29
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pemanenan Hasil Hutan Kayu PT. Diamond Raya Timber Sistem pemanenan kayu di HPH PT. Diamond Raya Timber menggunakan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Berdasarkan penggunaan jenis tenaga, PT DRT membagi petak-petak tebang ke dalam dua sistem yaitu petak manual dan petak semi mekanis. Petak manual adalah blok tebang yang direncanakan dalam RKT dengan sistem produksi kayunya menggunakan tenaga manusia, meliputi penebangan, pembagian batang, dan penyaradan. Pada petak manual ini areal blok tebang seluas 100 ha dibagi ke dalam delapan sub petak dengan luas masing-masing 12,5 ha. Petak semi mekanis merupakan blok tebang yang direncanakan dalam RKT dengan sistem produksi kayunya menggunakan tenaga mesin (logfisher) yang digunakan hanya pada penyaradan. Petak semi mekanis dalam satu blok tebang dibagi ke dalam enam sub petak dengan ukuran luas masing-masing adalah 16,67 ha. Pemanenan hasil hutan kayu merupakan rangkaian kegiatan pengusahaan hutan yang bertujuan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dengan cara memindahkan kayu dari dalam hutan ke tempat pengolahan kayu. IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber melaksanakan sistem pemanenan yang menjamin agar kegiatan pemanenan kayu terlaksana dengan baik dan efektif berdasarkan prinsip kelestarian hutan dan kelestarian produksi. Berdasarkan penjelasan manajer produksi PT DRT, dalam pelaksanaannya pemanenan hutan dilakukan sesuai dengan tahapan pemanenan, yang meliputi Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), pembagian petak tebang, penandaan pohon (tree marking), penentuan Jatah Pohon Tebang (JPT), penebangan, checking tebangan, pengukuran dan pengujian kayu (scalling
and
grading),
bersih
petak,
pemuatan,
pengangkutan,
dan
pembongkaran, serta Change of Custody (CoC) atau lacak balak dan log control. Pada penelitian ini hanya membahas mengenai pembukaan wilayah hutan (yang meliputi TPn, jalan sarad, dan jalan angkut) serta penebangan. Kegiatan pembukaan wilayah hutan merupakan kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kepentingan pengusahaan hutan meliputi kegiatan
30
pembangunan jalan angkutan kayu, base camp, TPn, dan log pond. Kegiatan PWH terdiri atas beberapa langkah kegiatan yaitu perintisan jalan, tebang bayang matahari, pengadaan jari-jari, pemasangan besi sel, pengadaan rambu-rambu jalan, pemeliharaan jaringan jalan, bongkar pasang jalan as dan pembongkaran besi sel (PT DRT 2010). Tempat pengumpulan kayu (TPn) adalah bangunan hutan yang disediakan untuk mengumpulkan kayu-kayu hasil penebangan di petak tebang sebelum dimuat ke alat angkut. Pada hutan gambut, TPn hanya bersifat sementara, untuk itu diupayakan lahan yang terbuka akibat pembuatan TPn harus diminimalkan, maka setelah dilakukan penebangan dilakukan penanaman untuk mengembalikan fungsinya sebagai areal hutan produksi. Hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan TPn adalah minimal ada satu pohon berdiri yang ada di antara bangunan TPn, memastikan areal tersebut hanya untuk keperluan TPn, memastikan maksimal hanya ada 6 pelabuhan dalam 1 TPn, petak kerja menghadap ke rel, dan tidak menggunakan jenis kayu-kayu jenis komersil (PT DRT 2010) Jalan sarad adalah jalan hutan yang menghubungkan tunggak dengan TPn yang berada di dalam petak tebang areal hutan. Langkah-langkah kegiatan pembuatan jalan sarad yaitu perintisan jalan as, pembuatan jalan as, dan pembuatan jalan sarad. Jalan as adalah pondasi jalan sarad dengan bantalan yang menbujur menuju TPn berbentuk dua garis yang sejajar. Perintisan jalan dilakukan untuk mempermudah pembuatan jalan as. Pola jalan sarad yang dibuat adalah seperti sirip ikan. Jalan angkut adalah jalan yang meghubungkan TPn dengan tempat penimbunan kayu (TPK). Pada hutan gambut digunakan jalan rel dengan alat angkut yaitu 16 buah lori yang ditarik mengunakan lokomotif. Penebangan adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon-pohon tegakan yang berdiameter sama atau lebih besar dari diameter batas yang ditetapkan. Kegiatan ini dilakukan pada pohon-pohon jenis komersil di petak tebang pada periode RKT berlansung dengan tujuan menjamin agar kegiatan pemanenan kayu terlaksana dengan baik dan efektif berdasarkan prinsip kelestarian hutan. Operator
31
chainsaw harus menguasai teknik penebangan pohon sesuai dengan karakter pohon tersebut dalam pelaksanaan penebangan. Upaya pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan PWH yang dilakukan oleh PT DRT adalah penanaman pada areal terbuka yaitu di kiri kanan jalan dan pada areal sekitar sempadan sungai.
5.2 Keterbukaan Areal Kegiatan pemanenan akan menimbulkan keterbukaan areal, dalam hal ini meliputi penebangan pohon, pembuatan jalan sarad dan jalan seling, pembuatan TPn dan pembuatan jalan angkutan kayu. Pengukuran terhadap masing-masing luas tersebut berlokasi di tiga sub petak dengan pengerjaan menggunakan sistem manual dan tiga sub petak dengan pengerjaan menggunakan sistem mekanis.
Tabel 1 Rata-rata keterbukaan areal pada masing-masing lokasi Lokasi TPN Jalan sarad Penebangan
Manual Jumlah Semi Mekanis
TPN Jalan sarad Penebangan
Jumlah Jalan angkut Hutan primer Total
Rata-rata keterbukaan (m2/ha) 750,00 160,00 802,90 1712,90 327,96 51,03 1036,86 1415,85 600 0 3728,75
Rata-rata keterbukaan m2/pohon 50,18 60,99 -
% Keterbukaan 7,50 1,60 8,03 17,13 3,28 8,64 10,37 22,29 6,00 0,00
Tabel 1 menunjukkan luas areal yang terjadi akibat kegiatan pemanenan, meliputi areal penebangan, bekas jalan sarad, bekas TPn dan jalan angkut pada RKT 2010, 2011, dan 2012 di petak tebang manual dan mekanis. Keterbukaan areal total akibat pemanenan adalah 3.728,75 m2/ha dengan masing masing keterbukaan areal di petak manual 1.712,90 m2/ha, di petak semi mekanis 1.415,85 m2/ha, dan jalan angkut adalah 600 m2/ha. Rata-Rata keterbukaan areal paling tinggi terjadi di penebangan pada petak semi mekanis, yaitu 1.036,86 m2/ha dengan intensitas pohon ditebang 17 pohon, namun untuk satu pohon rata-rata keterbukaan sedang yaitu 60,99 m2.
32
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Enrico (1997) pada hutan rawa gambut yang menghasilkan keterbukaan akibat TPn 0,8 ha/blok tebang, jalan sarad 0,04-0,05 ha/blok tebang serta jalan angkut dan pemanenan itu sendiri 0,4-0,6 ha/ blok tebang. Keterbukaan total akibat pemanenan adalah 6.775,67 m2/blok tebang. Akan tetapi tidak dijelaskan pengukuran tersebut dilakukan pada pemanenan manual atau mekanis. Penelitian Kurniawan (2002) menyebutkan rata-rata keterbukaan yang ditimbulkan oleh penebangan adalah 1.679 m2/ha dengan intensitas tebang 29 pohon/ha atau 57,89 m2/pohon dan rata-rata keterbukaan akibat penyaradan adalah 571,68 m2/ha dengan rata-rata panjang jalan 329,05 m dan lebar 1,44 m. Pada hutan tropis Kalimantan (hutan bukan gambut), penelitian yang dikemukakan oleh Nasution (2009) menghasilkan luas terbuka akibat pembuatan TPn, jalan sarad, penebangan dan jalan angkut berturutturut adalah 0,12%; 17,72%; 196,85 m2/pohon dan 4,7%. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan nilai yang diperoleh dari hasil penelitian ini yang disebabkan oleh perbedaan kondisi hutan dan metode pengukuran yang berbeda pula. Semakin sedikit areal yang terbuka dengan produktivitas tertentu maka kegiatan pemanenan hutan kayu semakin baik untuk kelestarian hutan. Penggunaan logfisher pada petak semi mekanis menyebabkan keterbukaan areal lebih tinggi dari pada petak manual. Berdasarkan rasio keterbukaan areal pada petak manual dengan petak semi mekanis tanpa menggunakan logfisher, diperoleh luas keterbukaan pada petak manual 1,21 kali lebih luas daripada keterbukaan areal di petak semi mekanis, sedangkan jika menggunakan logfisher keterbukaan areal pada petak manual 0,71 kali dari luas keterbukaan petak semi mekanis. Penambahan luas keterbukaan areal oleh logfisher sebesar 1000 m2/ha atau sebesar 70,6%. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan logfisher dapat menyebabkan keterbukaan areal di petak semi mekanis meningkat.
5.3 Sifat Fisik Tanah Gambut Setelah Pemanenan Sampel dalam penelitian ini berjumlah 22 buah yang diambil dari areal yang terbuka dan hutan primer. Karakteristik tanah gambut dapat dilihat melalui analisis sifat fisika dan kimianya. Sifat fisik tanah yang diukur melalui contoh
33
tanah pada 22 titik pengambilan meliputi kadar air, bulk density dan porositas tanah gambut.
Tabel 2 Perubahan sifat fisik tanah akibat pemanenan Petak manual Sifat Fisik Tanah kadar air (%) Bulk density (g/cm3) Porositas (%)
TPN 755,30 0,12
Jalan sarad 784,79 0,12
Bekas tebangan 635,73 0,14
88,77
88,53
85,76
Petak semi mekanis Bekas tebangan 947,24 0,1
Jalan angkut
Hutan primer
858,58 0,11
Jalan sarad 746,41 0,12
741,13 0,12
684,3 0,14
89,42
88,02
90,45
88,24
86,43
TPN
Kadar air gambut sangat penting diketahui, salah satunya untuk merancang tata letak drainase yang efisien. Menurut Andriesse (1988) kadar air tanah gambut di pengaruhi oleh kematangan gambut, derajat dekomposisi, dan asal botanis bahan organik pembentuknya. Hasil analisis tanah gambut pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kadar air pada hutan primer 684,3% dan pada areal terbuka berkisar 635,73% - 947,24% dengan kedalaman satu meter. Nilai tersebut berada dalam kisaran nilai kadar air pada penelitian Noor (2001) yaitu antara 500% - 1000%. Penelitian Utama (2012) menyatakan bahwa kadar air pada ketebalan 5 m di hutan primer dan LOA (Logged Over Area) adalah 886,03% dan 884,18%. Nilai tersebut lebih tinggi dari pada hasil penelitian ini yaitu 684,3% pada hutan primer dan pada areal terbuka berkisar 635,73% - 947,24% dengan ketebalan 1 m. Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan juga dapat mempengaruhi jumlah kadar air tanahnya, selain itu metode pengambilan contoh tanah dan waktu pelaksanaan juga dapat menyebabkan perbedaan nilai tersebut. Porositas tanah merupakan persentase volume ruang tanah yang ditempati oleh udara dan air (Hardjowigeno 2007). Menurut Andriesse (1988) porositas tanah gambut tergantung pada nilai bulk density-nya. Semakin rendah bulk density-nya maka semakin tinggi nilai porositas tanahnya. Rata-rata porositas tanah pada lokasi penelitian berkisar antara 85,76% - 90,45% dimana nilai porositas pada hutan primer adalah 86,43%. Data ini didukung oleh penelitian Mardiana (2006) yang menyatakan nilai porositas tanah pada hutan alam gambut adalah 88,40%, nilai ini berada dalam kisaran hasil uji porositas tanah pada penelitian ini. Pada penelitian Boetler (1974) dalam Andriesse (1988)
34
menunjukkan bahwa gambut-gambut fibrik pada keadaan normal biasanya mempunyai porositas total 90% menurut volume, sedangkan bahan-bahan saprik biasanya mempunyai pori kurang dari 85%. Pada penelitian ini hanya areal yang terbuka di petak semi mekanis yang mencapai porositas 90,45%.
Perbedaan
tersebut disebabkan oleh metode, waktu dan lokasi penelitian yang berbeda. Bulk density atau bobot isi tanah adalah berat kering per unit volume tanah yang mencerminkan kemampuan tanah untuk dukungan struktural, air dan gerakan partikel terlarut serta aerasi tanah (Hardjowigeno 2007). Menurut Andriesse (1988) bulk density tergantung pada tingkat pemadatan gambut, komposisi botanis bahan organik, derajat dekomposisi, serta kandungan mineral dan kadar air sampel tanah. Bulk density pada areal terbuka berkisar 0,1 g/cm3 0,14 g/cm3 sedangkan pada hutan primer sebesar 0,14 g/cm3. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Andriesse (1988) yang menyebutkan bahwa kisaran bulk density hutan rawa gambut adalah 0,05 g/cm3 pada tanah yang belum matang (fibrik) hingga kurang dari 0,5 g/cm3 pada tanah gambut matang (saprik). Pada hutan rawa gambut di Indonesia bulk density untuk tanah fibrik kurang dari 0,1 g/cm3 dan lebih dari 0,2 g/cm3 untuk tanah saprik. Pada penelitian ini tidak terdapat tanah saprik, sehingga tidak diperoleh bulk density lebih besar dari 0,2 g/cm3. Berbeda dengan hutan rawa gambut di Serawak, Malaysia dengan bulk density berkisar 0,09 g/cm3 – 0,12 g/cm3. Nilai tersebut jauh lebih rendah daripada penelitian ini yaitu dengan kisaran 0,1 – 0,15 g/cm3. Secara keseluruhan nilai sifat fisik tanah gambut pada penelitian ini hampir sama di setiap lokasi pengambilan sampel tanah. Keterbukaan areal di lokasi penelitian tidak mempengaruhi nilai kadar air, bulk density, dan porositas tanah gambut.
5.4 Pertumbuhan Ramin Secara deskriptif hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi tempat tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan ramin secara alami. Pengamatan terhadap pertumbuhan semai ramin selama delapan minggu di beberapa lokasi dengan perbedaan kondisi lapangan menunjukkan bahwa ramin tumbuh baik pada areal terbuka bekas tebangan di petak semi mekanis. Lokasi tersebut merupakan
35
kondisi dengan luas keterbukaan areal yang sedang. Hasil pengukuran terhadap pertumbuhan ramin dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata pertumbuhan semai ramin selama delapan minggu Pertumbuhan Lokasi
Tinggi (cm)
Jumlah daun
Manual
TPN Jalan sarad Penebangan
5,07 6,67 4,10
0 1 1
Semi Mekanis
TPN Jalan sarad Penebangan
3,92 4,17 7,50
1 2 1
Jalan angkut
4,40
0
Hutan primer
3,07
0
Parameter pengukuran semai ramin adalah tinggi semai dan jumlah daunnya. Secara deskriptif hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi tempat tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan ramin secara alami. Tabel 3 menyatakan ramin tumbuh baik pada areal terbuka bekas penebangan di petak semi mekanis. Lokasi tersebut merupakan kondisi dengan luas keterbukaan areal yang sedang yaitu 60,99 m2 dengan rata-rata pertumbuhan ramin sebesar 7,50 cm dan satu penambahan jumlah daun, sedangkan pertumbuhan paling lambat berlokasi di hutan primer yaitu sebesar 3,07 cm dan rata-rata tidak ada daun yang bertambah. Nilai ini menunjukkan bahwa semai ramin merupakan tanaman semi toleran, artinya semai ramin tidak tumbuh maksimal pada kondisi di bawah naungan ataupun di tempat terlalu terbuka. Hasil penelitian Muin (2009) terhadap pertumbuhan ramin di tempat terbuka, agak terbuka dan di bawah naungan, menghasilkan data pertumbuhan tinggi berturut-turut adalah 17,96 cm, 20,88 cm dan 11,61 cm. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian ini yang menyatakan pertumbuhan tinggi ramin lebih cepat pada lokasi yang agak terbuka dan tumbuh lambat pada lokasi tertutup.
5.5 Suhu dan Kelembaban Keterbukaan areal dapat menyebabkan perubahan tutupan vegetasi sehingga terjadi perubahan terhadap intensitas cahaya matahari yang masuk dan sampai ke
36
lantai hutan. Salah satu faktor lingkungan mikro ini mempengaruhi suhu dan kelembaban serta perkembangan permudaan alam. Tabel 4 menunjukkan kisaran dan rata-rata suhu dan kelembaban pada masing-masing areal tebuka dan hutan primer.
Tabel 4 Rata-rata suhu dan kelembaban hutan rawa gambut akibat pemanenan Suhu (oC)
Lokasi Kisaran
Kelembaban (%)
Rata-rata
Kisaran
Petak manual
27,1 - 44,9
35,5
37 – 89
Ratarata 61
Petak semi mekanis
28,5 - 45,8
37,6
36 – 86
57
Jalan angkut
28,8 - 42,6
35,7
36 – 85
59
Hutan primer
32,5 - 42,2
35,5
37 – 73
58
Tabel 4 menunjukkan bahwa suhu tertinggi berlokasi di petak semi mekanis yaitu berkisar 28,50C - 45,80C dengan rata-rata 37,60C sedangkan kelembabannya berkisar 36% - 86% dengan rata-rata 57% yang merupakan nilai terendah dari pengukuran kelembaban beberapa lokasi pengukuran. Selain akibat pemanenan, suhu dan kelembaban di petak semi mekanis juga dipengaruhi oleh keterbukaan akibat jalan yang dilewati oleh alat berat (logfisher) yang mengakibatkan keterbukaan areal sangat tinggi. Nilai pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Enrico (1997), dengan pengukuran suhu dan kelembaban pada areal terbuka akibat penebangan, rumpang besar, dan areal terbuka yang menunjukkan suhu di atas permukaan tanah (suhu udara) berkisar antara 280C – 290C serta kelembaban 85,9% - 91,6%. Kegiatan pemanenan lainnya juga dapat menimbulkan rumpang besar bahkan terbuka yang menghasilkan suhu udara berkisar 300C - 330C dan kelembaban 76,1% - 62,1%. Perbedaan tersebut dipicu oleh penggunaan jenis alat dan waktu pengukuran yang berbeda jauh dengan penelitian ini.
5.6 Tinggi Muka Air (TMA) Tinggi muka air adalah ukuran jarak antara permukaan air terhadap permukaan tanah. Tabel 5 menunjukkan pengukuran tinggi muka air pada masingmasing lokasi penelitian.
37
Tabel 5 Rata-rata pengukuran Tinggi Muka Air (TMA)
Manual Semi Mekanis
Lokasi TPN Jalan sarad Penebangan TPN Jalan sarad Penebangan
Jalan angkut Hutan primer
TMA (cm) 13,33 11,18 8,13 19,43 14,43 14,34 12,94 14,88
Pada Tabel 5 lokasi pengamatan menghasilkan data rata-rata tinggi muka air gambut pada petak semi mekanis lebih tinggi dari petak manual dan jalan angkut. Pada TPn di petak semi mekanis diperoleh tinggi muka air sebesar 19,43 cm sedangkan pada hutan primer sebesar 14,88 cm . Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan permukaan tanah sebesar 4,55 cm, diperkirakan penurunan permukaan tanah tersebut terjadi akibat pemadatan tanah oleh alat berat logfisher dan tumpukkan kayu di TPn. Tinggi muka air terendah berlokasi di penebangan pada petak manual karena pada lokasi tersebut kondisi permukaan tanahnya lebih tinggi dari pada lokasi pengukuran lainnya.
5.7 Analisis Hubungan Keterbukaan Areal dengan Variabel yang Dipengaruhinya Analisis hubungan yang dipengaruhi oleh keterbukaan areal akibat pemanenan menggunakan software SAS 9.1. Peubah respon dalam analisis ini adalah pertumbuhan semai ramin, sifat fisik tanah, suhu dan kelembaban, serta tinggi muka air. Hasil analisis MANOVA dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 MANOVA (Multivariate Analysis of Variance) MANOVA Test Criteria and F Approximations for the Hypothesis of No Overall Perlakuan Effect H = Type III SSCP Matrix for Perlakuan E = Error SSCP Matrix S=7 M=0 N=2.5 Statistic Value F Value Num DF Den DF Pr > F Wilks' Lambda 0.00199931 1.67 56 43.007 0.0416 Pillai's Trace 3.41113963 1.54 56 91 0.0324 Hotelling-Lawley 14.55689108 1.57 56 11.565 0.2029 Trace Roy's Greatest Root 6.08450689 9.89 8 13 0.0002 NOTE: F Statistic for Roy's Greatest Root is an upper bound.
38
Hasil MANOVA keseluruhan respon di atas nilai peluang nyata (p-value) untuk statistik wilks’ Lambda bernilai 0,0416. Nilai ini lebih kecil dari 0,05 artinya keterbukaan lahan berpengaruh signifikan terhadap respon secara keseluruhan pada taraf 5%. Hal ini menunjukkan secara keseluruhan variabel dependent berpengaruh nyata terhadap keterbukaan areal.
5.8 Korelasi Hubungan Antar Variabel Korelasi hubungan antar variabel dilakukan dengan pendekatan eksploratif menggunakan biplot. Biplot adalah upaya membuat gambar di ruang berdimensi banyak menjadi gambar di ruang berdimensi dua. Biplot mampu memberikan informasi sebesar 70% dari seluruh informasi. Biplot hanya menjelaskan secara eksploratif tanpa mengetahui seberapa besar angka yang menunjukkan hubungan atau korelasi variabel-variabel tersebut. Varibel yang diuji meliputi keterbukaan areal (lahan), tinggi dan jumlah daun semai ramin, kadar air, bulk density dan porositas tanah gambut, tinggi muka air, serta suhu dan kelembaban gambut. Loading Plot of Tinggi semai ramin; ...; keterbukaan areal 0 0,50
Second Component
jumlah daun
suhu
Tinggi semai ramin
0,25 BD
0,00
0 KA Porositas k eterbuk aan areal
-0,25
TMA k elembaban
-0,50 -0,50
-0,25
0,00 First Component
0,25
0,50
Gambar 6 Korelasi antar dependent variable. Pada grafik biplot korelasi dilihat melalui ukuran sudut yang dibentuk oleh beberapa variabel. Sudut yang sangat lancip menjelaskan bahwa kedua variabel tersebit berkorelasi positif seperti hubungan tinggi dengan jumlah daun, atau keterbukaan areal dengan tinggi muka air. Sudut yang sangat tumpul menggambarkan korelasi secara negatif, seperti hubungan suhu dengan
39
kelembaban dan kadar air dengan bulk density. Semakin membentuk sudut 900 kedua variabel maka hubungan korelasinya semakin lemah bahkan tidak berkorelasi. Pada gambar di atas dijelaskan melalui hubungan tinggi dengan sifat fisik tanah (kadar air (KA), bulk density (BD), dan porositas).
5.9 Analisis Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Semai Ramin Pertumbuhan ramin bervariasi pada lokasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Pada kondisi tempat tumbuh tertentu kondisi lingkungan dapat mendukung pertumbuhan ramin, akan tetapi pada penelitian ini terdapat variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan semai ramin. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software Minitab 15. Berdasarkan nilai analisis regresi diperoleh nilai VIF beberapa variabel lebih besar dari 10, hal ini mengindikasikan bahwa adanya multikolinieritas artinya beberapa variabel saling berkorelasi, sehingga perlu dilakukan Regresi Komponen Utama (RKU). Pada RKU dipilih beberapa komponen dari seluruh variabel yang mampu menjelaskan keragaman lebih besar dari 70%. Pada analisis ini terdapat dua komponen yang mampu menjelaskan keragaman sebesar 80,2% sehingga digunakan dua komponen utama W 1 dan W 2 . Penentuan komponen ini juga dijelaskan oleh grafik scree plot yang mengacu pada garis linier yang mulai landai. Hasil analisis menunjukkan nilai keagaman (R-sq) yang mampu dijelaskan oleh komponen terpilih (W 1 dan W 2 ) adalah 1,3%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor diluar model. Model regresi pada RKU tersebut adalah tinggi semai ramin (Y)= 5,03 + 0.033w 1 + 0,212w 2 . Tabel 7 Analisis regresi komponen utama Sumber
Derajat
Jumlah Kuadrat
Kuadrat
keragaman
Bebas (DB)
(SS)
tengah (MS)
Regresi
2
1,535
0,768
Sisa
19
116,859
6,150
Total
21
118,394
F hitung 0,12
P 0,883
40
Untuk mengetahui pengaruh komponen utama (W 1 dan W 2 ) terhadap pertumbuhan tinggi semai ramin (Y), maka diberlakukan pengujian hipotesis dengan memperhatikan nilai F hitung terima H 0 karena nilai F hitung pada taraf nyata 5% diperoleh sebesar 0,12 sedangkan F tabel 3,522 dengan demikian F hitung < F tabel , artinya secara statistik belum dapat dibuktikan bahwa model tersebut bisa menjelaskan atau memprediksi keragaman tinggi semai ramin, artinya semua variabel bebas tidak berpengaruh terhadap nilai variabel tak bebas (Y). Kriteria keputusan dapat menggunakan angka probabilitas (p-value) yang diperoleh dari analisis RKU kemudian dibandingkan dengan taraf nyata pengujian yang digunakan (α=5%). Nilai p yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata 5%, maka terima H 0 artinya secara simultan komponen utama tidak berpengaruh nyata terhadap Y. Model persamaan regresi yang di peroleh adalah Y= 6.42 + 0.0885 X 1 0.0244 X 2 + 0.042 X 3 - 0.0004 X 4 + 3.3911 X 5 – 0.0384 X 6 Keterangan: Y
: tinggi (cm)
X 1 : suhu (0C) X 2 : kelembaban (%) X 3 : kedalaman (m) X 4 : kadar air (%) X 5 : bobot isi (gram/cm3) X 6 : porositas (%)