62
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Deskriptif Responden Dari 105 kuesioner yang dikembalikan oleh responden, dapat diketahui bahwa karyawan terbagi dalam beberapa unit kerja di KPSBU Jabar, yaitu unit inseminasi buatan dan kesehatan hewan, pengolahan susu, produksi susu, administrasi dan keuangan, pelayanan keuangan, pengembangan wilayah, waserda, personalia dan kesekretariatan, makanan ternak, laboratorium dan quality control, pembibitan, dan internal audit. Berdasarkan hal tersebut dari pendapat 105 responden yang dilibatkan dalam penelitian ini, dapat memberikan gambaran mengenai model pengembangan modal insani yang dapat memberikan dampak pada peningkatan produktivitas organisasi dan peningkatan pendapatan yang diterima oleh karyawan.
5.1.1 Jenis Kelamin Responden Dari 105 responden yang merupakan karyawan KPSBU Jabar, bahwa terdapat 15 responden berjenis kelamin perempuan atau sekitar 14% dari responden dan 90 responden berjenis kelamin laki-laki atau sekitar 86%. Jumlah responden laki-laki yang ternyata 6 kali lipat lebih banyak dibandingkan responden yang berjenis kelamin perempuan salah satunya disebabkan oleh jenis pekerjaan yang terdapat di KPSBU Jabar sebagaian besar merupakan jenis pekerjaan lapangan yang membutuhkan tenaga dan keahlian yang dimiliki laki-laki. Seperti misalnya pada unit Produksi susu, Pengolahan susu, Inseminasi Buatan dan Kesehatan Hewan. Berdasarkan hasil wawancara, karyawan berjenis kelamin perempuan lebih banyak dipekerjakan sebagai staf administrasi di kantor KPSBU Jabar.
5.1.2 Unit Kerja Responden Berdasarkan hasil jawaban kuesioner yang didapat, jumlah 105 responden berasal dari unit kerja yang berbeda. Setiap unit kerja rata-rata terbagi dalam empat klasifikasi posisi, misalnya kepala bagian, kepala sub bagian, kepala urusan, dan staf
63
biasa. Unit produksi susu merupakan unit yang memiliki jumlah karyawan terbanyak juga sekaligus yang paling banyak mengumpulkan kuesioner, yaitu sebanyak 36 orang atau 34% dari total responden. Unit kerja produksi susu memiliki jumlah karyawan paling banyak karena pada unit kerja ini membawahi berbagai karyawan dengan berbagai macam jenis pekerjaan misalnya, staf administrasi, petugas CIP/BPS, sopir Jakarta dan daerah, PAD, penyuluh, tester, montir, dan teknisi. Selanjutnya diikuti oleh unit inseminasi buatan dan kesehatan hewan sebanyak 21 orang responden atau 20% dari total responden. Kemudian sebanyak 9% diwakili olah unit pengolahan susu, masing-masing 7% untuk unit personalia dan administrasi keuangan, 4% untuk unit korwil, masing-masing dengan porsi 3% pada unit pelayanan dan keuangan, laboratorium dan quality control, waserda, dan makanan ternak. Sedangkan untuk unit audit internal sebanyak 2% dan sisanya sebanyak 5% merupakan gabungan dari unit lainnya. Secara lebih rinci persentase jumlah responden yang tersebar dalam beberapa unit kerja digambarkan pada Gambar 5 berikut ini.
Unit Kerja Responden 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Series1
Gambar 5. Persentase Unit Kerja Responden
64
5.1.3 Usia Responden Informasi mengenai usia dari karyawan yang bekerja pada KPSBU Jabar didapatkan dari kuesioner yang telah diisi oleh 105 responden. Usia termuda yang didapat dari hasil kuesioner adalah berusia 20 tahun, sedangkan usia paling tua didapat pada rentang di atas 60 tahun. Akan tetapi jumlah tarbanyak yang bekerja pada KPSBU Jabar berada pada rentang usia 21 sampai 30 tahun. Secara lebih rinci informasi mengenai usia karyawan dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
Kelompok Usia Responden 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 <21
21-30
31-40
41-50
51-60
>60
Series1
Gambar 6. Persentase Kelompok Usia Responden Berdasarkan Gambar 6 di atas dapat disimpulkan bahwa responden dalam penelitian ini yang berasal dari KPSBU Jabar sebanyak 43% berada pada rentang usia 21 – 30 tahun. Selanjutnya sebanyak 35% dari responden berada pada rentang usia 31 – 40 tahun, 16% berada pada rentang usia 41 - 50 tahun, 4% berada pada rentang usia 51 – 60 tahun, sedangkan sebanyak 1% untuk usia di bawah 21 tahun dan sebanyak 1% lagi untuk usia di atas 60 tahun.
65
5.1.4 Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan dari 105 karyawan KPSBU Jabar yang menjadi responden penelitian beragam mulai dari tingkat SD, SMP, SMU, Diploma, dan Sarjana. Berdasarkan informasi yang didapat dari jawaban kuesioner, diketahui bahwa sebagian besar karyawan KPSBU Jabar berasal dari tingkat pendidikan SMU sebanyak 73 orang. Banyaknya karyawan yang memiliki tingkat pendidikan sampai SMU saja disebabkan oleh banyaknya jenis pekerjaan teknis, seperti pada unit Produksi Susu dimana banyak karyawan lapangan yang memerlukan jumlah karyawan yang cukup banyak dan tidak menuntut tingkat pendidikan yang terlalu tinggi karena bersifat keterampilan. Dan keterampilan para karyawan tersebut dapat meningkat seiring dengan lamanya mereka bekerja. Walaupun hanya berlatar belakang pendidikan setingkat SMU, karyawan tersebut tetap mendapatkan pembekalan berupa pelatihan-pelatihan sehingga para karyawan mampu memberikan kinerja yang maksimal bagi KPSBU Jabar. Tingkat pendidikan dari karyawan KPSBU Jabar secara lebih rinci disajikan pada Gambar 7.
Pendidikan Responden 80 60 40 20 0 SD
SMP
SMU
Diploma
S1
Series1
Gambar 7. Persentase Tingkat Pendidikan Responden Berdasarkan Gambar 8 di atas dapat disimpulkan bahwa dari karyawan KPSBU Jabar yang menjadi responden dalam penelitian ini, sebagian besar yaitu
66
sebanyak 69% berada pada tingkat SMU, berikutnya pada tingkat sarjana, yaitu sebanyak 11%, masing-masing sebanyak 9% pada tingkat pendidikan Diploma dan SMP, sedangkan untuk pendidikan SD sebanyak 2%. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh karyawan KPSBU Jabar pada akhirnya dapat menentukan posisi jabatannya. Misalnya saja untuk karyawan yang memiliki tingkat pendidikan terakhir sarjana akan mempunyai peluang menjadi manajer atau kepala bagian pada 0 tahun ia bekerja. Lain halnya dengan lulusan SMU, SMP, dan SD apabila ingin mencapai posisi tersebut. Bagi karyawan yang memiliki pendidikan akhir sampai SMU memiliki peluang untuk menjadi kepala bagian hanya jika karyawan tersebut sudah bekerja selama 10 tahun, bagi pendidikan terakhir SMP harus sudah bekerja selama 15 tahun, sedangkan untuk pendidikan akhir SD harus sudah menempuh 20 tahun bekerja. Akan tetapi pemberian posisi sebagai kepala bagian tidak hanya ditentukan oleh lama bekerja saja tetapi diperhitungkan juga mengenai kompetensi yang dimilikinya.
5.1.5 Masa Kerja Responden Informasi yang didapat dari responden yang menjawab kuesioner penelitian ini mengenai masa kerja karyawan KPSBU Jabar paling banyak karyawan bekerja lebih atau sama dengan 5 tahun sebanyak 52%. Hal ini disebabkan KPSBU Jabar sudah lama berdiri, yaitu pada tahun 1971 dan tingkat keloyalan karyawan termasuk tinggi. Kemudian selanjutnya di bawah 3 tahun sebanyak 18%, di bawah 5 tahun sebanyak 10%, di bawah 1 tahun sebanyak 3%, dan sebanyak 2% untuk karyawan yang mempunyai masa kerja antara 1 sampai 2 tahun. Secara lebih rinci peresentase masa kerja responden digambarkan pada Gambar 8.
67
Masa Kerja Responden 60 40 20 0 <1 1-2 <3 <4 <5 ≥5 TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN Series1
Gambar 8. Persentase Masa Kerja Responden
5.1.6 Pendapatan Responden Berdasarkan informasi yang didapat dari responden yang terlibat dalam penelitian ini, jumlah pendapatan karyawan per bulan yang diperoleh dari hasil bekerja di KPSBU Jabar memiliki jumlah yang beragam, yaitu mulai dari di bawah satu juta rupah, di bawah dua juta rupiah, di bawah tiga juta rupiah, di bawah empat juta rupiah, dan di bawah 5 juta rupiah. Beragamnya jumlah pendapatan yang diterima karyawan KPSBU Jabar dapat ditentukan oleh beberapa hal, misalnya saja berdasarkan pendidikan, posisi jabatan pekerjaannya, lama bekerja, dan insentif yang diberikan apabila bekerja lembur. Menurut hasil wawancara, selain program dari pemerintah mengenai kenaikan upah berdasarkan UMR (Upah Minimun Regional) atau UMK (Upah Minimum Kota) bagi karyawan tetap KPSBU Jabar akan diberikan kenaikan gaji, yang dinamakan kenaikan berkala, setiap tahunnya sebesar 5 - 15% dari gaji pokok berdasarkan masa kerja. Dengan kata lain semakin lama karyawan bekerja maka akan semakin tinggi kenaikan berkala dari pendapatannya. Dari jawaban kuesioner yang didapat tercatat paling banyak karyawan menerima kompensasi atau pendapatan yang berasal dari hasil bekerja di KPSBU Jabar, yaitu sebanyak 62% pada pendapatan kurang dari dua juta rupiah. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya karyawan yang memiliki tingkat pendidikan akhir sampai SMU saja. Kemudian sebanyak 19% pada pendapatan di bawah satu juta rupiah, 14% untuk pendapatan di bawah tiga juta rupiah, 4% untuk pendapatan di bawah empat
68
juta rupiah, dan sebanyak 1% untuk pendapatan di bawah 5 juta rupiah. Jumlah pendapatan atau kompensasi yang diterima oleh karyawan KPSBU Jabar yang menjadi responden penelitian ini secara lebih rinci digambarkan pada Gambar 9 berikut ini.
Pendapatan Responden 70 60 50 40 30 20 10 0 < 1 JUTA
< 2 JUTA
< 3 JUTA
< 4 JUTA
< 5 JUTA
Series1
Gambar 9. Persentase Jumlah Pendapatan Responden
5.1.7 Pengeluaran Responden Berdasarkan hasil jawaban dari responden yang menjawab kuesioner, didapat hasil bahwa sebagaian besar rata-rata pengeluaran rutin setiap bulan responden adalah sebesar kurang dari dua juta rupiah, yaitu sebanyak 49%. Selanjutnya diikuti sebanyak 29% dengan pengeluaran di bawah satu juta rupiah. Hal ini dapat disebabkan oleh biaya hidup di daerah Lembang tidak terlalu besar karena Lembang merupakan salah satu wilayah dari kabupaten Bandung yang akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan biaya hidup di kota Bandung. Setelah itu, sebanyak 18% dengan pengeluaran rutin kurang dari tiga juta rupiah, 4% dengan pengeluran rutin di bawah empat juta rupiah. Secara lebih rinci persentase jumlah pengeluaran rutin karyawan yang menjadi responden dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 10.
69
Pengeluaran Responden 60 50 40 30
20 10 0 < 1 JUTA
< 2 JUTA
< 3 JUTA
< 4 JUTA
Series1
Gambar 10. Persentase Jumlah Pengeluaran Rutin per Bulan Responden
5.2 Hasil Analisis Structural Equation Modeling 5.2.1 Analisis Kecocokan Model Struktural Penelitian (Goodness of Fit Analysis) Model pengukuran (measurement model) merupakan bagian dari model SEM yang terdiri dari variabel laten dan beberapa indikator. Adapun tujuan dari analisis model pengukuran adalah untuk mengetahui seberapa tepat indikator-indikator tersebut dapat menjelaskan variabel laten yang ada. Dalam praktiknya terdapat beberpa alat uji model
yang terbagi dalam: 1. Absolute Fit Indices Pada pengujian dengan alat ini akan membandingkan secara langsung matrik kovarians sampel dengan estimasi. Berdasarkan hal tersebut maka alat pengujian ini merupakan dasar dari semua alat uji yang lain. Salah satu alat uji goodness of fit utama pada absolute fit indices adalah chi square (χ2) yang juga merupakan alat pengujian utama measurement model. Kemudian juga terdapat alat uji, yaitu Goodness of Fit Index (GFI), Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI), dan Root Mean Residual (RMR).
70
a) Chi Square (χ2) Tujuan dari pengujian chi square adalah untuk mengetahui apakah matriks kovarian sampel berbeda secara signifikan dengan matriks kovarian estimasi. Adapaun proses pengujian chi square, yaitu: 1) Hipotesis H0: Matriks kovarians sampel tidak berbeda dengan matriks kovarians estimasi. H1: Matriks kovarians sampel berbeda secara signifikan dengan matriks kovarians estimasi. 2) Pembandingan χ2 tabel dengan χ2 hitung Dasar pengambilan keputusan pada pembandingan χ 2 tabel dengan χ2 hitung adalah: Jika χ2 hitung < χ2 tabel, maka H0 diterima. Jika χ2 hitung > χ2 tabel, maka H0 ditolak. 3) Angka probabilitas pada output AMOS Jika p > 0,05 maka H0 diterima Jika p < 0,05 maka H0 ditolak Pada penelitian ini, nilai χ2 yang diperoleh (dalam ouput AMOS disebut dengan CMIN) adalah sebesar 605, 838. Apabila nilai χ2 pada model penelitian kecil maka akan semakin bagus sehingga dapat disimpulan bahwa nilai χ2 yang didapat dari model penelitian ini adalah kurang bagus (poor fit). Hal ini didukung melalui pembandingan antara χ2 tabel (dengan derajat kebebasan 184), yaitu sebesar 216,6492 dengan χ2 hitung yang ternyata jauh lebih besar serta nilai p yang kurang dari 0,05 (sebesar 0,00). Sehingga berdasarkan pengujian hipotesis pada chi square, H0 ditolak yang berarti matriks kovarians sampel berbeda secara signifikan dengan matriks kovarians estimasi. Namun, nilai χ2 sangat sensitif dengan ukuran sampel. Jika semakin besar ukuran sampel maka nilai χ 2 akan semakin besar pula
71
(Jöreskog & Sorbom yang disitasi Byrne 2010). Oleh karena itu, pengujian dengan hanya menggunakan nilai χ2 belum mencukupi untuk menilai suatu model SEM maka dibutuhkan alat uji yang lain. b) Goodness of Fit Index (GFI) dan Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) (Santoso 2011) Alat uji GFI dan AGFI merupakan ukuran non statistikal yang memperhitungkan proporsi tertimbang dari varian dalam sebuah matriks kovarian sampel. Berdasarkan hasil output AMOS dari penelitian ini, didapat nilai GFI sebesar 0,654 dan AGFI sebesar 0,566 yang menunjukkan bahwa model memiliki tingkat kecocokan yang termasuk dalam kategori sedang (moderate fit). c) Root Mean Residual (RMR) Alat uji ini pada dasarnya menghitung selisih kovarian sampel dengan kovarian estimasi. Tingkat kecocokan model pada uji RMR menunjukkan bahwa semakin kecil nilai RMR maka model tersebut akan semakin baik (good fit). Pada penelitian ini, nilai RMR yang terdapat pada output AMOS menunjukkan 0,143. Mengacu pada kisaran nilai RMR, yaitu antara 0 sampai dengan 1, maka dapat disimpulkan model penelitian ini mempunyai tingkat kecocokan yang baik (good fit). 2. Incremental Fit Indices Alat uji yang digunakan pada kelompok ini adalah dengan cara membandingkan antara model yang diujikan (default model) dengan null model (independence model). Independence model adalah hasil pengujian pada kondisi dimana setiap variabel indikator dianggap tidak berhubungan dengan variabel konstruk (laten) nya; juga tidak ada hubungan antarvariabel konstruk. Beberapa alat uji yang termasuk pada kelompok ini adalah Normed Fit Index (NFI) dan Comparative Fit Index (CFI).
72
a) Normed Fit Index (NFI) Indeks ini pada dasarnya membandingkan χ 2 hitung pada berbagai model. Pada output AMOS dari penelitian ini nilai χ 2 hitung untuk default model adalah sebesar 605,838 sedangkan χ2 hitung untuk independence model adalah sebesar 1313,804 sehingga nilai NFI dapat dihitung dengan cara: NFI = (1313,804 - 605,838) = 0,539 605,838 Angka NFI juga dapat ditemukan pada hasil output AMOS di bagian Baseline Comparison yang menunjukkan nilai sebesar 0,539. Kisaran nilai NFI adalah antara 0 sampai dengan 1, dengan nilai yang lebih tinggi adalah lebih baik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan model penelitian ini mempunyai tingkat kecocokan yang sedang (moderate fit). b) Comparative Fit Index (CFI) Indeks ini pada dasarnya membandingkan angka NCP (Non Centrality Parameter) pada berbagai model. Pada output AMOS dari penelitian ini nilai NCP pada default model adalah sebesar 421,838 sedangkan pada independence model adalah sebesar 1103,804 sehingga nilai CFI dapat dihitung dengan cara: CFI = (1103,804 - 421,838) = 0,618 1103,804 Angka CFI pada output AMOS di bagian Baseline Comparison juga menunjukkan angka yang sama, yaitu 0,618. Sama halnya dengan NFI, kisaran nilai CFI juga berada antara 0 sampai dengan 1, dengan nilai yang lebih tinggi adalah lebih baik. Sehingga, dapat disimpulkan model penelitian ini mempunyai tingkat kecocokan yang sedang (moderate fit).
73
3. Parsimony Fit Indices Alat ukur yang termasuk dalam kategori ini adalah PRATIO (Parsimony Ratio), PNFI, dan PCFI. Hasil output AMOS dari penelitian ini menunjukkan nilai Pratio sebesar 0,871, nilai PNFI sebesar 0,471, dan nilai PCFI sebesar 0,540. Berdasarkan hal tersebut maka model penelitian tetap fit karena angka berada pada range values, yakni antara 0 sampai dengan 1. 4. Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) Nilai RMSEA menunjukkan rata-rata perbedaan per degree of freedom yang diharapkan dalam populasi bukan pada sampel. Berdasarkan hasil output AMOS dari penelitian ini, nilai RMSEA yang didapat sebesar 0,149. Kisaran nilai 0,08
RMSEA
0,1 berarti moderate fit; RMSEA
0,1 berarti poor fit
(Mac Callum yang disitasi oleh Byrne 2001). Sehingga dapat disimpulkan dengan menggunakan alat uji ini, model penelitian ini termasuk dalam kategori kurang baik (poor fit). 5. Aikake Information Criterion (AIC) AIC merupakan informasi berdasarkan statistical information theory dan digunakan
untuk
membandingkan
beberapa
model
(saturated
dan
independence model) dengan jumlah konstruk yang berbeda. AIC tidak berkaitan dengan ukuran sampel. Nilai AIC model yang lebih kecil daripada AIC yang diperoleh pada saturated dan independence model mengindikasikan bahwa model adalah fit. Berdasarkan hasil output AMOS nilai AIC model adalah sebesar 699,136, AIC pada model saturated sebesar 462,000, dan AIC pada model independence sebesar 1355,804. Meskipun nilai AIC model tidak lebih kecil dari model saturated nya tetapi masih dalam range value, sehingga dapat dikatakan moderate fit. 6. Expected Cross-Validation Index (ECVI) Proses pembandingan ECVI sama halnya dengan AIC, yaitu membandingkan antara saturated model dan independence model. Berdasarkan hasil output AMOS nilai ECVI model sebesar 6,722, ECVI pada saturated adalah sebesar 4,442, dan nilai ECVI pada independence model adalah sebesar 13,037.
74
Meskipun nilai ECVI model tidak lebih kecil dari model saturated nya tetapi masih dalam range value, sehingga dapat dikatakan moderate fit.
Berdasarkan pemaparan di atas, uji kecocokan model penelitian ini (goodness of fit) secara ringkas ditampilkan pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10. Hasil Uji Kecocokan Model Struktural Goodness of Fit Index Chi square (χ2)
Target tingkat kecocokan Nilai yang kecil
GFI
GFI ≥ 0,90 (good fit) AGFI ≥ 0,90 (good fit) Kisaran 0 -1; lebih kecil lebaih baik NFI ≥ 0,90 CFI ≥ 0,90 Kisaran 0-1 RMSEA ≤ 0,05: good fit; 0,08 RMSEA 0,1: moderate fit; RMSEA 0,1: poor fit Nilai yang kecil dan mendekati AIC saturated
AGFI RMR NFI CFI PRATIO
RMSEA
AIC
ECVI
Nilai yang kecil dan mendekati ECVI saturated
Hasil estimasi
Tingkat kecocokan
M: 605, 838 I:1313, 804
Poor fit
0,654
Moderate fit
0,566
Moderate fit
0,143
Good fit
0,539 0,618
0,871
Moderate fit Moderate fit Close fit
0,149
Poor fit
M: 699,136 S: 462,000 I: 1355,804 M: 6,722 S: 4,442 I: 13,037
Moderate fit
Moderate fit
Sumber :Byrne (2010) Keterangan : M = Model, S = Saturated, I = Independence
Berdasarkan analisis uji kecocokan model (goodness of fit) pada Tabel 10 di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecocokan model penelitian ini berada pada kategori sedang (moderate fit) sehingga dibutuhkan analisis lebih lanjut. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan selanjutnya adalah analisis confirmatory factor analysis dan multiple regression analysis.
75
5.2.2 Analisis Hubungan antara Konstruk dan Indikator Analisis hubungan antara konstruk dan indikatornya dalam penelitian ini menggunakan analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis). Analisis ini merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menguji indikator-indikator yang membentuk variabel laten atau konstruk laten. Dimensi yang digunakan dalam sebuah model perlu dikonfirmasi apakah dimensi tersebut dapat menjelaskan suatu konstruk yang merupakan unobserved variable. Dengan melakukan CFA, dapat saja sebuah indikator dianggap tidak secara kuat berpengaruh atau dapat menjelaskan sebuah konstruk. Dalam penelitian ini, analisis faktor dilakukan pada beberapa konstruk laten, yaitu konstruk sekolah atau pendidikan formal, konstruk pelatihan umum, konstruk pelatihan khusus, konstruk pengetahuan lain, konstruk modal insani, konstruk peningkatan produktivitas dan laba, dan konstruk peningkatan gaji dan pendapatan karyawan.
5.2.2.1 Konstruk Sekolah atau Pendidikan Formal Konstruk sekolah atau pendidikan formal terdiri dari 3 indikator, yaitu jabatan/posisi karyawan sesuai dengan latar belakang pendidikan (X1), beban kerja karyawan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan (X 2), penetapan gaji karyawan mempertimbangkan latar belakang pendidikan (X3). Pada Tabel 11 disajikan nilai faktor muatan dari indikator-indikator pembentuk sekolah atau pendidikan formal. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel beban kerja karyawan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan (X 2) mempunyai pengaruh paling besar terhadap dimensi sekolah atau pendidikan formal. Tabel 11. Nilai Muatan Faktor Sekolah atau Pendidikan Formal Variabel Indikator
Sekolah atau Pendidikan Formal
Nilai
Beban kerja karyawan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan
1,247
X1
Jabatan/posisi karyawan sesuai dengan latar belakang pendidikan
1,000
X3
Penetapan gaji karyawan mempertimbangkan latar belakang pendidikan
0,968
X2
76
Variabel beban kerja karyawan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan memiliki nilai muatan faktor sebesar 1,247. Nilai ini menunjukkan beban kerja yang diberikan pada karyawan cenderung sangat tinggi berpengaruh terhadap dimensi sekolah atau pendidikan formal. Pemberian beban kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikan karyawan akan membantu karyawan untuk dapat bekerja dengan efektif, sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan tersebut dalam bekerja. Nilai muatan terbesar kedua adalah pemberian jabatan/posisi kerja karyawan dengan nilai muatan sebesar 1,000. Nilai ini menunjukkan pemberian jabatan/posisi kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikan karyawan cenderung tinggi berpengaruh terhadap dimensi sekolah atau pendidikan formal. Pada kenyataannya tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap jabatan/posisi kerja dari seseorang yang bekerja pada suatu organisasi. Misalnya di KPSBU, seorang calon pekerja yang memiliki tingkat pendidikan S1 atau sarjana mempunyai peluang lebih besar untuk dapat menempati posisi sebagai manajer atau kepala bagian di 0 tahun dia bekerja. Namun, faktor pengalaman kerja juga dapat mempengaruhi jabatan/posisi kerja yang juga harus diimbangi dengan kinerja karyawan yang tinggi. Penetapan gaji karyawan berdasarkan latar belakang pendidikannya mempunyai nilai muatan sebesar 0,968. Seseorang dengan latar pendidikan tinggi akan diberikan apresiasi yang lebih baik oleh organisasi di mana dia bekerja karena pengetahuan dan wawasan dari seseorang itu merupakan aset yang sangat penting.
5.2.2.2 Konstruk Pelatihan Umum Konstruk pelatihan umum terdiri dari 3 indikator, yaitu pengetahuan dan keterampilan umum terkait dengan koperasi yang dimiliki karyawan merupakan hasil pelatihan dan pembelajaran dari atasannya (X4), pengetahuan dan keterampilan umum terkait dengan koperasi merupakan hasil diskusi dan pembelajaran dari rekan kerja (X5), pengetahuan dan keterampilan umum terkait dengan koperasi merupakan hasil pembelajaran dari luar koperasi (X6). Pada Tabel 12 disajikan nilai faktor muatan dari indikator-indikator pembentuk pelatihan umum. Berdasarkan nilai
77
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel pengetahuan dan keterampilan umum terkait dengan koperasi merupakan hasil diskusi dan pembelajaran dari rekan kerja (X5) mempunyai pengaruh paling besar terhadap dimensi pelatihan umum. Tabel 12. Nilai Muatan Faktor Pelatihan Umum Variabel Indikator X5 X6 X4
Pelatihan Umum
Nilai
Pengetahuan dan keterampilan umum terkait dengan koperasi merupakan hasil diskusi dan pembelajaran dari rekan kerja. Pengetahuan dan keterampilan umum terkait dengan koperasi merupakan hasil pembelajaran dari luar koperasi. Pengetahuan dan keterampilan umum terkait dengan koperasi yang dimiliki karyawan merupakan hasil pelatihan dan pembelajaran dari atasannya.
2,694 1,035 1,000
Variabel indikator pengetahuan dan keterampilan umum yang merupakan hasil diskusi dan pembelajaran dari rekan kerja memiliki nilai muatan sebesar 2,964. Nilai ini menunjukkan pengaruh diskusi dan pembelajaran dari sesama rekan kerja terhadap dimensi pelatihan umum cenderung sangat tinggi. Pelatihan umum merupakan jenis pelatihan yang memberikan keterampilan yang dapat dialihkan. Hal ini mengindikasikan bahwa karyawan lebih nyaman berdiskusi dengan temannya daripada dengan atasan dalam mempelajari pekerjaannya. Variabel indikator pengetahuan dan keterampilan umum merupakan hasil pembelajaran dari luar koperasi mempunyai nilai muatan faktor sebesar 1,035 yang menempati posisi kedua. Nilai ini menunjukkan bahwa pembelajaran dari luar koperasi juga dapat mempengaruhi dimensi pelatihan umum selain pelatihan yang ada di dalam organisasi. Variabel indikator hasil diskusi dan pembelajaran dari atasan menempati posisi ketiga dengan nilai muatan sebesar 1,000 yang memberikan pengaruh yang cukup terhadap dimensi pelatihan umum.
5.2.2.3 Konstruk Pelatihan Khusus Konstruk pelatihan khusus terdiri dari 3 indikator, yaitu keterampilan dalam melakukan pekerjaan mendapat bimbingan/mentoring khusus dari atasan (X7), peningkatan keterampilan merupakan hasil umpan balik dari penilaian kinerja
78
karyawan (X8), kompetensi merupakan hasil pembelajaran dan pelatihan yang ditempuh dengan mendapatkan sertifikasi keahlian khusus (X9). Pada Tabel 13 disajikan nilai faktor muatan dari indikator-indikator pembentuk pelatihan khusus. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel indikator peningkatan keterampilan merupakan hasil umpan balik dari penilaian kinerja karyawan (X8) mempunyai pengaruh paling besar terhadap dimensi pelatihan khusus. Tabel 13. Nilai Muatan Faktor Pelatihan Khusus Variabel Indikator X8 X7 X9
Pelatihan Khusus
Nilai
Peningkatan keterampilan merupakan hasil umpan balik dari penilaian kinerja karyawan. Keterampilan dalam melakukan pekerjaan mendapat bimbingan/mentoring khusus dari atasan. Kompetensi merupakan hasil pembelajaran dan pelatihan yang ditempuh dengan mendapatkan sertifikasi keahlian khusus.
3,983 3,742 1,000
Variabel peningkatan katerampilan merupakan hasil umpan balik dari penilaian karyawan memiliki nilai pengaruh yang sangat tinggi terhadap dimensi pelatihan khusus. Hal ini ditunjukkan dengan nilai muatan sebesar 3,983. Penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan organisasi dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang. Umpan balik kinerja salah satunya bermanfaat bagi karyawan dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki kinerja. Oleh karena itu, apabila penilaian kinerja mengindikasikan kinerja yang kurang maka dibutuhkan peningkatan keterampilan karyawan tersebut karena setiap karyawan hendaknya mampu mengembangkan diri. Variabel berikutnya yang memberikan pengaruh terhadap dimensi pelatihan khusus adalah variabel keterampilan dalam melakukan pekerjaan mendapat bimbingan/mentoring khusus dari atasan. Nilai muatan antara variabel keterampilan dalam melakukan pekerjaan mendapat bimbingan/mentoring khusus dari atasan (X 7) sebesar 3,742. Hal ini menunjukkan variabel X7 memberikan pengaruh yang tinggi terhadap dimensi pelatihan khusus. Pelatihan ini dikatakan khusus karena dengan karyawan memahami apa tujuan perusahaan – melalui bimbingan/mentoring khusus
79
dari atasan- maka karyawan tersebut akan bekerja sesuai tujuan perusahaan yang akhirnya akan meningkatkan produktivitas perusahaan tersebut. Sedangkan variabel indikator kompetensi merupakan hasil pembelajaran dan pelatihan yang ditempuh dengan mendapatkan sertifikasi khusus memberikan pengaruh yang cukup terhadap dimensi pelatihan khusus dengan nilai muatan sebesar 1,000. Variabel indikator ini mewailiki pengertian pelatihan khusus menurut Becker (1993) bahwa pelatihan khusus mengacu pada pelatihan yang diberikan oleh perusahaan dan keterampilannya sangat terbatas untuk dialihkan dan akan meningkatkan produktivitas dalam konteks tertentu.
5.2.2.4 Konstruk Pengetahuan Lain Konstruk pengetahuan lain terdiri dari 3 indikator, yaitu pengetahuan yang dimiliki karyawan merupakan hasil pembelajaran secara mandiri dari sumber lain (X10), pengetahuan penyelesaian masalah pekerjaan diperoleh melalui waktu luang untuk berdiskusi dengan rekan kerja (X11), pengetahuan lainnya di luar bidang pekerjaan
karyawan
diperoleh
melalui
saran
peningkatan
wawasan
dan
pengembangan diri (X12). Pada Tabel 14 disajikan nilai faktor muatan dari indikatorindikator pembentuk pengetahuan lain. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel pengetahuan lainnya di luar bidang pekerjaan karyawan diperoleh melalui saran peningkatan wawasan dan pengembangan diri (X12) mempunyai pengaruh paling besar terhadap dimensi pengetahuan lain. Tabel 14. Nilai Muatan Faktor Pengetahuan Lain Variabel Indikator X12 X10 X11
Pengetahuan Lain
Nilai
Pengetahuan lainnya di luar bidang pekerjaan karyawan diperoleh melalui saran peningkatan wawasan dan pengembangan diri. Pengetahuan yang dimiliki karyawan merupakan hasil pembelajaran secara mandiri dari sumber lain. Pengetahuan penyelesaian masalah pekerjaan diperoleh melalui waktu luang untuk berdiskusi dengan rekan kerja.
1,123 1,000 0,868
Variabel indikator pengetahuan lain yang didapat karyawan di luar bidang pekerjaan yang diperoleh melalui saran peningkatan wawasan dan pengembangan diri
80
memiliki nilai muatan sebesar 1,123. Hal ini menunjukkan variabel X12 berpengaruh sangat tinggi terhadap dimensi pengetahuan lain. Gomes (1995) menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan akumulasi hasil proses pendidikan baik yang bersifat formal maupun non formal yang memberikan kontribusi terhadap seseorang di dalam pemecahan masalah termasuk dalam melakukan dan menyelesaikan pekerjaan. Variabel indikator selanjutnya adalah pengetahuan yang dimiliki karyawan merupakan hasil pembelajaran secara mandiri dari sumber lain memiliki nilai muatan sebesar 1,000. Hal ini menunjukkan bahwa variabel indikator ini berpengaruh tinggi terhadap dimensi pengetahuan lain. Indikator ini menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Becker (1993) bahwa seorang karyawan memiliki kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan lain dari berbagai sumber. Kemudian variabel indikator pengetahuan penyelesaian masalah pekerjaan diperoleh melalui waktu luang untuk berdiskusi dengan rekan kerja mempunyai pengaruh yang cukup terhadap dimensi pengetahuan lain dengan nilai muatan sebesar 0,868. Pengetahuan seseorang tidak hanya didapatkan melalui pendidikan formal ataupun pelatihan saja dengan cara berdiskusi mengenai pemecahan masalah pun termasuk dalam pengetahuan.
5.2.2.5 Konstruk Modal Insani Konstruk modal insani terdiri dari 3 indikator, yaitu modal insani (human capital) sangat penting untuk karyawan pahami dalam rangka penegmbangan diri (Y1), peningkatan kapasitas aset pada sumber daya manusia secara terus menerus (continuous improvement) telah disadari pentingnya oleh karyawan (Y2), pembuatan rencana pengembangan bagi setiap individu dalam organisasi dan menerapkan organisasi pembelajar telah disadari pentingnya oleh koperasi (Y3). Pada Tabel 15 disajikan nilai faktor muatan dari indikator-indikator pembentuk modal insani. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel peningkatan kapasitas aset pada sumber daya manusia secara terus menerus (continuous improvement) telah disadari pentingnya oleh karyawan (Y2) mempunyai pengaruh paling besar terhadap dimensi modal insani.
81
Tabel 15. Nilai Muatan Faktor Modal Insani Variabel Indikator Y2 Y1 Y3
Modal Insani Peningkatan kapasitas aset pada sumber daya manusia secara terus menerus (continuous improvement) telah disadari pentingnya oleh karyawan. Modal insani (human capital) sangat penting untuk karyawan pahami dalam rangka pengembangan diri. Pembuatan rencana pengembangan bagi setiap individu dalam organisasi dan menerapkan organisasi pembelajar telah disadari pentingnya oleh koperasi.
Nilai 1,107 1,000
0,701
Variabel indikator kesadaran karyawan akan pentingnya peningkatan kapasitas aset pada SDM secara terus menerus memiliki nilai muatan sebesar 1,107. Nilai ini menunjukkan pengaruh peningkatan kapasitas aset pada SDM secara terus menerus terhadap dimensi pelatihan umum cenderung sangat tinggi. Modal insani adalah aset yang paling berharga dalam perusahaan khususnya intellectual capitalnya. Kemampuan modal insani dalam menerapkan ilmu dan pengetahuan ke dalam pekerjaan mereka yang menjadikan suatu perusahaan memiliki keunggulan dalam bersaing. Berdasarkan hal tersebut, setiap organisasi harus menyadari bahwa faktor sumber daya manusia haruslah dikelola dengan baik. Variabel indikator pentingnya pemahaman karyawan akan modal insani bagi pengembangan dirinya memiliki nilai muatan sebesar 1,000. Nilai ini menunjukkan pengaruh pemahaman karyawan akan modal insani bagi pengembangan diri cukup tinggi. Namun, variabel indikator kesadaran koperasi akan pembuatan rencana pengembangan bagi setiap individu dan menerapkan organisasi pembelajar hanya memberikan pengaruh yang cukup terhadap modal insani yang memiliki nilai muatan sebesar 0, 701.
5.2.2.6 Konstruk Peningkatan Produktivitas dan Laba Konstruk peningkatan produktivitas dan laba organisasi terdiri dari 3 indikator, yaitu peningkatan produktivitas koperasi diperoleh dari program pengembangan diri karyawan dalam bentuk pelatihan untuk peningkatan kompetensi. (Y4), peningkatan kinerja koperasi secara terus menerus sangat penting untuk
82
keberlangsungan koperasi. (Y5), keuntungan/laba koperasi dihasilkan dari team work (kerja sama) seluruh karyawan koperasi (Y6). Pada Tabel 16 disajikan nilai faktor muatan dari indikator-indikator pembentuk konstruk peningkatan produktivitas dan laba organisasi. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel peningkatan kinerja koperasi secara terus menerus sangat penting untuk keberlangsungan koperasi (Y5) mempunyai pengaruh paling besar terhadap dimensi peningkatan produktivitas dan laba organisasi. Tabel 16. Nilai Muatan Faktor Peningkatan Produktivitas dan Laba Organisasi Variabel Indikator Y5 Y6 Y4
Peningkatan Produktivitas dan Laba Organisasi
Nilai
Peningkatan kinerja koperasi secara terus menerus sangat penting untuk keberlangsungan koperasi. Keuntungan/laba koperasi dihasilkan dari team work (kerja sama) seluruh karyawan koperasi. Peningkatan produktivitas koperasi diperoleh dari program pengembangan diri karyawan dalam bentuk pelatihan untuk peningkatan kompetensi.
1,497 1,337 1,000
Variabel indikator peningkatan kinerja koperasi secara terus menerus sangat penting untuk keberlangsungan koperasi dapat merefleksikan dimensi peningkatan produktivitas dan laba organisasi dengan sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai muatan sebesar 1,497. Kinerja karyawan merujuk pada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik dalam hal ini adalah peningkatan produktivitas dan memperoleh laba. Akumulasi dari peningkatan kinerja karyawan akan berdampak pada peningkatan kinerja suatu organisasi. Variabel indikator berikutnya yang dapat merefleksikan dimensi peningkatan produktivitas dan laba organisasi adalah keuntungan/laba koperasi dihasilkan dari team work (kerja sama) seluruh karyawan koperasi. Varibel indikator Y 5 memiliki nilai muatan sebesar 1,337. Hal ini berarti variabel keuntungan/laba koperasi dihasilkan dari hasil team work mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap dimensi peningkatan produktivitas dan laba organisasi. Organisasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang dilakukan secara beruang-ulang oleh
83
sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, dengan mensinergikan beberapa unit kerja yang terdiri dari beberapa kelompok kerja karyawan maka tujuan perusahaan berupa keuntungan/laba akan tercapai. Nilai muatan sebesar 1,000 diperoleh dari hubungan antara variabel indikator peningkatan produktivitas koperasi diperoleh dari program pengembangan diri karyawan dalam bentuk pelatihan untuk peningkatan kompetensi terhadap dimensi peningkatan produktivitas dan laba organisasi. Mulyadi (2007) menyatakan bahwa sumber utama pemborosan dan rendahnya produktivitas adalah kualitas manusia. Oleh karena itu, jika perusahaan ingin mengurangi biaya dan/atau meningkatkan produktivitas secara signifikan, langkah-langkah strategik yang ditempuh oleh perusahaan perlu diarahkan pada peningkatan kualitas modal insani salah satunya adalah melalui pelatihan.
5.2.2.7 Konstruk Peningkatan Gaji dan Pendapatan Karyawan Konstruk peningkatan gaji dan pendapatan karyawan terdiri dari 3 indikator, yaitu standar kehidupan minimum telah terpenuhi oleh gaji koperasi yang karyawan terima saat ini (Y7), standar kehidupan layak telah terpenuhi oleh insentif koperasi yang karyawan terima saat ini (Y8), fasilitas lainnya berupa kompensasi non finansial telah karyawan dapatkan dari koperasi (Y9). Pada Tabel 17 disajikan nilai faktor muatan dari indikator-indikator pembentuk konstruk peningkatan produtivitas dan laba organisasi. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel standar kehidupan layak telah terpenuhi oleh insentif koperasi yang karyawan terima saat ini (Y8) mempunyai pengaruh paling besar terhadap dimensi peningkatan gaji dan pendapatan karyawan. Tabel 17. Nilai Muatan Faktor Peningkatan Gaji dan Pendapatan Karyawan Variabel Indikator Y8 Y7 Y9
Peningkatan Gaji dan Pendapatan Karyawan Standar kehidupan layak telah terpenuhi oleh insentif koperasi yang karyawan terima saat ini. Standar kehidupan minimum telah terpenuhi oleh gaji koperasi yang karyawan terima saat ini. Fasilitas lainnya berupa kompensasi non finansial telah karyawan dapatkan dari koperasi.
Nilai 1,024 1,000 0,925
84
Variabel indikator standar kehidupan layak terpenuhi oleh insentif karyawan mampu mewakili pengaruh yang tinggi terhadap dimensi peningkatan gaji dan pendapatan karyawan. Nilai hubungan ini dikatakan tinggi karena memiliki nilai muatan sebesar 1,024. Nilai muatan terbesar kedua adalah standar kehidupan minimum telah terpenuhi oleh gaji karyawan yang diterima saat ini sebesar 1,000. Nilai ini menunjukkan standar kehidupan minimum telah terpenuhi oleh gaji karyawan yang diterima saat ini cenderung tinggi berpengaruh terhadap dimensi peningkatan gaji dan pendapatan karyawan. Sedangkan variabel fasilitas lain berupa kompensasi non finansial memberikan pengaruh yang cukup tinggi terhadap dimensi peningkatan gaji dan pendapatan karyawan dengan nilai muatan sebesar 0,925.
5.2.3 Analisis Hubungan Antarkonstruk Setelah sebuah model telah diuji kecocokannya maka proses selanjutnya adalah menguji hubungan antar konstruknya. Analisis hubungan antar konstruk dilakukan dengan cara menganalisis regresi berganda (multiple regression). Melalui analisis regresi berganda, kita dapat mengetahui seberapa signifikan hubungan antara variabel-variabel independen (eksogen) dengan variabel dependen (endogen). Hasil pada penelitian ini memberikan informasi bukti hipotesis tentang pengaruh sekolah atau pendidikan formal, pelatihan umum, pelatihan khusus, pengetahuan lainnya terhadap modal insani; pengaruh modal insani terhadap peningkatan produktivitas dan laba organisasi serta pengaruh modal insani terhadap peningkatan gaji dan pendapatan karyawan. Informasi tersebut secara lebih ringkas disajikan pada Tabel 18 berikut ini.
85
Tabel 18. Hasil Analisis Regresi Berganda dan Kaitannya dengan Hipotesis Penelitian Hipotesis 1 2 3 4 5 6
Path Sekolah atau pendidikan Modal insani Pelatihan umum Modal insani Pelatihan khusus Modal insani Pengetahuan lain Modal insani Modal insani Peningkatan produktivitas dan laba Modal insani Peningkatan gaji dan pendapatan pegawai
Loading Factor
Nilai P
Kesimpulan
-0,111
0,258
Tidak signifikan
0,091 0,650 0,929
0,601 0,180 0,000
Tidak signifikan Tidak signifikan Signifikan
0,312
0,002
Signifikan
0,111
0,459
Tidak signifikan
5.2.3.1 Pengaruh Sekolah atau Pendidikan Formal terhadap Modal Insani Pengaruh sekolah atau pendidikan formal terhadap modal insani pada penelitian ini menunjukkan hasil yang negatif dan tidak signifikan. Hal ini berarti ada atau tidak adanya dimensi sekolah atau pendidikan formal tidak memberikan pengaruh apapun pada modal insani. Hubungan variabel ini memiliki nilai P sebesar 0,258. Nilai ini lebih besar dari 0,05 yang berarti pengaruh sekolah atau pendidikan formal terhadap modal insani tidak signifikan. Sedangkan hubungan yang negatif dapat dilihat pada nilai loading factor sebesar -0,111. Berdasarkan hal tersebut hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nadrag & Mitran 2011 yang menyebutkan bahwa pendidikan memainkan peran yang penting dalam pembentukan modal insani. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh banyaknya jenis pekerjaan yang ada pada KPSBU tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi karena pada dasarnya membutuhkan tingkat keterampilan yang tinggi dan juga didukung dengan pengalaman kerja. Hal tersebut didukung dengan informasi karakteristik responden yang sebagian besar berpendidikan sampai SMU atau sederajat saja.
5.2.3.2 Pengaruh Pelatihan Umum terhadap Modal Insani Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan umum tidak berpengaruh secara signifikan terhadap modal insani. Hubungan variabel ini memiliki nilai P
86
sebesar 0,601 di mana nilai ini lebih besar dari 0,05. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Ming Au & Altman (2007) yang menyatakan bahwa pelatihan berhubungan positif terhadap investasi pada modal insani. Karyawan yang memiliki keterampilan yang mencukupi akan berdampak positif terhadap modal insaninya. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh model yang dibangun oleh peneliti berbeda dalam pengaruh terhadap modal insani dan juga karakteristik responden yang diteliti pun berbeda. Dengan demikian, pengaruh pelatihan umum di KPBU Jabar tidak berpengaruh secara langsung dan signifikan.
5.2.3.3 Pengaruh Pelatihan Khusus terhadap Modal Insani Pengaruh pelatihan khusus terhadap modal insani pada penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak signifikan sehingga kesimpulan yang didapat adalah tolak H0. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P sebesar 0,180 di mana lebih besar dari 0,05. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dijelaskan oleh Awang et al. (2010) bahwa terdapat bukti empiris mengenai program pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku kerja dari karyawan. Hasil penelitian dari Awang et al. (2010) di industri perhotelan dan servis komputer yang berada pada negara Malaysia juga menyebutkan bahwa variabel yang berhubungan dengan pelatihan secara positif dan signifikan berhubungan dengan kinerja kerja karyawan. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh pelatihan tidak berhubungan langsung dengan modal insani melainkan dengan kinerja karyawan dan juga karakteristik responden yang diteliti berbeda. Penelitian ini dilakukan pada sebuah koperasi yang memiliki prinsip yang berbeda dengan organisasi/perusahaan konvensional. Dengan demikian, pengaruh pelatihan khusus di KPSBU Jabar tidak berpengaruh secara langsung dan signifikan.
5.2.3.4 Pengaruh Pengetahuan Lain terhadap Modal Insani Berdasarkan model path struktural diperoleh pengaruh pengetahuan lain terhadap modal insani yang positif dan signifikan. Karyawan KPSBU menyadari
87
bahwa pengetahuan lainnya seperti pembelajaran secara mandiri dari sumber lain (buku, internet, literatur), diskusi dengan rekan kerja mengenai pemecahan masalah, serta pengetahuan karyawan di luar pekerjaannya direfleksikan oleh saran peningkatan wawasan dan pengembangan diri (kepemimpinan, kewirausahaan, memahami psikologi pelanggan, dan lain-lain) dapat mempengaruhi modal insaninya. Seperti yang diungkapkan oleh Mulyadi (2007), faktor yang benar-benar menjadikan suatu organisasi berbeda dari perusahaan lain adalah terletak pada kemampuan modal insani dalam memanfaatkan pengetahuan. Demikian juga halnya yang dikemukakan oleh Shape (2001) dari hasil penelitiannya bahwa terdapat hubungan yang positif antara peningkatan pengetahuan yang dimiliki oleh modal insani suatu perusahaan terhadap profit perusahaan. Selain itu berdasarkan hasil wawancara, banyaknya karyawan KPSBU Jabar yang direkrut merupakan anak dari anggota KPSBU Jabar. Dengan demikian, pengetahuan mereka tentang “persusuan” sudah melekat kuat.
5.2.3.5 Pengaruh Modal Insani terhadap Peningkatan Produktivitas dan Laba Organisasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal insani berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas dan laba suatu organisasi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P dari hubungan modal insani terhadap peningkatan produktivitas dan laba adalah sebesar 0,002, di mana nilai ini lebih kecil dari 0,05 yang menunjukkan bahwa hubungan tersebut adalah signifikan. Organisasi, dalam hal ini KPSBU, menyadari bahwa keberadaan modal insani akan memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan produktivitas dan laba KPSBU. Seperti yang sudah diulas sebelumnya pada Bab 2 bahwa modal insani merupakan keterpaduan pengetahuan, pembelajaran, pengalaman, kompetensi inti, keterampilan, kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap karyawan yang ada dalam suatu organisasi atau perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan salah satu faktor yang paling penting mempengaruhi produktivitas karyawan adalah modal insani. Jika terjadi peningkatan produktivitas individu karyawan maka akan berdampak pada peningkatan produktivitas organisasi yang berhubungan dengan peningkatan laba organisasi tersebut. Hal ini sejalan
88
dengan penelitian sebelumnya yang diutarakan oleh Afrooz et al. (2001) menyebutkan bahwa pekerja terdidik dan terampil mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerjanya.
5.2.3.6 Pengaruh Modal Insani terhadap Peningkatan Gaji dan Pendapatan Karyawan Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa hubungan modal insani terhadap peningkatan gaji dan pendapatan karyawan memiliki nilai P sebesar 0,459. Nilai ini lebih besar dari 0,05 yang berarti pengaruh modal insani terhadap peningkatan gaji dan pendapatan karyawan tidak signifikan. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iqbal & Waqas (2011) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara modal insani dengan peningkatan pendapatan dan gaji seorang karyawan. Hal ini berarti semakin baik modal insani yang dimiliki oleh seseorang akan meningkatkan gaji dan pendapatan orang tersebut. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh model yang dibangun oleh peneliti berbeda dalam pengaruh terhadap peningkatan gaji dan pendapatan karyawan dan juga karakteristik responden yang diteliti juga berbeda. Faktor lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah berdasarkan banyaknya responden yang memiliki tingkat pendidikan akhir sampai SMU saja maka gaji yang diperoleh dari bekerja pada KPSBU hanya sebatas upah minimum regional di mana hal ini belum memuaskan karyawan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Nilai muatan faktor yang terdapat pada hubungan antar konstruk dan indikator dengan konstruknya (variabel laten) yang tergambar pada Model SEM Penelitian dan dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini.
89
X1
X2
X3
1.24 0.96
1.00
Y4
Y6
Y5
SPF
1.00
1.49 1.33
1.00
X4
PPL
-0.1
2.69
Y1
PU
X5
0.09 1.03
Y2 1.12
Y3 1.10
0.70
KETERANGAN: SPF : Sekolah atau Pend. Formal PU : Pelatihan Umum PK : Pelatihan Khusus PL : Pengetahuan Lain MI : Modal Insani PPL : Peningkatan Produktivitas & Laba PGP: Peningkatan Gaji & Pendapatan
0.31
X6 0.65
3.74
MI
PK
X7 3.98
0.11 0.92
X8
1.00
X9 PL
PGP
1.00
1.00 0.86
X10
X11
1.12
X12
1.02
Y7
0.92
Y8
Gambar 11. Model SEM Penelitian
Y9
90
5.3 Modifikasi Model Penelitian Pada sebuah model SEM yang telah dibuat dan diuji dapat dilakukan berbagai modifikasi. Tujuan modifikasi adalah untuk melihat apakah modifikasi yang dilakukan dapat menurunkan nilai Chi-Square; seperti diketahui semakin kecilnya angka Chi-Square menunjukkan semakin „fit‟ model tersebut dengan data yang ada. Berdasarkan hasil penelitian pada KPSBU Jabar dapat diketahui bahwa hanya terdapat satu konstruk yang mempengaruhi modal insani secara positif dan signifikan, yaitu pengetahuan lain dari karyawan, sedangkan konstruk sekolah atau pendidikan formal, pelatihan umum, dan pelatihan khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap modal insani. Berdasarkan wawancara, hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya karyawan KPSBU Jabar yang direkrut merupakan anak dari anggota KPSBU Jabar. Dengan demikian, pengetahuan mereka tentang “persusuan” sudah melekat kuat bahkan pengalaman mereka lebih banyak jika dibandingkan dengan karyawan yang mempunyai pendidikan tinggi, seperti diploma atau sarjana. Sementara itu, dimensi modal insani hanya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap konstruk peningkatan produktivitas dan laba organisasi tetapi tidak signifikan terhadap peningkatan gaji dan pendapatan karyawan. Hasil analisis hubungan antarkonstruk yang sudah dilakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa terdapat beberapa hipotesis yang tidak signifikan sehingga harus dihilangkan guna menghasilkan model yang lebih baik lagi pada kasus KPSBU Jabar. Oleh karena itu, modifikasi model dilakukan pada penelitian ini sehingga model baru penelitian ini seperti yang terlihat pada Gambar 12. Y2 Y1
Y3
Y4
1,09
1,00 0,69
1,00
PL 1,03 1,16 0,86
X12
X13
PPL
MI 1,00
X14
0,31
KETERANGAN: PL: Pengetahuan Lain MI: Modal Insani PPL: Peningkatan Produktivitas dan Laba
Gambar 12. Model Temuan Penelitian
1,50
Y5 1,34
Y6
91
Setelah didapat model baru maka akan menghasilkan informasi baru terhadap uji kecocokan model dan hubungan antarvariabelnya. Pada Tabel 19 di bawah ini terdapat informasi mengenai uji kecocokan model temuan penelitian yang baru. Tabel 19. Uji Kecocokan Model Temuan Penelitian Goodness of Fit Index Chi square (χ2)
Target tingkat kecocokan Nilai yang kecil
GFI
GFI ≥ 0,90 AGFI ≥ 0,90
AGFI RMR NFI CFI PRATIO
RMSEA
AIC ECVI
Kisaran 0 -1; lebih kecil lebaih baik NFI ≥ 0,90 CFI ≥ 0,90 Kisaran 0-1 RMSEA ≤ 0,05: good fit; 0,08 RMSEA 0,1: moderate fit; RMSEA 0,1: poor fit Nilai yang kecil dan mendekati AIC saturated Nilai yang kecil dan mendekati ECVI saturated
Hasil estimasi
Tingkat kecocokan
M: 59, 268 I:371, 005
Good fit
0,900 0,820 0,047 0,840 0,898
Close fit Close fit Good fit
0,694
Close fit Close fit Moderate fit
0,115
Poor fit
M: 99, 268 S: 90,000 I: 389,005 M: 0,954 S: 0,865 I: 3,740
Good fit
Good fit
Berdasarkan analisis uji kecocokan model (goodness of fit) pada Tabel 19 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecocokan model penelitian ini berada pada kategori mendekati baik (close fit). Sedangkan untuk hubungan antarvariabel terjadi pada konstruk pengetahuan lain terhadap modal insani yang memiliki hubungan yang positif dengan loading factor sebesar 1,03 dan nilai P sebesar 0,00 dimana kurang dari 0,05 sehingga menghasilkan hubungan yang signifikan. Kemudian mengenai pengaruh antara konstruk modal insani dengan peningkatan produktvitas dan laba organisasi tidak mengalami perubahan dengan loading factor sebesar 0,31 dan nilai P sebesar 0,02 yang artinya mempunyai hubungan yang positif dan signifikan.
92
5.4 Implikasi Manajerial Konstruk sekolah atau pendidikan formal tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk modal insani di KPSBU Jabar. Berdasarkan hasil wawancara pada pihak KPSBU, pada dasarnya pekerjaan di KPSBU hanya memerlukan keterampilan dan pengalaman saja sehingga lebih banyak karyawan hanya berpendidikan akhir sampai SMU atau setingkat saja. Pada kenyataanya, masih terdapat karyawan yang memiliki tingkat pendidikan diploma atau sarjana namun karyawan tersebut menganggap bekerja di KPSBU hanya sebagai batu loncatan saja. Dengan kata lain, karyawan tidak memiliki harapan yang tinggi untuk berkarir lebih lama di KPSBU. Berdasarkan hasil penelitian didapat informasi bahwa dimensi pelatihan umum dan pelatihan khusus tidak signifikan berpengaruh terhadap modal insani di KPSBU Jabar. Hal ini mungkin saja pelatihan yang selama ini dilaksanakan oleh KPSBU Jabar belumlah efektif dalam meningkatkan kinerja karyawan. Sehingga, pelatihan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemajuan keterampilan dan kinerja karyawan melainkan hanya sebuah kegiatan saja. Gaji atau kompensasi menurut Wayne yang disitasi oleh Mangkuprawira (2004) meliputi bentuk pembayaran tunai langsung, pembayaran tidak langsung dalam bentuk manfaat karyawan, dan insentif untuk memotivasi karyawan agar bekerja keras untuk mencapai produktivitas yang semakin tinggi. Sementara kompensasi dipengaruhi faktor-faktor internal dan eksternal organisasi. Kompensasi sangat dipengaruhi oleh tekanan-tekanan faktor pasar kerja, pasisi rebut tawar kolektif, peraturan pemerintah dan juga filosofi manajemen puncak tentang pembayaran kompensasi (Mangkuprawira 2004). Dengan kata lain, peningkatan kompensasi seseorang tidak hanya sebatas peningkatan dari kemampuan internal (sekolah atau pendidikan formal, pelatihan dan pengetahuan lain) yang dimiliki oleh karyawan melainkan juga terdapat faktor eksternal yang mempengaruhinya. Selain itu, faktor pengalaman kerja karyawan di KPSBU berpengaruh langsung terhadap peningkatan gaji atau kompensasi.
93
Berdasarkan pemaparan di atas maka terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh pihak KPSBU antara lain: 1. Dalam hal pengembangan sumber daya manusia: berbeda dengan organisasi pada umumnya, koperasi sumber daya manusia yang dimiliki oleh koperasi tidak hanya karyawan saja melainkan terdapat anggota koperasi. Salah satu faktor penentu peningkatan produktivitas adalah adalah kualitas sumber daya manusianya. Dalam hal pengembangan karyawan, pihak KPSBU Jabar hendaknya melakukan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan kerja karyawannya. Sedangkan bagi pengembangan anggota pihak KPSBU Jabar dapat
melakukan
penyuluhan
teknis
sehingga
dapat
meningkatkan
pengetahuan anggota yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja anggota dengan menghasilkan susu yang berkalitas. 2. Dalam hal teknologi, pihak KPSBU Jabar hendaknya menerapkan teknologi pada proses pembuatan yoghurt yang sampai saat ini masih dilakukan secara manual. Dengan peningkatan produksi pada yoghurt, diharapkan dapat meningkatkan laba KPSBU Jabar dari penjualan yoghurt. 3. Dalam hal pemasaran produk: produk yang dihasilkan oleh KPSBU Jabar berupa produk susu sterilisasi dan yoghurt tidak kalah bersaing dengan produk-produk kompetitor yang sudah kita kenal saat ini. Namun, pemasaran produk belumlah maksimal sehingga produk dengan merk Freshtime ini hanya dikenal oleh masyarakat sekitar Lembang saja. Oleh karena itu, pihak KPSBU Jabar seharusnya melakukan berbagai program promosi terhadap produknya sehingga dapat dikenal oleh masyarakat luas. Sehingga peningkatan produksi ini diharapkan dapat meningkatkan laba koperasi yang akan berdampak pada peningkatan gaji atau pendapatan yang akan diterima oleh karyawan atau pun bagi hasil dengan para anggotanya.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh pihak KPSBU Jabar semua berujung pada peningkatan modal insaninya. Investasi dalam pabrik, teknologi, produk baru, sistem distribusi, dan pemasaran hanya akan
94
berfungsi jika mendapat sentuhan modal insani. Sebagai konsekuensinya manajer harus menciptakan, membangun, dan mempertahankan modal insani dalam unit kerjanya, karena hanya modal insani yang dapat menarik berbagai sumber daya lain untuk dimanfaatkan dalam menghasilkan value terbaik bagi customer.