23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Masyarakat 5.1.1 Kondisi Masyarakat Masyarakat
sekitar
Taman
Hutan
Raya
(TAHURA)
KGPAA
Mangkunagoro I yang bertempat tinggal di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo masih tergolong masyarakat asli namun kehidupannya sudah modern. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya bangunan rumah permanen yang terbuat dari semen, pasir, batu bata meskipun masih banyak ornamen kayu. Masyarakat juga sudah mengenal makanan cepat saji seperti sosis, nugget dan lain sebagainya. Masyarakat dalam pengobatannya juga sudah mulai menggunakan jasa bidan maupun dokter yang ada di sekitar mereka. Meskipun demikian masyarakat di Dukuh Sukuh tergolong kelompok masyarakat yang kecil. Berdasarkan pada data kependudukan tahun 2010, Dukuh Sukuh hanya terdiri dari 10 kepala keluarga dengan 46 orang penduduk, sedangkan Dukuh Gondangrejo terdiri dari 24 kepala keluarga dengan 117 orang penduduk. Berdasarkan pada data tersebut jika dilihat berdasarkan kelas umur masyarakat dapat dikelompokan kedalam sebelas kelompok (Gambar 2). Masyarakat yang paling banyak adalah usia 21-30 tahun. Sedangkan usia paling tua mencapai 110 tahun dan terdapat lima orang masyarakat yang usianya lebih dari 80 tahun. Seluruh masyarakat yang tinggal di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo 100% beragama Islam. Meskipun semua penduduknya Islam namun tradisi yang berdasar pada kepercayaan juga masih dilakukan oleh masyarakat, misalnya member sesaji di makam leluhur, peringatan kematian, dll. Sumber informasi sebagian besar masyarakat adalah dari televisi dan radio, namun sebagian ada yang menggunakan surat kabar dan internet. Dengan demikian modernisasi sudah banyak masuk ke lingkungan masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo. Menurut masyarakat pengaruh teknologi yang mulai banyak mempengaruhi pola kehidupan masyarakiat adalah mulai banyaknya makanan instan yang beredar di masyarakat, selain itu juga mulai
24
banyaknya obat kimia yang mulai masuk dan mulai menggeser obat-obatan organik. Hal tersebut mulai mempengaruhi pola kehidupan masyarakat dan berdampak pada lunturnya kearifan lokal masyarakat setempat.
38
40 35
28
Jumlah
30
23
25
22
20 13
15 10
12
7
5 2
5
2
1
0
Kelas umur
Gambar 2 Klasifikasi rmasyarakat berdasarkan kelas umur. Masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I lebih banyak perempuan daripada laki-laki (Gambar 3), begitupula untuk masyarakat yang masih tinggal di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo adalah perempuan. Hal ini dikarenakan mulai banyaknya laki-laki yang merantau keluar daerah untuk bekerja.
perempuan 52%
laki-laki 48%
Gambar 3 Klasifikasi masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan tingkat pendidikan (Gambar 4) rata-rata dari responden adalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lebih dikarenakan sulitnya akses untuk menuju sekolah (SMP dan SMA), selain itu kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan juga menjadi alasan rendahnya tingkat pendidikan. Masyarakat lebih mengutamakan bekerja
25
(berladang) daripada bersekolah, karena menurut mereka dengan bekerja mereka bisa mendapatkan uang, sedangkan sekolah jika tidak sampai perguruan tinggi juga akan menjadi buruh saja. Kondisi ini juga diterapkan kepada anak-anak mereka, sehingga belum banyak anggota keluarga yang mengenyam pendidikan hingga tamat SMA. Sutarno selaku ketua RT setempat menyatakan “rendahnya tingkat pendidikan di daerahnya karena factor biaya yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat dan mereka berpendapat bahwa usi sekolah adalah usia produktif untuk bekerja”. SMP 19%
SMA 5% SD 76%
Gambar 4 Klasifikasi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan. Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo mayoritas adalah petani, 53% masyarakat bermata pencaharian utama sebagai petani (Gambar 5). Meskipun ada beberapa yang bekerja di luar bidang pertanian namun masyarakat masih menerapkan pertanian misalnya dalam memanfaatkan pekarangan. Kehidupan bertani adalah pola hidup masyarakat sejak dulu. Meskipun lahan yang mereka miliki tidak luas atau bahkan tidak memiliki sawah dan ladang namun masyarakat memanfaatkan lahan sisa di sekitar mereka untuk bercocok tanam. Hasil dari pertanian tersebut selain untuk dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya juga dimanfaatkan sebagai komoditas pertanian yang dijual ke pasar lokal hingga keluar daerah, karena daerah ini menjadi salah satu produsen sayuran. Selain sebagai produsen kebutuhan sayuran di pasar lokal (Pasar Kemuning), daerah ini juga dapat menjual produk sayurannya hinga ke daerah Pacitan, Jawa Timur.
26
penjaga purbakala 1%
swasta 36%
petani 53% pelajar 10%
Gambar 5 Karakteristik masyarakat berdasar pada pekerjaan. 5.1.2 Pola kehidupan masyarakat Kehidupan masyarakat sekitar TAHURA dapat dikategorikan pada pola kehidupan yang teratur. Pagi setelah Sholat Subuh sekitar pukul 05.00-07.00 WIB mereka sudah berangkat ke hutan untuk mencari rumput sebagai pakan ternak (biasanya dua sampai tiga kali balik ke tempat araman). Setelah itu mereka melanjutkan aktifitasnya untuk berladang sambil mencari kayu bakar. kegiatan itu biasanya dilakukan hingga pukul 14.00 kemudian mereka istirahat sejenak dan setelah sholat ashar mereka kembali ke hutan atau ke kebun untuk melanjutkan pekerjaannya hingga menjelang magrib. Setelah itu masyarakat sholat magrib berjama’ah di masjid yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Setelah magrib mereka menunggu waktu isya sambil bersosialisasi dengan warga lainnya. Setelah isya biasanya mereka kembali kerumah dan beristirahat mengumpulkan tenaga untuk aktifitas esok hari. Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo adalah masyarakat yang ramah. Hal ini ditunjukan dengan sikap mereka yang menyambut baik wisatawan yang datang setiap harinya. Wisatawan yang datang lebih dominan wisatawan asing, meskipun mereka terkendala bahasa namun mereka berusaha untuk memberi sambutan sebaik mungkin.
Keramahan lain yang mereka tunjukan
adalah sapaan hangat mereka terhadap orang-orang baru yang belum mereka kenal. Tenggang rasa antar mereka juga sangat kuat, tenggang rasa itu lebih ditunjukan ketika ada salah satu warga yang punya hajatan mereka akan bergotong royong untuk membantunya, pada kondisi “kesripahan” ada yang meninggal juga akan sangat tampak kondisi tenggang rasa dan gotong royong
27
mereka. Hal lain yang dapat dilihat adalah ketika ada salah satu yang membangun rumah maka mereka akan “sambatan” membantu tanpa dibayar. Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo juga memiliki pola kehidupan sehari-hari yang teratur. Masyarakat memiliki pola makan yang teratur, menurut mereka makan teratur akan membuat mereka terhindar dari masalah pencernakan. Masyarakat rata-rata makan tiga kali dalam sehari, namun masyarakat tidak selalu makan nasi. Mereka sering menggantikan nasi dengan beberapa jenis makanan pengganti seperti singkong, garut, ubi, sukun dan beberapa jenis lainnya. Selain itu dalam makan masyarakat selalu menggunakan sayuran, meskipun tidak banyak jenis sayuran yang mereka konsumsi karena biasanya mereka hanya mengambil dari pekarangan mereka. Meskipun sederhana masyarakat berusaha untuk memenuhi pola makan yang sehat. Sumber protein masyarakat berasal dari ikan asin, tempe, tahu dan beberapa jenis makanan lainnya. Sedangkan sumber vitamin biasanya diperoleh dari buah-buahan. Dengan pola makan yang sehat masyarakat mengharapkan mereka dapat terhindar dari penyakit. Masyarakat juga menerapkan hidup sehat dengan mengkonsumsi obat herbal. Misalnya dengan mengkonsumsi jahe untuk menghangatkan tubuh mengingat suhu di daerah ini rendah. Masyarakat juga membuat minuman sendiri, misalnya untuk teh atau kopi mereka lebih sering membuatnya sendiri secara manual, bukan mengkonsumsi minuman instan. Namun beberapa pola kehidupan masyarakat sudah mulai ditinggalkan. 5.1.3
Interaksi mayarakat Mangkunagro I
dengan
kawasan
TAHURA
KGPAA
Masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I masih memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya dari hutan di dalam kawasan TAHURA. Dengan demikian maka terbentuklah interaksi antara masyarakat dengan kawasan TAHURA. Namun, saat ini bentuk interaksi tersebut sudah banyak yang ditinggalkan. Dahulu hampir semua kebutuhan hidup masyarakat dipenuhi dari dalam kawasan. Misalnya untuk bahan bangunan masyarakat mengambil tumbuhan dari dalam hutan untuk kayu bakar, bahan bangunan, tanaman hias,
28
pakan ternak dan lain sebagainya mereka masih memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam hutan. Sumberdaya yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tumbuhan. Misalnya dahulu masyarakat mengambil kayu untuk bahan bangunan dari hutan, selain bahan bangunan juga ada bahan untuk kerajinan dan beberapa manfaat lainnya. Namun sekarang bentuk interaksi itu sudah mulai hilang. Masyarakat mulai mengurangi interaksi mereka terhadap kawasan bukan semata-mata karena perubahan status kawasan dari milik Perhutani hingga menjadi kawasan konservasi berupa TAHURA. Kekhawatiran masyarakat terhadap dampak yang akan timbul seperti bencana alam adalah alasan utama masyarakat mulai mengurangi interaksi dengan hutan dan mulai mengadakan upaya budidaya. Masyarakat masih sangat tergantung pada kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan air, sehingga masyarakat akan menjaga sumber air tersebut untuk menjamin kebutuhan mereka. Masyarakat tidak benar-benar melepaskan kebutuhannya dari hutan, mereka masih melakukan interaksi dengan hutan untuk beberapa kebutuhan. Pemanfaatan plasma nutfah dari dalam hutan juga merupakan bentuk interaksi. Misalnya masyarakat banyak membudidayakan spesies penting dari hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Contoh budidaya tersebut antara lain sudah banyaknya spesies penting seperti garut, ganyong dan gadung yang mulai dikembangkan sebagai tumbuhan pangan. Banyaknya budidaya watel dan suren sebagai bahan kayu bangunan. Bentuk interaksi yang masih ada hingga saat ini adalah dalam mencari kayu bakar dan membudidayakan pakan ternak. Selain untuk kebutuhan kayu bakar dan pakan ternak masyarakat berusaha untuk membudidayakan spesies yang mereka manfaatkan. Budidaya yang dilakukan oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk upaya konservasi. 5.2 Pemanfaatan Tumbuhan Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I diperoleh dari hasil wawancara pada 34 responden yang mewakili setiap keluarga. Klasifikasi responden berdasarkan kelar umur dapat dilihat pada gambar 6. Responden paling banyak adalah kelas umur 41-55 tahun,
29
hal ini dikarenakan masyarakat pada kelas umur tersebut masih banyak mengetahui pemanfaatan tumbuhan dan masih mudah untuk berkomunikasi. Responden yang usianya lebih dari 55 tahun lebih banyak mengetahui mengenai pemanfaatan tumbuhan obat. Hal ini dikarenakan masyarakat tersebut mengetahui langsung pemanfaatannya dan masih menerapkan pemanfaatan
Jumlah responden
tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari mereka. 20 15 10 5 0
15 3
8
< 25
25-40
8 41-55
>55
Umur
Gambar 6 Klasifikasi responden berdasar kelas umur. Responden dalam wawancara mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebanyak 53% (Gambar 7). Hal ini dikarenakan lakilaki lebih banyak mengetahui pemanfaatan tumbuhan terutama yang digunakan sebagai bahan bangunan, pakan ternak dan kayu bakar. Meskipun demikian ada pula responden perempuan.
Perempuan 47%
Laki‐ laki 53%
Gambar 7 Klasifikasi responden berdasarkan jenis kelamin. Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo masih tergantung terhadap tumbuhan yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka, baik dari hutan di sekitar mereka (kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I), di ladang milik mereka bahkan di pekarangan yang berada disekeliling rumah mereka. Tumbuhan yang diambil langsung dari hutan biasanya adalah untuk pakan ternak, kerajinan dan kayu bakar. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya masyarakat memanfaatkan tumbuhan yang ada di ladang maupun pekarangan milik pribadi.
30
Tumbuhan yang berasal dari ladang maupun pekarangan sebagian besar dimanfaatkan untuk obat dan pangan. Sedangkan untuk bahan bangunan terkadang mereka memperolehnya dari hutan atau sengaja menanamnya di ladang milik mereka. Namun sekarang untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan masyarakat lebih memilih untuk membeli dan enggan untuk mengambilnya di hutan. Selain karena masyarakat mulai menyadari dengan status kawasan, masyarakat juga enggan mengambil kayu di hutan karena mereka khawatir akan dampak yang ditimbulkan (bencana alam). Meskipun hutan yang ada di sekitar masyarakat adalah kawasan TAHURA namun pemanfaatan untuk masyarakat masih tinggi, hal ini dikarenakan pada awalnya kawasan tersebut adalah milik Perhutani yang dikelola bersama masyarakat. Pada saat kawasan masih dikelola oleh Perhutani, masyarakat diberi hak untuk memanfaatkan lahan di bawah tegakan pinus untuk membudidayakan pakan ternak, hingga pada akhirnya dibuat kesepakatan antara masyarakat dan Perhutani bahwa masyarakat boleh memanfaatkan lahan seluas lahan yang mereka bersihkan dan mereka tanami rumput. Pemanfaatan tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Lahan untuk menanam rumput tersebut disebut dengan “araman”. Masyarakat
sekitar
TAHURA
KGPAA
Mangkunagoro
I
selain
memanfaatkan tumbuhan dari hutan secara langsung juga memanfaatkan plasma nutfah yang berasal dari dalam kawasan TAHURA. Hal ini dapat dilihat dari spesies yang dibudidayakan oleh masyarakan pada awalnya adalah spesies liar yang
ada
dihutan.
Karena
kebutuhan
masyarakat
maka
masyarakat
membudidayakan spesies-spesies yang banyak dimanfaatkan. Pembudidayaan spesies liar dari hutan tersebut bertujuan agar masyarakat dapat tetap memanfaatkan spesies tersebut tanpa khawatir akan kelangkaan. Selain itu dengan budidaya tersebut masyarakat lebih mudah dalam mengambil spesies tumbuhan yang dimanfaatkan, karena sudah ada di sekitar mereka. Jumlah spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I tergolong rendah. Tumbuhan yang dimanfaatkan terdiri dari 140 spesies dari 57 famili. Pemanfaatan paling banyak adalah untuk bahan pangan diikuti tumbuhan obat (Gambar 8). Karena
31
pemanfaatan paling banyak adalah pada bahan pangan sehingga masyarakat lebih tergantung dari tumbuhan hasil budidaya. Spesies tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan adalah sebagai bahan pangan, hal ini dikarenakan pangan merupakan kebutuhan pokok manusia. Menurut masyarakat sulitnya akses dan mahalnya harga bahan pangan di pasaran membuat masyarakat harus mengupayakan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan dari lingkungan mereka, yaitu dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitar mereka. Salah satu upaya yang dilakukan masyarakat adalah dengan membudidayakan spesies yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Sehingga
Pemanfaatan tumbuhan
kebutuahan akan pangan akan tetap dapat dipenuhi. Pangan Obat Kayu bakar Tanaman hias Bahan bangunan Ritual keagamaan Pakan ternak Bahan kerajinan Petisida nabati Bahan pewarna
78 64 16 14 10 8 8 7 5 2 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Jumlah spesies
Gambar 8 Pemanfaatan tumbuhan berdasarkan kelompok penggunaan. Jika dibandingkan dengan penelitian etnobotani di sekitar kawasan konservasi lain maka dapat dilihat tidak terlalu banyak perbedaan jenis pemanfaatan (Tabel 3). Pada penelitian ini pemanfaatan tumbuhan untuk bahan minuman tidak dikelompokan secara khusus karena termasuk dalam bahan pangan. Tabel 3 Perbandingan hasil etnobotani di beberapa kawasan konservasi Lokasi
1 64
2 78
Kelompok pemanfaatan tumbuhan * 3 4 5 6 7 8 9 10 2 10 8 4 0 8 14 7
11 16
Sumber
TAHURA KGPAA Penelitiaan ini Mangkunagoro I (2012) CA Gunung Simpang 74 62 4 14 12 5 12 19 35 14 9 Handayani (2010) TN Gunung Merapi 47 40 2 13 7 4 7 20 11 6 11 Anggana (2011) TN Bromo Tengger 30 31 0 3 4 0 0 3 15 0 3 Novitasari (2011) Semeru TN Gunung Ciremai 37 15 5 22 8 5 9 4 29 7 6 Arizona (2011) *) Keterangan :1)obat, 2)pangan, 3) pewarna, 4)bahan bangunan, 5)pakan ternak, 6) pestisida nabati, 7) aromatik, 8) ritual/adat, 9) hias, 10) bahan kerajinan, tali dan anyaman, 11) kayu bakar.
32
Hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat sekitar TAHURA diperoleh 140 spesies dari 57 famili. Tumbuhan yang dimanfaatkan untuk berbagai jenis pemanfaatan (Lampiran 1). Famili dengan jumlah spesies yang
Famili
terbanyak dimanfaatkan adalah Fabaceae sebanyak 13 spesies.
Fabaceae Poaceae Zingiberaceae Solanaceae Myrtaceae Moraceae Euphorbiaceae Rubiaceae Rosaceae Lauraceae
13 12 8 8 6 5 5 4 4 4 0
2
4
6
8
10
12
14
Jumlah spesies
Gambar 9 Keanekaragaman tumbuhan dari 10 famili dengan spesies terbanyak. Tabel 4 Data total pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I Bentuk Pemanfaatan tumbuhan Pangan Obat Kayu Bakar
∑ Spesies
∑ Famili
79 63 16
34 33 14
Tanaman Hias Bahan Bangunan Ritual Keagamaan
14 10 10
12 9 7
Pakan Ternak Pestisida Nabati
8 4
4 4
Bahan Pewarna
2
2
Sumber Famili dominan Fabaceae Zingiberaceae Meliaceae, Myrtaceae Araceae, Fabaceae Fabaceae Lauraceae, Magnoliaceae, Poaceae Poaceae Euphorbiaceae, Meliaceae, Myrtaceae, Solanaceae Vebernaceae, Zingiberaceae
Hutan
Ladang
Pekarangan
4 10 13
50 25 1
24 28 2
3 10 4
3 0 4
8 0 2
7 1
1 3
0 0
0
1
1
Famili yang banyak dimanfaatkan adalah Fabaceae. Fabaceae atau yang biasa dikenal dengan polong-polongan termasuk dalam lima kelompok famili terbesar. Fabaceae mudah tumbuh bahkan di tanah yang kurang subur sekalipun.
33
Spesies dari famili ini biasanya digunakan untuk menyuburkan tanah karena kemampuannya dalam mengikat nitrogen dan menggemburkan tanah. Selain itu pemanfaatan Fabaceae seperti kacang kedelai (Glycine max), kacang merah (Vigna umbellate), kacang hijau (Vigna Radiata) dan beberapa spesies lain dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan meskipun bukan sebagai pangan pokok. Spesies dari Fabaceae juga banyak dibudidayakan oleh masyarakat untuk tanaman sela antar tanaman pokok maupun untuk tanaman
Jumlah
perantara dimusim sayur sehingga kesuburan tanah tersebut dapat terjaga. 60 50 40 30 20 10 0
57 38 19
herba
1
1
2
lumut
palem
bambu
11
11
liana
semak
perdu
pohon
Habitus
Gambar 10 Habitus tumbuhan yang dimanfaatkan. Dari 140 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat terdiri dari 8 habitus. Habitus tersebut terdiri dari pohon, semak, perdu, herba, liana, lumut, palem dan bambu. Dalam pemanfaatnnya spesies yang digunakan sebagian besar habitus herba sebesar 41% (57spesies) dan yang paling sedikit adalah palem dan lumut masing-masing 1% (1 spesies) (Gambar 10). Herba adalah spesies dengan batang lunak dan tidak akan menjadi kayu. Sebagian besar tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari ladang (40%). Hanya 28% tumbuhan yang dimanfaatkan yang berasal dari hutan (Gambar 11). Tumbuhan yang berasal dari hutan sebagian besar adalah yang dimanfaatkan untuk kayu bakar dan pakan ternak. Sedikitnya tumbuhan yang diambil dari hutan berkaitan dengan status hutan yang sebagai kawasan konservasi. Namun selain itu sedikitnya pemanfaatan tumbuhan dari dalam hutan secara langsung adalah sudah banyaknya spesies yang dibudidayakan oleh masyarakat seperti garut dan spesies lainnya. Sehingga selain pemanfaatan secara langsung bentuk pemanfaatan keanekaragaman spesies tumbuhan sebagai sumber plasma nutfah juga sebagai bentuk pemanfaatan spesies tumbuhan.
34
hutan 28%
pekarangan 32% ladang 40%
Gambar 11 Persen habitat. Masyarakat sudah menerapkan sistem budidaya terhadap tumbuhan yang sering dimanfaatkan. Budidaya merupakan salah satu bentuk konservasi terhadap spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Tumbuhan yang banyak dibudidaya antara lain tumbuhan obat, pangan dan pakan ternak. Sebagian besar tumbuhan yang dimanfaatkan berasal dari hasil budidaya (78%) (Gambar 12). Budidaya tumbuhan yang dimanfaatkan dilakukan di pekarangan sekitar tempat tinggal, ladang bahkan di hutan dalam kawasan TAHURA. Tumbuhan yang dibudidayakan di hutan adalah tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak, karena masyarakat membudidayakan di tempat araman mereka. hutan 22% budidaya 78%
Gambar 12 Persen budidaya. 5.2.1 Tumbuhan pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pangan mempengaruhi keberlangsungan hidup manusia. Tumbuhan pangan biasanya mengandung karbohidrat, protein, lemak dan zat-zat penting yang dibutuhkan oleh manusia. Tumbuhan pangan dapat berupa tumbuhan untuk pangan, bahan minuman hingga tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bumbu. Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pangan antara lain umbi, buah, daun dan kayu. Menurut Anggana (2011) kebutuhan akan bahan pangan merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat tergantikan. Seperti halnya masyarakat sekitar pegunungan yang menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian dan tumpangsari, seperti buah, sayur dan umbi-umbian. Dengan iklim yang
35
mendukung banyak sayuran yang dibudidayakan oleh masyarakat, selain untuk memenuhi kebutuhan juga digunakan untuk komoditas perdagangan. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan pada masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I terdiri dari 78 spesies dari 34 famili (Lampiran 4). Famili yang banyak dimanfaatkan adalah Fabaceae terdiri dari 9 spesies (Gambar 13). Spesies yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan dari famili Fabaceae adalah jenis kacang-kacangan seperti kapri, kacang hijau, kacang panjang, kacang tanah dan beberapa spesies lain. Menurut masyarakat spesies yang mereka manfaatkan dari famili Fabaceae juga dimanfaatkan sebagai penyubur tanah, spesies tersebut dapat menggemburkan tanah. Sehingga spesies tersebut sering ditanam oleh masyarakat sebagai tanaman
Jumlah Spesies
perantara musim tanaman. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9 7 5 4
4
Famili
Gambar 13 Lima famili yang banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan pangan. Bagian tumbuhan yang banyak digunakan adalah buah (Gambar 14). Buah banyak dimanfaatkan karena mudah dimanfaatkan dalam jumlah banyak (satu tanaman dapat menghasilkan lebih dari satu buah). Tanaman buah juga mudah dibudidayakan di lahan milik masyarakat. Baik di pekarangan maupun ladang. Buah sebagai bagian yang dimanfaatkan juga dapat menjaga kelestarian spesies tumbuhan tersebut. Karena dengan pemanfaatan buah maka tidak harus mematikan spesies tumbuhan tersebut, lain halnya dengan pemanfaatan akar karena dengan pemanfaatan akar maka tumbuhan tersebut sudah tidak dapat melanjutkan hidupnya.
36
45
41
40 Jumlah spesies
35 30 25 20
14
15
11
10 5
4 1
1
1
1
air
batang
herba
kulit kayu
6
0 bunga rimpang umbi
daun
buah
Bagian yang digunakan
Gambar 14 Bagian tumbuhan yang banyak dimanfaatkan untuk pangan.
Gambar 15 Tumbuhan kol. Spesies tumbuhan pangan yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain ganyong, garut, gadung dan sukun karena spesies tersebut banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan pengganti nasi. Pada awalnya masyarakat memperoleh spesies-spesies tersebut dari hutan sekitar tempat tinggal mereka namun sekarang sudah banyak dibudidayakan di kebun dan di pekarangan. Menurut masyarakat alasan mereka melakukan budidaya tersebut adalah untuk memudahkan mereka dalam pemanfaatan spesies tersebut dan tidak harus mengambil dari hutan sehingga hutan akan tetap lestari. Spesies yang banyak dibudidayakan antara lain garut, gadung, ubi rambat, sukun, singkong. Spesies yang sudah menjadi komoditas utama dalam perdagangan di pasar adalah ubi rambat yang dikenal oleh masyarakat sebagai telo
37
wungu. Namun selain itu sukun dan singkong juga sudah mulai banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Sedangkan untuk spesies yang baru mulai dibudidayakan namun belum terlalu banyak dikenal di masyarakat di pasar adalah garut. Garut belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, karena terbatasnya sumberdaya dan belum banyaknya masyarakat yang mengetahui manfaat dari spesies tersebut. Menurut Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan garut selain berfungsi sebagai bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obatobatan (mendinginkan perut, disentri, eksim, memperbanyak ASI, penyembuh borok dan mengobati sengatan lebah) dan bahan baku industri (bahan kosmetik, lem dan minuman beralkohol) Selain spesies yang dikembangkan sebagai tumbuhan pangan pengganti nasi, tumbuhan pangan yang banyak dibudidayakan adalah tumbuhan yang menjadi komoditas perdagangan dari daerah ini. Spesies yang menjadi komoditas perdagangan antara lain jenis sayuran (wortel, kol, kapri, daun bawang, cabai, kentang, dan beberpa spesies lainnya), buah-buaham (jeruk, alpukat, nangka, pisang, dan beberapa spesies lainnya), ubi jalar, singkong dan beberapa spesies rempah-rempah. Darwanto (2010) menyatakan bahwa kondisi saat ini menunjukan ketersediaan bahan pangan semakin tergantung pada impor sehingga menurunkan motivasi petani untuk meningkatkan produksi bahan pangan karena harga produk yang rendah. Namun kenyataan yang ada pada masyarakat justru berbeda, dengan banyaknya bahan pangan impor masyarakat justru kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian dibutuhkan adanya produsen lokal untuk bahan pangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Kondisi masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo sebagai produsen bahan pangan terutama sayuran
akan
dapat
membantu
masyarakat
sekitar
dalam
memenuhi
kebutuhannya. Masyarakat menjual produk hasil pertaniannya untuk masyarakat lokal. Penjualan hasil pertanian tersebut selain di pasar lokal (Pasar Kemuning) juga dapat mencapai Pasar di daerah Pacitan, Jawa Timur. Alur penjualannya adalah adanya tengkulak yang datang ke petani dan membeli hasil pertanian
38
masyarakat, kemudian tengkulak tersebut menjualnya ke pedagang di pasar. Dengan alur yang seperti itu masyarakat mengalami kerugian, karena biasanya tengkulak membeli dengan harga yang rendah dari petani, namun dapat menjualnya ke pedagang dengan harga yang tinggi. Tetapi masyarakat tidak dapat menjual hasil pertanian mereka secara langsung tanpa melalui tengkulak. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak memiliki akses langsung kepedagang yang ada di pasar. Sehingga masyarakat sangat mengharapkan adanya upaya dari Pemerintah Daerah setempat untuk dapat mengatur pola perdagangan sayuran di daerah tersebut terutama dalam pengendalian harga sayuran. Misalnya dengan membuat sentra agroindustri sebagai tempat masyarakat menjual hasil peertaniannya dibawah pengawasan pemerintah daerah setempat.
Gambar 16 Suasana perdagangan sayuran di pasar lokal. 5.2.2 Tumbuhan obat Tumbuhan obat adalah segala spesies tumbuhan yang memiliki khasiat untuk mengobati penyakit. Tumbuhan obat juga diartikan segala jenis tanaman yang memiliki khasiat obat dan digunakan sebagai obat dalam penyembuhan maupun pencegahan penyakit. Pengertian khasiat obat adalah mengandung zat yang berfungsi mengobati penyakit tertentu atau jika tidak mengandung zat
39
tertentu mengandung efek dari berbagai zat yang berfungsi mengobati. Tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat sebanyak 63 spesies dari 35 famili (Lampiran 3). Spesies yang banyak digunakan sebagai tumbuhan obat paling banyak dari famili Zingiberaceae (Gambar 16). Famili ini banyak digunakan sebagai tumbuhan obat karena selain berkhasiat sebagai tumbuhan obat, spesies tumbuhan dari famili ini juga banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan pangan (biasanya sebagai bumbu). Spesies dari famili Zingiberaceae relatif mudah untuk tumbuh dan tidah membutuhkan perawatan khusus, sehingga banyak di budidayakan oleh masyarakat, selain itu spesies dari famili Zingiberaceae juga sebagai komoditas yang diperdagangkan. Spesies dari famili ini lebih banyak dibudidayakan di
Famili
pekarangan rumah warga. Zingiberaceae Solanaceae Myrtaceae Poaceae Lauraceae Lamiaceae Cucurbitaceae Asteraceae Apiaceae Rubiaceae
7 4 4 3 3 3 3 3 3 2 0
2
4
6
8
Jumlah spesies
Gambar 17 Keanekaragaman tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Setiap tumbuhan memiliki khasiat yang berbeda-beda. Namun beberapa jenis dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang sama atau beberapa penyakit yang berbeda dapat di obati dengan jenis yang sama. Selain beda khasiatnya, cara menggunakan dan bagian yang digunakan juga dapat berbeda. Hal ini dikarenakan setiap bagian tumbuhan memiliki kandungan yang berbeda. Bagian tumbuhan yang umum digunakan untuk obat antara lain daun, akar, batang, kulit kayu, bahkan semua bagian tumbuhan.
40
Hasil wawancara menunjukan bahwa bagian yang paling banyak digunakan untuk tumbuhan obat adalah daun (Gambar 17). Dengan dimanfaatkannya daun maka tidak akan memberikan pengaruh yang tinggi terhadap kelangsungan hidup tumbuhan tersebut. Menurut Fakhrozi (2009) daun memiliki regenerasi yang tinggi untuk kembali bertunas dan tidak memberi pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan suatu tanaman meskipun daun merupakan tempat fotosintesis. Dengan pemanfaatan pada daun maka tidak perlu mematikan spesies tersebut, sehingga tidak akan terlalu banyak berpengaruh pada kelangsungan hidup individu yang dimanfaatkan. Meskipun demikian pemanfaatannya juga harus diperhatikan, karena pemanfaatan yang berlebih juga akan mengganggu proses kehidupan individu tersebut.
28
30 Jumlah spesies
25
21
20 15 10 5
1
1
1
2
2
4
5
7
0
Bagian yang digunakan
Gambar 18 Bagian yang digunakan untuk tumbuhan obat. Damayanti (2003) mengategorikan spesies tumbuhan obat penting menjadi tiga yaitu (1) spesies yag paling banyak diketahui oleh masyarakat, (2) spesies yang paling banyak untuk mengobati satu jenis penyakit, dan (3) jenis yang paling bermanfaat untuk pengobatan. Jika dilihat pada kondisi masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo berdasarkan pada keterangan responden tidak banyak jenis penyakit yang sering diderita oleh masyarakat. Jenis penyakit yang sering diderita adalah penyakit ringan yang mudah untuk disembuhkan. Penyakit yang paling sering diderita adalah tekanan darah tinggi, masuk angin, diare, demam, pegal-linu dan beberapa jenis lainnya. Sehingga spesies tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan adalah spesies tumbuhan yang dapat digunakan untuk
41
menyembuhkan penyakit yang mereka derita atau hanya sekedar pengetahuan mengenai spesies tumbuhan yang dapat digunakan (Lampiran 3). Jenis penyakit yang dapat digolongkan penyakit yang berat yang didertia masyrakat adalah diabetes. Namun dari hasil wawancara ternyata ada satu warga masyarakat yang meninggal akibat kanker payudara. Penyakit kanker itu merupakan satu-satunya kejadian dalam masyarakat tersebut yang sampai menyebabkan kematian. Karena menurut masyarakat rata-rata warga yang
Jenis penyakit
meninggal diakibatkan oleh faktor usia, bukan dari faktor penyakit. menurunkan tekanan darah ringgi diabetes pegal-linu melancarkan pencernakan melancarkan asi masuk angin diare demam campuran obat sariawan
8 4 3 3 3 3 3 3 3 2 0
5
10
Jumlah spesies
Gambar 19 Jenis penyakit yang paling banyak disembuhkan. Spesies tumbuhan obat penting berdasar pada kondisi masyarakat adalah spesies yang banyak dimanfaatkan untuk mengobati tekanan darah tinggi. Masyarakat banyak memanfaatkan tumbuhan obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi, misalnya spesies seperti alpukat, labu siam, belimbing, mengkudu, salam dan mentimun untuk mengobati tekanan darah tinggi. Kristianti (2012) menyatakan bahwa tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis. Tekanan darah tinggi dapat disebabkan oleh gaya hidup, stress, alkohol atau kelebihan konsumsi garam dalam makanan. Mentimun (Cucumis sativus) salah satu spesies yang digunakan sebagai obat hipertensi karena dalam biji buahnya mengandung zat asetilkolin, karotin dan minyak lemak. Labu (Sechium edule) yang biasa mereka sebut dengan jipan juga sering dimanfaatkan untuk mengobati tekanan darah tinggi.
42
Masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari paling banyak memanfaatkan labu siam atau yang lebih mereka kenal dengan jipan untuk mengobati tekanan darah tinggi. Labu yang diambil adalah yang berwarna hijau tua, kemudian kupas kulitnya, cuci dengan air matang kemudian diparut dan diperas. Air hasil perasan tersebut dapat langsung diminum. Biasanya untuk mengobati tekanan darah tinggi masyarakat mengkonsumsi dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan malam hari. Namun jika kondisi sudah mulai membaik atau gejala yang mereka rasakan untuk darah tinggi sudah berkurang, masyarakat juga akan mengurangi dosis yang mereka minum.
a
b
b
Gambar 20 Spesies tumbuhan obat a) Janggelan, b) Labu. Pada saat ini pemanfaatan tumbuhan untuk obat sudah mulai menurun. Hal ini dikarenakan semakin terbatasnya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan mulai adanya perkembangan jaman. Responden juga mengakui bahwa saat ini mereka lebih banyak menggunakan obat kimia daripada obat herbal. Hal ini dikarenakan penggunaan obat kimia lebih praktis daripada penggunaan obat herbal. Selain itu takaran dan dosisnya pun lebih jelas. Hasil wawancara dengan responden sebenarnya responden masih memiliki pengetahuan mengenai pemanfaatan tumbuhan obat, namun beberapa spesies yang dulu digunakan oleh masyarakat sudah sulit untuk ditemukan di hutan misalnya akar parem yang dulu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati keseleo, memar, retak dan pegal-linu. Namun jenis tersebut sekarang sudah tidak dapat ditemukan lagi. Menurut keterangan masyarakat spesies tersebut dulunya hanya terdapat di hutan kawasan TAHURA, spesies tersebut sulit untuk dibudidayakan oleh masyarakat. Sebenarnya responden lebih percaya dengan obat dari tumbuhan karena sudah turun-temurun, karena beberapa alasan masyarakat lebih cenderung
43
menggunakan obat kimia. Alasan utama masyarakat sudah mulai berkurang dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai obat selain sulitnya memperoleh spesies yang akan digunakan, proses yang perlu dilakukan sebelum dapat menggunakan tumbuhan sebagai obat yang menurut mereka kurang praktis juga menjadi alasan. Harapan masyarakat adalah adanya obat herbal yang praktis dan siap konsumsi. Masyarakat juga mengharapkan adanya klinik pengobatan herbal seperti yang ada di daerah Tawangmangu. Klinik obat herbal yang mereka harapkan adalah klinik yang ada di bawah Dinas Kesehatan, bukan klinik herbal milik swasta. Selain itu dapat diupayakan pula TOGA (Tanaman Obat Keluarga), mengingat masih banyaknya lahan yang dapat digunakan di sekitar tempat tinggal yaitu pekarangan yang cukup luas dapat dikembangkan TOGA. Namun untuk mewujudkan hal tersebut harus dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya menyediakan tumbuhan obat di sekitar tempat tinggal mereka. Menurut Ikhsan (2010) ternyata, banyak tumbuhan obat yang dapat ditanam di tanah sempit dan tidak perlu perawatan yang njlimet, bahkan banyak yang tidak perlu dirawat (dibiarkan saja tumbuh alami). Untuk menanam tanaman obat di lingkungan rumah hanya memerlukan sedikit pengetahuan mengenai tumbuhan obat dan keterampilan untuk menanam. Untuk mewujudkan TOGA atau apotik hidup di pekarangan tidak membutuhkan modal yang besar dan tidak menyita banyak waktu, karena spesies tumbuhan tersebut dapat ditanam satu persatu sesuai dengan kebutuhan dan tidak perlu menanam semua spesies tumbuhan tetapi cukup menanam spesies yang akan dibutuhkan oleh keluarga saja. Menurut Septiatin (2009) bahan baku untuk obat tradisional terdiri dari tumbuhan rempah-rempah, tanaman hias dan tumbuhan liar. Spesies tumbuhan rempah-rempah akrab oleh ibu-ibu rumah tangga karena selain bermanfaat untuk bumbu masakan sebagian besar memiliki khasiat untuk obat, misalnya jahe, kunyit, kencur, temulawak dan lain sebagainya. Manfaat lain yang diharapkan dengan adanya TOGA yang dikembangkan oleh masyarakat adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai pemasok bahan baku utama untuk jamu, mengingat Kabupaten Karanganyar memiliki pabrik jamu yang cukup besar dan banyak usaha kecil pembuatan jamu
44
gendong. Selain itu diharapkan dapat sebagai daerah percontohan dalam pengambangan kemandirian masyarakat terhadap kesehatan masyarakat itu sendiri. Tumbuhan obat yang terdapat di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo banyak yang diminati oleh produsen jamu. Spesies yang diminati anta lain adalah kina (Cinchona pubescens) dan beberapa spesies tumbuhan yang dapat digunakan sebagai campuran obat seperti kingkong (Eupatorium triplinerve). Pemanfaatan kulit pohon kina yang banyak dimanfaatkan untuk bahan baku obat malaria masih diambil dari hutan di kawasan TAHURA. Belum ada masyarakat yang membudidayakan spesies tersebut di pekarangan maupun kebun. Menurut pengelola TAHURA aktifitas masyarakat yang mengambil kulit kina di dalam kawasan tersebut sebenarnya mengancam keestarian spesies-spesies kina tersebut, namun disisi lain masyarakat ikut serta dalam pengawasan terhadap kelestarian spesies yang ada di dalam kawasan tersebut. Selain kina, kingkong juga banyak dimanfaatkan untuk campuran jamu karena kingkong dapat digunakan untuk mengurangi rasa pahit dari bahan baku utama pembuatan jamu.
a
b
Gambar 21 a) Kondisi pohon kina yang sudah dikuliti, b) Kingkong. Spesies tumbuhan obat yang banyak diperjual-belikan oleh masyarakat dan sudah banyak dibudidayakan adalah spesies dari famili Zingiberceae. Spesies tersebut antara lain lengkuas, jahe, kunyit, temu kunci, temulawak, temu ireng dan beberapa spesies lainnya. Untuk spesies dari Zingiberaceae langsung dijual ke pasar lokal yang ada di daerah tersebut, hal ini berbeda dengan spesies kina dan kingkong yang langsung dijual pada tengkulak yang kemudian dijual ke pabrik maupun produsen jamu.
45
Gambar 22 Spesies tumbuhan yang diperjual-belikan sebagai tumbuhan obat. 5.2.3 Tumbuhan penghasil pakan ternak Selain bertani masyarakat juga banyak yang mengembangkan ternak. Namun ternak yang dikembangkan bukan untuk diperjual-belikan namun untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hampir seluruh masyarakat memiliki
hewan
ternak, sehingga kebutuhan akan pakan ternak juga menjadi kebutuhan penting masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo. Kebutuhan pakan tersebut dipenuhi dengan rumput yang mereka tanam di tempat araman di hutan dalam kawasan TAHURA. Ada 8 spesies dari 4 famili tumbuhan yang banyak ditanam oleh masyarakat di tempat araman (lahan di dalam hutan kawasan TAHURA yang digunakan untuk budidaya pakan ternak) mereka. Antara lain rumput A (Panicum sp.), rumput B (Strobilanthes sp), rumput C (Oplismenus compositus), rumput D (Isachne sp.), tumbuhan bawah H (Rubia cordifolia), kalanjana (Pennisetum purpureum) dan singkong (Manihot Utilissima). Selain jenis tumbuhan yang mereka tanam di tempat araman, masyarakat juga memanfaatkan daun-daun dari sayuran yang tidak dimanfaatkan oleh manusia. Misalnya daun labu siam, daun jagung, daun ubi dan jenis-jenis daun lainnya.
Gambar 23 Rumput pakan ternak.
46
5.2.4 Tumbuhan hias Tumbuhan hias adalah tumbuhan yang memiliki nilai estetika. Selain itu tumbuhan tersebut dapat berupa tumbuhan yang ada di sekitar masyarakat yang dapat memberikan hiburan atau rasa senang bagi setiap orang yang menikmatinya. Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias adalah hasil budidaya. Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias terdiri dari 14 spesies dari 12 famili. Tumbuhan yang paling banyak ditemui di rumah masyarakat adalah jemani (Anthurium jemani), lidah buaya (Aloe vera), hokeri (Anthurium hokeri) dan lidah mertua ( Sansevieria trifasciata).
Gambar 24 Anthurium jemani. Menurut sejarahnya sekitar tahun 2007 anturium terutama spesies jemani adalah tumbuhan yang banyak dibudidayakan masyarakat karena pada saat itu jemani memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Sehingga banyak masyarakat yang membudidayakan jemani untuk sumber pendapatan. Namun pada saat ini harga jemani sudah sangat rendah sehingga masyarakat lebih memilih untuk memanfaatkan tumbuhan tersebut sebagai tumbuhan hias. Hilangnya harga anturium tersebut bermula dari kejadian bencana alam berupa tanah longsor yang terjadi di Tawangmangu. Menurut keterangan masyarakat kejadian tersebut diakibatkan karena hutan yang ada disekitar lokasi bencana tersebut sudah mulai rusak dengan aktivitas manusia yang memanfaatkan pakis secara besar-besaran dari dalam hutan. Menurut
hasil
wawancara
hingga
sekarang
masyarakat
masih
membudidayakan beberapa spesies tumbuhan tersebut (Gambar 25) dan berharap suatu saat akan memiliki nilai jual kembali. Namun selain dari spesies anturium
47
masyarakat juga banyak membudidayakan spesies tanaman hias yang mereka jual di daerah wisata sekitar mereka hingga ke Tawangmangu.
:tempat budidaya tanaman hias
Gambar 25 Budidaya tanaman hias. 5.2.5 Tumbuhan untuk keperluan ritual adat dan keagamaan Hasil wawancara yang dilakukan pada masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo hanya mendapatkan 8 spesies yang sering dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual dan keagamaan. Tumbuhan tersebut biasanya dimanfaatkan untuk pelengkap sesajen atau untuk bunga sekaran (di tabur di makam dan tempat keramat). Spesies tumbuhan tersebut antara lain bunga yang sering disebut dengan bunga setaman yang terdiri dari bunga kantil (Michelia alba), mawar (Rosa sp.) dan melati (Jasminum sambac). Selain itu juga sering dimanfaatkan kemenyan (Styrax officinalis) sebagai pelengkap untuk sesajen atau nyekar. Selain untuk kebutuhan nyekar dan sesajen masyarakat juga percaya jika di rumah mereka di tanam bambu kuning (Bambusa vulgaris) maka mereka akan terlindungi dari makhluk halus. Spesies tumbuhan lain yang juga sering dimanfaatkan untuk ritual dan keagamaan adalah beras ketan (Oryza Sativa glotinosa) dan awar-awar (Ficus septica).
Gambar 26 Awar-awar.
48
5.2.6 Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan Beberapa masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo sering membuat kerajinan untuk dimanfaatkan sendiri bahkan untuk dijual.
Bentuk
kerajinan yang dibuat oleh beberapa masyarakat adalah anyaman tikar dari bahan mendong (Fimbristylis globulods). Dahulu masyarakat banyak membuat tikar untuk dijual, namun karena keterbatasan bahan baku untuk membuat tikar tersebut saat ini masyarakat sudah tidak dapat membuat tikar dari mendong. Sulitnya memperoleh bahan baku untuk membuat kerajinan memang menjadi alasan utama, namun kurangnya promosi dan sulitnya pemasaran juga menjadi faktor mulai hilangnya kearifan masyarakat dalam membuat tikar dari mendong. Bagi masyarakat jika ada alur pemasaran yang jelas sebenarnya masih banyak usaha yang bisa diupayakan untuk memperoleh bahan baku tersebut. Tikar dari mendong sekarang sudah tidak banyak diminati lagi, karena banyaknya tikar dari bahan lain yang lebih banyak diminati di pasaran. Harapan masyarakat adalah dapat mengembangkan usaha dalam membuat tikar seiring dengan pengembangan kawasan TAHURA sebagai lokasi wisata. Masyarakat berharap beberapa kerajinan dari masyarakat dapat digunakan sebagai sarana dalam objek wisata tersebut.
a
b
Gambar 27 Anyaman a) Mendong (bahan anyaman), b) Tikar dari mendong. Spesies
bambu
khususnya
bambu
petung
(Dendrocalamus
asper)
dimanfaatkan masyarakat untuk membuat kerajinan berupa keranjang, tumbu, kukusan dan gedhek (dinding rumah dari anyaman bambu). Tidak semua spesies bambu dapat digunakan untuk membuat anyaman. Bambu yang digunakan biasanya siperoleh dengan membeli dari pedagang dari Karangpandan. Namun
49
selain itu di hutan kawasan TAHURA juga masih ada bambu yang digunakan untuk kerajinan.
a
b
Gambar 28 Kerajinan a) Bambu (bahan kerajinan), b) Keranjang dari bambu. Kayu keras juga dapat digunakan untuk bahan kerajinan, misalnya akar atau batangnya. Di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo ada beberapa masyarakat yang memanfaatkan akar dan batang pohon sebagai meja atau kursi yang unik. Namun hasil tersebut jarang diperjual balikan. Jenis pohon yang sering digunakan adalah pinus (Pinus merkusii).
Gambar 29 Hasil kerajinan dari pohon pinus. Beberapa spesies tumbuhan juga dimanfaatkan untuk tali, misalnya rilarat (Rubus chrysophyllus) dan banyon (Tetrastigma papilosum). Namun spesies tumbuhan tersebut hanya terbatas untuk tali yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengikat kayu bakar yang mereka ambil di dalam hutan atau untuk mengikat rumput. Masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I kurang banyak mengetahui kegunaan tumbuhan sebagai bahan penghasil tali, anyaman dan kerajinan karena menurut mereka tali yang banyak dijual dengan bahan plastik lebih kuat dan praktis. Menurut Anggana (2011) kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pemanfataan tumbuhan sebagai penghasil tali, anyaman dan kerajinan dikarenakan proses regenerasi dari generasi tua ke generasi muda tidak
50
berjalan dengan baik sehingga pada saa ini hanya beberapa orang saja yang masih menggunakan tumbuhan sebagai bahan tali, anyaman dan kerajinan. 5.2.7 Tumbuhan penghasil kayu bakar Masyarakat Dukuh Sukuh masih banyak yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Meskipun subsidi kompor gas sudah masuk di tempat ini namun masyarakat masih banyak yang memanfaatkan kayu bakar. Oleh sebab itu kayu bakar mejadi salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat. Kayu bakar sebagian besar diperoleh dari hutan. Kayu bakar yang mereka ambil dari hutan biasanya hanya berupa rencek (ranting pohon yang sudah jatuh ke tanah) (Gambar 30). Selain itu hika ada pohon yang tumbang terkadang masyarakat juga mengambilnya untuk kayu bakar. Keterbatasan masyarakat dalam mengambil kayu bakar dipengaruhi oleh status kawasan yang menjadi TAHURA. Spesies yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat terdiri dari 16 spesies dari 14 famili. Contoh spesies yang digunakan oleh masyarakat sebagai kayu bakar antara lain codo (Elaeagnus loureirii), cuwut (Cyrtandra sp.), lempeni (Ficus ribes), suren (Toona sureni), riralat (Rubus chrysophyllus) dan beberapa spesies lainnya (Lampiran 5). Famili yang banyak dimanfaatkan untuk kayu bakar adalah Myrtaceae. Selain dari spesies yang diperoleh dari hutan beberapa spesies juga berasal dari hasil budidaya di ladang maupun pekarangan masyarakat. Kayu bakar yang diambil oleh masyarakat selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi juga dijual keluar desa misalnya dijual ke daerah Karangpandan dan sekitarnya.
a
b
Gambar 30 a)buah pinus, b) kayu yang digunakan untuk kayu bakar.
51
5.2.8
Tumbuhan penghasil bahan bangunan Bentuk rumah masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo sudah
berupa bangunan permanen dari tembok bahkan beton. Meskipun demikian masyarakat juga masih memanfaatkan kayu sebagai bahan bangunan (Gambar 31). Kayu-kayu tersebut digunakan untuk membuat reng (rangka), tiang maupun hanya sekedar kusen pintu dan jendela. Hasil wawancara menunjukan ada 10 spesies yang sering digunakan masyarakat sebagai bahan bangunan. Misalnya jati (Tectona grandis), pinus (Pinus merkusii), suren (Toona sureni) dan beberapa jenis lainnya (Lampiran 11). Masyarakat menyatakan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan kondisi mereka dahulu. Dahulu masyarakat memanfaatkan kayu dari dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan bangunan. Namun saat ini masyakarakat sudah menggunakan kayu dari hasil budidaya mereka atau dari membeli. Karena menurut mereka jika mereka masih tergantung pada hutan maka akan berdampak pada lingkungan mereka, misalnya pada ketersediaan air dan bencana alam. Spesies yang banyak dibudidayakan pleh masyarakat adalah pinus, jati, suren dan kayu dari pohon-pohon buah.
Gambar 31 Kayu sebagai bahan bangunan. 5.2.9
Tumbuhan penghasil warna Tumbuhan juga dapat dimanfatkan sebagai penghasil warna. Dari hasil
wawancara yang diperoleh hanya diperoleh 2 spesies tumbuhan dari 2 famili yang berbeda. Tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna adalah jati (Tectona grandis) dan kunyit (Curuma domestica). Bagian pohon jati yang dimanfaatkan sebagai pewarna adalah daun. Daun jati dapat menghasilkan warna merah kecoklatan, daun jati biasanya digunakan
52
dalam pewarna pada sayur atau masakan. Menurut Heyne (1987) kulit akar dan daun-daun muda pada pohon jati dapat digunakan untuk mewarnai bahan anyaman. Sedangkan kunyit yang digunakan adalah bagian rimpang. Rimpang kunyit menghasilkan warna kuning. Kunyit juga hanya digunakan sebagai pewarna makanan. Selain digunakan sebagai bahan pewarna pada makanan menurut Heyne (1987) rimpang kunyit juga dapat digunakan sebagai bahan pewarna pada anyaman, terkadang juga digunakan untuk bahan-bahan tenunan. 5.2.10 Tumbuhan penghasil pestisida nabati Pada masyarakat yang mayoritas sebagai petani biasanya sangat mengenal pestisida. Pestisida juga dapat berasal dari tumbuhan yang biasanya disebut dengan pestisida nabati. Menurut masyarakat jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati antara lain daun mimba (Azadirachta indica), jarak (Ricinus communis), cengkeh (Syzygium aromaticum), dan tembakau (Nicotina tabacum). Meskipun masyarakat mengetahui jenis tanaman yang digunakan sebagai pestisida nabati, masyarakat tidak dapat menjelaskan bagian yang digunakan, jenis hama yang menjadi sasaran dan proses pembuatannya. Hal ini dikarenakan pada saat ini masyarakat sudah bergeser dalam penggunaan pestisida dari pestisida nabati ke kimiawi. Menurut masyarakat alasan utama mereka menggunakan pestisida kimiawi adalah arena sulitnya ditemukan tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Sehingga atas dasar kepraktisan mereka lebih memilih menggunakan pestisida kimiawi. Menurut Rachmat dan Wahyono (2007) dari pohon mimba (Azadirachta indica) yang dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati adalah bagian biji dan daun. Biji mimba mengandung 25 senyawa limonoid dan daunnya mengandung 57 senyawa limonoid dengan zat bioaktif utama azadiractin (C35H44O16). Zat bioaktif ini bekerja sebagai zat penlak, pencegah nafsu makan, penghambat tumbuh, larvasida, bakterisida (untuk mencegah aflatoksin), mitisida (obat kudisa), virisida (mengendalikan virus mosaic pada tembakau), rodentisida, ovisida, spermatisida, fungisida, nematisida dan moluskisida. Bahan aktif ini dapat ditemukan diseluruh bagian tumbuhan mumba, namun demikian kandungan bahan aktif paling tinggi pada biji. Keunggulan dari azadiractin adalah
53
fitotiksisitasnya kecil bahkan tidak ada pada dosis efektif, tidak toksik untuk manusia dan vertebrata lainnya dan daya kerja utama adalah menghambat nafsu makan pada serangga hama. Cengkeh (Syzygium aromaticum), bagian yang dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati adalah daun dan biji (bunnga) yang mengandung minyak atsiri metal eugenol (Rachmat & Wahyono 2007). Pada tembakau (Nicotina tabacum) bagian yang dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati adalah daun dan batang. Namun bagian yang umum digunakan adalah daunnya. Tembakau mengandung bahan aktif alkaloid seperti anabarine, anatobine, myosinine, nicotinoid, nicotelline, nicotine, nicotyrine, norotine dan piperidine. Kandungan nicotine paling tinggi terdapat pada rsnting dan tulang daun (Rachmad & Wahyono 2007). Semua bagian tumbuhan jarak (Ricinus communis) beracun untuk nematode, cendawan dan serangga karena kandungan bioaktif ricin sebesar 8090% dan sisanya adalah minyak castor. Ekstrak daun jarak 50-100 gr dalam 1 liter air ditambah sabun cair diendapkan 1 malam, kemudian diperas dan disaring lalu disiramkan pada tanaman dapat mengendalikan cendawan, nematode, hama yang ada di dalam tanah (Rachmat & Wahyono 2007). Spesies yang dulunya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pestisida nabati berasal dari hutan disekitar tempat tinggal masyarakat tersebut. Hingga saat ini tidak banyak ditemukan spesies tersebut di lingkungan sekitar tempat tinggal masyarakat sebagai bentuk budidaya. Karena masyarakat sudah tidak banyak memanfaatkannya sehingga masyarakat merasa kurang perlu membudidayakannya. Biasanya masyarakat akan membudidayakan spesies yang dpaat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Alasan utama masyarakat tidak memanfaatkan pestisida nabati adalah karena lebih praktis menggunakan obat kimia. Sehingga perlu adanya sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat mengemas pengetahuan masyarakat mengenai spesies yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati dalam bentuk produk yang siap digunakan namun tetap dengan konsep alami (hanya sedikit menggunakan unsure kimia). Menurut Wisjnuprapto (2010) ketersediaan teknologi pendukung kualitas sumberdaya manusia setempat perlu diperhatikan
54
dalam menentukan teknologi yang akan diaplikasikan guna menjamin keberlangsungan
pembangunan
tersebut.
Dengan
demikian
diharapkan
pengetahuan masyarakat tersebut akan tetap hidup dan masyarakat dapat tetap menggunakan pestisida nabati dengan cara yang lebih praktis. 5.3 Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat 5.3.1 Sistem araman Araman adalah sistem pembagian areal ladang rumput. Luas areal ladang rumput yang di kelola setiap keluarga berbeda-beda. Sistem pembagian lahan araman ini dilakukan ketika hutan yang kini menjadi TAHURA KGPAA Mangkunagoro I ini masih berstatus sebagia hutan milik Perhutani. TAHURA KGPAA Mangkunagoro I ditetapkan pada tahun 1999, sebelum ditetapkan sebagai TAHURA kawassan hutan tersebut berstatus sebagai hutan yang dikelola Perhutani. Selama hutan tersebut dikelola oleh Perhutani masyarakat memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam hutan. Masyarakat memanfaatkan hutan tersebut untuk mengambil kayu bakar, mengambil kulit kina, dan yang utama adalah mengambil rumput (dengan sistem araman). Araman yang diterapkan antara masyarakat dan Perhutani memiliki kesepakatan luas yang boleh dikelola oleh masyarakat. Pembagian areal tersebut berdasarkan pada kemauan masyarakat yang ditunjukan dengan seberapa luas keluarga tersebut mampu membersihkan areal hutan yang dipenuhi dengan semak belukar. Semakin giat mereka bekerja maka areal yang mampu mereka bersihkan juga semakin luas. Luas tersebut adalah luas areal yang mereka miliki untuk menanam rumput yang akan digunakan untuk memberi pakan pada satwa. Dalam membersihkan lahan tersebut masyarakat dilarang merusak pohon yang ada dalam hutan dan hanya boleh membersihkan semak yang ada di bawahnya. Dalam pengelolaan lahan “araman” tersebut masyarakat akan membatasi setiap area yang mereka miliki dan tidak akan terjadi perebutan area untuk araman. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa apa yang mereka peroleh saat ini adalah hasil dari apa yang mereka lakukan di masa lalu. Jadi mereka akan tetap menerima ketika mereka hanya memiliki area yang lebih sempit dari pada yang
55
lain, dan jika tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak maka mereka akan membeli rumput pada orang lain. Pengelolaan areal araman yang dilakukan oleh masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo adalah dengan membersihkan areal yang akan ditanami dengan membakarnya agar merangsang pertumbuhan rumput yang ada. Namun sistem bakar yang diterapkan adalah dengan terlebih dahulu membuat sekat bakar, sehingga tidak akan mengakibatkan kebakaran lahan yang merusak hutan. Setelah dibakar dan di bersihkan maka area tersebut ditanami dengan bibit rumput sesuai yang mereka kehendaki. Jenis rumput yang mereka tanam biasanya berdasarkan pada jenis ternak yang mereka miliki sehingga menyesuaikan palatabilitas (tingkat kesukaan satwa pada jenis pakan tertentu). Masyarakat membutuhkan tumbuhan untuk pakan ternak setiap hari dalam kondisi segar. Sehingga masyarakat yang memiliki ternak pasti akan mengambil pakan ternak setiap hari ke hutan (area araman mereka masing-masing). Untuk memenuhi pakan ternak tersebut masyarakat biasanya membagi areal araman mereka menjadi beberapa bagian. Setiap bagian memiliki masa tanam yang berbeda, sehingga jika hari pertama mengambil di satu bagian areal maka areal tersebut akan siap ditanami kembali. Untuk keesokan harinya akan mengambil pakan dari bagian areal araman yang lain. Pembagian areal tersebut dapat hanya berupa larikan maupun berupa areal yang terpisah. Alur pembuatan araman diawali dengan pembersihan areal yang rumputnya sudah dipanen di hari sebelumnya, setelah areal dibersihkan dibuatlah sekat bakar di sekeliling areal tersebut, seringkali masyarakat membakar areal tersebut untuk memicu tumbuhnya tunas baru. Setelah itu maka areal tersebut ditanami dengan bibit rumput sesuai dengan yang dibutuhkan. Sambil menunggu tumbuhnya rumput yang baru di tanam biasanya masyarakat memanen rumput di areal lain. Setelah rumput dirasa bisa dipanen maka rumput tersebut dipanen dan diambil sesuai dengan kebutuhan. Rumput diambil dan ditumpuk di suatu lokasi setelah jumlah rumput yang dipanen dirasa cukup maka rumput-rumput tersebut dipikul menuju rumah. Ketika tiba dirumah sebagian rumput langsung diberikan pada hewan peliharaan dan sebagian lagi disimpan untuk jatah pakan selanjutnya (di hari yang sama) (Gambar 32).
56
Petak araman
Lahan yang sudah dibersihkan
Rumput mulai tumbuh
Lahan yang ditanami rumput
Proses penanaman rumput
Rumput yang sudah dipanen
Rumput siap dikonsumsi ternak
Proses pengangkutan rumput
Gambar 32 Alur pembuatan araman – penyimpanan rumput. 5.4.2 Sistem pengambilan kayu bakar Hutan memiliki peran penting bagi masyarakat sekitarnya, tak terkecuali dengan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I Ngargoyoso ini. Manfaat yang paling banyak dirasakan oleh masyarakat adalah untuk memenuhi kebutuhan akan kayu bakar yang digunakan sebagai bahan bakar. Kayu yang di ambil oleh masyarakat hanya berupa ranting atau dahan pohon yang sudah jatuh ke tanah. Masyarakat tidak akan mengambil dahan atau ranting yang masih ada di batang
57
pohon yang masih hidup atau dengan sengaja mengambil bagian kayu pada pohon yang masih hidup. Masyarakat hanya akan mengumpulkan bagian kayu yang sudah ada di tanah baik karena patah, terkena angin ataupun sebab lain tetapi bukan sebab yang disengaja oleh manusia. Bagian kayu yang di manfaatkan untuk kayu bakar biasanya disebut dengan “rencek”.
Kayu bakar yang diperoleh
kemudian di simpan di samping rumah mereka, hal ini bertujuan agar kayu bakar tersebut kering dan dapat digunakan untuk bahan bakar (Gambar 33). Alasan utama masyarakat mengambil rencek adalah mereka tidak menginginkan rusaknya hutan, karena menurut mereka rusaknya hutan yang ada di sekitar mereka dan sekaligus di lereng Gunung Lawu akan mengancam kehidupan mereka (bencana).
Gambar 33 Pemanfaatan kayu bakar oleh masyarakat. 5.4.3 Pola pekarangan Menurut Wijoyo (2012) penanaman sayuran di pekarangan akan menciptakan tanaman sayur yang multifungsi. Di satu sisi tampilannya akan cukup memberikan nilai estetis dan ketika dipanen akan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan pribadi (keluarga) bahkan dapat sebagai komoditas untuk dijual. Sebagian besar masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo memanfaatkan lahannya untuk rumah, kandang ternak dan sisa lahannya dimanfaatkan
untuk
ditanami
berbagai
spesies
tumbuhan
bermanfaat.
Perbandingan luas lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat berbeda-beda sesuai dengan kepemilikan lahannya (Gambar 34), ada masyarakat yang memanfaatkan lahannya sebagian besar untuk ditanami sayuran, tanaman keras, tumbuhan
58
berguna lainnya atau bahkan ada masayarat yang memanfaatkan semua lahannya untuk rumah.
Gambar 34 Sketsa pemanfaatan lahan oleh masyarakat.
Gambar 35 Bentuk pemanfaatan lahan sebagai pekarangan. Masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I sebagian besar adalah petani. Selain mereka menggarap sawah atau kebun mereka juga memanfaatkan sisa lahan yang ada si sekitar rumah mereka sebagai lahan yang menguntungkan. Hampir di setiap rumah memiliki pekarangan, baik di depan, belakang, samping, maupun sekeliling rumah mereka. Pekarangan tersebut biasanya ditanami dengan tumbuhan buah, sayur, obat, hias bahkan pohon yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Biasanya mereka menanam jenis tanaman yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Jenis tanaman yang paling banyak ditanam di pekarangan adalah sayur, buah dan obat (Gambar 36). Misalnya wortel, kol, labu, lombok, tomat dan jenis-jenis yang digunakan untuk konsumsi pribadi.
59
Gambar 36 Pemanfaatan pekarangan oleh masyarakat. Tabel 5 Daftar spesies yang dibudidayakan di pekarangan Nama Lokal Andong bayem abang bayem duri Bayem Bakung adas pulowaras Gaganan Hokeri Jemani Asparagus Kadaka daun dewa Benahong selada air Jipan Pare lidah mertua Akasia Buncis Janggelan Garut Parijoto Butrowali Salam Melati Blimbing blimbing wuluh Suruh Mawar Tomat Anggur Jahe Kapulaga Kunci Kunir kunir putih Temulawak kencur temu ireng
Nama Ilmiah Cordyline fruticosa Celosia argentina Amaranthus spinosus Amaranthus tricolor Crinum asiaticum Foenilum vulgare Centella asiatica Anthurium hokeri Anthurium jemani Asparague officinalis Aspelium nidus Gynura procumbens Anredera cordifolia Nasturtium sp. Sechium edule Momordica charantia Sansevieria trifasciata Acacia mangium Phaseolus vulgaris Mesona palustris Maranta arundinaceae Medinella speciosa Tinospora crispa Syzygium polyanthum Jasminum sambac Averhoa carambola Averrhoa blimbi Piper betle Rosa sp. Solanum lycopersicum Vitis vinifera Zingiber officinale Amomum cardamomun Castrochilus panduratum Curcuma domestica Kaemferia rotunda Curcuma xanthorrhiza Kaemferia galanga Curcuma aeruginosa
Famili Agavaceae Amaranthaceae Amaranthaceae Amaranthaceae Amaryllidaceae Apiaceae Apiaceae Araceae Araceae Asparagaceae Aspleniaceae Asteraceae Basellaceae Brassicaceae Cucurbitaceae Cucurbitaceae Dracaenaceae Fabaceae Fabaceae Lamiaceae Marantaceae Melastomataceae Menispermaceae Myrtaceae Oleaceae Oxalidaceae Oxalidaceae Piperaceae Rosaceae Solanaceae Vitaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae
Manfaat hias obat,pangan obat,pangan obat,pangan pangan obat,pangan obat hias hias pangan hias obat obat pangan obat,pangan obat,pangan hias hias pangan obat,pangan obat,pangan obat obat obat,pangan hias,ritual obat,pangan pangan obat hias,ritual obat,pangan pangan obat,pangan obat,pangan obat,pangan obat,pangan,pewarna obat,pangan obat,pangan obat,pangan obat,pangan
60
Sebagian besar masyarakat memanfaatkan pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan obat, yaitu sebanyak 46% (Gambar 37). Pemanfaatan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dalam memenugi kebutuhan pangan, meskipun bukan bahan pangan pokok (beras). Namun perlu diadakan pembinaan terhadap masyarakat mengenai pemanfaatan pekarangan yang efektif, sehingga kemandirian masyarakat tersebut dapat benar-benar terwujud dan masyarakat tidak perlu banyak menggantungkan hidupnya dengan pemenuhan kebutuhan dari luar, khususnya pemenuhan kebutuhan pangan dan obat.
5%
15% obat,pangan 46%
15%
obat,pangan,pewarna pangan hias hias,ritual
16%
obat 3%
Gambar 37 Persentase pemanfaatan tumbuhan yang ada di pekarangan. Pemanfaatan pekarangan ini akan lebih efektif jika dikelola untuk POGA (Pangan dan Obat Keluarga) sehingga akan mewujudkan kemandirian dari setiap keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pengembangan POGA diharapkan masyarakat akan lebih mudah dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan obat dengan semua sumberdaya yang mereka miliki di sekitar lingkungannya. Dalam upaya pewujudan POGA membutuhkan pembinaan terhadap masyarakat agar mereka memahami tujuan utama POGA dan manfaat yang akan mereka peroleh dengan pemanfaatan pekarangan yang mereka miliki. Hal ini ditujukan sebagai upaya pembentukan masyarakat yang mandiri terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan obat, meskipun tidak semua kebutuhan tersebut dapat terpenuhi namun diharapkan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan
61
masyarakat. Sehingga dengan kemandirian tersebut dapat membentuk masyarakat yang kuat dan tidak akan menggantungkan kebutuhannya dengan alat pemenuh kebutuhan dari luar seperti makanan instan dari bahan kimia. Dengan demikian akan dapat menjamin kesehatan masyarakat. Sistem budidaya yang diterapkan oleh masyarakat tersebut adalah sebagai salah satu upaya konservasi yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut masyarakat mereka memanfaatkan lahan pekarangan disekitar rumah mereka selain utnuk memenuhi kebutuhan keluarganya juga untuk menyuburkan tanah sekitar mereka, karena jika tanah tersebut tidak dimanfaatkan lama-kelamaan akan tandus. Selain utnuk menjaga kesuburan tanah, budidaya di pekarangan juga dapat menjaga kelestarian hutan lingkungan mereka karena mereka tidak perlu lagi mengambil sumberdaya dari hutan dan hutan akan tetap lestari tapi kebutuhan mereka juga dapat terpenuhi. 5.4.4 Sistem berkebun Sumber penghasilan utama dari sebagian besar masyarakat adalah sebagai petani sayur. Sayur yang dihasilkan selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga untuk dijual. Sayur-sayur tersebut dijual di pasar lokal (Pasar Kemuning), pasar Karangpandan hingga ke daerah Pacitan Jawa Timur. Komoditas utama adalah wortel, kol, jipan, kacang kedelai hingga ubi jalar. Dalam berkebun masyarakat menggunakan bibit unggul dari hasil panen mereka sendiri, sehingga tidak membutuhkan biaya produksi untuk penyediaan bibit (Gambar 38). Dulu masyarakat menggunakan konsep perkebunan organik, untuk mengatasi hama yang menyerang biasanya mereka menggunakan pestisida nabati. Karena sekarang sumber pestisida nabati sulit diperoleh serta ada banyaknya pupuk dan obat kimia yang menurut mereka lebih praktis maka sekarang penggunaan pestisida nabati sudah banyak ditinggalkan. Susetiawan (2010) menyatakan bahwa pembangunan dapat menghilangkan pengetahuan lokal masyarakat. Seharusnya dengan adanya pembangunan dapat tetap mendukung pengetahuan lokal masyarakat. Perkembangan teknologi yang ada akan lebih bermakna jika tetap berdasarkan pada pengetahuan lokal masyarakat dan tetap dapat dimanfaatkan sesuai dengan adat masyarakat.
62
Wisjnuprapto (2010) menyatakan, pembangunan suatu perdesaan harus memperhatikan (1) potensi sumberdaya lokal, baik sumberdaya manuasia maupun sumberdaya alam, (2) tingkat teknologi yang tersedia serta tingkat ekonomi masyarakat
setempat,
(3)
keterlibatan
masyarakat
setempat
sehingga
menumbuhkan rasa memiliki dan mengembangkan semangat kegotongroyongan, dan (4) adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Sehingga dengan kemajuan teknologi pada saat ini seharusnya dapat mendukung pengetahuan lokal masyarakat lokal dan tetap mempertahankan adat masyarakatnya. Selain itu teknologi juga harus dapat menyesuaikan kondisi masyarakat sehingga masyarakat dapat tetap menikmati teknologi tersebut. Sistem berkebun masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo juga akan dapat lebih maju dengan sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun teknologi yang diterapkan seharusnya tetap dapat menunjukan pengatahuan lokal masyarakat serta adat masyarakat dalam berkebun. Hal ini diharapkan dapat memajukan perkebunan sayuran yang menjadi komoditas masyarakat namun tetap melestarikan budaya masyarakat.
a
b Gambar 38 a) Bibit cabai, b) Benih sawi.
5.4 Pengembangan Kampung Konservasi POGA Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo memiliki pengetahuan mengenai pemanfaatan tumbuhan terutama tumbuhan pangan dan tumbuhan obat. Hal ini dikarenakan pangan dan kesehatan sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Pengetahuan mengenai pemanfaatan tersebut diperoleh secara turuntemurun. Namun kondisinya saat ini pemanfaatan tumbuhan tersebut sudah berkurang, hal ini dikarenakan mulai masuknya obat kimia dan makanan cepat saji yang dianggap lebih praktis.
63
Kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan sudah mulai pudar karena beberapa faktor diantaranya adanya pembangunan yang mulai menggeser kearifan lokal tersebut. Wisjnuprapto (2010) menyatakan, pembangunan suatu perdesaan harus memperhatikan (1) potensi sumberdaya lokal, baik sumberdaya manuasia maupun sumberdaya alam, (2) tingkat teknologi yang tersedia serta tingkat ekonomi masyarakat setempat, (3) keterlibatan masyarakat setempat sehingga
menumbuhkan
rasa
memiliki
dan
mengembangkan
semangat
kegotongroyongan, dan (4) adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Sehingga dengan kemajuan teknologi pada saat ini seharusnya dapat mendukung pengetahuan
lokal
masyarakat
lokal
dan
tetap
mempertahankan
adat
masyarakatnya. Selain itu teknologi juga harus dapat menyesuaikan kondisi masyarakat sehingga masyarakat dapat tetap menikmati teknologi tersebut. Susetiawan (2010) menyatakan bahwa pembangunan dapat menghilangkan pengetahuan lokal masyarakat. Seharusnya dengan adanya pembangunan dapat tetap mendukung pengetahuan lokal masyarakat. Perkembangan teknologi yang ada akan lebih bermakna jika tetap berdasarkan pada pengetahuan lokal masyarakat dan tetap dapat dimanfaatkan sesuai dengan adat masyarakat. Pengembangan kampung konservasi diharapkan dapat menjembatani antara pembangunan dengan kearifan lokal masyarakat. Kampung konservasi merupakan suatu bentuk pembangunan dengan memasukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan khususnya tumbuhan obat dan tumbuhan pangan. Kampung konservasi selain dapat melestarikan kearifan lokal masyarakat juga diharapkan mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Manfaat nyata yang diharapkan antara lain dapat meningkatkan kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari (pangan dan obat) dengan pemanfaatan sumberdaya (tumbuhan) yang ada dilingkungan mereka. Damayanti (2003) mengategorikan spesies tumbuhan obat penting menjadi tiga yaitu (1) spesies yag paling banyak diketahui oleh masyarakat, (2) spesies yang paling banyak untuk mengobati satu jenis penyakit, dan (3) jenis yang paling bermanfaat untuk pengobatan. Dalam pengembangan kampung konservasi POGA
64
(Pangan dan Obat Keluarga) dapat disesuaikan dengan spesies penting yang dimanfaatkan masyarakat. Pendokumentasian pengetahuan lokal masyarakat yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan kampung konservasi POGA. Dengan diketahuinya spesies yang banyak dimanfaatkan maka dapat diketahui spesies yang penting untuk dikembangkan. Spesies yang dikembangkan sebaiknya adalah spesies yang banyak dimanfaatkan. Dengan demikian masyarakat akan merakasan pentingnya kampung konservasi POGA tersebut. Sosialisasi mengenai pentingnya kampung konservasi POGA dapat menjadi langkah lanjutan. Dalam sosialisasi tersebut dapat ditekankan manfaat yang diperoleh oleh masyarakat baik manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Manfaat ekonomi dapat diperoleh masyarakat dengan kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan obat maka akan mengurangi pengeluaran masyarakat untuk konsumsi karena sudah dapat terpenuhi dari lingkungan mereka. Selain itu komoditas yang dikembangkan juga dapat digunakan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan sehingga akan menambah pendapatan masyarakat tersebut. Manfaat ekologi yang diharapkan adalah dengan pengembangan kampung konservasi POGA tersebut dapat menjaga kelestarian spesies dan ekosistem lingkungan. Manfaat sosial budaya adalah lestarinya pengetahuan lokal masyarakat yang menjadi salah satu kekayaan budaya yang tertuang dalam kampung konservasi POGA tersebut. Spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat terdiri dari 63 spesies dari 35 famili (Lampiran 3). Jika dilihat dari spesies yang dimanfaatkan ada beberapa spesies yang banyak dimanfaatkan untuk mengobati tekanan darah tinggi. Masyarakat banyak memanfaatkan tumbuhan obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi, misalnya spesies seperti alpukat, labu siam, belimbing, mengkudu, salam dan mentimun untuk mengobati tekanan darah tinggi. Selain itu spesies dari famili Zingiberaceae juga menjadi penting karena dimanfaatkan masyarakat sebgai komoditas ekonomi (diperjualbelikan) di pasar lokal. Spesies kina (Cinchona pubescens) dan spesies tumbuhan yang dapat digunakan sebagai campuran obat seperti kingkong (Eupatorium triplinerve). Pemanfaatan kulit pohon kina yang banyak dimanfaatkan untuk bahan baku obat malaria masih
65
diambil dari hutan di kawasan TAHURA. Belum ada masyarakat yang membudidayakan spesies tersebut di pekarangan maupun kebun. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan pada masyarakat terdiri dari 78 spesies dari 34 famili (Lampiran 4). Spesies tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain garut (Maranta arundinacea), ganyong (Canna edulis), gadung (Dioscorea hipsida) dan uwi (Dioscorea alata). Spesies tersebut banyak dimanfaatkan masyarakan sebagai makanan selingan nasi. Namun selain untuk dikonsumsi sendiri masyarakat juga mulai mengembangkan untuk diperdagangkan. Kampung konservasi POGA tersebut jika dapat dikembangkan pada masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo diharapkan dapat melestarikan kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan terutama pangan dan obat. Selain itu kelestarian lingkungan juga dapat terjaga dengan manfaat yang dirasakan
oleh
masyarakat.
Meskipun
dalam
pengembangannya
juga
membutuhkan teknologi dan ilmu pengetahuan namun hal itu hanya sebagai pendukung pengetahuan masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat memanfaatkan keanekaragaman tumbuhan secara berkelanjutan dengan sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tabel 6 Pengembangan Kampung Konservasi POGA No 1
Kegiatan Pendokumentasian pengetahuan lokal masyarakat
Tujuan Mengetahui spesies tumnbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
Hasil Daftar spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan
2
Inventarisasi potensi tumbuhan
Mengetahui spesies tumbuhan yang ada di lingkungan masyarakat
Daftar spesies tumbuhan yang ada di lingkungan masyarakat
3
Sosialisasi pemanfaatan tumbuhan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat dan potensi lingkungan
Mengembangkan pengetahuan lokal masyarakat mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam pemenuhan kebutuhan seharisehari sehingga dapat melestarikan pengetahuan lokal
Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan lokal dalam pemanfaatan spesies tumbuhan
66
masyarakat 4
Sosialisasi program konservasi POGA
Mensosialisasikan program kampung konservasi POGA kepada masyarakat luas termasuk tujuan dan manfaat serta mengetahui respon masyarakat mengenai program tersebut
Masyarakat memberikan respon positif (bersedia mengkikuti program kampung konservasi POGA)
5
Sosialisasi pelaksanaan program kampung konservasi POGA
Mensosialisasikan tahapan program kampung konservasi POGA: 1. Penyiapan lahan (pekarangan rumah) 2. Penyiapan bibit 3. Penanaman 4. Perawatan spesies tumbuhan 5. Pemanenan 6. Proses pasca panen 7. Pemanfaatan spesies tumbuhan
Masyarakat mengetahui tahapan yang akan dilaksanakan dalam program konservasi POGA untuk membentuk kemandiriran masyarakat
6
Kegiatan pasca panen
Pemanfaatan hasil dari pengembangan kampung konservasi POGA baik dalam bentuk produk untuk dijual maupun dalam bentuk produk untuk konsumsi pribadi sehingga meningkatkan kemandirian
Masyarakat mampu memproduksi hasil panen baik untuk memenuhi kebutuhan seharihari hingga untuk komoditas ekonomi
7
Pendidikan konservasi
Memberikan pengetahuan mengenai konservasi terhadap anak-anak
Anak-anak memiliki pengetahuan dan kesadaran mengenai konservasi sehingga akan menjaga kelestarian dalam pemanfaatan speseis tumbuhan yang berkelanjutan
Pengembangan kampung konservasi POGA untuk di masyarakat sekitar kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I tidaklah sulit, hal ini dikarenakan
67
masyarakat yang sebenarnya telah menerapkan konsep ini pada lahan pekarangan rumah mereka. Masyarakat memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari hasil budidaya tanaman yang ada di pekarangan mereka, pola masyarakat tersebut menunjukan bahwa masyarakat sudah menerapkan konsep POGA sejak dulu. Spesies yang akan mudah dikembangkan adalah spesies tumbuhan yang sudah dibudidayakan masyarakat sejak dulu baik di pekarangan (Lampiran 12) maupun di kebun. Pengembangan kampung konservasi POGA diharapkan dapat membentuk sikap masyarakat yang pro-konservasi. Sikap pro konservasi yang diharapkan antara lain: 1) Cognitive (persepsi, pengetahuan, pengalaman, pandangan dan keyakinan), 2) Affective (emosi, senang, benci, dendam, sayang, cinta, dan lainlain), 3) Overt actions (kecenderungan bertindak). Tujuan utama dari program kampung konservasi POGA diharapkan membentuk sikap yang dapat menjamin kelestarian pengetahuan lokal masyarakat dan kelestarian sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain itu akan membentuk masyarakat yang mandiri dalam pemenuhan kebutuhan dan akan meningkatkan perekonomian masyarakat. Dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dari lingkungannya maka diharapkan masyarakat akan dapat hidup selaras dengan alam.