115
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian yaitu: (1) hasil identifikasi kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah, (2) hasil identifikasi kondisi IG yang ada di Indonesia dalam hal ketersediaan dan kualitasnya untuk penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB, (3) hasil evaluasi penggunaan IG dalam proses dan luaran penetapan batas daerah, (4) hasil analisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas daerah. Selain itu sebagai tindaklanjut dari hasil penelitian diuraikan rumusan penguatan peran IG dalam penetapan dan penegasan batas daerah sehubungan terbitnya UU Pemerintahan Daerah No.23 tahun 2014 sebagai pengganti UU No.32 tahun 2004.
V.1. Identifikasi kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah di Indonesia Penetapan dan penegasan batas daerah pada dasarnya merupakan bagian dari proses pembentukan DOB, sehingga kerangka kerja pembentukan DOB yang diatur dalam PP No.129 tahun 2000, PP No.78 tahun 2007 dan Permendagri No.1 tahun 2006 berpengaruh terhadap proses dan hasil tahapan penetapan dan penegasan batas daerah termasuk penggunaan dan hasil IG. Berikut diuraikan hasil identifikasi kerangka kerja PP. No.129 tahun 2000, PP. No.78 tahun 2007 dan Permendagri No.1 tahun 2006.
V.1.1. Kerangka kerja penetapan batas daerah merujuk PP No.129 tahun 2000 Regulasi persyaratan pembentukan DOB yang digunakan pada periode tahun 2000 sampai tahun 2007 adalah PP. No.129 tahun 2000. Syarat-syarat pembentukan DOB diatur pada Bab III Pasal 3. Dalam pasal tersebut, Daerah (provinsi, kabupaten/kota) dibentuk dengan syarat-syarat sebagai berikut: (a)
116
kemampuan ekonomi, (b) potensi daerah, (c) sosial budaya, (d) sosial politik, (e) jumlah penduduk, (f) luas daerah, (g) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya OTDA. Berdasar tujuh syarat pembentukan daerah pada PP tersebut, hanya ada satu syarat yang terkait aspek IG yaitu luas daerah. Dalam pasal 9 dinyatakan bahwa luas daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu daerah. Dalam penjelasan pasal 9 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan luas tertentu suatu Daerah adalah besaranluas suatu Daerah yang telah memenuhi syarat sesuai dengan pengukurandan penilaian pembentukan Daerah yang diatur dalam PP tersebut. Mengacu pada pasal-pasal dalam PP No.129 tahun 2000, kerangka kerja pembentukan DOB menurut PP tersebut dapat digambarkan dalam suatu diagram seperti disajikan pada Gambar 5.1. Pada diagram tersebut, kerja yang bersifat profesional terdapat pada kegiatan penelitian awal, tim observasi dan penyusunan bahan rekomendasi serta tim teknis untuk penelitian lanjutan (blok warna kuning). Kotak-kotak kegiatan lain merupakan kegiatan yang bersifat politis. Bila dicermati lebih jauh di dalam pasal-pasal maupun penjelasan PP No.129 tahun 2000, dalam tiga kotak kegiatan blok warna kuning, kerja yang bersifat profesional yang menyangkut IG tidak secara eksplisit ditemukan. Dalam PP No.129 tahun 2000 tidak secara tertulis menyebutkan penggunaan peta dasar dalam proses pembentukan DOB termasuk untuk penetapan batas daerah.Hal ini juga diperkuat dari hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu pejabat di Sub Direktorat Penataam Wilayah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri yang menyatakan bahwa (Endarto, 2013): “ ...pada pembentukan DOB yang didasarkan pada PP No.129 tahun 2000 dalam konteks batas wilayah memang tidak diperhatikan tentang peta baik sebagai pertimbangan maupun proses pembentukan daerah dan peta tidak dianggap penting. Disamping itu karena desakan yang bersifat politik lebih dominan maka yang penting DOB terbentuk dulu, masalah batas wilayah yang pasti diselesaikan nanti. ....”
117
DPRD Prov dan DPRD Kab/kota
Ada kemauan politik dari Pemda dan Masyarakat
Usulan pembentukan DOB melalui Gubernur
Penelitian awal Membentuk tim observasi dan menyusun bahan rekomendasi
Keputusan DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota
Pemerintah c.q. Mendagri
Ketua DPOD
Tim teknis sekretariat DPOD untuk penelitian lanjutan
Saran dan pendapat tertulis anggota DPOD
Rapat anggota DPOD
Ditolak
Diterima Mendagri selaku ketua DPOD
Usulan pembentukan DOB dan RUUPD Presiden
Tidak disetujui Disetujui
Tidak disetujui UUPD
Persetujuan Presiden
Disetujui
DPR
Persetujuan DPR
Gambar 5.1. Kerangka kerja pembentukan daerah menurut PP No.129 tahun 2000
118
Mengacu kepada kerangka kerja pembentukan DOB seperti Gambar 5.1. dan pasal-pasal dalam PP No.129 tahun 2000 yang telah diuraikan, dapat diidentifikasi hal-hal sebagai berikut: 1) Isi PP No.129 tahun 2000, yang dalamnya terdapat tahapan alokasi dan penetapan batas daerah yang dibuat oleh politisi, tidak mengakomodasi kebutuhan IG hasil kerja profesional geospasial, 2) Dalam proses penetapan batas daerah, hubungan dan kerjasama antara kegiatan yang bersifat politis dengan kegiatan yang bersifat profesional tidak proporsional. Kegiatan yang bersifat politis lebih dominan dibandingkan kegiatan yang bersifat profesional geospasial (yang menyiapkan dan menghasilkan IG), 3) Alokasi dan penetapan adalah tugas politisi tetapi tidak didukung IG yang memadai. Kegiatan penetapan batas yang tahapannya adalah memilih letak dan mendefinisikan batas tidak dilakukan secara kartometrik
oleh
profesional
geospasial.Penetapan
batas
daerah
dihasilkan oleh politisi, tetapi di hasil-hasil penetapan batas tidak melibatkan IG yang merupakan kerja yang dilakukan oleh profesional geospasial. Menggunakan tolok ukur model kerangka kerja boundary making Jones (dalam Srebro dan Shoshany, 2013) seperti telah dijelaskan dalam bab landasan teori, kerangka kerja penetapan batas daerah di Indonesia yang dilakukan dengan dasar PP No.129 tahun 2000, dapat ditafsirkan sebagai kerangka kerja yang bersifat non-liner karena pada kerangka kerja tersebut tidak mengakomodasi peran IG secara proporsional sebagai hasil kerja profesi geospasial.
V.1.2. Kerangka kerja penetapan batas daerah merujuk PP No.78 tahun 2007 Setelah UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004, maka PP. No.129 tahun 2000 juga diganti dengan PP No.78 tahun 2007. Pada PP tersebut, syarat pembentukan daerah yang terkait IG adalah termasuk dalam syarat fisik kewilayahan yang diatur dalam Pasal 7, 8, 9
119
dan 10 beserta penjelasannya. Secara ringkas, syarat fisik kewilayahan dirangkum sebagai berikut: 1) Syarat fisik kewilayahan antara lain meliputi cakupan wilayah, 2) Dalam syarat cakupan wilayah ditentukan sebagai berikut: (a) untuk pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota; (b)untuk pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan (c) untuk pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan, 3) Cakupan wilayah pembentukan DOB digambarkan dalam peta wilayah calon DOB. Peta wilayah calon DOB harus dibuat sesuai kaidah pemetaan dari peta dasar nasional (RBI atau topografi) yang dalam pembuatannya harus difasilitasi oleh lembaga teknis (Bakosurtanal atau Dinas Topografi TNI-AD untuk peta wilayah daratan dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk peta wilayah kepulauan) dan dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri, 4) Peta
wilayahDOB
provinsi
dilengkapi
dengan
daftar
nama
kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi, 5) Peta wilayah DOB kabupaten/kota dilengkapi dengan daftar nama kecamatan dan desa/kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota serta garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/ kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan di kabupaten/ kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabupaten/kota, 6) Skala peta wilayah untuk pembentukan provinsi dibuat antara 1:250.000
sampai dengan 1:500.000, skala peta wilayah pembentukan kabupaten antara 1:100.000 sampai dengan 1:250.000 danskala peta wilayah untuk pembentukan kota antara 1:25.000 sampai dengan 1:50.000.
120
Kerangka kerja pembentukan DOB kabupaten/kota menurut PP No.78 tahun 2007 disajikan pada Gambar 5.2. Pada gambar tersebut, kerangka kerja yang bersifat profesional (kotak kuning) terutama yang terkait IG sudah mendapat porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan kerangka kerja pada PP No.129 tahun 2000, yaitu dalam hal: 1) Menyiapkan peta wilayah DOB. Peta wilayah dibuat sesuai kaidah pemetaan dari peta dasar nasional (RBI atau topografi) yang difasilitasi oleh lembaga teknis (Bakosurtanal atau Dinas Topografi TNI-AD untuk peta wilayah daratan dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk peta wilayah kepulauan) dan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri, 2) Menyiapkan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan (toponim) yang menjadi cakupan calon provinsi pada peta wilayahDOB provinsi, 3) Menyiapkangaris batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi (toponim), 4) Menyiapkan daftar nama kecamatan dan desa/kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota (toponim) pada peta wilayah DOB kabupaten/kota, 5) Menyiapkan garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan di kabupaten/ kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabupaten/kota (toponim).
121
Aspirasi masyarakat (keputusan BPD)
DPRD Kab/Kota Ditolak
Bupati/Walikota
Ditolak
Keputusan DPRD Kab/Kota
Kajian Daerah Setuju Setuju Dok.Aspirasi masyarakat
1)
Keputusan Bupati/ Walikota
2)
Keputusan DPRD Kab/Kota
Hasil kajian daerah
3)
4)
Setuju 5) Peta wilayah calon kab/kota
Gubernur
Keputusan persetujuan DPRD Provinsi
6) Keputusan Gubernur 7) Keputusan DPRD Provinsi
Mendagri Membentuk tim untuk melakukan penelitian dan bahan rekomendasi
Presiden
DPRD Provinsi
Sidang DPOD
Saran dan pertimbangan
Tim teknis DPOD melakukan klarifikasi dan penelitian
Mendagri menyiapkan RUUPD + Peta wilayah DOB
DPR
UUPD + Peta wilayah DOB Peresmian DOB oleh Pemerintah + penyerahan peta wilayah DOB Gambar 5.2. Kerangka kerja pembentukan daerah kabupaten/kota menurut PP No.78 tahun 2007
122
Berdasar persyaratan pembentukan daerah pada PP. No.78 tahun 2007 terlihat bahwa IG sudah difahami arti pentingnya dalam tahap penetapan batas daerah pada proses pembentukan DOB. Hal ini diperkuat dari penjelasan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Penataan Wilayah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah pada saat diwawancara yang menyatakan sebagai berikut (Endarto, 2013): “.... setelah PP. No.78 tahun 2007, sejak awal dalam proses pembuatan undang-undang pembentukan daerah, peta dasar sudah menjadi persyaratan. Peta wilayah daerah yang diusulkan dibuat dengan dasar peta RBI dengan batas-batasnya harus mendapat persetujuan dan legalitas oleh kabupaten atau provinsi yang bersebelahan dan secara teknis difasilitasi oleh BIG (Geospasial). Peta wilayah yang diajukan harus sudah mendapat persetujuan BIG “. Mengacu kepada kerangka kerja pembentukan DOB dan pasal-pasal dalam PP No.78 tahun 2007, dapat diidentifikasi hal-hal sebagai berikut: 1) Isi PP No.78 tahun 2007 yang dibuat oleh politisi sudah mulai mengakomodasi kebutuhan IGhasil kerja profesional geospasial dalam persyaratan pembentukan DOB, 2) Proses penetapan batas sudah menggunakan peta dasar dan hasilnya berupa peta wilayah yang dibuat oleh profesional geospasial dan harus dikonsultasikan dan dilegalisir oleh Bakosurtanal. Walaupun demikian, kegiatan penetapan batas yang tahapannya adalah memilih letak dan mendefinisikan batas tidak dilakukan secara kartometrik oleh profesional pemetaan. Koordinat titik-titik batas tidak dicantumkan dalam peta wilayah DOB. Keterlibatan Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal hanya sebatas menggambarkan garis batas hasil kesepakatan di peta dasar sehingga diperoleh peta wilayah usulan DOB yang sudah sesuai dengan spesifikasi teknis peta wilayah DOB yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal (Khafid, 2013), 3) Kerangka kerja pembentukan DOB yang termasuk kegiatan penetapan batas daerah masih lebih didominasi kegiatan yang bersifat politis,
123
walaupun kegiatan yang bersifat profesional terutama geospasial sudah cukup diakomodasi. Oleh sebab itu, kerangka kerja penetapan batas daerah di Indonesia yang merujuk padakerangka kerja pembentukan DOB pada PP No.78 tahun 2007,masih dikategorikan sebagai kerangka kerja yang bersifat non-linear.
V.1.3. Kerangka kerja penegasan batas daerah di Indonesia pada era OTDA Penegasan batas daerah di Indonesia pada era OTDA secara efektif dimulai tahun 2002 (Kemendagri, 2012). Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri yang diberi mandat untuk melaksanakan penegasan batas daerah, mengeluarkan suatu regulasi yang dipakai sebagai pedoman penegasan batas daerah. Awalnya pedoman tersebut berupa Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. SE Mendagri No.126/2742/SJ tanggal 27 November 2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah tetapi kemudian diganti dengan Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011, penegasan batas daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri menggunakan pedoman Permendagri No.1 tahun 2006 (Santoso, 2013). Pada tahun 2012 Permendagri No.1 tahun 2006 diganti dengan Permendagri No.76 tahun 2012. Sesuai dengan fokus penelitian, diuraikan hasil identifikasi kerangka kerja penegasan batas daerah menurut Permendagri No.1 tahun 2006. Selain itu dibahas hasil tinjauan terhadap kerangka kerja Permendagri No.76 tahun 2012.
1. Kerangka kerja penegasan batas daerah menurut Permendagri No.1 tahun 2006 Secara prinsip, tahapan penegasan batas daerah menurut Peremendagri No.1 tahun 2006 terdiri atas 5 (lima)
kegiatan yaitu: (1) Penelitian dokumen,
(2)Pelacakan batas, (3) Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, (4) Pemasangan pilar batas, (5) Pembuatan peta batas. Secara lebih rinci, kerangka
124
kerja penegasan batas daerah antar dua Kabupaten/Kota
merujuk kepada
Permendagri No.1 tahun 2006 disajikan pada diagram di Gambar 5.3. Dalam Permendagri No.1 tahun 2006 disebutkan bahwa tahapan awal kegiatan penegasan batas daerah dimulai dengan pembentukan Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD) yang ditetapkan dengankeputusan kepala daerah masingmasing.Tim ini antara lain terdiri atas unsur-unsur pemerintah daerah, instansi terkait, tokoh masyarakat dan perguruan tinggi.Masing-masing TPBD melakukan inventarisasi dasar hukum tertulis maupun sumber hukum lain yang berkaitan dengan batas daerah yang bersangkutan, seperti peta dan perjanjian yang pernah dibuat sebelumnya. TPBD melakukan kajian bersama terhadap sumber-sumber hukum yang ada. Jika tidak ada sumber hukum yang disepakati, maka tim tersebut bermusyawarah untuk membuat kesepakatan baru dalam menentukan batas daerah. TPBDmembentuk tim teknis yang ditugasi melakukan kegiatan lapangan,menentukan garis batas sementara di atas peta yang disepakati, penyiapan formulir-formulir dan peta kerja, serta penentuan koordinat pilar batas di atas peta kerja. Sumber hukum penegasan batas daerah
adalah: (a) dokumen-dokumen
batas yang mungkin sudah pernah ada seperti staatsblad, nota dari residen zaman Belanda ataupun peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya seperti undang-undang pembentukan daerah, atau kesepakatan-kesepakatan yang pernah ada termasuk peta-peta kesepakatan mengenai batas wilayah, (b) peta batas daerah yang merupakan lampiran undang-undang pembentukan daerah, peta minit (minuteplan), peta topografi/rupabumi atau peta-peta lain yang memuat tentang batas daerah yang bersangkutan, (c) kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan yang dituangkan dalam dokumen kesepakatan penentuan batas daerah. Ketentuan di dalam Permendagri No.1 tahun 2006, dapat ditafsirkan bahwa tiap daerah diperlakukan sebagai para pihak seperti pada penegasan batas wilayah antar negara yang berfungsi sebagai batas kedaulatan. Bila merujuk kepada UU No.32 tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU No.23 tahun 2014, batas daerah berfungsi sebagai batas kewenangan pengelolaan wilayah daerah dalam rangka
otonomi
daerah.
125
BUPATI/ WALIKOTA A
TPBD Kabupaten/ Kota A
TPBD Kabupaten/ Kota B
BUPATI/ WALIKOTA B
PENELITIAN DOKUMEN
R E D E L I M I T A S I
Dokumen-dokumen batas yang pernah ada seperti: Staatsblad, nota dari residen, UUPD,atau kesepakatan-kesepakatan yang pernah ada termasuk peta-peta kesepakatan mengenai batas wilayah, peta minit (Minuteplan), peta topografi/rupabumi atau peta-peta lain yang memuat tentang batas daerah yang bersangkutan. Kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan yang dituangkan dalam dokumen kesepakatan.
PEMBUATAN PETA DASAR
DELINIASI GARIS BATAS SECARA KARTOMETRIK
PETA GARIS BATAS SEMENTARA
PELACAKAN BATAS DI LAPANGAN P E N E G A S A N B A T A S
B e r i t a a c a r a k e s e p a k a t a n
PEMASANGAN PILAR BATAS
PENGUKURAN DAN PENETUAN POSISI PILAR BATAS PEMBUATAN PETA BATAS
LAPORAN PENEGASAN BATAS
Verifi kasi oleh TPBD pusat
PERMENDAGRI TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH
Gambar 5.3. Kerangka kerja penegasan batas daerah menurut Permendagri No.1 tahun 2006
126
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajibandaerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiriUrusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakatsetempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 butir 6 UU No.23 tahun 2014). Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 13 UU No.23 tahun 2014 disebutkan bahwa wilayah administratif adalah wilayah kerja perangkat Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai wakilPemerintah Pusat untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusatdi Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kotadalam melaksanakan urusan pemerintahan umum diDaerah. Batas daerah di Indonesia bukan merupakan batas kedaulatan. Oleh sebab itu penegasan batas daerah seharusnya menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah Pusat. Hal ini juga sesuai dengan yang diamanatkan dalam setiap UUPD bahwa penegasan batas daerah DOB secara pasti dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Pemerintah Pusat). Dengan demikian pembentukan TPBD oleh masing-masing Pemerintah Daerah yang diatur dalam Permendagri No.1 tahun 2006 menjadi tidak relevan bila dikaitkan dengan UU No.32 tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU No.23 tahun 2004, serta tidak relvan dengan amanat UUPD. Selain itu, TPBD juga mempunyai tugas melakukan penelitian dokumen dan perundingan untuk mencapai kesepakatan batas daerah. Hal ini dapat ditafsirkan seolah-olah ada tahapan penetapan ulang atau re-delimitasi karena penetapan batas seharusnya sudah dilakukan pada saat pembentukan DOB. Proses redelimitasi ini sering memerlukan waktu lama dan berlarut-larut. Kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab lambatnya proses penegasan batas daerah di Indonesia. Data di Kemendagri menyebutkan bahwa selama 10 tahun (tahun 2002 sampai dengan tahun 2102) baru dapat ditegaskan 189 segmen batas daerah (127 Permendgri) dari jumlah seluruh segmen batas sebanyak 966 segmen (Subowo, 2012).
127
Merujuk kepada model kerangka kerja boundary making Jones seperti dikemukakan oleh Srebro dan Shoshany (2013), kewenangan re-delimitasi bukan merupakan kewenangan tim demarkator (profesional) tetapi kewenangan politisi, sehingga para demarkator (dalam hal ini Tim Penegasan Batas Daerah) seharusnya hanya diberi kewenangan untuk melakukan pekerjaan yang bersifat profesional survei pemetaan meliputi: pelacakan, pengukuran dan penentuan posisi titik batas secara geodetis serta pemetaan batas. Kegiatan penyesuaian akhir (final adjusment) batas hasil penetapan sesuai kondisi realitas lapangan dapat dilakukan tetapi bukan re-delimitasi. Dalam Permendagri No.1 tahun 2006 seharusnya tidak mencantumkan ketentuan tentang tahapan penelitian dokumen dan perundingan untuk mencapai kesepakatan. Proses penelitian dokumen terkait sejarah dan perundingan untuk mencapai kesepakatan seharusnya dilakukan pada saat tahap penetapan batas daerah pada proses peyusunan UUPD dalam rangka pembentukan DOB, bukan setelah DOB terbetuk. Adanya proses re-delimitasi pada tahap penegasan batas daerah merupakan indikasi bahwa kerangka kerja penegasan batas daerah adalah bersifat non-linear, karena kerangka kerjalinear menurut Jones (dalam Donaldson dan Williams, 2008) adalah tahapan yang berkesinambungan (sistematik). Pada tahap penegasan seharusnya langsung dilakukan kegiatan pelacakan batas kemudian pengukuran penentuan posisi pilar batas dan pemetaan koridor sepanjang garis batas.
2. Pelaksanaan penegasan batas daerah sesuai Permendagi No.1 tahun 2006 Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Permendagri No.1 tahun 2006, tahapan pelaksanaan penegasan batas daerah harus diawali dengan melakukan penetapan ulang (re-delimitasi). Setelah diperoleh kesepakatan posisi garis batas selanjutnya dilakukan penegasan di lapangan yang secara teknis dilakukan dengan metode geodesi. Pelaksanaan teknis penegasan batas daerah dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri c.q. Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan dengan melibatkan TPBD yang bersangkutan. Dalam pelaksanaanya dilibatkan pihak ketiga yaitu konsultan pemetaan yang ditunjuk melalui mekanisme lelang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
128
tentang pengadaan jasa. Pelaksanaan penegasan batas daerah yang dilakukan setelah redelimitasi oleh Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan disajikan dalam diagram alir Gambar 5.4 (disarikan dari hasil wawancara dengan Kepala Sub Direktorat Wilayah II Bapak Drs. Heru Santoso (Santoso, 2013).
PELACAKAN BATAS DAERAH
SURVEI LAPANGAN
Pengukuran dan deskripsi pilar batas
PEMETAAN
Hitungan koordinat titik batas
Pengukuran posisi pilar batas (GPS)
Kartografi peta batas daerah
BASISDATA BATAS DAERAH
OUTPUT
DOKUMEN STATIK
Laporan penegasan batas daerah
DOKUMEN DINAMIK/PEMELIHARAAN
Peta batas daerah lampiran Permendagri ttg penegasan batas
Sistem Adminis trasi batas
Updating batas daerah
Permendagri tentang penegasan batas daerah
Gambar 5.4. Pelaksanaan teknis penegasan batas daerah menurut Permendagri No.1 tahun 2006 yang dilakukan setelah re-delimitasi(Santoso, 2013)
129
Merujuk pada pelaksanaan penegasan batas wilayah menurut Jones, kegiatan penegasan batas daerah yang dilakukan oleh Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan Kementrian Dalam Negeri, urutan langkahnya sudah sesuai dengan langkah-langkah yang ada pada tahapan penegasan batas wilayah menurut Jones. Perbedaan antara penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 dengan tahapan demarkasi batas wilayah menurut Jones disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Perbedaan penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 dengan demarkasi batas negara versi teori boundary making Jones (1945) No.
1
2
Penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 Ada tahapan redelimitasi
Demarkasi versi boundary making Jones (1945)
Keterangan
Langsung dilakukan demarkasi
Terlebih dahulu dibentuk TPBD
Terlebih dahulu dibentuk Komite Survei Demarkasi Bersama (Joint Survey Demarcation Committe) yang merupakan bagian dari Joint Boundary Commission (JBC)
Permendagri No.1 tahun 2006 menyimpang dari tahapan demarkasi pada teori Jones. Ada pengulangan tahapan sehingga menyimpang dari azaz berkesinambungansistemetik. Oleh sebab itu kerangka kerja penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 menjadi bersifat non linear. Mengingat fungsi batas daerah yang berbeda dengan batas negara, maka pembentukan TPBD oleh masingmasing daerah menjadi tidak relevan dan menyalahi ketentuan UU No.32 tahun 2004 maupun UU No.23 tahun 2014.
130
Tabel 5.1Lanjut No.
3
Penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 Fungsi batas daerah: pemisah kewenangan pengelolaan wilayah antar daerah otonom di dalam NKRI dalam rangka otonomi daerah
Demarkasi versi boundary making Jones (1945)
Keterangan
Fungsi batas negara: pemisah kedaulatan dan hak berdaulat satu negara terhadap negara lain
Perbedaan fungsi antara batas daerah dengan batas negara, seharusnya juga dibuat kebijakan dan peraturan penegasan batas daerah yang berbeda dengan demarkasi batas negara.
Pada periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, penegasan batas daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri menggunakan Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Batas daerah yang ditegaskan meliputi batas daerah untuk Daerah yang dibentuk sebelum era otonomi daerah (tahun 1950 sampai dengan tahun 1999) maupun batas daerah untuk Daerah yang dibentuk setelah era otonomi daerah (tahun 2000 sampai dengan tahun 2009). Prioritas penegasan batas dilakukan pada segmen batas daerah untuk Daerah yang dibentuk sebelum era OTDA dan segmen batas daerah untuk Daerah yang
dibentuk periode tahun 1999 sampai tahun 2007
(Santoso, 2013). Selama pelaksanaan penegasan batas daerah, sampai dengan akhir tahun 2009 dilaporkan ada 59 kasus sengketa batas daerah terdiri atas 42 kasus sengeketa batas antar kabupaten/kota dan 17 kasus sengketa antar provinsi (Pakpahan, 2011). Banyaknya sengketa yang terjadi tersebut adalah dampak yang terjadi secara berturutan akibat dari kerangka kerja penetapan batas daerah yang bersifat non-linear kemudian menghasilkan peta wilayah lampiran UUPD yang tidak memadai untuk penegasan batas dan akhirnya terjadi sengketa posisional
131
batas daerah. Secara lebih rinci penyebab sengketa batas daerah dibahas pada Bab V.5.1. Penegasan segmen batas daerah untuk Daerah yang dibentuk tahun 2008 sampai tahun 2009 baru dilakukan mulai tahun 2011 (Santosa, 2013). Rekapitulasi data penegasan batas daerah untuk segmen batas daerah yang dibentuk tahun 2008 sampai tahun 2009 disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Rekapitulasi data penegasan batas daerah untuk segmen batas daerah yang dibentuk tahun 2008 sampai tahun 2009 (Sumber : Khafid, 2013) Batas daerah Jumlah segmen Sudah selesai ditegaskan, terbit Permendagri Masih proses penegasan Belum dilakukan penegasan
Provinsi 21 1
Kabupaten /kota 158 3
14 6
59 96
Keterangan
10 segmen bermasalah
Merujuk pada Tabel 5.2, penegasan batas daerah yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri sampai akhir tahun 2012, dari 59 segemen batas daerah kabupaten/kota produk UUPD tahun 2008 sampai tahun 2009 yang ditegaskan, terdapat 10 segemen yang bermasalah (Khafid, 2013). Menurut Santosa (2013), permasalahan yang terjadi lebih disebakan oleh faktor kepentingan. Hal tersebut dimungkinkan karena penegasan batas daerah masih mengacu pada Permendagri No.1 tahun 2006 yang mengakomodasi Daerah sebagai para pihak sehingga adanya faktor kepentingan bisa mempermasalahkan posisi batas yang telah disetujui.
3. Tinjauan kerangka kerja Permendagri No.76 tahun 2012 Menyadari bahwa penggunaan Permendagri No.1 tahun 2006 ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kurang memadai dalam proses percepatan penegasan batas daerah, maka Permendagri No.1 tahun 2006 kemudian diganti dengan Permendagri No.76 tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Dalam Permendagri yang baru ini, penegasan batas
132
daerah dilakukan melalui tahapan: (1) penyiapan dokumen;(2)pelacakan batas; (3) pengukuran dan penentuan posisi batas; dan (4) pembuatan peta batas. Kata “penelitian dokumen” pada Permendagri No.1 tahun 2006, pada Permendagri No.76 tahun 2012 diganti dengan kata “penyiapan dokumen”, yaitu meliputi penyiapan: a. peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah; b. peta dasar; dan/atau c. dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati para pihak. Perubahan
yang mendasar pada
Permendagri
No.76
tahun
2012
dibandingkan Permendagri No.1 tahun 2006 adalah menghilangkan kegiatan redelimitasi, namun demikian dalam Permendagri No.76 tahun 2012, Pemerintah Daerah tetap dianggap sebagai para pihak sebagaiman disebutkan dalam Pasal 1 ayat (7), (8), (9) dan (10) berikut: 1.
Tim Penegasan Batas Daerah Pusat yang selanjutnya disebut Tim PBD Pusat adalah Tim yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri.
2.
Tim Penegasan Batas Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Tim PBD Provinsi adalah Tim yang dibentuk oleh Gubernur.
3.
Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Tim
PBD
Kabupaten/Kota
adalah
Tim
yang
dibentuk
oleh
Bupati/Walikota. 4.
Para pihak adalah Tim PBD Kabupaten/Kota dan/atau Tim PBD Provinsi yang berbatasan dan/atau Tim PBD Pusat.
Perlakuan bahwa Pemerintah Daerah dianggap sebagai para pihak dalam konteks penegasan batas daerah adalah kurang relevan dengan UU No.32 tahun 2004 maupun undang-undang penggantinya yaitu UU No.23 tahun 2014. Oleh sebab itu, sehubungan terbitnya undang-undang pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No.23 tahun 2014, maka Permendagri No.76 tahun 2012 sebaiknya juga direvisi dengan mengikuti ketentuan pada undang-undang yang baru. Perubahan mendasar yang lain pada Permendagri No.76 tahun 2012 dibandingkan Permendagri No.1 tahun 2006 adalah penegasan batas daerah tidak
133
selalu harus dilakukan dengan metode survei lapangan, namun dapat dilakukan secara kartometrik di atas peta dasar. Metode kartometrik ini diharapkan dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana besar dan waktu relatif lama pada kondisi medan yang sulit dijangkau.
V.2. Pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD Sebelum dibahas tentang hasil identifikasi kondisi IG dalam penetapan batas daerah, terlebih dahulu disajikan hasil pengelompokan data UUPD beserta peta wilayah lampiran UUPD yang bersangkutan. Data UUPD dikelompokan menjadi dua yaitu data UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.129 tahun 2000 dan UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.78 tahun 2007. DOB yang dibentuk dalam periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2009 berjumlah 205 dengan rincian 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Data pembentukan 205 DOB tersebut termuat dalam 127 dokumen UUPD karena dalam satu naskah UUPD ada yang berisi lebih dari satu pembentukan DOB. Dokumen UUPD antara lain berisi peta lampiran UUPD dan peta lampiran UUPD selalu berkaitan dengan batas daerah dan IG. Berdasar analisis yang dilakukan terhadap data tersebut, diidentifikasi bahwa pada periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2009 tidak semua DOB dibentuk dengan dasar UU No.22 tahun 1999 dengan persyaratan pembentukan DOB menurut PP. No.129 tahun 2000 dan
UU No.32 tahun 2004 dengan
persyaratan pembentukan DOB menurut PP. No.78 tahun 2007. Terdapat 11 DOB yang dibentuk dengan dasar UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan 34 DOB yang dibentuk dengan dasar UU No.22 tahun 1999 namun tidak menggunakan PP. No.129 tahun 2000 karena PP tersebut belum terbit. Mengacu pada fokus penelitian, data yang dipilih untuk diteliti adalah UUPD yang dibentuk atas dasar persyaratan pembentukan DOB menurut PP. No.129 tahun 2000 dan persyaratan pembentukan DOB menurut PP. No.78 tahun 2007. Rangkuman hasil pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD yang
134
dibentuk dengan dasar PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007 yaitu yang diundangkan pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD yang diundangkan pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 Periode tahun Th.2000 s.d. pembentukan DOB th. 2003 Dasar UU No. 22 pembentukan DOB th.1999
Th. 2007 UU No. 32 th. 2004
Persyaratan pembentukan DOB
PP. No. 129 th. 2000
Jumlah DOB
103
25
Jumlah peta wilayah lampiran 93 25 UUPD yang diperoleh (Sumber: dianalisis dari data yang dikumpulkan)
Th. 2008 s.d. th.2009 UU No. 32 th. 2004
Jumlah
PP. No. 78 th. 2007
2 PP
32
160
32
150
2 UU
Merujuk pada hasil analisis data dalam Tabel 5.3, asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah dikelompokan menjadi dua yaitu: (1) asesmen peran IG yang dibentuk dengan dasar PP No. 129 tahun 2000, (2) asesmen IG yang dibentuk dengan dasar PP No.78 tahun 2007. Berlakunya PP No.129 tahun 2000 dibagi dalam dua periode yaitu tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 dengan jumlah DOB sebanyal 103 dan periode tahun 2007 berjumlah 25 DOB. Sesuai fokus penelitian, pembentukan DOB pada masa berlakunya PP No.78 tahun 2007 hanya difokuskan pada pembentukan DOB pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, walaupun setelah tahun 2009 terjadi pembentukan DOB yang didasarkan atas PP No.78 tahun 2007. Peta wilayah lampiran UUPD seharusnya berjumlah sama dengan jumlah DOB, namun untuk periode tahun 2000 sampai tahun 2003 yang seharusnya ada 103 peta, hanya diperoleh 93 peta wilayah lampiran UUPD. Untuk peta wilayah lampiran UUPD periode tahun 2007 yang berjumlah 25 peta semuanya dapat diperoleh dan untuk 32 peta wilayah lampiran UUPD periode tahun 2008 sampai
135
dengan tahun 2009 semuanya dapat diperoleh. Secara keseluruhan peta wilayah lampiran UUPD yang diteliti adalah berjumlah 150 peta atau sekitar 94 %dari 160 peta yang seharusnya ada. Sebagai luaran penetapan batas daerah, maka peta wilayah lampiran UUPD selalu terkait dengan IG yang digunakan dalam penetapan dan selalu terkait dengan posisi garis batas daerah yang digambarkan di dalamnya. Di sisi lain, penetapan batas daerah pada dasarnya merupakan bagian dari proses pembentukan DOB, sehingga kerangka kerja tahapan penetapan batas daerah juga sangat dipengaruhi oleh kerangka kerja pembentukan DOB yang diatur dalam PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007. Peran IG dalam tahap penetapan diidentifikasi atas dasar kondisi IG meliputi ketersediaan dan kualitas peta RBI, penggunaannya dalam proses penetapan batas daerah dan kondisi peta wilayah lampiran UUPD bila digunakan untuk penegasan batas daerah.
V.3.Indentifikasi kondisi IG dalam penetapan batas daerah IG yang diidentifikasi hanya difokuskan pada kondisi peta rupabumi (peta RBI) meliputi ketersediaan atas dasar skala dan kualitasnya pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007.
V.3.1. Kondisi IG pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000 Kondisi IG dibagi dalam dua periode yaitu periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 dan perode tahun 2007. 1. Ketersediaan peta dasar pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 Sebaran ketersediaan peta RBI pada tahun 2000, 2001, 2002 dan tahun 2003 disajikan pada Gambar 5.5. sampai dengan Gambar 5.8.
136
Gambar 5.5. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2000 (Sumber: PPRT-BIG, 2013)
Gambar 5.6. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2001 (Sumber: PPRT-BIG, 2013).
137
Gambar 5.7. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2002 (Sumber: PPRT-BIG, 2013)
Gambar 5.8. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2003 (Sumber: PPRT-BIG, 2013)
138
Ketersediaan peta RBI dikaitkan dengan pembentukan DOB di tiap provinsi pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 disajikan dalam Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Ketersediaan peta RBI periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 di tiap provinsi yang terjadi pembentukan DOB No.
Provinsi
Peta RBI
Jumlah DOB yang dibentuk
25 K 50 K 250 K 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Nanggro Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Kepulauan Riau Bengkulu Sumatera Selatan Bangka-Belitung Jawa Barat Banten Jawa Timur NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Jumlah DOB
√
√ √ √ √ √
√ √
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
Kabupaten
Kota
Provinsi
6
2
0
5 3 1 5 4 4 0 0 0 1 2 2 2
1 1 1 0 3 0 3 0 1 1 0 1 0
0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0
8
0
0
√
√
1
0
0
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
3 2 2 1 2 4
1 0 0 1 0 1
0 1 0 0 1 0
√ √
3 4 10 5 80
0 1 0 0 18
0 0 0 0 5
√
139
Catatan notasi pada Tabel 5.4., K artinya kedar atau perbandingan 1/1000, 25 K = 1:25.000,50 K= 1:50.000, 100 K = 1:100.000 dan 250 K = 1:250.000. Tanda √ artinya tersedia Pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003, pembentukan DOB terjadi di 26 provinsi yang secara keseluruhan berjumlah 103 DOB terdiri atas 80 kabupaten, 18 kota dan 5 provinsi. Berdasar data yang ada pembentukan DOB yang paling banyak terjadi pada tahun 2003 yaitu sebanyak 49 DOB. Pada periode ini ketersediaan peta RBI bervariasi. Di Wilayah Sumatera pada umumnya di setiap provinsi sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan di beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera dan Bangka Belitung sudah tersedia peta RBI skala 1: 50.000, kecuali di Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD) tidak tersedia peta RBI untuk semua skala. Namun demikian di Wilayah Sumatera termasuk di provinsi NAD tersedia peta Topografi TNI-AD skala 1:50.000. Di wilayah Pulau Jawa, Bali, NTB dan NTT tersedia peta RBI skala 1:25.000. Di wilayah Pulau Kalimantan pada umumnya sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan bahkan di Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan sudah tersedia peta RBI skala 1:50.000. Demikian juga di wilayah bagian timur Indonesia meliputi Provinsi Maluku dan Provinsi Papua Barat sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000. Hanya di Provinsi Papua yang belum tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan skala 1:50.000, namun tersedia peta topografi TNI-AD skala 1:50.000 dan 1:100.000. Berdasar hasil asesmen terhadap ketersediaan peta dasar seperti telah diuraikan sebelumnya, pada periode tahun 2000 sampai tahun 2003 sebenarnya tersedia peta dasar yang cukup memadai bila digunakan untuk mendukung penetapan batas daerah dalam proses pembantukan DOB, tetapi karena regulasi PP No.129 tahun 2000 tidak mensyaratkan penggunaan peta dasar, maka peta dasar yang tersedia tidak digunakan dalam proses pembentukan DOB. 2. Ketersediaan peta dasar pada tahun 2007 Pada tahun 2007 ketersediaan peta RBI sudah lebih lengkap dibanding periode tahun 2000 sampai tahun 2003. Ketersediaan peta RBI pada tahun 2007 di provinsi yang terjadi pembentukan DOB disajikan pada Gambar 5.9.
140
Gambar 5.9. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2007 (Sumber: PPRT-BIG, 2013)
Hasil identifikasi ketersediaan peta RBI pada tahun 2007 dikaitkan dengan pembentukan DOB di tiap provinsi pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Ketersediaan peta RBI tahun 2007 di provinsi yang terjadi pembentukan DOB No. Provinsi Peta RBI Jumlah DOB yang Dibentuk 25 K 50 K 250 K Kabupaten Kota Provinsi 1. 2. 3. 4. 5.
Nanggro Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Selatan Lampung Banten
√
√
√
1
1
0
√
√
3
0
0
√
√
1
0
0
√
√ √
1 0
0 1
0 0
141
Tabel 5.5Lanjut No
Provinsi
6. 7.
NTT Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tenggara Maluku Papua Jumlah
8. 9. 10. 11. 12. 13.
Peta RBI 25 K 50 K 250 K √ √ √ √
Jumlah DOB yang Dibentuk Kabupaten Kota Provinsi 4 0 0 2 0 0
√
√
1
0
0
√
√
3
1
0
√ √
√ √
1 2
0 0
1 0
√
√ √
0 1 20
1 0 4
0 0 1
Pada tahun 2007, pembentukan DOB hanya terjadi pada 13 provinsi yang secara keseluruhan berjumlah 25 DOB terdiri atas 20 kabupaten, 4 kota dan 1 provinsi. Pada tahun 2007 payung hukum pembentukan DOB adalah UU No.32 tahun 2004, tetapi untuk persyaratan pembentukan DOB tetap mengacu pada PP No.129 tahun 2000. Pada 13 provinsi yang terjadi pemekaran daerah, pada umumnya sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan 1: 50.000, kecuali di Provinsi Maluku yang hanya tersedia peta RBI skala 1:250.000. Namun demikian di Provinsi Maluku tersedia peta Topografi TNI-AD skala 1:100.000. Demikian juga di Provinsi Papua selain sudah tersedia peta RBI skala 1:50.000 dan 1:250.000, juga tersedia peta topografi TNI-AD skala 1:50.000 dan 1: 100.000. Sebelum berlakunya UU No.4 tahun 2011 tentang IG, secara kelembagaan belum diatur lembaga pemerintah yang berwenang sebagai penyelenggara IG dasar termasuk peta dasar. Pada periode sebelum tahun 2011, selain Bakosurtanal yang membuat peta RBI, ada instansi Direktorat Topografi TNI-AD yang membuat peta topografi skala 1:100.000 dan 1:50.000 untuk sebagian besar wilayah Indonesia yang digunakan untuk kepentingan militer. Peta topografi yang dibuat oleh Direktorat Topografi TNI-AD, karena unsur-unsur muka bumi yang disajikan juga bersifat umum maka peta topografi tersebut sering digunakan
142
sebagai peta dasar dalam berbagai aplikasi termasuk dalam survei dan demarkasi batas wilayah (Asmoro, 1980; Rais, 2002). Berdasar peta sebaran ketersediaan peta RBI pada Gambar 5.5. sampai dengan Gambar 5.8. terlihat bahwa pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007, Bakosurtanal tidak memproduksi peta RBI skala 1:100.000, namun Direktorat Topografi TNI-AD memproduksi peta topografi 1:50.000 untuk sebagian besar wilayah Indonesia dan skala 1:100.000 untuk Wilayah Papua (Dit. Top. TNI-AD, 2013), oleh karena itu untuk daerah yang belum tersedia peta RBI maka peta topografi TNI-AD dapat digunakan.
3. Kualitas peta RBI pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 Dalam hal kualitas peta RBI, pada penelitian ini tidak dilakukan uji kualitas peta RBI dengan pertimbangan bahwa peta RBI sebagai suatu produk resmi pemerintah, dalam pembuatannya tentu sudah dilakukan kontrol kualitas. Hal ini sesuai dengan keterangan hasil wawancara yang diberikan oleh Kepala Pusat Pemetaan Rupa Bumi dan Toponimi Badan IG (PPRT-BIG) Ir. Edwin Hendrayana yang menyatakan bahwa (Hendrayana, 2013): 1) Kontrol kualitas peta RBI sudah dilakukan mulai dari kegiatan survei pengukuran di lapangan dengan berbagai metode dan teknologi untuk mendapatkan data topografi, tahap pengolahan data, tahap penyajian dan sampai tahap produksi. 2) Pada tahap pengukuran dan pengolahan data ada spesifikasi teknis atau Kerangka Acuan Kerja(KAK) yang harus diikuti, tergantung metode yang digunakan dalam pengukuran dan pengolahan datanya. 3) Pada produk akhir peta RBI, sebelum dipublikasi juga dilakukan kontrol kualitas dengan mengetrapkan standar akurasi peta, yaitu:
143
Standar akurasi peta yang dipakai Bakosurtanal (BIG)
Akurasi peta Akurasi posisi Akurasi posisi vertikal horisontal RMSE posisi horisontal Sembilan puluh persen titik cek harus lebih titik ketinggianyang kecil atau sama dengan diplot harus berada 0,3 mm x angka skala pada 0,25 x interval peta kontur
4) Pembuatan peta RBI skala 1:25.000, 1:50.000 dan skala 1: 250.000 dalam hal penyajian dan pencetakan, setelah tahun 2000 dan sebelum tahun 2010 sudah harus mengikuti SNI (Standar Nasional Indonesia) dari Badan Standar Nasional (BSN), yaitu SNI 19.6502.0-2000 untuk skala 1:25.000, SNI 19.6502.3-2000 untuk skala 1:50.000 dan SNI 19.6502.4-2000 untuk skala 1:250.000. 5) Dalam proses pembuatan peta RBI, pencantuman nama-nama unsur geografis (toponim) sebagai salah satu unsur pada peta RBI dilakukan merujuk kepada pedoman yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (TNPNR) dan dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan Pemerintah Daerah.
Berdasar keterangan yang disampaikan oleh Kepala PPRT BIG tersebut, dapat diasumsikan bahwa kualitas peta RBI yang dipublikasi oleh Bakosurtanal atau BIG sudah memenuhi syarat untuk mendukung kegiatan boundary making batas daerah di Indonesia.
V.3.2. Kondisi IG pada periode berlakunya PP No.78 tahun 2007
1.
Ketersediaan peta dasar pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun2009
Ketersediaan IG berupa peta RBI pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Gambar 5.10 dan Gambar 5.11.
144
Gambar 5.10. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 pada tahun 2008 (Sumber: PPRT-BIG, 2013)
Gambar 5.11. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 pada tahun 2009 (Sumber: PPRT-BIG, 2013)
145
Mulai tahun 2008 ketersediaan peta RBI sudah semakin lengkap. Dimulai peta indeks peta RBI tahun 2008 dan tahun 2009 (Gambar 5.10 dan Gambar 5.11) ketersediaan peta RBI skala 1:50.000 sudah semakin bertambah, seperti di Pulau Sumatera, seluruh area di Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Maluku serta di Papua Barat. Dengan demikian ketersediaan peta RBI pada periode ini sudah memadai untuk mendukung boundary making batas daerah di Indonesia. Ketersediaan peta RBI tahun 2008 sampai tahun 2009 di provinsi yang terjadi pembentukan DOB disajikan pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Ketersediaan peta RBI tahun 2008 sampai 2009 di provinsi yang terjadi pembentukan DOB No.
Provinsi
Peta RBI 25 K 50 K
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Sumatera Utara Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Lampung Banten NTB NTT Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi selatan Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Jumlah
√ √ √
Jumlah DOB yang dibentuk
250 K
Kabupaten
Kota
Provinsi
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4 1 1 0 1 3 0 1 1 2 1
1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
1 2 1 8 2 29
0 0 0 0 0 3
0 0 0 0 0 0
Pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, pembentukan DOB terjadi di 16 provinsi yang secara keseluruhan berjumlah 32 DOB terdiri atas 29 kabupaten dan 3 kota. Pada 16 provinsi yang terjadi pemekaran daerah, sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan 1:50.000 dan khusus di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara sudah tersedia peta RBI skala 1:25.000. Pada periode ini tidak
146
terdapat pembentukan daerah provinsi. Untuk pembentukan daerah kabupaten dan kota ketersediaan peta RBI skala 1:50.000 sudah sangat memadai bila mengacu kepada Standar Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009 seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya. 2.
Kualitas peta RBI pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 Sama seperti kondisi peta RBI periode tahun 2000 sampai tahun 2007, pada
peta RBI periode tahun 2008 sampai tahun 2009 juga tidak dilakukan uji kualitas peta RBI dengan pertimbangan yang sama seperti telah diuraikan pada sub bab V.3.2. Peta RBI yang tersedia pada tahun 2008 dan tahun 2009 dalam pembuatan dan produksinya sudah mengikuti Standar Nasional Indonesia dari BSN. Untuk peta RBI skala 1: 25.000 mengikuti SNI 19-6502.2-2000, untuk peta RBI skala 1; 50.000 mengikuti SNI 19-6502.3-2000 dan untuk peta RBI skala 1: 250.000 mengikuti SNI 19-6502.4-2000(Hendrayana, 2013).
V.4. Evaluasi penggunaan IG dalam penetapan batas daerah Penggunaan IG dalam penetapan batas daerah difokuskan pada penggunaan peta RBI, sedangkan IG sebagai luaran dari proses penetapan batas daerah adalah peta wilayah administrasi lampiran UUPD.
V.4.1. Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah pada masa berlakunya PP No.129 tahun 2000 Penggunaan peta dasar
dalam penetapan batas daerah dalam rangka
pembentukan DOB pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dievaluasi atas dasar dua hal, pertama, atas dasar regulasi persyaratan pembentukan DOB dan kedua, atas dasar penggunaannya untuk memilih letak dan mendefinisikan batas daerah secara kartometrik.
147
1.
Regulasi penggunaan peta dasar untuk penetapan batas daerah Regulasi persyaratan pembentukan DOB pada periode tahun 2000 sampai
tahun 2007 adalah PP No.129 tahun 2000. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa kerangka kerja penetapan batas daerah pada regulasi PP No.129 tahun 2000 teridentifikasi bersifat non-linear, sehingga aspek IG tidak banyak digunakan. Dengan demikian walaupun peta dasar (peta RBI dan peta Topografi TNI-AD) tersedia untuk skala yang diperlukan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi karena regulasi yang ada tidak mensyaratkan menggunakan peta dasar, maka peta dasar tidak digunakan dalam proses penetapan batas DOB. 2.
Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah secara kartometrik Kegiatan delimitasi (penetapan) batas meliputi dua tahap yaitu: (a) memilih
letak garis batas dan (b) mendefinisikan titik-titik dan garis batas pada peta. Dua kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan kegiatan kartometrik di atas peta dasar. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa secara regulasi penetapan batas bersifat non-linear, sehingga peta dasar tidak digunakan sebagai infrastruktur dalam proses penetapan batas DOB. Dengan demikian kegiatan memilih letak dan mendefinisikan batas daerah secara kartometrik tentunya juga tidak dilakukan di atas peta dasar. Hal ini diperkuat dari hasil wawancara untuk klarifikasi dengan salah satu pejabat di Sub Direktorat Penataam Wilayah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri yang menyatakan bahwa (Endarto, 2013): “........Peta seadanya memang digunakan namun hanya untuk menentukan kedudukan secara relatif daerah yang dibentukan terhadap daerah tetangganya. Garis batas juga digambarkan, namun sama sekali tidak ditentukan secara tepat di atas peta .......” Walaupun secara kartometrik peta dasar tidak digunakan dalam proses penetapan batas daerah pada pembentukan DOB, namun bila dikaji dari narasi pasal tentang batas wilayah pada naskah UUPD, dapat ditafsirkan bahwa tahapan penetapan batas daerah yang dilakukan sudah mendekati kesesuaian dengan
148
tahapan delimitasi pada teori boundary making Jones (1945). Naskah UUPD khususnya pasal yang mengatur batas wilayah pada dasarnya merupakan produk akhir dari tahapan penetapan batas daerah, sehingga narasi tersebut tentunya merupakan hasil kesepakatan dalam proses penetapan batas daerah. Pasal batas wilayah pada UUPD
produk
periode tahun 2000 sampai
dengan tahun 2007 pada umumnya tertulis seperti disajikan pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Pasal batas wilayah pada UUPD periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 Ayat Periode tahun 2000 s.d. tahun 2007(berlakunya PP.No. 129 tahun 2000) (1)
Kabupaten/Kota... mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan .......(misalnya kecamatan) b. sebelah timur berbatasan dengan ...... (misalnya laut) c. sebelah selatan berbatasan dengan ......... d. sebelah barat berbatasan dengan ........................
(2)
Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digambarkan dalam peta wilayah administrasi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini.
(3)
Penentuan batas wilayah Kabupaten/Kota ..... secara pasti di lapangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
(Sumber: dikutip dari UUPD periode tahun 2000 s.d. tahun 2007 dengan tidak menyebutkan nama kabupaten/kota yang dibentuk) Pasal batas wilayah ayat (1) dapat ditafsirkan sebagai tahap memilih (choice of site). Dalam hal ini pilihan batas diletakan pada suatu area, bisa daratan seperti kecamatan atau area perairan seperti laut. Pada umumnya area tersebut belum didefinisikan dalam arti belum tegas batas-batasnya. Memperhatikan hal ini, dapat dipastikan bahwa pemilihan letak batas pada proses penetapan batas daerah pada saat pembentukan DOB pada periode tahun 2008 sampai tahun 2009 tentu tidak menggunakan kaidah teknis pemetaan seperti metode turning points walaupun sudah tersedia peta dasar yang memadai.
149
Ayat (2) pasal batas wilayah dituliskan: Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta wilayahyang tercantumdalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Mengacu pada teori boundary making Jones (1945), ayat(2) ini pada dasarnya juga dapat ditafsirkan sebagai tahap mendefinisikan batas secara lebih tepat di peta lampiran undang-undang, walaupun dalam kenyataannya deliniasi garis batas dilakukan pada peta seadanya dan posisi titik-titik batas tidak didefinisikan dengan koordinat.
V.4.2. Kondisi peta lampiran UUPD pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000 IG pada luaran proses penetapan batas daerah adalah peta wilayah administrasi lampiran UUPD sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UUPD. Ada 118 lembar peta
lampiran UUPD kabupaten dan kota yang diperoleh
(ditemukan) yaitu 92 % dari 128 lembar peta lampiran UUPD yang seharusnya ada karena jumlah DOB yang dibentuk pada periode tahun 2000 sampai tahun 2007 adalah berjumlah 128 DOB. Asesmen untuk mengetahui kualitas IG pada luaran proses penetapan batas daerah dilakukan dengan tolok ukur Standar Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009. Rekapitulasi hasil asesmen selengkapnya disajikan pada Tabel 5.8. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam proses penetapan batas daerah, pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000 tidak mensyaratkan menggunakan peta dasar. Hal ini mengakibatkan 118 peta lampiran UUPD (92 %) yang diteliti, kualitasnya tidak sesuai dengan Standar Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom provinsi, kabupaten dan kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009. Ketidak-sesuaian tersebut terutama dalam hal tidak ada skala, tidak ada proyeksi peta dan sistem koordinat serta tidak dijelaskan datum geodetik yang digunakan.
150
Tabel 5.8. Rekapitulasi hasil asesmen peta lampiran UUPD tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 Klasifikasi hasil asesmen Sesuai
Daerah
Keterangan hasil asesmen
Provinsi 0
Kabupaten 0
Kota 0
Jumlah 0
Tidak sesuai
0
96
22
118
Jumlah
0
96
22
118
Mencantumkan semua parameter sesuai spesifikasi dan digambar pada format A0 Tidak mencantumkan secara keseluruhan parameter geometris dan tidak digambar pada format A0.
Delineasi garis batas memang dilakukan tapi tidak definitif karena tidak ada koordinat titik-titik batas. Pada kondisi peta hasil penetapan batas seperti ini tentu sulit digunakan untuk melakukan transformasi titik-titk batas dari peta ke lapangan. Secara lebih rinci hasil asesmen kualitas peta wilayah lampiran UUPD untuk aspek yang bersifat geometris dan kelengkapan muatan peta adalah sebagai berikut: a. Skala peta Berdasar 118 peta wilayah yang diteliti, setelah dinilai dari aspek skala diperoleh hasil seperti Tabel 5.9.Pada tersebut ditunjukkan bahwa hanya 53 peta wilayah (45%) yang mencantumkan skala dan 65 (55%) tidak mencantumkan skala peta. Mengacu pada definisi peta seperti telah dijelaskan pada landasan teori, maka peta wilayah yang dilampirkan dalam UUPD dapat dikatakan hanya merupakan sketsa, bukan peta. Skala peta memegang peranan yang sangat penting karena pada dasarnya peta merupakan model miniatur dari permukaan bumi sehingga harus jelas hubungan geometris antara unsur yang digambarkan dalam peta dengan unsur sebenarnya di lapangan. Tidak adanya informasi skala dalam suatu peta berarti peta tersebut tidak dapat digunakan untuk melakukan analisis kartometrik misalnya mengukur jarak dan mengukur luas. Dalam kegiatan
151
penetapan dan penegasan batas daerah, analisis kartometrik selalu dilakukan misalnya mengukur panjang segmen batas atau mengukur luas kawasan di sekitar garis batas yang menjadi sengketa. Tabel 5.9. Peta wilayah pada lampiran UUPD periode tahun 2000 sampai tahun 2007 dievaluasi dari parameter skala peta No. Kelompok 1 Peta wilayah yang tidak mencantumkan skala peta 2
Peta wilayah yang mencantumkan skala peta Jumlah
Jml 65 53
Keterangan Peta wilayah dilampirkan dalam UUPD namun tidak ada skala Peta wilayah dilampirkan dalam UUPD, mencantumkan skala peta namun skalanya sangat bervariasi
118
Berdasar 53 peta yang mencantumkan skala, dapat dirinci variasi skala seperti Tabel 5.10.
Tabel 5.10. Variasi skala peta wilayah administrasi lampiran UUPD periodetahun 2000 sampai dengan tahun 2007 No. 1 2 3 4 5 6
Skala 1 : 25.000 s.d. 1 : 50.000 < 1 : 50.000 s.d. 1 : 100.000 < 1 : 100.000 s.d. 1 : 250.000 < 1 : 250.000 s.d.1 : 500.000 < 1 : 500.000 s.d. 1 : 1.000.000 < 1 : 1.000.000 s.d. 1 : 3.000.000 Jumlah
Kabupaten/Kota 0 4 12 23 5 9 53
% 0 7,5 22,6 43,4 9,5 17 100
Dalam Tabel 5.10 ditunjukkan bahwa sebagaian besar (92,5 %) peta wilayah administrasi lampiran UUPD kabupaten/kota dibuat pada skala lebih kecil dari 1:100.000, bahkan ada yang skalanya lebih kecil dari 1: 1.000.000. Hanya empat peta (8 %) yang dibuat pada skala antara 1: 50.000
sampai
1:100.000, namun skala ini juga diragukan kebenarannya karena untuk wilayah kabupaten/kota yang digambar pada format ukuran folio tetapi skalanya tertulis 1:50.000.
152
Dalam hal penggunaan peta untuk analisis kartometrik, bila terjadi kesalahan pengukuran panjang segmen batas di peta sebesar 1 mm pada peta skala 1:500.000, berarti terjadi kesalahan di lapangan sebesar 500.000 mm/sama dengan 500 m dan pada skala 1:1.000.000, kesalahannya bisa mencapai 1000 m. Hal seperti ini tentunya bisa menimbulkan masalah bila digunakan untuk penegasan batas di lapangan. b.Datum geodetik, proyeksi peta dan sistem koordinat Pada 118 peta wilayah administrasi pada lampiran UUPD periode tahun 2000 sampai dengan 2007 seluruhnya tidak mencantumkan informasi datum geodetik dan sistem koordinat dan sistem proyeksi peta yang digunakan. Memang ada sebagian yang mencantumkan gratikul koordinat pada peta, namun karena datum geodetiknya tidak disebutkan maka bila peta tersebut digunakan untuk kegiatan penegasan batas di lapangan pasti terjadi kesulitan. Peta lampiran UUPD yang merupakan hasil delimitasi atau penetapan (aspek legal), fungsinya digunakan sebagai infrastruktur untuk mentransformasi batas hasil delimitasi ke batas sebenarnya di lapangan atau demarkasi (aspek teknis). Secara teknis survey pemetaan, mentransformasi titik-titik batas dan garis batas dari peta ke lapangan adalah kegiatan yang disebut staking out. Syarat suatu titik atau garis dapat di“staking out” adalah titik tersebut harus diketahui koordinat dan datum geodetiknya (Schofield, 2002). Apabila suatu titik diketahui koordinatnya namun datum geodetiknya tidak diketahui maka sulit untuk bisa ditegaskan di lapangan. Atau kalau tetap di“staking out” dengan menggunakan datum geodetik perkiraan maka terjadi pergeseran titik dari yang seharusnya (Abidin, dkk., 2005). Pergeseran tersebut bisa merugikan atau menguntungkan terhadap daerah tetangga. Hal ini yang berpotensi menimbulkan sengketa posisional dengan daerah tetangga. Merujuk pada pendapat Rimayanti dan Lukita (2010), pergeseran posisi titik batas sangat berpotensi menimbulkan konflik apabila di daerah perbatasan terdapat sumberdaya alam seperti sumur minyak atau gas. Berdasar pengalaman berbagai kasus seperti kasus sengketa batas antara Kabupaten Musi Rawas dengan Kabupaten Musi Banyuasin terkait sumur minyak Subhan 4 (Sutisna dan
153
Iskandar, 2011) dan sengketa batas antara Kabupaten Rokan Hulu dengan Kabupaten Kampar terkait beberapa sumur minyak di kawasan Langgak (LPPMUIR, 2013), sengketa posisional batas tidak bisa terelakan. Untuk sistem koordinat,dari sejumlah 118 peta, hanya 25 peta yang mencantumkan gratikul koordinat dalam lintang dan bujur dengan selang 10’, selebihnya sama sekali tidak mencantumkan gratikul koordinat apakah lintangbujur maupun parameter koordinat kartesian seperti (X,Y) atau (East, North).
c. Kelengkapan muatan peta Kelengkapan muatan peta adalah unsur rupa bumi yang penting dan perlu digambarkan pada peta (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Pada peta lampiran UUPD kelengkapan peta yang penting adalah unsur perhubungan berupa jalan, unsur perairan sungai dan unsur relief dan kontur terutama terkait watershed. Unsurunsur tersebut selain diperlukan untuk pedoman dalam pelacakan batas di lapangan, biasanya juga digunakan sebagai batas wilayah (Jones,1945). Berdasar identifikasi yang dilakukan, hampir semua peta tidak menggambarkan unsurunsur tersebut. Toponim juga hanya mencantumkan nama-nama kabupaten/kota atau kecamatan. Kelengkapan informasi lain yang perlu ditampilkan di bagian informasi tepi peta seperti sumber peta, pembuat peta dan tahun pembuatan peta juga tidak ditemukan pada semua peta lampiran UUPD yang diteliti. Legenda yang ditampilkan hanya batas provinsi, batas kabupaten/kota dan batas kecamatan. Semua peta lampiran UUPD pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dibuat dengan format ukuran kertas folio, karena disesuaikan dengan format naskah UUPD (Endarto, 2013), sehingga hal ini tidak sesuai spesifikasi teknis yang seharusnya dibuat yaitu format A0. Hasil identifikasi informasi arah utara pada bagian informasi tepi peta, 118 peta wilayah administrasi lampiran UUPD periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 semuanya mencantumkan gambar orientasi arah utara, bahkan tidak hanya orientasi arah utara, namun juga digambarkan arah selatan, arah timur dan arah barat.
154
Peta lampiran UUPD sebenarnya adalah peta yang memiliki legal, artinya apa yang digambarkan pada peta tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mandatori (mengikat). Selain itu peta batas wilayah pada lampiran UUPD pada akhirnya secara teknis harus bisa ditegaskan (demarkasi) di lapangan. Untuk bisa digunakan sebagai dasar demarkasi di lapangan, maka peta batas wilayah lampiran UUPD harus memenuhi syarat-syarat secara teknis (survei pemetaan) untuk keperluan staking out seperti telah diuraikan sebelumnya. Salah satu contoh peta wilayah lampiran UUPD yang dihasilkan pada proses pembentukan DOB menggunakan PP No.129 tahun 2000 disajikan pada Gambar 5.12. Peta tersebut tidak mencantumkan skala, gratikul koordinat dan datum geodetik. Unsur rupa bumi alamiah seperti jalan, sungai, watersheed atau kontur juga tidak digambarkan. Toponim hanya menyebutkan nama-nama distrik dan nama ibu kota kabupaten, tetapi nama-nama unsur geografis alami tidak dicantumkan. Pada informasi tepi peta hanya terdapat legenda garis batas, yaitu batas negara, batas kabupaten dan batas distrik (kecamatan). Pada Gambar 5.12. deliniasi garis batas memang dilakukan tapi tidak definitif karena tidak ada koordinat titik-titik batas, sehingga pada kondisi peta hasil penetapan batas seperti ini tentu sulit digunakan untuk transformasi titik-titk batas dari peta ke lapangan. Walaupun secara yuridis disebut peta, namun bila mengacu pada definisi peta, gambar peta wilayah yang dilampirkan pada UUPD tersebut secara teknis belum bisa disebut peta. Beberapa contoh peta wilayah administrasi lampiran UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.129 tahun 2000, disajikan pada Lampiran 3
155
Gambar 5.12. Contoh peta wilayah lampiran UUPD yang dihasilkan pada proses pembentukan DOB menggunakan PP No.129 tahun 2000
156
Berdasar hasil asesmen terhadap IG dalam proses penetapan batas daerah pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000, dapat diidentifikasi bahwa peta RBI tidak digunakan dalam proses penetapan batas daerah. Hal ini disebabkan oleh kerangka kerja penetapan batas daerah yang bersifat non-linear. Akibatnya, peta wilayah DOB lampiran UUPD hasil penetapan batas daerah pada periode ini kualitasnya tidak memenuhi syarat spesifiaksi teknis peta wilayah daerah otonom yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan tahun 2009. Dampak selanjutnya peta tersebut tidak memadai bila digunakan untuk penegasan batas daerah.
V.4.3. Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah pada masa berlakunya PP No.78 tahun 2007 Sama seperti penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah pada periode tahun 2000 sampai tahun 2007, maka pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah juga dianalisis atas dasar dua hal. Pertama, atas dasar regulasi persyaratan pembentukan DOB dan kedua, atas dasar penggunaannya untuk memilih letak dan mendefinisikan batas daerah secara kartometrik. 1. Regulasi penggunaan peta dasar untuk penetapan batas daerah Berdasar persyaratan pembentukan daerah pada PP No.78 tahun 2007 seperti telah diuraikan sebelumnya dapat diidentifikasi bahwa peta dasar harus digunakan dalam tahap penetapan batas daerah pada proses pembentukan DOB. Hal ini diperkuat dari penjelasan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Penataan Wilayah, Direktorat Jendral Otonomi Daerah pada saat diwawancara yang menyatakan sebagai berikut (Endarto, 2013): “....setelah PP No.78 tahun 2007, sejak awal dalam proses pembuatan undang-undang pembentukan daerah, peta dasar sudah menjadi persyaratan. Peta wilayah daerah yang diusulkan dibuat dengan dasar peta RBI dengan batas-batasnya harus mendapat persetujuan dan legalitas oleh kabupaten atau provinsi yang bersebelahan dan secara teknis difasilitasi oleh BIG (Geospasial). Peta wilayah yang diajukan harus sudah mendapat persetujuan BIG.
157
2. Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah secara kartometrik Pada periode ini, sesuai dengan ketentuan dalam PP No.78 tahun 2007 peta RBI sudah digunakan untuk proses penetapan batas daerah, namun demikian dalam penelitian ini tidak dapat diperoleh informasi bagaimana secara teknis peta RBI digunakan untuk memilih letak batas. Peta wilayah usulan pembentukan DOB pada umumnya dibuat atau difasilitasi oleh BIG, namun BIG tidak menetapkan batas daerah, karena hal tersebut bukan merupakan kewenangan BIG. BIG hanya menggambarkan garis batas hasil kesepakatan yang sudah mendapat persetujuan dan legalitas oleh kabupaten/kota dan provinsi yang bersebelahan dengan DOB yang diusulkan (Khafid, 2013). Bila dikaji dari narasi pasal tentang batas wilayah pada UUPD yang dihasilkan setelah berlakunya PP No.78 tahun 2007, pasal batas wilayah ayat (1) dapat ditafsirkan sebagai tahap memilih (choice of site). Dalam hal ini pilihan letak batas pada umumnya diletakan pada suatu area, bisa daratan seperti kabupaten atau area perairan seperti selat yang pada umumnya belum didefinisikan dalam arti belum tegas batas-batasnya. Memperhatikan hal ini, dapat dipastikan bahwa pemilihan letak batas pada proses penetapan batas daerah pada saat pembentukan DOB pada periode tahun 2008 sampai tahun 2009 juga tentu tidak menggunakan kaidah
teknis pemetaan seperti metode turning points
walaupun sudah tersedia peta dasar yang memadai. Ayat (2) pasal batas wilayah dituliskan: “batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta wilayahyang tercantumdalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini”. Mengacu pada teori boundary making Jones (1945), ayat(2) ini pada dasarnya juga dapat ditafsirkan sebagai tahap mendefinisikan batas secara lebih tepat di peta lampiran undang-undang. Walaupun deliniasi garis batas sudah dilakukan pada peta dasar dengan skala yang memadai dan terdapat sistem koordinat dan datum geodesi DGN-95, ternyata posisi titik-titik batas tidak didefinisikan dengan koordinat.
158
Pasal batas wilayah pada UUPD produk periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Tabel 5.11. Tabel 5.11. Pasal batas wilayah pada UUPD periode 2008 sampai dengan tahun 2009 Ayat Periode tahun 2008 s.d. tahun 2009 (PP No.78 tahun 2007) (1)
Kabupaten/Kota .... mempunyai batas-batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten ... Provinsi .... sertaKecamatan .... b. sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan ...., Kecamatan ..... c. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan .... d. sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan ......
(2)
Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta wilayah yang tercantumdalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini.
(3)
Penegasan batas wilayah Kabupaten/Kota .... secara pasti di lapangan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri paling lambat 5 (lima) tahun sejak diresmikannya Kabupaten/Kota ......
(Sumber: dikutip dari UUPD periode tahun 1999 s.d. tahun 2007 dan periode tahun 2008 s.d tahun 2009 dengan tidak menyebutkan nama kabupaten/kota yang dibentuk) Pasal batas wilayah pada pada UUPD periode tahun 2000 sampai dengan 2007 dengan periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 secara substansi sama, namun ada beberapa istilah yang berbeda. Pada ayat (2), UUPD periode berlakunya PP. No.129 tahun 2000 ditulis peta wilayah administrasi, sedangkan pada UUPD periode berlakunya PP No.78 tahun 2007 hanya dituliskan peta wilayah, tanpa kata administrasi. Pada ayat (3), UUPD periode berlakunya PP. No.129 tahun 2000 menggunakan istilah penentuan, sedangkan pada UUPD periode berlakunya PP No.78 tahun 2007 menggunakan istilah penegasan untuk menyatakan transformasi batas hasil penetapan dalam UUPD ke lapangan. Kata penegasan lebih tepat digunakan untuk menterjemahkan kata demarcation dalam
159
teori Jones. Sedangkan kata penentuan kalau untuk mensepadankan dengan demarcation dinilai kurang tepat karena masih mengandung pengertian yang terlalu umum karena demarcation atau penegasan adalah suatu kegiatan yang sudah sangat spesifik yaitu merekonstruksi batas di lapangan dengan metode geodesi. Selain itu disebutkan batasan waktu paling lambat lima tahun sejak DOB ditetapkam, batas daerah harus sudah ditegaskan.
V.4.4. Kondisi peta lampiran UUPD hasil penetapan batas daerah periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 Peta wilayah lampiran UUPD pada masa berlakunya PP No.78 tahun 2007 (tahun 2008 sampai dengan tahun 2009) berjumlah 32 lembar peta. Peta wilayah ini terdiri atas 31 peta wilayah pembentukan kabupaten dan 1 kota. Berbeda dengan proses penetapan batas daerah pada pembentukan DOB dengan persyaratan PP No.129 tahun 2000, proses penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB dengan persyaratan menurut PP No.78 tahun 2007, IG (peta dasar) secara tegas disebutkan harus digunakan dalam proses pembentukan DOB mulai sejak awal proses penetapan batas daerah. Hasil asesmen terhadap kualitas peta wilayah administrasi lampiran UUPD pada periode ini sudah sesuai dengan Standar Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009. Secara umum hasil asesmen peta wilayah administrasi pada periode ini adalah: 1) Peta wilayah mencantumkan skala, bahkan skalanya juga sudah sesuai dengan Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom, yaitu skala 1: 100.000 untuk pembentukan kabupaten dan skala 1: 50.000 untuk pembentukan kota. 2) Peta wilayah mencantumkan sistem proyeksi peta dan sistem koordinat yang digunakan, dalam hal ini digunakan sistem Universal Transverse Mercator (UTM) sesuai peta RBI yang digunakan sebagai dasar pembuatan peta wilayah
160
3) Peta wilayah mencantumkan datum geodesi horisontal yaitu DGN95dan datum vertikal muka laut rata-rata di daerah yang bersangkutan. 4) Deliniasi garis batas sudah digambarkan walaupun masih belum definitif karena tidak ada koordinat titik-titik batas. 5) Format peta wilayah DOB yang asli juga sudah dibuat ukuran A0, walaupun yang dilampirakan pada naskah UUPD adalah berupa specimenmagar sesuai dengan ukuran format naskah UUPD. 6) Toponim sudah cukup lengkap, yaitu nama unsur bentang alam alami (seperti gunung, bukit, sungai, tanjung, selat, pulau, danau), nama tempat-tempat berpenduduk dan unsur lokalitas, nama pembagian wilayah adminstratif (desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi), rute transportasi (jalan raya, jalan kereta api). Toponim yang dicantumkan pada peta wilayah DOB diambil dari peta RBI yang digunakan sebagai peta dasar. Dalam penjelasan UUPD yang diundangkan pada periode berlakunya PP No.78 tahun 2007 selalu disebutkan bahwa: “Lampiran petacakupan wilayah yang digambarkan dengan skala 1:100.000 atau1:50.000 diterbitkan oleh Pemerintah dan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi pada saat dilakukan peresmian sebagai daerah otonom baru. Hal ini mengindikasikan bahwa peta asli lampiran UUPD diserahkan kepada daerah yang bersangkutan, sedang yang dilampirkan dalam UUPD adalah peta dalam bentuk specimen. Hal ini sesuai dengan kompromi antara DPR dan Pemerintah bahwa peta yang dicantumkan dalam lampiran UUPD hanyalah merupakan specimem yang skalanya bervariasi disesuaikan dengan kertas format F4, sedangkan peta aslinya yang berskala 1:50.000 untuk Kabupaten dan 1:25.000 untuk Kota dengan format A nol disimpan di Sekretariat Negara dan Kementrian Dalam Negeri dalam bentuk cetak (hardcopy), serta bentuk dijitalnya disimpan di Bakosurtanal (Sutisna dan Herwanto, 2009). Gambar 5.13. menunjukkan salah satu contoh specimen peta wilayah hasil penetapan pada pembentukan DOB dengan persyaratan PP No.78 tahun 2007. Beberapa contoh specimen yang lain disajikan pada Lampiran 4.
161
Gambar 5.13.Contoh specimen peta wilayah lampiran UUPD produk PP No.78 tahun 2007
162
Bila dikaitkan dengan tolok ukur peta hasil penetapan menurut Jones, bahwa dalam peta hasil penetapan harus dicantumkan koordinat tititik batas, maka peta wilayah DOB lampiran UUPD pada periode tahun 2008 sampai tahun 2009 sebenarnya belum memenuhi ketentuan terebut, hal tersebut karena dalam peta wilayah tidak dicantumkan koordinat titik-titik batas, sehingga walaupun garis batas sudah digambarkan, namun belum sepenuhnya definitip. Walaupun demikian, peta wilayah lampiran UUPD yang dikeluarkan pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 secara teknis pemetaan sudah cukup memadai bila digunakan untuk pedoman transformasi batas dari peta wilayah lampiran UUPD ke lapangan pada kegiatan penegasan batas daerah. Hal tersebut karena koordinat titik batas dapat dibaca di peta wilayah tersebut yang selanjutnya dengan metode geodesi dapat dipasang di lapangan.
V.5. Kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas daerah pada penegasan batas daerah
Hasil analisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas daerah pada kegiatan penegasan batas daerah di Indonesia ditinjau dari dua hal: (1) penyebab sengketa, (2) kontribusiIG dalam sengketa batas daerah.
V.5.1. Penyebab sengketa batas daerah di Indonesia Pada penelitian ini, diagnosis penyebab sengketa dilakukan pada 45 kasus sengketa batas daerah antar kabupaten/kota. Data kasus sengketa diklasifikasi ke dalam tiga kategori yaitu kategori A, B dan C. Penjelasan masing-masing kategori A, B dan C dijelaskan pada Sub Bab IV.2.5. Diagnosis terhadap 45 kasus sengketa batas dilakukan pada setiap kategori. Jumlah kasus sengketa batas daerah yang terjadi pada saat kegiatan penegasan batas daerah pada masingmasing kategori dirangkum dalam Tabel 5.12.
163
Tabel 5.12. Jumlah sengketa batas daerah di Indonesia yang terjadi pada saat kegiatan penegasan batas daerah pada era OTDA (tahun 2000 sampai dengan tahun 2009) pada kategori A, B dan C Sengketa batas Antar kabupaten/kota
A 5
Kategori B 24
Jumlah kasus 45
C 16
Hasil diagnosis penyebab sengketa batas daerah untuk kategori A, B dan C disajikan pada Tabel 5.13., Tabel 5.14. dan Tabel 5.15.
Tabel 5.13.Hasil diagnosis penyebab sengketa batas antar daerah kabupaten/kota pada kategori A No. 1 2 3 4 5 6 7
Penyebab sengketa Faktor kepentingan Faktor struktural Faktor IG Faktor hubungan Faktor nilai Kombinasi faktor IG dengan faktor kepentingan ( 3+1) Kombinasi faktor IG dengan faktor kepentingan ( 3+2) Jumlah
Jumlah kasus 0 0 1 0 0 2
% 0 0 20 0 0 40
2
40
5
100
Pada Tabel 5.13. terdapat lima kasus sengketa batas daerah dengan kategori A. Pada lima kasus tersebut, sengketa batas pada dasarnya bermula dari kondisi peta lampiran undang-undang pembentukan daerah yang tidak memenuhi syarat bila digunakan untuk pedoman penegasan, kemudian dipicu adanya faktor kepentingan sehingga akhirnya menjadi sengketa terbuka. Pada sengketa batas kategori A, ditemukan satu kasus yang disebabkan oleh permasalahan ketidaksamaan garis batas yang digambar pada peta lampiran UUPD dengan daerah tetangga yang berbatasan. Kasus tersebut adalah
sengketa antara
Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Tana Tidung. Garis batas yang tergambar pada peta wilayah skala 1:100.000 yang dilampirkan pada undang-undang pembentukan daerah Kabupaten Tana Tidung ternyata posisinya tidak sama
164
dengan garis batas di peta wilayah pembentukan Kabupaten Nunukan skala 1: 250.000 yang dibentuk lebih dahulu. Hal ini menimbulkan masalah ketika kedua daerah melakukan penegasan batas. Sengketa terbuka terjadi dipicu karena pada daerah sengeketa terdapat permohonan rekomendasi izin lokasi perusahaan batubara yang diklaim oleh masing-masing kabupaten. Faktor lain yang menjadi pemicu sengketa batas adalah faktor struktural meliputi mempermasalahkan kesepakatan batas oleh pejabat sebelumnya yang sudah
dituangkan
dalam
peraturan
gubernur
atau
peraturan
menteri
dipermasalahkan lagi oleh salah satu daerah melalui TPBD. Penolakan pemekaran desa dan pembangunan fasilitas umum pelayanan kesehatan (puskesmas) yang terletak di daerah perbatasan yang batasnya belum tegas di lapangan juga menjadi pemicu sengketa. Faktor pemicu yang berupa kepentingan dan struktural pada kasus sengketa batas daerah pada kategori A selengkapnya disajikan pada Lampiran 7. Hasil diagnosis penyebab sengketa batas antar daerah kabupaten/kota pada kategori B disjaikan pada Taebl 5.14.
Tabel 5.14.Hasil diagnosis penyebab sengketa batas antar daerah kabupaten/kota pada kategori B No. 1 2 3 4 5 6 7
Penyebab sengketa Faktor kepentingan Faktor struktural Faktor IG Faktor hubungan Faktor nilai Kombinasi IG dengan kepentingan ( 3+1) Kombinasi IG dengan struktural ( 3+2) Jumlah
Jml kasus 0 0 8 0 0 4
% 0 0 33 0 0 17
12 24
50 100
Jumlah kasus sengketa batas kategori B yang diteliti ada 24 kasus. Pada UU pembentukan daerah sebelum tahun 1999 tidak dilampiri peta wilayah administrasi daerah yang dibentuk, sedang pada UU pembentukan daerah setelah tahun 1999 secara narasi dalam pasal batas wilayah ditulis dilampiri peta wilayah
165
administrasi, namun dalam 24 kasus sengketa kategori B yang diteliti hanya ditemukan 20 peta lampiran. Pada 20 peta lampiran tersebut 15 peta tidak mencantumkan skala peta. Lima peta yang mencantumkan skala, nilai skala bervariasi yaitu tiga peta mencantumkan nilai skala 1:150.000, satu peta mencantumkan nilai skala 1: 400.000 dan dua peta mencantumkan nilai skala 1: 750.000. Dalam kondisi satu daerah tidak memiliki peta wilayah dan daerah lain yang berbatasan memiliki peta wilayah namun tidak memenuhi syarat untuk pedoman penegasan batas di lapangan, tentu Tim Penegasan Batas Daerah mengalami kesulitan melakukan penegasan. Selain itu kondisi ini sering mengakibatkan beda penafsiran terhadap posisi garis batas yang ditegaskan. Penambahan fakta adanya faktor pemicu, maka sengketa batas kemudian muncul secara terbuka. Sebagai contoh, sengketa batas antara Kabupaten Rokan Hulu merupakan pemekaran dari Kabupaten Kampar karena faktor pemicu 28 sumur minyak di Kawasan Langgak. Dalam kasus ini TPBD masing-masing daerah mempertahankan klaim posisi batas menurut versinya masing-masing. Pada 24 kasus sengketa batas kategori B, 10 kasus merupakan sengketa antara
kabupaten
mengindikasikan
pemekaran bahwa
dengan
ketika
proses
kabupaten
induknya.
pembentukan
DOB
Hal
ini
pemekaran,
kesepakatan batas antara kabupaten induk dengan kabupaten pemekaran belum final. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan pejabat di Sub Direktorat Penataan Wilayah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementrian Dalam Negeri (Endarto, 2013): “bahwa karena desakan yang bersifat politik lebih dominan maka pada saat itu yang penting DOBterbentuk dulu atau dimekarkan dulu, masalah batas yang pasti diselesaikan nanti.” Berdasar dignosis yang dilakukan terhadap 24 kasus sengketa batas daerah kategori B seperti pada Lampiran 2, ditemukan dua faktor pemicu terjadinya sengketa yaitu faktor kepentingan dan struktural. Faktor pemicu kepentingan meliputi: (1) perebutan lahan dan (2) petebutan sumur minyak. Faktor pemicu struktural meliputi: (1) menghendaki revisi undang-undang pembentukan daerah,
166
(geospasial) perebutan pemukiman transmigrasi terkait sumberdaya manusia untuk perolehan suara pada pemilihan kepala daerah, (3) peninjauan kesepakatan batas yang telah dilakukan sebelumnya, (4) penolakan pembentukan desa di daerah perbatasan. Dalam faktor pemicu struktural, TPBD memiliki peran penting untuk selalu bertahan secara maksimal dalam klaim posisi garis batas yang diajukan. Indikasi ini terlihat dari beberapa perundingan sengketa batas daerah yang difasilitasi Kementrian Dalam Negeri selalu dilakukan berkali-kali dan tidak kunjung selesai, bahkan akhirnya berujung ke proses pengadilam. Sebagai contoh sengketa batas daerah antara Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir. Usaha untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa batas antara kedua kabupaten telah dilakukan sejak tahun 1999, namun sampai tahun 2012, kesepakatan–kesepakatan yang pernah terjadi belum dapat diaplikasikan (Subowo, 2012). Faktor pemicu yang berupa kepentingan dan struktural pada kasus sengketa batas daerah pada kategori B selengkapnya disajikan pada Lampiran 8. Hasil diagnosis sengketa batas daerah kategori C disajikan pada Tabel 5.15. Tabel 5.15.Hasil diagnosis penyebab sengketa batas antar daerah kabupaten/kota pada kategori C No. 1 2 3 4 5 6 7
Penyebab sengketa Faktor kepentingan Faktor struktural Faktor IG Faktor hubungan Faktor nilai Kombinasi faktor IG dengan faktor kepentingan ( 3+1) Kombinasi faktor IG dengan faktor struktural ( 3+2) Jumlah
Jumlah kasus
%
4 -
25 -
8
50
4
25
16
100
167
Berdasar identifikasi dari tahun pembentukan daerah yang bersengketapada sengketa kategori C, daerah yang bersengketa pada umumnya dibentuk pada awal kemerdekaan yaitu antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1959. Sebaran kasus sengketa batas daerah kategori C atas dasar pulau besar dan tahun pembentukan daerah disajikan pada Tabel 5.16.
Tabel 5.16. Sebaran kasus sengketa batas daerah atas dasar pulau dan tahunpembentukan daerah No.
Pulau
Jumlah kasus
Tahun pembentukan daerah
1
Jawa
3
1950
2
Sumatera
10
1956
3
Kalimantan 2
1959
4
Sulawesi
1
1959
Jumlah
16
Pada awal setelah kemerdekaan sekitar tahun 1950 sampai tahun 1959, bila dicermati dalam naskah UUPD yang bersangkutan memang tidak menyebutkan secara tertulis batas wilayah daerah yang dibentuk, bahkan peta lampiran batas wilayah daerah yang dibentuk juga tidak ada. UUPD pada saat itu hanya mengganti atau mencabut UUPD yang dikeluarkan zaman Belanda yang disebut staatsblad. Mengingat
masih
masa transisi
pembentukan
daerah-daerah
administrasi peninggalanpemerintah kolonial Belanda dijadikan rujukan dalam pembentukan daerah pada masa setelah awal kemerdekaan. Rumusan pembentukan daerah juga secara langsung menyebut nama-nama daerah (kabupaten/kota) yangsudah dikenal sebelumnya menjadi “Kabupaten” dan “Kota” tanpa menyebutcakupan batas-batas daerah yang dimaksud (Kritiyono, 2008). Setelah daerah dibentuk, batas juga tidak langsung segera ditegaskan di lapangan. Pada saat sistem pemerintahan masih bersifat sentralistik, batas daerah bukan faktor determinan untuk mengelola wilayah, sehingga hampir tidak ada permasalahan tentang batas daerah.
168
Setelah era otonomi daerah tahun 1999, batas daerah merupakan faktor determinan dalam mengelola wilayah, sehingga banyak daerah yang dibentuk sebelum otonomi daerah mulai melakukan kegiatan penegasan batas daerah. Persoalan muncul ketika melakukan penegasan di lapangan, karena tidak adanya peta batas wilayah hasil penetapan sebelumnya. Oleh karena itu daerah-daerah yang melakukan penegasan batas kemudian mencari dokumen peta yang dianggap dapat digunakan sebagai pedoman untuk menegaskan batas masing-masing daerahnya. Hal ini memang dimungkinkan karena regulasi Permendagri No.1 tahun 2006 tentang pedoman penegasan batas daerah juga menyebutkan bahwa tahap
awal
dalam
kegiatan
penegasan
adalah
melakukan
penelitian
dokumen.Dokumen yang diteliti dan dimungkinkan dipakai bisa berupa dokumen aspek kesejarahan keberadaan batas daerah masing-masing. Akibat penggunaan peta yang berbeda untuk melakukan klaim batas oleh masing-masing daerah, maka sering terjadi sengketa posisi garis batas. Sengketa muncul bila terdapat pemicu yaitu faktorlangsung yang menyebabkan perselisihan yang lebih terbuka, misalnya faktor kepentingan untuk menguasai sumberdaya yang bernilai ekonomi. Pada obyek penelitian sengketa batas daerah kategori C, faktor pemicu kepentingan yang ditemukan adalah sumur minyak bumi dan gas, lahan, aset obyek wisata dan kepemilikan pulau. Pemicu lain adalah faktor struktural yang terkait dengan kekuasaan atau wewenang formal. Pada obyek penelitian, faktor pemicu struktural yang ditemukan adalah penerbitan sertifikat tanah yang simpang siur, mempermasalahkan kesepakatan batas yang telah dilakukan pejabat sebelumnya dan jarak rentang kendali pemerintahan dan pelayanan yang terlalu jauh dari ibu kota kabupaten. Faktor pemicu yang berupa kepentingan dan struktural pada kasus sengketa batas daerah pada kategori C disajikan pada Lampiran 9. V.5.2. KontribusiIG dalam sengketa batas daerah Pada penelitian ini dapat diidentifikasi dua jenis IG yang berkontribusi dalam terjadinya sengketa batas daerah, yaitu peta lampiran UUPD dan data numerik luas wilayah yang dituliskan dalam naskah legal UUPD.
169
1. Kontribusi peta wilayah lampiran UUPD dalam sengketa batas daerah.
Memperhatikan hasil diagnosis penyebab sengketa seperti yang telah diuraikan sebelumnya, jenis sengketa batas daerah pada sengketa kategori A, B maupun C dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (1) sengketa yang disebabkan oleh masalah IG daam hal ini peta wilayah lampiran UUPD, (2) sengketa yang disebabkan oleh kombinasi IG dengan faktor kepentingan memperbutkan sumberdaya alam, (3)
sengketa yang disebabkan oleh kombinasi IG dengan
faktor struktural. Dengan demikian faktor kualitas peta wilayah lampiran UUPD pada era sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah berkontribusi menjadi penyebab awal terjadinya sengketa batas daerah pada sengketa kategori A dan B. Pada sengketa kategori C, penyebab awal sengketa karena tidak tersedianya peta wilayah pada UUPD. Berdasarkan identifikasi pada kasus sengketa kategori A, B dan C, beberapa hal dari peta lampiran yang menyebabkan sengketa atau paling tidak menimbulkan perbedaan persepsi tentang posisi garis batas, yaitu: 1) Peta wilayah tidak mencantumkan skala, sehingga yang dilampirkan sebenarnya hanya suatu sketsa saja. Peta yang berwujud sketsa tidak dapat digunakan untuk melakukan staking out batas dari peta ke lapangan, 2) Tidak ada peta wilayah pada lampiran UUPD yang bersangkutan, sehingga setiap daerah melakukan klaim dengan menggunakan peta menurut versinya masing-masing yang pada akhirnya ada perbedaan posisi klaim garis batas, 3) Skala peta wilayah terlalu kecil (lebih kecil dari 1:250.000) dan kebenaranya juga masih dipertanyakan, sehingga bentuk garis batas menjadi kurang detail. Akibatnya terjadi perbedaan persepsi letak garis batas, 4) Garis batas tidak didefinisikan dengan koordinat, sehingga posisi batas bisa ditafsirkan menurut kepentingan setiap daerah,
170
5) Letak batas wilayah ditempatkan pada suatu area yang belum didefinisikan, sebagai contoh area kecamatan atau selat, tetapi batas wilayah kecamatan atau laut yang digunakan belum definitif sehingga sering menjadi masalah, 6) Garis batas pada peta wilayah lampiran UUPD suatu daerah tidak sinkron dengan garis batas pada UUPD yang bertetangga, 7) Peta wilayah yang dilampirkan tidak sinkron dengan pasal pada batang tubuh UUPD yang bersangkutan, 8) Peta wilayah
hanya
menggambarkan
unsur planimetris,
tidak
menggambarkan unsur topografis (kontur) sehingga menimbulkan masalah kalau garis batasnya adalah punggung bukit, 9) Garis batas yang digambarkan di peta lampiran tidak berkesesuaian dengan batas yang sudah ada dan sudah diakui oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan 10) Nama-nama geografis (toponim) khususnya yang di sekitar garis batas, seperti misalnya nama desa, nama sungai sering tidak lengkap bahkan banyak yang tidak dicantumkan.
2. Kontribusi data numerik hasil penetapan dalam sengketa batas daerah.
Hasil kajian terhadap naskah UUPD, seluruh naskah UUPD yang diteliti, tidak mencantumkan data berupa angka-angka untuk jarak atau panjang segmen, koordinat titik batas dan azimuth
garis batas. Data numeris yang selalu
disebutkan di dalam naskah UUPD adalah data luas wilayah daerah. Dalam hal pencantuman data numeris luas wilayah, dalam penjelasan UUPD selalu dituliskan angka sampai dua dijit dibelakang koma. Sebagai contoh pada penjelasan UU No.3 tahun 2003tentang Pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu dituliskan bahwa Kabupaten Seluma yang terdiri atas 5 (lima) kecamatan Sukaraja, Kecamatan Seluma, Kecamatan Talo, Kecamatan Semidang Alas, dan Kecamatan Semidang Alas Maras dengan luas wilayah ± 2.400,44 km2.
171
Sesuai dengan pemahaman tentang significant figure (angka signifikan) dalam disiplin ilmu teknik geodesi dan geomatika, pencantuman angka luas sampai dua dijit di belakang koma dapat memunculkan dua pertanyaan. Pertama tentang akurasi yaitu suatu yang mencerminkan kedekatan terhadap nilai sebenarnya (true value) dan kedua tentang presisi yang mencerminkan konsistensi dalam prosedur pengukuran. Sementara dalam penjelasan undang-undang tersebut tidak dijelaskan di media apa luas itu diukur (di lapangan atau di peta), dengan alat apa diukur dan bagaimana metode pengukurannya. Data luas wilayah yang dicantumkan pada penjelasan UUPD memiliki aspek legal, sehingga data tersebut seharusnya diperoleh secara benar. Bila hanya untuk menunjukkan luas perkiraan, maka tidak perlu dicantumkan sampai dua dijit dibelakang koma. Luas wilayah daerah yang dibentuk sudah ditetapkan walaupun batas-batas daerah yang dibentuk belum definitif. Berdasar sudut pandang ilmu teknik geodesi dan geomatika, tentu hal ini kurang tepat karena luas yang pasti baru bisa ditentukan setelah ada kepastian letak garis batas daerah yang dimaksud. Pengalaman kasus sengketa batas antara Kabupaten Bengkulu Selatan (kabupateninduk)
denganKabupaten
Kaur
dan
Kabupaten
Seluma
(kabupatenpemekaran) yang bersumber dari data dijital luas wilayah dijelaskan sebagai berikut. Kabupaten Bengkulu Selatan yang dibentuk dengan UU No.4 tahun 1956 pada tahun 2003 dimekarkan dengan dua kabupaten melaui UU No.3 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu. Dalam penjelasan UU No.3 tahun 2003, disebutkan tentang angka-angka luas wilayah, yaitu kabupaten Bengkulu Selatan sebagai kabupaten induk mempunyai luas wilayah ±5.955,59 km2, Kabupaten Seluma dengan luaswilayah ± 2.400,44 km2 dan Kabupaten Kaur dengan luas wilayah ± 2.369,05 km2. Ketika pada tahun 2007 dilakukan penegasan batas, pengukuran luas Kabupaten Bengkulu Selatan hanya mendapatkan angka luas 1.185,65 km2. Angka luas wilayah tersebut dipermasalahkan oleh kabupaten Bengkulu Selatan, karena sebagai kabupaten induk luas wilayahnya menjadi lebih sempit dibandingkan dengan dua kabupaten pemekaran (Kemendagri, 2012). Sealin itu
172
itu kondisi peta lampiran UU No.3 tahun 2003 untuk Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur (Gambar 5.14.), hanya berupa sktesa sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pedoman untuk penegasan batas.
173
Gambar 5.14. Peta lampiran UUPD No.3 tahun 2003 untuk Kabupaten Seluma Berdasar kasus tersebut dapat dikatakan bahwa penentuan luas wilayah tidak diperoleh dari peta wilayah administrasi lampiran UUPD artinya tidak ada sinkronisasi antara peta wilayah hasil penetapan dengan data numerik luas wilayah yang dicantumkan dalam naskah UUPD. Temuan lain dari identifikasi terhadap informasi numeris yang dicantumkan dalam naskah UUPD yaitu ditemukan bahwa luas wilayah suatu provinsi ternyata angkanya tidak sama ketika ditulis pada suatu UUPD dengan UUPD yang lain. Terdapat 12 provinsi yang angka luasnya berbeda-beda ketika dicantumkan dalam UUPD kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan seperti disajikan pada Tabel 5.17. Tabel 5.17. Perbedaan luas provinsi yang sama yang dituliskan dalam beberapa UUPD kab/kota di provinsi yang bersangkutan
No.
Provinsi
1
NAD
2 3
Sumatera Utara Bengkulu
4
Lampung
5
Banten
6
NTT
7
Kalimant an Barat Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara
8 9 10
Data luas provinsi yang dituliskan dalam beberapa UUPD kabupaten/kota Periode tahun 2000 s.d tahun 2007 Periode tahun 2008 s.d. tahun 2009 UUPD Luas UUPD Luas UUPD Luas No. (km2) No. (km2) No. (km2) 4 57.365,57 th.2002 9 71.680 th. 2003 3 19.780,70 th. 2003
6 th. 2007 8 th.2002 10 th.2002 4 th. 2003
146.807 15.272,18
7 56.500,51 th. 2007 5 72.427,81 th. 2007
33 th.2007 32 th.2007 2 th.2007 35 th.2007 9 th.2007
37.735,15
14 th.2007
36.757,45
9018,64 47.349,49
72.981, 23 32.365, 60 34.623, 80 9662,92
30 th. 2008 27 th.2008
13.851, 64 61.841, 29
48.718, 10
120.114,32 13.930,73
63.678 38.184,09
23 th. 2008 24 th. 2008 50 th.2008 51 th.2008 52 th. 2008
174
No
Provinsi
11
Maluku
12
Papua
Data luas provinsi yang dituliskan dalam beberapa UUPD kabupaten/kota Periode th. 2000 s.d. th. 2007 Periode th. 2008 s.d. th. 2009 UUPD Luas UUPD Luas UUPD Luas No. (km2) No. (km2) No. (km2) 26 th.2002
421.981
31 th.2007 19 th.2007
47.350,42 309.934,40
32 th. 2008 55 th. 2008
46.914,03 319.036,05
Tabel 5.17Lanjut
Sebagai salah satu contoh, data pada Tabel 5.17. dapat dijelaskan sebagai berikut. Luas Provinsi Sumatera Utara ketika dicantumkan pada UU No.9 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara, ditulis angka 71.680 km2. Ketika dicantumkan pada UU No.5 tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara di Provinsi Sumatera Utara, luas Provinsi Sumatera Utara ditulis 72.427,81 km2 dan ketika dicantumkan pada UU No.23 tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Utara di Povinsi Sumatera Utara, luas Provinsi Sumatera Utara ditulis angka 72.981,23 km2. Data tersebut terlihat bahwa untuk satu provinsi yang sama, angka luas wilayah yang dicantumkan pada UUPD pembentukan kabupaten/kota di provinsi tersebut angkanya berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa data luas wilayah tidak diperoleh dari peta wilayah administrasi lampiran UUPD, tetapi diperoleh dari berbagai sumber yang lain. Kondisi ini tentunya tidak dibenarkan karena angkaangka luas yang dicantumkan pada naskah UUPD pada hakekatnya memiliki aspek legal. Kondisi seperti ini berpotensi menimbulkan sengketa pada saat kegiatan penegasan batas seperti kasus di Kabupaten Bengkulu Selatan.
175
V.6. Penguatan peran IG dalam proses penetapan dan penegasan batas daerah di Indonesia Berdasar atas hasil penelitian seperti yang telah diuraikan sebelumnya dan berdasarkan adanya pergantian UU No.32 tahun 2004 dengan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka disampaikan rumusan penguatan peran IG dalam konteks boundary making di masa mendatang. Rumusan penguatan tersebut meliputi dua hal, pertama, desain model kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah. Kedua, standar kebutuhan IG untuk penetapan dan penegasan batas daerah.
V.6.1. Desain model kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pokok persoalan sengketa batas daerah dimulai dari implementasi kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah yang bersifat non-linear. Proses kegiatan penetapan batas daerah sebagai bagian dari proses pembentukan DOB yang bersifat politis, tidak didukung kegiatan yang bersifat profesional secara proporsional, khususnya profesional geospasial, sehingga IG tidak digunakan dan tidak dihasilkan secara memadai. IG dalam boundary making walaupun merupakan hasil kerja profesional, tetapi ketika sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari produk hukum yang merupakan hasil kerja politisi, maka IG tersebut menjadi bersifat legal dan mengikat secara hukum (Akweenda, 1990). Oleh sebab itu untuk meminimalkan sengketa batas daerah pada aplikasi boundary making di Indonesia, khususnya kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah seharusnya dibuat linear, artinya mengakomodasi secara proporsional kerja yang bersifat profesional utamanya geospasial. Ada tiga faktor pendukung untuk implementasi kerangka kerja penetapan dan penegasan dibuat linear, yaitu: a) Adanya perubahan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan UU No.23 tahun 2014. Hal yang penting di dalam UU No.23 tahun 2014, bahwa pembentukan DOB diawali dengan
176
pembentukan Daerah Persiapan (DP) selama tiga tahunsejak DP ditetapkan. Penetapan DP termasuk batas daerah DP ditetapkan melalui peraturan pemerintah. Selama masa persiapan, DP mempunyai kewajiban menyiapkan prasarana pemerintahan. Batas daerah sebagai salah satu prasarana pemerintahan tentunya harus ditegaskan dan memiliki koordinat definitif sebagai salah satu syarat pembentukan DOB melalui UUPD. b) Perkembangan teknologi geospasial yang sangat pesat saat ini meliputi penentuan posisi dengan Global Navigation Satellite System (GNSS), teknologi satelit untuk mendapatkan citra (image) dengan resolusi tinggi dan teknologi komputer yang telah membawa abad dua puluh satu ini pada era teknologi dijital sedapat mungkin dapat dioptimalkan untuk mendukung boundary making batas daerah sebagai bagian dari proses pembentukan DOB di Indonesia. c) Adanya UU No.4 tahun 2011 tentang IG serta Instruksi Presiden No.6 tahun 2012 tentang Penyediaan, Penggunaan, Pengendalian Kualitas, Pengolahan dan Distribusi Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi yang dapat digunakan sebagai payung hukum penyediaan IG mutakhir untuk mendukung kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah yang bersifat linear sebagai bagian dari proses pembentukan DOB di Indonesia. Prinsip dasar penetapan dan penegasan batas daerah adalah ditujukan untuk mendapatkan batas daerah yang jelas dan tegas, memiliki kepastian yuridis dan kejelasan secara fisik di lapangan. Batas daerah yang memiliki kepastian yuridis dan jelas posisinya di lapangan sangat penting untuk infrastruktur pengelolaan wilayah. Selain itu batas yang pasti baik yuridis maupun letaknya di lapangan secara preventif dapat mencegah terjadinya sengketa batas. Berdasar hasil penelitian dan prinsip dasar penetapan dan penegasan batas daerah, serta berdasar kerangka kerja boundary makingbatas internasional yang dipublikasi oleh Srebro dan Shoshany (2013), desain model kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah di Indonesia untuk tahapan yang bersifat
177
politis dan kerangka kerja yang bersifat profesional (kotak kuning) digambarkan seperti pada Gambar 5.15.
Kerangka kerja yang bersifat politik USULAN ALOKASI/CAKUPAN WILAYAH DAERAH PERSIAPAN (DP), (Persyaratan administratif, Psl.37 UU No.23/2014)
PENETAPAN DP DENGAN PP DILAMPIRI PETA WILAYAH DP
Rekomendasi pendefinisian koordinat ttiik batas dan peta wilayah DOB
PEMBENTUKAN DOB DENGAN UUPD DILAMPIRI PETA WILAYAH DOB
Kerangka kerja profesional PEKERJAAN PERSIAPAN: Peta RBI skala besar/sedang, Citra satelit tegak resolusi tinggi, peta-peta tematik
PENETAPAN BATAS DP: 1) pemilihan letak batas secara kartometrik pada peta RBI didukung citra satelit resolusi tinggi dan peta tematik 2) Pendefinisian batas dengan penentuan koordinat titik-titik batas secara kartometrik, bila diperlukan dilacak dengan GPS navigasi 3) Pembuatan peta wilayah daerah persiapan
PENEGASAN BATAS CALON DOB: 1) Logistik 2) Survei pemetaan dan penentuan koordinat titik batas (TS dan GPS) 3) Pemasangan pilar batas dan deskripsinya 4) Hitungan koordinat titik batas 5) Pembuatan peta penegasan batas daerah persiapan calon DOB
PRODUK HUKUM: PP PENETAPAN DP + LAMPIRAN PETA DP, UUPD DOB + LAMPIRAN PETA PENEGASAN DOB
ADMINISTRASI/DOKUMENTASI BATAS DAERAH (SIG)
PENGELOLAAN WILAYAH DOB
PEMELIHARAAN GARIS BATAS DOB
Gambar 5.15. Model kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah dalam rangka pembentukan DOB di Indonesia
178
Model kerangka kerja tersebut disusun dengan merujuk pada pasal-pasal yang mengatur pemekaran daerah pada UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Bab VI Penataan Daerah. Beberapa hal penting pada UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dirujuk dalam pembuatan desain model kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah adalah: 1) Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1, ayat 12). 2) Wilayah Administratif adalah wilayah kerja perangkat Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum di Daerah (Pasal 1 ayat 13). 3) Daerah Persiapan (DP) adalah bagian dari satu atau lebih Daerah yang bersanding yang dipersiapkan untuk dibentuk menjadi Daerah baru (Pasal 1 ayat 21). 4) Catatan penting tentang Daerah Persiapan dirujuk dari Wasistiono, dkk. (2012), yaitu: (a) DP diartikan sebagai bagian wilayah dari sebuah daerah otonom atau gabungan wilayah dari bagian wilayah daerah otonom yang berdekatan, yang disiapkan secara khusus untuk menjadi DOB, dengan memberikan kewenangan menjalankan pemerintahan di bawah pembinaan dan tanggung jawab daerah otonom induknya, (b) pembentukan
DP
dipersiapkan
secara
sungguh-sungguh,
(c)
pembentukan DP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini didasarkan bahwa tahap tersebut bersifat administratif sehingga masih menjadi ranahnya eksekutif, belum menjadi keputusan politik.
179
5) Cakupan Wilayah adalah Daerah kabupaten/kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah provinsi atau kecamatan yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota (Pasal 1 ayat 22) 6) Isi Pasal 32 sampai dengan Pasal 44 UU No.23 tahun 2014. Penjelasan diagram Gambar 5.15. adalah sebagai berikut: 1.
Tahap persiapan Persiapan dalam rangka usulan alokasi/cakupan wilayah DP meliputi: (1)
menyiapkan dokumen persyaratan administratif, (2) menyiapkan dokumen persyaratan dasar kewilayahan dan (3) menyiapkan persyaratan dasar kapasitas Daerah. Menyiapkan persyaratan administratitf merupakan kerja politisi, sedang menyiapkan persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan dasar kapasitas daerah lebih didominasi kerja profesional. Menyangkut IG (IGD dan IGT) diperlukan pada persyaratan dasar kewilayahan untuk menentukan parameter: (a) luas wilayah minimal, (b) batas wilayah, (c) cakupan wilayah dan persyaratan dasar kapasitas daerah pada parameter: (a) geografi, (b) demografi, (c) keamanan, (d) sosial politik, adat, dan tradisi, (e) potensi ekonomi, (f) keuangan Daerah. Untuk mengetahui jumlah dan cakupan IG yang diperlukan di sepanjang koridor garis batas yang diperkirakan, perlu terlebih dahulu disiapkan Indeks Peta pada skala kecil disepanjang koridor garis batas yang diperkirakan, seperti ilustrasi Gambar 5.16. IGD yang disiapkan yaitu peta RBI yang dibuat oleh BIGeospasial. Peta RBI yang disiapkan memiliki rentang skala sedang sampai besar tergantung jenis Daerah yang diusulkan. Untuk usulan DP kota, yaitu 1:25.000 sampai dengan 1:10.000, untuk usulan DP kabupaten 1:50.000 sampai dengan 1:25.000 dan untuk usulan DP provinsi 1:50.000 sampai dengan 1:100.000. Sedangkan untuk keperluan persyaratan dasar kapasitas Daerah, IG yang disiapkan adalah IG tematik (IGT) yang cakupannya meliputi rencana wilayah DP. IGT untuk parameter geografi misalnya peta kerawanan bencana, untuk parameter demografi misalnya peta sebaran penduduk dan peta kualitas SDM. Untuk parameter keamanan misalnya perlu disiapkan peta potensi konflik, peta potensi kerawanan
180
tindakan kriminal umum. Untuk parameter potensi ekonomi misalnya peta potensi unggulan Daerah.
Koridor sepanjang garis batas perkiraan calon DP
IGl yang disiapkan (peta RBI, citra satelit, DTM, peta tematik)
Garis batas perkiraan calon DP
Gambar 5.16. Indeks peta sepanjang garis batas calon DP Selain itu, dengan tersedianya citra satelit yang memiliki resolusi tinggi dan menegah yang bisa diakses relatif mudah, maka citra satelit bisa dimanfaatkan karena sangat membantu dalam proses pemodelan topografi untuk keperluan deliniasi garis batas khususnya pada daerah berbukit. 2.
Tahap penetapan batas. Pada tahap penetapan, tugas profesional pemetaan adalah menyiapkan peta
kerja yang digunakan untuk memilih letak batas dan mendefinisikan titik batas. Pemilihan letak batas dilakukan dengan terlebih dahulu disiapkan hasil deliniasi beberapa alternatif garis batas di peta kerja yang disiapkan profesional geospasial. Beberapa alternatif garis batas biasanya ditentukan atas dasar pertimbangan geospasial dan politis. Profesional pemetaan membantu menyiapkan alternatif garsis batas calon DP
untuk pertimbangan yang bersifat geospasial. Setelah
dipilih dan disepakati satu garis batas oleh para politisi, bantuan berikutnya dari profesional geospasial adalah mendefinisikan garis batas dan titik-titik batas. Pendefinisian garis batas bisa dilakukan dengan parameter arah dan jarak, sedangkan pendefinisian titik-titik batas dilakukan dengan cara menentukan
181
koordinat titik-titik batas dengan membaca koordinat di peta kerja. Pemilihan letak dan pendefinisian garis batas pada tahap penetapan, secara geospasial sebenarnya merupakan aplikasi metode kartometrik, yaitu penelusuran dan penarikan garis batas pada peta kerja, pengukuran dan penghitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Untuk penelusuran dan penarikan garis batas serta pengukuran dan perhitungan posisi (koordinat), jarak serta luas cakupan wilayah, terlebih dahulu harus disiapkan peta kerja. Peta kerja ini dibuat menggunakan peta dasar (peta RBI) sebagai acuan dan peta-peta atau IG lain seperti citra satelit sebagai pendukung (Sumaryo, dkk., 2013). Tahapan penetapan batas secara kartometrik diilustrasikan pada Gambar 5.17. Mengingat bahwa parameter cakupan wilayah termasuk dalam persyaratan fisik kewilayahan dan apabila batas daerah yang menjadi cakupan wilayah DP yang diusulkan belum ditetapkan, maka batas daerah cakupan wilayah DP yang diusulkan
juga termasuk yang harus ditetapkan. Untuk calon DP Provinsi,
cakupan wilayah meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota dan untuk calon DP kabupaten cakupan wilayahnya meliputi paling sedikit lima kecamatan dan usulan DP kota cakupan wilayahnya meliputi paling sedikit empat kecamatan (Pasal 35 ayat 4 butir a,b,c). Selain batasnya, toponim kabupaten/kota dan kecamatan yang termasuk sebagai cakupan wilayah harus disebutkan. Metode kartometrik seperti Gambar 5.18. telah berhasil dilakukan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah BIG dalam dua kegiatan yaitu: (1) Proyek Adjudikasi dan Penetapan Batas Wilayah Desa di Kecamatan Bantul dan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul Yogyakarta tahun 2013 yang bekerja sama dengan Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM tahun 2013, (2) Pilot proyek kegiatan penegasan batas daerah secara kartometrik batas daerah antar kabupaten/kota se Provinsi Kalimantan Tengah yang meliputi 23 segmen batas tahun 2013 yang bekerjasama dengan PT. Indah Unggul Bersama, Jakarta.
182
PENYIAPAN DOKUMEN
DOKUMEN ADMINISTRATIF (PROSES POLITIK)
DOKUMEN TEKNIS IG
1) Keputusan musyawarah Desa yang menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota; 2) Persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah induk; dan 3) Persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/kota yang dibentuk.
1) 2) 3) 4)
Peta RBI Titik kontrol geodesi Citra satelit, DEM Peta tematik
PEMBUATAN PETA KERJA DELINIASI BEBERAPA ALTERNATIF GARIS BATAS CALON DP, TERMASUK BATAS CAKUPAN WILAYAH
PEMILIHAN DAN KESEPAKATAN LETAK BATAS CALON DP PENDEFINISIAN GARIS BATAS DAN TITIK BATAS CALON DP PEMBUATAN PETA WILAYAH CALON DP
USULAN BATAS CALON DP SEBAGAI BAGIAN USULAN DP GUBERNUR PEMERINTAH PUSAT
Keterangan Kegiatan profesi geospasial
Gambar 5.17. Diagram alir penetapan batas daerah calon DP secara kartometrik
183
Dalam kegiatan penetapan batas daerah calon DP, diperlukan tim pelaksana. Tim tersebut sebaiknya diberi nama Tim Teknis Penetapan Batas Daerah Calon DP yang dibentuk oleh Gubernur yang wilayahnya menjadi calon DP. Tim teknis ini didukung oleh lembaga pemetaan pemerintah utamanya Pusat Pemetaan Batas Wilayah BIG dan lembaga pemetaan pemerintah yang lain seperti Dinas Topografi TNI-AD dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL. Tim Teknis Penetapan Batas Daerah Calon DP hanya bertugas membantu menyiapkan peta kerja untuk bahan perundingan antara Daerah Induk (DI) dan calon DP dan menyiapkan peta batas wilayah dan penentuan koordinat titik batas calon DP setelah batas daerah calon DP disepakati oleh DI dan calon DP. Hasil-hasil pekerjaan persiapan yang merupakan hasil kerja profesional geospasial adalah merupakan bagian dari persyaratan dasar kewilayahan. Persyaratan dasar kewilayahan bersama-sama dengan persyaratan dasar administrasi DP yang disiapkan oleh politisi adalah merupakan bagian dari dokumen usulan DP yang disampikan ke Gubernur untuk diusulkan ke Pemerintah Pusat. 3. Tahap penegasan batas calon DOB. Setelah DP ditetapkan melalui peraturan pemerintah, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (Geospasial) UU No.23 tahun 2012 menyebutkan bahwa Daerah Induk wajib membantu penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan dan DP wajib menyiapkan sarana dan prasarana pemerintahan. Dalam konteks batas daerah, penulis berpendapat bahwa batas daerah merupakan salah satu prasarana atau infrastruktur pemerintahan. Hal ini merujuk kepada Pasal 1 ayat 12 UU No.23 tahun 2014 yang menyebutkan: Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya pada ayat (13) disebutkan: Wilayah Administratif adalah wilayah kerja perangkat Pemerintah Pusat
termasuk
Gubernur
sebagai
wakil
Pemerintah
Pusat
untuk
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
184
Pusat di Daerah dan wilayah kerja Gubernur dan Bupati/Wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum di Daerah. Prasarana pemerintahan yang berupa batas daerah sudah ada dan sudah ditetapkan pada peta wilayah DP yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah tentang DP, tetapi batas tersebut masih berwujud garis dan daftar titik-titik koordinat di peta wilayah DP. Sebagai prasarana untuk menjalankan pemerintahan secara nyata, maka garis batas dan daftar koordinat titik-titik batas perlu secara fisik dipasang di lapangan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penegasan batas DP di lapangan. Dengan demikian DP mempunyai kewajiban untuk melakukan penegasan batas daerah dan DI mempunyai kewajiban membantu penegasan batas daerah DP. Penegasan batas DP sebagai calon DOB dilakukan selama masa persiapan yaitu tiga tahun terhiung sejak DP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pekerjaan penegasan batas DP menghasilkan: pilar-pilar batas beserta daftar koordinat pilar batas yang dipasang di lapangan dan peta penegasan calon DOB. Hasil penegasan batas DP direkomendasikan sebagai batas calon DOB yang menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari UUPD dari DOB yang dibentuk. Kegiatan penegasan batas DP sebagai calon DOB diselenggarakan oleh Pemerintah yang dikoordinir oleh Menteri Dalam Negeri dengan tim teknis dikoordinasi oleh BIG dengan melibatkan lembaga-lembaga resmi pemetaan seperti Direktorat Topografi TNI-AD dan Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL. Penulis berpendapat, dalam kegiatan penegasan tidak perlu dibentuk Tim Penegasan Batas Daerah di tingkat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Keterlibatan DI dan DP dalam kegiatan penegasan batas daerah DP adalah sebagai anggota dalam Tim Teknis Penegasan Batas Daerah Calon DOB yang bertugas penyelenggaraan penegasan batas yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Perlu disusun pedoman teknis penegasan batas daerah DP, secara garis besar tahapan penegasan batas daerah DP calon DOB dapat dilakukan seperti diagram alir Gambar 5.18. Pada diagram alir tersebut, peta wilayah DP lampiran PP DP beserta daftar koordinat titik-titik batas dan deskripsi garis batas hasil penetapan, merupakan bahan yang sangat penting untuk penegasan titik-titik batas di
185
lapangan. Bila peta tersebut telah memenuhi standar kualitas yang ditetapkan, maka sengketa batas daerah yang mungkin terjadi pada saat kegiatan penegasan diharapkan dapat dieliminir. PETA WILAYAH DP SEBAGAI LAMPIRAN PP DP
PELACAKAN BATAS
SURVEI LAPANGAN
Pemasangan dan deskripsi pilar batas
Pengukuran posisi pilar batas (GPS)
PEMETAAN
Hitungan koordinat titik batas
Kartografi peta batas daerah
BASIS DATA BATAS DAERAH
DOKUMEN STATIK
Laporan penegasan batas daerah DP calon DOB
Permendagri tentang penegasan batas DP calon DOB
Peta penegasan batas daerah DP, lampiran Permendagri batas DP calon DOB
Gambar 5.18. Usulan pelaksanaan penegasan batas daerah DP sebagai calon DOB
186
V.6.2. Kebutuhan IG untuk penetapan dan penegasan batas daerah
Kebutuhan IG yang harus dirumuskan adalah pada peta hasil penetapan agar bila digunakan untuk memindahkan titik-titik batas dari peta ke lapangan tidak menimbulkan kesalahan posisi. Di dalam ilmu kartografi, posisi adalah parameter geometrik (Kraak dan Omerling, 2013). Oleh sebab itu parameter posisi adalah parameter geometris. Parameter geometris peta meliputi: skala peta, sistek koordinat dan datum geodesi. Peta wilayah lampiran UUPD termasuk peta tematik, mengacu pada ketentuan UU No.4 tahun 2011 tentang IG, peta tematik wajib dibuat dengan dasar peta RBI. Dalam sistem pemetaan di Indonesia, sistem koordinat dan datum geodesi sudah ditentukan secara nasional oleh BIG yaitu sistem UTM untuk sistem koordinat dan SRGI-2013 untuk datum geodesi yang digunakan untuk membuat peta dasar (peta RBI), sehingga kriteria sistem koordinat dan datum geodesi untuk peta wilayah untuk keperluan penetapan dan penagasan batas daerah mengikuti saja pada ketentuan yang ada. Parameter geometris lain yang perlu ditentukan kriterianya adalah skala peta dan feature yang harus ditampilkan agar secara preventif dapat meminimalkan sengketa. Kriteria kebutuhan peta dapat disusun dari pertanyaan-pertanyaan berikut: 1) Berapa skala peta wilayah yang harus dibuat, untuk pembentukan Daerah Persiapan Provisni, Kabupaten dan Kota? 2) Agar tidak menimbulkan perbedaan interpretasi ketika garis batas dipasang ke lapangan, titik-titik batas harus didefinisikan dengan koordinat. Koordinat dibaca/diukur dari peta RBI yang digunakan, sehingga faktor skala peta RBI juga sangat menentukan terhadap ketelitian koordinat yang diperoleh. 3) Agar tidak menimbulkan perbedaan interpretasi ketika garis batas ditransformasi ke lapangan, route garis batas sebaiknya dideskripsikan dengan feature geografis untuk memudahkan dalam pelacakan batas sebelum pengukuran. Feature-feature tersebut diperoleh dari peta RBI.
187
Pertanyaannya, feature apa saja yang perlu diekstrak dari peta RBI dan digambar dalam peta wilayah? 4) Angka koordinat titik-titik batas, panjang segmen batas, arah (azimuth) garis batas dan luas wilayah yang diperoleh dari pengukuran di peta dasar/peta kerja secara kartometrik, dicantumkan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah tentang penetapan calon Daerah Persiapan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah yang bersangkutan. Oleh sebab itu data numeris yang dicantumkan tersebut menjadi memiliki aspek legal. Pertanyaannya sampai dijit berapa angka-angka tersebut dicantumkan? 1.
Kriteria skala petadalam penetapan batas daerah Penetapan batas daerah memerlukan input IG. Dalam hal IG sebagai input
penetapan, dapat digunakan berbagai jenis IG utamanya peta dasar, kemudian citra satelit dan peta-peta tematik sebagai pendukung. Keunggulan citra satelit dibanding peta dasar dalam boundary making adalah citra satelit merupakan media yang dapat membawa kondisi medan nyata ke meja perundingan pada saat bernegosiasi tentang batas wilayah, karena kedua media
tersebut merupakan
rekaman fotografis permukaan bumi yang sebenarnya. Namun demikian menurut Adler (1995), secara legal, citra satelit tetap hanya berfungsi untuk melengkapi peta dasar. Oleh sebab itu dalam penelitian ini kriteria IG hanya difokuskan pada peta dasar resmi yang disebut peta RBI yang dibuat oleh BIG. Peta RBI dalam proses penetapan digunakan untuk memilih letak batas dan mendefinisikan titik-titik batas, sehingga kriteria yang harus dimiliki peta RBI adalah kriteria untuk keperluan dua hal tersebut. Dalam memilih letak batas, pertimbangan geospasial menjadi salah satu pertimbangan penting selain pertimbangan politis (Jones, 1945). Sebagai peta dasar yang bersifat umum, peta RBI menggambarkan semua unsur geospasial baik yang bersifat alamiah maupun buatan manusia (Soendjojo dan Riqqi, 2012), sehingga secara fungsinya peta RBI memiliki kriteria yang diperlukan untuk tahap memilih letak batas dalam proses penetapan batas. BIG memproduksi peta RBI dalam berbagai skala, sehingga
188
yang harus dirumuskan adalah skala berapa untuk penetapan calon DP Provinsi, Kabupaten dan Kota? Mengacu pada hubungan skala peta dengan cakupan wilayah serta kerincian informasi yang ditampilkan pada peta yang ditandai dengan FRF (Feature Reduction Factor) seperti dijelaskan pada bab III.2.5., maka dapat ditentukan skala peta yang harus dibuat pada luasan Kota, Kabupaten dan Provinsi bila digambar pada format ukuran kertas tertentu. Untuk penggambaran peta wilayah administrasi, digunakan ukuran kertas A0 dengan luas isi peta 800 mm x 880 mm (Bakosurtanal-PPBW, 2008, 2009a, 2009b). Data luasan Provinsi, Kabupaten dan Kota yang ada di Indonesia, luasnya bervarasi (Keputusan Menteri Dalam Negeri No.18 tahun 2005 tentang Data Luas Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota). Bila dihitung menggunakan parameter luas wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota dan luas muka isi peta pada kertas ukuran A0, maka skala peta wilayah calon Daerah Persiapan Provinsi, Kabupaten dan Kota masing-masing disajikan pada Tabel 5.18, Tabel 5.19 dan Tabel 5.20. Peta wilayah calon Daerah Persiapan Provinsi, Kabupaten dan Kota adalah peta tematik. Bila variasi luas Provinsi, Kabupaten dan Kota digambarkan pada pada kertas ukuran A0 (ukuran A0 menurut ISO-216, 2007 adalah 841 mm x 1189 mm) dengan muka isi peta 800 mm x 880 mm, maka diperoleh skala peta wilayah yang bervariasi. Untuk daerah provinsi yang varasi luasnya antara 10.000 km2 sampai 40.000 km2, skalanya bervariasi antara 1: 119.200 sampai 1: 238.500. Untuk daerah kabupaten yang variasi luasnya antara 1.000 km2 sampai 9.000 km2, skalanya bervariasi antara 1: 37.000 sampai 1: 113.000. Untuk daerah kota yang variasi luasnya berkisar 50 km2 sampai 500 km2, skalanya bervariasi antara 1: 8.5000 sampai 1: 26.650.
189
Tabel 5.18. Hubungan luas Daerah Provinsi dalam satuan km2 dengan skala wilayah calon DP Provinsi bila digambar pada format kertas ukuran A0
No. 1 2 3 4 5 6 7
Daerah Persiapan Provinsi Luas (km2) Skala 10000 1: 119.200 15000 1: 145.900 20000 1: 168.500 25000 1: 188.500 30000 1: 206.500 35000 1: 223.000 40000 1: 238.500
Tabel 5.19. Hubungan luas Daerah Kabupaten dalam satuan km2 dengan skala wilayah calon DP Kabupaten bila digambar pada format kerta ukuran A0
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Daerah Persiapan Kabupaten Luas (km2) Skala 1000 1: 37.688 1500 1: 46.159 2000 1: 53.300 2500 1: 59.591 3000 1: 65.280 3500 1: 70.509 4000 1: 75.377 4500 1: 79.950 5000 1: 84.275 5500 1: 88.400 6000 1: 92.300 6500 1: 96.100 7000 1: 99.715 8000 1: 106.600 9000 1: 113.070
190
Tabel 5.20. Hubungan luas Daerah Kota dalam satuan km2 dengan skala wilayah calon DP Kota bila digambar pada format kerta ukuran A0
No.
Luas
Skala
1 2 3 4 5 6
50 60 70 80 90 100
1: 8500 1: 9200 1: 9900 1: 10.660 1: 11.306 1: 11.918
Daerah Persiapan Kota(km2) No. Luas Skala No. 7 8 9 10 11 12
125 150 175 200 225 250
1: 13.325 1: 14.596 1: 15.766 1: 16.854 1: 17.877 1: 18.844
13 14 15 16 17 18
Luas
Skala
275 300 350 400 450 500
1: 19.764 1: 20.643 1: 22.297 1: 23.836 1: 25.282 1: 26.650
Sesuai ketentuan pada Pasal 19 UU No.4 tahun 2011 tentang IG, peta tematik harus digambar mengacu pada IGD yaitu peta RBI. Sedang menurut Pasal 18 UU No.4 tahun 2011 disebutkan bahwa Peta RBI diselenggarakan pada skala 1:1.000.000, 1:500.000, 1:250.000, 1:100.000, 1:50.000, 1:25.000,1:10.000, 1:5.000, 1:2.500, dan 1:1.000, artinya hanya skala-skala tersebut yang disiapkan oleh BIG. Dengan demikian, apabila dipilih skala peta RBI yang mendekati skala peta wilayah calon Daerah Persiapan seperti Tabel 5.18, Tabel 5.19 dan Tabel 5.20, maka skala peta wilayah Daerah provinsi adalah antara 1: 100.000 dan 1: 250.000, untuk skala peta wilayah Daerah Persiapan Kabupaten antara 1: 50.000 dan 1: 100.000 dan untuk skala peta wilayah Daerah Persiapan Kota adalah antara 1:10.000 dan 1: 25.000. Proses penetapan batas daerah di peta adalah proses kartometrik sehingga skala peta mempengaruhi kesalahan pengukuran yang dilakukan dipeta. Berbagai kesalahan pengukuran di peta pada berbagai skala dan akibat kesalahan tersebut terhadap kesalahannya di lapangan disajikan pada Tabel 5.21.
191
Tabel 5.21. Kesalahan pengukuran di peta pada berbagai skala dan akibatnya terhadap kesalahan tersebut di lapangan Kesalahan pengukuran di peta 2 mm 1 mm 0,5 mm
Kesalahan di lapangan pada skala peta (dalam meter) 1:250.00 1: 100.000 1: 50.000 1:25.000 1: 10.000 1:5000 0 500 200 100 50 20 10 250 100 50 25 10 5 125 50 25 12,5 5 2,5
Pengukuran jarak di peta pada umumnya dilakukan dengan mistar ukur yang memiliki pembagian satuan terkecil 1 mm, sehingga estimasi kesalahan baca menggunakan mistar tersebut adalah sekitar 0,5 mm. Dengan demikian pada skala 1: 250.000, kesalahan 0,5 mm di peta mengakibatkan kesalahan di lapangan mencapai 125 m. Pada peta skala 1: 10.000, kesalahan pengukuran dengan mistar penggaris sebesar 1 mm, kesalahan di lapangan bisa mencapai 10 m dan untuk skala 1:25.000, kesalahan di lapangan mencapai 25 m. Pada daerah Kota kesalahan 25 m mempunyai implikasi yang cukup berarti. Selain itu, di masa depan, luas pemekaran Kota luasnya diperkirakan sekitar 100 km2, sehingga penulis menyarakan untuk IG pada penetapan batas daerah calon Daerah Persiapan Kota, baik sebagai input (peta RBI) maupun sebagai output (peta wilayah calon DP) digunakan peta skala 1:10.000. Mengacu
pada
angka-angka
kesalahan
lapangan
akibat
kesalahan
pengukuran di peta seperti disajikan pada Tabel 5.21, maka penulis berpendapat untuk peta RBI maupun peta wilayah daerah calon provinsi sebaiknya digunakan minimal skala 1: 100.000, untuk peta RBI maupun peta wilayah calon kabupaten digunakan minimal skala 1: 25.000 dan untuk peta RBI maupun peta wilayah calon daerah Kota digunakan minimal skala 1: 10.000. 2.
Kriteria datum geodetik dan sistem koordinat Kriteria datum geodetik dan sistem koordinat merujuk pada sistem
georeferensi nasional yang ditetapkan oleh BIG. 3.
Kriteria proses penetapan a) Memilih letak dan mendefinisikan batas dilakukan secara kartometrik,
192
b) Definisi garis batas dilakukan secara deskriptif menggunakan toponim sepanjang lintasan garis batas, c) Definisi titik batas menggunakan koordinat geografis dan koordinat UTM dengan menyebutkan datum geodesi yang digunakan. 4.
Kriteria unsur rupa bumi yang ditampilkan Unsur-unsur rupa bumi yang digambarkan dalam peta RBI tentunnya
mengacu kepada spesifikasi penyajian peta RBI menurut SNI yang dikeluarkan oleh BSNI yang terbaru. Sedangkan untuk peta wilayah calon DP hasil penetapan sebagai peta tematik, maka selain merujuk pada peta RBI sebagai dasar pembuatannya, maka beberapa unsur penting yang harus ada adalah: a) Pada peta wilayah calon DP Provinsi, batas daerah yang sudah ditegaskan (definitip) dari Daerah yang menjadi cakupan wilayah harus ditampilkan, b) Pada peta wilayah calon DP Kabupaten, batas wilayah kecamatan yang menjadi cakupan wilayah dari DP Kabupaten yang diusulkan harus ditampilkan. Bila batas ini belum ditetapkan, maka batas wilayah kecamatan ini harus ditetapkan bersamaan dengan penetapan batas calon DP Kabupaten. Batas wilayah desa pada desa-desa sepanjang batas daerah calon DP Kabupaten harus ditampilkan, walaupun batas desa tersebut masih bersifat indikatif, c) Pada peta wilayah calon DP Kota, batas wilayah kecamatan yang menjadi cakupan wilayah dari DP Kota yang diusulkan harus ditampilkan. Bila batas ini belum ditetapkan, maka batas wilayah kecamatan ini harus ditetapkan bersamaan dengan penetapan batas calon DP Kota. Batas wilayah desa pada desa-desa sepanjang batas daerah calon DP Kota harus ditampilkan, walaupun batas desa tersebut masih bersifat indikatif. 5. Kriteria tampilan data numeris Dalam naskah PP pembentukan DP atau dalam naskah UUPD sering harus dicantumkan data numeris terkait batas wilayah, misalnya angka panjang segmen,
193
arah, koordinat titik batas maupun angka luas wilayah. Beberapa kriteria terkait data numeris tersebut: a) Data numeris harus diperoleh/diukur pada peta yang sudah ditetapkan atau dari data ukuran langsung hasil penegasan, b) Data numeris harus disebutkan sumber perolehannya diukur di peta yang sudah ditetapkan atau diukur langsung, c) Pencantuman data numeris harus memperhatikan significant figure. Untuk data dijital yang diperoleh dari ukuran langsung cukup ditulis sampai dijit hasil satuan terkecil alat yang digunakan. Untuk data yang diukur di peta dengan mistar ukur, biasanya dijit terkecil adalah milimeter, sehingga estimasi ketelitiannya ±0,5 mm. Pada peta skala 1: 1000, jarak sebenarnya adalah 102 m dengan estimasi ketelitiannya adalah ± 0,5 mm x 1000 = 500 mm atau 0,5 m, sehingga pencantuman angka cukup ditulis 102 m, tidak perlu ditulis 102,00 m.