32
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah sebesar 155.871,98 ha yang
terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan. Berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang (2010), luas lahan pertanian yaitu sekitar 51.906,02 ha, sedangkan luas hutan rakyat sekitar 14.338.72 ha. Melihat luas pemanfaatan lahan tersebut, berarti masyarakat lebih memilih lahannya untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan kayu semakin meningkat sehingga stok kayu berkurang dan harga kayu semakin mahal. Melihat keadaan seperti itu masyarakat berpikir bahwa hutan rakyat memiliki prospek yang bagus kedepannya karena diharapkan kayu rakyat dapat memenuhi kebutuhan kayu yang semakin meningkat. Jika dilihat dari susunan jenisnya terdapat dua pola pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan di Kabupaten Sumedang yaitu hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran.
5.1.1 Hutan Rakyat Monokultur Hutan rakyat monokultur merupakan hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman yang dikembangkan. Desa yang terpilih sebagai tempat penelitian dengan bentuk hutan rakyat monokultur adalah Desa Naluk yang terletak di Kecamatan Cimalaka dengan luas hutan rakyat sebesar 78 ha. Hutan rakyat monokultur ini dikembangkan diatas lahan milik pribadi. Kelompok tani hutan rakyat yang terdapat di Desa ini bernama kelompok tani Sariwangi dengan jumlah petani hutan rakyat sebanyak 300 orang tetapi yang aktif sebagai anggota kelompok tani hanya 30 orang. Terbentuknya kelompok tani Sariwangi ini pada tahun 1991, tetapi mulai bergerak di bidang hutan rakyat pada tahun 1999 dengan ketuanya yang bernama Bapak Nana. Pada awalnya sebelum menjadi kelompok tani hutan rakyat, kelompok tani ini lebih menonjolkan komoditas pertaniannya yaitu vanili dan pada waktu itu ketuanya adalah Bapak Syarif. Setelah harga vanili anjlok, kemudian kepengurusan berganti dan menjadi
33
perkumpulan petani hutan rakyat karena semua petani beralih ke hutan rakyat. Hal tersebut terjadi karena menurut ketua kelompok tani yaitu Bapak Nana, bahwa harga kayu memiliki prospek yang tinggi kedepannya dan sampai saat ini tidak ada harga kayu yang turun karena harga kayu tersebut tidak tergantung pada nilai tukar dolar dan makin bertambah harganya karena kebutuhan terhadap kayu semakin meningkat. Komoditas yang dikembangkan di hutan rakyat monokultur yaitu mahoni, jati dan sengon. Kondisi hutan rakyat monokultur dapat dilihat pada Gambar 4.
a. Tanaman utama mahoni
b. Tanaman utama jati
c. Tanaman utama sengon Gambar 4 Kondisi tanaman pada hutan rakyat monokultur.
34
Jenis utama yang dikembangkan di hutan rakyat ini pada awalnya adalah pohon sengon (Paraserianthes falcataria). Tapi setelah pohon sengon mulai gampang terserang oleh hama penyakit, banyak petani yang berlalih untuk menanam pohon mahoni (Swietenia mahagoni) karena harga jualnya lebih tinggi. Selain itu dalam pemeliharaan lahannya tidak terlalu sulit, petani tidak perlu repot-repot untuk membersihkan lahan karena jarang rumput yang tumbuh di bawah tegakan mahoni akibat dari tumpukan daun mahoni yang tebal bisa menghambat
pertumbuhan
rumput.
Sehingga
komoditas
utama
yang
dikembangkan di hutan rakyat monokultur ini adalah pohon mahoni.
5.1.2 Hutan Rakyat Campuran Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang di dalamnya terdiri dari lebih satu jenis pohon. Desa yang terpilih sebagai tempat penelitian untuk jenis hutan rakyat campuran adalah Desa Karanglayung dengan luas hutan rakyat sebesar 60 ha. Hutan rakyat ini dikembangkan di atas lahan desa bukan lahan milik pribadi karena hutan rakyat ini terbentuk melalui program penghijauan yang diadakan di desa tersebut. Pada awalnya sebelum hutan rakyat terbentuk lahan yang terdapat di desa ini merupakan lahan desa yang terbengkalai yang dipenuhi oleh rerumputan dan alang-alang serta tanaman buah yang tidak terawat. Pada
tahun
2004
Dinas
Perkebunan
dan
Kehutanan
setempat
melaksanakan program penghijauan dan mengubah lahan desa yang terbengkalai menjadi hutan rakyat. Bibit pohon yang ditanam di hutan rakyat tersebut berasal dari Dinas Kehutanan setempat. Tujuan dari pembentukan hutan rakyat ini adalah untuk menghijaukan lahan desa, karena ketika tidak ada hutan kondisi udara dan lingkungan disekitar menjadi panas dan kering. Selain itu untuk membantu warga setempat yang mengalami kesulitan ekonomi. Setelah itu dibentuklah kelompok tani hutan rakyat dengan nama kelompok Tani Bahagia II yang diketuai oleh Bapak Ujin Sutarji. Jumlah anggota kelompok tani tersebut sebanyak 43 orang. Hasil kayu yang didapat dari hutan rakyat tersebut nantinya di bagi hasil dengan pemerintah desa karena tanah yang digunakan adalah tanah desa. Pembagian hasil tersebut adalah 30% dari hasil penjualan kayu akan diberikan kepada pemerintah desa dan sisanya untuk petani.
35
Petani juga bisa menanami hutan rakyat tersebut dengan tanaman tumpang sari dan buah-buahan. Hasil dari tanaman tumpang sari ini sepenuhnya milik petani dan pemerintah desa setempat tidak akan memungut hasil. Pada program penghijauan ini komoditas tanaman utama yang diberikan adalah jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahagoni). Selain itu pemerintah juga memberikan tanaman tumpang sari yaitu kelapa, jagung, mangga dan petai tetapi tanaman tumpang sari itu tidak tumbuh dengan baik karena dirusak oleh babi hutan. Tanaman tumpang sari yang tumbuh hanya petai dan mangga dan itupun hanya 2-3 pohon saja, sehingga petani lebih banyak memanfaatkan kayu bakarnya saja karena kayu yang ditanam belum bisa dimanfaatkan mengingat umur tanaman tersebut baru sekitar 7 tahun. Kondisi hutan rakyat campuran dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Hutan rakyat campuran dengan tanaman utama jati dan mahoni.
5.2
Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik yang dipilih dari tiap petani hutan rakyat monokultur di Desa
Naluk dan hutan rakyat campuran di Desa Karanglayung, meliputi: umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan rumah tangga, luas kepemilikan lahan, kekosmopolitan, kontak dengan penyuluh, frekuensi bertemu petani dan bantuan pemerintah. Karakteristik tersebut merupakan faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengan persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan
36
rakyat. Jumlah responden yang terpilih untuk tiap desa sebanyak 30 responden, sehingga jumlah keseluruhan responden untuk dua desa sebanyak 60 responden.
5.2.1 Umur Responden Umur responden yaitu usia yang diukur dengan menghitung selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilakukan penelitian. Dalam menentukan kategori umur responden yaitu berdasarkan sebaran umur responden dan usia produktif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan rakyat monokultur bahwa sebaran umur tertinggi responden, yaitu: terdapat pada umur 50-59 tahun sebanyak 13 responden (43,33) dan terendah antara umur 40-49 tahun sebanyak 2 responden (6,67%). Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan di hutan rakyat campuran bahwa sebaran umur responden tertinggi terdapat pada umur 50-59 tahun sebanyak 10 responden (33,33%), tetapi untuk sebaran umur terendah yaitu antara umur 30-39 tahun sebanyak 2 responden (6,67%), berbeda dengan sebaran umur terendah pada hutan rakyat monokultur (Tabel 8). Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan umur Umur (tahun) 30-39 40-49 50-59 60-69 ≥70 Total
Petani HR Monokultur n % 0 0,00 2 6,67 13 43,33 9 30,00 6 20,00 30 100,00
Petani HR Campuran n % 2 6,67 6 20,00 10 33,33 9 30,00 3 10,00 30 100,00
Tabel 8 menunjukkan bahwa di hutan rakyat monokultur dan campuran rata-rata masyarakat yang bertanggung jawab mengelola hutan rakyat ada pada umur produktif antara 50-59 tahun. Hal ini berarti bahwa umur tua produktif paling banyak menjadi petani hutan rakyat dan berperan dalam mengelola hutan rakyat dibandingkan dengan umur muda. Rendahnya umur muda dibandingkan dengan umur tua karena umur muda lebih memilih mengadu nasib diluar kota dibandingkan menjadi petani dan tinggal di desa. Selain itu petani yang berumur tua mempunyai pengalaman yang lebih banyak dalam hal bertani karena sejak
37
mereka muda sudah bertani. Menurut Budiarti (2011), bahwa umur juga merupakan salah satu indikator kematangan berpikir, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang. Biasanya kematangan berpikir, pengetahuan dan pengalaman seseorang berbanding lurus terhadap umur yang dimilikinya. Salah satu kriteria dalam penokohan seseorang dimasyarakat adalah kematangan seseorang dilihat dari segi usianya. Oleh sebab itu petani yang lebih banyak berperan aktif dalam mengelola hutan rakyat adalah yang berumur tua.
5.2.2 Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik petani hutan rakyat yang mempengaruhi persepsi petani karena bisa dijadikan tolak ukur kualitas sumberdaya manusia dalam memberikan pendapat mengenai pengelolaan hutan rakyat yang baik. Tingkat pendidikan responden pada hutan rakyat monokultur yang terbanyak adalah pada tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) sebanyak 17 responden (56,67%) dan yang terendah pada tingkat pendidikan perguruan tinggi sebanyak 2 responden (6,67%). Begitu juga dengan tingkat pendidikan responden di hutan rakyat campuran, paling banyak jenjang pendidikan responden adalah sekolah dasar sebanyak 26 responden (86,67%), tetapi untuk yang paling sedikit ada pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas yaitu sebanyak 2 responden (6,67%) (Tabel 9). Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan Terakhir Tidak sekolah SD SMP SMA PT Total
Petani HR Monokultur n % 0 0,00 17 56,67 3 10,00 8 26,67 2 6,67 30 100,00
Petani HR Campuran n % 0 0,00 26 86,67 2 6,67 2 6,67 0 0,00 30 100,00
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan petani di hutan rakyat monokultur dan campuran tergolong rendah karena rata-rata responden tingkat pendidikannya sampai sekolah dasar. Namun jika dilihat dari jumlah persentase,
38
hutan rakyat campuran memiliki persentase yang paling besar pada tingkat pendidikan sekolah dasar dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. Selain itu pada hutan rakyat campuran tidak ada responden yang tingkat pendidikannya perguruan tinggi. Hal ini disebabkan tingkat perekonomian petani di hutan rakyat campuran lebih rendah dibandingkan dengan petani di hutan rakyat monokultur karena lahan yang dijadikan hutan rakyat merupakan lahan desa untuk membantu masyarakat yang kekurangan dalam hal ekonomi, sedangkan pada hutan rakyat monokultur semua lahannya merupakan lahan milik pribadi. Bantuan tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan perekonomian, karena dengan meningkatnya tingkat perekonomian diharapkan dapat meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat sehingga kualitas sumberdaya manusia dalam mengelola hutan akan lebih baik.
5.2.3 Pengalaman Bertani Responden Pengalaman bertani yaitu waktu yang ditempuh oleh responden dalam melakukan kegiatan bertani dari pertama menjadi petani hingga saat ini. Pengalaman bertani merupakan salah satu karakteristik yang mempengaruhi persepsi responden, karena merupakan unsur yang ada dalam diri pribadi yang dapat menambah ilmu pengetahuan sehingga mempengaruhi seseorang dalam mengambil tindakan. Pengalaman bertani responden di hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan pengalaman bertani Pengalaman Bertani (tahun) 15-21 22-28 29-35 36-42 ≥43 Total
Petani HR Monokultur n % 11 36,67 9 30,00 6 20,00 3 10,00 1 3,33 30 100,00
Petani HR Campuran n % 7 23,33 4 13,33 13 43,33 4 13,33 2 6,67 30 100,00
Tabel 10 memperlihatkan bahwa pengalaman bertani di desa yang pengelolaan hutannya monokultur paling tinggi adalah antara 15-21 tahun berjumlah 11 responden (36,67%) dan yang paling rendah jumlah respondennya ≥
39
43 tahun, yaitu: sebanyak 1 responden (3,33%). Di desa yang pengelolaan hutannya campuran memiliki pengalaman bertani yang berbeda dengan desa yang pengelolaan hutannya monokultur. Pada hutan rakyat campuran pengalaman bertani tertinggi ada di antara 29-35 tahun sebanyak 13 reponden (43,33%) dan yang paling rendah jumlah respondennya sama dengan hutan rakyat monokultur ≥ 43 tahun sebanyak 2 responden (6,67%). Perbedaan pengalaman bertani antara hutan rakyat monokultur dan campuran dapat terjadi karena pada hutan rakyat monokultur jumlah rata-rata pekerjaan pokok responden di bidang usaha tani paling kecil dibandingkan dengan hutan rakyat campuran yang jumlah pekerjaan pokok responden di bidang usaha tani jauh lebih banyak karena pada hutan rakyat campuran rata-rata responden sejak masih muda dan lajang sudah menjadi petani.
5.2.4 Jenis Pekerjaan Responden Jenis pekerjaan responden merupakan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian. Jenis pekerjaan ini terdiri dari dua, yaitu: pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan. 1. Pekerjaan Pokok Pekerjaan pokok merupakan sumber mata pencaharian pokok responden dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan pokok di kedua tempat penelitian ini digolongkan menjadi 4, yaitu: buruh, petani, wiraswasta dan pegawai negeri. Pekerjaan sebagai buruh, yaitu: buruh tani dan buruh serabutan. Untuk wiraswasta jenis pekerjaannya diusahakan sendiri terdiri dari usaha ternak, dagang, dan lain-lain. Pada hutan rakyat monokultur, responden yang bekerja sebagai petani memiliki jumlah yang paling tinggi, yaitu: sebanyak 19 responden (63,33%) dan jumlah responden yang paling rendah bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 2 responden (6,67%). Pada hutan rakyat campuran jumlah responden yang bekerja sebagai petani memiliki jumlah responden yang paling banyak yaitu sebanyak 28 responden (93,33%) dan jumlah responden yang paling sedikit bekerja sebagai pegawai negeri yaitu sebanyak 1 responden (3,33%). Tapi pekerjaan pokok sebagai petani lebih banyak dilakukan oleh responden pada hutan rakyat campuran dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. Hal ini dapat terjadi
40
karena rendahnya tingkat pendidikan dan perekonomian pada desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran, sehingga masyarakatnya lebih memilih bekerja sebagai petani. Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan pokok Pekerjaan Pokok Petani Buruh Wiraswasta Pegawai Negeri Total
Petani HR Monokultur n % 19 63,33 0 0,00 2 6,67 9 30,00 30 100,00
Petani HR Campuran n % 28 93,33 0 0,00 1 3,33 1 3,33 30 100,00
2. Pekerjaan Sampingan Pekerjaan sampingan merupakan sumber mata pencaharian sampingan responden dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan ini dapat menunjang pekerjaan pokok, sehingga menambah pendapatan keluarga. Sama halnya dengan pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan di kedua tempat penelitian ini digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu: tidak ada pekerjaan, buruh, petani dan wiraswasta. Tidak
semua
responden
memiliki
pekerjaan
sampingan
sehingga
ada
penggolongan yang tidak memiliki pekerjaan sampingan. Untuk jenis pekerjaan yang termasuk sebagai buruh sama halnya pada pekerjaan pokok yaitu buruh tani dan buruh serabutan. Jenis pekerjaan yang termasuk wiraswasta pun sama yaitu usaha ternak, dagang dan lain-lain (Tabel 12). Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan sampingan Pekerjaan Sampingan Tidak ada Petani Buruh Wiraswasta Total
Petani HR Monokultur n % 2 6,67 11 36,67 11 36,67 6 20,00 30 100,00
Petani HR Campuran n % 3 10,00 2 6,67 15 50,00 10 33,33 30 100,00
Tabel 12 menunjukkan bahwa pada hutan rakyat monokultur, responden terbanyak bekerja sebagai buruh dan petani yaitu sebanyak 11 responden (36,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit tidak mempunyai pekerjaan sampingan sebanyak 2 responden (6,67%). Berbeda dengan pekerjaan sampingan
41
pada hutan rakyat campuran, responden terbanyak bekerja sebagai buruh yaitu sebanyak 15 responden (50,00%) dan jumlah responden yang paling rendah mempunyai pekerjaan sampingan sebagai petani sebanyak 2 responden (6,67%). Pada hutan rakyat campuran, pekerjaan sampingan sebagai buruh lebih banyak dibandingkan pada hutan rakyat monokultur. Hal tersebut terjadi karena pada hutan rakyat campuran pekerjaan pokok responden lebih banyak bekerja sebagai petani, selain itu tingkat perekonomiannya lebih rendah dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur.
5.2.5 Jumlah Tanggungan Responden Karakteristik responden selanjutnya adalah jumlah tanggungan responden. Jumlah tanggungan responden adalah jumlah individu dalam keluarga responden yang masih menjadi tanggungan responden, terdiri dari istri, anak, cucu dan saudara. Sebaran jumlah tanggungan responden yang dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa pada hutan rakyat monokultur jumlah responden terbanyak memiliki jumlah tanggungan antara 0-1 orang sebanyak 20 responden (66,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit memiliki jumlah tanggungan ≥ 4 orang sebanyak 3 responden (10%). Jumlah tanggungan responden pada hutan rakyat campuran berbeda dengan hutan rakyat monokultur. Pada hutan rakyat campuran jumlah responden tertinggi memiliki jumlah tanggungan antara 2-3 orang sebanyak 17 responden (56,67%), tetapi untuk jumlah responden terendah sama dengan hutan rakyat monokultur memiliki jumlah tanggungan ≥ 4 orang yaitu sebanyak 1 responden (3,33%). Dari tabel 17 dapat dilihat bahwa petani di desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih besar dibandingkan dengan petani di desa yang pengelolaan hutan rakyatnya monokultur.
42
Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga Jumlah Tanggungan (Jiwa) 0-1 2-3 ≥4 Total
Petani HR Monokultur n 20 7 3 30
% 66,67 23,33 10,00 100,00
Petani HR Campuran n 12 17 1 30
% 40,00 56,67 3,33 100,00
5.2.6 Pendapatan Bersih Responden Pendapatan yang diterima oleh responden merupakan manfaat ekonomi terhadap kontribusi pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat. Menurut Budiarti (2011), pendapatan responden merupakan penerimaan ataupun pemasukan berupa uang yang diterima karena telah melakukan kegiatan (bekerja) dalam kurun waktu tertentu dengan perhitungan tertentu pula. Pendapatan ini dapat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat desa dengan terpenuhinya kebutuhan hidup. Pendapatan responden berasal dari tiga kegiatan yaitu hutan rakyat, non hutan rakyat usaha tani dan non usaha tani. Karakteristik pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan bersih karena pendapatan total telah dikurangi pengeluaran rumah tangga petani (Tabel 14). Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan pendapatan bersih rumah tangga Petani HR Monokultur Petani HR Campuran Pendapatan (Juta Rp/tahun) n % n % 0–2 10 33,33 12 40,00 2,1 – 4 3 10,00 7 23,33 4,1 – 6 3 10,00 4 13,33 6,1 – 8 0 0,00 2 6,67 ≥ 8,1 14 46,67 5 16,67 Total 30 100,00 30 100,00 Tabel 14 menunjukkan bahwa pada hutan rakyat monokultur, jumlah responden terbanyak memiliki pendapatan ≥ Rp 8.100.000/tahun sebanyak 14 responden (46,67%) dan jumlah responden terendah memiliki pendapatan antara Rp 2.100.000 – Rp 4.000.000/tahun dan Rp 4.100.000 – Rp 6.000.000/tahun yaitu sebanyak 3 responden (10%). Berbeda dengan pendapatan responden pada hutan rakyat campuran, bahwa jumlah responden terbanyak memiliki pendapatan antara Rp 0 – Rp 2.000.000/tahun yaitu sebanyak 12 responden (40%) dan jumlah
43
responden terendah memiliki pendapatan Rp 6.100.000 – Rp 8.000.000/tahun yaitu sebanyak 2 responden (6,67%). Pada Tabel 14 dapat dilihat juga bahwa pendapatan rumah tangga yang paling tinggi adalah pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat monokultur dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat campuran. Hal tersebut terjadi karena faktor mata pencaharian petani, pendidikan dan jarak ke pusat kota lebih baik pada desa yang pengelolaan hutan rakyatnya monokultur dibandingkan dengan desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran.
5.2.7 Luas Kepemilikan Lahan Luas kepemilikan lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden. Pada hutan rakyat monokultur, luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masingmasing responden bervariasi, ditunjukkan oleh Tabel 15. Luas kepemilikan lahan antara 700-1.900 m² memiliki jumlah responden yang paling banyak, 16 responden (53,33%) dan luas lahan antara 4.600-5.800 m² dan ≥ 3.500 m² memiliki jumlah responden yang paling sedikit 1 responden (3,33%). Untuk hutan rakyat campuran, luas lahan antara 3.300-4.500 m² memiliki jumlah responden yang terbanyak 11 responden (36,67%) dan luas lahan antara 2.000-3.200 m² dan ≥ 3.500 m² memiliki jumlah responden yang paling sedikit 6 responden (20%). Pada hutan rakyat monokultur lebih banyak petani yang memiliki luas lahan antara 700-1.900 m². Hal ini berarti bahwa petani pada hutan rakyat campuran memiliki luas lahan yang lebih luas dibandingkan dengan petani pada hutan rakyat monokultur, karena lahan yang dimiliki oleh petani pada hutan rakyat campuran merupakan lahan milik desa atau pemerintah untuk membantu masyarakat yang kurang mampu agar memiliki pendapatan tambahan dari hasil hutan. Selain itu potensi lahan desa tersebut untuk dijadikan hutan rakyat luas, maka pembagian luasan untuk tiap petani cukup luas.
44
Tabel 15 Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan Luas Kepemilikan Lahan (m²) 700-1900 2000-3200 3300-4500 4600-5800 ≥ 5900 Total
Petani HR Monokultur n
%
16 10 2 1 1 30
53,33 33,33 6,67 3,33 3,33 100,00
Petani HR Campuran n 0 6 11 7 6 30
% 0,00 20,00 36,67 23,33 20,00 100,00
5.2.8 Kekosmopolitan Kekosmopolitan merupakan karakteristik petani yang termasuk faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi petani terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur. Kekosmopolitan adalah interaksi petani dengan dunia luar. Tingkat kekosmopolitan petani ini dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Untuk lebih jelasnya tingkat kekosmopolitan petani pada hutan rakyat monokultur dan campuran dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Distribusi responden berdasarkan tingkat kekosmopolitan Tingkat Kekosmopolitan Tinggi Sedang Rendah Total
Petani HR Monokultur n 7 6 17 30
% 23,33 20,00 56,67 100,00
Petani HR Campuran n 5 6 19 30
% 16,67 20,00 63,33 100,00
Pada hutan rakyat monokultur jumlah responden terbanyak ada pada kategori rendah sebanyak 17 responden (56,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit ada pada kategori sedang sebanyak 6 responden (20%). Begitu juga tingkat kekosmopolitan pada hutan rakyat campuran, jumlah responden terbanyak ada pada kategori rendah sebanyak 19 responden (63,33%) dan jumlah responden terendah ada pada kategori tinggi sebanyak 5 responden (16,67%). Rata-rata tingkat kekosmopolian di kedua pengelolaan hutan rakyat tergolong rendah karena seluruh aktivitas sehari-hari petani adalah berladang ataupun mencari rumput untuk ternak dari pagi hari sampai sore hari, sehingga tidak ada waktu untuk keluar desa. Saat sore hari ketika berada di rumah petani lebih memilih untuk beristirahat dan menonton televisi juga tidak lama karena aktivitas
45
berladang membuat lelah dan tidur pun lebih awal. Selain itu karena letak desa jauh dari kota sehingga media cetak seperti koran jarang dibaca oleh petani karena tidak ada yang berjualan koran ke desa-desa tersebut. Akibatnya interaksi dengan dunia luar pun jarang dan pengetahuan petani tentang kemajuan di dunia luar kurang. Faktor umur juga menyebabkan tingkat kekosmopolitan rendah karena semakin tinggi umur maka kemampuan untuk membaca ataupun melihat akan semakin kurang.
5.2.9 Kontak dengan Penyuluh Kontak dengan penyuluh adalah bertatap muka langsung dengan penyuluh pada suatu pertemuan atau perkumpulan yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat dalam tiga bulan terakhir. Kontak dengan penyuluh disini terdiri dari 3 kategori, yaitu: tinggi sedang, dan rendah. Pada hutan rakyat monokultur, jumlah responden terbanyak memiliki kategori sedang dalam hal bertemu atau kontak dengan penyuluh sebanyak 16 responden (53,33%). Sama halnya pada hutan rakyat campuran, jumlah responden terbanyak ada pada kategori sedang sebanyak 13 responden (43,33%). Hal ini berarti baik pada hutan rakyat monokultur maupun campuran, kontak petani dengan penyuluh tergolong sedang, karena rata-rata petani menjawab bahwa dalam 1 bulan mereka bertemu dengan penyuluh sebanyak 1 kali, berarti dalam 3 bulan terakhir 3 kali bertemu dengan penyuluh. Menurut petani jika ada kegiatan di hutan rakyat, 1 bulan bisa 2 atau 3 kali bertemu dengan penyuluh. Sebaiknya kegiatan penyuluhan harus lebih sering lagi dilakukan dan tidak hanya jika ada kegiatan saja, agar pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan lebih bertambah dan semakin banyak masyarakat yang mengelola hutan karena peran hutan sangat penting bagi kehidupan manusia salah satunya dalam mengatasi masalah cuaca yang tidak menentu sekarang-sekarang ini akibat lahan hutan sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida semakin berkurang. Kontak dengan penyuluh tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.
46
Tabel 17 Distribusi responden berdasarkan tingkat kontak dengan penyuluh Kontak dengan Penyuluh Tinggi Sedang Rendah Total
Petani HR Monokultur n % 7 23,33 16 53,33 7 23,33 30 100,00
Petani HR Campuran n % 12 40,00 13 43,33 5 16,67 30 100,00
5.2.10 Frekuensi Bertemu Petani Frekuensi bertemu petani adalah intensitas bertatap muka langsung dengan petani. Frekuensi bertemu dengan petani merupakan salah satu karakteristik faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi, dimana frekuensi bertemu dengan petani terdiri dari dua kategori, yaitu: sering dan jarang. Rata-rata responden di kedua pola pengelolaan hutan rakyat yaitu monokultur dan campuran mempunyai kategori sering bertemu, untuk hutan rakyat monokultur sebanyak 21 (70%) dan hutan rakyat campuran sebanyak 18 responden (60%), ditunjukkan pada Tabel 18. Hal ini terjadi karena jarak rumah petani yang berdekatan dan masih tinggal dalam satu desa, kadang-kadang bertemu di mesjid dan ladang. Tapi yang paling sering mereka bertemu di ladang karena aktivitas sehari-hari mereka dari pagi hingga sore hari berada di ladang. Tabel 18 Distribusi responden berdasarkan tingkat frekuensi bertemu petani Frekuensi Bertemu Petani Sering Jarang Total
Petani HR Monokultur n % 21 70,00 9 30,00 30 100,00
Petani HR Campuran n % 18 60,00 12 40,00 30 100,00
5.2.11 Bantuan Pemerintah Bantuan pemerintah termasuk karakteristik faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi petani, karena semakin banyak bantuan yang diberikan pemerintah kepada petani berupa fasilitas yang menunjang keberhasilan pengelolaan hutan rakyat, maka akan semakin baik pengelolaan hutan rakyat tersebut. Tanggapan petani mengenai adanya bantuan dari pemerintah dapat dilihat pada Tabel 19.
47
Tabel 19 Bantuan Pemerintah Ada Tidak ada Total
Distribusi responden berdasarkan tanggapan terhadap bantuan pemerintah Petani HR Monokultur n % 23 76,67 7 23,33 30 100,00
Petani HR Campuran n % 21 70,00 9 30,00 30 100,00
Rata-rata petani untuk masing-masing pola hutan rakyat, menjawab bahwa ada bantuan dari pemerintah yang diberikan kepada petani hutan rakyat. Pada hutan rakyat monokultur jumlah responden yang menjawab ada bantuan sebanyak 23 responden (76,67%) dan pada hutan rakyat campuran sebanyak 21 responden (70%). Bantuan pemerintah tersebut berupa bibit, pupuk dan dana. Untuk hutan rakyat monokultur, banyaknya bibit yang diberikan tergantung dari kebutuhan petani karena untuk saat ini tidak semua petani mendapatkan bibit dari pemerintah karena kebanyakan petani sudah bisa membuat bibit sendiri. Sedangkan untuk hutan rakyat campuran, rata-rata petani masih mendapatkan bibit dari pemerintah untuk kegiatan penyulaman, jadi banyaknya bibit yang diberikan pemerintah tergantung banyaknya tanaman yang mati. Untuk bantuan pupuk anorganik diberikan pemerintah pada saat tanaman masih berumur kurang dari 1 tahun. Banyaknya pupuk yang diberikan tergantung dari luasan hutan rakyat yang dimiliki petani. Jika tanaman sudah berumur lebih dari
tahun, petani lebih
memilih menggunakan pupuk kandang. Dana dari pemerintah tersebut digunakan oleh petani untuk keperluan membeli obat-obatan jika tanaman terserang hama dan juga digunakan untuk kegiatan di hutan rakyat seperti GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Banyaknya dana yang diberikan tergantung dari seberapa banyak obat yang dibutuhkan dan seberapa besar kegiatan yang dilaksanakan.
5.3
Persepsi Petani Hutan Rakyat Persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat
monokultur dan campuran terdiri dari dua, yaitu persepsi ekologi dan persepsi sosial. Persepsi ekologi dicari yaitu untuk mengetahui manfaat ekologi yang dirasakan petani dari pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran.
48
Persepsi sosial juga dicari untuk mengetahui manfaat sosial yang dirasakan oleh petani hutan rakyat dari pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Untuk persepsi ekonomi tidak dicari karena manfaat ekonomi dicari
dari
perhitungan pendapatan rumah tangga petani melalui perhitungan tertentu. Jika dicari dari persepsi maka data yang di dapat tidak dapat menjawab seberapa besar pendapatan rumah tangga petani yang didapat dari pengelolaan hutan rakyat.
5.3.1 Persepsi Petani terhadap Manfaat Ekologi Hutan Rakyat Persepsi petani hutan rakyat mengenai manfaat ekologi hutan rakyat campuran dan monokultur dapat diketahui dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi ekologi dari pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Pertanyaanpertanyaan tersebut digunakan untuk mengukur persepsi petani mengenai manfaat ekologi hutan rakyat. Manfaat hutan rakyat, keberadaan hutan rakyat, pengaruh hutan rakyat, sampai dampak hutan rakyat terhadap kehidupan petani merupakan indikator pertanyaan untuk persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur. Selanjutnya dari indikator tersebut dibuat skoring untuk mengetahui tingkat persepsi petani terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur dengan 5 kategori berdasarkan skala likert, yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Terdapat 11 pertanyaan yang digunakan untuk mengukur persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Pertanyaan tersebut ditanyakan kepada petani hutan rakyat monokultur sebanyak 30 responden dan petani hutan rakyat campuran sebanyak 30 responden, kemudian diukur nilai dari setiap pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan yang ditanyakan kepada 60 responden disajikan pada Tabel 20.
49
Tabel 20 Nilai dari pertanyaan persepsi responden terhadap manfaat ekologi hutan rakyat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Indikator Persepsi Pengelolaan lahan menjadi lebih baik Dapat menimbulkan longsor dan banjir Ada satwa liar di sekitar hutan rakyat Air menjadi jernih Udara terasa sejuk Tidak ada pohon untuk berteduh Memberi kenyamanan Tanah menjadi lebih subur Dapat menimbulkan hama dan penyakit pada tanaman Tanaman tumbuh dengan baik Ada pemanfaatan untuk kayu bakar dari pohon lain
Nilai HR Monokultur 4,57 1,93 2,13 4,63 4,47 1,97 4,60 4,30
Nilai HR Campuran 4,20 1,77 4,00 4,30 4,10 1,80 4,03 3,87
2,00 4,43
3,70 3,73
4,03
3,83
Terdapat dua pertanyaan yang mempunyai nilai yang berbeda antara hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Pertanyaan tersebut, yaitu: ada satwa liar di sekitar hutan dan hutan rakyat dapat menimbulkan hama dan penyakit. Untuk hutan rakyat monokultur kedua pertanyaan tersebut bernilai rendah, berarti keberadaan hutan rakyat tidak menimbulkan adanya satwa liar serta hama dan penyakit karena semua responden tidak setuju dengan pertanyaan tersebut. Pada hutan rakyat campuran pertanyaan tersebut bernilai tinggi, berarti keberadaan hutan rakyat menimbulkan adanya satwa liar serta hama dan penyakit karena hampir semua responden setuju dengan pertanyaan tersebut. Hal tersebut terjadi, karena pada hutan rakyat campuran terdapat satwa liar yaitu babi hutan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman tumpang sari yang ditanam di hutan rakyat, sehingga babi hutan tersebut dianggap hama yang merusak tanaman oleh masyarakat sekitar. Timbulnya babi hutan tersebut pada hutan rakyat campuran karena kondisi hutan rakyat sebelum menjadi hutan rakyat merupakan sebuah lahan yang terbengkalai yang cukup luas dimana habitat babi hutan hidup disana. Banyaknya babi hutan yang hidup disana karena kondisi hutan yang banyak terdapat semak belukar sehingga memudahkan babi hutan untuk berkembang biak dan kondisi hutan yang banyak semak belukar mengakibatkan jauh dari jangkauan manusia. Selain itu wilayahnya terdapat pada ketinggian 50350 mdpl. Menurut Ramdhani (2008) bahwa babi hutan hidup pada ketinggian ≤
50
800 mdpl, habitat yang disukai adalah dataran rendah dengan vegetasi sekunder yang luas, terutama tumbuhan jati, dimana terdapat campuran pohon-pohon dengan umur pertumbuhan yang berbeda-beda dan tanah berumput dengan semak-semak belukar atau hutan yang terganggu berat. Sesudah dijadikan hutan rakyat dan dipelihara oleh petani, habitat babi hutan tetap ada dan merusak tanaman tumpang sari yang ada di hutan rakyat tersebut, karena tanaman utama yang ditanam di hutan rakyat campuran adalah jati dan mahoni. Selain itu terdapat tanaman tumpang sari dengan umur pertumbuhan berbeda-beda, seperti kelapa, petai dan jagung. Letak hutan rakyat juga dekat dengan cagar alam yang dipenuhi semak belukar. Berbeda dengan kondisi hutan rakyat campuran, hutan rakyat monokultur tidak ada hewan liar yang merusak tanaman dan menjadi hama bagi keberadaan hutan rakyat. Hal tersebut terjadi karena kondisi hutan rakyat monokultur hanya terdapat satu jenis pohon yang ditanam, yaitu mahoni sehingga babi hutan tidak menyukai kondisi hutan rakyat monokultur. Berdasarkan literatur diatas bahwa babi hutan lebih menyukai kondisi hutan yang ditanami oleh jati. Selain itu kondisi hutan rakyat monokulur tidak dipenuhi oleh semak belukar sehingga kondisinya lebih terbuka dan letaknya dekat dengan pemukiman penduduk. Kondisi hutan rakyat pada hutan rakyat monokultur dan campuran dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Gambar 6 Kondisi hutan rakyat monokultur yang lebih terbuka dengan jenis tanaman mahoni.
51
a. Cagar alam
b. Lokasi hutan rakyat dekat cagar alam
Gambar 7 Kondisi hutan rakyat campuran yang dekat dengan cagar alam.
Setelah dilakukan penilaian dari seluruh responden terhadap setiap pertanyaan kemudian dilakukan analisis tingkat persepsi dari setiap responden untuk semua pertanyaan. Setelah dilakukan analisis maka dapat disimpulkan bahwa persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran berada pada kategori tinggi. Tingkat persepsi dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Tingkatan persepsi responden terhadap manfaat ekologi pengelolaan hutan rakyat HR Monokultur Kategori
Nilai
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Total
4,20-5,00 3,40-4,20 2,60-3,40 1,80-2,60 1,00-1,80
HR Campuran
n
%
n
%
0 23 7 0 0 30
0,00 76,67 23,33 0,00 0,00 100,00
0 22 8 0 0 30
0,00 73,33 26,67 0,00 0,00 100,00
Total Persepsi Responden (%) 75,00 25,00
100,00
Persepsi petani di hutan rakyat monokultur dan campuran mengenai manfaat ekologi yang dirasakan dari pengelolaan hutan rakyat adalah sama, dimana ada pada kategori tinggi. Jumlah responden yang memiliki persepsi tinggi pada hutan rakyat monokultur, yaitu: sebanyak 23 responden (76,67%) dan pada hutan rakyat campuran yaitu sebanyak 22 responden (73,33%). Tetapi jika dilihat
52
dari persentase, persepsi ekologi pada hutan rakyat monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan hutan rakyat campuran. Hal tersebut terjadi karena pada hutan rakyat monokultur keanekaragaman hayatinya rendah sehingga jarang sekali satwa liar seperti babi hutan ataupun kera yang hidup di hutan rakyat tersebut, sehingga tanaman tumpang sari yang ditanam di hutan rakyat monokultur tidak dirusak oleh satwa liar tersebut yang mengakibatkan pengelolaan hutan rakyatnya baik. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaanpertanyaan tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat yang dirasakan oleh petani yang diajukan pada hutan rakyat monokultur nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan hutan rakyat campuran. Berbeda halnya pada hutan rakyat campuran, keanekaragaman hayati pada hutan rakyat campuran tinggi karena jenis tanaman yang ditanam beragam sehingga satwa liar seperti babi hutan dan kera lebih senang tinggal di tempat yang kondisi hutannya lebih beragam. Hal ini mengakibatkan tanaman tumpang sari yang ditanam di hutan rakyat tersebut dirusak oleh babi hutan yang hidup di sana, sehingga pengelolaan hutan rakyatnya kurang begitu baik dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan tertentu yang berkaitan dengan manfaat yang dirasakan dari pengelolaan hutan rakyat, nilainya lebih rendah dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. Selain itu keberadaan hutan rakyat yang cukup lama menyebabkan persepsi petani hutan rakyat monokultur lebih tinggi dibandingkan hutan rakyat campuran, karena keberadaan hutan rakyat yang lama sehingga petani merasakan bahwa manfaat yang dirasakan dari segi ekologi sangat banyak. Jika dilihat secara umum bahwa 75% responden mempunyai kategori persepsi tinggi terhadap pengelolaan hutan rakyat. Hal ini berarti bahwa pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran memberikan pengaruh positif berupa manfaat ekologi yang tinggi bagi kehidupan masyarakat. Manfaat ekologi tersebut antara lain adalah air jernih dan udara sejuk sehingga memberikan kenyamanan bagi masyarakat sekitar, serta tanah menjadi subur dan tanaman tumbuh dengan baik akibat dari pengelolaan lahan yang baik dan juga ada manfaat hasil hutan non kayu berupa kayu bakar dari hutan rakyat tersebut.
53
5.3.2 Persepsi Petani terhadap Manfaat Sosial Hutan Rakyat Untuk mencari persepsi petani hutan rakyat mengenai manfaat sosial dari hutan rakyat campuran dan monokultur, sama halnya dengan mencari persepsi petani pada manfaat ekologi dengan wawancara menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi sosial dari pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Kemudian pertanyaan tersebut akan digunakan untuk mengukur persepsi petani mengenai manfaat sosial hutan rakyat. Manfaat sosial yang dirasakan oleh petani lebih berupa interaksi antara petani dengan petani, petani dengan masyarakat sekitar dan petani dengan pemerintah, dimana manfaat tersebut merupakan indikator pertanyaan untuk persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur. Analisis nilai indikator tersebut sama dengan persepsi petani pada manfaat ekologi, indikator tersebut dibuat skoring untuk mengetahui tingkat persepsi petani terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur dengan 5 kategori berdasarkan skala likert, yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Berbeda dengan persepsi petani terhadap manfaat ekologi, untuk persepsi petani terhadap manfaat sosial jumlah pertanyaan berjumlah 12 pertanyaan, dimana pertanyaan tersebut akan digunakan untuk mengukur persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Pertanyaan tersebut ditanyakan kepada petani hutan rakyat monokultur sebanyak 30 responden dan petani hutan rakyat campuran sebanyak 30 responden, kemudian diukur nilai dari setiap pertanyaan. Pertanyaan dan nilai dari tiap pertanyaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 22.
54
Tabel 22 Nilai dari pertanyaan persepsi responden terhadap manfaat sosial hutan rakyat No.
Indikator Persepsi
1
Timbul rasa untuk menjaga sumberdaya alam karena memberikan manfaat yang besar Sering terjadi pertemuan atau bertatap muka langsung dengan pihak luar Sering mengadakan pertemuan dengan warga Banyak warga yang bekerja sebagai petani hutan rakyat Ada suatu perkumpulan resmi yang dibentuk dalam mengelola lahan Ada rasa kekerabatan dengan pihak luar Ada rasa kekerabatan dengan sesama warga setempat Ada pengetahuan baru dalam mengelola tanaman Adanya suatu budaya baru dalam mengelola lahan Merupakan teknologi baru Pemukiman disekitar hutan bertambah Padat penduduk
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nilai HR Monokultur
Nilai HR Campuran
4,57
3,90
2,83 4,10
2,73 3,80
4,33
3,70
4,20 4,03
4,00 3,83
4,20
3,67
4,17
3,90
2,10 2,03 2,30 2,33
3,83 1,97 3,73 3,83
Terdapat tiga pertanyaan yang mempunyai nilai yang berbeda antara hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Pertanyaan tersebut, yaitu: pemukiman di sekitar hutan bertambah, padat penduduk dan adanya suatu budaya baru dalam mengelola lahan. Pada hutan rakyat monokultur kedua pertanyaan tersebut bernilai rendah, berarti keberadaan hutan rakyat tidak menyebabkan pemukiman bertambah sehingga tidak padat penduduk dan juga bukan merupakan suatu budaya baru karena sejak dahulu pengelolaan hutan rakyat tersebut sudah ada, sedangkan pada hutan rakyat campuran pertanyaan tersebut bernilai tinggi, berarti keberadaan hutan rakyat menyebabkan pemukiman bertambah dan akibatnya padat penduduk serta merupakan budaya baru dalam mengelola tanaman. Hal tersebut terjadi, karena pada hutan rakyat campuran kondisi hutan rakyat sebelum menjadi hutan rakyat merupakan sebuah lahan yang terbengkalai yang cukup luas dimana masih terdapat banyak hewan liar, sehingga masyarakat takut untuk bermukim disana selain itu karena rumah penduduk yang jarang akibat banyak lahan yang terbengkalai dan sedikit masyarakat yang mengambil
55
hasil hutan. Setelah lahan tersebut dimanfaatkan menjadi hutan rakyat banyak penduduk yang bermunculan dan menetap disana karena habitat hewan liar yang berbahaya tidak ada, yang ada hanya babi hutan, ayam hutan dan jenis hewan lain yang tidak berbahaya. Selain itu penduduk yang mempunyai lahan pribadi yang terbengkalai, mulai memanfaatkan lahan tersebut menjadi lahan hutan rakyat, mengikuti program yang dijalankan oleh pemerintah. Ada juga yang memanfaatkan lahannya untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman. Sehingga pengelolaan hutan rakyat di hutan rakyat campuran tersebut merupakan budaya baru juga karena pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat ada setelah adanya program dari pemerintah untuk mengelola lahan terbengkalai menjadi hutan rakyat, akibatnya banyak petani yang tadinya hanya mengelola lahan persawahan dan perkebunan, mulai beralih dan menjadi petani hutan rakyat juga. Berbeda dengan hutan rakyat monokultur, dari dahulu lahan hutan rakyat tersebut sudah ada dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sehingga banyak penduduk yang menetap disana dari sejak dahulu, akibatnya tidak terjadi pertambahan pemukiman penduduk, walaupun terjadi pertambahan hanya beberapa rumah sehingga tidak menyebabkan padat penduduk. Pengelolaan lahannya juga bukan merupakan suatu budaya baru karena lahan sudah ada, walaupun ada hal baru yang diterapkan dalam teknik mengelola lahan tapi hal baru tersebut tidak sepenuhnya merupakan budaya baru. Hal-hal yang dirubah hanya cara dalam mengelola lahan yang lebih baik. Selanjutnya setelah dilakukan penilaian dari seluruh responden terhadap setiap pertanyaan, lalu dilakukan analisis tingkat persepsi dari setiap responden untuk semua pertanyaan. Setelah dilakukan analisis maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran yang dirasakan dari manfaat sosial berada pada kategori tinggi. Tingkat persepsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 23.
56
Tabel 23
Tingkatan persepsi responden terhadap manfaat sosial pengelolaan hutan rakyat
Variabel Persepsi Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Total
HR Monokultur Kategori 4,20-5,00 3,40-4,20 2,60-3,40 1,80-2,60 1,00-1,80
n 0 15 15 0 0 30
% 0,00 50,00 50,00 0,00 0,00 100,00
HR Campuran n 0 22 8 0 0 30
% 0,00 73,33 26,67 0,00 0,00 100,00
Total Persepsi Responden (%) 61,67 38,33
100,00
Persepsi petani di hutan rakyat monokultur antara tingkat persepsi tinggi dengan tingkat persepsi sedang memiliki jumlah responden yang sama sebanyak 15 responden (50%). Berbeda dengan hutan rakyat campuran, pada hutan rakyat campuran jumlah responden yang memiliki tingkat persepsi tinggi lebih banyak 22 responden (73,33%), sehingga tingkatan untuk persepsi sosial lebih tinggi pada hutan rakyat campuran. Hal tersebut terjadi karena pada desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran manfaat sosial yang dirasakan lebih banyak dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur, terutama pemukiman di sekitar hutan bertambah sehingga padat penduduk, akibatnya suasana desa yang dahulunya sepi menjadi ramai dan juga merupakan budaya baru dalam mengelola tanaman. Secara umum dapat dilihat bahwa 61,67% responden mempunyai persepsi tinggi terhadap pengelolaan hutan rakyat. Hal ini berarti bahwa pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran memberikan pengaruh positif berupa manfaat sosial yang tinggi bagi kehidupan masyarakat, manfaat tersebut berupa tingginya nilai sosial petani terhadap hutan rakyat, sesama petani, masyarakat sekitar dan pemerintah. Nilai sosial terhadap hutan rakyat berupa rasa yang tinggi untuk menjaga keberadaan hutan rakyat karena petani beranggapan bahwa hutan jauh lebih berharga dibandingkan dengan emas, sedangkan nilai sosial terhadap sesama petani, masyarakat sekitar dan pemerintah berupa rasa kekeluargaan yang tinggi karena sering adanya pertemuan yang dilakukan. Dari kedua pengelolaan hutan rakyat tersebut, yaitu: pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran, mempunyai persepsi yang tinggi terhadap
57
manfaat ekologi dan sosial yang diberikan dari pengelolaan hutan rakyat tersebut. Berarti persepsi petani terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran dikategorikan tinggi. Pengelolaan hutan rakyat yang mempunyai persepsi tinggi berarti mempunyai persepsi positif. Menurut Rakhmat (2005), bahwa persepsi positif dipengaruhi pula oleh ketergantungan responden terhadap hutan, sehingga hutan memiliki nilai positif di mata petani (responden). Semakin masyarakat desa hutan tergantung dengan hutan maka semakin positiflah persepsi terhadap manfaat hutan. Tingkat ketergantungan masyarakat ini dipengaruhi oleh seberapa sering masyarakat berinteraksi dengan hutan sehingga persepsi dapat terbentuk dari pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Pengelolaan hutan rakyat yang memiliki persepsi tinggi, berarti manfaat yang dirasakan dari pengelolaan hutan rakyat berupa manfaat ekologi dan sosial tinggi. Hal ini karena petani hutan rakyat beranggapan bahwa kayu merupakan tabungan masa depan yang lebih berharga dibandingkan dengan emas dan menjaga kelestarian hutan merupakan kewajiban yang harus dilakukan agar kelestarian lingkungan tetap terjaga.
5.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat
monokultur dan campuran dibentuk oleh dua factor, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tersebut, antara lain: umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan rumah tangga. Sedangkan faktor eksternal, antara lain: luas kepemilikan lahan, kekosmopolitan, kontak dengan penyuluh, kontak dengan petani dan bantuan pemerintah. Variabel
yang
digunakan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi persepsi terdiri dari variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel bebas, yaitu: faktor-faktor internal dan eksternal, sedangkan variabel tergantung persepsi. Keeratan hubungan antar variabel tersebut dianalisis dengan menggunakan korelasi pengujian analisis korelasi Rank Spearman.
58
5.4.1 Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat Faktor internal adalah faktor yang muncul dari diri seseorang yang mempengaruhi pola pikir dan pandangannya terhadap suatu objek atau permasalahan tertentu seperti karakteristik sosial yang diantaranya adalah tingkat kecerdasan atau pendidikan dan pengetahuan (Budiarti 2011). Faktor-faktor internal yang berhubungan dengan persepsi, yaitu: umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan rumah tangga. Faktor-faktor tersebut dianalisis dengan menggunakan pengujian korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan Rank Spearman, maka didapatkan faktor-faktor internal yang mempengaruhi persepsi petani pada hutan rakyat monokultur dan campuran, yang disajikan pada Tabel 24. Tabel 24
Hubungan faktor internal dengan persepsi petani hutan rakyat menggunakan uji Spearman Persepsi Petani Hutan Rakyat HR Monokultur HR Campuran Faktor Internal Koefisien Koefisien Peluang Peluang Korelasi Korelasi Umur -0,063 0,743 0,061 0,751 Tingkat pendidikan 0,456* 0,011 0,132 0,488 Pengalaman bertani -0,013 0,945 -0,176 0,352 Pekerjaan pokok 0,332 0,073 0,234 0,214 Pekerjaan sampingan -0,484** 0,007 -0,174 0,358 Jumlah tanggungan keluarga 0,268 0,152 -0,250 0,182 Pendapatan rumah tangga 0,225 0,233 0,032 0,865 Keterangan :** korelasi signifikan pada taraf nyata 0,01 (2-tailed) ; * korelasi signifikan pada taraf nyata 0,05 (2-tailed)
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan korelasi Rank Spearman, pada hutan rakyat monokultur faktor internal yang berpengaruh nyata terhadap persepsi adalah tingkat pendidikan dan pekerjaan sampingan. Hal ini dibuktikan dengan nilai peluang < 0,05 (terima H1), sehingga terdapat hubungan antara variabel yang diuji. Tingkat pendidikan memiliki hubungan yang searah dan cukup kuat dengan tingkat persepsi sebesar 45,6% dengan nilai peluang < nilai α (0,011<0,05) pada selang kepercayaan 95%. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat
59
pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat persepsinya karena pengetahuan yang didapat akan semakin banyak, sehingga meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pada hutan rakyat monokultur tingkat pendidikan petani lebih beragam dan lebih tinggi dibandingkan dengan hutan rakyat campuran, yaitu: terdapat beberapa responden yang tingkat pendidikannya perguruan tinggi, sedangkan pada hutan rakyat campuran paling banyak responden tingkat pendidikannya sekolah dasar dan tidak ada responden yang tingkat pendidikannya perguruan tinggi. Hal ini karena keadaan perekonomian pada hutan rakyat monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan hutan rakyat campuran sehingga mampu melanjutkan tingkat pendidikan sampai perguruan tinggi. Pekerjaan sampingan pada hutan rakyat monokultur memiliki nilai hubungan yang tidak searah karena bernilai negatif (-) dan hubungan yang kuat dengan tingkat persepsi nilai koefisien korelasi sebesar 48,4%
dengan nilai
peluang < α (0,000<0,05) pada selang kepercayaan 99%. Hal ini berarti semakin banyak responden yang memiliki pekerjaan sampingan pada kegiatan non usaha tani maka akan semakin rendah persepsinya karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya responden tidak mengandalkan hasil dari hutan rakyat, sehingga keberadaan hutan rakyat tidak begitu berarti bagi kehidupan responden. Pada hutan rakyat campuran tidak ada faktor internal yang berpengaruh terhadap persepsi petani, karena keberadaan hutan rakyat belum lama yaitu baru sekitar 7 tahun sehingga persepsi petani pada hutan rakyat campuran cenderung dipengaruhi oleh faktor eksternal.
5.4.2 Faktor-Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar yang mempengaruhi (stimulus) pola pikir dan pandangan seseorang yang berkaitan dengan objek atau permasalahan tertentu atau pengalaman orang lain yang dilihatnya atau yang diketahuinya berkenaan dengan hal tersebut dan struktur sosial yang mengatur kehidupan sosial seperti jumlah keluarga (Budiarti 2011). Faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi terdiri dari luas kepemilikan lahan, kekosmopolitan, kontak dengan penyuluh, frekuensi bertemu petani dan bantuan pemerintah. Luas
60
kepemilikan lahan dimasukan ke dalam faktor eksternal tidak ke faktor internal karena berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Budiarti (2011) bahwa persepsi selain dipengaruhi oleh faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor eksternal luas lahan yang memiliki pengaruh nyata terhadap pembentukan persepsi. Faktor eksternal ini juga dianalisis dengan menggunakan korelasi Rank Spearman. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25
Hubungan faktor eksternal dengan persepsi petani hutan rakyat menggunakan uji Spearman Persepsi Petani Hutan Rakyat HR Monokultur HR Campuran Faktor Eksternal Koefisien Koefisien Peluang Peluang Korelasi Korelasi Luas kepemilikan lahan 0,224 0,234 0,639** 0,000 Kekosmopolitan -0,221 0,240 -0,018 0,924 Kontak dengan penyuluh 0,319 0,085 -0,021 0,912 Frekuensi bertemu petani -0,111 0,559 -0,577** 0,001 Bantuan pemerintah -0,189 0,317 -0,279 0,136 Keterangan :** korelasi signifikan pada taraf nyata 0,01 (2-tailed) ; * korelasi signifikan pada taraf nyata 0,05 (2-tailed)
Tabel 25 menjelaskan bahwa berdasarkan hasil pengujian, pada hutan rakyat monokultur tidak ada faktor eksternal, yaitu: luas kepemilikan lahan, kekosmopolitan, kontak dengan penyuluh, frekuensi bertemu petani dan bantuan pemerintah yang mempengaruhi tingkat persepsi petani. Hal tersebut dapat terjadi karena persepsi petani cenderung lebih terbentuk dari faktor internal dibandingkan faktor eksternal. Faktor internal ini lebih mempengaruhi pola pikir dan pandangan petani tentang keberadaan hutan rakyat yang cukup lama. Pada hutan rakyat campuran, terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi petani yaitu luas kepemilikan lahan dan frekuensi betemu petani. Hal ini ditunjukkan oleh nilai peluang yang diperoleh < 0,05 (terima H1) sehingga terdapat hubungan antara variabel yang diuji. Luas kepemilikan lahan memiliki hubungan yang kuat dan searah dengan tingkat persepsi yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 63,8% dan nilai peluang < nilai α (0,000<0,05) pada selang kepercayaan 99%. Hal ini berarti semakin luas kepemilikan lahan maka akan semakin tinggi tingkat persepsinya karena manfaat yang diperoleh jauh lebih banyak jika lahannya semakin luas.
61
Hal ini dapat diperkuat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiarti (2011) bahwa lahan milik yang semakin luas dikelola secara maksimal dapat memberikan
keuntungan
dengan
menambah
pendapatan
sehingga
akan
memberikan gambaran dan pengetahuan kepada masyarakat. Oleh karena itu persepsi petani yang tinggi pada hutan rakyat campuran lebih dipengaruhi oleh luas kepemilikan lahan, karena petani beranggapan jika lahannya semakin luas maka keuntungan yang diperoleh akan semakin banyak. Selain itu luas kepemilikan lahan yang dimiliki petani hutan rakyat campuran lebih luas dibandingkan dengan petani hutan rakyat monokultur. Frekuensi bertemu petani memiliki hubungan yang kuat dan tidak searah karena bernilai negatif dengan tingkat persepsi sebesar 57,7% dan nilai peluang < α (0,001<0,05) dengan selang kepercayaan 99%. Hal ini berarti semakin tinggi frekuensi bertemu dengan petani maka akan semakin rendah tingkat persepsinya, karena ketika bertemu sesama petani jarang membicarakan tentang perkembangan pengelolaan hutan rakyat. Ketika bertemu sesama petani lebih sering membicarakan seputar masalah keluarga dan kehidupan sehari-hari. Sehingga semakin sering bertemu, maka persepsinya akan semakin rendah karena hal yang dibicarakan tidak akan menambah pengetahuan petani tentang pengelolaan hutan rakyat.
5.5
Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga Usaha yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan total rumah
tangga petani terdiri dari tiga yaitu usaha hutan rakyat, usaha tani non hutan rakyat dan non usaha tani. Untuk hutan rakyat monokultur sumber pendapatan dari usaha hutan rakyat didapatkan dari tanaman tumpang sari dan kayu bakar. Tanaman tumpang sari tersebut, antara lain: jeruk, kelapa, cengkeh, kacangkacangan dan jagung. Pendapatan dari kayu untuk saat ini belum ada karena belum ada pemanenan dari hasil kayu. Sumber pendapatan dari usaha tani non hutan rakyat didapatkan dari hasil panen padi dan sumber pendapatan dari non usaha tani didapatkan dari usaha peternakan, pegawai negeri dan wiraswasta. Untuk hutan rakyat campuran, sumber pendapatan dari hutan rakyat hanya didapatkan dari kayu bakarnya saja karena pohon yang ditanaman belum layak
62
tebang dan tanaman tumpang sari yang ditanam tidak ada karena dirusak oleh babi hutan. Sumber pendapatan dari usaha tani non hutan rakyat didapatkan dari hasil panen padi dan kebun, sedangkan sumber pendapatan dari non usaha tani didapatkan dari usaha peternakan, pegawai negeri dan wiraswasta. Manfaat ekonomi yang dirasakan petani dari hutan rakyat dapat dirasakan dari kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga. Kegiatan usaha dari hutan rakyat untuk saat ini memberikan kontribusi paling kecil terhadap pendapatan total rumah tangga tiap petani, yaitu: 3% (Rp 893.333/tahun) untuk hutan rakyat monokultur dan 1% (Rp 187.200/tahun) untuk hutan rakyat campuran dibandingkan dengan kegiatan usaha lainnya, yaitu: usaha tani non hutan rakyat dan usaha non tani. Kegiatan yang paling besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan total rumah tangga tiap petani adalah dari kegiatan non usaha tani, yaitu: 71% (Rp 19.698.000/tahun) untuk hutan rakyat monokultur dan 63% (Rp 10.813.333/tahun) untuk hutan rakyat campuran, karena pendapatannya dapat diperoleh oleh petani tiap bulannya. Kayu dan juga tanaman tumpangsari yang berada di hutan rakyat tidak di tebang terus menerus tiap bulan ataupun tanaman tumpangsari tidak berbuah tiap bulannya serta belum ada panen kayu rakyat untuk saat ini. Selain itu sistem penebangannya adalah tebang butuh, jadi jika kebutuhan rumah tangga petani kurang, baru akan menebang kayu di hutan rakyat tersebut. Kondisi tersebut berbeda dengan kontribusi hutan rakyat yang sudah ada pemanenan hasil kayunya. Berdasarkan hasil penelitian Octavianingsih (2010) di Kecamatan Nglipar, Semin, dan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 59,93% terhadap pendapatan rumah tangga. Penelitian dari Sultika (2010) di Desa Sidamulih dan Desa Bojong, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat diperoleh hasil kontribusi dari hutan rakyat 33,02% dan hasil penelitian Firani (2011) di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat diperoleh hasil kontribusi dari hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga sebesar 49,23%. Dari ketiga hasil penelitian tersebut hutan rakyat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan rumah tangga petani karena hasil yang diperoleh dari hutan rakyat bukan tanaman tumpang sari dan kayu bakar saja, tetapi ada penghasilan dari kayu juga. Berbeda dengan hutan rakyat pada penelitian ini, dimana hutan rakyat hanya memberikan
63
kontribusi sebesar 1% - 3% karena untuk saat ini belum ada pemanenan dari hasil kayu. Persentase pendapatan petani dari tiap kegiatan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Persentase jumlah pendapatan petani dari tiap kegiatan Jenis Pendapatan Hutan rakyat Usaha tani non hutan rakyat Non usaha tani Total
Hutan Rakyat Monokultur Rata-Rata Persentase Pendapatan (%) (Juta Rp/tahun) 0,89 3
Hutan Rakyat Campuran Rata-Rata Persentase Pendapatan (%) (Juta Rp/tahun) 0,18 1
7,33
26
6,23
36
19,69 27,92
71 100
10,81 17,23
63 100
Pada Tabel 26 dapat dilihat bahwa jumlah persentase pendapatan dari hutan rakyat pada hutan rakyat campuran lebih rendah dibandingkan hutan rakyat monokultur sebesar 1%. Hal ini dapat terjadi karena meskipun pekerjaan pokok petani pada hutan rakyat campuran adalah lebih banyak bekerja dari usaha tani, tetapi untuk kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani lebih mengandalkan dari kegiatan berladang dan mengelola sawah, karena umur pohon yang ditanam di hutan rakyat baru berumur 7 tahun dan belum layak tebang, selain itu tanaman tumpang sari yang ditanam di hutan rakyat campuran habis dirusak oleh babi hutan dan petani hanya bisa mengandalkan dari hasil penjualan kayu bakarnya saja. Selain itu bisa dilihat dari manfaat ekologi juga bahwa hutan rakyat campuran memiliki manfaat ekologi yang lebih kecil dibandingkan hutan rakyat monokultur, sehingga pengelolaan hutan rakyat monokultur lebih baik dan bisa memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik juga.