16
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan siklus curah hujan pada zona B (Gambar 6). Rata-rata curah hujan bulan di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 adalah 262 mm. Curah hujan yang cukup tinggi
(>262
mm)
di
Riau
terjadi
pada
bulan
Oktober−Desember, sedangkan curah hujan rendah
Maret−April
dan
terjadi pada bulan
Januari−Februari dan Mei−September cukup rendah (<262 mm) (Gambar 6). 400
CH
Curah hujan (mm)
350 300 250 200 150 100 50
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
0
(a)
(b)
Gambar 6 Pola curah hujan di Riau hasil penelitian ini (a) dan Pola curah hujan zona B (Aldrian dan Susanto 2003) (b) 5.1.2 Sebaran hotspot Sebaran hotspot Provinsi Riau pada tahun 2001−2009 bersifat fluktuatif seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Jumlah hotspot tahun 2001 sampai dengan 2005 mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 1.178 titik (2001), 4.423 titik (2002), 5.190 titik (2003), 6.370 titik (2004), dan 17.534 titik (2005). Pada tahun 2006 sampai dengan 2007 jumlah titik hotspot mengalami penurunan yaitu 8.439 titik (2006) dan 2.944 titik (2007) dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 sampai dengan 2009 yaitu 4.289 titik (2008) dan 10.295 titik (2009).
17
Gambar 7 menunjukkan bahwa hotspot terbanyak di Riau terjadi pada tahun 2005 (17.534) diikuti tahun 2009 (10.295).
Gambar 7 Sebaran hotspot di Riau pada tahun 2001−2009
Hotspot
Jumlah hotspot pada periode 2001−2009 di Provinsi Riau disajikan pada Gambar 8. Seperti terlihat pada Gambar 8 jumlah hotspot di Riau pada tahun 2001 sampai dengan 2009 bersifat fluktuatif. 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2001
2002
2003
2004
2005 Tahun
2006
2007
2008
2009
Gambar 8 Grafik jumlah hotspot per tahun di Riau pada 2001−2009
18
5.1.3 Pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot Rataan curah hujan per bulan dan hotspot per bulan pada tahun 2001−2009 disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan bahwa hubungan antara curah hujan dan hotspot berbanding terbalik; semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot mengalami penurunan sebaliknya semakin sedikit curah hujan jumlah hotspot mengalami peningkatan. 700
CH
hotspot
5000
500
4000
400 3000
300
Hotspot
Curah Hujan (mm)
600
6000
2000
200
1000
100
0 Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt Mar Agst Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei
0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008 2009
Gambar 9 Grafik hubungan curah hujan dan hotspot di Riau pada tahun 2001−2009
Jumlah hotspot tertinggi di Riau pada setiap tahun pada umumnya terjadi pada saat curah hujan berada di bawah rata-rata (Tabel 1). Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah hotspot tertinggi setiap tahunnya terjadi pada bulan Februari, Juni, Juli, dan Agustus dimana pada bulan tersebut terjadi musim kemarau di Provinsi Riau. Tabel 1 Hotspot tertinggi dan curah hujan di Riau pada periode 2001−2009 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Bulan Juli Februari Juni Juni Februari Agustus Februari Agustus Juli
Curah hujan (mm) 96 24 238 68 93 280 206 143 74
Jumlah Hotspot 551 1.216 2.284 1.157 5.429 1.401 573 1.598 2.464
19
Jumlah hotspot terendah di Riau pada setiap tahunnya pada umumnya terjadi pada saat curah hujan berada di atas rata-rata (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah hotspot terendah setiap tahunnya terjadi pada bulan Maret, Oktober, November, dan Desember, atau pada saat terjadi musim hujan di Provinsi Riau.
Tabel 2 Hotspot terendah dan curah hujan di Riau pada periode 2001−2009 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Bulan November Desember November November November Desember November Oktober Maret
Curah hujan (mm) 206 531 481 386 407 487 333 170 551
Jumlah Hotspot 1 11 12 6 48 7 34 22 73
Perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan dengan hotspot menghasilkan nilai P value= 0,000 (Tabel 3). Nilai P value yang kurang dari 0,05 ini menunjukkan bahwa curah hujan mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan di Riau pada periode tahun 2001−2009. Tabel 3 Hasil analysis of variance hotspot dengan curah hujan Source Regression Residual Error Total
DF 1 103 104
SS 8905455 70218166 79123622
MS 8905455 681730
F 13,06
P 0,000
5.1.4 Pengaruh anomali SST terhadap curah hujan Gambar 10 menunjukkan hubungan anomali SST terhadap curah hujan di Provinsi Riau pada tahun 2001−2009. Anomali SST tertinggi pada periode tahun 2001−2009 terjadi pada bulan Desember 2002 sebesar +1,520C dengan curah hujan 531 mm sedangkan SST terendah terjadi pada bulan Februari 2008 dengan nilai -1,890C dan curah hujan 140 mm. Pada Gambar terlihat bahwa anomali SST tidak mempengaruhi kejadian curah hujan di Provinsi Riau pada periode 2001−2009. Anomali SST yang tinggi
20
tidak menyebabkan curah hujan mengalami penurunan sebaliknya anomali SST
2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 -0,50 -1,00 -1,50 -2,00 -2,50
Anomali SST
CH
700
500 400 300 200
Curah Hujan (mm)
600
100 0 Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt mar Agst Jan Jun Nov Apr Agst Feb Jul Des Mei
Anomali SST oC
yang rendah tidak menyebabkan curah hujan mengalami peningkatan.
2001
Gambar 10
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008 2009
Grafik hubungan anomali SST dan curah hujan di Riau pada tahun 2001−2009
Curah hujan maksimum yang terjadi di Provinsi Riau pada periode 2001– 2009 terjadi pada rentang nilai anomali SST yang cukup besar (-1,47 sampai dengan 1,52oC). Curah hujan maksimum di Riau terjadi pada bulan Maret–April dan Oktober–Desember dan terjadi pada bulan Juli (Tabel 4). Tabel 4 Curah hujan maksimum dan anomali SST di Riau pada periode 2001−2009 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Bulan Oktober Desember Maret Oktober Juli Desember Oktober Maret Oktober
Curah hujan (mm) 586 531 507 662 435 487 428 597 628
Anomali SST (oC) -0,10 1,52 0,59 0,69 0,25 1,19 -1,47 -1,15 0,94
Curah hujan terendah minimum yang terjadi di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 terjadi pada rentang anomali SST yang besar (-0,43 oC) sampai dengan 0,72oC (Tabel 5). Curah hujan minimum di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 terjadi pada bulan Februari dan Juni−Agustus.
21
Tabel 5 Curah hujan minimum dan anomali SST di Riau pada periode 2001−2009 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Bulan Juli Februari Agustus Agustus Juni Juli Juli Juli Juli
Curah hujan (mm) 96 24 134 68 70 80 181 38 74
Anomali SST (oC) 0,10 0,23 0,03 0,72 0,40 0,13 -0,43 -0,03 0,72
Hasil perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan dengan Anomali SST menunjukkan nilai P value= 0,929 atau yang berarti nilai P value lebih besar daripada 0.05 (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi Riau pada periode 2001−2009 curah hujan tidak dipengaruhi oleh anomali SST.
Tabel 6 Hasil analysis of variance curah hujan dengan anomali SST Source DF SS MS F P Regression 1 143 143 0,01 0,929 Residual Error 103 1853481 17995 Total 104 1853623
5.1.5 Pengaruh anomali SST terhadap jumlah hotspot Gambar 11 menunjukkan hubungan anomali SST terhadap hotspot di Provinsi Riau pada tahun 2001−2009. SST tertinggi pada periode tahun 2001−2009 adalah +1,520C dengan jumlah titik hotspot sebanyak 11 pada Desember 2002 sedangkan SST terendah adalah -1,890C dan jumlah titik hotspot sebanyak 1056 (Februari 2008). Jumlah hotspot tertinggi setiap tahunnya banyak terjadi pada bulan Februari, Juni, Juli dan Agustus seperti pada tahun 2001 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli (551 titik), tahun 2002 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Februari (1216 titik), tahun 2003 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juni (2284 titik), tahun 2004 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juni (2417 titik), tahun 2005 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Februari (5429 titik), tahun 2006 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus (2401 titik), tahun 2007 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Februari (573 titik), tahun 2008
22
jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus (1598), dan tahun 2009 jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli (2464 titik).
2,00
Anomali SST
1,50
6000
hotspot
5000
0,50
4000
0,00
3000
-0,50 -1,00
Hostspot
Anomali SST 0C
1,00
2000
-1,50
1000
-2,00
0 Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt mar Agst Jan Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei
-2,50
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008 2009
Gambar 11 Grafik hubungan anomali SST dan hotspot di Riau pada tahun 2001−2009
Hasil perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter anomali SST dengan hotspot menunjukkan nilai P value= 0,302 atau yang berarti nilai P value lebih besar daripada 0.05 (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi Riau pada periode 2001−2009 jumlah hotspot tidak dipengaruhi anomali SST.
Tabel 7 Hasil analysis of variance anomali SST dengan hotspot Source DF SS MS F Regression 1 818107 818107 1,08 Residual Error 103 78305514 760248 Total 104 79123622
5.2
P 0,302
Pembahasan
5.2.1 Pola curah hujan di Riau Menurut Bruce dan Clark (1997) dalam Ambarwati (2008) curah hujan merupakan adalah salah satu unsur cuaca yang sangat mempengaruhi iklim di Indonesia. Curah hujan memiliki keragaman yang
besar menurut ruang dan
23
waktu. Keragaman ruang curah hujan menurut ruang dan waktu sangat dipengaruhi oleh letak geografi, topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak lintang. Aldrian dan Susanto (2003) membagi pola iklim di Indonesia menjadi tiga yaitu zona A (selatan Indonesia dari Sumatera bagian Selatan ke Pulau Timor, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi dan sebagian dari Irian Jaya), zona B (Indonesia barat daya, Sumatra bagian utara dan Kalimantan bagian timur laut), dan zona C (Maluku dan sebagian dari Sulawesi). Zona A merupakan wilayah dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember/Januari/Februari dan minimum pada bulan Juli/Agustus/September. Hal ini mengilustrasikan dua rezim monson: monson basah dari November−Maret dan monson kering dari Mei−September. Siklus tahunan zona B mempunyai dua puncak
pada
bulan
Oktober/November/Desember
dan
pada
bulan
Maret/April/Mei. Perbedaan yang cukup mencolok terdapat di zona C dimana daerah ini mempunyai satu puncak pada bulan Mei/Juni/Juli (Gambar 3) (Aldrian dan Susanto 2003). Riau merupakan provinsi yang terletak di Sumatera bagian utara. Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000−3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Data curah hujan bulanan dari tahun 2001 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan siklus curah hujan pada zona B (Gambar 6). Curah hujan tinggi di Riau terjadi pada bulan Maret−April dan Oktober−Desember, sedangkan curah hujan rendah terjadi pada bulan Januari−Februari dan Mei−September (Gambar 6). Pada bulan Maret−April dan Oktober−Desember curah hujan lebih tinggi daripada curah hujan rata-rata sehingga terjadi musim hujan di Riau, sedangkan pada bulan Januari−Februari dan Mei−September curah hujan lebih rendah dari curah hujan rata-rata sehingga dikatagorikan sebagai musim kemarau di Riau (Gambar 6). Hal ini sesuai dengan Syaufina (2008) yang menyatakan bahwa pola iklim di Riau mempunyai dua periode musim kemarau, yaitu bulan Februari– Maret dan bulan Juli–September. Gambar 6 menunjukkan bahwa pola curah hujan di Riau termasuk kedalam pola equatorial. Pola hujan equatorial merupakan wilayah yang memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak
24
musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun berhujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober (Tjasyono 2004).
5.2.2 Sebaran hotspot di Riau Pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas (Anderson et al. 1999 dalam Heryalianto 2006). Hotspot adalah titik panas yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara umum diberbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan menggunakan satelit. Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya terdeteksi adanya hotspot. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang tidak hanya terjadi di dalam negeri namun hingga luar batas negara. Gambar 7 memperlihatkan bahwa jumlah hotspot di Riau pada tahun 2001 sampai dengan 2009 bersifat fluktuatif. Jumlah hotspot tahun 2001 sampai dengan 2005 mengalami peningkatan setiap tahunnya dari
1.178 titik (2001), 4.423 titik
(2002), 5.190 titik (2003), 6.370 titik (2004), dan 17.534 titik (2005). Jumlah hotspot tertinggi di Provinsi Riau terdapat pada tahun 2005 (17.534 titik). Hal ini bersesuaian dengan tingginya luas areal terbakar di Riau yang terjadi pada tahun 2005 yang mencapai 24.500 ha yaitu pada areal IUPHHK-HA luas areal terbakar sebesar 1.500 ha, IUPHHK-HT sebesar 7.000 ha, perkebunan sebesar 10.000 ha, dan areal penggunaan lain sebesar 6.000 ha (Dishut Provinsi Riau 2006). Luasan areal terbakar di Riau pada tahun 2005 ini adalah yang terluas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Putra 2012). Kenaikan jumlah hotspot ini diduga karena konversi lahan yang terjadi di Provinsi Riau dimana pada proses pengkonversian lahan sering menggunakan pembakaran. Selain itu pada area hutan, penutupan lahan hutan rawa sekunder juga mengalami kenaikan jumlah hotspot.
25
Putra (2012) menyatakan jumlah hotspot pada tahun 2005 di Riau lebih banyak daripada tahun 2000 yang disebabkan oleh banyaknya lahan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan banyaknya areal yang terbakar di areal hutan dan areal non hutan. Hal ini dikarenakan pada areal non hutan berupa tanah terbuka memiliki faktor-faktor yang menyebabkan
rentannya terjadi
kebakaran hutan. Menurut Wibowo (2003), faktor utama yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan adalah bahan bakar (kadar air, jumlah, ukuran, dan susunan bahan bakar) dan kondisi cuaca (suhu, curah hujan, kelembaban, dan angin) serta topografi. Pada tahun 2006 sampai dengan 2007 jumlah titik hotspot mengalami penurunan dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 sampai dengan 2009. Gambar 8 menunjukkan bahwa kejadian kebakaran yang paling tinggi di Riau terjadi pada tahun 2005 (17.534 titik hotspot) diikuti tahun 2009 (10.295 titik hotspot). Pendugaan titik api (hotspot) memiliki kekurangan yakni dalam hal akurasi data. Oleh sebab itu perlu dilakukan seleksi terhadap data hotspot, salah satunya adalah dengan memilih data hotspot yang memiliki nilai kepercayaan (confidence) tinggi. Melalui cara tersebut maka ketidakakuratan data dapat diminimalisir. Menurut Adinugroho et al. (2005), untuk menghindari terjadinya kemungkinan salah perkiraan hotspot semisal bocornya cerobong api dari tambang minyak, diperlukan upaya penggabungan (overlay) antara data hotspot dengan peta penutupan lahan atau peta penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan (ground surveying). Data hotspot yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai kepercayaan ≥ 50% untuk meminimalisir ketidakakuratan data hotspot tersebut. 5.2.3 Pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot Kondisi iklim selalu mengalami perubahan sesuai dengan tempat dan waktu. Pada setiap tempat kondisi iklimnya sangat berbeda, selain itu iklim pada hari ini akan berbeda dengan iklim yang akan datang. Cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan melalui dua jalan, yaitu menentukan panjang dan keparahan musim kebakaran serta menentukan jumlah bahan bakar hutan pada suatu daerah. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi
26
dengan kejadian kebakaran hutan dan curah hujan merupakan faktor yang paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar (Syaufina 2008). Musim kebakaran hutan berhubungan dengan pola hujan, terutama dengan kekeringan. Puncak musim kebakaran terjadi pada musim kemarau. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi sehingga kejadian kebakaran akan sulit. Menurut Mackinno et al. (1997) bulan basah ditandai dengan curah hujan >200 mm/bulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan <100 mm/bulan. Pada musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air yang dapat dijadikan sebagai indikator bahaya kebakaran. Pada Gambar 9 dapat dilihat semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan menurun dan sebaliknya jika curah hujan rendah maka jumlah hotspot akan meningkat. Jumlah hotspot tertinggi pada periode tahun 2001 sampai dengan 2009 adalah 5.429 titik hotspot pada saat curah hujan 93 mm (Februari 2005). Curah hujan tertinggi pada periode tahun 2001 sampai dengan 2009 adalah 622 mm dengan jumlah hotspot sebanyak 146 titik hotspot (Oktober 2004). Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah curah hujan maka jumlah titik hotspot akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan semakin rendah. Jumlah hotspot tertinggi setiap tahunnya terjadi pada bulan Februari, Juni, Juli, dan Agustus dimana pada bulan tersebut terjadi musim kemarau di Provinsi Riau (Tabel 1) dan jumlah hotspot terendah setiap tahunnya terjadi pada bulan Maret, Oktober, November, dan Desember pada saat terjadi musim hujan di Provinsi Riau (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai kaitan erat dengan kejadian kebakaran. Faktor dominan yang menentukan potensi terjadinya kebakaran adalah keadaan cuaca di mana kebakaran hutan sering terjadi atau cuaca yang cocok untuk terjadinya kebakaran hutan (Brown dan Davis 1973). Luas dan frekuensi kebakaran hutan tertinggi terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (kurang dari 60 mm), dimana pada periode tersebut terjadi pengeringan bahan bakar yang intensif (Syaufina 2008). Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan dengan hotspot yang menunjukkan nilai P value= 0,000 (Tabel 3).
27
Nilai P <0,05 (0,000) menunjukkan bahwa parameter curah hujan berpengaruh (pada taraf 0.05) terhadap parameter hotspot.
5.2.4 Pengaruh anomali SST terhadap curah hujan Pada periode 2001 sampai dengan 2009 nilai anomali SST tertinggi di Provinsi Riau adalah +1,520C dengan curah hujan 531 mm (Desember 2002) sedangkan anomali SST terendah adalah -1,890C dengan curah hujan 140 mm (Februari 2008) (Gambar 9). Nilai anomali SST yang positif ini tidak menyebabkan penurunan curah hujan karena di Provinsi Riau pada bulan Desember terjadi musim penghujan dan sebaliknya nilai anomali SST yang negatif tidak menyebabkan peningkatan curah hujan karena pada bulan Februari terjadi musim kemarau di Riau. Tabel 4 memperlihatkan bahwa curah hujan maksimum di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 terjadi pada bulan Maret–April, Oktober–Desember kecuali pada tahun 2005 dimana curah hujan maksimum terjadi bulan Juli. Tabel 5 memperlihatkan bahwa curah hujan minimum di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 terjadi pada bulan Februari dan Juni−Agustus. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode 2001 sampai dengan 2009 di Riau semakin besar nilai anomali SST tidak menyebabkan curah hujan mengalami penurunan dan sebaliknya semakin kecil nilai anomali SST tidak menyebabkan peningkatan curah hujan. Hal ini berbeda dengan kondisi di Kalimantan Tengah. Putra dan Hayasaka (2011) menyatakan bahwa di Kalimantan Tengah anomali SST yang lebih besar +0,50C pada musim kemarau menyebabkan curah hujan mengalami penurunan hingga kurang dari 500 mm seperti pada tahun 1991 (292,8 mm, +0,80C ), 2004 (451,8 mm, +0,70C) dan 2006 (294,5 mm, +0,50C), sedangkan anomali SST lebih kecil dari -0,50C pada musim kemarau menyebabkan curah hujan mengalami peningkatan. Perbedaan ini disebabkan karena Riau terletak di zona B yang mempunyai dua puncak musim hujan pada bulan Oktober−Desember dan Maret−Mei sedangkan Kalimantan Tengah terletak di zona A dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember−Februari dan minimum pada bulan Juli−September. Hal ini memperlihatkan bahwa di zona B tidak ada hubungan antara curah hujan dan
28
anomali SST, sedangkan di zona A terdapat hubungan antara curah hujan dan anomali SST. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan di Riau dengan anomali SST yang menunjukkan nilai P value= 0,929 (Tabel 6). Nilai P value >0,005 (0,929) menunjukkan bahwa parameter anomali SST tidak berpengaruh (pada taraf 0.05) terhadap parameter curah hujan.
5.2.5 Pengaruh anomali SST terhadap jumlah hotspot Indikator dominan yang sering digunakan untuk melihat gejala terjadinya anomali iklim adalah suhu permukaan laut (SST) (Ambarwati 2008). Pada tahun 2002 terjadi nilai anomali SST lebih besar dari +0,5oC selama enam bulan berturut pada bulan juni (+0,780C), Juli (+0,760C), Agustus (+0,970C), September (+1,110C), Oktober (+1,360C), dan November (+1,520C). Berdasarkan data tersebut pada tahun 2002 dapat digolongkan kejadian El-Nino. Pada tahun 2004 kejadian El-Nino dimulai dari bulan Agustus (+0,720C), September (+0,750C), Oktober (+0,690C), November (+0,660C), Desember (+0,740C), dan pada bulan januari 2004 (+0,530C). Anomali SST tertinggi pada periode tahun 2001−2009 adalah +1,520C dengan jumlah hotspot sebanyak 11 titik (Desember 2002) sedangkan SST terendah adalah -1,890C dengan jumlah titik hotspot sebanyak 1.056 (Februari 2008) (Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa di Riau anomali SST tidak berpengaruh terhadap kebakaran. Peristiwa El-Nino dan La-Nina tidak berpengaruh terhadap kejadian kebakaran di Riau. Hal ini sesuai dengan Tjasyono (1997) yang menyatakan bahwa pengaruh El-Nino lemah di wilayah yang mempunyai sistem equatorial. Hal yang berbeda terdapat di Kalimantan Tengah. Menurut Putra (2010) jumlah hotspot yang banyak terdeteksi di Kalimantan Tengah terutama terdapat pada musim kering pada saat anomali SST bernilai positif tinggi dan jumlah hotspot banyak ditemukan ketika anomali SST positif rendah. Menurut Putra dan Hayasaka (2011) di Kalimantan Tengah, anomali SST >0,50C
menyebabkan
curah hujan mengalami penurunan 500 mm pada musim kering sedangkan
29
anomali SST <-0,50C menyebabkan curah hujan mengalami peningkatan pada musim kering. Hal ini berbeda dengan Provinsi Riau. Nilai anomali SST yang tinggi (+1,520C) tidak menyebabkan peningkatan jumlah titik hotspot sebaliknya dengan nilai SST yang rendah (-1,890C) tidak menyebabkan penurunan jumlah hotspot. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa jumlah hotspot yang tertinggi di Riau umumnya terjadi pada musim kemarau yaitu pada bulan Februari-Maret dan Juli-September. Nilai anomali SST yang rendah (bernilai negatif) tidak selalu dikuti dengan peningkatan jumlah hotspot dan hal ini tidak selalu terjadi pada musim kemarau. Nilai anomali yang bernilai negatif ini tidak selalu dikuti dengan penurunan jumlah hotspot karena beberapa nilai anomali SST yang rendah dapat terjadi pada musim kemarau sehingga jumlah hotspot tetap banyak. Berdasarkan hal tersebut, El-Nino dan La-Nina tidak berpengaruh terhadap banyaknya titik hotspot yang terjadi di Provinsi Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan Analisis of Varian (ANOVA) untuk mengetahui signifikan atau tidaknya hubungan antara parameter curah hujan bulanan dengan hotspot yang menunjukkan nilai P value= 0,302 atau berarti nilai P value lebih dari 0,05 (Tabel 7). Nilai P value > 0,05 ini menunjukkan bahwa parameter anomali SST di Riau pada periode 2001 sampai dengan 2009 tidak berpengaruh (pada taraf 0.05) terhadap parameter hotspot.