BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA A. Hasil Penelitian Pada penelitian ini peneliti mengambil subjek sebanyak 20 orang, yakni terdiri dari 7 orang Ulama, 7 orang pemilik usaha salon ataupun yang bertindak sebagai pegawai serta 6 orang perempuan yang dicukur alisnya yang berada di kota Palangka Raya untuk dijadikan sebagai key informan dalam pengambilan data di lapangan dengan uraian sebagai berikut: 1. Persepsi Ulama di kota Palangka Raya Tentang Hukum Mencukur Alis. a. Subjek I Nama
: ZA
Umur
: 52 Tahun
Alamat
: Jl. RTA. Milono KM. 6,4 Komplek Marina Permai
Pendidikan
: Pesantren Darussalam
Pada tanggal 28 Juni 2013, penulis pergi mengunjungi rumah ZA dan penulis bertemu dengan beliau disana, beliau adalah Ulama yang sangat dikenal oleh masyarakat kota Palangka Raya, selain sebagai Ketua Majelis Ulama kota Palangka Raya, beliau adalah juga sebagai tenaga pengajar di yayasan pendidikan Darul Ulum dan memilki 15 pengajian
69
70
yang tersebar di kota Palangka Raya. Berikut adalah hasil wawancara dengan ZA tentang hukum mencukur aliss: “Kalau masalah mencukur alis ini sudah merata dimana-mana dilakukan oleh kaum perempuan, tidak pandang yang muda ataupun tua, yang di desa apalagi yang di perkotaan, sudah biasa dengan kegiatan mencukur alis. Secara agama berhias diri untuk suami itu boleh-boleh saja, bagus, bahkan dianjurkan membuat suami senang melihat istrinya. Kita kembalikan ke mencukur alis, jika dicukur sebatas untuk dirapikan itu dibolehkan saja, tapi jangan sampai kening itu dihabiskan dan itu yang tidak diperbolehkan dalam hadis yang dimaksud berikut:
، ِ اﺻِ ﻼَت،َ َﺎت ِْﻮ ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ َ اﻟْﻮ َ و:ُ َﻗَﺎل َ اﷲ،اﷲِﻦ َ ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ ... ، و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ،ِﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ “Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata (hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah ciptaan Allah Swt... “(H.R. Muslim)”.
Sebagian Ulama memang ada yang tidak membolehkan sama sekali, artinya ini Ulama yang ketat sekali, tapi ada juga yang membolehkan mencukur alis. Kalau kita memilih menengahi pendapat yang sudah ada, yakni mencukur alis itu dibolehkan bagi yang sudah bersuami dengan catatan mengantongi izin dari suaminya, lagi pula kan mencukur alis termasuk menjaga kebersihan, karena fungsinya untuk merapikan sesuai hadis Rasulullah Saw:
...اﻟط ﱡ ﮭُور ُﺷ َطﻹ ْ ْر ُ ِ ﯾﻣ َﺎن ِ ا … “…..Suci itu adalah separuh dari iman…”
Kemudian, bersih itu sangat disukai oleh Allah Swt, sebagaimana dalam firman-Nya berikut:
71
... “….Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
... “Dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih”. Dalam sebuah hadis juga dikatakan bahwa Allah Swt menyukai keindahan, sebagaimana hadis berikut:
َِنﱠ اﻟﻠﱠﻪ َ ﲨَ ِ ﻴﻞ ٌ ﳛُ ِﺐﱡ اﳉْ َ ﻤ َ ﺎل “Sesungguhnya Allah Swt itu Maha Indah dan menyukai keindahan”.
Jadi kita kaitkan hukum kebolehannya kepada hadis dan ayat-ayat Alquran tentang kebersihan tadi. Kemudian tidak apa-apa bila pergi ke salon, asalkan salon yang baik, dalam artian salon yang tidak bertentangan dengan hukum syara yang berlaku, misalnya pegawainya adalah perempuan juga, tempatnya tidak terlihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya, kemudian juga tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama saat di salon intinya seperti itu. Kalau masalah anak muda yang belum bersuami mencukur alis, itu tergantung pada niatnya masing-masing, untuk apa dan untuk siapa dia berhias, jadi semua perbuatan manusia itu tergantung pada niatnya masing-masing seperti dalam hadis Rasulullah Saw:
ُﻤِ ﻌْﺖ: َََﺎل ْﻣِ ﻨِ ﻴْﻦ َ أَﺑِﻲ ْ ﺣ َ ﻔْﺺٍ ﻋُﻤ َ ﺮ َ ﺑْ ﻦِ اﻟْﺨَ ﻄﱠﺎبِ ر َﺿِ ﻲ َ اﷲ ﻋَ ﻨْﻪُ ﻗ ﺳ
ﺑِﺎﻟﻨـﱢ ﻴﱠﺎتِ و َ إِ ﻧﱠﻤ َ ﺎ ﻟِ ﻜُﻞﱢ اﻣ ْ ﺮِيء ٍ ﻣ َ ﺎ )) :ُﻠﱠﻢ َﺎل َ َﻋْﻤ َ َﻴْﻪَِ ﺎواَﻷﺳ ر َﺳُ ﻮ ْ لَ اﷲ ﺻَ ﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَ ﻠإِ ﻧﱠﻤ ... ﻧـَﻮ َ ى
72
“Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal perbuatan membutuhkan niat. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya…”. Kalau menurut adat suku Banjar memang benar adanya bahwa mencukur alis adalah tanda melapas bujang95, orang-orang tua zaman dulu memang melakukannya sebagai bagian dari adat dan saya ingat itu dari saya kecil, tapi kalau di bawa ke zaman modern sekarang ini, sepertinya bukan adat lagi, tetapi memang sudah menjadi kebiasaan dan sudah merata terjadi di masyarakat seperti yang saya ungkapkan pada awal pembiaraan”. 96
b. Subjek II Nama
: GR
Umur
: 39 Tahun
Alamat
: Jl. Akasia Ujung No. 26
Pendidika
: S1
Pada tanggal 15 Juli 2013, penulis menemui subjek GR seusai mengisi kuliah subuh di mesjid Darussa’adah, sebab beliau sulit ditemui karena memiliki jadwal yang padat sehingga hanya ada kesempatan bertemu
95
Bahasa Banjar yang jika diartikan ke Bahasa Indonesia sebuah adat atau kegiatan orang suku Banjar yang mana jika telah mencukur alis artinya berpindah status dari perawan menjadi bersuami. 96
Wib.
Wawancara dan observasi dengan ZA, Tanggal 28 Juni 2013 di rumah ZA, Pukul 07.30
73
beliau pada waktu tersebut. Berikut hasil wawancara dengan GR tentang persepsi beliau terhadap hukum mencukur alis: “Mencukur alis menurut Imam Syafi’i dan Ulama masyhur sepakat mengharamkan bagi yang belum bersuami, yang sudah bersuami maka mendapat hukum sunnah dengan catatan untuk kebahagiaan suaminya, karena mempercantik diri adalah bahagian dari kesunnahan supaya suami lebih mencintai dan menjadikan keluarganya sakinah mawaddah warahmah. Kalau misalnya orang yang mau menikah mencukur alis itu bahagian dari rangkaian untuk pelaksanaan pernikahan maka hukumnya boleh karena sudah diyakini akan menikah, yang sama sekali tidak dibolehkan itu tidak ada tujuan menikah, hanya untuk mempercantik diri dengan harapan laki-laki akan tertarik dengan dia lalu akan mengundang maksiat karena bukan muhrimnya. Dalam hadis larangan mencukur alis itu antara orang mencukur alis dan yang minta dicukur alis itu kedua-duanya dilaknat oleh Allah Swt, dan otomatis mereka yang bekerja disalon dalam laknat Allah Swt, sama dengan orang yang mentato, Allah Swt dan Rasulullah Saw melaknat orang yang mentato dan orang yang minta ditatokan sama dengan orang yang mencukur alis dan orang yang minta dicukur alisnya. Sebagaimana bunyi hadis berikut:
، ِ اﺻِ ﻼَت،َ َﺎت ِْﻮ ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ َ اﻟْﻮ َ و:ُ َﻗَﺎل َ اﷲ،اﷲِﻦ َ ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ ... ، و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ،ِﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ “Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata (hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah ciptaan Allah Swt… “(H.R. Muslim)”.
Sekarang lebih modern lagi ada yang namanya menanam atau sulam alis itu sama dengan alis palsu dan hukumnya sama dengan memasang rambut palsu maka hukumnya haram. Bagi pegawai salon yang mencukurkan alis bagi orang yang hendak menikah, maka hukumnya boleh saja karena membantu pelaksanaan untuk acara akad nikah”.97 97
Wawancara dan observasi dengan GR, Tanggal 15 Juli 2013 di Masjid Darussa’adah, Pukul: 05.30 Wib.
74
c. Subjek III Nama
: MN
Umur
: 50 Tahun
Alamat
: Jl. Cilik Riwut Km 2
Pendidikan
: Pesantren Darussalam
Pada tanggal 18 Juli 2013, penulis pergi mengunjungi MN ke kediaman beliau namun tidak bertemu dengan MN, menurut kerabat MN beliau sedang istrirahat dan tidak bisa diganggu karena sakit kepala, akhirnya penulis datang kembali ke rumah MN pada tangga 23 Juli dan berhasil bertemu dengan beliau. Berikut adalah hasil wawancara dengan MN: “Masalah hukum mencukur alis itu menurut hadis yang terdapat Kitab Riyadhus Shalihin. Hadis yang dibahas dalam buku tersbut sebagai berikut:
، ِ اﺻِ ﻼَت،َ َﺎت ِْﻮ ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ َُ اﷲ ﻦ اَﻟْﻮ َ و: ََﻗَﺎل ﻟَﻌ، ِﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ اﷲ ... ، و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ،ِﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ “Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata (hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah ciptaan Allah Swt……. “(H.R. Muslim)”.
75
Hukum tidak bisa dirubah, bagaimana caranya supaya tidak terkena hukum, tetap ke salon itu baik tapi jangan sampai melanggar agama, sama dengan orang yang memasang pacar dikepala atau dirambut, kalau hitam itu dalam hadis tidak boleh, padahal bukan menggunakan pacarnya yang tidak boleh tapi memakai warna hitamnya yang tidak boleh, kalau kuning tidak jadi massalah atau warna lainnya juga dibolehkan asalkan jangan warna hitam tadi. Kalau hukum sudah sepakat bahwa mencukur alis itu haram hukumnya. Tapi dalam kenyataannya hukum ini kalah dengan tradisi atau kebiasan yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya gigi yang dipapar itupun tidak diperbolehkan karena menyakiti diri sendiri. Sebagaimana juga dibahas dalam hadis tadi. Hukum mencukur alis itu baik sebagian ataupun keseluruhan itu tetap hukumnya haram, pokoknya tidak boleh dicukur-cukur, intinya tidak perlu diapa-apakan. Sama jika diqiyaskan dengan hukum mewarnai rambut tadi dengan warna hitam Nabi Muhammad Saw melarang, rupanya kalau manusia berpenampilan segar itu lupa akan datangnya kiamat kecil yakni kematian yang sudah pasti dirasakan oleh setiap manusia dan setiap makhluk yang bernyawa, sebagaimana dalam Alquran Q.S. Al-Imran : 185 yang berbunyi sebagai berikut:
.... “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati...”. Artinya dengan adanya uban yang memutih di kepala kita masingmasing mengingatkan kematian, sebab jika berwarna hitam terus seakan-akan melupakan yang namanya kematian tadi. Kemudian hukum bagi yang bekerja disalon maka, dia juga termasuk dalam laknat Allah Swt karena terlibat dalam perbuatan maksiat artinya memberi jalan atau memberi peluang untuk orang lain berbuat yang tidak diridahi Allah Swt dengan menyediakan jasa mencukur alis, pekerjaannya halal saja tapi dampak dari pekerjaannya yang haram karena memiliki andil juga dalam perbuatan maksiat itu, artinya yang berserikat dalam perbuatan itu juga terkena dosanya. Kemudian bagi seorang isteri yang mencukur alis demi kepentingan menyenangkan suami itu hukumnya tetap haram, artinya menghias diri
76
itu sesuai dengan yang diridhai oleh hukum Allah Swt, jadi dijalurkan satu benar pada hukum Allah Swt dan disalurkan kepada sesuatu yang disunnahkan atau disukai oleh suami tadi”.98
d. Subjek IV Nama
: MA
Umur
: 37 Tahun
Alamat
: Jl. Ramin
Pendidikan
: S1
Pada tanggal 29 Juni 2013, penulis mendatangi rumah kediaman MA, namum tidak bertemu dengan beliau, menurut Ibu MA, MA jarang berada di rumah karena sibuk dengan kegiatan di mana-mana, sehingga sulit jika ingin bertemu MA di rumah. Ibu MA menyarankan untuk menelpon saja, karena MA tidak bisa dipastikan kapan berada di rumah. Kemudian pada tanggal 30 Juli 2013, penulis berhasil bertemu dengan MA di masjid Riyadhus Shalihin seusai MA mengisi jadwal kuliah subuh. Berikut hasil wawancara dengan MA mengenai hukum mencukur alis: “Mencukur alis sampai selesai artinya sampai gundul habis itu jelas hukumnya haram apapun alasannya, sesuai dengan hadis yang melarangnya berikut:
98
Wawancara dan observasi dengan MN, Tanggal 18 Juli 2013 di Kediaman MN, Pukul: 08.00 Wib.
77
، ِ اﺻِ ﻼَت،َ َﺎت ِْﻮ ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ َ اﻟْﻮ َ و:ُ َﻗَﺎل َ اﷲ،اﷲِﻦ َ ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ ...، و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ،ِﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ “Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata (hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah ciptaan Allah Swt……. “(H.R. Muslim)”.
Sedangkan merapikan itu beda dengan mencukur, kalau mencukur itu habis sama sekali lalu dipakai tulis kening itu haram, tapi kalau merapikan dan niatnya lagi untuk suami itu tidak haram, artinya suami senang melihat alis rapi lalu niatnya adalahnya untuk menyenangkan hati suami itu ada yang membolehkan sebagian Ulama tapi kalau mencukur sama sekali apapun alasannya tetap hukumnya haram. Sedikit banyaknya alis yang dicukur itu tergantung adat, orang kawin biasanya ku lihat lebih dari separo alisnya yang hilang, kalau lebih dari separo itu berarti banyak dan hanya sedikit yang tersisa berarti mencukur. Kalau niat untuk suami tidak jadi masalah, yang namanya mencukur alis ini sudah booming99 sudah dimana-mana orang melakukannya, dan rata-rata perempuan itu 99 % alisnya dicukur dan itu seakan-akan tidak berdosa lagi, karena sudah terbiasa dan menjadi hal yang biasa karena apapun yang sudah terbiasa dilakukan itu akan melemahkan hukum itu sendiri walaupun sudah jelas haram. Karena sudah menjadi kebiasaan seakan-akan boleh dilakukan padahal jelas haram hukumnya. Kalau sebatas merapikan itu tidak jadi masalah, tapi kalau merapikan sampai gundul habis sama saja dengan mencukur dan hukumnya haram”.100
e. Subjek V Nama
99
Segala sesuatu yang sedang ramai dilakukan banyak orang.
100
Wib.
: AIA
Wawancara dengan MA, Tanggal 30 Juli 2013 di Masjid Riyadhus Shalihin, Pukul 05.30
78
Umur
: 63 Tahun
Alamat
: Jl. Elang No. 14, Palangka Raya
Pendidikan
: SARMUD SYARI’AH
Pada tanggal 09 Agustus 2013, penulis mengunjungi AIA di kediaman beliau dan bertemu langsung dengan AIA. Berikut hasil wawancara dengan IR tentang bagaimana persepsi beliau terhadap hukum mencukur alis: “Dari penjelasan dalam kitab Riyadhus Shalihin, sudah jelas sekali bahwa yang namanya mencukur alis itu tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam, karena disitu ada kata-kata “Allah melaknat” dan dari penjelasan hadisnya pun dikatakan bahwasanya perbuatan tersebut memang tidak boleh dilakukan dan tidak terdapat pendapat lain yang menyatakan boleh atau perbedaan pendapat pun tidak ada sama, artinya Ulama sepakat bahwa haram hukumnya mencukur alis dengan alasan apapun. Karena dikaitkan dengan larangan merubah sesuatu dari ciptaan Allah Swt, dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan diperbolehkan yang namanya merubah ciptaan Allah Swt, baik menambah apalagi mengurangi bentuk yang sudah ada. Sebagaimana bunyi hadis:
، ِ اﺻِ ﻼَت،َ َﺎت ِْﻮ ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ َ اﻟْﻮ َ و:ُ َﻗَﺎل َ اﷲ،اﷲِﻦ َ ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ ... ، اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ،َ ﺎت ِو ،ِﻨَﻤﱢﺼ َْ ﻦ ﺎتﻟ ِْﻤ ُ ﺘﻟِـَﻠْﺤ ُ ﺴ ﻔَ ﻠﱢﺠ َو َ ا “Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata (hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah ciptaan Allah Swt.... “(H.R. Muslim)”.
Jadi, menurut saya mencukur alis memang tidak boleh dilakukan, apalagi dengan tujuan hanya untuk kecantikan semata, ini memang
79
sudah ketentuan Allah Swt, sebagai hamba kita tidak boleh merubah hukum yang memang sudah ada ketetapannya, kalau kita melanggarnya berarti kita mendustakan hukum Allah Swt. Seandainya memang benar ada perbedaan pendapat tentang hal ini, mungkin saya bisa menyatakan pendapat saya seperti apalagi menyikapi problematika yang berkembang di masyarakat tentang banyaknya masyarakat yang mencukur alisnya pada zaman sekarang ini, tapi karena dalam kitab ini tidak adanya perbedaan pendapat sama sekali, berarti memang sudah kesepakatan Ulama terdahalu dan merekapun taat terhadap hukum Allah Swt dengan tidak meributkan hukum mencukur alis ini, hanya saja sekarang hal ini sudah menjadi permasalahan kontemporer sehingga mungkin ada yang berani menyatakan hukumnya boleh atau bagaimana segala macam, ada yang berpendapat bahwa kalau bersuami jika dapat izin suami maka seorang istri boleh mencukur alisnya berarti suami menjerumuskan istri kepada perbuatan yang dilarang agama. Menurut saya pribadi, saya tetap mengikuti pendapat Ulama terdahulu bahwa haram hukumnya mencukur alis apalagi ditujukan untuk kecantikan semata. Lagi pula menurut saya jikalau perempuan itu tidak dicukur alisnya tidak sampai menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi dirinya, tidak sampai wajah menjadi rusak segala macam atau mendapat hinaan dan sebagainya, artinya memang tidak kewajiban seorang yang akan menikah alisnya harus dicukur”.101
f. Subjek VI
101
Nama
: MH
Umur
: 42 Tahun
Alamat
: Jl. Pinus Komplek Mahoni Lestari II.
Pekerjaan
: S1
Wawancara dan obeservasi dengan AIA, Tanggal 09 Agustus 2013 di Kediaman AIA, Pukul 16.30 Wib.
80
Pada tanggal 10 Agustus 2013, penulis mengunjungi rumah MH dan bertemu dengan beliau. Berikut adalah pendapat MH mengenai hukum mencukur alis: “Kalau menurut aku hadis yang menjelaskan masalah mencukur alis ini terdapat dalam hadis Bukhari-Muslim, artinya hadisnya shahih, jadi ada Ulama-ulama yang kuat, mereka melihat secara tekstual atau literlek, sehingga ketika suatu hadis berbicara tentang laknat Allah Swt sama dengan hukumnya haram dan mereka tidak mau lagi melihat alasan apa dibalik itu, artinya kalau sudah haram tetap haram karena sudah jelas ada kalimat “Laknat Allah Swt” tadi. Kenapa Allah Swt sampai melaknat itu, karena ada kekhawatiran adanya pentasyabuhan, artinya perempuan menyerupai laki-laki jika mencukur alis. Menurut aku kalau sebatas merapikan atau dikarenakan menyenangkan hati suami, bukan bermaksd menghilangkan ciptaan Allah Swt boleh-boleh saja dan tidak haram hukumnya, tetapi kalau tujuannya lain itu yang tidak boleh, intinya menurut aku tergantung niat masing-masing untuk apa dan untuk siapa dia mencukur alis. Melihat yang terjadi di masyarakat bahwa biasanya pengantin mencukur alisnya, maka minimal hukumnya makruh menurut aku pribadi, karena kalau ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama tentang suatu hukum, kalau tidak haram maka minimal makruh hukumnya. Jadi aku tidak mengaharamkan dan tidak membolehkan secara pasti. Tapi kalau sempat minta izin dengan suami untuk merapikan atau dirpaikan bukan dicukur habis hukumnya boleh. Pendapat Ulama yang mengharamkan itu jikalau dicukur habis apalagi sampai dicabut bahkan sampai ditato itu yang sepakat hukumnya haram. Dilihat dari asbabul wurudnya, kemungkinan hukum bergeser dari awalnya, sebab pada zaman jahiliyah dulu menurut pemahaman aku, kenapa Allah Swt sampai menurunkan hadis dengan kalimat yang langsung melaknat kepada orang yang mencukur alis dan mentato segalanya adalah karena dulu itu perempuan-perempuan suka mencukur alisnya sampai habis dan pergi ke tempat-tempat maksiat untuk menarik memikat laki-laki, tapi kita bawa ke zaman sekarang bahwa perempuan mencukur alisnya tidak sampai habis dan bukan untuk pergi ke tempat maksiat tetapi pergi ke acara pernikahan melangsungkan pernikahan dan pengajian yang notabenenya adalah
81
kegiatan bersifat positif, maka hukumnya menjadi boleh. Sama halnya dengan hadis tentang larangan memberi salam kepada orang kafir pada masa Rasulullah Saw, menurut Quraish Shihab hukumnya tidak boleh memberi salam kepada orang kafir adalah karena dahulu kita berperang dengan orang kafir, tapi sekarang zaman dan situasinya berbeda di mana pada masa kini kita hidup berdampingan secara aman dan damai dengan orang kafir, maka hukumnya tidak lagi menjadi haram, artinya hukum telah bergeser mengikuti zaman. Intinya aku sepakat dengan Ulama bahwa jika mencukur sampai habis atau hingga gundul tetap hukumnya haram, tetapi jika mendapat izin suami atau sebatas merapikan dan meratakan hukumnya boleh saja dan tergantung niat masing-masing orang”.102
g. Subjek VII Nama
: ABA
Umur
: 68 Tahun
Alamat
: Jl. Pinus Ujung
Pendidikan
: PGA dan Pesantren
Pada tanggal 08 Agustus 2013 penulis berbincang-bincang dengan ABA di kediaman ABA tentang masalah yang terjadi di masyarakat, kebanyakan orang yang akan melangsungkan pernikahan ataupun hanya sebatas berdandan itu rata-rata alisnya bercukur. Berikut adalah hasil wawancara dengan ABA yang penulis lakukan berhasil dapatkan : “Berdasarkan pembahasan yang terdapat di dalam kitab Riyadhus Shalihin, bahwa mencukur alis itu hukumnya haram karena sudah ada hadis yang melarang secara tegas dan jelas tentang perbuatan tersebut. Dalam kitab Fiqih Wanita juga disebutkan bahwa perbuatan itu dilarang. Di dalam kedua kitab tersebut tidak ada dikatakan tentang 102
17.00 Wib.
Wawancara dan observasi dengan MH, Tanggal 10 Agustus 2013 di kediaman MH, Pukul :
82
perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap hadis yang dimaksud berikut:
، ِ اﺻِ ﻼَت،َ َﺎت ِْﻮ ﺎتْ ِﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ و َ اﻟ اﴰ اﻟِْﻤ َُ ﺴ َ اﻟْﻮ َ و:ُ َﻗَﺎل َ اﷲ،اﷲِﻦ َ ﻋَﻦ ْ ﻋَ ﺒ ْ ﺪِ ﻟَﻌ ... ، و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﻋَ ﺰﱠ و َ ﺟ َ ﻞﱠ،ِﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ “Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata (hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah ciptaan Allah Swt……. “(H.R. Muslim)”. Artinya bahwa Ulama terdahulu sepakat kalau mencukur alis itu hukumnya haram. Tetapi zaman sekarang ini yang namanya mencukur alis sudah menjadi kebiasaan di masyarakat sehingga mengakibatkan hukum itu kalah dengan kebiasaan. Menurut saya mencukur alis itu hukumnya haram apapun alasannya.103
2. Pendapat Perempuan di kota Palangka Raya tentang Hukum Mencukur Alis (Perempuan yang Pernah Mencukur Alisnya dan Pegawai Salon) a.
Subjek VIII Nama
: YN
Umur
: 28 Tahun
Alamat
: Jl. Pilau
Pendidikan
: SMK
Pada tanggal 05 Agustus 2013, penulis mendatangi YN di Salonnya dan langsung bertemu YN yang sedang melayani pelanggannya. Berikut
103
Wawancara dan observasi dengan ABA, Tanggal 08 Agustus 2013 di kediaman ABA, Pukul : 16.15 WIB.
83
hasil wawancara dengan YN tentang alasan dilakukannya cukur alis di salonnya: “Tujuan mencukur alis supaya wajahnya cantik, kan biasanya antara orang biasa dengan penganten beda mukanya karena sudah dirias. Kalau menurut adat banjar supaya wangas atau kelihatan bungas pada saat acara pernikahannya, biasanya pelangggan yang mencukur alis adalah ibu-ibu atau yang sudah menikah biasanya yang muda-muda juga mencukur alis, artinya tidak terbatas pada orang yang hanya ingin menikah saja. Masalah hukum ini kebebasan masing-masing orang kan, pernah ay mendengar katanya tidak boleh mencukur alis, tapi kalo sedikit perasaanku boleh ja, kalau yang sudah menikah pasti tujuannya mempercantik diri untuk suami, kalau yang belum menikah niatnya kurang tau juga lah, mungkin untuk laki-laki yang lain. Biasanya kami mencukurnya sedikit saja, istilahnya sebatas merapikan saja kalau yang dikerik sampai habis belum pernah kami lakukan. Kalau menurut orang banjar biasanya mencukur alis hanya sebagai adat melapas bujang. Adat masing-masing tergantung orangnya mungkin ada bacaan khususnya, tapi saya kurang tahu”.104
b. Subjek IX Nama
: NS
Umur
: 18 Tahun
Alamat
: Jl. Pinus
Pendidikan
: SMK
Pada tanggal 05 Agustus 2013, penulis mendantangi salon Nufus dan bertemu dengan pemilik salon yakni ibu dari NS, namun karena beliau sibuk bersiap akan berangkat ke suatu acara, maka penulis disuruh melakukan hanya wawancara dengan anak beliau yakni NS. Berikut hasil 104
08.00 Wib.
Wawancara dan observasi dengan YN, Tanggal 05 agustus 2013 di Salon Ceria, Pukul:
84
wawancara yang penulis lakukan dengan NS tentang hukum mencukur alis: “Salon ini melayani jasa mencukur alis, biasanya yang datang ke sini bebas, ada yang muslim ada yang kristen. Selain melayani jasa perawatan kecantikan, salon ini juga melayani tata rias pengantin, biasanya orang yang hendak menikah memang dicukur alisnya, tapi tergantung masing-masing orang, ada yang mau dicukur alisnya ada juga yang tidak mau, jadi kami melakukan sesuai dengan permintaan orang. Karena memang kalau yang muslim ada juga yang fanatik dengan agama dia minta agar alisnya tidak dicukur pada saat dirias, tidak jarang menemui orang yang seperti itu, baru-baru ini juga ada yang tidak mau alisnya dicukur padahal alisnya lebat sekali dan sulit didandani, tapi yaa karena sudah kemauan orangnya begitu, kita tidak bisa memaksa juga dan akhirnya riasannya biasa-biasa saja. Jadi sebelum dirias biasanya kami tanya dulu apa boleh dirapikan atau tidak alis yang bersangkutan. Masalah hukum mencukur alis ini, kebetulan saya juga dulu sekolah di Madrasah, jadi pernah tahu dan diajarin bahwa hukumnya tidak boleh, tapi kalau dalam hal tata rias pengantin inikan membentuk hasil rias yang bagus itu dari alisnya, kalau alisnya bagus wajahnya akan terlihat sempurna, tapi kalau alisnya tidak bagus, tidak rapi maka akan terlihat kurang cantik. Dalam adat orang banjar memang ada biasanya kegiatan mencukur alis dan katanya ada bacaan tertentu, tapi saya kurang tahu apa bacabacaannya, pokoknya supaya terlihat wangas105 kata orang banjar kalau dalam bahasa Indonesia supaya terlihat berseri. Kami mencukur alisnya paling diujung-ujung saja dan belum pernah mencukur sampai habis. Tujuan dicukur alis itu untuk mempercantik diri saja, Tetatpi juga supaya alisnya agak berbentuk”.106
105
Bahasa Banjar artinya terlihat lebih cantik dari biasanya.
106
Wawancara dan observasi dengan NS, Tanggal 05 Agustus 2013 di Salon Nufus Pukul:
07.00 Wib.
85
c.
Subjek X Nama
: RA
Umur
: 25 Tahun
Alamat
: Jl. Tilung Induk
Pendidikan
: SMK
Pada tanggal 25 Juli 2013, penulis mendatangi RA di rumah kediaman mertuanya setelah shalat tarawih, sebab dari pagi hingga sore RA sibuk bekerja di salon, sehingga malam hari baru bisa ditemui. RA adalah perempuan yang di satu sisi RA sebagai pegawai salon dan sisi lain RA juga adalah salah seorang perempuan yang mencukur alisnya untuk kecantikan. Berikut hasil wawancara dengan RA mengenai hukum mencukur alis: “Di salon tempat saya bekerja itu biasanya kebanyakan melayani make up untuk para undangan pengantin dan memang mencukur alis itu kemauan mereka sendiri. Biar tidak berias, yang datang sekedar ingin mencukur alis juga banyak yang merapikan alis juga ada, intinya tergantung permintaan mereka yang datang ke salon kami. Memang ada sebagian orang yang tidak mau dicukur alisnya yaitu yang belum kawin, tapi kebanyakan ibu-ibu atau yang sudah menikah biasanya minta alisnya dirapikan. Memang pernah mendengar tentang hukum mencukur alis, tapi kurang tahu hukumnya gimana. Menurut aku pribadi boleh-boleh aja mencukur alis selagi banyak orang yang melakukannya, biasanya ibu-ibu haji masih ada juga yang becukur alisnya, jadi tetap jalan terus mencukur alisnya. Kecuali memang sudah tidak ada lagi yang mencukur alis, baru saya tidak melakukannya lagi, sudah biasa dari sebelum kawin saya juga mencukur alis, seperti menjadi ketagihan, kalau sudah mencobai sekali pasti ke depannya mau mencukur alis lagi. Kalau alis itu dicukur ataupun dibentuk kelihatan bagus secara fisik. Kalau menurut orang banjar perempuan yang belum kawin jangan mencukur alis, tapi kalau yang sudah kawin boleh saja mencukur alis dan tujuan alis dicukur
86
supaya kelihatan wangas107nya dalam artian terpancar auranya, nampak berseri-seri pada saat resepsi pernikahannya. Zaman sekarang tidak memandang yang hendak kawin atau tidak, soalnya sudah menjadi kebiasaan banyak orang yang belum kawin, anak-anak SMA sudah banyak yang mencukur alis”.108
d.
Subjek XI Nama
: TS
Umur
: 45 Tahun
Alamat
: Jl. Mahir Mahar
Pendidikan
: Sekolah Tata Rias
Pada tanggal 18 Juli 2013, penulis mengunjugi salon desty yang sekalian rumah (ruko) TS, namun penulis tidak bertemu dengan TS karena menurut keterangan dari anak TS beliau sedang keluar, namun beberapa jam kemudian TS kembali dan bersedia diwawancarai, berikut adalah hasil wawancara penulis dengan TS: “Kalau untuk merias penganten biasanya memang selalu aku cukur alisnya, supaya bisa dibentuk dan gampang dirias, tapi kalau yang sebatas datang ke salon ingin mencukur alisnya juga dilayani. Dalam hal mencukur alis untuk penganten tidak sampai habis juga dicukurnya, paling tidak dirapikan untuk dibentuk saja dan hal ini memang termasuk dalam aturan tata rias penganten, artinya memang dianjurkan alis itu dibentuk agar terlihat rapi dan cantik supaya tampil beda dengan orang yang belum menikah. Kalau masalah hukumnya, memang ada yang mengatakan tidak boleh, tapi mau bagaimana lagi, mencukur alis ini sudah menjadi aturan dan 107
Bahasa Banjar artinya terlihat lebih cantik dari biasanya.
108
Wawancara dan observasi dengan RA, Tanggal 25 Juli 2013 di Kediaman RA, Pukul :
21.00 Wib.
87
kebiasaan masyarakat itu sendiri, jadi susah untuk dihilangkan. Karena titik paling penting dalam tata rias adalah bagian alis orang, kalau seorang pengaten alisnya itu tidak mau dicukur, tidak mau dirapikan sama saja tidak ada bedanya dengan orang biasa, akhirnya dandanannya biasa-biasa saja, seperti bukan orang yang lagi nikahan, kalau begitu lebih baik merias diri sendiri saja tidak perlu perias penganten segala. Seorang perempuan akan terlihat cantik dari hasil riasan alisnya, biarpun dia memakai make up mahal ataupun yang bagus, tapi kalau orangnya biasa-biasa saja dan alisnya juga tidak dibentuk, percuma saja dirias, karena kurang terlihat cantik jadinya. Lagi pula kalau misalnya perias penganten tidak diperbolehkan mencukurkan alis dengan alasan adanya hukum agama yang melarang, harusnya tidak boleh aja sekalian bulu-bulu halus yang ada diwajah dihilangkan, karena kan katanya melanggar hukum. Tapi memang sulitkan zaman sekarang ini, kadang hukum agama bisa kalah dengan adat yang ada di masyarakat. Jadi menurut aku boleh saja alisnya dicukur untuk dirapikan, supaya menghasilkan riasan wajah yang bagus dan tampil beda saat acara pernikahan penganten tersebut”.109
e.
Subjek XII Nama
: MT
Umur
: 62 Tahun
Alamat
: Jl. Dr. Murdjani
Pendidikan
: Sekolah Khusus Tata Rias
Pada tanggal 07 Juli 2013, penulis mendatangi salon rizky namun tidak bertemu dengan MT, menurut keterangan dari suaminya MT sedang ke pasar dan baru berangkat, akhirnya penulis pulang. Pada tanggal 13 Juli 2013 penulis kembali mengunjungi salon rizky dan berhasil bertemu
109
Wib.
Wawancara dan observasi dengan TS, Tanggal 18 Juli 2013 di Salon Desty, Pukul : 09.30
88
dengan MT, berikut adalah hasil wawancara oenulis dengan MT tentang mencukur alis: “Kalau salon biasanya membolehkan alis itu dicabut, padahal kalau dicabutkan alisnya akan lama tumbuhnya selain tidak boleh juga berbahaya kalau terkena urat mata bisa menyebabkan mata kabur, lalu diarahkan ke hukum Islam menghilangkan alis itu tidak diperbolehkan, karena memang ada ayat yang melarangnya. Jadi kalau ingin bagus alis itu dipotong, kalau mau terlihat cantik. Istilahnya dicukur agar terbentuk alisnya dan terlihat cantik dan beda lalu akhirnya make up jadi tinggi dan riasannya bagus. Pernah juga saya menemui perempuan berjubah, dia tidak mau alisnya dicukur, tamu undangan pisah antara laki-laki dan perempuan, tidak boleh pakai musik, yaa ini tergantung pada masing-masing orang ja, kalau agamanya yang kuat memang tidak mau alisnya dicukur, bahkan bagi laki-laki yang melarang istrinya mencukur alis, jujur saya acungkan jempol karena sudah menjalan perintah agama. Kalau aku jujur ja dicukur alisku ni, supaya bagus dan suamiku senang melihat dandananku, kata suamiku kelihatan lebih muda aku ni. Jadi boleh ja mencukur alis tu menurut aku”.110
f.
Subjek XIII Nama
: BA
Umur
: 43 Tahun
Alamat
: Jl. Rindang Banua
Pendidikan
: Sekolah Khusus Tata Rias
Pada tanggal 06 Juli 2013, penulis berkunjung ke kediaman BA, kebetulan BA berada dirumah dan baru selesai mengerjakan shalat ashar. Penulis langsung memberikan beberapa pertanyaan seputar penelitian 110
Wib.
Wawancara dan observasi dengan MT, Tanggal 07 Juli 2013 di Salon Rizky, Pukul: 10.00
89
penulis tentang hukm mencukur alis dan berikut adalah hasil wawancara penulis dengan BA: “Setiap merias memang selalu dicukur alisnya, dengan tujuan tampak beda pada acara pernikahan si penganten. Menurut saya kalau sebatas merapikan saja itu tidak apa-apa, tapi jika dicabut atau dikerik habis itu baru yang haram, karena merupakan perbuatan merubah ciptaan Allah Swt, apalagi sampai dilapis dengan tato segala atau pakai obatobatan yang berbahaya setelah alisnya dikerika habis, itu yang tidak diperbolehkan. Jadi kalau hanya sebatas merapikan sedikit saja yang kami lakukan pada calon penganten itu biasa-biasa saja menurut kami. Memang ada beda pendapat yang mengatakan tentang hukum mencukur alis ini, ada yang memang mengharamkan. Kadang-kadang memang ada juga orang minta rias dengan saya tapi alisnya tidak perlu dicukur, yaa tergantun permintaan mereka saja, saya tidak berani juga langsung mencukur alis tanpa persetujuan yang dirias tersebut. Pada zaman sekarang kenyataan yang ada kan tidak hanya orang yang mau nikah saja yang melakukan cukur alis, tapi anak-anak muda perempuan juga banyak yang melakukan cukur alis ini. Jadi semuanya tergantung pada niatnya masing-masing saja”.111
g. Subjek XIV Nama
: NN
Umur
: 40 Tahun
Alamat
: Jl. Mendawai IV
Pendidikan
: Sekolah Khusus Tata Rias
Pada tanggal 19 Juni 2013, penulis mendatangi kediaman NN dan berhasil bertemu serta mewawancarai NN, berikut adalah hasil wawancara yang penulis lakukan:
111
15.30 Wib.
Wawancara dan observasi dengan BA, Tanggal 06 Juli 2013 di kediaman BA, Pukul :
90
“Masalah mencukur alis ini sudah lumrah terjadi di masyarakat dan bukan hal yang tabu lagi, bahkan tidak hanya di sini saja dipermasalahkan, tapi seluruh Indonesia jua memperdebatkannya. Sebelum merias aku selalu menanyakan kepada orang yang akan dirias wajahnya, apakah boleh alisnya dicukur atau tidak, jadi tidak sembarang asal potong alis orang. Apabila dia mau dicukur, kami lakukan, tapi kalau tidak mau dicukur juga kami turuti, karena semua tergantung pengguna jasa salon kami. Terkadang kami menjadi kambing hitam saat yang kami lakukan bertentangan dengan hukum agama, misalnya yaitu mencukur alis, karena ada sebagian yang membolehkan dan adapula yang mengharamkannya, kami menghormati itu semua, maka dari itu tidak sembarang potong alis orang, tetapi ditanyakan terlebih dahulu, lagipula kami tidak mencukurnya sampai habis, hanya sebatas memotong sedikit untuk merapikan lalu dibentuk sehingga alis itu menjadi lebih bagus dan tertata agar make up yang dipakai sesuai dengan wajah si penganten tadi. Berbicara masalah bagaimana hukum mencukur alis ini, kami serahkan kepada masing-masing diri, kalau menurut kami kalau hanya memotong sedikit itu tidak apa-apa asalkan jangan sampai dikerik habis seperti sekarang yang sedang tren yakni sulam alis. Jika kegiatan mencukur alis ini dikaitkan dengan adat yang terjadi di masyarakat, saya rasa tidak terlalu sesuai lagi, sebab zaman sekarang mencukur alis itu tidak sebatas dilakukan saat hendak melangsungkan pernikahan seperti pada zaman dahulu lagi, tetapi lebih kepada kebiasan yang lumrah dilakukan oleh masyarakat modern, selain itu kegiatan mencukur alis tidak hanya dilakukan oleh yang hendak menikah tapi juga dilakukan oleh anak-anak muda dewasa ini, jadi tidak cocok lagi jika disangkut pautkan dengan adat”.112
h. Subjek XV
112
16.00 Wib.
Nama
: AA
Umur
: 22 Tahun
Alamat
: Jl. Wisata II
Wawancara dan observasi dengan NN, Tanggal 19 Juni 2013 di kediaman NN, Pukul :
91
Pendidikan
: MAN Model
Pada tanggal 15 Juni 2013, penulis mengunjungi AA ke kediamannya sesudah shalat ashar, sebab dari pagi sampai jam 2 siang AA bekerja dan baru bisa ditemui sekitar sore sampai malam, berikut adalah hasil wawancara dengan AA: “Setahu aku tujuan mencukur alis tu untuk mempercantik diri, semalam waktu mau nikah alisku dicukur oleh periasnya, katanya supaya mudah dibentuk alisnya, sudah 2x alisku ini dicukur, khusus untuk acara nikahan saja, kalau sehari-hari sih tidak dicukur segala. Selain itu tida dicukur sampai habis, hanya sebagiannya, sehabis dicukur biasanya lama baru tumbuh sekitar 2 mingguan, sebenarnya aku rasa kurang bagus juga setelah dicukur, mungkin karena tidak terbiasa saja akunya dan aku sebenarnya tidak mau juga kemaren alisku dicukur, tapi tuntutan dari make up riasan pengantin dan sebagai kebiasaan pada lazimnya yang terjadi di masyarakat kami. Kalau masalah hukum tentang larangan mencukur alis, aku belum pernah mendengarnya, jadi mau saja aku kemaren alisnya dicukur oleh perias penganten, seandainya aku memang tahu bahwa itu dilarang dalam ajaran Islam tentu aku tidak melakukannya, karena kan kalau melakukan berarti melanggar hukum Allah Swt”.113
i.
113
16.30 Wib.
Subjek XVI Nama
: SH
Umur
: 50 Tahun
Alamat
: Jl. Pantung
Pendidikan
: SD
Wawancara dan observasi dengan AA, Tanggal 15 Juni 2013 di kediaman AA, Pukul :
92
Pada tanggal 20 Juni 2013, penulis mendatangi ke kediaman SH sesudah shalat subuh, sebab pada waktu ada kerabat SH yang sedang dirias untuk melangsungkan pernikahan pada hari itu, berhubung penganten adalah seorang tuna wicara , maka SH lah yang mewakili untuk diwawancarai, berikut adalah hasil wawancara penulis dengan SH: “Kalau mencukur alis gunanya untuk mempercantik diri. Bagi yang ingin menikah berarti tanda ampih bujang114 kalau menurut orang Banjar atau biasanya disebut orang tradisi (adat). Biasanya mencukur alis ini sewaktu ada acara saja, yaaa seperti acara pernikahan ini saja. Kegiatan mencukur alis diluar keperluan untuk menikah biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melanjutkan mencukur alis sesudah pernikahan sampai seterusnya. Menurut keluarga kami boleh mencukur alis hanya sekali saja, yakni waktu ingin menikah saja, selain itu tidak juga di cukur sampai habis, hanya sedikit saja istilah orang banjar syaratnya saja dan untuk sementara ada acara pernikahan saja. Kalau masalah hukum agamanya, keluarga kami memang tahu dari ceramah agama yang disampaikan oleh ustad-ustad di pengajian bahwa ada hukum yang melarang mencukur alis, tapi kalau menurut kami jika hanya sebatas merapikan dan hanya dibuang sedikit saja alisnya tidak apa-apa, lain halnnya jika dikerik sampai habis, disulam atau ditato itu yang tidak diperbolehkan dalam hukum Islam”.115
j.
Subjek XVII Nama
: EI
Umur
: 25 Tahun
Alamat
: Jl. Dr. Murdjani
Pendidikan
: S1
114
Bahasa Banjar : Sudah tidak perawan (dalam artian telah besuami).
115
Wawancara dan observasi dengan SH, Tanggal 20 Juni 2013 di kediaman SH, Pukul :
05.40 Wib.
93
Pada tanggal 24 Juni 2013, penulis mengunjungi rumah EI. Penulis memilih EI sebagai salah satu subjek penelitian, sebab EI baru saja menikah beberapa waktu yang lalu dan EI mencukur alisnya. Berikut adalah hasil wawancara penulis dengan EI: “Sewaktu saya mau menikah kemaren alis saya memang dicukur oleh perias penganten yang saya sewa, sebenarnya saya tidak ingin dicukur alisnya, karena saya tahu bahwa dalam ajaran agama Islam perbuatan itu dilarang dalam sebuah hadis, tapi apa boleh buat saya nurut saja waktu disuruh alisnya dicukur, beliau tidak meminta izin terlebih dahulu dan akhirnya saya pasrah saja, yaaaa sekali seumur hidup saja bisik saya dalam hati, sebatas untuk acara nikahan saya ini. Kemaren waktu dicukur itu banyak sekali, seingat saya lebih dari setengah alis saya yang hilang, sampai sekarang saya merasa menyesal juga kenapa tidak minta agar tidak dicukur alis saya, terlebih lagi saya mendapat teguran dari keluarga saya karena melakukan cukur alis ini, tapi mau bagaimana lagi sudah terlanjur, ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Tapi ini yang pertama dan terakhir saya mencukur alis, selanjutnya tidak akan saya lakukan lagi”.116
k. Subjek XVIII Nama
: HH
Umur
: 28 Tahun
Alamat
: Jl. Jati Indah
Pendidikan
: SMA
Pada tanggal 05 Agustus 2013, penulis mengunjungi kediaman HH, namun tidak bertemu dengan yang bersangkutan, karena menurut keterangan dari orang tuanya HH pulang kampung ke martapura. 116
Wib.
Wawancara dan observasi dengan EI, Tanggal 24 Juni 2013 di kediaman EI, Pukul : 14.00
94
Kemudian penulis melakukan wawancara melalui handphone. Berikut adalah hasil wawancara dengan HH: “Kalau saya pribadi memang sudah sering melakukan cukur alis, biasanya saya sebentar saja ke salon untuk mencukur alis dan biayanyapun murah saja, sebab jika dilakukan sendiri pasti sulit, jadi lebih baik ke salon sebentar untuk merapikannya kebetulan juga saya punya teman yang memiliki salon dan tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah saya. Tujuan saya mencukur alis yaa untuk tampil cantik, alis saya jadi rapi dan bagus dilhat oleh suami intinya untuk menyenangkan suami saya, kalau ditanya sering, yaaa lumayan sering, karena kalau sudah mulai kurang baik dilihat atau tumbuhnya tidak teratur, maka saya cukur ke salon. Kalau bicara masalah hukumnya saya kurang tahu, kalau menurut saya jika hanya merapikan alis kemudian dibuang sedikit saja itu tidak apaapa”.117
B. Pembahasan dan Analisis 1. Persepsi Ulama di kota Palangka Raya tentang Hukum Mencukur Alis Mencukur alis bagi perempuan, khususnya di kota Palangka Raya bukan hanya menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat, tetapi juga sebagai bagian dalam ilmu Tata Rias Wajah sehingga bukan hal yang jarang untuk ditemui. Hal ini apabila dilihat dari segi hukum Islam sebagaimana dikatakan oleh Ulama di kota Palangka Raya pada umumnya merupakan hal yang dilarang jika mencukur alisnya sampai habis, karena merupakan perbuatan merubah ciptaan Allah Swt, sebagaimana dalam Alquran dijelaskan melalui surah berikut: 117
Wawancara dan observasi dengan HH, Tanggal 05 Agustus 2013 melalui telepon seluler, Pukul : 09.00 Wib.
95
118
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.119
Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa setan akan selalu menggoda manusia dan berusaha untuk menjerumuskannya ke jalan yang sesat sehingga mendapat azab dari Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt berikut: … 120
118
Ar-Rum [30] : 30.
119
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006, h. 407. 120
An-Nisaa [4] : 119.
96
“Dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benarbenar mereka merubahnya ". barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”.121
Kedua ayat Alquran tadi menjelaskan larangan merubah bentuk ciptaan Allah Swt secara umum. Dalam memahami suatu hukum, hendaknya kita menggunakan metode-metode yang telah banyak digunakan oleh para mujtahid dan Ulama terdahulu untuk menemukan makna nas tentang suatu hukum. Dalam kajian memahami hukum Islam terdapat beberapa pendekatan, yakni pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani. Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh subjek penelitian yang penulis jadikan sebagai sample penelitian, ternyata Ulama di kota Palangka Raya berbeda pendapat dalam memandang hukum mencukur alis yang sering dilakukan masyarakat ini, yakni ada dua golongan sebagai berikut: a. Golongan Ulama Kontekstual di kota Palangka Raya Setiap orang memiliki pendapat dan cara pandang berbeda-beda terhadap segala sesuatu yang terjadi disekitarnya, oleh karena itu begitu ulama menyikapi menanggapi peristiwa yang terjadi dimasyarakat. Ulama kontekstual yang dimaksud adalah Ulama yang menyatakan pendapat
121
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 97.
97
tentang suatu hukum dengan cara melihat teks nash dengan realitas.122 Realitas tersebut meliputi realitas alam (realitas kauniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima`iyyah) maupun realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan konteks "sebagai dua sumber kajian" berada dalam satu wilayah yang saling berkaitan.123 Empat orang subjek penelitian yakni ZA, MA, GR dan MH, menyatakan bahwa mereka sepakat jika menghilangkan alis dengan cara mencukur sampai habis atau gundul itu hukumnya haram sesuai dengan hadis berikut:
، ِ و َ اﻟْﻮ َ اﺻِ ﻼَت، ِ َ اﻟْﻤ ُ ﺴ ْ ﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ َﺎت:ِ ﻗَﺎلَو،َﺎت ِﻋَﻦُْ اﻟْﻮﻋََﺒ ْاﴰﺪِِ اﷲ ﻌ َ ﻦ َ اﷲ َﺰﱠﻓـَﺒ َ ﺎخَ ذَﻟِﻚ،ﻞﱠ َاﷲَِ ﻋ و َ اﻟْﻤ ُ ﻐَ ﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َو َ ﺟ،ُِ ﺘـَ ﻔَ ﻠﱢﺠ َ ﺎت ِ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴ ْ ﻦ : ْ ﻓـَﻘَ ﺎﻟَﺖ، ، ُ ﻓَﺄَﺗـَﺘْﻪ، َ ﺗـَﻘْ ﺮ َ أُ ﻗـُﺮ ْ آن:ْﻛَﺎﻧَﺖ ﺎ ََﻘَ ﺎلُ ﳍ، َُ ب ﻳـ،ْ ٍﺪ َﲎ ِﻳـ َ أﻌَﺳْ َﻘُﻮ َ أَةً ﻣِ ﻦ ْ ﺑ أُمﱡ ، ِ و َ اﻟْﻤ ُ ﺘـَ ﻨَﻤﱢﺼ َ ﺎت، ِ ِ َﺎت ِ و َ اﻟ ﺑـْﻤَُ ﻠَﺴ ْ ﺘـَ ﻮ ْ ﴰ ِ َﺎت ِ ؟ و َ اﻟْﻮ َ اﺻِ ﻼَت َ ْﻌ َ ﻦ ُ ﻣ َ ﻦ ْ ﻟَﻌ َ ﻦ:ﺎلَ أَﻟ َﺎﱃَﱄ؟ ِﻓ ْـَﻘَ ﻻ ـَﻌ َﻣ َ ﺎ َ ﻟِ ﻠْﺤ ُ ﺴوَْ اﻦِﻟ اْﻤﻟ ُْﻤ ﺘُـَﻐَﻔَﻴـﱢﺮ َ ات ِ ﺧَ ﻠْﻖ َ اﷲِ ﺗو ـَﺮ َ أْت ُ ﻣ َ ﺎ : َﺖ ْﻗ َْﻘَﺪ و َ ﻫُ ﻮ َ ﰱ ِ ﻛِ ﺘَﺎبِ اﷲِ ﺗـَﻌ َ ﺎﱃَ ؟ ﻟﻗَﺎﻟ، َ ﻋَ ﻠَﻴ ْ ﻪِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ ﰒُﱠ، ِْﺗِ ﻴ ْ ﻪِ ﻟَﻘَﺪْ و َ ﺟ َ ﺪْ ﺗِ ﻴ ْ ﻪ:ﺎلَأ َ ِ ﻓ ﻗـَﻘَـَﺮ،ﻛُﻨْﺖ َُﺪْ ﺟﺗُﻪ َ َﺌِﻦﺎ!ْو ِﻒ َ ﻓَﻤ اﷲِ َ ﻟ َﲔ ْ َ ﻟَﻮ ْ ﺣ َ ﻲ ْ اﻟْﻤ ُو َﺼ ْ ﺤ َ َى ﺑـ َ ﻌ ْﺾ:َﺖ ْأَر إِﱏﱢ ﻗَﺎﻟ (ﺬُو ْ) ﻩ ُ و َ ﻣ َ ﺎ ﻧـَﻬ َ ﺎﻛُﻢ ْ ﻋَ ﻨْﻪ ُ ﻓَﺎْﺗـَﻬ ُ ﻮ ْ ا َـَﺮ َ أ ُﻓَﺨ ﺮﱠﺳ ُ ﻮ ْ لُ ﻗ ﻣ َ ﺎ: َ ﻓـَﻘَ ﺎل، ْ ﻠَﺖﺮ َْﺟ َ ﺖ َ ﻓَﺪَﰒُﱠﺧَﺧ،ﻠِﻰ ﻓَﺎﻧْﻈُﺮِي : َﻗَﺎل ُﻓَﺎدْﺧ ، َﻫَ ﺬَا ﻋَ ﻠَﻰ اﻣ ْ ﺮ َ أَﺗِﻚ . ﺎﻛَﺎﻧَﺖ ْ ﻣ َ ﻌ َ ﻨَﺎ:َ ﻛَﺎنَﺎلَﻣ َ ﻓـَﻘ، ُْْﺖَﻮ ﻟ:َﺖَ ْأَﻳ ـَﻘَ ﺎﻟ ر َ ر َ أَﻳ ْﺖ ِ ؟ ﻓ ﻣ 122
123
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, h. 26.
http://alimtiaz.wordpress.com/2012/04/14/bayani-sebagai-sebuah-epistemologi-ilmudalam-islam/ (Diunduh Minggu 06 Oktober 2013 Pukul: 20.05 Wib).
98
“Dari Abdullah, dia berkata: Allah Swt melarang orang membuat tato dan minta dibuatkan tato menyambung rambut, mencabut alis mata (hingga tipis), merenggangkan gigi untuk keindahan, dan merubah ciptaan Allah Swt. Hadis ini kemudian didengar oleh seorang perempuan dari Bani Asad, biasa dipanggil Ummu Ya’kub yang saat itu sedang membaca Alquran. Dia pun mendatangi Abdullah dan bertanya , “Aku mendengar kabar bahwa kamu melaknat orang yang membuat tato, orang yang minta dibuatkan tato, orang yang menyambung rambutnya, orang yang mencabut alis matanya, orang yang merenggangkan giginya utntuk keindahan, dan orang yang merubah ciptaan Allah?” Dia Menjawab, “Bagaimana aku tidak melaknat orang yang telah dilaknati Rasulullah Saw dan itu dinyatakan dalam Alquran?” Ummu Ya’qub berkata, “Aku Telah banyak membaca Alquran tetapi aku tidak menemukan (penjelasan hal itu)? ”Dia menjawab, “Demi Allah, Jika kamu membacanya secara lebih teliti maka kamu akan mendapatkannya yaitu: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Qs. Al Hasyr [59]:7. Ummu Ya’qub berkata, “Aku melihat hal itu ada pada istrimu. ”Dia menjawab, “Masuk dan lihatlah. ”Ummu Ya’qub pun masuk, kemudian keluar lagi. Abdullah lalu bertanya, “Apa yang kamu lihat? ”Ummu Ya’qub berkata, “Aku tidak melihatnya (melakukan hal yang dilarang).” Abdullah berkata, “Jika dia (istri saya) melakukan hal itu maka dia tidak akan bersamaku. “(H.R. Muslim)”.124
Dalam hadis di atas memang dituliskan secara jelas bahwa mencukur alis itu dilarang dengan adanya kata “Laknat Allah Swt”. Tetapi karena ladang ibadah seorang istri adalah suami, dari sini maka hendaknya apa yang dia lakukan pada dirinya adalah semata-mata demi suami termasuk berhias dan mempercantik diri, jika niat istri dalam 124
Imam Abu Husein Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Juz III, Terj. Adib Bisri Musthofa dkk, Jakarta: CV. Asy-Syifa, 1993, h. 923-924.
99
berhias adalah demi suami maka hal tersebut bernilai ibadah, di samping itu istri tidak akan memperlihatkan perhiasan dirinya kepada orang lain, karena dia memang berhias hanya untuk suami semata bukan untuk orang lain. Dalam menyikapi hadis dan menyatakan pendapatnya masingmasing, dapat dilihat bahwa hadis tentang larangan mencukur alis tidak serta merta mutlak haram, tetapi masih bisa dikaji lebih mendalam melihat kepada keadaan yang dikaitkan dengan nash-nash lain. Sebagaimana yang diungkapkan ZA bahwa mencukur alis itu dibolehkan bagi yang sudah bersuami dengan catatan mengantongi izin dari suaminya dan mencukur alis termasuk salah satu perbuatan menjaga kebersihan, karena fungsinya untuk merapikan sesuai hadis Rasulullah Saw:
... ِ اﻹ ْر ُ ِ ﯾﻣ َﺎن ْ اﻟط ﱡ ﮭُور ُﺷ َط … “…..Suci itu adalah separuh dari iman…”
Dari pendapat yang dikemukakan, ZA menggunakan metode kontekstual dalam memahami hukum islam, yakni beliau melihat hukum melalui teks dan realitas yang ada dengan menggabungkan keduanya dengan kata lain menalar secara kontekstual,
artinya memang
mengharamkan jika digundul habis, namun menjadi boleh dengan melihat keadaan, yakni bagi seorang perempuan yang telah bersuami. Beliau
100
menyikapi suatu hukum yang terkandung dalam suatu hadis tentang larangan mencukur alis dikaitkan dengan realitas bahwa mencukur alis yang dilakukan oleh masyarakat di kota Palangka Raya masih belum sampai kepada perbuatan haram seperti apa yang dimaksud merubah ciptaan Allah Swt. Dalam mengeluarkan pendapatnya ZA mengaitkan dengan ayat dan hadis-hadis tentang kebersihan sebagaimana yang telah penulis sampaikan di awal bab ini sesuai dengan hasil wawancara dengan ZA, jadi ZA tidak hanya melihat dari satu ayat atau nash saja untuk menyatakan persepsinya terhadap suatu hukum dan disesuaikan dengan keadaan suatu masyarakat tertentu. Kemudian ZA juga mengungkapkan bahwa sebenarnya mencukur alis sudah dilakukan oleh masyarakat terdahulu sebagai bagian dari adat, ZA menyikapi hal tersebut sebagai suatu warisan yang memang melekat pada diri masyarakat tertentu, selama tidak mencukur sampai habis, maka tidak apa-apa, karena segala sesuatu dalam bentuk adat yang baik maka bisa dijadikan pertimbangan hukum juga, sebagaimana kaidah ushul fikih berikut:
ُ ◌ﳏَُﻜﱠﻤ َ ﺔ ُ اﻟ ْﻌ َ ﺎد َ ة “Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum”.125
125
Ibid., h. 9.
101
Kemudian pendapat GR mengenai hukum mencukur alis, beliau mengikuti pendapat Ulama terdahulu, yakni hukumnya haram jika belum bersuami, yakni hanya untuk mempercantik diri ditujukan kepada yang bukan mahramnya, tetapi hukumnya menjadi sunnah bagi yang telah bersuami, serta jika memang mencukur alis digunakan sebagai bagian dari prosesi untuk melaksanakan pernikahan hukumnya juga boleh. Hal ini didasarkan kepada hadis yang membahas tentang bolehnya seorang istri berhias demi menyenangkan suami yang hukumnya sunnah jika membahagiakan suami. Dari pendapat GR ini dapat dilhat bahwa GR juga menggunakan pola pikir burhani dalam memahami suatu hukum dengan lebih melihat kepada teks hadis dengan realitas keadaan masyarakat, artinya hadis yang diterima tidak langsung dipahami keharaman secara mutlak, tetapi disesuaikan dengan melihat keadaan dan perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat, dengan demikian GR mengannggap kebiasaan perempuan mencukur alis itu hukumnya boleh. Jadi mencukur alis sebatas merapikan dan mempercantik diri untuk menyenangkan suami hukumnya boleh, bahkan menjadi sunnah. Kemudian GR juga melihat kepada manfaat dari mencukur alisnya seorang istri guna membahagiakan suami, yang mana bertujuan agar terciptanya rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Sedangkan pendapat MA yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa dia menyikapi hadis tentang hukum mencukur alis dikaitkan
102
dengan kebiasaan masyarakat di kota Palangka Raya, yakni menggunakan pola pikir burhani juga dengan melihat teks hadis dan keadaan masyarakat di kota Palangka Raya sendiri bahwasanya mencukur alis sudah menjadi kebiasaan dan dia membolehkan asal jangan sampai mencukur lebih dari setengah alis yang dimiliki, artinya masih ada batas maksimal dan minimumnya, yakni menetapkan hukum sesuai dengan batas perbuatan. Jadi batas maksimalnya alis seseorang boleh dicukur adalah kurang dari setengah alis, sedangkan batas minimalnya adalah sekedar merapikan artinya hanya mencukur sedikit saja, yakni beberapa helai alis saja, sehingga tidak terlihat seperti alis yang sudah dicukur. Kemudian yang terakhir adalah pendapat dari MH, beliau menyatakan bahwa mencukur alis jika sebatas merapikan hukumnya boleh, dalam hal ini MH mendasarkan kepada hadis tentang bahwa sunnah hukumnya membuat senang hati suami dengan cara seorang isteri menghias diri sebaik mungkin dihadapan suaminya. Dilihat dari pendapatnya, dapat dipahami bahwa pola pikir yang digunakan oleh MH adalah metode burhani, yakni memahami teks dan realitas yang terjadi di masyarakat.
MH
juga
mengungkapkan
bahwa
sesuai
dengan
perkembangan zaman suatu hukum bisa bergeser dengan adanya kejadian yang terjadi sesuai dengan zamannya masing-masing. Menurut MH bahwa asbabul wurud tentang hadis yang melarang mencukur alis pada masa jahiliyah adalah karena pada waktu itu perempuan mencukur
103
alisnya untuk memikat lawan jenis dengan pergi ke tempat-tempat maksiat serta juga dikhawatirkan jika mencukur alis akan menjadi mirip dengan laki-laki, sehingga muncullah larangan mengikuti ajaran kaum jahiliyah secara historis. Sedangkan zaman sekarang orang mencukur alis dilakukan untuk acara pernikahan yang memang acara tersebut adalah kegiatan yang baik serta jika dalam acara pernikahan tidak terlihat seperti laki-laki, artinya jelas memang perempuan. Kemudian zaman sekarang ibu-ibu mencukur alisnya untuk hadir di acara yang baik, yakni majelis ta’lim, pengajian dan arisan-arisan. Lebih lanjut menurut MH seandainya seorang perempuan yang belum resmi menikah atau baru akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat, jika dia telah meminta izin kepada calon suaminya untuk mencukur alisnya maka juga dihukumkan boleh sebab ada tujuan atau ada i’tikad baik dan ataupun sudah pasti akan terlaksana pernikahan antara keduanya. Menurut MH sebagai seorang suami, sebaiknya memberikan izin kepada si isteri jika ia hendak mencukur alisnya, agar si istri tidak mendapat dosa karena melanggar hukum Allah Swt dan suami juga bahagia melihat isterinya tampil cantik dengan alis yang dirapikan sedikit. Perempuan dan laki-laki diciptakan berpasang-pasangan agar bisa saling mengasihi dan saling menyayangi. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Ar-Ruum [30] : 21 berikut:
104
126
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.127
Jadi jika seorang perempuan mencukur alisnya dengan tujuan untuk merapikan, maka hukumnya boleh asalkan dengan catatan si perempuan memiliki suami dan memperoleh izin dari suaminya untuk melakukan cukur alis tadi. Sebab menurut mereka kenapa hal ini hukumnya menjadi boleh karena perbuatan mencukur alis yang dilakukan oleh si perempuan dengan tujuan menyenangkan hati suaminya dirumah bukan untuk mempercantik diri agar memikat laki-laki lain selain suaminya. Mereka
126
Q.S. Ar-Ruum [30] : 21.
127
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 406.
105
mendasarkan kebolehan ini pada sebuah hadis yang artinya sebagai berikut :
“Pada suatu hari dia berkunjung kepada Aisyah RA. Istri Abu Ishak itu adalah seorang perempuan yang suka berhias. Dia berkata kepada Aisyah, “Apakah seorang perempuan boleh mencabut bulu disekitar keningnya demi suaminya?” Aisyah menjawab, “Bersihkanlah dirimu dari hal-hal yang mengganggumu semampumu.”
Dari penjelasan ke empat subjek di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa mencukur alis itu hukumnya boleh asalkan jangan sampai mencukur atau menggundul alis tersebut sampai habis yang kemudian diganti dengan pensil alis, apalagi jika mentato alis otomatis hukumnya haram. Kemudian hukumnya sunnah bagi seorang perempuan yang telah bersuami jika dia mencukur alis hendaknya diniatkan mempercantik diri untuk menyenangkan suami dan dengan catatan memperoleh izin dari suami.
b. Golongan Ulama Tekstual di kota Palangka Raya Bayani (explanatory) secara etimologis mempunyai pengertian penjelasan,
pernyataan,
dan
atau
ketetapan.
Sedangkan
secara
terminologis bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
106
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. 128 Metode bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhanni. Ijtihad disini hanya memberikan penjelasan hukum yang pastu dari dalil nash itu.129 Dari penjelasan tentang metode bayani, dapat ditarik kesimpulan bahwa lapangan atau bahan penting ini adalah teks (nash), yakni Alquran dan Hadis. Tiga orang subjek penelitian yakni MN, AIA dan ABA menyatakan bahwa mencukur alis itu hukumnya haram apapun alasan yang melatar belakangi seorang perempuan mencukur alisnya tersebut. Dapat diihat bahwa pendapat dari golongan Ulama berikut berbeda dengan golongan Ulama sebelumnya yang mana mereka membolehkan alis perempuan dicukur dengan catatan hanya sebatas merapikan dan ditujukan untuk suami. Ketiga subjek ini menyatakan hukumnya tetap haram baik sedikit apalagi banyak mencukur alisnya, karena menurut mereka perbuatan tersebut sudah jelas-jelas merubah ciptaan Allah Swt sebagaimana firman Allah Swt:
128
http://alimtiaz.wordpress.com/2012/04/14/bayani-sebagai-sebuah-epistemologi-ilmudalam-islam/ (Diunduh Minggu 06 Oktober 2013 Pukul: 20.05 Wib). 129
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 26.
107
…
130
“Dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya ". barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”.131
Lebih lanjut lagi, MN menerangkan bahwa kita sebagai manusia hendaklah taat pada atauran yang telah Allah Swt agar tetap berada pada jalan yang benar, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt Q.S. AdzDzariyat [51] : 56 berikut:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Apa yang ada di dunia ini hanya sementara dan setan akan selalu menggoda manusia untuk melakukan hal yang dilarang-Nya sampai
130
An-Nisaa [4] : 119.
131
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, h. 97.
108
manusia itu tunduk pada perintah setan dan akhirnya berserikat melakukan dosa-dosa, dalam sebuah ayat Allah Swt menerangkan tentang sedikit saja manusia melanggar aturan Allah Swt berarti telah berserikat dengan setan. Melihat dari pendapat golongan yang kedua ini bahwa mereka menggunakan metode bayani, yakni memahami ayat atau hadis tentang suatu hukum secara tekstual, artinya apa yang memang sudah ditetapkan oleh Allah Swt ataupun Rasulullah Saw, maka itulah yang dijadikan dasar hukum tanpa perlu mencari penalaran lebih lanjut untuk mengungkap makna dari ayat atau hadis tersebut atau tanpa mengaitkan dengan realitas yang terjadi di masyarakat sesuai dengan zaman masingmasing, seperti zaman sekarang ini.
2. Pendapat Perempuan di kota Palangka Raya tentang Hukum Mencukur Alis (Perempuan yang Pernah Mencukur Alisnya dan Pegawai Salon) Dalam skripsi ini, yang menjadi subjek utamanya adalah perempuan di kota Palangka Raya, sehingga sangat penting untuk mengetahui alasan mereka melakukan cukur alis dewasa ini. Oleh karena itu penulis juga mewawancarai pegawai salon atau pemilik salon serta perempuan yang hendak menikah ataupun yang pernah melakukan cukur alis guna menyenangkan suami. Mereka memiliki alasan yang sama dalam memberikan penjelasan kenapa melakukan kegiatan mencukur alis. Dalam hal ini TS menyatakan bahwa alasan dia mencukur alis perempuan yang akan menikah adalah karena
109
mencukur alis adalah salah satu bagian dalam aturan Ilmu Tata Rias Wajah, sehingga jika tidak cukur alisnya akan sulit untuk mendandani atau merias wajah seseorang.132 Hal serupa juga dikemukakan oleh MT, BM, YN, NN, RA serta NS, mereka menuturkan begitulah aturan yang digunakan dalam hal periasan wajah yang didapat dari buku Ilmu Tata Rias Wajah dan Seminar Kecantikan Nasional. Lebih lanjut mereka semua beralasan bahwa mereka mencukur alis itu tidak sampai habis, hanya mencukurnya sedikit dan sebagian besar mereka memang pernah mendengar bahwa ada sebuah ayat dalam agama Islam yang melarang mencukur alis, tapi mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan masih boleh-boleh saja. Berbeda halnya jika mencukur alis sampai habis, dari tempat yang berbeda mereka sepakat bahwa jika mencukur alis lalu diganti dengan tulis kening atau bahkan ditato segala macam baru mereka katakan sebagai perbuatan yang dilarang dalam agama. Dari penjelasan tentang alasan mereka ini, dapat dilihat bahwa yang mereka lakukan hanya merapikan alis seseorang, tidak mencukurnya sampai habis maka boleh-boleh saja dan apa yang mereka lakukan adalah membantu perempuan untuk tampil lebih cantik, karena mencukur alis tidak mungkin bisa dilakukan sendirian. Ditambahkan lagi oleh MT, jika mencukur alis sampai habis apalagi dengan cara mencabutnya, maka akan berbahaya bagi
132
Wib.
Wawancara dan observasi dengan TS. Tanggal 18 Juli 2013 di Salon Desty, Pukul : 09.30
110
urat mata artinya menyakiti diri.133 Artinya para pemilik salonpun masih memikirkan tentang akibat dan hukumnya dimata agama. Dalam ilmu kesehatan pun mencukur alis sampai habis itu dilarang karena akan berbahaya bagi diri manusia, sebab rambut alis berfungsi membantu menjaga kelembaban yang keluar dari mata ketika seseorang berkeringat atau terkena air hujan. Meskipun alis yang dimiliki seseorang tipis, ia tetap bisa melakukan fungsinya dengan baik. Jadi Jika seseorang tidak memiliki alis atau mencukurnya hingga habis dan diganti dengan tato akan membuat kondisinya sedikit lebih sulit. Hal ini karena tidak ada yang menahan keringat atau air hujan yang turun di wajah, padahal di dalam keringat terdapat kandungan garam yang bisa menimbulkan iritasi pada mata sehingga menimbulkan sensasi perih.134 Sungguh Islam adalah agama yang sangat melindungi dan memikirkan tentang kemashlatan umat manusia di dunia dengan tidak membiarkan melakukan perbuatan yang membahayakan diri. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih:
ُأَﻟﻀﱠﺮ َ ر ُ ﻳـ ُ ﺰ َ ال
133
Wawancara dan observasi dengan MT, Tanggal 07 Juli 2013 di Salon Rizky, Pukul : 10.00
Wib. 134
http://health.detik.com/read/2011/01/05/082459/1539407/766/bahaya-mencukur-habis-alismata?l771108bcj Vera Farah Bararah – detikHealth, (Diunduh Rabu 11 September 2013, Pukul 20.05 Wib).
111
“Kemudhratan harus dihilangkan”.135
Kemudian para pegawai atau pemilik salon tidak sembarangan mencukur alis orang yang akan melangsungkan pernikahan, tetapi meminta izin terebih dahulu sehingga masih ada rasa saling mengahargai tentang rasa keberagamaan satu dengan yang lainnya, artinya semua tergantung kebebasan dan niat masing-masing orang untuk mencukur ataupun tidak dicukur alisnya. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih :
اﻷ ُﻣ ُﻮ ْ ر ُ ﺑ ِﻤ َ ﻘ َﺎﺻ ِ ﺪ ِ ھَﺎ “Semua perkara itu tergantung pada tujuannya”. 136
Selanjutnya adalah pendapat dari perempuan yang pernah mencukur alisnya, mereka meiliki alasan dan pendapat yang berbeda-beda kenapa mencukur alis, seperti SH mengatakan bahwa mencukur adalah bagian dari adat yang telah mereka lakukan sejak turun-temurun. Segala sesuatu yang berkaitan dengan adat terkadang bisa menjadi sandaran hukum asalkan berasal dari adat kebiasaan yang baik dan tidak melanggar aturan agama. Sebagaimana bunyi kaidah fikih berikut:
135
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, h. 16. 136
Ibid,.
112
ُﳏَُﻜﱠﻤ َ ﺔ ُ اﻟ ْﻌ َ ﺎد َ ة “Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum”.137
Sedangkan RA dan HH, mengaku bahwa mereka mencukur alis dalam artian merapikannya adalah dengan tujuan untuk menyenangkan suami, tidak ada niat untuk yang lainnya, artinya berdandan dan berhias dirinya mereka diperuntukkan kepada suami masing-masing. Menyenangkan suami adalah perbuatan yang baik, bahkan disunnahkan bagi perempuan untuk selalu menyenangkan suami agar tercipta keluarga yang sakinah138, mawaddah139, dan rahmah140.
137
Ibid., h. 9.
138
Sakinah secara harfiah berarti tenang atau tentram. Lihat Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Studi terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di Kota Padang), Cet. 1, Padang: Kementerian Agama RI, 2011, h. 64. Lihat juga Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, Cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 980. Serta lihat pula Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Cet. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 201. Kata sakinah berarti ketenangan dan merupakan antonim dari kata kegoncangan. Sakinah bukan sekedar apa yang terlihat pada ketenangan lahir seperti yang tercermin pada kecerahan raut wajah, karena hal tersebut bisa muncul akibat keluguan, ketidaktahuan, atau karena kebodohan. Sakinah terlihat pada kecerahan raut muka yang disertai dengan kelapangan dada dan budi bahasa yang halus karena adanya ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati, serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat. Lihat M.Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, Cet. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2007, h. 80-82. 139
Mawadah berasal dari kata al-waddu yang berarti cinta atau mencintai sesuatu. Ahsin Sakha Muhammad sebagaimana dikutip oleh Ufatmi mengatakan bahwa mawadah lebih kepada cinta yang bersifat fisik, yakni ketentraman dalam hubungan biologis. Lihat Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Studi terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di Kota Padang), Cet. 1, Padang: Kementerian Agama RI, h. 65. Mawadah adalah jenis cinta membara, perasaan cinta dan kasih sayang yang menggebu kepada pasangannya. Mawadah adalah perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangannya, atau muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik. Seperti cinta yang muncul karena kecantikan, ketampanan, kemolekan dan kemulusan fisik, atau muncul karena harta benda, kedudukan, pangkat, dan lain
113
Sebagian lagi yakni EI dan AA mengatakan bahwa mereka mencukur alis hanya sebatas mengikuti aturan main dari periasnya, yakni dari pihak salon sendiri, artinya memang bukan kemauan mutlak dari EI dan AA, ditambahkan oleh AA bahwa dia kurang mengetahui tentang adanya larangan mencukur alis ini. Dalam agama Islam segala perbuatan yang dilakukan tanpa sengaja dan tidak tahu hukumnya, maka dimaafkan, yakni tidak mendapat dosa jika melakukannya, karena dalam ketidak tahuan. Hal ini sesuai dengan firmanNya dalam Alquran berikut:
…
…
sebagainya. Lihat Halaqoh TDJ, 2012, Makna dan Ciri Keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah, http://halaqohtdj.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html, (Diunduh 13 September 2013 Pukul 20:15 Wib). 140
Rahmah berarti kasih sayang. Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih condong pada sifat qolbiyah atau suasana batin yang terimplementasikan pada wujud kasih sayang, seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, serta rasa rela berkorban, yang terpancar dari cahaya iman. Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat melangsungkan pernikahan adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Lihat Samsul Afandi, 2010, “Tips Merajut Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah”, http://annajib.wordpress.com/2010/04/10/keluargasakinah-mawaddah-wa-rahmah/, (Diunduh 13 September 2013 Pukul 20:00 Wib). Lihat juga Daryanto S. S., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo, 1998, h. 462.
114
“…Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…”.141
Sedangkan EI mengaku mengetahui bahwa ada larangan mencukur alis, tetapi ia tidak bisa menolak saat perias mencukur alisnya, karena tidak ada minta izin terlebih dahulu, dari penjelasan EI dapat dilihat bahwa ia juga tidak sengaja melakukannya. Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan Ulama dalam menyikapi atau mengeluarkan pendapat memang lumrah terjadi dan tidak bisa dipungkiri. Perbedaan pendapat tidak terjadi sekarang saja, tetapi juga terjadi pada zaman dahulu. Oleh karena itu hendaknya saling menghormati perbedaan pendapat yang ada, sebab setiap orang memiliki cara dan pendapatnya masing-masing dalam melihat suatu permasalahan hukum yang ada. Dalam hal kecenderungan pendapat, penulis memilih kepada pendapat Ulama kontekstual, yakni menetapkan pendapat dengan cara menggabungkan antara teks dan realitas yang mana Ulama kontekstual di kota Palangka Raya menyatakan boleh hukumnya mencukur alis bagi perempuan yang telah bersuami dengan catatan memperoleh izin dari suami serta tidak mencukur alis tersebut sampai habis, artinya hanya sebatas merapikan saja.
141
Q.S. Al-Ahzab [33] : 05.
115
Selanjutnya pendapat perempuan di kota Palangka Raya tentang hukum mencukur alis (baik yang biasa mencukur alis maupun yang dicukur) terdapat berbagai macam alasan kenapa mereka mencukurkan alis dan kenapa mau dicukur alisnya. Dari semua subjek, yakni perias penganten dan pemilik salon pada intinya menyatakan bahwa mencukur alis hukumnya boleh, karena hanya sebatas merapikan dan tidak dicukur sampai habis. Selain itu mencukur alis adalah bagian dari Ilmu Tata Rias Wajah guna mempercantik penampilan dan mengahasilkan riasan wajah yang bagus. Kemudian dari pihak perempuan yang dicukur alisnya juga terdapat pendapat yang bervariatif, ada yang beralasan sebagai bagian dari adat istiadat, mengikuti arahan atau aturan dari perias wajah, kebiasaan dari muda dan atau untuk menyenangkan suami. Mengenai pendapat perempuan yang dicukur alisnya tentang hukum mencukur alis itu sendiri, ada yang menyatakan boleh karena untuk mempercantik penampilan ataupun untuk menyenangkan suami, ada juga yang tahu bahwa hukumnya tidak boleh, ada pula yang sama sekali tidak tahu. Dari penjelasan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku ataupun kebiasaan yang berkembang dimasyarakat semua itu tergantung kebebasan dan niat masing-masing orang. Manusia memiliki hak untuk berbuat dan bertanggung jawab terhadap resiko dalam setiap perbuatannya di dunia ini. Manusia juga memiliki akal, yang mana dengan akal tersebut manusia dapat berpikir secara mendalam untuk memahami nash-nash Allah Swt. Begitu pula
116
dengan hadis tentang larangan mencukur alis ini, hendaknya dikaji secara mendalam lagi tentang makna dan bagaimana pengaplikasiannya di zaman sekarang ini, dalam artian setidaknya mencoba berijtihad, sebab pahala dari berijtihad adalah apabia benar maka mendapat 2 pahala, tetapi jika salah maka mendapat 1 pahala, artinya tidak ada yang sia-sia di mata Allah Swt jika setiap manusia ingin berusaha. Turunnya hadis di tengah-tengah umat muslim tentu saja tidak lepas dari asbabul wurudnya, sehingga memungkinkan adanya pergeseran hukum dari haram menjadi boleh berdasarkan perbedaan waktu, keadaan, tempat dan zaman.
117
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab terdahulu maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dari tujuh subjek Ulama yang penulis teliti, empat di antaranya sepakat bahwa jika mencukur alis sampai habis hukumnya haram, tetapi jika sebatas merapikan dan niatnya seorang istri berdandan atau berhias untuk menyenangkan suami, maka hukumnya menjadi boleh bahkan salah satu Ulama menyatakan sunnah, karena menyenangkan suami adalah perbuatan yang dianjurkan dalam hadis. Keempat subjek tersebut ialah ZA, GR, MA dan MH. Sedangkan tiga subjek Ulama lainnya yaitu MN, AIA dan ABA menyatakan bahwa mencukur alis adalah perbuatan yang dilarang dan hukumnya adalah haram, karena segala bentuk ciptaan Allah Swt tidak boleh ditambah atau dikurangi, akan tetapi tetap pada bentuk aslinya. 2. Adapun pendapat dan alasan perempuan, baik yang berperan mencukur alis ataupun yang dicukurkan alisnya dari masing-masing subjek cukup bervariatif: TS, MT, BA, NN, RA, YN dan NS sebagaimana sesuai dengan profesi atau pekerjaan, mereka melakukan cukur alis karena memang sudah menjadi prosedur dalam Ilmu Tata Rias wajah yang mereka pelajari dan mereka sepakat hukumnya boleh. Selanjutnya dari pihak perempuan yang
118
pernah mencukur alis pun juga bermacam-macam alasan: SH melakukannya sebagai bagian dari adat istiadat sekali seumur hidup saat menjelang pernikahan, AA dan EI mengaku mengikuti aturan perias pengantin bukan dari keinginan mereka sendiri untuk mencukur alis, sedangkan RA mengaku mencukur alis karena sudah menjadi kebiasaan pribadi sejak muda dan sebelum menikah, kemudian HH untuk menyenangkan suami. Menurut SH, RA dan MT mencukur alis hukumnya boleh-boleh saja, sedangkan EI mengatakan haram, kemudian AA dan HH mengaku kurang tahu bahkan tidak tahu tentang hukum mencukur alis.
B. Saran Saran yang penulis kemukakan dalam pembahasan mengenai persepsi Ulama dan perempuan di kota Palangka Raya tentang hukum mencukur alis adalah sebagai berikut: 1. Bagi Ulama kiranya dapat sering memberikan ceramah-ceramah kepada perempuan tentang perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan, kenapa di titik beratkan kepada perempuan, karena kebanyakan dari pihak perempuan lah yang sering mengikuti arus modernisasi terutama dalam hal berhias dewasa ini. 2. Bagi para perempuan (khususnya yang telah bersuami), jika ingin mencukur alis, sebaiknya meminta izin terlebih dahulu kepada suami dan jangan sampai mencukurnya sampai habis, karena dalam ilmu kesehatan mencukur alis
119
sampai habis itu akan mendatangkan kemudharatan atau berbahaya bagi diri manusia itu sendiri. 3. Bagi perempuan yang belum bersuami, hendaknya jangan mencukur alisnya, karena lebih baik menjaga diri dan berhati-hati agar tidak melanggar hukum Allah Swt.
120
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdus Salam Thawilah, Syaikh Abdul Wahhab, Fiqh al-Albisah wa al-Zinah, Terj. Saefudin Zuhri, Jakarta: Almahira, 2007. Abu Syuqqah, Abdul Halim Mahmud, Tahrir Al-Mar’ah fi Ashri Al-Risalah Juz IV, Terj. Mudzakir Abdussalam, Bandung: Mizan, 1998. Al Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud, Terj. Abd. Mufid Ihsan dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006. Al-Barry, M. D. J, Kamus Ilmiah Kontemporer, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000. Al-Bugha, Musthafa Dib, Syarah Riyadhush Shalihin Imam an-Nawawi Jilid 3, Jakarta: Gema Insani, 2010. Al-Ghazali, Imam, Ihya Ulumiddin Jilid 1, Terj. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy Syifa’, 2003. Al-Husainan, Khalid, Aktsar Min 1000 Jawab lil Mar’ah, Terj, Muhammad Isa Anshory dan Afifatuz Zahiro, Solo: Media Zikir, 2008. Al-Islami, Abdul Hamid Kisyik Al-Mukhtar, Bina’ Al-Usrah Al-Muslimah: Mausu’ah Al-Zuwaj Al-Islami, Terj. Ida Nursida, Bandung: Al-Bayan, 1995. An-Nawawi, Iman, Syarah Shahih Muslim (3), Terj. Wawan Djunaedi Soffandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Al-Qardhawi, Yusuf, Hadyu al-Islam: Fatawa Mu’adhirah, Terj. H.M.H. al-Hamid al-Husaini, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000. , Halal dan Haram Dalam Islam, Terj. H. Mu’ammal Hamidy, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2003. Ath-Thabari, Abu Ja’Far Muhammad bin Jarir, Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an, Terj. Misbah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
121
An-Naisaburi, Imam Abu Husein Mslim bin Hajjaj Al-Qusyariri, Shahih Muslim Juz III, Terj. Adib Bisri Musthofa dkk, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993. Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Rawa’i‘il-Bayan Tafsirul-’Ayatil-Ahkami MinalQur’an, terj. Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan dengan judul Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Jilid 2, Cet. 4, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003. Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, Palangka Raya daam angka 2012, Palangka Raya: Badan Statistik Kota Palangka Raya, 2012. Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahan, Maghfirah Pustaka, 2006. Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta, 1993. Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007.
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam (ringkas), Terj. Ghufron A. Mas’adi, Edisi 1, Cet 3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Hafizh Ramadhan, The Colour Of Women: Mengungkap Misteri Wanita, Terj. Kamran As’ad Irsyady (STP Sabda), Jakarta: Amzah, 2007. Jalaluddin, Haji, Fiqh Remaja, Jakarta: Kalam Mulia, 2009. MAFA, Abu Mujadiddul Islam dan Laliatus Sa’adah, Memahami Aurat dan Wanita, Tnp Kota Penerbit: Lumbung Insani, 2011. Mardjoned, Ramlan, KH. Hasan Basri 70 Tahun Fungsi Ulama dan Peranan Masjid, Jakarta: Media Da’wah, 1990. Milles dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UIP, 1992. Muhammad, Afif, Islam “Mazhab” Masa Depan Menuju Islam Non-Sekterian, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Muhammad Al-Jamal, Ibrahim, Fiqih Wanita, terj. Anshori Umar Sitanggal, Semarang: CV. Asy Syifa.
122
Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, Terj. M. Abdul Ghofur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet Ke-13, 2004. Moeleong, Lexy, J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Muslim, Imam Abu Husein bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Juz III, Terj. Adib Bisri Musthofa dengan judul Terjemah Shahih Muslim Jilid 3, Semarang: CV. Asy-Syifa’. M. Z, Labib, Koleksi Hadits Nabi yang disepakati (Mutafaqun ‘Alaih) Bukhari dan Muslim, Cet Pertama, Jawa Timur: Yayasan “Amanah”, 1997. Mz, Labib dan Aqis Bil Qisthi, Risalah Fiqih Wanita “Menyingkap Tuntas Permasalahan Wanita dalam Hukum Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Serta Pendapata Para Fuqoha, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2005. Nurliana, Aina skripsi, Aurat dan Pakaian Wanita Dalam Perspektif Pemikiran Syaikh ‘Abdul Wahab ‘Abdussalam Thawilah dan Quraish Shihab, Palangka Raya Tahun 2011. Qadir, Abdul, Data-Data Penelitian Kualitatif, Palangka Raya: Tanpa Penerbit, 1999. Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999. Rozak, H. A dan H. Rais Lathief, Terjemah Hadits Shahih Muslim Jilid 1, Cet ke-V, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984. S. S, Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo, 1998. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 2, Jakarta: Lentera Hati, 2002. , Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 11, Jakarta: Lentera Hati, 2002. , Pengantin Al-Qur’an, Cet. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
123
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid, Shahih Fiqh As-Sunnah wa Adillatuhu wa taudhih madzahib Al’Immah, Cet 2, Terj. Khairul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. Salim, Amr Abdul Mun’im, Tsalatsuna nahyan syar’iyan lin-nisa’, Cet 1, Terj. Amrozi M. Rais, Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Subagyo, P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta 2010. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Syari’ah skripsi Hukum Mencukur Alis Bagi Wanita Untuk Kepentingan Berhias Menurut Yusuf Qhardawi (Studi Kasus Di Kelurahan Bandar Selamat Kec Medan tembung) Medan, Sumatra Utara, 2006. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009. Sya’rawi, Muhammad Mutawwali, Fikih Wanita: Mengupas Keseharian Wanita Dari Masalah Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006. Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Palangka Raya: STAIN Palangka Raya, 2007
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Delta Pamungkas, 1997. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Cet. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002. Ulfatmi, Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam (Studi terhadap pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di Kota Padang), Cet. 1, Padang: Kementerian Agama RI, 2011. Utsman, Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Cet. 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
124
Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Aktual: Jawaban tuntas masalah kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Widi, Restu Kartiko, Asas Metodologi Penelitian (Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah demi Langkah Pelaksanaan Penelitian), Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Yanggo, Hj. Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta Selatan: Ghalia Indonesia, 2010. , Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, Bandung: Angkasa, 2005. Zakaria, Abu Maryam bin, Akthaa’ Taqa’u fiiha An-Nisaa’, Cet 1, Terj. Rifa’I Usman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Elektronik: Afandi, Samsul, 2010, “Tips Merajut Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah”, dalam http://annajib.wordpress.com/2010/04/10/keluarga-sakinahmawaddah-wa-rahmah/, (Diunduh 13 September 2013 Pukul 20:00 Wib. Anik Faujiyah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama Mojokerto Tentang Pewarnaan Rambut dalam http://digilib.sunan-ampel.ac.id (Diunduh Sabtu 20 April 2013, Pukul: 19.15 Wib). Ayi
Setia Budi, Definisi Persepsi dalam http://id.shvoong.com/socialsciences/psychology/1837978-definisi-persepsi/ (Diunduh Rabu 27 Feb 2013, Pukul: 21.57 Wib).
Dewi Kofsoh, Hadis-Hadis Tentang Tato (Telaah Ma’a
125
Ika Istiawati , Analisis Hukum Islam Terhadap Jasa Suntik Hidung Dan Bedah Hidung (Rhinoplasty) Di Salon Cantik Di Surabaya” dalam http://digilib.sunan-ampel.ac.id (Diunduh Sabtu 20 April 2013, Pukul: 19.15 Wib). Mustofiyah, Analisis Fatwa Yusuf Qardhawi Tentang Keharaman Wanita Berhias Dengan Rambut Palsu dalam http://library.walisongo.ac.id (Diunduh Sabtu 20 April 2013, Pukul: 21.03 Wib). TDJ, Halaqoh, 2012, Makna dan Ciri Keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah, dalam http://halaqohtdj.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-in-x-nonex.html, (Diunduh 13 September 2013 Pukul 20:15 Wib). Yusuf Assidiq, Harian Umum Republika Pada Tajuk “Fikih Muslimah” edisi Jum’at 08 Januari 2010 dalam http://salafytobat.wordpress.com/2011/10/18/fatwa-mufti-mesir-hukummencabutmencukur-bulu-mata-mencukur-kumis-halus-dan jenggot-bagiwanita/ (Diunduh Minggu 21 April 2013, Pukul; 12.42 Wib). http://health.detik.com/read/2011/01/05/082459/1539407/766/bahaya-mencukurhabis-alis-mata?l771108bcj Vera Farah Bararah – detikHealth, (Diunduh Rabu 11 September 2013, Pukul 20.05 Wib). http://alimtiaz.wordpress.com/2012/04/14/bayani-sebagai-sebuah-epistemologi-ilmudalam-islam/ (Diunduh Minggu 06 Oktober 2013 Pukul: 20.05 Wib). Software Kutub At-Tis’ah (Hadis-Hadis Riwayat 9 Imam). Software Maktabah Syamilah, Cet 2.