersebut. Dengan kondisi seperti ini akan semakin jelas bahwa kebebasan pilihan ini justru akan semakin memperkuat posisi Pelaku Usaha dan memperlemah posisi Konsumen dalam perspektif perlindungan konsumen, kesimpulan ini terlihat dalam hasil penelitian di BPSK Kota Bandung, dalam periode 2008 sampai dengan 2012 tercatat dari jumlah 132 perkara sengketa yang masuk terdapat 33% yang tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase, dimana keputusan tidak memilih ini didominasi oleh
97
Pelaku Usaha, sehingga berdasarkan data ini ternyata dengan kebebasan pilihan penyelesaian sengketa, aspek perlindungan terhadap konsumen tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan konsumen sebagai pencari keadilan, karena ketika Pelaku Usaha tidak memilih maka penyelesaian sengketa di BPSK akan terhenti dan menemukan kebuntuan bagi upaya konsumen dalam mencari keadilan.
2.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK, Pasal 3 huruf a menentukan bahwa BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi, Mediasi atau Arbitrase. Kemudian ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang, oleh karena itu apabila salah satu pihak (pelaku usaha) tidak setuju dengan cara penyelesaian yang diusulkan oleh konsumen maka penyelesaian sengketa melalui BPSK tidak dapat diwujudkan, atau bahkan apabila Pelaku Usaha sengaja tidak memilih satupun cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK maka BPSK atau instansi lain yang terkait sama sekali tidak akan bisa
98
berbuat banyak, karena tidak ada perangkat aturan yang dapat memberikan sanksi kepada Pelaku Usaha apabila Pelaku Usaha tidak memilih cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK,
hal ini tentu saja akan
menghambat penyelesaian sengketa konsumen tersebut. Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyetujui cara penyelesaian yang dipilih oleh konsumen maka akan mengakibatkan kemandegan dalam upaya pencarian keadilan bagi konsumen, karena proses penyelesaian sengketa menjadi terhenti. Dengan demikian
aspek perlindungan konsumen dalam penegakan
ketentuan tersebut sangat lemah bahkan sama sekali tidak melindungi konsumen, sudah tentu mekanisme seperti ini dapat dijadikan peluang dan celah bagi Pelaku Usaha untuk menghentikan upaya hukum konsumen dengan tidak menyetujui cara penyelesaian yang ada di BPSK, sehingga bagi konsumen yang tidak mampu dan/atau barang dan/atau jasa yang dibeli mempunyai nilai yang lebih kecil daripada berperkara di Pengadilan Negeri , maka sudah dapat dipastikan Konsumen akan terhenti dalam upaya memperoleh keadilan dan kepastian hukum.
B. Saran-saran. 1.
Berdasarkan data pilihan cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK Kota Bandung, cara penyelesaian melalui arbitrase menduduki urutan
99
tertinggi dalam yaitu sejumlah 28%, kemudian urutan kedua melalui mediasi sejumlah 26%, dan urutan ketiga cara penyelesaian yang sangat sedikit dipilih dalam penyelesaian sengketa konsumen adalah konsiliasi yaitu sejumlah 1%. Dengan data tersebut diatas dimana urutan tertinggi yang dipilih adalah arbitrase dan kedua adalah mediasi menunjukkan suatu indikasi bahwa pencari keadilan terutama konsumen berharap banyak agar BPSK dapat berperan secara aktif untuk menyelesaikan sengketanya, karena sebagaimana diketahui cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan mediasi ini BPSK berperan secara aktif dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Dengan berdasarkan data sebagaimana tersebut dalam point 3 diatas, dimana BPSK sangat diharapkan untuk dapat berperan secara aktif untuk melindungi konsumen dalam penyelesaian sengketanya, maka BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen masih diharapkan keberadaannya bagi konsumen yang mencari keadilan, sehingga
BPSK harus tetap
terpelihara
pengkajian
keberadaannya,
namun
diperlukan
untuk
penyempurnan peraturan perundangan berkaitan dengan kewenangan dan cara penyelesaian sengketa di BPSK, sehingga penyelesaian sengketa di BPSK dapat berjalan secara efektif dan optimal dalam melindungi terutama bagi konsumen yang mencari keadilan.
100
2.
Kebebasan pilihan penyelesaian sengketa konsumen justru menimbulkan suatu ketidakpastian hukum, sehingga apabila formalitas hukum ini terus berjalan akan bertentangan dengan Pasal 2 UUPK yaitu Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum, oleh karena itu ketentuan yang mengatur kebebasan pilihan penyelesaian sengketa konsumen di BPSK sebaiknya dihapuskan dan perlu pengkajian ulang untuk penyempurnaan ketentuan penyelesaian sengketa konsumen di BPSK, sehingga penyelesaian sengketa dapat berjalan secara efektif bagi para pencari keadilan terutama konsumen.
3.
Patut dipertimbangkan kiranya hasil pembahasan-pembahasan dalam forum diskusi (FGD) finalisasi usulan amandemen Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 44 UUPK menyampaikan suatu usulan perlu diatur tambahan ayat tentang tatacara mengajukan gugatan ke Pengadilan, dimana batasan nilai gugatan sebesar Rp.200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah) harus/wajib ke BPSK. Kemudian
dalam
finalisasi
usulan
amandemen
tersebut
patut
dipertimbangkan usulannya dalam Pasal 45 dimana penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan melalui mediase dan arbitrase secara berjenjang, sehingga dalam ketentuan seperti ini Pelaku Usaha yang beritikad
101
tidak baik akan tunduk pada suatu keharusan untuk menyelesaikan di BPSK untuk nilai perkara sampai dengan Rp. 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah) melalui mediasi dan arbitrase secara berjenjang bukan melalui kebebasan pilihan lagi.
4.
Dengan memperhatikan posisi konsumen yang lemah maka untuk kepentingan penegakan asas keseimbangan dam kepastian hukum, perlu kiranya dibuat suatu perangkat aturan yang dapat memberikan sanksi kepada Pelaku Usaha dalam hal tidak mengikuti cara penyelesaian sebagaimana diusulkan point 3 (tiga) diatas, namun demikian perangkat aturan tersebut perlu diimbangi dengan suatu ketentuan yang dapat melindungi Pelaku Usaha dari prilaku Konsumen yang mempunyai itikad tidak baik.