perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Gunung Merapi merupakan gunung berapi yang terletak di bagian tengah pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Secara administratif Gunung Merapi terletak di wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Sebagai gunung berapi yang masih aktif, Merapi merupakan pesona tersendiri bagi penduduk yang tinggal di lereng-lerengnya. Bagi penduduk di sekitar Merapi setidaknya ada dua potensi yang berkaitan dengan keberadaan gunung berapi tersebut, yaitu potensi kesuburan tanah dan potensi bahaya letusan atau erupsi. Potensi kesuburan tanah ditandai dengan banyaknya sumber mata air dan dinamika pertanian di lereng Merapi yang dikenal sebagai salah satu sentra penghasil sayur-mayur. Potensi kedua yang juga tidak kalah pentingnya adalah potensi terjadinya bahaya letusan atau erupsi. Sebagai salah satu gunung berapi yang paling aktif di Indonesia, Merapi selalu menunjukkan eksistensinya dengan letusan atau erupsi yang terjadi dalam siklus dua sampai lima tahun. Siklus erupsi yang demikian pendek itu sangat berbahaya karena Merapi dikelilingi pemukiman yang sangat padat. Secara administratif, Gunung Merapi berada di dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan DIY, mencakup empat kabupaten commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu Magelang, Sleman, Klaten dan Boyolali. Jika menggunakan rumus kawasan risiko bencana I-III, wilayah ini dihuni lebih dari 90.000 warga yang menyebar di barat, selatan, timur dan utara Merapi. Suatu jumlah yang sangat besar dengan potensi jatuh korban yang besar pula. Desa Tlogolele merupakan salah satu wilayah dari Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali yang memiliki jarak 4-6 km dari puncak Merapi. Dengan jarak yang begitu dekat dengan puncak Merapi maka potensi bahaya yang muncul ketika terjadi erupsi juga besar. Pada erupsi atau letusan Merapi 2010 yang lalu, Desa Tlogolele merupakan salah satu wilayah yang menderita kerusakan paling parah, dan sebagian besar warganya terpaksa mengungsi ke wilayah Kabupaten Magelang. Mengungsi menjadi pengalaman yang sulit untuk dilupakan oleh warga Desa Tlogolele karena berlangsung hampir selama dua bulan, sebagaimana disampaikan oleh salah satu warganya, Somo Sarpingi. Somo Sarpingi merupakan kepala dusun Takeran yang sejak lahir sampai sekarang tinggal di Takeran. “Lha sale ngungsi niku meh ngantos kalih wulan kok mas, saget dibayangke pripun raose. Erupsi sepisan nika ngungsi ting Balai Desa Tlogolele lajeng erupsi langkung ageng mandap ting Sawangan terus pas erupsi paling ageng nika pindah malih ting wilayah Mertoyudan” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran) “Lha mengungsinya itu hampir sampai dua bulan mas, bisa dibayangkan bagaimana rasanya. Erupsi pertama mengungsi ke Balai Desa Tlogolel terus ada erupsi lebih besar lagi mengungsi ke Sawangan (Kabupaten Magelang), dan ketika terjadi erupsi paling besar mengungsi lagi ke Mertoyudan (Kabupaten Magelang)” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran) Berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi tahun 2010 yang di keluarkan oleh commit Kementrian to userEnergi dan Sumber Daya Mineral53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Badan Geologi dan BPPTK, maka wilayah Desa Tlogolele termasuk dalam peta KRB III dan KRB II. Penetapan KRB III adalah apabila jarak dari puncak Merapi kurang dari 5 km dan merupakan kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava pijar (guguran/lontaran material pijar), dan gas beracun. Sementara KRB II berjarak antara 5 – 10 km dari puncak Merapi dan merupakan kawasan yang berpotensi terlanda aliran awan panas, gas beracun, guguran batu (pijar), dan aliran lahar. Wilayah Desa Tlogolele yang termasuk dalam KRB III adalah Stabelan, Takeran, Belang, Gumukrejo, Karang, dan Ngadirojo. Stabelan merupakan dusun yang jaraknya paling dekat dengan puncak Merapi yaitu sekitar 3 km, Takeran 4 km, Belang 4 km, Gumukrejo 4 km, Karang 5 km, dan Ngadirojo 5 km. Khusus Stabelan, Takeran, dan Karang potensi bahaya lainnya adalah daerah itu sangat dekat dengan Sungai Apu yang merupakan jalur utama lahar, ancaman awan panas. Sementara yang termasuk dalam KRB II adalah Tlogolele dan Tlogomulyo. Wilayah yang termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III merupakan suatu wilayah yang tidak layak huni karena jaraknya terlalu dekat dengan puncak Merapi dan potensi bahaya sangat besar. Namun demikian, dusun-dusun yang termasuk dalam KRB III Desa Tlogolele merupakan wilayah yang termasuk padat penduduknya. Sehingga menjadi suatu hal yang menarik untuk dicermati atas kenyataan yang ada. Stabelan sebagai salah satu wilayah yang termasuk dalam KRB III yang sangat rawan bahaya erupsi pernah dilakukan upaya relokasi warga ke wilayah yang relatif lebih aman yaitu ke towilayah Tlogomulyo. Dengan alasan commit user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengerjakan ladang banyak warga yang kembali ke Stabelan, namun pada sore harinya mereka kembali ke relokasi di Tlogomulyo. Jarak yang cukup jauh membuat mereka kelelahan, sehingga mulai ada beberapa warga yang menginap di atas demi efisiensi. Lambat laun semakin banyak warga menempati kembali Dusun Stabelan sampai kemudian Stabelan menjadi dusun yang aktif seperti dusun-dusun lainnya.
Bahkan setelah erupsi besar tahun 2010 warga tetap
kembali lagi walaupun bayang-bayang peristiwa itu tidak dapat dilupakan. Keengganan warga untuk pindah atau relokasi salah satunya dikarenakan segala aspek kehidupannya ada di wilayah itu, selain itu juga seandainya relokasi mereka akan kesulitan untuk beradaptasi. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh salah satu warga Stabelan, Suwar. Suwar, berusia sekitar 35 tahun merupakan salah satu warga Stabelan yang pada erupsi Merapi tahun 2010 tidak ikut mengungsi. “Lha ajeng pripun malih, wong pancen panggesangane ting mriki kok” (Suwar, warga Stabelan). “Lha mau bagaimana lagi, memang kehidupannya di sini kok” (Suwar, warga Stabelan). Sulitnya warga di wilayah KRB III untuk direlokasi juga dipengaruhi oleh mitos masyarakat setempat terhadap Gunung Merapi. Laksono dalam Editorial Journal of Volcanology and Geothermal Research 172 (2008), menjelaskan bagaimana penduduk yang tinggal di bahu Merapi kembali ke rumah asal mereka segera setelah pemerintah merelokasi mereka ke Sumatra. Lokasi evakuasi yang tidak akrab dengan mereka terlihat lebih beresiko dibandingkan tetap tinggal di commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lereng gunung berapi aktif dengan keakraban budaya dan mekanisme penanggulangan bahaya yang sudah ada. Budi Harsono, Kepala Desa Tlogolele mengemukakan bahwa keengganan warga untuk direlokasi dari wilayah KRB III, terutama masyarakat Dusun Stabelan, tidak semata-mata karena mitos yang ada, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Di lokasi baru mereka tidak bisa melakukan aktivitas ekonomi sebagaimana di daerah asal dengan berbagai alasan. “Lha riyin warga Stabelan niku mpun nate direlokasi mandap ting Tlogomulyo, namung saya dangu katah ingkang wangsul malih ting Stabelan. Alasanipun kajenge gampil lan caket anggenipun nggarap tegil lan ngopeni tanduran” (Budi Harsono, Kades Tlogolele). “Lha dulu warga Stabelan itu sudah pernah direlokasi turun ke Tlogomulyo, tetapi semakin lama banyak yang kembali lagi ke Stabelan. Alasannya biar mudah dan dekat dalam mengolah lahan pertanian dan memelihara tanaman” (Budi Harsono, Kades Tlogolele). Dalam konteks ini, masyarakat membuat konstruksi sosial dalam bentuk mitos untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Mitos muncul sebagai legitimasi realitas obyektif sehingga individu bersedia mnerimanya sebagai hal yang memang layak untuk diterima atau dianut begitu saja (Samuel, 2012). Berger dan Luckmann (1990) mengatakan bahwa terjadi hubungan dialektika antara individu menciptakam masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses tersebut terjadi melalui tiga tahapan, yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Kenyataan bahwa Gunung Merapi memiliki dua potensi, yaitu potensi kesuburan tanah dan potensi bahaya letusan atau erupsi merupakan suatu proses eksternalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian commit to user diri dengan dunia sosio-kultural 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai produk manusia. Pada tahap ini manusia mencurahkan atau mengekspresikan diri dalam baerbagai hal di dunia, baik secara fisik maupun mental. 1.
Konstruksi Sosial Masyarakat terhadap Gunung Merapi Dalam ilmu sosial, bencana sesungguhnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu sistem masyarakat yang tanda-tandanya sudah dikenali dan dapat diprediksi, meskipun dapat saja terjadi "unexamined normality" atas ketidakmampuan manusia dan sistem di dalam mengantisipasi suatu bencana (Abdullah, 2008). Dalam berbagai peristiwa alam, seringkali dikatakan bahwa tanda-tanda akan datangnya bahaya sudah tampak sebelumnya. Pada kasus letusan Gunung Merapi, tanda-tanda sudah tampak dalam berbagai bentuk, dari yang bersifat mimpi atau bisikan, gejala-gejala alam yang aneh, hingga perilaku tanaman dan binatang yang mengarahkan pada adanya suatu perubahan kondisi alam (Ahimsa-Putra, 1994). Realitas atau kenyataan merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Masyarakat dalam pandangan Berger dan Luckmann (1990), adalah suatu kenyataan obyektif yang di dalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun dengan pembiasaan (habitualisation). Dalam proses pelembagaan itu terdapat tindakan yang selalu
diulang-ulang sehingga
kelihatan
pola-polanya
dan
terus
direproduksi sebagai tindakan yang dipahaminya. Jika habitualisasi atau pembiasaan ini terus berlangsung maka akan terjadi pengendapan dan menjadi suatu tradisi.
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan diketahui bahwa ada enam konstruksi utama dari masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi, yaitu lelaku. wisik, makhluk spiritual, Mbah Sunan Bagor, potensi bahaya erupsi, dan potensi kesuburan tanah. a. Lelaku Salah satu bentuk konstruksi sosial yang muncul dalam masyarakat Tlogolele, terutama masyarakat Stabelan dan Takeran adalah erupsi Merapi dimaknai sebagai lelaku. Erupsi dalam pandangan umum merupakan suatu hal yang sarat dengan ancaman dan bahaya, sehingga masyarakat harus segera menjauh dan menyingkir. Ketika masyarakat memberikan makna erupsi sebagai lelaku, ada nuansa positif yang hendak dimunculkan oleh masyarakat tersebut terhadap Gunung Merapi. Nuansa positif yang mereka bangun adalah adanya keyakinan bahwa mereka akan tetap aman dan terjaga dari bahaya erupsi Merapi selama mereka tetap mengikuti kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Girah, istri kadus Stabelan, yang sehari-hari mendampingi suaminya dalam berbagai kegiatan selaku kepala dusun. “…..dados nek pas Merapi niku lelaku, kita lajeng damel oncor utawi obor ditancepke ting sak wetan dusun minangka kangge tolak balak.” (Girah, istri kadus Stabelan) “…...jadi kalau Merapi mau ada hajat (meletus), kita lalu membuat oncor atau obor (lampu yang dibuat dari potongan bambu kecil diberi sumbu kain dan minyak) dinyalakan dan dipasang di sebelah timur dusun sebagai tolak balak” (Girah, istri Kadus Stabelan). commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Menawi Mbah Buyut lagi nggadahi kersa asring ngendika, Aku lagi arep nyambut gawe nek dho lunga kabeh njuk sik nyuwita aku sapa?” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran). “Kalau Mbah Buyut (sebutan masyarakat untuk penunggu Merapi) sedang punya acara (erupsi atau meletus dalam pandangan umum) sering berkata, Saya sedang akan ada pekerjaan kalau semua pergi (mengungsi) lalu yang akan membantu aku siapa?” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran). Lavigne et al (2008) dalam Journal of Volcanology and Geotermal Research 172, berpendapat bahwa orang yang tinggal di lereng Merapi tidak memandang erupsi sebagai suatu bahaya. Hal yang sama juga ditemukan oleh Sagala (2008) dalam penelitiannya di wilayah Turgo, Pelemsari, Kaliadem, Kalitengah Lor, dan Kalitengah Kidul. Pada masyarakat itu ditemukan bahwa mereka tidak takut ketika erupsi terjadi. Hal itu terutama orang-orang tua yang masih teguh memegang kepercayaan dan pandangan tradisional terhadap Merapi. Lelaku merupakan upaya masyarakat untuk menangkap realitas atau kenyataan yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari di wilayah KRB III dan KRB II. Merapi dengan segala aspeknya merupakan fenomena yang nyata dan tidak bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan sehari-hari masyarakat Tlogolele dan menjadi pengetahuan masyarakat. Menurut Berger dan Luckmann dalam Samuel (2012), realitas diartikan sebagai “ a quality pertaining phenomena that we recognize as having a being independent of our volition” (kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada di luar kehendak kita). Realitas merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai commit kekuatan memaksa kesadaran masing-masing to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
individu. Terlepas dari individu suka atau tidak, mau atau tidak, realitas tetap ada. Sedangkan pengetahuan diartikan sebagai “the certainty that phenomena are real and that they posses specific characteristics” (keyakinan bahwa suatu fenomena riil dan mereka mempunyai karakteristik tertentu). Pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran individu, realitas yang bersifat subyektif. Latar belakang sosial budaya sangat berpengaruh pada pengetahuan masyarakat dan penilaian terhadap bahaya alam. Cara masyarakat memandang Gunung Merapi berhubungan dengan latar belakang budaya Jawa. Sebagai contoh,
banyak
orang
percaya
bahwa
Merapi
merupakan
tempat
bersemayamnya berbagai makhluk halus. Sehingga ketika terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Merapi, hal itu dihubungkan dengan kehadiran makhlukmakhluk halus tadi atau dihubungkan dengan adanya keinginan dari makhlukmakhluk halus itu terhadap penduduk lokal yang tinggal di sekitar Merapi (Sagala, 2008). b. Wisik (Pertanda) Wisik berarti petunjuk atau pertanda dari alam gaib. Pada kasus letusan Gunung Merapi, tanda-tanda sudah tampak dalam berbagai bentuk, dari yang bersifat mimpi atau bisikan, gejala-gejala alam yang aneh, hingga perilaku tanaman dan binatang yang mengarahkan pada adanya suatu perubahan kondisi alam (Ahimsa-Putra, 1994). Ketika aktivitas Gunung Merapi mengalami peningkatan, masyarakat memilih untuk menunggu wisik dari commit to Mbah user Sunan Bagor (tokoh mistis pada 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat Stabelan). Wisik biasanya datang pada seseorang lewat mimpi di mana ia didatangi oleh seseorang yang menyampaikan kabar tentang Merapi. Suatu hal yang cukup menarik, orang yang terpilih untuk menyampaikan kabar tentang Merapi biasanya orang yang kurang sehat akalnya, namun masyarakat menyikapi dan menerimanya dengan bijaksana. Hal itu sebagaimana dikemukakan salah satu warga. “Biasane nek Merapi niku ningkat aktivitase, onten tiyang sik ngimpi disanjangi kalih Mbah Buyut terus dipun getok tularake kalih sederek sanes lajeng sami ngawontenaken slametan” (Saryono, warga Stabelan). “Biasanya kalau Merapi meningkat aktivitasnya, ada orang yang bermimpi didatangi oleh Mbah Buyut (Penunggu Merapi) lalu di sebarluaskan pada saudara-saudara yang lain kemudian mereka mengadakan selamatan” (Saryono, warga Stabelan). Diterimanya wisik menjadi suatu informasi bagi warga masyarakat melalui proses pelembagaan dan legitimasi. Ketika
ada orang yang
menyampaikan kabar tentang Merapi, sekalipun orang kurang sehat akalnya akan tetap disikapi dengan bijaksana. Didukung dengan tanda-tanda alam lainnya, kabar tentang Merapi itu kemudian dibahas warga dengan dipandu oleh Kadus setempat, kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. Begitu besar peran wisik, sehingga kemudian juga akan berpengaruh pada keputusan untuk mengungsi atau tetap tinggal ketika erupsi terjadi. Mereka tidak akan melewatkan atau mengabaikan begitu saja wisik yang ada, karena resikonya besar. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Somo Sarpingi Kadus Takeran. Diceritakan bahwa dahulu ada dusun yang namanya Pencar, termasuk dalam wilayah Desa Klakah. Kejadiannya pada tahun 1954 jam 09.00 pagi di Dusun commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pencar ada anak keci telanjang mendekati Pak Bayan (Kadus) Pencar yang sedang membersihkan kandang sapi. Lalu anak tadi minta makan dan bilang kalau para warga diminta untuk pergi menjauh dulu karena Mbah Buyut (sebutan untuk penunggu Merapi) akan membuang sesuatu melewati Dusun Pencar. Tetapi Pak Bayan (Kadus) tidak percaya bahkan mengusir anak tadi supaya pergi, dan ia melanjutkan membersihkan kandang. Ketika dilihat lagi anak kecil tadi sudah hilang. Lha setelah itu kemudian terjadi erupsi besar yang menyebabkan korban meninggal sekitar 60 orang, dan Dusun Pencar sejak saat itu hilang terkena erupsi. Lalu hal ini menjadi pelajaran untuk warga supaya tidak mengabaikan tanda-tanda dari Merapi. Masyarakat dalam pandangan Berger dan Luckmann (1990), adalah suatu kenyataan obyektif yang di dalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun dengan pembiasaan (habitualisation). Dalam proses pelembagaan itu terdapat tindakan yang selalu diulang-ulang sehingga kelihatan polapolanya dan terus direproduksi sebagai tindakan yang dipahaminya. Jika habitualisasi atau pembiasaan ini terus berlangsung maka akan terjadi pengendapan dan menjadi suatu tradisi. Selain melalui wisik, meningkatnya aktifitas Merapi juga dapat dilihat darai tanda-tanda alam yang ada, sehingga masyarakat meningkatkan kewaspadaannya terhadap kemungkinan yang terjadi. Salah satu tanda-tanda alam yang ditangkap oleh masyarakat adalah adanya suara yang bergemuruh dari Gunung Merapi. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh salah satu warga Tlogolele.
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Riyin rikala sakderenge erupsi nika asring kepireng suwanten pating glugur saking gunung. Namung anehipun suwanten wau kendel rikala dumugi wekdal luhur, ashar, dados kados menawi tiyang nyambut damel menawi dawah wekdal luhur lajeng kendel. Sak lebaripun nembe milai pating glugur malih” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran). “Dulu ketika sebelum erupsi Merapi sering terdengar suara bergemuruh dari gunung. Hanya anehnya suara tadi berhenti ketika tiba waktu dhuhur, ashar (waktu sholat), jadi seperti orang baru bekerja kalau tiba waktu sholat dhuhur maka beristirahat. Setelah itu baru mulai suara bergemuruh itu terdengar lagi” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran). Meningkatnya aktifitas Merapi juga ditandai dengan turunnya binatang yang biasanya tinggal di lereng Merapi. Pada peristiwa erupsi tahun 2010, tanda-tanda alam turunnya binatang itu tidak begitu kelihatan tidak seperti peristiwa erupsi-erupsi sebelumnya. Kurang terasanya tanda-tanda alam ini karena di kawasan hutan Merapi sudah sangat jarang ditemui binatangbinatang besar seperti rusa dan babi hutan. Sebagaimana disampaikan oleh Saryono, seorang warga Stabelan yang pada erupsi Merapi tahun 2010 sebagian rumah dan kandang sapinya roboh karena hujan abu. “Nek sakniki ting alas niku kantun ketingal kidang setunggal, nek celeng tasih onten sekedik” (Saryono, warga Stabelan). “Kalau sekarang di hutan Merapi tinggal kelihatan seekor rusa, kalau babi hutan masih ada tetapi sedikit” (Saryono, warga Stabelan). Seiring perkembangan jaman dan pengalaman masyarakat terhadap fenomena erupsi Merapi, mulai muncul pandangan yang berbeda terhadap wisik, terutama pada kalangan muda. Pada satu sisi mereka tetap memandang tradisi sebagai suatu hal penting dan harus dilestarikan. Sementara di lain pihak mereka memandang sudah saatnya untuk mendengarkan informasi yang commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lebih akurat dari pihak terkait. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Saryono. “Nggih napa ngendikanipun tiyang sepuh napa sesepuh niku kedah dimirengke, ning sing mesti nggih informasi saking pemerintah. Wah nek kemutan kedadosan erupsi nika medeni, mila penting sanget informasi saking pemerintah. Lan nek kula manut pemerintah mawon, ngeri” (Saryono, warga Stabelan). “Ya apa yang disampaikan oleh orang tua atau sesepuh itu harus didengarkan, tetapi yang pasti ya informasi dari pemerintah. Wah kalau ingat kejadian erupsi itu menakutkan, maka informasi dari pemerintah itu penting sekali. Dan kalau saya mengikuti pemerintah saja, mengerikan” (Saryono, warga Stabelan). c. Makhluk Spiritual Salah satu faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan masyarakat Desa Tlogolele untuk tetap tinggal wilayah KRB III itu adalah mitos tentang Merapi. Masyarakat setempat percaya bahwa Gunung Merapi bukan hanya sekedar gunung semata, melainkan juga merupakan tempat tinggal berbagai makhluk spiritual yang biasa disebut makhluk alus. Makhlukmakhluk itu diyakini dapat mengontrol erupsi atau letusan Merapi. Selain itu, makhluk-makhluk itu juga bisa memberikan informasi kalau Merapi akan meletus melalui wisik (Donovan, 2010). Salah satu makhluk spiritual yang sangat berpengaruh dalam mitologi Merapi adalah Mbah Petruk. Nama Mbah Petruk menjadi semakin banyak dikenal orang terutama semenjak kemunculan awan di puncak Merapi yang menyerupai
wajah
Petruk
dalam
kisah
pewayangan.
Dalam
dunia
pewayangan, Petruk merupakan salah satu tokoh Punokawan (pengasuh para ksatria) selain Semar, Gareng, dan Bagong. commit to user Dalam kisah pewayangan Petruk 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan sosok yang jujur dan terbuka, maka tidak mengherankan kalau dia sering dipercaya sebagai juru bicara para ksatria. Sehingga ketika menjelang erupsi tahun 2010 muncul awan Petruk diyakini sebagai pertanda akan terjadi letusan besar, masyarakat menyebutnya dengan Petruk nagih janji. Keyakinan
masyarakat
Desa
Tlogolele
bahwa
Merapi
ada
penunggunya di wujudkan dalam bentuk slametan atau selamatan dengan berbagai macam sesaji. Sesaji merupakan bentuk penghormatan kepada mahkluk penunggu Merapi dengan harapan agar masyarakat dijaga dan dilindungi darai bahaya, sebagaimana dikemukakan oleh Somo Sarpingi. “Menawi kita pas ngawontenaken slametan, kita damel sesaji kagem Mbah Petruk minangka ingkang nengga Merapi. Lan sesaji menika isinipun menapa ingkang dados keremanipun Mbah Petruk” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran). “Kalau kita pas mengadakan selamatan, kita membuat sesaji untuk Mbah Petruk sebagai penunggu Merapi. Dan sesaji itu isinya apa saja yang menjadi kesukaan Mbah Petruk” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran). d. Mbah Sunan Bagor Nama Mbah Sunan Bagor sangat erat kaitannya dengan masyarakat Desa Tlogolele terutama Stabelan, karena diyakini sebagai cikal bakal dusun Stabelan. Dalam perjalanannya pergi dan pulang dari berperang dia selalu beristirahat (stab) di suatu tempat yang kemudian dikenal dengan Stabelan. Informasi lebih lanjut mengenai Mbah Sunan Bagor tidak begitu banyak, hanya diketahui ia meninggal dan dimakamkan di Stabelan di sebelah utara dusun. commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mbah Sunan Bagor diyakini sebagai tokoh sakral yang bisa menghubungkan masyarakat dengan penguasa Merapi. Sebagai bentuk pengakuan sebagai tokoh sakral, masyarakat senantiasa berziarah dan berdoa di makamnya. Pada setiap acara ritual tradisi seperti Slametan Malam Jum‟at Pon, Merti Bumi, Upacara Sega Cagak dan Sega Gunung, masyarakat senantiasa beziarah dan berdoa di makam Mbah Sunan Bagor, karena diyakini bisa memberikan pertolongan dan perlindungan. Untuk menghormati Mbah Sunan Bagor, masyarakat Stabelan berinisiatif membangun makamnya. Berdasarkan cerita setempat, upaya untuk membangun makam itu sudah berulang kali tetapi selalu gagal karena material yang akan digunakan untuk membangun selalu dibuang. Sebagaimana disampaikan oleh Sutarjo, salah satu sesepuh dusun Stabelan. “Mpun dicobi bongsal-bangsul anggenipun ajeng ndamel cungkup ting pesareanipun Mbah Sunan, ning matrialipun tansah dibucal. Lajeng saksampunipun menika warga nyuwun ijin kangge mbangun makam malih. Lumantar satunggaling sederek, Mbah Sunan ngendika menawi pesareanipun pareng dipun bangun namung mboten dipun tutup mawi tembok sedaya, supados saget ngawat-ngawati putra wayah sakwanci gunung menika mbebayani” (Sutarjo, warga Stabelan) “Sudah dicoba berulangkali untuk membuat cungkup (bangunan) di makam Mbah Sunan, tetapi materialnya selalu dibuang. Kemudian warga minta ijin untuk membangun makam lagi. Melalui perantara seseorang, Mbah Sunan bilang kalau makamnya boleh dibangun tetapi tidak ditutup tembok semuanya supaya bisa mengawasi anak cucunya pada saat ada bahaya Merapi” (Sutarjo, warga Stabelan).
Menurut masyarakat Stabelan, salah satu alasan ditolaknya keinginan untuk membangun makam karena Mbah Sunan Bagor melihat kalau warga commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat belum sejahtera. Setelah kesejahteraan masyarakat meningkat, keinginan untuk membangun makam itu terlaksana. Kesejahteraan itu ditunjukkan dengan adanya listrik, jalan beraspal, dan air bersih. Kuburan atau peninggalan para tokoh cikal bakal dianggap keramat dan dipercayai bahwa roh mereka masih tinggal di sekitar desa, sehingga dapat diminta pertolongan. Makam para tokoh tersebut sering kali didatangi untuk dimintai berkat keselamatan dan keberuntungan, tidak hanya oleh penduduk setempat tetapi juga oleh orang-orang dari luar desa (Triyoga, 2010). Demikian pula dengan makam Mbah Sunan Bagor bagi warga Stabelan dan Desa Tlogolele pada umumnya, mereka memandang makam itu keramat dan diyakini dapat memberikan pertolongan. Sehingga dalam hampir setiap kegiatan dusun selalu diawali dengan ziarah dan berdoa di makam itu. Sutarjo, berusia sekitar 65 tahun dan merupakan salah satu tokoh tua pada masyarakat Stabelan mengemukakan. “Lha nggih pokokipun sedaya kedah amit-amit riyin kalih para punden amrih sedaya lancar” (Sutarjo, warga Stabelan). “Lha ya pokoknya ijin atau permisi dulu pada para leluhur supaya semuanya lancer” (Sutarjo, warga Stabelan). Dalam perkembangan selanjutnya makam Mbah Sunan Bagor juga sering dijadikan tempat ziarah orang dari luar Stabelan bahkan jauh dari luar Desa Tlogolele. Tujuan orang-orang luar itu berziarah ke makam Sunan Bagor agar dimudahkan mencari rizki, pekerjaan, pangkat dan jabatan. Menyikapi kedatangan orang luar yang ngalap berkah di makam Mbah Sunan Bagor, commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat Stabelan menanggapi dengan bijaksana sebagaimana yang dipesan oleh Mbah Sunan Bagor. “Mirsani katahipun tiyang ingkang sami ziarah ting pesareanipun, Mbah Sunan ngendika, nek sik adoh tak wenehi akeh ning nek kowe sitik-sitik wae wong saben dina” (Saryono, warga Stabelan). “Melihat banyaknya orang yang berziarah ke makam, Mbah Sunan bilang kalau yang datang dari jauh diberi banyak tetapi kalau kamu (mayarakat Stabelan) sedikit-sedikit saja karena setiap hari” (Saryono, warga Stabelan). e. Potensi bahaya erupsi Keberadaan Gunung Merapi sebagai salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia mangarahkan pada pandangan adanya potensi bahaya yang mengancam penduduk di sekitarnya. Potensi bahaya yang muncul adalah potensi terjadinya erupsi atau letusan. Sebagai salah satu gunung berapi yang paling aktif, Merapi selalu menunjukkan eksistensinya dengan erupsi atau letusan yang terjadi dalam siklus dua sampai lima tahun. Menghadapi kenyataan bahwa siklus erupsi Merapi yang demikian pendek dan ancaman bahaya yang begitu besar, maka sebagian besar warga Desa Tlogolele mulai membuka diri terhadap pesan-pesan dari pemerintah. Hal itu sebagaimana yang dikemukakan oleh Saryono warga Stabelan. “Sanese tradisi, nek pas kedadosan erupsi nika nggih sing baken mirengke informasi saking pemerintah. Pokokke nek kemutan pas erupsi riyin nika ngeri mas. Nderek ngendikane pemerintah mawon” (Saryono, warga Stabelan). “Selain tradisi, pada saat terjadi erupsi yang paling utama adalah mendengarkan informasi dari pemerintah. Pokoknya kalau ingat saat erupsi dulu (2010) ngeri mas. Ikut pemberitahuan pemerintah saja” (Saryono, warga Stabelan). commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Tri, warga Ngadirojo. “Wah pokoke manut pemerintah wae ben aman, dikon ngungsi ya ngungsi. Ora cukup ming slametan tok” (Tri, warga Ngadirojo) “Wah pokoknya mengikuti pemerintah saja biar aman, disuruh mengungsi ya mengungsi. Tidak cukup hanya selamatan saja” (Tri, warga Ngadirojo). f. Potensi kesuburan tanah Konstruksi yang kedua dalam domain Merapi sebagai alam adalah potensi kesuburan tanah. Potensi kesuburan tanah ditandai dengan banyaknya sumber mata air dan dinamika pertanian di lereng Merapi sehingga dikenal sebagai sentra penghasil sayur-mayur. Potensi kesuburan tanah memberikan jaminan kesejahteraan dan kehidupan bagi warga Desa Tlogolele. Potensi kesuburan tanah itu pula yang menyebabkan warga Desa Tlogolele tetap tinggal di wilayah yang termasuk dalam KRB III dan KRB II. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh salah satu warganya. “Lha ajeng pripun malih, wong pancen panggesangane ting mriki kok” (Suwar, warga Stabelan). “Lha mau bagaimana lagi, memang kahidupannya di sini kok” (Suwar, warga Stabelan). Adanya potensi kesuburan tanah yang menjanjikan pada kesejahteraan membuat warga Desa Tlogolele tetap memilih untuk tinggal di wilayah yang sebenarnya berbahaya. Selain dengan bekal pasrah pada Yang Maha Kuasa, meraka juga senantiasa mengikuti perkembangan informasi terkait aktivitas Gunung Merapi. commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“A nggih pokokke pasrah lan nyenyuwun, kaliyan ugi tansah mirengke informasi saking pemerintah” (Saryono, warga Stabelan). “A yang penting pasrah dan selalu berdoa, sekaliyan juga senantiasa mendengarkan informasi dari pemerintah” (Saryono, warga Stabelan).
Untuk lebih jelas, konstruksi sosial masyarakat Tlogolele terhadap Gunung Merapi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8 Konstruksi Sosial Masyarakat Tlogolele Terhadap Alam Gunung Merapi No.
Konstruksi
Keterangan
Pandangan masyarakat bahwa Merapi bukan ancaman. Ketika terjadi erupsi atau letusan itu menandakan bahwa Merapi sedang mempunyai hajat. Pertanda yang datang melalui mimpi 2 Wisik seseorang yang menginformasikan bahwa akan terjadi sesuatu di Merapi. Keyakinan bahwa Merapi merupakan 3 Makhluk Spiritual kraton makhluk halus, konsepsi Mbah Petruk sebagai penunggu Merapi. Cikal-bakal atau leluhur masyarakat 4 Mbah Sunan Bagor Stabelan. Gunung Merapi merupakan salah satu 5 Potensi Bahaya Erupsi gunung berapi yang paling aktif. 6 Potensi Kesuburan Tanah Wilayah yang subur untuk pertanian dan mengikat warga setempat untuk tetap tinggal, walaupun ada ancaman erupsi. Sumber : Data Primer, diolah, Januari 2013 1
Lelaku
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Aplikasi Konstruksi Kearifan Lokal Merapi dalam Kehidupan Seharihari Masyarakat Desa Tlogolele. Secara umum pengetahuan lokal atau kearifan lokal atau local wisdom
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakatnya (Sartini, 2004). Menurut Jim Ife, kearifan lokal memiliki enam dimensi : dimensi pengetahuan lokal, nilai lokal, ketrampilan lokal, sumber daya lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan solidaritas lokal (Permana, 2010). a. Dimensi Pengetahuan Lokal. Masyarakat di mana pun selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya, seperti : siklus iklim, jenis flora dan fauna, kondisi geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat telah mendiami suatu daerah cukup lama dan telah mengalami perubahan sosial yang bervariasi, dan menyebabkan mereka mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan lokal dalam menguasai alam. Demikian pula dengan masyarakat
Tlogolele yang tinggal lereng
sebelah barat dari salah satu gunung paling aktif di dunia, Merapi. Selain potensi alam yang subur, potensi lainnya adalah ancaman bahaya erupsi yang setiap saat bisa terjadi. Potensi kesuburan alam Merapi mendorong masyarakat Desa Tlogolele mengintensifkan pola pertaniannya. Mereka menanam berbagai komoditas pertanian atau cash corps yang memiliki nilai commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jual. Mereka juga memiliki pengetahuan lokal dalam pertanian, seperti bagaimana menentukan musim tanam yang baik berdasarkan pranata mangsa, jenis tanaman apa yang potensial, dan bagimana memeliharanya sesuai kondisi lahan yang ada. Menyadari akan potensi bahaya yang ada, masyarakat mengkonstruksi kenyataan itu dengan berbagai hal yang dapat menenangkan dan menentramkan. Mereka menganggap wisik atau pertanda dari penguasa Merapi atau leluhur tentang akan terjadi erupsi
merupakan hal yang nyata
dan harus disikapi dengan bijaksana sesuai tradisi masyarakat. Selanjutnya mereka akan mengimplementasikannya dengan berbagai macam selamatan yang pada intinya sebagai permohonan agar diberikan keselamatan dan dijauhkan dari mara bahaya. b. Dimensi Nilai Lokal Agar kehidupan masyarakat teratur, maka setiap masyarakat memiliki aturan dan tata nilai yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya. Nilai-nilai ini mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Nilai-nilai lokal yang terdapat kehidupan sehari-hari masyarakat Tlogolele di antaranya adalah kepatuhan pada Yang Maha Kuasa, menghormati leluhur, menghormati orang yang lebih tua, kebersamaan, kesederhanaan, menghormati sesama,
kepatuhan pada pemerintah, dan
mencintai lingkungan. Nilai-nilai itu diimplementasikan dalam berbagai bentuk selamatan yang ada dalam masyarakat dan diaplikasikan dalam commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kehidupan sehari-hari. Dan nilai-nilai itu juga diwariskan dari generasi ke generasi sebagai suatu tradisi. Keseluruhan pengalaman manusia tersimpan dalam kesadaran, mengendap, dan akhirnya dapat memahami dirinya dan tindakannya dalam konteks sosial kehidupannya. Dan melalui proses pentradisian akhirnya jadilah pengalaman itu ditularkan kepada generasi berikutnya (Sudikin, 2002). c. Dimensi Ketrampilan Lokal Ketrampilan lokal dipergunakan oleh masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai senjata untuk tetap bertahan hidup (survive). Dimensi ketrampilan lokal masyarakat Desa Tlogolele terlihat dalam kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan. Anugrah kesuburan tanah mendorong mereka untuk beraktifitas dalam bidang pertanian. Mayoritas penduduk Desa Tlogolele bergerak dalam bidang pertanian lahan kering dan hanya sebagian kecil saja yang bergerak dalam pertanian sawah irigasi yaitu di Dusun Tlogolele dan Tlogomulyo. Untuk memaksimalkan usahatani di lahan kering itu, mereka menyesuaikan diri dengan menanam aneka sayuran sebagai komoditas unggulan. Kemampuan dan ketrampilan dalam mengolah lahan kering di sekitar mereka membuat daerah ini sebagai salah satu penghasil sayuran yang diperhitungkan. d. Dimensi Sumber daya Lokal Sumber daya lokal pada umumnya adalah sumber daya alam yang digunakan
oleh
masyarakat dalam commit to usermemenuhi
kebutuhan
hidupnya. 73
perpustakaan.uns.ac.id
Masyarakat
digilib.uns.ac.id
akan
kebutuhannya
dan
menggunakan tidak
sumber
mengeksploitasi
daya
lokal
secara
sesuai
dengan
besar-besaran
atau
dikomersialkan. Ketika di daerah lain di lereng Merapi material lahar dingin berupa pasir dan batu secara besar-besaran ditambang dan di komersialkan, tidak demikian halnya dengan di Desa Tlogolele. Posisi desa yang terletak tepat di sebelah selatan aliran Sungai Apu yang memiliki potensi material vulkanik yang besar tidak serta merta mendorong warganya untuk menambang dan mengkomersialkan. Mereka akan mengambil pasir dan batu hanya untuk kebutuhan mereka sendiri dalam membangun rumah, bahkan beberapa di antaranya justru membeli dari penambang di daerah lain. Ada keyakinan bahwa batu-batu besar yang terdapat di sekitarnya merupakan pondasi yang memberikan kekuatan pada Gunung Merapi untuk tetap kokoh berdiri. e. Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal Masing-masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis, ada juga yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang. Mekanisme pengambilan keputusan di wilayah Desa Tlogolele sangat dipengaruhi oleh keberadaan seorang kepala dusun atau bayan. Bayan memegang peranan yang sangat penting, selain sebagai petugas administratif, juga sebagai pamong masyarakat. Sebagai petugas administratif, bayan adalah pemangku jabatan pada tingkat dusun yang bertanggung jawab pada kepala commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
desa. Bayan adalah penghubung antara pemerintah dengan masyarakat pada tingkat terendah. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai pamong, bayan memegang peran sebagai pengayom, pengasuh, dan orang dituakan oleh masyarakat. Sehingga tidak mengherankan seorang bayan banyak terlibat dalam berbagai kegiatan dan acara di dusunnya. Secara umum jabatan bayan di Desa Tlogolele diperoleh oleh seseorang secara turun temurun. Musyawarah
mufakat merupakan tradisi warga masyarakat Desa
Tlogolele, namun keberadaan bayan sangat dibutuhkan karena merupakan figur seorang pemimpin dan pengambil keputusan. Sebagai contoh ketika ada seorang warga yang bermimpi mendapatkan wisik dari Mbah Petruk atau Mbah Buyut (penguasa Merapi) terkait aktivitas Merapi, maka wisik itu kemudian disampaikan kepada bayan atau kepala dusun. Kemudian bayan menggerakkan warganya untuk melaksanakan pesan dalam wisik tersebut. Niti Sukir seorang warga Takeran pernah bermimpi mendapatkan wisik dari Mbah Buyut (penguasa Merapi) untuk disampaikan kepada kepala dusunnya agar para warga mengadakan selamatan. Mendapatkan pesan seperti itu kemudian bayan atau kepala dusun Takeran Somo Sarpingi mengadakan selamatan bersama warga di rumahnya. “Rikala menika wonten satunggaling warga Takeran Pak Niti Sukir, piyambakipun ngimpi dipun datengi tiyang ingkang ngangge jubah sarwa petak nyanjangi menawi para warga kapurih ngawontenaken slametan” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran). “Pada suatu saat ada salah satu warga Takeran Pak Niti Sukir, dia bermimpi didatangi orang yang memakai pakaian serba putih memberitahu kalau warga diminta mengadakan selamatan” (Somo Sarpingi, kadus Takeran). commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagai orang yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan, ketegasan dan kebijaksanaan seorang bayan sangat dibutuhkan terutama ketika muncul persoalan-persoalan yang serius. Sebagaimana halnya pada saat terjadi erupsi, ketika para sesepuh dan orang tua masih teguh dengan keyakinan turun temurun. Sementara generasi mudanya sudah berpikir yang lebih rasional, maka di sinilah seorang bayan menunjukkan perannya dalam mekanisme pengambilan keputusan yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Hal itu sebagaimana yang dikemukakan oleh Saryono, seorang warga Stabelan. “Nggih pokokmen mangkih nderek napa sing disanjangke kalih pak Bayan” (Saryono, warga Stabelan). “Ya pokoknya nanti mengikuti apa yang disampaikan oleh pak Bayan” (Saryono, warga Stabelan). f. Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal Suatu masyarakat pada umumnya dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunyai mediamedia untuk mengikat warganya melalui ritual keagamaan atau cara dan upacara adat lainnya. Seperti halnya di Desa Tlogolele, banyak ritual keagamaan dalam bentuk selamatan yang dilaksanakan oleh para warganya. Selamatan-selamatan itu dilaksanakan secara bersama-sama di mana seluruh warga masyarakat terlibat. Selain melalui ritual keagamaan, media lain yang menunjukkan dimensi solidaritas kelompok lokal adalah acara pernikahan, kematian, commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembangunan rumah, dan pengerjaan lahan pertanian. Mereka melaksanakan hal-hal tersebut secara bergotong royong sebagai ungkapan kebersamaan dan solidaritas. Mereka membangun kebersamaan dan solidaritas sebagai bagian dalam kehidupan sehari-hari demi mencapai kehidupan masyarakat yang harmonis. Kesadaran masyarakat Tlogolele bahwa mereka tinggal di pundak salah satu gunung paling aktif di dunia telah
membentuk suatu konstruksi sosial
terhadap alam Gunung Merapi. Konstruksi sosial itu kemudian diaplikasikan dalam berbagai macam ritual selamatan dan mitos yang memiliki dimensi sebagai suatu kearifan lokal. Dimensi-dimensi kearifan lokal
itu telah menjadi tradisi yang turun-
temurun dan hidup dalam masyarakat. Dimensi kearifan lokal itu terwujud dalam bentuk ide-ide, gagasan yang diimplementasikan dalam bentuk tindakan dan perilaku yang meninggalkan jejak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Tlogolele.
Dalam konteks budaya Jawa, dimensi-dimensi kearifan lokal itu
merupakan cerminan dari konsep Memayu Huyuning Bawana, suatu konsep yang sering kali tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri. Sebagaimana
telah
dikemukakan
sebelumnya,
masyarakat
dalam
pandangan Berger dan Luckmann (1990), adalah suatu kenyataan obyektif yang di dalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun dengan pembiasaan (habitualisation). Dalam proses pelembagaan itu terdapat tindakan yang selalu diulang-ulang sehingga kelihatan pola-polanya dan terus direproduksi sebagai commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tindakan yang dipahaminya. Jika habitualisasi atau pembiasaan ini terus berlangsung maka akan terjadi pengendapan dan menjadi suatu tradisi. Meminjam pandangan Berger dan Lucmann tersebut, masyarakat sebagai tempat individu saling berinteraksi dan bersosialisasi sebagai suatu kenyataan obyektif, maka di dalamnya terdapat proses habitualisasi dengan cara membangun atau menkonstruksi pola-pola interaksi dan sosialisasi dalam bentuk mitos, tradisi, dan kearifan lokal. Proses pelembagaan dan legitimasi yang mencakup universum simbolis, yaitu proses obyektivasi makna baru dalam bentuk mitos, tradisi, dan kearifan lokal. Yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan pada proses pelembagaan menjadi sesuatu yang masuk akal secara subyektif. Berger memandang realitas sosial bergerak dalam tiga proses utama : eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Realitas sosial, yang pada dasarnya merupakan hasil konstruksi manusia melalui mekanisme ekstenalisasi dan obyektivasi, berbalik membentuk manusia melalui mekanisme internalisasi (Samuel, 2012). Sebagaimana telah dibahas di muka, ada dua domain konstruksi sosial masyarakat Tlogolele terhadap Gunung Merapi, yaitu domain tradisi dan domain alam. Domain tradisi terdiri dari empat macam rincian domain, yaitu : lelaku, wisik, makhluk spiritual, dan Mbah Sunan Bagor, dan secara garis besar dalam kehidupan sehari-hari diaplikasikan dalam bentuk slametan atau selamatan dan commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pantangan. Aplikasi kearifan lokal Merapi masyarakat Desa Tlogolele terlihat dalam beberapa bentuk, yaitu : a. Slametan Malam Jum‟at Pon atau Selamatan Malam Jum‟at Pon Pada masyarakat Stabelan Tlogolele, tradisi Slametan Malam Jum‟at Pon dilaksanakan setiap selapan atau tiga puluh lima hari sekali. Selamatan ini dilaksanakan sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat senantiasa diberikan keselamatan, perlindungan dari segala bahaya, dan diberikan kemurahan rizki. Selain itu itu, slametan ini juga dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh spiritual masyarakat Stabelan yaitu Mbah Sunan Bagor. Prosesi acara slametan ini
dimulai sejak hari Kamis Pahing sore
dengan acara membersihkan makam Mbah Sunan Bagor. Setelah itu kemudian warga dipimpin oleh kepala dusun setempat memanjatkan doa di makam
leluhur
tersebut
agar
senantiasa
mendapatkan
keselamatan,
perlindungan, dan diberikan kemurahan rizki. Acara dilanjutkan pada malam harinya yaitu malam jum‟at pon, dan biasanya dimulai setelah isya‟ di rumah kepala dusun. Acara utama pada Slametan Malam Jum‟at Pon adalah kenduri, di mana setiap kepala keluarga mengeluarkan nasi tumpeng beserta sayur dan lauknya. Dengan dipandu oleh kepala dusun dan kaum (tokoh agama Islam) dipanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar masyarakat senantiasa diberikan keselamatan, dijauhkan dari mara bahaya, dan kemurahan rizki. commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Slametan Malam Jum‟at Pon, selain sebagai sarana ritual juga dimanfaatkan sebagai sarana berkumpulnya warga dusun untuk membahas berbagai permasalahan yang dihadapi dusun. Hal ini menunjukkan suatu pola keteraturan hidup di antara warganya dan juga menunjukkan adanya solidaritas atau kebersamaan. b. Slametan Sega Cagak dan Sega Gunung Secara umum slametan sega cagak dan sega gunung dilaksanakan oleh warga Desa Tlogolele pada tanggal satu sampai tujuh bulan Ruwah atau Sya‟ban (salah satu bulan dalam kalender Hijriyah). Namun juga bisa dilaksnakan pada kesempatan yang lain, terutama pada saat aktivitas Merapi mengalami peningkatan. Sebagaimana yang pernah terjadi di dusun Takeran ketika menjelang terjadinya erupsi tahun 2010, di mana salah satu warganya bermimpi didatangi Mbah Petruk untuk segera melaksanakan selamatan. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Somo Sarpingi, Kadus Takeran. “Rikala menika wonten satunggaling warga Takeran Pak Niti Sukir, piyambakipun ngimpi dipun datengi tiyang ingkang ngangge jubah sarwa petak nyanjangi menawi para warga kapurih ngawontenaken slametan” (Somo Sarpingi, Kadus Takeran). “Pada suatu saat ada salah satu warga Takeran Pak Niti Sukir, dia bermimpi didatangi orang yang memakai pakaian serba putih memberitahu kalau warga diminta mengadakan selamatan” (Somo Sarpingi). Slametan Sega Cagak dan Sega Gunung biasanya dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat di rumah masing-masing, kecuali pada kondisi tertentu sebagaimana yang terjadi di Dusun Takeran. Sega Cagak terdiri dari tumpeng nasi jagung atau commit nasi beras ditambah sayur kenyel (kulit sapi). to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tujuan dari Slametan Sega Cagak adalah sebagai doa untuk orang tua dan para sesepuh desa atau orang yang lebih tua agar senantiasa diberikan kesehatan, karena dari merekalah para warga masyarakat belajar berbagai hal dalam hidup. Orang tua, sesepuh merupakan cagak atau tiang sebagai sumber pengetahuan, keteladanan, dan nilai-nilai, sehingga patut untuk dihormati. Sedangkan Sega Gunung terdiri dari tumpeng nasi jagung ditambah bahan-bahan alam berupa kluban ranti, bongko, botok, ares dan ketela bakar. Bahan-bahan yang digunakan dalam sesaji Sega Gunung semua diolah dengan cara alami tidak menggunakan minyak atau tanpa digoreng. Selain itu juga dilengkapi dengan minuman teh dan kopi, ditambah rokok biasanya rokok ojo lali, klobot, dan djeruk kretek yang diyakini warga merupakan kesukaan Mbah Petruk. c. Tulak Tambak Baritan Tulak dalam bahasa Jawa berarti tolak atau menolak, tambak berarti tanggul atau benteng, sedangkan baritan merupakan singkatan dari “mbubarke peri lan setan” atau membubarkan peri dan setan. Sehingga Tulak Tambak Baritan merupakan selamatan yang dilaksanakan membentengi dusun dari segala gangguan, ancaman, dan bahaya yang mengancam keselamatan. Tulak Tambak Baritan merupakan rangkaian berbagai selamatan yang biasanya dilaksanakan pada bulan Besar dalam kalender Jawa atau bertepatan dengan bulan Dzulhijah dalam kalender Hijriyah. Tulak Tambak Baritan dimaksudkan sebagai selamatan agar masyarakat terhindar dari bahaya yang mengancam dan senantiasacommit diberikan keselamatan. Rangkaian dalam Tulak to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tambak Baritan terdiri dari tumpeng robyong, sega cagak, sega gunung, tumpeng uruping damar, liwet slamet, sega golong, dan jenang pliringan. (1). Tumpeng Robyong Tumpeng Robyong diwujudkan dalam tumpeng (nasi putih yang dibuat bentuk kerucut) dililiti kacang panjang sudah masak melingkar sampai puncak tumpeng tetapi sudah tidak beraturan letaknya; di atas tumpeng berturut-turut dari bawah ke atas telur ayam masak yang masih ada kulitnya, trasi, bawang merah, dan lombok merah; di kanan kiri tumpeng terdapat sayur-sayuran dan lauk-pauk yang sudah masak dengan letak yang juga tidak beraturan. Macam sayur-sayuran antara lain: kacang panjang, wortel, kubis, daun so, kecambah, daun bayam, dan daun singkong). Macam lauk-pauk antara lain: tempe goreng, ayam goreng, ikan asin, dan telur ayam yang sudah masak. Tumpeng beserta perlengkapannya itu ditaruh di atas tampah yang sudah dialasi dengan daun pisang. Letak yang tidak beraturan dari segala isi tumpeng ini yang kemudian disebut tumpeng robyong. Tumpeng Robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng yang bentuknya menyerupai gunung menggambarkan kemakmuran sejati, air yang mengalir dari gunung akan menyuburkan tanah dan menghidupi tumbuhan. Sedangkan tumbuhan yang dibentuk secara tidak teratur atau ribyong yang dialiri air akan bersemi yang berarti hidup, tumbuh, dan berkembang. commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2). Tumpeng Uruping Damar Tumpeng Uruping Damar merupakan tumpeng nasi yang pada ujungnya diberi telur. Menurut Kamus Bausastra Jawa, urup berarti nyala, dan damar berarti diyan atau lampu. Selamatan Tumpeng Uruping Damar dimaksudkan sebagai doa permohonan agar diberikan keturunan yang baik dan para wanita yang sedang mengandung senantiasa dijaga dan dilindungi. Selain itu juga terkandung harapan agar senantiasa diobori atau diberikan penerangan dalam menjalankan hidup. (3). Liwet Slamet Liwet Slamet merupakan nasi yang di dalamnya berisi sambal, sesuai
dengan
namanya
bermakna
permohonan
agar
diberikan
keselamatan. Selain sebagai rangkaian dari Tulak Tambak Baritan, liwet slamet juga sering dibuat ketika akan memulai suatu pekerjaan, mengawali musim tanam, dan bepergian jauh. “Nek penjenengan bade tindakan tebih, mila kersanipun pinaringan keslametan saha tinebihna saking rubida lan tansah dipun reksa dening punden, saenipun dipun sranani kanti slametan liwe slamet” (Sumarta Tumar, Ketua RT IV Stabelan) “Kalau anda akan bepergian jauh, maka agar senantiasa diberi keselamatan dan dijauhkan dari gangguan serta dilindungi oleh leluhur, sebaiknya dilaksanakan selamatan liwet slamet” (Sumarta Tumar, Ketua RT IV Stabelan). (4). Sega Golong Sega Golong merupakan nasi yang berbentuk bulatan sebesar kepalan tangan dan dibuat untuk menghormati leluhur. Selamatan sega golong merupakan simbol darito golong gilig, gumolong gumilig yang commit user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimaksudkan agar diberikan kebulatan tekad atau ketetapan hati dalam melakukan segala hal. Selain itu, selamatan sega golong merupakan bentuk dari kepercayaan diri dan keyakinan diri seseorang bahwa segala sesuatu sudah ada yang mengatur. (5). Jenang Pliringan Jenang pliringan merupakan jenang yang berwarna putih dan merah. Jenang yang berwarna putih melambangkan kesucian, kebaikan, sedangkan jenang yang berwarna merah melambangkan hal-hal yang tidak baik. Jenang tersebut diletakkan di atas satu piring berdampingan antara yang putih dan merah.“Barang sing ala aja ngasi nerak nampek manungsa” atau “Barang yang tidak baik jangan sampai mengenai manusia”. Selain itu, dengan jenang pliringan ketika aktivitas Merapi meningkat dan terjadi erupsi diharapkan masyarakat Stabelan khususnya dan Tlogolele umumnya dapat terhindar dari bahaya. d. Rejeban Kegiatan selamatan rejeban dilaksanakan pada pertengahan bulan Rejeb menurut kalender Jawa atau Rajab menurut kalender Hijriyah. Selamatan pada bulan Rajab ini merupakan selamatan yang paling besar dan paling meriah di antara selamatan-selamatan lainnya. Di Desa Tlogolele selamatan ini hanya dilaksanakan di Dusun Stabelan dan Dusun Tlogomulyo. Ada dua acara utama pada selamatan ini yaitu menyembelih sapi dan wayangan (pagelaran wayang kulit). commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penyembelihan sapi dimaksudkan sebagai sarana sesaji kepada leluhur dan penguasa alam. Beberapa bagian dari sapi yang disembelih seperti tanduk dan kuku digunakan sebagai sesaji, sedangkan dagingnya dibagikan secara merata kepada seluruh keluarga. Pengadaan sapi yang akan disembelih dilakukan dengan cara iuran di antara kepala keluarga-kepala keluarga yang ada sesuai dengan kesepakatan. Pada malam harinya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Selain sebagai sarana hiburan bagi warga, pagelaran wayang kulit juga sebagai bagian dari selamatan rejeban. Dalang pada pagelaran wayang kulit itu harus tampil sebanyak tujuh kali pagelaran secara terus menerus, dan tidak boleh digantikan oleh dalang lainnya sampai pagelaran yang ketujuh. Alasan tujuh kali pagelaran wayang adalah tujuh yang dalam bahasa Jawa disebut pitu, yang berarti ngemu pitutur atau berisi perkataan yang baik, berisi pelajaran.
Pelajaran
tentang
hidup,
bermasyarakat,
kebersamaan,
kesederhanaan, dan keterikatan dengan leluhur dan Yang Maha Kuasa. e. Pantangan-pantangan Implementasi konstruksi sosial masyarakat Desa Tlogolele pada umumnya dan Stabelan pada khususnya selain pada rangkaian selamatan yang ada, juga bisa dilihat dari aneka pantangan yang harus ditaati oleh para warganya. Pantangan-pantangan itu terutama pada saat ada peningkatan aktivitas dan erupsi Merapi. Setidaknya ada tiga macam pantangan ketika terjadi erupsi Merapi, yaitu dilarang bersuara yang keras, membunyikan kentongan, dan melihat langsung erupsi Merapi dengan sengaja. commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(1). Larangan bersuara keras dan membunyikan kentongan. Dalam pandangan masyarakat Stabelan dan Desa Tlogolele pada umumnya, erupsi Merapi dimaknai bahwa sang penguasa Merapi sedang punya acara atau hajatan. Sehingga para warga tidak boleh mengganggu dengan suara-suara keras dan membunyikan kentongan, karena kalau ada yang melanggar maka akan mendapatkan bahaya. “Mila nalika Mbah Buyut nembe kagungan kersa, kita mboten pareng ngganggu kanti suwanten ingkang seru lan nabuh pentongan. Amargi menawi wonten ingkang nerak larangan menika, mila lajeng Mbah Buyut anggenipun mbucal rereget bade ngliwati dusun sahingga mbebayani” (Anonim, warga Takeran). “Maka ketika Mbah Buyut (Penguasa Merapi) baru memiliki hajat, kita tidak boleh mengganggu dengan suara keras dan membunyikan kentongan. Kalau ada yang melanggar larangan itu, maka Mbah Buyut (Penguasa Merapi) akan membuang sampah (erupsi) melewati desa sehingga berbahaya” (Anonim, warga Takeran).
(2). Larangan melihat langsung erupsi Ketika terjadi erupsi ada larangan untuk melihat secara langsung karena justru akan membahayakan kampungnya. Dalam pandangan masyarakat Desa Tlogolele, erupsi Merapi bukan suatu hal yang pantas untuk dilihat karena pada saat itu penguasa Gunung Merapi sedang memiliki hajatan. Dalam kondisi terpaksa warga masyarakat harus mengungsi maka tidak diperbolehkan menoleh untuk melihat terjadinya erupsi. Selain larangan melihat erupsi secara langsung, juga ada larangan melihat secara langsung ketika terjadi banjir lahar dingin. Pada commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat di sekitar sungai yang berhulu dari Merapi ada pandangan bahwa ketika terjadi banjir lahar dingin, pada saat itu sedang ada arakarakan makhluk halus dari Merapi menuju ke Laut Selatan. (3). Larangan eksplorasi alam secara berlebihan Salah satu akibat erupsi tahun 2010 yang lalu adalah terjadinya kerusakan lingkungan karena intensitas hujan abu yang sangat tinggi di daerah itu. Hal itu menyebabkab banyak pohon roboh dan mati sebagaimana yang terjadi di hutan Negara yang ada di bagian timur Dusun Stabelan. Walaupun banyak pohon yang roboh, para warga tidak serta merta mengambil untuk kayu bakar. Dalam pandangan mereka, pohon-pohon itu sedang dijemur agar kering karena akan digunakan dalam hajatan penguasa Merapi. Walaupun masyarakat Stabelan memiliki potensi kekayaan bahan galian golongan C seperti pasir dan batu, mereka tidak serta merta mengambilnya dari sungai Apu. Untuk membangun rumah mereka lebih memilih membeli, dan kalau terpaksa harus mencari sendiri mereka akan mengambil batu yang kecil saja dari sungai kecil atau lahan milik mereka sendiri. Bagi mereka batu-batu besar yang terdapat di sungai dan tempat mereka tinggal merupakan pondasi kakuatan untuk menopang gunung, sehingga tidak boleh digali, ditambang, dan dirusak. Hal itu menunjukkan adanya
suatu keyakinan bahwa dengan menjaga alam dan tidak
merusaknya, maka
lingkungan desa mereka juga akan dijaga dan
dijauhkan dari bahaya dan bencana. commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Rumiyin mpun nate onten ingkang bade mbikak depo ting sak ler dusun Stabelan, namung dipun tolak dening masyarakat. Ningali daerah Cangkringan ingkang dipun depo ageng-agengan, lha angger erupsi lak arahipun tansah ngidul amargi selo-selo ageng meningka pondasinipun gunung sampun dipun pendeti” (Sumarta Tumar, Ketua RT IV Stabelan). “Dulu pernah ada yang akan membuka depo (penggalian pasir dan batu) di sebelah utara dusun Stabelan (Sungai Apu), tetapi ditolak masyarakat. Melihat daerah Cangkringan (wilayah Kabupaten Sleman, DIY) yang di depo secara besar-besaran, lha setiap kali terjadi erupsi arahnya selalu ke selatan karena batu-batu besar sebagai pondasinya gunung sudah diambil” (Sumarta Tumar, Ketua RT IV Stabelan).
Untuk lebih mudahnya, aplikasi pengetahuan lokal Merapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Tlogolele dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 9 Aplikasi Kearifan Lokal Merapi Dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Desa Tlogolele Aplikasi
Keterangan
1. Slametan Malam Jum‟at Pon atau Selamatan Malam Jum‟at Pon. 2. Slametan Sega Cagak dan Sega Gunung. 3. Rejeban Tulak Tambak 1. Tumpeng Robyong Baritan 2. Tumpeng Uruping Damar 3. Liwet Slamet 4. Sega Golong 5. Jenang Pliringan Pantangan 1. Larangan bersuara keras dan membunyikan kentongan. 2. Larangan melihat langsung erupsi Merapi. 3. Larangan eksplorasi alam secara berlebihan. Sumber : Data Primer, diolah, Januari 2013 Upacara Selamatan atau Slametan
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara konstruksi sosial masyarakat Tlogolele yang memandang Merapi adanya potensi bahaya erupsi memunculkan sikap waspada pada warga masyarakat atas dasar kesadaran bahwa Merapi merupakan gunung berapi yang aktif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh salah satu warganya. “Gesang ting mriki nggih tetep ayem tho, ning nggih kedah waspada pripun-pripun Merapi niku lak aktif tho. Dados sakmaosipun wonten bahaya mpun siap” (Darti, warga Stabelan). “Hidup di sini ya tetap nyaman tho, tetapi ya tetap harus waspada bagaimanapun juga Merapi itu gunung yang aktif. Jadi sewaktuwaktu ada bahaya sudah siap” (Darti, warga Stabelan). Sedangkan potensi kesuburan tanah memunculkan perilaku kerja keras pada sebagian besar warganya untuk mengolah dan memanfaatkan lahan yang ada. Potensi kesuburan tanah ini pulalah yang banyak mempengaruhi warga Tlogolele terutama warga Dusun Stabelan untuk tetap tinggal dalam lingkungan KRB III dan KRB II. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh salah satu warganya. “Sinaoso kawasan bahaya, namung wong panci rejekinipun saking siti Merapi niki nggih kedah dipun syukuri. Kula saget damel griya, gadah ingon-ingon nggih saking sale tani ting mriki” (Sutarjo, warga Stabelan). “Walaupun kawasan bahaya, tetapi memang datangnya rezeki dari tanah Merapi ini ya harus disyukuri. Saya bisa membuat rumah, memiliki ternak ya dari hasil bertani di sini” (Sutarjo, warga Stabelan). “Lah, ajeng ting pundi malih mas. Wong pancen panggesangane saking tani kok. Saget nyekolahke, terus nguliahke lare-lare nggih saking sale tani niku kok” (Sunoto, warga Ngadirojo). “Lah, mau ke mana lagi mas. Memang penghidupannya dari bertani kok. Bisa menyekolahkan, terus menguliahkan anak-anak ya dari hasil bertani itu kok” (Sunoto, warga Stabelan).
commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pembahasan 1.
Pemaknaan tentang Merapi. Di kalangan masyarakat Tlogolele, membicarakan Gunung Merapi pada
satu sisi tidak akan lepas dari domain lelaku, wisik, makhluk spiritual, dan Mbah Sunan Bagor, sementara pada sisi yang lain tidak lepas dari kenyataan akan potensi bahaya erupsi dan potensi kesuburan tanah. Domain lelaku, wisik, makhluk spiritual, dan Mbah Sunan Bagor merupakan suatu bentuk pemaknaan yang tidak lepas dari nuansa yang bersifat mistis. Bagi masyarakat Tlogolele, erupsi Merapi bukanlah merupakan bencana melainkan dipahami sebagai peringatan dari Yang Maha Kuasa. Akibat dari kepercayaan itu menjadikan banyak warga Desa Tlogolele tetap merasa aman dan nyaman tinggal di lereng gunung berapi aktif tersebut. Kepercayaan tersebut sudah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari dan mengendap menjadi tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Begitu kental dan mendarahdagingnya kepercayaan mistis terhadap Merapi
tersebut tidak lepas dari kekuasaan lokal terhadap tradisi. Foucault
dalam Power and Knowledge menjelaskan bahwa konstelasi kekuasaan menyebar dan bekerja dalam interaksi antar aktor sosial dalam masyarakat. Kekuasaan selalu terartikulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan memiliki efek kekuasaan. Penyelenggara kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan beserta institusi penopang yang di produksi kelompok dominan tidaklah memuat kategori benar atau salah, karena masyarakat dan zamancommit memiliki bentuk-bentuk wacananya sendiri di to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalamnya di mana kebenaran-kebenaran itu dibangun (Maarif et al., 2012:2). Di lain pihak Bourdiu menjelaskan bahwa kekuasaan merupakan suatu perjuangan setiap agen (individu, kelompok maupun institusi) dalam mendapatkan berbagai modal dalam suatu ranah tertentu (Maarif et al., 2012:2). Keberadaan domain konstruksi terhadap Merapi dalam bentuk lelaku, wisik, makhluk spiritual dan Mbah Sunan Bagor pada masyarakat Tlogolele tidak lepas dari peran kekuasaan lokal. Elit-elit lokal yang memiliki pengaruh besar dalam mengonseptualisasi Merapi memiliki peran yang sangat besar pada kelangsungan tradisi. Sebagaimana pada masyarakat Tlogolele, elit-elit lokal yang menonjol dan berpengaruh diwakili oleh golongan tua dan orang yang dipercaya menjadi pengelola atau semacam juru kunci makam leluhur Mbah Sunan Bagor. Dari elit-elit lokal inilah kemudian muncul pandangan bahwa Merapi bukan merupakan ancaman, Merapi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam keseharian masyarakat Tlogolele. Para sesepuh dan pengelola makam leluhur Mbah Sunan Bagor inilah yang memegang peran penting dalam pelestarian tradisi. Mereka menjadi aktor yang sangat penting dalam membangun pandangan dan tindakan berdasarkan pengetahuan lokal, sebagaimana Mbah Maridjan sang juru kunci Merapi. Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi ditunjuk oleh Sultan Hamengku Buwana IX untuk melaksanakan ruwatan pada Merapi (Triyoga, 2010). Kekuasaan telah melegitimasi
pengetahuan-pengetahuan lokal masyarakat sehingga menjadi
suatu tradisi yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Legitimasi artinya commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cara-cara di mana sesuatu dapat dijelaskan dan dibenarkan (Berger dan Luckmann, 1990). Dalam peristiwa erupsi tahun 2010, ada dua pihak yang memegang peranan penting dalam membangun wacana tentang Merapi.
Pihak pertama
adalah kelompok yang membangun wacana tentang Merapi berdasarkan pengetahuan lokal, dan pihak kedua adalah kelompok yang membangun wacana tentang Merapi berdadasarkan ilmu pengetahuan modern (Maarif et al., 2012). Aktor yang memegang peranan penting dalam membangun pandangan dan pemaknaan terhadap Merapi berdasarkan pengetahuan lokal pada masyarakat Tlogolele adalah para sesepuh dan orang yang dipercaya menjaga makam leluhur Mbah Sunan Bagor. Sumarto Tumar selaku selaku orang yang dipercaya menjaga makam Mbah Sunan Bagor merupakan salah satu orang yang memutuskan tetap tinggal meskipun rumahnya hanya berjarak tiga setengah kilometer dari puncak Merapi. “Kula mboten tumut ngungsi amargi menawi sedaya ngungsi terus sinten ingkang ajeng njagi sareane Mbah Sunan” (Sumarto Tumar, warga Stabelan). “Saya tidak ikut mengungsi karena kalau semua mengungsi terus siapa yang akan menjaga makam Mbah Sunan” (Sumarto Tumar, warga Stabelan). Sumarto Tumar dan para warga lainnya yang tidak ikut mengungsi pada umumnya karena memiliki keyakinan bahwa meraka akan senantiasa dilindungi oleh Yang Maha Kuasa dan para leluhur sebagaimana yang disampaikan dalam wisik. Pilihan Sumarto Tumar yang merasa mendapat perintah untuk tetap tinggal merupakan suatu tindakan yang muncul atas keyakinan pada kearifan lokal. commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sumarto Tumar dan juga warga yang lain sebenarnya menyadari adanya bahaya ketika terjadi erupsi, tetapi keyakinan yang berdasarkan pada kearifan lokal telah menghilangkan resiko yang sebenarnya. Di lain pihak, aktor yang memegang peranan penting dalam memaknai Merapi dan aktivitasnya berdasarkan ilmu pengetahuan modern adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BPBD bergerak atas dasar informasi yang dari Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (KPVMBG) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Surono tentang status aktivitas Merapi. Bayan atau kepala dusun merupakan elit lokal yang memegang otoritas budaya lokal sekaligus elit formal yang memegang jabatan formal dalam pemerintahan memiliki peran menghubungkan antara pemahaman tradisional dan pemahaman modern.
Pada satu sisi dia berperan dalam melegitimasi
pengetahuan lokal tentang aktivitas Merapi yang muncul melalui wisik dan berbagai tradisi ritual lainnya, pada sisi yang lain dia juga harus menyampaikan kepada warga mengenai aktivitas Merapi sebagai pejabat formal. Ketika mendapatkan laporan bahwa salah satu warganya bermimpi tentang Merapi, maka sebagai elit lokal yang memiliki otoritas budaya lokal ia segera mengumpulkan warga untuk membahasnya. Pertemuan warga yang membahas datangnya wisik serta pengalaman-pengalaman keseharian tentang Merapi melegitimasi warga untuk segera melaksanakan ritual selamatan atau slametan. Tujuan dari selamatan atau slametan yang mereka laksanakan adalah commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai sarana memohon perlindungan dan keselamatan pada Yang Maha Kuasa dan para leluhur desa. “Biasane nek Merapi niku ningkat aktivitase, onten tiyang sik ngimpi disanjangi kalih Mbah Buyut terua dipun getok tularaken kalih sederek sanes lajeng sami ngawontenaken slametan. Lan biasanipun anggenipun slametan ting griyane Pak Bayan” (Saryono, warga Stabelan). “Biasanya kalau Merapi meningkat aktivitasnya, ada prang yang bermimpi didatangi oleh Mbah Buyut (Penunggu Merapi) lalu disebarluaskan pada saudara-saudara yang lain kemudian mereka mengadakan selamatan. Dan biasanya selamatan itu dilaksanakan di rumah Pak Bayan (kepala dusun)” (Saryono, warga Stabelan). Sebagai elit formal yang memiliki jabatan formal dalam pemerintahan desa, bayan atau kepada dusun merupakan aktor yang memegang peranan sangat penting dalam mewakili hubungan antara pihak yang masih teguh memegang tradisi dengan pihak modern. Pihak yang masih memegang teguh tradisi adalah pihak-pihak yang menggunakan pengetahuan lokal sebagai dasar dalam memahami Merapi. Sementara pihak modern adalah pihak-pihak yang menggunakan ilmu pengetahuan modern sebagai dasar dalam memahami Merapi. Bayan atau kepala dusun memiliki peran yang strategis baik sebagai elit lokal maupun elit formal, dengan otoritas yang dimiliki baik otoritas lokal maupun otoritas formal. Otoritas lokal memberikan tempat yang luas baginya untuk berperan dan menjadi panutan bagi pihak yang masih teguh memegang tradisi. Otoritas formal sebagai pejabat formal pemerintahan menempatkannya sebagai pihak yang paling berwenang dalam mengambil keputusan dan sebagai penghubung masyarakat lokal dengan pemerintah. commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bertens berpendapat bahwa terdapat beberapa pandangan Foucault tentang kekuasaan. Pertama, kekuasaan bukanlah hak milik tetapi sebagai strategi seseorang atau kelompoknya dalam satu ruangan tertentu di mana satu sama lain saling berkompetisi untuk mewujudkan tujuannya masing-masing.
Kedua,
kekuasaan menyebar ke mana-mana dan tidak dapat dilokalisir. Ketiga, kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Keempat, kekuasaan tidak bersifat destruktif melainkan produktif yang menghasilkan sesuatu yang dapat mengubah sesuatu dsalam tatanan sosial politik yang aktual (Maarif et al., 2012:2). Merujuk pada hasil studi yang dilakukan oleh Yusdani pada tahun 2011 tentang Studi Konvergensi dan Divergensi Pengetahuan dan Tata Nilai Warga Desa Girikerto Kecamatan Turi Sleman terhadap Gunung Merapi Pasca Letusan 2010, diketahui bahwa warga di lereng Merapi berada dalam situasi kegamangan terkait informasi dari pengetahuan lokal dan pengetahuan modern, elit lokal dan pemerintah. Pada masyarakat Tlogolele juga dihadapkan pada situasi yang sama ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa potensi erupsi Merapi dapat mengancam kehidupan mereka. Pengalaman erupsi Merapi pada tahun 2010 telah memberikan pelajaran yang sangat berharga pada masyarakat Tlogolele terkait bagaimana mereka memahami Merapi. Secara perlahan tapi pasti terdapat pergeseran sistem nilai dalam memaknai dan memahami Merapi. Pergeseran sistem nilai tersebut sebagaimana tabel berikut. commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 10 Pergeseran Sistem Nilai Masyarakat Tlogolele dalam Memaknai dan Memahami Merapi No. Sebelum Erupsi Lokal Tradisional Modern 1 Sumber Wisik, pengalaman Informasi dari KPVMBG, hidup sehari-hari BNPB/ BPBD, perangkat desa 2 Cara mendapatkan Pertemuan di rumah Televisi, mendengar bayan atau kepala melalui HP atau HT dusun 3 Proses belajar Sosialisasi tradisi Sosialisasi dari instansi social dalam keluarga, terkait, pemerintah masyarakat 4 Aktor atau pranata Sesepuh dusun/desa, BNPB/BPBD, pemerintah sosial juru kunci makam desa, bayan/kadus leluhur, bayan/kadus Selama Erupsi 5 Tindakan Kearifan lokal Informasi resmi dari pihak penyelamatan diri terkait 6 Tindakan Elit lokal informal Elit lokal formal dan penyelamatan pemerintah keluarga 7 Tindakan Saling mengingatkan Saling mengingatkan penyelamatan 8 Hubungan dengan Kepasrahan, tradisi Kepasrahan Yang Maha Kuasa selamatan 9 Ledakan penanda Lelaku Potensi bahaya erupsi Setelah Erupsi 10 11
Kesan terhadap Kehendak Tuhan erupsi Pengalaman Memupuk solidaritas sebagai pengungsi
Kehendak Tuhan
Memupuk solidaritas, menjalin kerjasama “desa berjodoh” sebagi tempat evakuasi. 12 Aktor atau pranata Bayan/kadus, relawan, Bayan/Kadus, perangkat sosial masyarakat di lokasi desa, BNPB/BPBD. pengungsian 13 Penataan hidup Kembali ke desa, Relokasi memupuk solidaritas dengan gotong royong Sumber : Data Primer, diolah, Juni 2013 commit to user 96
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Konstruksi Sosial Masyarakat Tlogolele terhadap Alam Gunung Merapi dalam Perspektif Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann Sebagaimana telah dibahas di muka, ada beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann (1990). Asumsi-asumsi tersebut adalah : a. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. b. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul bersifat berkembang dan dilembagakan. c. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus-menerus. d. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckmann (1990) mengatakan bahwa terjadi hubungan dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika tersebut terjadi melalui tiga tahapan, yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Pada tahap ini manusia mencurahkan atau mengekspresikan diri dalam berbagai hal di dunia, baik secara fisik maupun mental. Obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalamicommit institusionalisasi. Obyektivasi merupakan hasil to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang telah dicapai baik secara mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi, yang menghasilkan realitas obyektif dan berada di luar manusia. Internalisasi adalah suatu tahap di mana individu mengidentifikasikan diri di tengah lembagalembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. Proses internalisasi merupakan proses penyerapan kembali dunia obyektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subyektivitas individu dipengaruhi oleh dunia sosial. Melalui internalisasi, manusia merupakan hasil dari masyarakat atau man is social product. Menurut Berger dan Luckmann (1990), masyarakat sebagai kenyataan obyektif terjadi melalui proses pelembagaan atau legitimasi. Pelembagaan atau institusionalisasi terjadi dari aktivitas yang dilakukan oleh individu-individu, di mana aktivitas itu dilakukan karena mereka tidak memiliki dunia sendiri, sehingga harus membangun dunianya sendiri. Semua kegiatan manusia terjadi melalui proses pembiasaan (habitualisasi). Tiap tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang pada akhirnya akan membentuk suatu pola yang kemudian bisa direproduksi dalam kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat. Pelembagaan
terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Tipifikasi tindakan-tindakann yang sudah dijadikan
kebiasaan, yang membentuk lembaga-lembaga, selalu
merupakan milik bersama. Konstruksi sosial masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi dalam perspektif teori konstruksi sosial Berger dan Lukcmann dapat dilihat pada proses eksternalisasi, obyektivasi, commit to user dan internalisasi. 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Eksternalisasi Proses eksternalisasi masyarakat Desa Tlogolele terhadap Gunung Merapi meliputi : i. Kenyataan bahwa Merapi merupakan salah satu berapi yang paling aktif. ii. Merapi merupakan kraton makhluk halus. iii. Lereng Merapi adalah wilayah yang subur. iv. Wilayah Desa Tlogolele merupakan wilayah yang termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) II dan III. b. Obyektivasi Proses obyektivasi terhadap Merapi dapat dilihat dari konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat terhadap Merapi. yang meliputi : i. Lelaku. ii. Wisik. iii. Makhluk spiritual. iv. Mbah Sunan Bagor. v. Potensi Erupsi. vi. Potensi kesuburan tanah. c. Internalisasi Dari proses eksternalisasi dan obyektivasi tersebut kemudian diinternalisasikan dalam berbagai bentuk. i. Melaksanakan berbagai macam upacara selamatan atau slametan sesuai dengan tradisi setempat. ii. Siap untuk mengungsi atau evakuasi commit toketika user terjadi erupsi. 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
iii. Semangat kerja keras untuk mengolah kesuburan alam demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan.
3.
Analisis Etnografi Konstruksi Sosial Masyarakat Desa Tlogolele terhadap Alam Gunung Merapi. Mengacu pada model analisis data dari Spradley (1997), ada empat macam analisis data dalam penelitian kualitatif, yaitu : analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema kultural. a. Analisis Domain Analisis domain adalah suatu upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan gambaran umum tentang data untuk menjawab fokus penelitian. Analisis domain dapat dilakukan dengan cara membaca naskah data secara umum dan menyeluruh untuk mendapatkan domain atau ranah apa saja yang ada dalam data tersebut. Pada tahap ini peneliti belum perlu membaca atau memahami data secara detail, dan hasil analisis ini berupa pengettahuan pada tingkat permukaan saja. Dari hasil penelitian konstruksi sosial masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi diperoleh enam macam domain, yaitu : lelaku, wisik, makhluk spiritual, Mbah Sunan Bagor, potensi bahaya erupsi, dan potensi kesuburan tanah.
commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 11 Analisis Domain Konstruksi Sosial Masyarakat Tlogolele Terhadap Alam Gunung Merapi No.
Domain
1
Lelaku
2
Wisik
3
Makhluk Spiritual
4
Mbah Sunan Bagor
5
Potensi Bahaya Erupsi
6
Potensi Kesuburan Tanah
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2013
b. Analisis Taksonomi Pada tahap ini peneliti berusaha memahami domain-domain tertentu sesuai fokus masalah dalam penelitian. Masing-masing domain dipahami secara mendalam, kemudian dibagi dalam sub-domain, dan dari sub-domain diperinci lagi secara lebih khusus sampai habis untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam. Berdasarkan domain hasil penelitian di lapangan, maka setelah dilakukan analisis taksonomi dapat diketahui bahwa terdapat dua konstruksi sosial masyarakat terhadap alam Gunung Merapi, yaitu : konstruksi tradisi dan konstruksi alam. Konstruksi sosial yang memandang Merapi sebagai suatu tradisi didasarkan pada pengetahuan lokal tradisional yang ada dalam masyarakat. Sedangkan konstruksi sosial yang memandang Merapi sebagai alam commit to user 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didasarkan pada ilmu pengetahuan.
Sebagaimana dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 12 Analisis Taksonomi Konstruksi Sosial Masyarakat Tlogolele terhadap Alam Gunung Merapi Domain Lelaku
Wisik
Makhluk Spiritual
Mbah Sunan Bagor
Potensi bahaya erupsi Potensi kesuburan tanah
Taksonomi 1 Erupsi Merapi bukanlah ancaman, melainkan karena Merapi sedang punya hajat. Mempercayai wisik sebagai sumber informasi tentang Merapi Merapi tempat bersemayam makhluk halus, Mbah Buyut/Mbah Petruk sebagai penguasa Merapi, selamatan/slametan. Punden atau leluhur yang diyakini bisa memberikan perlindungan. Mengungsi dan tidak mengungsi Kerja keras TRADISI
Taksonomi 2 Erupsi merupakan ancaman.
Mempercayai informasi dari PVMBG, BNPB/BPBD Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif.
Sejarah asal-usul masyarakat.
Mengungsi Kerja keras ALAM
Sumber : Data Primer, diolah, Oktober 2013
Domain konstruksi sosial masyarakat Tlogolele terhadap Gunung Merapi yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, apabila dicermati
to user ternyata berhubungan dengancommit mitigasi bencana dan keputusan tetap tinggal di 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wilayah tersebut. Terkait dengan mitigasi bencana hal tersebut bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 13 Analisis Pengambilan Keputusan Mengungsi atau Tidak Mengungsi Ketika terjadi Erupsi Nara Sumber
Konstruksi
Budi Harsono
Alam
Mengungsi atau Tidak Mengungsi Mengungsi
Sunoto
Tradisi dan Alam
Mengungsi
Girah
Tradisi dan Alam
Mengungsi
Darti
Alam
Mengungsi
Sumarto Tumar
Tradisi
Tidak mengungsi
Saryono
Tradisi dan Alam
Mengungsi
Suwar
Tradisi dan Alam
Tidak Mengungsi
Somo Sarpingi
Tradisi dan Alam
Mengungsi
Tri
Alam
Mengungsi
Sumber : Data Primer, diolah, November 2013 Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar informan atau nara sumber memilih untuk mengungsi ketika terjadi erupsi Merapi, sedangkan yang memutuskan untuk tidak mengungsi ada dua orang. Keputusan untuk mengungsi tersebut didasari oleh suatu kesadaran bahwa terlalu berbahaya apabila mereka tetap memaksakan diri untuk tinggal. “Wah, nggih ngungsi mawon nek onten wedhus gembel lak nggih malah mbebayani” (Sunoto, warga Ngadirojo). “Wah, ya mengungsi saja kalau ada wedhus gembel (awan panas) kan ya malah berbahaya” (Sunoto, warga Ngadirojo). Sedangkan dari dua orang warga yang memutuskan untuk tidak mengungsi diketahui bahwa mereka commitmemiliki to user alasan yang berbeda. 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Kula niku mboten ngungsi amargi sampun pikantuk pesen saking para leluhur lumantar Mbah Sunan, menawi kula kedah tetep ting dusun. Sinaoso rikala semanten sederek-sederek saking Tim Relawan sami ngajak mandap ning kula tetep mboten purun” (Sumarto Tumar, warga Stabelan). “Saya itu dulu tidak mengungsi karena sudah mendapat pesan dari para leluhur melalui Mbah Sunan, kalau saya harus tetap berada di dusun. Walaupun pada waktu itu dari Tim Relawan mengajak saya untuk turun tetapi saya tetap tidak mau” (Sumarto Tumar, wargaStabelan). “Nek kula sale mboten ngungsi niku terutami nggih sale kemutan nek sedaya sami ngungsi terus sinten sing ajeng njagi dusun. Griya, lembu nika pripun nek mboten ditengga” (Suwar, warga Stabelan). “Kalau saya tidak mengungsi terutama karena ingat kalau semua warga mengungsi terus siapa yang akan menjaga dusun. Rumah, sapi itu bagaimana kalau tidak ditunggu” (Suwar, warga Stabelan). Selain berkaitan dengan mitigasi bencana, aplikasi pengetahuan lokal Merapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tlogolele juga berhubungan keputusan untuk tetap tinggal di wilayah yang termasuk dalam KRB III dan KRB II. Pemerintah melalui Camat dan Kepala Desa sudah berulangkali mengupayakan relokasi warga yang tinggal di wilayah kawasan rawan bencana terutama KRB III Stabelan, namun hasilnya masih nihil. “Riyin nate dipun relokasi namung nggih mboten mlampah kados harapan” (Budi Harsono, Kades Tlogolele). “Dulu pernah direlokasi tetapi ya tidak berjalan sesuai harapan” (Budi Harsono, Kades Tlogolele). Salah satu alasan utama ketidakberhasilan upaya relokasi tersebut adalah alam atau tanah. Walaupun dalam masyarakat Tlogolele terutama Stabelan nuansa tradisi begitu kuat dalam kehidupan sehari-hari, namun realitas bahwa mereka perlu berkarya untuk kehidupan juga memegang peran yang sangat besar. commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menghadapi kenyataan seperti itu, alam atau tanah merupakan alasan utama mereka tetap tinggal di wilayah KRB III yang seolah-olah mengesampingkan tradisi yang sudah ada. “Lha riyin warga Stabelan niku mpun nate direlokasi mandap ting Tlogomulyo, namung saya dangu katah ingkang wangsul malih ting Stabelan. Alasanipun kajenge gampil lan caket anggenipun nggarap tegil lan ngopeni tanduran” (Budi Harsono, Kades Tlogolele). “Lha dulu warga Stabelan itu sudah pernah direlokasi turun ke Tlogomulyo, tetapi semakin lama banyak yang kembali lagi ke Stabelan. Alasannya biar mudah dan dekat dalam mengolah lahan pertanian dan memelihara tanaman” (Budi Harsono, Kades Tlogolele).
c. Analisis Komponensial Analisis komponensial dilakukan dengan cara mengontraskan antar unsur dalam ranah yang diperoleh, kemudian dipilah dan dibuat kategorisasi yang relevan. Kedalaman pemahaman tercermin dalam kemampuan mengelompokkan dan merinci anggota suatu ranah, sehingga dapat diperoleh pengertian yang menyeluruh dan mendalam serta rinci mengenai pokok permasalahan. Tabel 14 Analisis Komponensial Konstruksi Sosial Masyarakat Tlogolele terhadap Alam Gunung Merapi No. 1
Tradisi Alam Merapi sebagai kraton Salah satu berapi paling aktif di makhluk halus Indonesia 2 Mitos tentang leluhur Peran BNPB dan BPBD 3 Bisikan gaib Peran teknologi 4 Merapi sedang punya hajat Pengalaman erupsi Sumber : Data Primer, diolah, November 2013 commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan konstruksi sosial masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi dapat diketahui adanya suatu variasi pandangan masyarakat terhadap alam Gunung Merapi. Variasi tersebut dipengaruhi oleh konstruksi tradisi yang berkembang dalam masyarakat dan konstruksi Merapi sebagai alam. Sebagaimana tabel di atas, konstruksi tradisi yang berkembang dalam masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi meliputi : i. Merapi sebagai kraton makhluk halus Pandangan bahwa Gunung Merapi merukan kraton makhluk halus dapat dilihat dari kepercayaan terhadap Mbah Petruk atau Mbah Buyut yang diyakini bersemayam dan menjadi penunggu Merapi. sebagai bukti dari kepercayaan itu masyarakat menggelar berbagai selamatan atau slametan dan memberikan persembahan sesaji. ii. Mitos tentang leluhur Mitos tentang leluhur yang berkembang di kalangan masyarakat Desa Tlogolele khususnya Dusun Stabelan adalah tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal dusun tersebut yaitu Mbah Sunan Bagor. Masyarakat memandang dan meyakini kalau Mbah Sunan Bagor sebagai punden atau leluhur akan memberikan perlindungan pada seluruh masyarakat, bahkan ketika erupsi sekalipun. Sebagai penghormatan kepada beliau, masyarakat mengadakan selamatan setiap Jum‟at Pon yang disebut dengan slametan malam Jum‟at Pon. commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
iii. Bisikan gaib Masyarakat Desa Tlogolele menyebutnya dengan istilah wisik, yang diartikan sebagai pertanda kalau aktivitas Gunung Merapi mengalami peningkatan. Begitu ada wisik mengenai Merapi, masyarakat segera mengadakan selamatan, di antaranya slametan sega cagak dan slametan sega gunung. iv. Merapi sedang punya hajat Ketika aktivitas Merapi mengalami peningkatan bahkan sampai terjadi erupsi, masyarakat memandang bahwa Merapi sedang mempunyai hajat atau lelaku. Menyikapi hal itu maka masyarakat diminta untuk tetap tenang karena ada keyakinan bahwa mereka akan senantiasa dilindungi oleh leluhur apabila tetap teguh memegang tradisi. Sementara konstruksi Merapi sebagai alam meliputi : i. Salah satu gunung berapi paling aktif di dunia Kesadaran akan kenyataan bahwa Merapi merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia membuat masyarakat waspada. Sikap waspada itu membuat mereka berpikir dan bertindak bijaksana, realistis dan rasional. ii. Peran BNPB dan BPBD Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) memiliki peran yang sangat besar dalam mengevakuasi dantomeminimalisir jatuhnya korban ketika commit user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
erupsi Merapi tahun 2010. Relawan-relawan yang diterjunkan ke wilayahwilayah rawan bencana Merapi dengan sepenuh hati memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai resiko dan bahaya erupsi Merapi. iii. Peran teknologi Melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral-Badan Geologi dan BPPTK, peningkatan aktivitas Gunung Merapi selalu dipantau sehingga bisa memberikan informasi yang akurat mengenai kondisi Merapi terkini. Informasi yang akurat mengenai status Merapi mulai dari waspada, siaga, dan awas menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menentukan sikap. iv. Pengalaman erupsi Pengalaman erupsi Merapi tahun 2010 menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Desa Tlogolele. Bagi banyak warga Desa Tlogolele peristiwa erupsi Merapi merupakan suatu hal yang sangat menakutkan. Suatu pengalaman yang belum pernah terjadi sebelumnya, ketika mereka harus dievakuasi dan mengungsi selama hampir 40 hari lebih. Dari konstruksi tradisi dan konstruksi Merapi sebagai alam, dapat diketahui perilaku sebagai konsekuensi dari pandangan-pandangan yang muncul dalam masyarakat. Konstruksi tradisi memunculkan suatu perilaku memuja terhadap Merapi, sementara konstruksi Merapi sebagai alam memunculkan perilaku hati-hati, sebagaimana tabel berikut ini.
commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 15 Perilaku Masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi Memuja
Hati-hati
Menggelar berbagai macam selamatan Menghormati sesepuh
Waspada
Memperhatikan himbauan pemerintah dan tradisi Keyakinan terhadap kebenaran Selalu mengikuti informasi dari wisik BPPTK, BNPB, dan BPDB Mentaati pantangan-pantangan Memilih evakuasi dan mengungsi dalam tradisi Sumber : Data Primer, diolah, Januari 2014 Perilaku memuja terhadap Merapi diwujudkan dalam berbagai macam bentuk selamatan atau slametan, yang meliputi slametan sega cagak, slametan sega gunung, dan
berbagai rangkaian persembahan dalam tulak tambak
baritan. Menghormati sesepuh diwujudkan dengan senantiasa mendengarkan apa yang disampaikan oleh orang tua dan mengikuti apa yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat. Keyakinan pada wisik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam menyikapi fenomena yang terjadi pada Gunung Merapi. Mereka tidak akan tergesa-gesa mengikuti seruan dari pemerintah tentang bahaya Merapi, tetapi mereka akan menunggu pesan dari penunggu Merapi lewat wisik. Perilaku memuja dengan mentaati pantangan-pantangan dalam tradisi terlihat ketika terjadi erupsi warga masyarakat tidak boleh melanggar pantangan-pantangan yang ada. Pantangan-pantangan tersebut meliputi tidak boleh berbicara keras, tidak boleh membunyikan kentongan, dan tidak boleh melihat langsung pada saat erupsi terjadi. Ketaatan untuk tidak melanggar
commit to user 109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pantangan-pantangan tersebut diyakini akan membuat masyarakat aman dari bahaya erupsi. Sementara perilaku hati-hati dapat dilihat dari sikap waspada, memperhatikan himbauan pemerintah, dan selalu mengikuti informasi dari BPPTK, BNPB, dan BPBD. Suatu hal yang menarik adalah walaupun mereka sudah bersikap lebih rasional, namun pada kenyataannya mereka tetap tidak bisa meninggalkan tradisi. Walaupun tradisi yang mereka lakukan lebih sebagai sarana untuk menentramkan jiwa. Ketika terjadi erupsi, warga masyarakat lebih memilih untuk himbauan pemerintah melalui instansi terkait dengan melakukan evakuasi dan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Kesadaran atas kenyataan bahwa masyarakat Desa Tlogolele tinggal di wilayah KRB II dan KRB III, dan perlunya suatu tempat yang aman ketika terjadi erupsi membuat warga masyarakat lebih memilih evakuasi dan mengungsi. Salah satu langkah yang diambil oleh Pemerintah Desa Tlogolele adalah dengan konsep Desa Berjodoh. Konsep Desa Berjodoh adalah suatu jalinan kerjasama antara Desa Tlogolele dengan Desa Bumirejo Kabupaten Magelang, di mana suatu saat terjadi erupsi Merapi maka Desa Bumirejo akan menjadi tempat evakuasi dan pengungsian bagi warga Desa Tlogolele. Konstruksi sosial masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi yang memandang Merapi sebagai bagian dari tradisi dan Merapi sebagai alam memunculkan suatu pola perilaku yang berbeda pada masyarakat. Konstruksi tradisi melahirkan perilaku memuja, Merapi dengan segala hal yang bersifat mistis menghasilkan suatu hubungan yang dalam
commit to user antara masyarakat dengan Merapi. Mereka membuat suatu tradisi turun 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
temurun dalam berbagai bentuk selamatan dan persembahan dengan harapan senantiasa aman dari berbagai bahaya, termasuk bahaya erupsi Merapi. Sementara konstruksi masyarakat yang memandang Merapi sebagai alam melahirkan pola perilaku hati-hati. Hati-hati terhadap potensi bahaya erupsi, dan juga hati-hati dalam mengolah dan mengelola alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi masyarakat Desa Tlogolele, perilaku memuja dan hati-hati tersebut merupakan usaha yang dibangun untuk senantiasa menjaga keserasian hubungan manusia dengan alam di mana mereka berada. Keserasian hubungan manusia dengan alam sebagaimana dalam konsep pengetahuan lokal Jawa memayu hayuning bawana.
d. Analisa Tema Kultural Analisis tema kultural adalah analisis dengan memahami gejala-gejala yang khas dari analisis sebelumnya. Analisis ini berusaha mengumpulkan sekian banyak tema, fokus budaya, nilai, dan symbol-simbol budaya yang terdapat dalam setiap domain. Selain itu analisis ini juga berusaha menemukan hubungan-hubungan antar domain sehingga membentuk satu kesatuan yang holistik. Berdasarkan seluruh analisis, peneliti melakukan rekonstruksi dalam bentuk deskripsi, narasi, dan argumentasi, sehingga bisa menarik kesimpulan secara umum sesuai sasaran penelitian. Berdasarkan analisis-analisis sebelumnya, maka analisis tema kultural dari hasil penelitiaan tentang konstruksi sosial masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi adalah konsep pengetahuan lokal Jawa memayu hayuning bawana.
commit to user 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kehidupan manusia senantiasa dibingkai oleh nilai-nilai kehidupan dalam rangka mencapai ketentraman hidup. Dalam pandangan budaya Jawa, ketentraman hidup seseorang sangat dipengaruhi oleh suasana batinnya, maka untuk mencapai ketentraman hidup diperlukan sikap batin yang tepat dalam menyikapi apa yang terjadi di sekitarnya. Salah satu sikap batin dalam mencapai ketentraman hidup ini dikonsepsikan sebagai “sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana” yang dapat diartikan “menjadi bebas
dari
kepentingan
sendiri,
melakukan
kewajiban-kewajiban,
memperindah dunia” (Magnis-Suseno, 1984). Sepi ing pamrih merupakan usaha sadar yang dilakukan untuk melawan segala bentuk egoisme, sarana untuk melawan hawa nafsu seperti keinginan untuk menjadi orang pertama, terdepan, nafsu merasa dirinya selalu benar, dan nafsu untuk mementingkan serta memperhatikan diri sendiri (Magnis-Suseno, 1984). Realisasi dari sepi ing pamrih akan tercermin dalam berbagai sikap hidup yang penuh dengan nuansa kebaikan, seperti sikap sabar, narima, ikhlas, prasaja, dan tepa selira. Sikap-sikap tersebut juga cerminan dari sikap budi pekerti ingkang luhur dalam konsep budaya Jawa, yang akan berpengaruh terhadap jalinan interaksi dengan orang lain, sehingga seseorang bisa menempatkan dirinya dalam kehidupan masyarakat dengan baik. Budi luhur diaktualisasikan dalam bentuk norma atau etika agar seseorang dapat bertindak mulia. Budi luhur menjadi paradigma yang arif, sedangkan budi pekerti sebagai norma bertindak mulia, tindakan mulia yang commit to user 112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilandasi oleh perilaku etik sehingga dapat menyenangkan pihak lain (Suwardi, 2010). Rame ing gawe merupakan kesetiaan menjalankan kewajiban sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat untuk menjaga keselarasan hidup di dunia. Rame ing gawe juga memiliki muatan bahwa manusia harus bersemangat dalam hidupnya dalam rangka mencapai ketentraman hidup yang selaras dengan alam. Salah satu sikap yang tepat dalam pandangan rame ing gawe adalah aja mitunani wong liyan atau jangan merugikan orang lain (Magnis-Suseno, 1984). Setelah konsep sepi ing pamrih dan rame ing gawe, rangkaian konsep selanjutnya adalah memayu hayuning bawana. Menurut Magnis-Suseno (1984), memayu hayuning bawana diartikan sebagai memperindah dunia yang akan keselarasan kosmis. Sementara De Jong dalam Mulder (1994), mengartikan memayu hayuning bawana sebagai menghiasi dunia. Purwadi (2007) dalam Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa, mengartikan memayu adalah membuat selamat, ayu atau hayu, rahayu adalah selamat, dan bawana adalah istilah lain untuk buana, jagat, atau dunia. Wujud nyata dari konsep memayu hayuning bawana adalah menjaga kelestarian lingkungan Menurut Rachmatullah (2011), memayu berasal dari kata hayu (cantik, indah, atau selamat), dengan mendapat awalan ma menjadi mamayu (mempercantik, memperindah, atau meningkatkan keselamatan), dan karena sering diucapkan menjadi memayu. Hayuning berasal dari kata hayu dengan mendapatkan kata ganti kepunyaan ning (nya) yang berarti cantiknya, commit to user 113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
indahnya, atau selamatnya, jadi memayu hayuning berarti mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Bawana bisa diartikan sebagai dunia dalam pengertian dunia batin, jiwa, atau rohani, sementara dalam dunia dalam pengertian lahiriah atau jasmaniah digunakan istilah buwana. Dengan demikian memayu hayuning bawana dapat diartikan suatu upaya untuk mencapai kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan hidup di dunia. Narasi dari konsep memayu hayuning bawana itu terealisasikan dalam konsep hamemasuh memalaning bumi (membersihkan bahaya atau penyakit yang ada di bumi). Tafsir nilai filosofis dari memalaning bumi adalah bencana, baik bencana alam, bencana non alam, maupun bencana sosial (Zamroni, 2011). Hal itu kemudian terefleksi dalam sikap dan perilaku yang nrima, sabar, waspada-eling, andhap asor, dan prasaja (Mulder, 1983). Walaupun memiliki sikap menerima apa adanya, sabar, hati-hati, rendah hati, dan mengedepankan kesederhanaan, bukan berarti masyarakat Jawa tidak bisa bertindak dengan sigap. Hal itu bisa dilihat dari upaya yang tiada henti untuk mempertajam budi atau akal, sehingga dari waktu ke waktu dapat menyinergikan kehidupan manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan demi tercapainya kelestarian dunia dan seisinya, sebagaimana filsafat hangengasah mingising budi (Zamroni, 2011). Filasafat Jawa tersebut mengisyaratkan pentingnya harmoni dalam kehidupan masayarakat. Mulder (1983) mengatakan bahwa “Barang siapa hidup harmonis dengan alam, dengan masyarakat, dan dengan dirinya sendiri, ia hidup harmonis dengancommit Tuhantodan usermenjalankan hidup dengan benar. 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pelanggaran atas harmoni itu, gangguan atas tatanan itu, dianggap merupakan kesalahan karena membahayakan masyarakat dan pada hakekatnya merupakan dosa”. Pengaruh budaya Jawa dalam cara pandang dan pola pikir masyarakat di sekitar Merapi sangat besar. Konsep yang berkembang dalam masyarakat ditunjukkan dengan cara berpikir yang memandang semua kejadian dan peristiwa berkaitan Gunung Merapi ada hubungannya dengan roh-roh penunggu gunung Merapi. Sebagai kompensasi dari cara pandang dan pola pikir seperti itu tidak mengherankan kalau setiap tahun diadakan ritual-ritual selamatan demi menjalin komunikasi dengan penunggu Gunung Merapi dengan harapan terhindar dari bahaya yang mengancam keselamatan mereka (Sagala, 2008). Adanya upaya untuk menjalin komunikasi dengan alam yang dilaksanakan dengan menggelar berbagai ritual selamatan menunjukkan filsafat hamemasuh memalaning bumi direalisasikan. Penjabaran konsep memayu hayuning bawana atas konstruksi sosial masyarakat Desa Tlogolele terhadap alam Gunung Merapi tersebut dapat dilihat dalam beberapa aspek. a. Alam adalah Sahabat Di balik potensi erupsi yang membahayakan, masyarakat Desa Tlogolele memandang bahwa erupsi Merapi juga merupakan berkah. Lavigne et al (2008) dalam Journal of Volcanology and Geotermal Research 172, berpendapat bahwa orang yang tinggal di lereng Merapi tidak
memandang
erupsi sebagai commit to user suatu
bahaya.
Sehingga
tidak 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengherankan masyarakat menyebutnya dengan istilah lelaku, yang diyakini desa mereka akan aman dari bahaya erupsi selama tradisi turuntemurun yang ada tetap dipelihara dan dijalankan. Merapi merupakan anugrah dari Yang Maha Kuasa bagi masyarakat yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan dari generasi ke generasi. Sebagai sahabat, maka pengelolaan alam dilakukan sesuai dengan kebutuhan tidak sebagai suatu eksploitasi. Selain konsep lelaku, masyarakat menyebut penunggu Merapi dengan sebutan simbah atau kakek. Hal itu bisa diartikan sebagai suatu hubungan harmoni dalam suatu keluarga antara kakek dengan cucunya yang penuh dengan ungkapan kasih sayang. Jika dihubungkan dengan konteks erupsi Merapi, maka seorang kakek tentu tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan cucunya selama cucu itu taat dan patuh. b. Kesadaran Spiritual Kesadaran
atas
konsep
sangkan
paraning
dumadi
dan
manunggaling kawula gusti mengarahkan manusia untuk melakukan berbagai aktivitas spiritual demi menjalin komunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Sebagai masyarakat yang mayoritas menganut agama Islam, masyarakat Desa Tlogolele juga melaksanakan ibadah sesuai ajaran Islam. Namun demikian, mereka juga tidak meninggalkan tradisi-tradisi ritual yang sudah turun-temurun dalam berbagai macam acara slametan atau selamatan. commit to user 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tujuan utama mereka menggelar slametan atau selamatan itu adalah harapan agar senantiasa mendapatkan perlindungan, terhindar dari bahaya, dan senantiasa dimudahkan dalam menjalani hidup. Selamatan malam Jum‟at Pon, Rejeban, Nyadran, sesaji Sega Cagak, Sega Gunung, Tumpeng Robyong, Tumpeng Uruping Damar, Jenang Pliringan, dan Sega Golong merupakan wujud kesadaran spiritual masyarakat Desa Tlogolele. c. Kesadaran Sosial Kesadaran sosial masyarakat Desa Tlogolele terkonstruksi atas kenyataan bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian, tetapi senantiasa membutuhkan orang lain. Kesadaran saling membutuhkan itu kemudian terbangun dalam bingkai kebersamaan dalam berbagai segi kehidupan. Kesadaran sosial dalam masyarakat Desa Tlogolele terlihat dalam beberapa aspek, di antaranya adalah : 1) Gotong Royong Bentuk gotong royong yang terdapat pada masyarakat Desa Tlogolele adalah gotong royong pada upacara daur hidup seseorang, pembangunan rumah, dan permulaan penggarapan lahan pertanian. Gotong royong pada upacara daur hidup dapat dilihat pada acara perkawinan, kelahiran, dan peristiwa kematian. Pada acara perkawinan, aktivitas gotong royong dimulai dengan tarub untuk mempersiapkan segala keperluan dalam hajatan perkawinan tersebut. Pada hajatan perkawinan para tetangga turut berpastisipasi dengan cara nyumbang atau memberikan bantuan berupa uang atau kebutuhan dapur. Sebagai balasan dari sumbangan tadi commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maka yang empunya hajat memberikan makanan
sekedarnya atau
punjungan kepada si penyumbang terutama berasal dari satu dusun. Pada peristiwa kelahiran, sebagai ungkapan sambutan kepada bayi yang baru dilahirkan dan memberikan ucapan turut berbahagia atas kelahiran si jabang bayi maka ada acara jagongan, yang biasanya dilakukan oleh bapak-bapak dan berlangsung sekitar tujuh hari. Sementara untuk ibu-ibu ada acara tilik bayi yang maknanya sama dengan jagongan. Pada peristiwa kematian, gotong royongnya melibatkan baik laki-laki maupun perempuan, tua muda dengan maksud memberikan bantuan dan meringankan beban penderitaan warga yang terkena musibah. Gotong royong pembangunan rumah biasa disebut dengan istilah sambatan. Sambatan pada pembangunan rumah dilakukan oleh hampir semua warga dari berbagai usia bagi kepala keluarga. Kepala keluarga cukup menyediakan bahan pokok bangunan, selanjutnya penduduk akan menjadwal
keiikutsertaannya
dalam
membantu
membangun
atau
merenovasi sesuai dengan waktu dan kemampuannya. Sedangkan gotong royong pada permulaan penggarapan lahan pertanian dilaksnakan tidak jauh beda dengan sambatan pada penbangunan rumah. Baik dalam sambatan pembangunan rumah maupun permulaan penggarapan lahan pertanian biasanya dilaksanakan secara bergantian di antara warga. Sambatan merupakan konsep inti dari gotong royong yang menjadi penggerak berlangsungnya roda kehidupan sosial yang rukun, saling menghormati, dan salingcommit membantu. Gotong royong sebagai bentuk nyata to user 118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari kebersamaan dan solidaritas merupakan cermin dari kehidupan masyarakat yang harmonis selaras dengan konsep memayu hayuning bawana atau mempercantik, memperindah dunia. 2) Taat dan Patuh pada Sesepuh Pada banyak masyarakat, sesepuh atau orang tua merupakan orang harus dihormati, diperhatikan petuah dan nasihatnya, dan dijadikan teladan. Demikian pula pada masyarakat Desa Tlogolele, kehadiran sesepuh sangat diperlukan oleh masyarakat terutama ketika menghadapi permasalahanpermasalahan yang penting. Ketaatan dan kepatuhan pada sesepuh itu salah satunya diwujudkan dilaksanakan dengan maksud untuk menghormati para sesepuh, dan mendoakan agar mereka senantiasa diberikan kesehatan, keselamatan, dan diberikan umur panjang. 3) Kepasrahan Tinggal di lokasi yang termasuk dalam wilayah KRB II bahkan KRB III tidak mengurangi rasa aman, nyaman, tenteram, dan harmoni kehidupan masyarakat Desa Tlogolele. Warga masyarakat desa Tlogolele masih berpegang pada pandangan bahwa apabila masyarakat menerima suatu musibah dengan kepasrahan yang tulus, maka Tuhan Yang Maha Kuasa pasti akan memberikan berkah yang melimpah pula. Mereka selalu yakin bahwa Tuhan akan senantiasa menjaga mereka, maka sebagai bentuk kepasrahan itu mereka senantiasa menggelar selamatan. commit to user 119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Kerja keras Anugerah tanah yang subur tidak lantas membuat warga Desa Tlogolele santai dalam menjalani hidup. Mereka tetap menunjukkan semangat untuk bekerja keras dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai masyarakat yang mayoritas hidup dari pertanian, mereka mengolah lahan pertanian yang ada secara intensif demi mendapatkan hasil yang maksimal. Mereka berkeyakinan bahwa hanya dengan kerja keraslah berbagai kebutuhan hidup akan terpenuhi. Kerja keras adalah sebuah nilai kehidupan yang mereka warisi dari orang tua dan akan mereka wariskan pula pada generasi berikutnya. Kerja keras juga merupakan ungkapan syukur pada Yang Maha Kuasa atas karunia kesehatan dan kesempatan dalam menjalani hidup.
commit to user 120