22
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kegiatan GNRHL di Desa Dlingo Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dilakukan pada tahun 2003─2004 dan di Desa Dlingo sendiri dilakukan pada tahun 2003. Proyek ini merupakan proyek nasional dibawah Kementrian Kehutanan dan untuk implementasi di lapangan, proyek GNRHL yang ada di Kabupaten Bantul dibawahi oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dipertahut) Kabupaten Bantul. Menurut Dipertahut Kabupaten Bantul, proyek GNRHL telah berhasil melakukan penanaman di lahan milik rakyat di Kabupaten Bantul seluas 2.450 ha dan salah satunya adalah di hutan rakyat Desa Dlingo. Luas hutan rakyat hasil dari GNRHL di Desa Dlingo yaitu 325 ha. Rincian mengenai luasan GNRHL masing-masing dusun dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Luas GNRHL masing-masing dusun di Desa Dlingo No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Dusun Pokoh I Pokoh II Kebosungu I Kebosungu II Koripan II Pakis I Pakis II dan Dlingo II Total
Luas GNRHL (ha) 56,75 55,25 62,75 61,25 39,00 25,00 25,00 325,00
Dipertahut menyediakan bibit, pupuk, dan alat-alat untuk pengolahan dan perawatan tanaman seperti: cangkul, linggis, dan alat semprot secara gratis per kelompok tani. Pembagian dilakukan setelah pengajuan proposal oleh kelompok tani dan hanya dibagikan pada awal tahun sebelum dilakukan penanaman. Selain itu untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat, petani diberikan upah berdasarkan satuan hari orang kerja (HOK) sebesar Rp 15.000/orang/hari. Menurut Hidra (2007) komposisi jenis antara tanaman kayu-kayuan dengan jenis MPTS ditentukan dengan proporsi 70% tanaman kayu kayuan dan 30% jenis MPTS. Jenis tanaman hutan rakyat terdiri dari jati, mangga, dan rambutan dengan jarak tanam 5m x 10m. Namun kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan rancangan, jarak tanam, dan jenis tanaman bervariasi sesuai dengan keinginan
23
pemiliknya dan tidak ditemukan kondisi hutan rakyat yang sesuai dengan rancangan. Disebabkan pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut adalah pola penanaman pengkayaan yang sebelumnya sudah terdapat tanaman, maka tanaman baru sebagai tanaman pembatas maksimal 200 batang/ha.
5.2 Kondisi Hutan Rakyat Untuk mengetahui kegiatan dari pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo, dilakukan wawancara semi terstruktur menggunakan kuesioner dengan 35 responden pemilik hutan rakyat dari 3 dusun, yaitu: Pakis II, Pokoh II, dan Dlingo II. Lokasi GNRHL berada pada tanah yang miring dan tidak subur sehingga sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dibuat terasering atau piringan dari batu yang disusun. Penanaman harus dilakukan pada saat awal musim penghujan karena jika musim kemarau tanah sangat kering. 5.2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat Penduduk Desa Dlingo mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Dari 35 responden merupakan petani hutan rakyat, baik sebagai mata pencaharian pokok maupun hanya sampingan. Petani Desa Dlingo selain mengelola hutan rakyat juga mengelola tanaman pertanian. Namun, bertani tanaman pertanian lebih diprioritaskan pengelolaannya karena memiliki hasil dengan jangka waktu yang lebih pendek tidak seperti hasil dari hutan rakyat. Selain itu, mereka juga memiliki pekerjaan sampingan karena hasil dari pertanian saja tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya, pekerjaan sampingan yang dilakukan yaitu sebagai pedagang, pengrajin mebel, dan sebagai tukang bangunan. 5.2.2 Sistem Pemilik dan Penggunaan Hutan Rakyat Status kepemilikan lahan merupakan lahan milik petani dengan telah memiliki pengakuan dari masyarakat dan kelurahan, namun sebagian masih ada yang belum memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah. Berdasarkan wawancara dengan responden, luasan hutan rakyat yang dimiliki berbeda-beda. Umumnya letak hutan rakyat GNRHL berbentuk blok dan dimiliki oleh beberapa petani dengan batas lahan berupa patok dari badan pertanahan dan berupa susunan batu terasering.
24
Tujuan utama responden membudidayakan hutan rakyat berbeda-beda, sebagian besar responden beralasan untuk keperluan sendiri dan digunakan sebagai bahan baku mebel dan sebagian juga digunakan untuk investasi tambahan di masa depan. Harga kayu jati yang tinggi diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan untuk keperluan masa depan, seperti keperluan tambahan biaya pendidikan, atau kegiatan lainnya yang membutuhkan modal besar. Sebelum dilakukan penanaman dari proyek GNRHL, lahan hutan rakyat tersebut berupa lahan kritis, tegalan, dan pekarangan. Pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut yaitu dengan pola penanaman pengkayaan dengan sebelumnya sudah terdapat tanaman sehingga diperlukan penambahan tanaman dengan proyek GNRHL ini agar tanaman lebih produktif. Setelah penanaman GNRHL dilakukan, lahan hutan rakyat masyarakat ini ditumbuhi pohon jati dengan bentuk hutan rakyat yang berbeda-beda. Bentuk hutan rakyat jati di Desa Dlingo terdiri dari sistem monokultur jati, sistem campuran dengan tanaman kayu keras lainnya seperti mahoni, sonokeling, dan bentuk tumpangsari. Tumpangsari dilakukan dengan menggunakan jenis tanaman pertanian yaitu ketela, umbiumbian dan tanaman pisang. Pemilihan tanaman keras campuran berdasarkan pertimbangan agar tidak mudah terserang penyakit dan variasi jenis di lahan miliknya,
sedangkan
pemilihan
jenis
tanaman
pertanian
berdasarkan
pertimbangan kebutuhan untuk mendapatkan hasil panen jangka pendek untuk kebutuhan sehari-hari. 5.2.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Prabowo (1998) kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat meliputi pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran hasil. Kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat secara lebih rinci sebagai berikut: 1.
Pengadaan Benih GNRHL pengadaan dalam bentuk bibit bukan benih. Bibit diperoleh secara gratis dari Dipertahut melalui kelompok tani yang ditunjuk.
2.
Penanaman Penanaman GNRHL dilakukan secara gotong royong oleh kelompok tani menanam secara bergiliran di lahan milik mereka. Para petani tersebut mendapatkan upah berdasarkan HOK sebesar Rp 15.000/hari dari Dipertahut.
25
Daerah Desa Dlingo merupakan daerah yang memiliki tanah yang mudah kekeringan ketika musim kemarau, sedangkan tanaman jati sangat peka terhadap kekeringan pada awal masa tanam, sehingga penanaman dilakukan pada awal musim penghujan agar bibit yang ditanam mendapatkan air yang cukup. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu dibuat lubang tanam dengan jarak tanam 5m x 10m sesuai anjuran Dinas setempat, namun jarak tanam berbeda-beda tergantung dari kondisi lahan yang kosong di lapangan. Selanjutnya dilakukan pemupukan dengan pupuk organik sebesar 2,5 kg/pohon yang diperoleh secara gratis dari proyek GNRHL. 3.
Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani diantaranya adalah penyulaman, pemupukan, dan penyemprotan. Semua kegiatan tersebut hanya dilakukan pada tahun pertama hingga tahun kedua, sedangkan untuk tahuntahun
selanjutnya
diserahkan
sepenuhnya
kepada
petani
dalam
pengelolaannya. Namun sekarang ini kegiatan perawatan sudah tidak ada. Pemupukan dilakukan pada saat penanaman dengan pupuk organik sebesar 2,5 kg/pohon dan pupuk anorganik urea diberikan dua kali yaitu pada akhir musim penghujan pada tahun pertama dan kedua dengan masing masing sebesar 3 tablet/pohon. Penyulaman dilakukan pada tahun kedua setelah penanaman, sedangkan untuk kegiatan penjarangan yang seharusnya dilakukan pada tahun kelima tidak dilakukan. 4.
Pemanenan Menurut petani, umumnya jati dipanen setelah berumur 25 tahun, namun jika ada kebutuhan mendesak dapat dipanen sebelum umur 25 tahun. Pemanenan yang biasa dilakukan dikenal dengan istilah sistem tebang butuh, yaitu kegiatan penebangan karena kepentingan ekonomi yang mendesak, seperti kebutuhan anak sekolah, hutang-piutang dan lain-lain. Pembelian kayu dilakukan ketika pohon masih berdiri, pihak pembeli atau tengkulak yang datang langsung ke areal hutan rakyat setelah adanya kesepakatan harga dengan petani. Penjualan seperti ini petani tidak menanggung biaya penebangan, biaya pemasaran dan risiko kerusakan kayu yang terjadi akibat proses penebangan. Namun, biasanya petani mendapatkan harga tawar yang
26
rendah karena kurangnya informasi tentang harga kayu dan harga dikuasai oleh tengkulak. Harga kayu jati juga bervariasi hanya berdasarkan perkiraan diameter, tidak ada patokan harga untuk per meter kayunya sehingga harga hanya berdasarkan tawar menawar antara penjual dan pembeli. 5.
Pemasaran hasil Pembeli kayu biasanya menggunakan kayunya untuk dibuat dalam bentuk kerajinan mebel. Sejauh ini tidak dilakukan pemasaran kayu log keluar dari desa, namun untuk pemasaran mebel sudah dipasarkan hingga keluar kabupaten, bahkan sampai ke luar jawa seperti Bali. Pengrajin mebel di Desa Dlingo cukup banyak, dalam satu dusun saja hampir setengah dari KK memiliki usaha mebel baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dipasarkan. Pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo didukung oleh keberadaan
kelompok tani dan penyuluh kehutanan dari Dipertahut. Kelompok tani dan penyuluh berfungsi sebagai wadah bagi para petani pengelola hutan rakyat untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi anggota kelompok tani tentang cara mengelola hutan rakyat dengan benar. Selain itu, mereka juga dapat saling belajar dan berbagi pengalaman. Pembangunan hutan rakyat ini, petani tidak mengeluarkan biaya sedikitpun, bahkan petani malah mendapat upah dari proyek pembuatan hutan rakyat GNRHL yaitu sebesar Rp 15.000/orang/hari. Tabel 4 menyajikan informasi mengenai biaya pembangunan hutan rakyat Desa Dlingo dengan luasan 325 ha yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Dipertahut.
27
Tabel 4 Biaya pembuatan hutan rakyat No.
1.
2.
3.
4. 5.
Jenis pekerjaan
Persiapan a. pemancangan patok batas/ajir b. pembuatan papan nama c. pembuatan gubuk kerja d. pengadaan bahan, peralatan Pelaksanaan a. pembuatan dan pemasangan ajir b. pembuatan piringan dan lubang tanam c. langsir bibit d. penanaman e. pemupukan 1. anorganik 2. organik Pemeliharaan a. pemeliharaan tanaman b. pemupukan Angkutan bibit, pengamanan dan pemeliharaan bibit
Biaya bahan/peralatan Volume Satuan Biaya (rupiah) (rupiah) 325 ha 7 unit 7 unit 7 unit
10205 kg 178,75 ton
17.600 500.000 5.450.000 1.600.000
9.000 500.000
Pengawasan/supervisi Total
5.720.000 3.500.000 38.150.000 11.200.000
Volume
Biaya tenaga Satuan (rupiah)
Biaya (rupiah)
Total biaya (rupiah)
35 HOK 350 HOK
15.000 15.000
525.000 3.150.000
5.720.000 4.025.000 41.300.000 11.200.000
468 HOK 2860 HOK 351 HOK 1430 HOK
15.000 15.000 15.000 15.000
7.020.000 42.900.000 5.265.000 21.450.000
7.020.000 42.900.000 5.265.000 21.450.000
91.845.000 89.375.000
91.845.000 89.375.000 351 HOK 715 HOK 7 paket
15.000 15.000 1.100.000
5.265.000 10.725.000 7.700.000
5.265.000 10.725.000 7.700.000
7 paket
600.000
4.200.000
4.200.000 347.990.000
28
Tabel 4 biaya pembangunan hutan rakyat di Desa Dlingo dengan luasan 325 ha yaitu sebesar Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha. Biaya pengelolaan hutan rakyat terdiri dari dua biaya utama yaitu: biaya pembangunan hutan rakyat dan biaya pemanenan hutan rakyat, akan tetapi petani tidak mengeluarkan biaya untuk pemanenan kayu. Biaya pengelolaan hutan rakyat terdiri dari biaya persiapan, pelaksanaan, pemeliharaan, angkutan bibit, pengamanan dan pemeliharaan bibit dan pengawasan/supervisi. Biaya ini tidak mempertimbangkan biaya pembelian bibit karena tidak ada anggaran biaya dari Dipertahut untuk pembelian bibit. Walaupun tanaman dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa ada perlakuan pemeliharaan, namun petani masih menggunakan waktunya untuk mengunjungi tegakan jati miliknya. Tabel 5 merupakan perkiraan rata-rata penggunaan waktu dan biaya yang telah dikorbankan petani untuk pemeliharaan tanaman. Tabel 5 Penggunaan waktu dan biaya petani untuk pemeliharaan tanaman Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 total
Rata-rata (jam/ minggu) 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28
Rata-rata (jam/tahun) 144 96 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 1.344
Biaya per jam (rupiah) 1.875 1.875 1.875 2.200 2.550 2.875 3.200 3.550 3.875 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750 3.750
Biaya per tahun (rupiah) 270.000 180.000 90.000 105.600 122.400 138.000 153.600 170.400 186.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 180.000 4.296.000
Petani melakukan pemeliharaan dengan mengunjungi tegakannya setiap seminggu sekali. Namun pada tahun pertama, waktu yang dihabiskan petani dalam seminggu sekitar 3 jam, tahun kedua sekitar 2 jam dan tahun selanjutnya
29
hanya 1 jam. Biaya per jam yaitu perkiraan biaya sebesar Upah minimum Regional (UMR) pada tahun tersebut. Perkiraan biaya pemeliharaan yaitu sebesar Rp 4.296.000/petani atau sebesar Rp 171.850/petani/tahun. Jumlah petani di Desa Dlingo ini ada 729 orang dan luasan total hutan rakyat sebesar 325 ha, maka ratarata kepemilikan lahan seluas 0,45 ha/petani sehingga biaya pemeliharaan sebesar Rp 9.546.700 /ha atau Rp 381.900/ha/tahun.
5.3 Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat Pendugaan potensi tegakan hutan rakyat data primer yang diperlukan yaitu data diameter dan tinggi pohon. Data diameter dan tinggi dilakukan dengan sampling 35 responden lahan hutan rakyat yang ada di Dusun Pakis II, Pokoh II dan Dlingo II. Pemilihan lokasi berdasarkan lokasi penanaman GNRHL yang dilakukan dusun tersebut. Pengukuran dilakukan secara sampling karena pertimbangan keterbatasan tenaga, kondisi tegakan dominan seumur dan luasan hutan rakyat hasil GNRHL mencapai 325 ha. Pengukuran diameter dan tinggi total (TT) dilakukan pada semua pohon yang ada di dalam plot yang berukuran 0,1 ha yang akan mewakili setiap lahan responden. Tabel 6 menjelaskan kondisi tegakan hutan rakyat berdasarkan hasil pengukuran sampling. Tabel 6 Kondisi tegakan hutan rakyat Kelas diameter (cm) D<5 5 ≤ D < 10 10 ≤ D < 15 15 ≤ D < 20 20 ≤ D < 25 D ≥ 25 Total
Jumlah pohon 611 1317 890 287 93 23 3221
Kerapatan (N/ha) 175 376 254 82 27 7 921
Persentase (%) 19 41 27 9 3 1 100
Rata-rata TT (m) 3,92 8,14 11,29 13,14 13,82 14,01
Jumlah pohon hasil sampling sebanyak 35 lahan responden atau 3,5 ha ada 3.221 pohon. Dari hasil perhitungan, diperoleh diameter rata-rata dan tinggi ratarata hutan rakyat di Desa Dlingo hasil dari sampling berturut-turut adalah 9,45 cm dan 8,87 m. Kondisi tegakan hutan rakyat didominasi oleh tegakan yang berdiameter 5 ≤ D < 10 dengan persentase sebesar 41%.
30
Kondisi tegakan walaupun memiliki umur tanam yang sama, namun memiliki diameter yang berbeda-beda. Kondisi tegakan yang berada pada lokasi tepi jalan atau tepi lahan cenderung memiliki pohon-pohon yang berdiameter besar. Hal itu disebabkan pohon-pohon yang berada di tepi mendapatkan sinar matahari yang cukup dan ada sebagian dari lahan mendapatkan perlakuan perawatan dari pemiliknya. Namun, dari 35 responden hanya 2 responden saja yang melakukan perawatan pada lahan hutan rakyatnya. Perawatan itu antara lain pemberian pupuk organik dari kotoran sapi dan pembersihan gulma. Hasil dari sampling menunjukkan pertumbuhan pohon-pohon pada tegakan hutan rakyat hasil GNRHL Desa Dlingo memiliki pertumbuhan yang normal. Menurut penelitian Ginoga et al. (2005), pertumbuhan jati di KPH Saradan Jawa Timur pada umur 9 tahun berdiameter 9,73 cm sehingga tidak berbeda jauh dengan hasil dari penelitian ini sebesar 9,45 cm.
5.4 Potensi Volume Tegakan Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus volume pohon jati dengan faktor angka bentuk jati 0,759 (Novendra 2008), diperoleh hasil volume terbesar yaitu pada diameter tegakan antara 10 cm sampai 15 cm dengan nilai terbesar 91,29 m3. Tabel 7 menunjukkan potensi volume tegakan hutan rakyat. Tabel 7 Potensi volume tegakan berdasarkan kelas diameter Kelas diameter (cm) D<5 5 ≤ D < 10 10 ≤ D < 15 15 ≤ D < 20 20 ≤ D < 25 D ≥ 25 Total
Jumlah pohon 611 1317 890 287 93 23 3221
Kerapatan (N/ha) 175 376 254 82 27 7 921
Volume (m3) 2,14 39,28 91,29 67,12 37,33 14,45 251,61
Volume (m3/ha) 0,61 11,22 26,08 19,18 10,67 4,13 71,89
Volume tegakan kayu jati di desa Dlingo saat ini yaitu sebesar 71,89 m3/ha. Pendapatan yang diperoleh pada umur jati saat ini (9 tahun) dengan mengalikan volume saat ini dengan harga kayu jati apabila harga di pasaran saat ini Rp 1.400.000/m3 adalah Rp 100.646.000/ha. Potensi volume akhir daur diperkirakan sebesar 1.540 m3/ha. Nilai ini diperoleh dengan menghitung MAI (Mean Annual Increment) yaitu dengan cara membagi diameter saat ini terhadap umur tanam.
31
Selanjutnya riap tahunan diameter pohon dikalikan dengan daur yaitu 25 tahun sehingga diperoleh diameter pohon pada umur 25 tahun. Tinggi pohon pada akhir daur dihitung dengan cara yang sama dengan perhitungan riap diameter. Pendapatan yang diperoleh jika kayu dijual pada akhir daur dengan asumsi daur tebang 25 tahun sebesar Rp 2.156.000.000/ha dengan asumsi harga per m3 pohon jati adalah tetap. Keuntungan yang diperoleh yaitu dengan mengurangi pendapatan dari penjualan tegakan jati di akhir daur dengan biaya pembangunan tegakan hutan rakyat dan biaya pemeliharaan. Biaya pembangunan hutan rakyat adalah Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha dan biaya pemeliharaan Rp 9.546.700/ha, sehingga keuntungan yang diperoleh dari hutan rakyat sampai akhir daur panen sebesar Rp 2.145.382.600/ha. Perkiraan potensi volume umur 25 tahun dengan perhitungan tersebut menghasilkan nilai yang sangat besar, sementara tegakan yang tidak dilakukan penjarangan seharusnya memiliki pertumbuhan riap yang kecil karena persaingan antar pohon yang sangat ketat. Sehingga perhitungan potensi volume akhir daur dilakukan dengan menggunakan tabel tegakan jati bonita II dan diperoleh potensi volume sebesar 209,32 m3/ha. Pendapatan jika pada umur 25 tahun dilakukan penebangan yaitu sebesar Rp 683.018.000/ha. Keuntungan setelah pendapatan dikurangi biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp 1.070.700/ha dan pemeliharaan Rp 9.546.700/ha yaitu sebesar Rp 672.400.600/ha. 5.5 Potensi Karbon Metode pendugaan karbon tegakan dilakukan dengan empat persamaan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil dari masing-masing persamaan yang digunakan. Masing-masing persamaan dapat dibandingkan dari hasil pendugaan karbon dan dapat diketahui faktor-faktor penyebab perbedaan hasil pendugaan karbon dari persamaan-persamaan tersebut sehingga dapat ditentukan persamaan terbaik untuk pendugaan karbon hutan rakyat jati di Desa Dlingo ini. Metode pertama yaitu persamaan umum dengan mensubstitusikan diameter dan tinggi total tegakan ke dalam rumus volume pohon dan memperhitungan faktor angka bentuk pohon jati sebesar 0,759 (Novendra 2008)
32
sehingga diperoleh nilai volume tegakan diperoleh sebesar 23.364,25 m3 atau 71,89 m3/ha. Pendugaan biomassa pohon diperoleh dengan cara mengalikan volume dengan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011) sehingga diperoleh kandungan biomassa sebesar 15.654,05 ton atau 48,17 ton/ha dan menurut SNI 7724:2011 sebesar 0,47 dari biomassa merupakan kandungan karbon sebesar 7.357,189 tonC atau 22,64 tonC/ha. Pada persamaan pertama pengukuran tinggi di lapangan cenderung mengakibatkan penyimpangan yang tinggi karena kesalahan dari pengukur dalam mengukur tinggi dengan hagahypsometer. Metode kedua merupakan persamaan umum yang sering digunakan adalah rumus Ketterings et al. (2001). Persamaan ini dilakukan dengan cara mensubstitusikan diameter total tegakan dan memperhitungkan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011) sehingga diperoleh nilai biomassa sebesar 12.869,211 ton atau 39,59 ton/ha. Menurut SNI 7724:2011, sebesar 0,47 dari biomassa merupakan kandungan karbon yaitu sebesar 6.048,53 tonC atau 18,61 tonC/ha. Persamaan pertama dan persamaan kedua merupakan persamaan umum yang mudah diaplikasikan, bisa meminimalkan kesalahan pengukuran, serta cukup sederhana. Kelemahannya adalah kurang bisa mengakomodasi jumlah karbon selain biomassa atas pohon seperti jumlah karbon pada akar, daun dan tanah (Ginoga et al. 2005). Selain itu, kedua persamaan ini menggunakan pendekatan berat jenis yang memungkinkan peluang penyimpangan pada pemilihan berat jenis yang digunakan. Berat jenis jati berkisar antara 0,62 sampai dengan 0,75 (Purnamasari 2008), sedangkan berat jenis yang digunakan yaitu berat jenis rata-rata sebesar 0,67. Penetapan persamaan alometrik yang akan dipakai dalam pendugaan biomassa merupakan tahapan penting dalam proses pendugaan biomassa. Setiap persamaan alometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Pemakaian suatu persamaan yang dikembangkan belum tentu cocok apabila diterapkan di daerah lain (Sutaryo 2008).
33
Metode ketiga dan keempat merupakan metode persamaan biomassa diperoleh dari hasil penelitian destruktif pohon jati di dua tempat, yaitu: Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul dan Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah. Persamaan alometrik C= 0,1986 D2,13 menggunakan sampel 15 pohon jati dengan kelas diameter 5-14 cm, 15-24 cm, dan 25 cm keatas, sedangkan persamaan C= 0,2759 D2,2227 x 0,47 merupakan persamaan hasil destruktif pohon jati di KPH Cepu, Jawa tengah menggunakan 24 pohon jati dengan tingkatan umur 2, 11, 22, 41, 45, 53, 70, dan 88 tahun. Kedua persamaan ini dipilih karena pertimbangan peluang kesalahan yang tinggi terhadap tinggi tegakan yang diambil di lapangan. Persamaan ketiga dipilih dengan alasan lokasi yang berdekatan dengan lokasi penelitian untuk Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul sehingga memungkinkan untuk kemiripan kondisi tanah, cuaca, ketinggian lokasi karena berada di lereng pegunungan seperti di hutan rakyat Desa Dlingo. Persamaan alometrik hasil destruktif di KPH Cepu, Jawa Tengah dipilih untuk perbandingan terhadap perlakuan silvikultur antara tegakan jati di hutan rakyat yang kurang mendapat perlakuan silvikultur dengan tegakan jati di KPH Cepu yang mendapat perlakuan silvikultur secara intensif. Tabel 8 menyajikan hasil dari pendugaan karbon dari keempat persamaan tersebut. Tabel 8 Persamaan pendugaan kandungan karbon No.
Metode persamaan
Lokasi persamaan diperoleh
1
C= 𝜌 x V x 0,47
Persamaan umum
2
C= 0,052 𝜌 D2,62 x 0,47 Ketterings et al. (2001)
3
C= 0,1986 D2,13 (Saleh 2008)
4
C= 0,2759 D2,2227 x 0,47 (Hendri 2001) diacu dalam Tiryana et al. (2011)
Muara Bungo, Bungo Tebu, Jambi Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah
Potensi karbon (ton/ha) 22,64
Nilai ragam
Sumber penyimpangan
0,864
18,61
0,810
Pengukuran tinggi dan faktor berat jenis Faktor berat jenis
29,11
0,895
Perbedaan lokasi
24, 50
0,879
Perbedaan lokasi
Persamaan alometrik pendugaan karbon di Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul sebesar 9.460,75 tonC atau 29,11 tonC/ha dianggap yang terbaik karena berdasarkan pertimbangan kemiripan kondisi geografis karena lokasi
34
berdekatan dan sama-sama berada pada daerah pegunungan. Lokasi Kecamatan Dlingo sebelah timur berbatasan langsung dengan kecamatan Playen. Menurut AHPI dan Cerindonesia (2011), metode alometrik digunakan tergantung pada jenis atau curah hujan, untuk itu digunakan rumus sesuai dengan jenis atau curah hujan pada lokasi. Lokasi Desa Dlingo memiliki curah hujan 1500─2000 mm/tahun, sedangkan Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul 2000─2100 mm/tahun. Kedua tempat ini sama-sama berlokasi di daerah pegunungan karst yang berdekatan dengan ketinggian untuk Desa Dlingo yaitu 200─295 mdpl sedangkan untuk Desa Dengok yaitu 200─300 mdpl. Dari hubungan diameter dan karbon, persamaan ini diperoleh nilai ragam terbesar dibandingkan persamaan lainnya sebesar 0,895. Dari pertimbangan ini persamaan alometrik ketiga dipilih sebagai yang terbaik. Hasil perhitungan dengan persamaan alometrik keempat yaitu alometrik dari pendugaan destruktif di perum perhutani, KPH Cepu, Jawa Tengah menunjukkan nilai yang lebih kecil daripada persamaan ketiga yaitu sebesar 7.962,5 ton atau 24,50 ton/ha. Seharusnya nilai dengan persamaan keempat lebih besar daripada persamaan ketiga, karena perlakuan silvikultur tanaman di Perhutani lebih intensif dibandingkan dengan perlakuan tanaman di hutan rakyat yang kurang bahkan tanaman dibiarkan tumbuh tanpa ada pemeliharaan lanjutan hingga akhir daur. Menurut Malsheimer et al. (2009) diacu dalam Butarbutar (2009) hutan yang dikelola akan menyerap karbon lebih banyak daripada hutan yang tidak dikelola Menurut Pramono et al. (2010) untuk mendapatkan tegakan jati yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi, dipilih lahan yang memiliki kandungan kapur dan lempung-liat cukup tinggi, memiliki perbedaan musim kemarau dan musim penghujan yang nyata, berada pada ketinggian kurang dari 700 m dpl. Kondisi tanah di Desa Dlingo memiliki kandungan kapur yang tinggi yang dapat memacu pertumbuhan pada jati walaupun tidak dilakukan pemeliharaan. Tabel 9 menyajikan informasi mengenai hasil pendugaan karbon dengan persamaan terbaik yaitu persamaan alometrik pendugaan karbon di Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul dengan satu variabel yaitu diameter.
35
Tabel 9 Potensi stok karbon tegakan hutan rakyat Kelas diameter (cm) D<5 5 ≤ D < 10 10 ≤ D < 15 15 ≤ D < 20 20 ≤ D < 25 D ≥ 25 Total
Kerapatan (N/ha) 175 376 254 82 27 7 921
Potensi karbon per ha (tonC/ha) 0,51 5,66 10,51 6,98 3,76 1,78 29,11
Serapan karbondioksida per ha (tonCO 2 /ha) 1,87 20,77 38,57 25,61 13,79 6,53 106,83
Berdasarkan hasil pendugaan karbon dengan persamaan alometrik hasil destruktif 15 pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Gunungkidul diperoleh potensi karbon terbesar yaitu pada kelas diameter antara 5 cm sampai dengan 10 cm sebesar 10,51 tonC/ha. Hal itu dikarenakan kelas diameter antara 5 cm hingga 10 cm memiliki kerapatan terbesar dibandingkan dengan kelas diameter lainnya. Total potensi karbon hutan rakyat dalam satu desa yang memiliki luasan 325 ha sebesar 9.460,75 tonC atau 29,11 tonC/ha. Estimasi serapan karbondioksida (CO 2 ) dilakukan dengan persamaan yaitu: CO 2 = 3,67 C (Rochmayanto et al. 2010). Potensi serapan karbondioksida diperoleh sebesar 34.720,95 tonCO 2 atau 106,83 tonCO 2 /ha. Tabel 10 merupakan perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat hutan rakyat Desa Dlingo jika di skemakan ke perdagangan karbon. Tabel 10 Perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat Tahun proyek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
TonC/tahun 2.380,979 2.666,038 2.954,657 3.246,562 3.541,523 3.839,342 4.139,847 4.442,884 4.748,321 5.056,036 5.365,923 5.677,885 5.991,831 6.307,683 6.625,366
TonCO 2 /tahun 8.738,19 9.784,36 10.843,59 11.914,88 12.997,39 14.090,39 15.193,24 16.305,38 17.426,34 18.555,65 19.692,94 20.837,84 21.990,02 23.149,20 24.315,09
Jumlah sertifikat 8.738 9.784 10.843 11.914 12.997 14.090 15.193 16.305 17.426 18.555 19.692 20.837 21.990 23.149 24.315
Hasil serapan karbon yang diperoleh hutan rakyat Desa Dlingo tergolong kecil. Hal itu disebabkan tanaman yang seumur cenderung menghasilkan serapan karbon yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman dengan kelas umur yang
36
bervariasi. Hutan dengan semua kelas umur dengan berbagai tipe mempunyai kapasitas penyerapan yang lebih besar dan penyimpanan karbon dalam jumlah besar juga, tetapi hutan campuran semua umur umumnya mempunyai kapasitas penyerapan karbon yang lebih besar dan penyimpanan juga karena leaf area (luas permukaan daun) yang lebih besar (Butarbutar 2009).
5.6 Biaya Kegiatan Perdagangan Karbon Pendanaan untuk perdagangan karbon lewat pasar terbuka terdiri dari dua pasar, yaitu pasar wajib dan pasar sukarela. Tujuan dari perdagangan karbon ini diutamakan untuk menghasilkan sertifikat penurunan emisi. Sertifikat penurunan emisi yang dihasilkan dari pasar wajib CDM yaitu CER (certified emission reduction) sedangkan melalui pasar sukarela yaitu VER (verified emission Reduction). VER tidak dapat digunakan oleh negara pihak pembeli sebagai bagian dari pencapaian target penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto, sedangkan CER dapat digunakan (APHI dan Cerindonesia 2011). 5.6.1 Pasar Wajib (Compliant Market) Pasar karbon wajib contohnya yaitu clean development mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih (MPB) yang periode komitmen dari tahun 2008 dan akan berakhir di tahun 2012 ini. Selain itu juga ada mekanisme penurunan emisi baru yaitu REDD (reducing emission deforestation and degradation). REDD belum ada mekanisme compliant yang jelas mengenai perdagangan dan pendanaannya karena baru akan dibahas setelah periode komitmen CDM berakhir. Namun, sekarang ini sudah banyak proyek percontohan REDD yang ada di Indonesia dan selama ini proyek yang berlangsung lebih kepada skema voluntary yang pihak investor atau pembeli yang berminat akan mendanai pelaksanaan demonstration activities REDD (APHI dan Cerindonesia 2011). Menurut Ginoga et al. (2011), biaya transaksi dapat diartikan sebagai seluruh ongkos yang timbul karena pertukaran (bisnis) dengan pihak lain.Biaya transaksi meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan baik sebelum proyek dimulai, maupun setelah proyek berjalan. Jika penelitian ini diskemakan proyek perdagangan karbon MPB, maka dapat diestimasikan besarnya biaya transaksi
37
yaitu sebesar Rp 3.308, 49 juta atau Rp 10,18 juta/ha. Biaya ini belum ditambah dengan biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp 1.070.700/ha dan pemeliharaan Rp 9.546.700/ha sehingga total biaya apabila hutan rakyat ini mengikuti skema CDM sebesar Rp 20.797.400/ha. Perkiraan biaya transaksi apabila penelitian ini diskemakan pada perdagangan karbon MPB dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12.
38
Tabel 11 Komponen dan besarnya biaya persiapan (mendapatkan Sertifikat penurunan emisi) skema CDM No.
1 2
Kegiatan
Pelaksanaan
3 4
Surat kelayakan lahan untuk CDM Penyusunan dokumen Rancangan proyek (PDD) Surat keterangan Menhut Penyerahan PDD kepada komnas CDM
5
Persetujuan oleh komnas CDM
6 7 8 9
Baseline-additonality Monitoring dan evaluasi Sertifikasi, termasuk verifikasi dan validasi Kerjasama dengan mahasiswa
10
Biaya pengurusan amdal
Bupati/camat Pemilik proyek Menhut Pemilik proyek melalui pos Komnas CDM, sekretariat, tim teknis Pemilik proyek Tim independen Lembaga akreditasi nasional
Akreditor berdasarkan keputusan gubernur Total
Waktu
1 hari-6 bulan 1 minggu-1 bulan Maks. 3 minggu
6 bulan
6 bulan-1 tahun
Biaya ( juta rupiah) Cianjur (17,5 ha) 0 14,0 0 0,3
NTB (150 ha) 2,5 35,0
Penelitian (325 ha) 5,4 180,0
Keterangan biaya tetap tetap
3,0 0,02
6,5 0,3
tetap tetap
0
2,0
4,33
tetap
0 24,4 400,0
30,0 128,0 400,0
65,0 277,33 400,0
tetap tetap tetap
0
20,4
44,2
7,5
200,0
433,33
446,2
820,92
1.416,39
variabel tetap
39
Tabel 12 Komponen dan besarnya biaya pelaksanaan kegiatan CDM No.
Tahap
1
Persiapan
2
Manajemen proyek
3 4
Monitoring
5
Evaluasi
Kegiatan
Institusi
Biaya ( juta rupiah) Cianjur (17,5 ha) 4,28 24,45 14,14
NTB (150 ha) 15,0 0 344,1
Penelitian (325 ha) 32,50 24,45 745,55
Keterangan biaya
Desain pelaksanaan proyek Pelatihan teknik petani HR Infrastruktur dan peralatan
Dirjen rehabilitasi lahan dan hutan Dinas kehutanan Pelaksana
Administrasi dan konsultasi ke pusat Inventarisasi serapan karbon dan pengawasan area Koordinasi, monitoring dan evaluasi Total
Pelaksana
20,10
200,4
434,20
tetap
Pelaksana
0
174,5
378,10
variabel
Dinas kehutanan/universitas
0
128,0
277,30
variabel
862,0
1.892,10
62,97
tetap tetap variabel
40
Menurut Ginoga (2007) biaya dalam skema CDM terdiri dari biaya persiapan dan biaya pelaksanaan CDM. Biaya persiapan terdiri dari sepuluh kegiatan yaitu surat kelayakan lahan untuk CDM, penyusunan dokumen rancangan proyek (PDD), surat keterangan menhut, penyerahan PDD kepada komnas CDM, baseline-additionality, monitoring dan evaluasi, sertifikasi termasuk verifikasi dan validasi, kerjasama dengan mahasiswa dan biaya pengurusan amdal. Adapun biaya pelaksanaan kegiatan CDM terdiri dari biaya persiapan, manajemen proyek, monitoring dan evaluasi. Perkiraan biaya ini dilakukan dengan membandingkan luasan dengan biaya menurut penelitian Ginoga et al. (2008), sedangkan untuk biaya penyusunan dokumen rancangan proyek mengacu pada biaya CDM skala kecil menurut APHI dan Cerindonesia (2011) sebesar 20.000 USD atau Rp 180 juta. 5.6.2 Pasar Sukarela (Voluntary Market) Biaya transaksi proyek Plan Vivo merupakan biaya yang dikeluarkan dari tahapan konsep, desain proyek, registrasi dan hingga biaya setelah proyek aktif. Pada penelitian ini, perkiraan biaya untuk biaya upah dan registrasi mengacu pada perkiraan biaya yang ada di website Plan Vivo. Biaya tersebut merupakan biaya resmi yang dikeluarkan pengembang proyek untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation, sedangkan biaya lainnya berdasarkan perkiraan pengeluaran dengan acuan proyek MPB sebelumnya. Perkiraan biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo disajikan pada Tabel 13. Perkiraan biaya transaksi proyek Plan Vivo hingga proyek telah aktif disajikan pada Tabel 14.
41
Tabel 13 Biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo Proses Review Project Idea Note (PIN) Validasi: Review Project Design Document Kunjungan lapangan
Review spesifikasi teknis Review hasil validasi dan registrasi proyek
Deskripsi Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo Foundation Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo Foundation Kunjungan ke lokasi proyek oleh Expert Reviewer untuk menilai kapasitas dari koordinator proyek dan mengecek implementasi dari sistem. Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo Foundation dan Technical Advisory Panel Review dan finalisasi dari registrasi proyek oleh Plan Vivo Foundation Total
Biaya (juta rupiah) 6,75
tetap
4,5
tetap
72,0
3,6 4,5 91,35
Keterangan biaya
estimasi berkisar atara 5.000-10.000 USD, tergantung tarif dari Expert Reviewer. Biasanya untuk luasan <100 ha menggunakan expert reviewer. tetap 200/ spec, asumsi untuk 2 tech spec tetap
42
Tabel 14 Perkiraan biaya transaksi proyek Plan Vivo Tahapan Tahapan konsep Desain proyek
Registrasi
Proyek aktif
Proses
Pelaksana
Project Idea note Evaluasi pin dan registrasi spesifikasi teknis baseline +additionality AMDAL monitoring project desain document (PDD) Kunjungan lapangan Persetujuan spesifikasi teknis
Koordinator proyek Plan Vivo Foundation Koordinator proyek dan mitra (lembaga penelitian, dukungan teknis eksternal)
Persetujuan PDD Persetujuan dari Host Country Kerjasama dengan konsultan eksternal dan institusi-institusi lokal/riset Survei biomass Studi baseline Workshop dan training produsen Survei keanekaragaman hayati Validasi Laporan validasi dan registrasi Laporan tahunan Pendaftaran sertifikat Penerbitan sertifikat Verifikasi pihak ketiga Total
Koordinator proyek Kunjungan ke lokasi proyek oleh Expert Reviewer PlanVivo Foundation dan Technical Advisory Panel PlanVivo Foundation Koordinator proyek Koordinator proyek dan mitra (lembaga penelitian, dukungan teknis eksternal)
Plan Vivo Foundation dan expert viewer yang dipilih Plan Vivo Foundation Plan Vivo Foundation Koordinator proyek Koordinator proyek Plan Vivo Foundation Third party verifier yang disetujui
Biaya (juta rupiah) 32,50 6,75
Keterangan biaya tetap tetap tetap
65,00 433,33 150,00 67,50 72,00 3,60
tetap variabel tetap
4,50 4,33 44,20
tetap tetap variabel
3,60 4,50 4,50 663,7356 110,6226 66,70 1.737,3682
tetap tetap tetap variabel variabel tetap
43
Perkiraan biaya transaksi ini disesuaikan dengan urutan tahapan proyek Plan Vivo dari awal tahapan konsep hingga proyek telah aktif. Perkiraan biaya untuk evaluasi PIN dan registrasi, kunjungan lapangan, persetujuan spesifikasi teknis, persetujuan PDD, dan laporan validasi serta registrasi diperoleh dari biaya menurut Plan Vivo yang telah tercantum di website resmi Plan Vivo. Biaya-biaya tersebut merupakan biaya yang telah tercantum pada Tabel 12 dan dikategorikan dalam biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo. Keseluruhan biaya tersebut sebesar 10.550 USD atau Rp 94.950.000. Perkiraan biaya dari website Plan Vivo hanya mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation saja dan tidak mempertimbangkan biaya lain yang dikeluarkan diluar biaya untuk Plan Vivo Foundation. Perkiraan biaya untuk baseline dan additionality, amdal, kerjasama dengan konsultan eksternal dan institusi-institusi lokal/riset diperoleh biaya dari acuan biaya skema CDM yang berada pada Tabel10 dan Tabel 11. Biaya project desain document (PDD) mengacu pada biaya skema perdagangan karbon sukarela Voluntary Gold Standard (APHI dan Cerindonesia 2011) sebesar 7.500 USD atau Rp 67,5 juta, sedangkan biaya laporan tahunan besarnya diperkirakan sama dengan laporan validasi dan registrasi. Skema Plan Vivo menurut Antoko (2011), biaya transaksi meliputi biaya registrasi dan validasi (dikeluarkan sekali untuk satu proyek karbon), biaya monitoring (dikeluarkan setiap tahun selama jangka waktu proyek karbon dan verifikasi (dikeluarkan setiap lima tahun selama jangka waktu proyek karbon). Biaya transaksi menurut Antoko (2011) ini hanya biaya yang dikeluarkan pengembang proyek untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation. Biaya tersebut tidak mempertimbangkan biaya lain diluar pembayaran resmi ke Plan Vivo Foundation seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Biaya monitoring mengacu pada penelitian Ghofir (2011) yaitu sebesar Rp 10.000.000 sehingga dalam satu periode komitmen biaya sebesar Rp 150.000.000. Biaya verifikasi diasumsikan sama seperti biaya verifikasi skema perdagangan karbon sukarela voluntary gold standard yaitu 2.500 USD atau Rp 22.500.000 (APHI dan Cerindonesia 2011). Verifikasi dilakukan setiap jangka waktu lima tahun sehingga pengeluaran untuk verifikasi sebesar Rp 66.700.000.
44
Biaya untuk upah penerbitan dan pendaftaran sertifikat berbeda-beda setiap tahunnya bergantung dari jumlah sertifikat. Upah sertifikat diperoleh dengan mengalikan jumlah sertifikat dengan upah per sertifikat yaitu sebesar 0,3 USD per sertifikat. Upah pendaftaran diperoleh dengan mengalikan jumlah sertifikat dengan upah per sertifikat yaitu 0,05 USD per sertifikat. Jumlah sertifikat mencerminkan jumlah tonCO 2 setiap tahunnya, atau satu sertifikat setara dengan satu tonCO 2 . Upah penerbitan dan pendaftaran sertifikat berturut-turut sebesar Rp 663.735.600 dan Rp 110.622.600. Terlihat perbedaan biaya yang sangat besar antara perkiraan biaya yang dikeluarkan oleh Plan Vivo Foundation sebesar Rp 91,35 juta atau Rp 0,281 juta/ha dan perkiraan biaya pada penelitian ini sebesar Rp 1.737,3682 juta atau Rp 5.345.800/ha. Namun perkiraan biaya transaksi ini tidak sepenuhnya sesuai dengan aplikasi di lapangan. Tidak menutup kemungkinan biaya transaksi dari setiap proyek berbeda-beda dan dipengaruhi oleh besar dan luasnya proyek. Namun, Plan Vivo memastikan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan dari proyek tidak akan lebih dari 40% dari total nilai proyek karbon. Komponen biaya operasional hutan rakyat juga berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran proyek. Biaya operasional terdiri dari biaya pembangunan hutan, biaya pemeliharaan dan biaya pemanenan hutan rakyat. Dalam pemanenan kayu, petani tidak mengeluarkan biaya pemanenan sehingga pengeluaran hanya dilakukan pada kegiatan pembangunan hutan rakyat yaitu dari proyek GNRHL dan biaya pemeliharaan. Total biaya dalam skema perdagangan karbon yaitu sebesar Rp 14.892.500/ha yang merupakan penjumlahan biaya transaksi perdagangan karbon sebesar Rp 5.345.800/ha ditambah biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha dan biaya pemeliharaan sebesar Rp 9.546.700/ha.
5.7 Pendapatan dari Kegiatan Perdagangan Karbon Sukarela Pendapatan yang diperoleh dari perdagangan karbon sukarela standar Plan Vivo yaitu pendapatan yang diperoleh dari kredit karbon dengan tipe ex-ante credit atau pembayaran di awal proyek dalam bentuk sertifikat Plan Vivo. Untuk menghindari perhitungan ganda terhadap karbon yang diperjualbelikan, maka
45
setiap sertifikat yang dikeluarkan oleh Plan Vivo memiliki nomor seri unik yang dapat dilacak kepada setiap proyek dan produsen. Besar kecilnya pendapatan dari kredit karbon tergantung dari besaran atau luasan proyek dan jangka waktu kredit karbon yang disepakati antara peserta proyek dengan Plan Vivo Foundation (Kollmus et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011). Kredit karbon untuk proyek Plan Vivo yang sudah ada bervariasi tergantung dari kontrak penjualan proyek yang telah disepakati. Kredit karbon yang digunakan dalam penelitian ini dengan periode komitmen 15 tahun, sedangkan periode pengkreditan yang digunakan yaitu setiap tahun. Proyek karbon yang diperjualbelikan tidak ada batasan mengenai minimum dan maksimum dari ukuran karbon sehingga tidak ada batasan minimal mengenai luasan dari proyek. Namun, ukuran karbon yang diperdagangkan antara 10.000─100.000 tonCO 2 /tahun (Kollmuss et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011). Keseluruhan karbon yang ada dari lahan proyek yang diperoleh dari hasil perhitungan, tidak sepenuhnya dapat dijual. Sesuai Project Idea Note (PIN) Plan Vivo, penyangga risiko (Risk Buffer) yaitu 10%. Akan tetapi, penjualan hanya 70% dari karbon stok ex ante kredit karena akan mempertahankan 20% untuk pengukuran biomassa dari Permanen Sample Plot (PSP) yang akan menunjukan jumlah sebenarnya dari stok karbon yang diperkirakan. Setelah pengukuran biomassa dilakukan dan dapat menunjukan stok karbon yang tepat, kemudian 20% dari kredit yang ditahan tersebut dapat dikeluarkan (Stilma 2012). Skenario harga karbon yang digunakan dibuat skenario dengan harga jual, yaitu:10 USD/tonCO 2, 15 USD/tonCO 2, 20 USD/tonCO 2 . Pendapatan dari perdagangan karbon skema perdagangan sukarela standar Plan Vivo dapat dilihat dari Tabel 15.
46
Tabel 15 Pendapatan dari kredit karbon selama proyek perdagangan karbon Tahun proyek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total
Pendapatan (rupiah)/ha 15 USD/tonCO 2 2.540.742 3.657.711 4.053.614 4.454.003 4.858.878 5.267.492 5.679.845 6.095.562 6.514.643 6.936.715 7.361.778 7.789.832 8.220.877 8.654.165 9.090.069 91.175.926
10 USD/tonCO 2 1.693.828 2.438.474 2.702.409 2.969.335 3.239.252 3.511.662 3.786.563 4.063.708 4.343.095 4.624.477 4.907.852 5.193.222 5.480.585 5.769.443 6.060.046 60.783.951
20 USD/tonCO 2 3.387.655 4.876.948 5.404.818 5.938.671 6.478.505 7.023.323 7.573.126 8.127.415 8.686.191 9.248.954 9.815.705 10.386.443 10.961.169 11.538.886 12.120.092 121.567.902
Tabel 16 menyajikan pendapatan, biaya dan keuntungan dari hutan rakyat yang diskemakan mengikuti perdagangan karbon sukarela standar Plan Vivo. Tabel 16 Pendapatan, biaya dan keuntungan dari perdagangan karbon Pendapatan/ha Biaya/ha Keuntungan/ha
Karbon (rupiah) 15 USD/tonCO 2 91.175.900 14.892.500 76.283.400
10 USD/tonCO 2 60.784.000 14.892.500 45.891.500
20 USD/tonCO 2 121.567.900 14.892.500 106.675.400
Tabel 16 menunjukkan bahwa keuntungan mengikuti skema perdagangan karbon dengan harga karbon 10 USD, 15 USD dan 20 USD mengalami keuntungan berturut-turut sebesar Rp 45.891.500/ha; Rp 76.283.400/ha dan Rp 106.675.400/ha
dalam
15
tahun
atau
Rp
3.059.400/ha/tahun;
Rp
5.085.600/ha/tahun dan Rp 7.111.700/ha/tahun. Keuntungan ini kecil disebabkan harga penjualan kredit karbon sendiri kecil dan biaya transaksi dalam perdagangan karbon yang mahal. Selain itu, keuntungan ini belum ditambah dengan keuntungan dari kayu yaitu sebesar Rp 672.400.600/ha. Keuntungan karbon dibagi antara pemerintah, masyarakat dan pengembang (koordinator) proyek. Masing masing distribusi tersebut, yaitu: 10% pemerintah, 70% masyarakat dan 20% pengembang (Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009).
47
Tabel 17 Distribusi keuntungan perdagangan karbon Harga karbon (tonCO 2 ) 10 USD 15 USD 20 USD
Pendapatan (Rupiah) Petani 70% 32.124.100 53.398.400 74.672.800
Pemerintah 10% 4.589.200 7.628.300 10.667.500
Pengembang 20% 9.178.300 15.256.700 21.335.100
Proyek GNRHL yang berasal dari pemerintah, maka skema dari perdagangan karbon ini sebagai koordinator proyek yaitu pemerintah, sehingga pendapatan pemerintah sebesar 30% berasal dari distribusi untuk pemerintah sendiri sebesar 10% dan distribusi untuk pengembang proyek sebesar 20%. Menurut Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 untuk bagian pemerintah itu sendiri dibagi secara proporsional, yaitu: pemerintah pusat 40%, pemerintah provinsi 20% dan pemerintah kabupaten 40%. Tabel 18 Distribusi pemerintah keuntungan perdagangan karbon Harga karbon (tonCO 2 ) 10 USD 15 USD 20 USD
Pusat 40% 1.835.700 3.051.300 4.267.000
Pendapatan pemerintah (Rupiah) Provinsi 20% Kabupaten 40% 917.840 1.835.700 1.525.660 3.051.300 2.133.500 4.267.000
Pendapatan ini tidak menutup kemungkinan akan bertambah karena menurut Plan Vivo (2008); Kollmuss et al. (2008) diacu dalam Antoko (2011) untuk menghindari kebocoran karbon (leakage) pada level proyek maka perlu dipastikan bahwa petani (producers) memiliki cukup lahan untuk bertani dan menanam pohon. Selain itu, koordinator proyek juga dapat menambahkan kelompok target atau produsen yaitu petani sehingga dengan penambahan jumlah produsen dan penambahan dengan penanaman akan menambah jumlah ton karbon yang dihasilkan setiap tahunnya. Metode dalam pengukuran karbon juga sangat berpengaruh untuk besar kecilnya serapan karbon, seperti tergantung dari persamaan alometrik yang dipilih.
5.8 Peluang Hutan Rakyat dalam Skema Perdagangan Karbon Sukarela Menurut Permenhut Nomor: P.20/Menhut-II/2012, penyelenggaraan karbon hutan dapat dilaksanakan pada hutan negara dan hutan rakyat. Hutan rakyat berpotensi untuk memperoleh pendapatan dari perdagangan karbon baik secara compliant market maupun voluntary market.
48
Compliant market yang ada di Indonesia yaitu CDM dan mekanisme penurunan emisi REDD yang pengaturannya baru akan dibahas setelah periode komitmen CDM berakhir di tahun 2012. Dari perkiraan biaya baik CDM maupun REDD, terlihat bahwa kedua skema mandatory ini mengeluarkan biaya sangat besar. Selain itu, kegiatan dan tahapan untuk proyek skema ini sangat ketat dan rumit tidak seperti perdagangan karbon sukarela yang pengaturannya bergantung oleh masing-masing standar. Perdagangan karbon sukarela dikembangkan bukan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca negara maju yang disepakati dalam protokol kyoto, tetapi merupakan target penurunan emisi yang dibuat oleh organisasi diluar aturan pemerintah secara sukarela. Selain itu, voluntary market memiliki proses validasi dan verifikasi tersendiri dan tidak ada kewajiban untuk mendapatkan approval dari host party atau negara tempat pelaksanaan proyek (APHI dan Cerindonesia 2011). Salah satu standar skema perdagangan karbon sukarela adalah standar Plan Vivo. Plan Vivo merupakan proyek skala kecil di hutan adat, hutan rakyat maupun hutan negara yang masyarakat memiliki hak untuk mengelola dan fokus kepada promosi pengembangan berkelanjutan serta perbaikan terhadap kehidupan masyarakat sekitar dan ekosistemnya. Peserta dari proyek Plan Vivo yaitu produsen dan masyarakat skala kecil di negara berkembang (Plan Vivo 2008). Luasan hutan rakyat yang ada di Indonesia sesuai dengan standar Plan Vivo karena tidak ada ketentuan minimal dari ukuran transaksi karbon. Proyek Plan Vivo yang saat ini telah berjalan untuk lahan yang terkecil yaitu proyek Plan Vivo Emiti Nibwo Buora, Tanzania seluas 130 ha dan Limay Community carbon project, Nicaragua seluas 155 ha, sedangkan lahan hutan rakyat jati dalam penelitian ini yaitu seluas 325 ha. Persyaratan dan ketentuan yang harus diperhatikan dalam perdagangan karbon sukarela skema Plan Vivo antara lain yaitu pelaku proyek, status lahan dan persyaratan proyek. Semakin sesuai lahan dengan standar Plan Vivo maka semakin berpeluang lahan tersebut untuk diterima mengikuti proyek Plan Vivo. Selain itu dengan semakin memenuhinya persyaratan yang ada di standar, maka akan semakin mahal juga nilai jual dari harga karbon di lahan tersebut.
49
Pelaku proyek Plan Vivo terdiri dari dua pelaku utama yaitu koordinator proyek dan produsen. Pelaku proyek merupakan organisasi non pemerintah atau lembaga pendanaan independen atau not for profit companies (NFPCs) yang dibangun sengaja untuk proyek Plan Vivo, sedangkan produsen merupakan petani yang menjadi pemilik dan pengelola hutan rakyat (Plan Vivo 2008). Petani di Desa Dlingo telah memiliki kelompok formal berupa kelompok tani sehingga dengan adanya kelompok tani ini strukturnya lebih terorganisir. Status hutan rakyat di Desa Dlingo merupakan lahan milik masyarakat yang dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat hak milik yang dapat menjadi jaminan tidak terjadi permasalahan lahan atau sengketa lahan dengan pihak lain. Persyaratan proyek menurut Plan Vivo yaitu dapat berupa aforestasi/reforestasi, agroforestri, restorasi hutan, atau pencegahan degradasi hutan. Hutan rakyat di Desa Dlingo ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kegiatan pencegahan dari degradasi hutan. Perdagangan karbon dapat berpeluang untuk menambah pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat. Namun, saat ini dengan biaya transaksi yang mahal dan harga karbon yang terlalu kecil belum dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan pendapatan hutan rakyat. Harga karbon tidak sebanding dengan upaya yang telah dilakukan untuk memelihara hutan rakyat yang membutuhkan jangka waktu yang panjang dan biaya transaksi yang sangat mahal. Hasil skema perdagangan karbon sukarela Plan Vivo ini walaupun menurut Plan Vivo Foundation sendiri besarnya biaya transaksi tidak lebih dari 40%, namun hasil yang didapatkan biaya transaksi sangat besar. Plan Vivo Foundation hanya memperhitungkan biaya resmi yang dikeluarkan untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation sendiri dan tidak mempertimbangkan biaya lainnya, walaupun dari segi ketentuan dan persyaratan telah terpenuhi, namun prosedur untuk mendapatkan sertifikat VER sangat kompleks dan menyulitkan bagi petani maupun pengembang proyek. Minimnya informasi dan keuntungan yang rendah dari hasil demontration activity yang telah ada, membuat skema tentang perdagangan karbon ini kurang diminati oleh petani maupun pengembang proyek. Minimnya pengetahuan dan informasi dari perdagangan karbon serta dari segi pendidikan yang masih rendah, kapasitas untuk perdagangan karbon di hutan
50
rakyat masih kurang. Selain itu, sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai petani sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengelola hutan rakyat masih kurang. Hal itu menyebabkan petani lebih memilih mengelola tanaman pertanian yang dapat menghasilkan pendapatan dalam jangka waktu pendek.