BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Komposisi Vegetasi di Tahura R. Soerjo 5.1.1 Komposisi famili Komposisi vegetasi yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan famili dapat dilihat pada Gambar 6 .
Gambar 3 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Famili di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo.
24
Hasil dari analisis vegetasi seperti pada Gambar 3 diketahui 39 famili yang berhasil diidentifikasi di lokasi penelitian Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo. Famili yang paling banyak spesiesnya jika dibandingkan dengan famili lainnya adalah dari Euphorbiaceae dengan 4 spesies yang ditemukan yaitu ketupuk (Claoxylon longifolium), kopian (Glochidion macrocarpum), tutup (Macaranga sp.), dan patikan emas (Euphorbia hirta). Menurut Partomihardjo (1999) diacu dalam Purwaningsih dan Yusuf (2008) sistem pemencaran biji atau buah dari banyak spesies dalam suku Euphorbiaceae ini memiliki efektivitas yang tinggi dan pada umumnya dapat dipencarkan oleh angin, burung dan mamalia. Selain itu, menurut Riswan (1987) diacu dalam Purwaningsih dan Yusuf (2008) famili Euphorbiaceae merupakan salah satu famili yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan. Famili selanjutnya yaitu Moraceae teridentifikasi 3 spesies yang terdiri dari dampul (Ficus lepicarpa), kebek (Ficus padana), dan tritih (Ficus sp.). Selain itu famili Rosaceae juga teridentifikasi sebanyak 3 spesies yang terdiri dari spesies baros (Prunus cf. arborea ), ri bandel (Rubus chrysophyllus), dan sebra (Rubus fraxinifolius).
5.1.2 Komposisi spesies Komposisi spesies tumbuhan yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Daftar komposisi spesies berdasarkan tingkatan tumbuhan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat tumbuhan Pohon Tiang Pancang Semai Tumbuhan bawah
Jumlah spesies 22 22 18 23 25
Berdasarkan hasil analisis vegetasi seperti yang tersaji pada Tabel 1 tersebut diperoleh hasil 50 spesies dari 39 famili. Namun, hanya 40 spesies (80 %) yang berhasil diketahui sampai dengan spesiesnya sedangkan 10 spesies (20 %) belum berhasil teridentifikasi. Menurut keterangan tabel 1 di atas jumlah spesies yang paling banyak ditemukan adalah pada tingkat tumbuhan bawah sebanyak 25
25
spesies. Kemudian secara berurutan adalah semai 23 spesies, Tiang dan Pohon 22 spesies,dan pancang 18 spesies.
5.1.3 Komposisi tumbuhan berdasarkan habitus Komposisi tumbuhan yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan habitusnya tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Habitusnya di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tumbuhan yang paling mendominasi di dalam kawasan Tahura R. Soerjo adalah spesies yang berhabitus pohon dengan jumlahnya sekitar 25 spesies (50 %). Spesies tumbuhan selanjutnya adalah berhabitus semak dengan jumlah sekitar 12 spesies (24 %). Kemudian spesies berhabitus terna dengan jumlah sekitar 13 spesies (26 %).
5.1.4 Dominansi vegetasi Dominansi adalah proporsi antara luas bidang dasar yang ditempati oleh spesies tumbuhan dengan total luas habitat. Nilai dari dominansi spesies ditunjukkan dengan nilai INP (Indeks Nilai Penting) yang merupakan parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi tingkat penguasaan (Mukrimin 2011). Menurut Soegianto (1994) diacu dalam Maisyaroh (2010) Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menggambarkan tingkat penguasaan yang diberikan oleh suatu spesies terhadap komunitas, semakin besar nilai INP suatu spesies semakin besar tingkat penguasaan terhadap komunitas dan sebaliknya. Menurut Abdiyani (2008) Indeks Nilai Penting menunjukkan peranan
26
suatu spesies dalam kawasan. Spesies yang memiliki nilai INP paling besar, maka spesies tersebut mempunyai peranan yang penting di dalam kawasan tersebut. Selain itu, spesies ini juga mempunyai pengaruh paling dominan terhadap perubahan kondisi lingkungan maupun keberadaan spesies lainnya dalam kawasan. Semakin tinggi INP suatu spesies maka spesies tersebut adalah yang paling dominan dari spesies yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berkaitan dengan persaingan antar spesies yang lain. Persaingan akan meningkatkan daya juang untuk mempertahankan hidup, spesies yang kuat akan menang dan menekan yang lain sehingga spesies yang kalah menjadi kurang adaptif dan menyebabkan tingkat reproduksi rendah dan jumlahnya juga sedikit (Syamsuri 1993 diacu dalam Maisyaroh 2010). INP tertinggi pada spesies tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai INP tertinggi pada masing-masing tingkat tumbuhan No. 1.
Nama jenis
INP (%) Pohon
Tiang
Pancang
Semai
78,86 -
-
-
-
42,65
-
-
-
-
34,30
51,40
-
-
-
-
5.
Kopian (Glochidion macrocarpum) Nyampuh gunung (Neonauclea excels) Endog-endogan (Fagraea blumei)
-
-
-
-
6.
Tritih (Ficus sp.)
-
-
-
-
2. 3. 4.
Pasang (Quercus sundaica) Dampul (Ficus lepicarpa)
Berdasakan data pada Tabel 2 spesies yang memiliki nilai INP tertinggi pada tingkat pohon adalah pasang (Quercus sundaica) yaitu sebesar 78,86 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pohon spesies yang mendominasi adalah pasang (Quercus sundaica). Sedangkan, spesies yang memliki nilai INP terendah pada tingkat pohon adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana) 1,66 %; tutup (Macaranga sp.) 2,20 %; nangkan (Litsea diversifolia) 1,53 %; putihan (Buddleja asiantica) 1,81 %, dan katesan (Macropanax dispermus) 2,11 %. Pada spesies tumbuhan tingkat tiang yang mendominasi adalah dampul (Ficus lepicarpa) dengan nilai INP sebesar 42,65 %. Spesies yang memiliki INP terendah pada tingkat tiang adalah bima (Symplocos lucida) dengan nilai INP
27
sebesar 0,78 %; anggrung (Trema Orientalis) 0,79 %; baros (Prunus cf. arborea) 0,87 %; putihan (Buddleja asiantica) 0,87 %; tutup (Macaranga sp.) 1,68 %. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai INP untuk tingkat pancang yang tertinggi yaitu kopian (Glochidion macrocarpum) dengan nilai sebesar 34,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pancang, spesies kopian (Glochidion macrocarpum) adalah spesies yang paling dominan. Spesies yang memiliki nilai INP terendah yaitu tutup (Macaranga sp.) 1 %, genitri (Elaeocarpus sphaericus) 1 %, kukrup (Engelhardia spicata) 2 %, kupu ketek (Astronia spectabilis) 4 %, dan ketupuk (Claoxylon longifolium) dengan nilai INP 4,4 %. Menurut Kade et al. (2006) tingkat pancang dapat dikatakan sebagai komponen permudaan yang sangat penting karena kunci sukses tidaknya proses permudaan tersebut berlangsung dapat dilihat pada fase ini. Banyak jenis pohon sangat sukses dalam memproduksi semai namun secara lambat-laun semai tersebut akan mati karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Nilai INP tertinggi untuk tingkat semai dimiliki oleh spesies kopian (Glochidion macrocarpum) dengan nilai 51,40 %, hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut yang mendominasi pada tingkat semai. Selain itu, hal tersebut juga berarti bahwa frekuensi perjumpaan yang sering serta jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan spesies yang lain. Berdasarkan data pada Tabel 2 diketahui dominansi spesies pada tingkat semai berbeda dengan tingkat pohon. Spesies yang dominan pada tingkat pohon adalah pasang (Quercus sundaica) sedangkan pada tingkat semai adalah kopian (Glochidion macrocarpum). Keadaan ini dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap regenerasi dari spesies pasang (Q. Sundaica) karena jumlah semainya yang sedikit. Hal tersebut akan mengakibatkan kelangkaan spesies pasang (Q. Sundaica) di Tahura R. Soerjo. Spesies tumbuhan yang mempunyai nilai INP terendah pada tingkat semai adalah kukrup (Engelhardia spicata) dengan nilai 0,9 %. Menurut Abdurrohim et al. (2004) permudaaan untuk spesies kukrup (Engelhardia spicata) di alam jarang dan tersebar jauh dari pohon induknya oleh karena itu dapat dilakukan permudaan buatan dengan cara menyemaikan biji-biji dari spesies ini. Selanjutnya, spesies yang memiliki INP terendah yaitu nangkan (Litsea diversifolia Blume), lembayungan (Turpinia montana), dan kebek (Ficus padana) dengan nilai 0,9 %.
28
Selanjutnya, putihan (Buddleja asiantica) dan baros (Prunus cf. arborea) dengan nilai 1,9 %. Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah berhabitus semak dan terna diketahui bahwa spesies yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah seperti yang tercantum pada Tabel 6. Tabel 3 Nilai INP tertinggi pada tingkat tumbuhan bawah di lokasi penelitian No 1 2 3 4 5
Nama Spesies Remejun Urang-rangan merah Paku-pakuan Jengkon merah Suruhan
Nama Ilmiah Euphatorium riparium Elatostema latifolium Pteris sp. Pilea sp. Piper miniatum
INP (%) 74,91 36,78 14,23 14,04 12,26
Spesies remejun (Euphatorium riparium) yang berhabitus semak memiliki nilai INP yang paling tinggi yaitu sebesar 74,91 %. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut adalah yang paling dominan dengan jumlah individu lebih banyak dibandingkan spesies tumbuhan bawah lainnya. Setiap spesies tumbuhan mempunyai suatu kondisi minimum, maksimum dan optimum terhadap faktor lingkungan yang ada. Spesies yang mendominasi berarti memiliki batasan kisaran yang lebih luas jika dibandingkan dengan spesies yang lainnya terhadap faktor lingkungan, sehingga kisaran toleransi yang luas pada faktor lingkungan menyebabkan spesies ini akan memiliki sebaran yang luas. Adanya spesies yang mendominasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain persaingan antara tumbuhan yang ada yaitu berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan. Apabila iklim dan mineral yang dibutuhkan mendukung maka spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan (Syafei (1990) diacu dalam Maisyaroh (2010)). Tumbuhan bawah yang memiliki nilai INP terendah adalah temu ireng (Curcuma aeruginosa), codo (Elaeagnus latifolia), anggrek (Macodes sp.) dengan nilai INP sebesar 0,32%. Selanjutnya yaitu piji (Pinanga sp.) dengan nilai INP 0,67% dan patikan emas (Euphorbia hirta) dengan nilai INP 0,96 %. 5.5 Keanekaragaman spesies (H’) Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh keanekaragaman spesies untuk semua tingkat spesies seperti yang tersaji pada Gambar 5.
29
Gambar 5 Keanekaragaman spesies pada semua tingkat tumbuhan di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo. Berdasarkan Gambar 5, menunjukkan besarnya nilai keanekaragaman spesies tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 2,5; tiang dengan keanekaragaman spesies sebesar 2,7; pancang dengan keanekaragaman spesies sebesar 2.6; semai yang mempunyai nilai keanekaragaman sebesar 2,6 dan tumbuhan bawah dengan keanekaragaman spesies sebesar 2,2. Apabila derajat keanekaragaman (H’) dalam suatu
komunitas
<1
maka
keanekaragamanya
rendah,≤
1H’
≤3
keanekaragamannya sedang, dan H’>3 maka keanekaragamannya tinggi (Shannon-Wiener (1963) diacu dalam Fachrul (2008)). Berdasarkan keterangan tersebut, maka keanekaragaman spesies yang terdapat pada lokasi penelitian tergolong memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang sedang. Tingkat keanekaragaman spesies menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas (Whitmore 1990 diacu dalam Kade et al. 2006). Kestabilan yang tinggi juga menunjukkan kompleksitas yang tinggi. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi yang tinggi sehingga akan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan yang terjadi. Menurut Odum (1993) diacu dalam Maisyaroh (2010) keanekaragaman spesies penyusun komunitas tumbuhan pada suatu tempat merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah waktu, keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas tumbuhan merupakan hasil dari evolusi sehingga keanekaragaman spesies tergantung pada panjang waktu. Faktor kedua adalah heterogenitas ruang, komunitas tumbuhan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang
30
ada. Semakin heterogen dan kompleks suatu lingkungan maka keanekaragaman spesies penyusun komunitas semakin meningkat. Faktor yang ketiga adalah adanya persaingan diantara individu dalam suatu komunitas yang merupakan salah satu bagian dari seleksi alam. Oleh karena itu, spesies penyusun komunitas yang ada pada suatu waktu merupakan spesies yang mampu bersaing. Faktor yang keempat adalah predasi, adanya spesies tertentu yang dimakan oleh herbivora berarti akan mengurangi persaingan. Pemangsaan dan parasitisme dalam lingkungan akan cenderung untuk membatasi kelimpahan spesies tertentu dan dengan demikian akan mempersulit spesies untuk menambah kerapatan populasinya. Faktor yang kelima adalah stabilitas lingkungan, pada lingkungan yang stabil akan menghasilkan spesies yang lebih banyak. Oleh karena itu, pada daerah tropis yang mempunyai iklim lebih stabil memiliki keanekaragaman spesies yang lebih tinggi daripada daerah yang berilklim sedang dan kutub. Faktor yang keenam adalah produktivitas, faktor ini berhubungan dengan stabilitas iklim. Pada daerah yang mempunyai iklim stabil maka akan mempunyai produktivitas yang tinggi dengan keanekaragaman yang tinggi pula. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa keanekaragaman spesies di Tahura R. Soerjo khusunya di lokasi penelitian memiliki keanekaragam spesies yang sedang. Kondisi tersebut memungkinkan pada masa yang akan datang Tahura R. Soerjo masih memiliki ketersediaan plasma nutfah. Hal ini dikarenakan pohon-pohon yang ada sekarang masih mempunyai semai yang dapat berguna bagi regenerasi spesies untuk masa kedepannya. Disisi lain, tumbuhan pada tingkat semai mempunyai kerentanan yang cukup tinggi terhadap gangguan baik dari manusia maupun alam. Gangguan dari alam seperti angin, longsor, dan tumbangnya pohon sehingga menimpa semai yang dapat menyebabkan semai mati. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan Tahura R. Soerjo sering memanfaatkan rumput dan tumbuh-tumbuhan lain sebagai pakan ternak. Hal ini akan berdampak buruk terhadap kondisi semai di dalam kawasan karena kebanyakan masyarakat dalam mengambil rumput tidak mengerti tentang tumbuhan yang mereka ambil. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dari petugas untuk mengambil keputusan yang lebih tegas.
31
5.6 Kemerataan individu spesies (Evenness) Nilai indeks kemerataan individu di dalam spesies (Evenness) untuk masing-masing tingkatan tumbuhan tersaji pada Gambar 6.
Gambar 6 Kemerataan spesies di lokasi penelitian Taman Hutan Raya R. Soerjo. Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan penyebaran individu suatu spesies dalam komunitas. Berdasarkan hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 6 di atas diketahui nilai indeks kemerataan spesies pada setiap tingkat tumbuhan di lokasi penelitian yaitu untuk tingkat pohon sebesar 0.809, tiang sebesar 0.873, pancang 0.899, semai sebesar 0.829, dan tingkat tumbuhan bawah sebesar 0.683. Menurut Krebs (1978) nilai indeks kemerataan yang mendekati satu menunjukkan bahwa suatu komunitas tumbuhan semakin merata, sementara apabila semakin mendekati nol, maka semakin tidak merata. Berdasarkan hal tersebut maka nilai indeks kemerataan yang paling tinggi terdapat pada tingkat pancang sedangkan untuk indeks kemerataan yang paling rendah yaitu pada tingkat tumbuhan bawah. Indeks kemerataan yang paling tinggi menunjukkan bahwa individu-individu spesiesnya lebih merata dibandingkan dengan tingkat tumbuhan yang lain. Sedangkan untuk tingkat tumbuhan yang memiliki nilai indeks kemerataan rendah menunjukkan bahwa penyebaran individu-individu spesiesnya kurang merata dan terkonsentrasi pada beberapa tempat bila dibandingkan dengan tingkat tumbuhan yang lain.
32
5.2 Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo Berdasarkan hasil analisis vegetasi teridentifikasi 37 (74 %) spesies dari 28 famili yang telah diketahui kegunaannya yaitu sebagai tumbuhan obat; tumbuhan penghasil pangan; tumbuhan penghasil bahan bangunan; tumbuhan penghasil pakan ternak; tumbuhan hias; tumbuhan penghasil pewarna dan tanin; tumbuhan sebagai tali, anyaman dan kerajinan; tumbuhan penghasil pestisida nabati; dan tumbuhan penghasil kayu bakar seperti yang tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil rekapitulasi kelompok kegunaan No.
Kelompok Kegunaan Tumbuhan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tumbuhan penghasil obat Tumbuhan sebagai pangan Tumbuhan sebagai bahan bangunan Tumbuhan tali, anyaman dan kerajinan Tumbuhan kayu bakar Tumbuhan penghasil warna dan tannin Tumbuhan hias Tumbuhan sebagai pestisida nabati Tumbuhan penghasil pakan ternak
Jumlah (Spesies) 16 14 15 3 2 4 4 3 6
Habitus
Famili
3 3 1 2 2 2 3 2 2
15 12 13 3 2 4 4 3 6
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa spesies yang ditemukan paling banyak berguna sebagai tumbuhan obat yaitu sebanyak 16 spesies dari 15 famili dan dengan 3 habitus. Sedangkan, spesies yang paling sedikit diketahui kegunaannya yaitu sebagai kayu bakar dengan 2 spesies dari 2 famili dan dari 2 habitus. Hasil dari rekapitulasi ditemukan tumbuhan yang potensial yaitu suatu spesies tumbuhan yang memiliki berbagai macam kegunaan (manfaat) yaitu anggrung (Trema orientalis) dari famili Ulmaceae yang memiliki kegunaan untuk bahan obat, bahan bangunan, pewarna dan tanin, bahan pangan, kayu bakar, untuk anyaman, tali dan kerajinan. anggrung (T. orientalis) juga potensial untuk dikembangkan karena tumbuhan ini merupakan salah satu spesies yang dapat tumbuh dengan cepat.
5.2.1. Tumbuhan obat Hasil dari analisis vegetasi diperoleh 16 spesies dari 15 famili yang berpotensi mempunyai khasiat sebagai tumbuhan obat. Spesies-spesies tersebut terdiri dari 3 habitus yaitu pohon, semak, dan terna. Pada spesies yang berhabitus pohon tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat berjumlah 4 spesies yaitu
33
kukrup (Engelhardia spicata), genitri (Elaeocarpus sphaericus), pasang abang (Lithocarpus elegans), dan anggrung (Trema orientalis). Spesies yang berhabitus semak berjumlah 3 spesies yaitu remejun (Euphatorium riparium),
suruhan
(Piper miniatum), dan sebra (Rubus fraxinifolius). Habitus Terna berjumlah 9 spesies yaitu terdiri dari spesies kacang-kacangan (Clitoria ternatea), corok bathok (Bidens pilosa), pakis (Diplazium esculentum), temu ireng (Curcuma aeruginosa), pelapis (Selaginella plana), kecutan (Oxalis corniculata), tebu sawur (Polygonum chinense), patikan emas (Euphorbia hirta) dan lempuyangan (Globba marantina). Contoh mengenai khasiat tumbuhan-tumbuhan tersebut sebagai bahan obat hasil identifikasi berdasarkan Heyne (1987) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Daftar beberapa spesies tumbuhan berguna sebagai obat No.
Nama Spesies
1
Anggrung (Trema orientalis)
2
Kacang-kacangan (Clitoria ternatea)
3
Corok bathok (Bidens pilosa)
4
Pelapis (Selaginella plana)
5 6
Sebra (Rubus Fraxinifolius) Tebu sawur (Polygonum chinense)
7
Lempuyangan (Globba marantina)
8
Temu ireng (Curcuma aeruginosa)
9 10
Pakis (Diplazium esculentum) Kecutan (Oxalis corniculata)
Bagian yang digunakan Akar Akar Daun Bunga Akar Batang muda Daun Seluruh bagian
Daun Batang (cairan) Daun muda Tunas (bulbil) Rimpang Akar Akar Seluruh bagian
Jenis penyakit Penyakit saluran kencing Sakit perut Membersihkan darah Bisul Obat batuk berat Sakit gigi Sakit mata Bisul Pembekuan darah Pembersih darah Menguatkan lambung Disentri Obat mata Menambah nafsu makan Perawatan setelah Melahirkan, Penyakit kulit Menghilangkan bau keringat Penyakit kulit, Sariawan, Bau mulut, Obat mata, Sakit perut
Berdasarkan data pada Tabel 5 di atas diketahui spesies yang memiliki khasiat menyembuhkan banyak penyakit yaitu spesies kecutan (Oxalis corniculata) yang dapat menyembuhkan penyakit kulit, sariawan, bau mulut, sakit mata, dan sakit perut. Cara penggunaan spesies ini untuk menyembuhkan penyakit kulit adalah dengan menumbuk seluruh bagian tumbuhan kecutan (Oxalis corniculata) selanjutnya dicampur dengan tepung beras kemudian digunakan sebagai bedak pada biang keringat. Penyembuhan terhadap penyakit sariawan, bau
34
mulut dan sakit mata dapat dilakukan dengan cara spesies kecutan (Oxalis corniculata) digerus dengan air dan diperas airnya, kemudian digunakan untuk obat kumur. Menurut Kathiriya et al. (2010) ekstrak etanol dari tumbuhan Oxalis corniculata efektif digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel tumor. Selain itu menurut Kathiriya et al. (2010) tanaman Oxalis corniculata mengandung vitamin C dan dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kudis. Remejun (Euphatorium riparium) merupakan salah satu tumbuhan obat yang berkhasiat sebagai peluruh air seni. Menurut Heyne (1987) tumbuhan ini merupakan spesies eksotik yang berasal dari Meksiko. Pada lokasi penelitian spesies Euphatorium riparium merupakan spesies yang ditemukan dalam jumlah yang paling banyak. Menurut Shen et al. (2005) spesies Euphatorium riparium dapat digunakan sebagai obat antimalaria, antifungi, antiinflarmasi, antikanker, antihistamin, hepatoprotektor, dan immunostimulan. Selanjutnya, menurut Abdiyani (2008) spesies Euphatorium riparium mempunyai kemampuan beradaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungannya karena tidak memerlukan syarat kesuburan tanah yang tinggi. Selain itu, persebaran dari spesies ini dilakukan dengan bantuan angin karena bijinya ringan dan banyak. Namun, seringkali spesies ini mendesak spesies yang lain karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Spesies tebu sawur (Polygonum chinense) dapat digunakan dalam pengobatan terhadap gangguan pencernaan seperti diare dan disentri, selain itu juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit pernafasan. Rebusan herba segar digunakan sebagai obat kumur untuk mengobati penyakit sariawan dan rebusan akarnya dapat bermanfaat untuk ibu yang sedang menyusui (Patil 2009). Spesies anggrung (Trema orientalis) telah banyak digunakan sebagai obat oleh rakyat di Afrika untuk penyakit asma, batuk, dysenteria, dan hipertensi (IWU 1993 diacu dalam Tchamo et al. 2001). Selain itu, spesies ini juga telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Meru Betiri untuk mengobati penyakit demam dan sakit perut dengan menggunakan bagian kulit batang dan akarnya (Heriyanto & Subiandono 2007). Spesies lain yang berguna sebagai tumbuhan obat yaitu temu ireng (Curcuma aeruginosa). Menurut Nasrullah et al. (2010) rimpang temu ireng
35
(Curcuma aeruginosa) secara empiris digunakan sebagai obat tradisional yaitu untuk mengobati penyakit rematik, asma, dan batuk. Sedangkan, menurut Balittro (2006) temu ireng (Curcuma aeruginosa) dapat digunakan mengobati sel-sel hati yang rusak pada penderita demam berdarah. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk mengobati luka lambung dan usus, asma, batuk, menambah nafsu makan, mempercepat pengeluaran lokhia setelah melahirkan, mencegah obesitas, rematik, antihelmintik, dan sebagai sumber tepung. Selanjutnya, di dalam temu ireng (Curcuma aeruginosa) mengandung minyak atsiri (turmeron dan zingiberene), kurkuminoid, alkaloid, saponin, pati, damar, dan lemak. Menurut Heyne (1987) rimpang dari spesies Curcuma aeruginosa dapat digunakan untuk melancarakan pembersihan pada wanita yang sedang nifas. Selain itu juga dapat digunakan sebagai obat luar atau dalam terhadap penyakit kulit. Dalimartha (2003) juga menambahkan bahwa rimpang temu ireng (Curcuma aeruginosa) juga dapat digunakan sebagai obat peluruh kentut (karminatif). Menurut Daisy dan Rajathi (2009) tanaman Clitoria ternatea dapat digunakan untuk mengobati demam berdarah, bronkhitis, asma. Selain itu, spesies ini juga digunakan sebagai penawar untuk gigitan ular dan kalajengking menyengat. Selain itu, menurut Kelemu et al. (2004) diacu dalam Salhan et al. (2011) tanaman Clitoria ternatea memiliki kegunaan sebagai antimikroba dan insektisida, anti-depresan,anti-stres, anti-diabetes, dan penenang. Menurut Heyne (1987) akar dari Clitoria ternatea dapat digunakan untuk membersihkan darah yaitu dengan cara merebus akaranya kemudian diminum. Daun dan bunga yang berwarna biru dari Clitoria ternatea dapat digunakan untuk mengobati bengkak dan bisul supaya pecah setelah ditumbuk dan dicampur dengan gula jawa. Spesies lain yang memiliki manfaat sebagai tumbuhan obat yaitu corok bathok (Bidens pilosa) yang memiliki manfaat sebagai antiradang, antibiotik, diuretik, dan antidiabetes (Brandão et al. 1998 diacu dalam Chiang et al. 2004). Menurut Heyne (1987) spesies ini dapat digunakan untuk mengobati sakit mata, sakit gigi, dan dapat memecahkan bisul. Selain itu, menurut Fauzi (2008) Bidens pilosa dapat digunakan untuk melancarkan peredaran darah dan mempunyai sifat khas mendinginkan. Spesies selanjutnya yaitu lempuyangan (Globba marantina) yang menurut Verma et al. (2009) air dari ekstrak daun Globba marantina dapat
36
digunakan untuk obat tetes mata terhadap konjungtivitis berat. Manfaat lain dari spesies Globba marantina menurut Heyne (1987) adalah digunakan untuk menambah nafsu makan. Contoh spesies tumbuhan yang memiliki potensi sebagai tumbuhan obat tersaji pada Gambar 7.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 7. Beberapa spesies tumbuhan obat (a) Tebu sawur (Polygonum chinense), (b) Kecutan (Oxalis corniculata), (c) Remejun (Euphatorium riparium), (d) Suruhan (Piper miniatum). Dewasa ini, semakin banyak masyarakat yang menggunakan tumbuhan obat sebagai bahan untuk mengobati penyakit. Hal ini merupakan prospek yang sangat baik untuk mengembangkan industri pembuatan obat dari tumbuhan obat. Namun, sampai saat ini kendalanya adalah bahan bakunya yang masih mengambil dari alam. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus maka besar kemungkinan akan terjadi kesulitan mencari bahan baku karena persediaan di alam semakin sedikit. Oleh karena itu, untuk pengembangan produksi pembuatan obat herbal perlu dilakukan upaya budidaya tumbuhan obat. Menurut Hasanah dan Rusmin (2006) perbanyakan tanaman obat dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
37
1. Menggunakan benih yang berasal dari biji (true seed) seperti pada tanaman sambiloto (Andrographis paniculata), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), dan lain-lain. 2. Menggunakan rimpang seperti pada jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempheria galanga), dan lain-lain. 3. Menggunakan setek seperti pada sirih (Piper betle), katuk (Sauropus androgynus), dan lain-lain. 4. Menggunakan anakan dan stolon seperti pada serai wangi (Andropogon nardus) dan pegagan (Centella asiatica). Spesies tumbuhan obat yang terdapat di Tahura R. Soerjo dapat diperbanyak (dibudidayakan) dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan, hal ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan pendapatan dari bercocok tanam di lahan yang lebih layak dijadikan sebagai areal hutan. Namun, masyarakat juga bisa memproduksi obat dari bahan tanaman obat yang sudah dibudidaya tersebut. 5.2.2 Tumbuhan penghasil pangan Menurut Saparinto dan Hidayati (2006) pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Berdasarkan hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian ditemukan 14 spesies terdiri dari 12 famili yang berpotensi sebagai bahan pangan. Spesiesspesies yang telah teridentifikasi sebagai tumbuhan penghasil pangan terdiri dari habitus yaitu pohon sebesar 35,71 %, terna 35,71 %, dan semak 28,58 %. Contoh spesies yang memiliki potensi sebagai tumbuhan penghasil pangan hasil dari identifikasi berdasarkan Heyne (1987) tercantum pada Tabel 6. Tabel 6 Daftar spesies tumbuhan penghasil pangan
1
Ketupuk
Claoxylon longifolium
2 3
Anggrung Corok Bathok
Trema orientalis Bidens pilosa.
Bagian yang digunakan Daun tangkai muda Daun Daun
4
Gebut
Aneilema nodiflorum
Seluruh bagian
No.
Nama Lokal
Nama Spesies
Keterangan Diolah Diolah Dikonsumsi langsung Dikonsumsi langsung
38
Tabel 6 Lanjutan 5 6 7 8 9
Codo Sebra Tebu sawur Patikan emas Pakis
Elaeagnus latifolia Rubus Fraxinifolius Polygonum chinense. Euphorbia hirta Diplazium esculentum
Bagian yang digunakan Buah Buah Batang Daun muda Daun muda
10
Ri bandel
Rubus chrysopyllus
Buah
No.
Nama Lokal
Nama Spesies
Keterangan Dikonsumsi langsung Dikonsumsi langsung Dikonsumsi langsung Dikonsumsi langsung Diolah Dikonsumsi langsung
Di dalam pemanfaatan spesies tumbuhan penghasil bahan pangan di atas dapat di konsumsi secara langsung (tanpa pengolahan) atau dengan cara diolah terlebih dahulu. Spesies yang dalam pemanfaatannya dapat langsung dikosumsi adalah tebu sawur (Polygonum chinense) yang menurut French (2006) mengandung vitamin c di dalam daunnya, gebut (Aneilema nodiflorum), corok bathok (Bidens pilosa), patikan emas (Euphorbia hirta), codo (Elaeagnus latifolia), sebra (Rubus Fraxinifolius), dan ri bandel (Rubus chrysopyllus). Sedangkan spesies yang jika dikonsumsi diolah terlebih dahulu menjadi sayur adalah ketupuk (Claoxylon longifolium), pakis (Diplazium esculentum), dan anggrung (Trema orientalis). Menurut Heyne (1927) diacu dalam Setyawan (2009) di wilayah Jawa Barat tunas muda dari spesies Selaginella plana dapat dimakan sebagai sayuran dan untuk tujuan pengobatan. Menurut Irawan et al. (2006) pakis (Diplazium esculentum) merupakan sumber protein yang baik. Sedangkan menurut Handique (1993) diacu dalam Irawan et al. (2006) daun muda Diplazium esculentum memilliki kandungan vitamin C yang tinggi. Selain itu, daun muda dari spesies ini juga memiliki kandungan lemak yang sangat rendah. Namun, kekurangan dari spesies ini adalah kondisinya yang cepat rusak selama proses transportasi oleh karena itu dibutuhkan pengemasan yang baik sehingga tidak terjadi kerusakan pada saat proses transportasi . Spesies ri bandel (Rubus chrysophyllus) memiliki rasa yang paling enak jika dibandingan spesies dari famili Rosaceae lainnya. Hal ini membuat ri bandel (Rubus chrysophyllus) mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai buah yang dapat dikomersialkan. Selain Rubus chrysophyllus, ada juga spesies sebra (Rubus fraxinifolius) dari famili Rosaceae yang menghasilkan buah walaupun
39
memiliki rasa yang tidak begitu manis. Namun, buah tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia sehingga spesies ini juga potensial untuk
dikembangkan, spesies ini juga dapat sebagai bahan obat (Surya 2009). Tumbuhan penghasil bahan pangan selanjutnya adalah anggrung (Trema orientalis). Menurut Heyne (1987) daunnya dapat digunakan sebagai bahan pangan. Selain itu, menurut Orwa et al. (2009) daun dan buah dari Trema orientalis digunakan untuk makanan di Republik Demokratik Kongo. Selanjutnya, di dalam daun Trema orientalis terdapat kandungan protein. Spesies yang potensial dijadikan penghasil bahan pangan lainnya adalah codo (Elaeagnus latifolia) dengan bagian yang digunakan adalah buah. Menurut Patel et al. (2008) masyarakat di Meghalaya memanfaatkan buah dari Elaeagnus latifolia sebagai buah segar. Selanjutnya, spesies Elaeagnus latifolia memiliki kandungan vitamin, mineral, dan senyawa bioaktif lainnya. Selain itu, spesies ini juga mengandung asam lemak esensial yang tidak biasa terdapat dalam buah. Tanaman ini dapat ditanam pada lahan yang mengandung unsur hara yang kurang baik dan masam. Berikut ini merupakan contoh beberapa tumbuhan yang memiliki potensi sebagai bahan pangan tersaji pada Gambar 8.
(a)
(b)
Gambar 8. Contoh spesies tumbuhan penghasil bahan pangan : (a) Ri bandel (Rubus chrysophyllus), (b) Pelapis (Selaginella plana), 5.2.3 Tumbuhan untuk bahan bangunan Berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan 15 spesies dari 13 famili yang berpotansi sebagai bahan bangunan. Spesies tersebut terdiri dari satu habitus yaitu pohon. Contoh tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan bahan bangunan hasil identifikasi kegunaan berdasarkan Heyne (1987) tersaji dalam Tabel 7.
40
Tabel 7 Daftar spesies tumbuhan penghasil bahan bangunan No.
Bagian yang digunakan Batang Batang Batang
Nama Lokal
Nama Spesies
1 2 3
Pasang Ketupuk Cemara Gunung
Quercus sundaica Claoxylon longifolium. Casuarina junghuhniana
4
Anggrung
Trema orientalis
Batang
5
Nyampuh gunung
Neonauclea excelsa
Batang
6
Katesan
Macropanax dispermus
Batang
Keterangan Bangunan rumah Bangunan rumah Bangunan rumah Digunakan untuk tiang penyangga atap Digunakan untuk pintu dan jendela Konstruksi rumah
Spesies tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan bangunan adalah pasang (Quercus sundaica). Tumbuhan ini berhabitus pohon, di dalam hutan spesies ini terkadang tumbuh berkelompok dan kadang-kadang tersebar. Spesies ini memiliki kayu yang agak berat, agak keras dan terkadang digunakan sebagai bahan pembangunan rumah. Di dalam pengerjaannya spesies pasang (Q. sundaica) memiliki kayu yang agak keras, sukar digergaji dan diserut, namun mudah dibelah. Kayu dari spesies ini cocok untuk balok pada bangunan perumahan dan jembatan, selain itu juga cocok digunakan untuk papan dan tiang. Selanjutnya spesies pasang juga dapat digunakan untuk batang cikar dan tangkai peralatan. Spesies lain yang masih satu famili dengan spesies Quercus sundaica yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan yaitu pasang abang (Lithocarpus elegans) yang menurut Martawijaya et al. (2005) memiliki kelas awet II-IV. Spesies Lithocarpus elegans dapat digunakan sebagai balok pada bangunan perumahan dan jembatan dan juga dapat digunakan untuk batang cikar dan tangkai peralatan (Martawijaya et al. 2005). Menurut Mandang dan Pandit (2002) kayu dari spesies Quercus sundaica dan Lithocarpus elegans memiliki berat jenis yang sedang sampai berat dengan berat jenis rata-rata 0,83 (0,72-0,96) dan termasuk kayu yang memiliki kelas awet II serta kelas kuat I-II. Kedua spesies ini dapat digunakan sebagai bahan bangunan perumahan (tiang dan balok), jembatan, tangkai peralatan, lantai, dan perabot rumah tangga. Spesies lainnya adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana) yang sifat kayunya masih baik jika digunakan dalam pertukangan. Kayu dari spesies ini berwarna coklat mudaatau berwarna daging sampai agak merah tua kecoklatcoklatan. Kayu dari Casuarina junghuhniana memiliki kelas kuat I-II dan kelas
41
awet I-I. Selain itu kayu dari spesies ini sulit dikerjakan, mudah sobek dan mengkerut. Selanjutnya, kayu dari spesies ini tidak tahan terhadap serangan rayap (Heyne 1987). Selanjutnya, spesies yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan yaitu nyampuh gunung (Nauclea excelsa) yang merupakan spesies yang memiliki kayu agak berat dan tingkat kekerasan sedang. Selain itu, kayunya memiliki struktur yang rapat dan halus serta warnanya kuning cokelat muda hingga warna daging. Kayu dari spesies ini sangat disukai untuk bahan bangunan rumah dan perabot rumah terutama di wilayah Jawa Barat. Spesies lain yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan yaitu kukrup (Engelhardia spicata). Pohon dengan ciri batang utama berwarna abu-abu kecoklatan dan sedikit beralur ini termasuk dalam kayu yang memiliki kelas kuat III dan keterawetan II. Kayu ini dapat dibuat venir dengan hasil yang baik tanpa perlu perlakuan pendahuluan untuk tebal venir 1,5 mm. Kayu dari spesies ini dapat digunakan untuk bangunan ringan bawah atap, roda gerobak, alat pertanian, moulding, barang bubutan, popor senapan, peti pengepak, krat dan kano. Selain itu, kayu dari spesies ini juga dapat digunakan untuk kayu lapis yaitu dengan cara merekatkan venir kayu Engelhardia spicata dengan urea formaldehida yang akan menghasilkan kayu lapis tahan air dan memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) (Abdurrohim et al. 2004). Contoh tumbuhan sebagai bahan bangunan tersaji pada Gambar 9.
(a)
(b)
Gambar 9. Contoh spesies tumbuhan sebagai penghasil bahan bangunan : (a) Katesan (Macropanax dispermus), (b) Anggrung (Trema orientalis). 5.2.4 Tumbuhan untuk tali, anyaman, dan kerajinan Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh spesies yang berguna sebagai tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan yaitu anggrung (Trema
42
orientalis) dari famili Ulmaceae. Kulit anggrung (Trema orientalis) yang liat dan berair merupakan bahan yang dapat digunakan untuk membuat tambang. Selain itu, kayu dari spesies ini juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat kotak teh dan kayu ini baik sekali untuk bahan membuat korek api. Spesies lain adalah pandan (Pandanus sp.) dari famili Pandanaceae yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan anyaman. Spesies lain yang berpotensi sebagai bahan kerajinan yaitu tutup (Macaranga sp.) yang termasuk famili Euphorbiaceae. Menurut Rahmanto (2000) diacu dalam Suita dan Nurhasybi (2009) kayu dari Macaranga sp. tidak awet namun mudah dikerjakan sehingga tanaman ini dapat digunakan untuk membuat sarung pisau, gagang pacul, dan kelom-kelom kayu. Selain itu juga kayunya sering digunakan untuk konstruksi sementara dan secara khusus pada bagian rumah yang tidak kontak dengan tanah. Kayunya juga baik digunakan untuk papan, kotak, alat-alat pelampung, peti kemas, korek api, dan kayu bakar. Tutup (Macaranga sp.) merupakan spesies pioner yang mudah tumbuh pada lahan sekunder dan lahan terbuka. Contoh tumbuhan penghasil tali,anyaman dan kerajinan tersaji pada Gambar 10.
(a)
(b)
Gambar 10. Beberapa spesies tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan : (a) Pandan (Pandanus sp.), (b) Tutup (Macaranga sp). 5.2.5 Tumbuhan penghasil bahan pewarna dan tanin Pewarna nabati adalah bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan. Bahanbahan ini biasanya diekstak dengan jalan fermentasi, direbus, atau secara kimiawi, dari sejumlah kecil zat kimia tertentu yang terkandung di dalam jaringan tumbuhan. Sedangkan, Tanin nabati merupakan bahan dari tumbuhan, memiliki rasa yang pahit dan kelat, seringkali tanin berasal dari ekstrak pepagan atau bagian
43
lain terutama daun, buah dan puru (galls). Tanin nabati dapat digunakan untuk proses penyamakan dengan cara pengunaan langsung atau dipekatkan dengan cara mengekstrak kembali bahan taninnya (Lemmens & Soetjipto 1999). Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh spesies tumbuhan yang mempunyai potensi untuk menghasilkan bahan pewarna adalah kacang-kacangan (Clitoria ternatea), bima (Symplocos lucida), anggrung (Trema orientalis), dan pasang (Quercus sundaica). Spesies kacang-kacangan (Clitoria ternatea) dapat digunakan sebagai pewarna makanan atau barang anyaman dengan menggunakan bunganya yang berwarna biru nila dan daunnya sebagai pewarna hijau (Pitojo & Zumiati 2009). Selain itu, jika bunganya diremas-remas dengan menggunakan air dan cuka dapat digunakan untuk mewarnai pakaian. Namun, kekurangan dari pewarna ini jika digunakan untuk pewarna pada pakaian yaitu warnanya tidak dapat bertahan lama (Heyne 1987). Tumbuhan penghasil warna lainnya yaitu anggrung (Trema orientalis) yang menghasilkan warna cokelat dari bagian kulitnya. Pewarna dari spesies ini biasanya digunakan untuk menyamak jala. Selain itu, pewarna ini juga dapat digunakan untuk mengawetkan tambang-tambang ikan terhadap air laut. Spesies lain yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna adalah bima (Symplocos lucida). Menurut Lemmens dan Soetjipto (1999) bagian daun dari spesies Symplocos lucida (bima) dapat digunakan sebagai bahan
pewarna dengan
menghasilkan warna kuning. Spesies tumbuhan lain yang dapat digunakan sebagai bahan penyamak adalah pasang (Quercus sundaica). Kadar bahan penyamak dari spesies ini tidak terlalu tinggi sehingga proses penyamakan tidak dapat berjalan dalam jangka waktu yang pendek. Namun, hasil dari penyamakan dengan menggunakan bahan penyamak dari kulit pasang (Q. sundaica) lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penyamakan menggunakan kulit akasia.
5.2.6 Tumbuhan penghasil pestisida nabati Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan (Sudarmo 2005). Hasil dari analisis vegetasi diketahui spesies tumbuhan yang berpotensi menjadi bahan pestisida nabati yaitu lempuyangan
44
(Globba marantina), kacang-kacangan (Clitoria ternatea), remejun (Euphatorium riparium). Spesies lempuyanan dan kacang-kacangan seperti yang terdapat pada gambar di atas dapat digunakan sebagai racun ikan. Bagian tumbuhan dari spesies kacang-kacangan (Clitoria ternatea) yang dapat dijadikan sebagai racun ikan adalah tunas bunga. Sedangkan untuk spesies lempuyangan (Globba marantina) bagian yang digunakan adalah bijinya. Ekstrak biji yang diencerkan dengan perbandingan 1:2000 dapat beracun untuk ikan Spesies remejun (Euphatorium riparium) dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Menurut Yunita et al. (2009) senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak daun Euphatorium riparium merupakan penyebab kematian larva Aedes aegypti karena senyawa bioaktif tersebut dapat berfungsi sebagai toksikan. Senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak daun Euphatorium riparium adalah saponin, tanin, steroid, dan kuinon. Menurut Hopkins dan Huner (2004) diacu di dalam Yunita et al. (2009) saponin merupakan bahan yang mirip dengan deterjen mempunyai kemampuan untuk merusak membran. Tanin berperan sebagai pertahanan tanaman terhadap serangga dengan cara menghalangi serangga dalam mencerna makanan karena tanin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan sehingga proses penyerapan protein dalam sistem pencernaan menjadi terganggu. Senyawa tanin, kuinon, dan saponin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan mekanisme penghambatan makanan pada larva. Rasa pahit yang menyebabkan larva tidak mau makan sehingga larva akan kelaparan dan akhirnya mati (Yunita et al. 2009). Contoh tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati tersaji pada Gambar 11.
(a)
(b)
Gambar 11. Contoh tumbuhan penghasil pestisida nabati : (a) lempuyangan (Globba marantina) , (b) kacang-kacangan (Clitorea ternatea).
45
Saat ini, pestisida nabati banyak digunakan oleh petani karena mahalnya harga pestisida kimia. Selain itu, penggunaan pestisida kimia dapat menimbulkan pencemaran jika digunakan dalam dosis yang besar dan secara berulang-ulang. Oleh karena itu, alternatif dari penggunaan pestisida kimia adalah dengan menggunakan pestisida nabati. Penggunaan pestisida nabati dapat mengurangi pencemaran lingkungan, selain itu harga dari pestisida nabati yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan pestisida kimia. Menurut Sudarmo (2005) keunggulan dari pestisida nabati adalah (1) harganya yang lebih murah dan mudah dibuat oleh petani, (2) relatif aman terhadap lingkungan, (3) tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, (4) sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama, (5) kompatibel digabung dengan menggunakan cara pengendalian yang lain, (6) menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia. Namun, pestisida nabati juga memiliki beberapa kekurangan bagi petani yaitu (1) daya kerja dari pestisida nabati yang cenderung lambat, (2) tidak membunuh sasaran (hama) secara langsung, (3) tidak tahan terhadap sinar matahari, (4) kurang praktis, (5) tidak tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama, (6) terkadang dalam penggunaannya pestisida nabati harus disemprotkan berulang-ulang sehingga kurang efisien dan praktis.
5.2.7 Tumbuhan penghasil pakan ternak Bahan pakan (bahan makanan ternak) merupakan segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak (baik berupa bahan organik maupun anorganik) yang sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, ditemukan 6 spesies penghasil pakan ternak yaitu kopian (Glochidion macrocarpum), gebut (Aneilema nodiflorum), corok bathok (Bidens pilosa), codo (Elaeagnus latifolia), tebu sawur (Polygonum chinense), dan kacang-kacangan (Clitoria ternatea). Contoh tumbuhan yang berpotensi sebagai pakan ternak tersaji pada Gambar 12.
46
(b)
(a)
Gambar 12 Contoh spesies tumbuhan penghasil pakan ternak : (a) gebut (Aneilema nodiflorum), (b) kopian (Glochidion macrocarpum). 5.2.8 Tumbuhan hias Hasil dari analisis vegetasi ditemukan spesies tumbuhan yang berpotensi untuk tumbuhan hias yaitu kacang-kacangan (Clitoria ternatea). Tumbuhan ini merupakan terna menahun yang membelit ke kiri, pada pangkalnya sering berkayu. Spesies ini memiliki bunga yang berwarna biru nila sehingga sangat bagus jika dijadikan sebagai tumbuhan hias. Spesies lain yang juga berpotensi sebagai tumbuhan hias adalah anggrek (Macodes sp), sebra (Rubus fraxinifolius) dan corok bathok (Bidens pilosa). Contoh tumbuhan yang berpotensi sebagai tumbuhan hias tersaji pada Gambar 13.
(a)
(b)
Gambar 13 Contoh spesies tumbuhan hias : (a) Anggrek (Macodes sp.), (b) Sebra (Rubus fraxinifolius).
5.2.9 Tumbuhan penghasil kayu bakar Hasil analisis vegetasi ditemukan spesies yang berguna sebagai penghasil kayu bakar yaitu Trema orientalis (anggrung). Tumbuhan ini merupakan pohon yang dapat tumbuh dengan cepat. Kayu yang dihasilkan dari spesies ini memiliki sifat yang tidak terlalu awet dan ringan. Oleh karena itu, kayu tersebut sering dicampur dengan kayu dari spesies pohon yang lain untuk digunakan sebagai kayu bakar. Selain anggrung (Trema orientalis), tumbuhan penghasil kayu bakar
47
lainnya adalah codo (Elaeagnus latifolia). Tumbuhan ini merupakan semak kecil memanjat dengan daun berbentuk lanset. Spesies ini mempunyai kayu yang berwarna kuning dan kayunya cukup keras sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar (kayu bakar). Salah satu contoh tumbuhan penghasil kayu bakar sebagaimana tersaji pada Gambar 14.
Gambar 14 Codo (Elaeagnus latifolia).
5.3 Rekomendasi Kepada Pengelola Tahura R. Soerjo Salah satu fungsi dari Tahura R. Soerjo adalah sebagai koleksi tumbuhan, selain itu kawasan Tahura juga berfungsi untuk menunjang budidaya spesies tumbuhan yang ada di dalamnya. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola Tahura R. Soejo untuk membuat kebun benih dari spesies yang telah diketahui manfaat atau kegunaannya yang kemudian dapat dikomersialkan. Dalam pembuatan kebun benih ini pihak pengelola Tahura R. Soerjo dapat bekerja sama dengan pihak perhutani atau instansi lain dalam hal penggunaan lahan untuk kebun benih. Selain untuk tujuan komersial, pembuatan kebun benih ini juga dapat dilakukan sebagai tindakan konservasi terhadap spesies tumbuhan agar tidak langka dan cepat punah. Dalam pembuatan kebun benih, pihak pengelola dapat melibatkan masyarakat sekitar kawasan Tahura R. Soerjo sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melestarikan kawasan Tahura R. Soerjo. Spesies tumbuhan yang potensial untuk dikembangkan menurut penulis adalah spesies remejun (Euphatorium riparium) karena spesies tumbuhan ini dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti yang dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Apabila spesies ini dikembangkan maka akan dapat menurunkan penggunaan pestisida kimia dalam upaya pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Hal ini juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan
48
karena bahan pestisida nabati mudah dan cepat terdegradasi di alam dan mempunyai dampak yang kecil terhadap lingkungan sehingga tidak berbahaya. Spesies lain yang dapat dikembangkan yaitu anggrung (Trema orientalis) karena memiliki berbagai manfaat atau kegunaan. Selain itu spesies ini juga telah dimanfaatkan oleh banyak masyarakat sebagai tumbuhan obat dan juga kayunya sangat baik digunakan untuk pembuatan korek api karena menurut Heyne (1987) kayu dari spesies ini sudah digunakan oleh pabrik pembuatan korek api pertama yang ada di Semarang.