25
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kegiatan Pengelolaan Hutan Pinus 5.1.1 Potensi Getah Pinus Getah pinus di KPH Banyumas Barat seperti yang tertera pada Tabel 4 berasal dari 6 BKPH yang termasuk ke dalam kelas perusahaan pinus, yaitu BKPH Wanareja, BKPH Majenang, BKPH Lumbir, BKPH Sidareja, BKPH Bokol, dan BKPH Kawunganten. BKPH Majenang memiliki target produksi getah pinus terbesar di KPH Banyumas Barat pada tahun 2012 yakni sebesar 5.814.236 kilogram. Tabel 4 Potensi dan target produksi getah pinus tahun 2012 di KPH Banyumas Barat BKPH
Luas sadapan (ha)
Jumlah pohon (pohon)
Jumlah penyadap (orang)
Target produksi (kg) 2.445.971 5.814.236 3.761.433 2.192.757 360.260
3.049,1 7.349,3 4.723,3 2.280,6 418,1
685.606 1.718.897 1.112.556 626.215 109.594
1.264 4.556 3.300 1.574 146
319,4
84.459
190
235.207
18.139,8 Total Sumber: Perum Perhutani (2012a)
4.337.327
11.030
14.809.864
Wanareja Majenang Lumbir Sidareja Bokol Kawunganten
Penyadapan getah pinus dilakukan oleh seorang penyadap yang sebagian besar berasal dari desa sekitar hutan. Areal sadapan dibagi ke dalam blok-blok sadapan sesuai dengan kemampuan penyadap dan diupayakan setiap blok berjumlah dua hingga sepuluh penyadap dengan jumlah pohon pangkuan tiap penyadap sebanyak kurang lebih lima ratus pohon. Tabel 4 memberikan informasi bahwa penyadap getah pinus di KPH Banyumas Barat berjumlah 11.030 orang yang seluruhnya berasal dari desa sekitar KPH Banyumas Barat. Jumlah penyadap paling banyak berada di BKPH Majenang yakni 4.556 orang dan paling sedikit di BKPH Bokol yakni 146 orang. Hal ini dipengaruhi oleh luas sadapan tiap BKPH dimana BKPH yang memiliki luas sadapan terbesar membutuhkan tenaga penyadap yang besar pula.
26
Tabel 5
Potensi dan target produksi getah pinus tahun 2012 di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir
Kelas Umur
Luas Areal (ha)
III IV V VI VII VIII Jumlah
34,50 18,40 78,00 263,60 1.027,60 346,00 1.768,10
Jumlah Pohon (pohon) 7.568 2.305 26.174 69.498 216.492 87.612 409.649
Target Produksi (kg/ha) 365,13 346,52 1.326,28 902,65 723,08 857,31 4.520,97
Sumber : Perum Perhutani (2012b) Berdasarkan informasi pada Tabel 5, di lokasi penelitian yakni RPH Karangpucung memiliki target produksi getah pinus di tahun 2012 adalah sebesar 4.520,97 kg per hektar dengan areal sadapan seluas 1.768,10 hektar.
5.1.2 Penyadapan Getah Pinus Urutan kegiatan penyadapan getah pinus di Perum Perhutani dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: 1. Pra Sadap Pra sadap merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum penyadapan dimulai seperti pemberian batas petak sadapan, pembagian blok sadapan, pelaksanaan sensus pohon, pembersihan areal sadapan, pembuatan mal sadap, dan pembuatan plang sadapan. Pra sadap ini dilakukan setahun sebelum penyadapan getah pinus dimulai. 2. Sadap buka Kegiatan sadap buka ini adalah pembuatan koakan (quarre) awal, pemasangan talang, dan tempurung kelapa. 3. Sadap lanjut Sadap lanjut adalah kegiatan untuk melanjutkan koakan (quarre) yang sudah ada. 4. Sadap mati Sadap mati adalah kegiatan penyadapan getah pinus pada tegakan yang akan ditebang setahun yang akan datang. Metode penyadapan getah pinus yang diterapkan di KPH Banyumas Barat adalah metode koakan (quarre) (Gambar 2). Proses pelukaan dengan metode
27
koakan diawali dengan bidang sadapan berupa persegi panjang dengan ukuran 6 X 10 cm dengan jarak koakan pertama dari permukaan tanah adalah 20 cm. Kedalaman koakan maksimal 1,5 cm lepas kulit. Jatah pembaruan koakan (quarre) untuk koakan selanjutnya adalah 5 cm per bulan. Pada tahun selanjutnya, dibuat koakan baru pada bidang sadapan yang lain dengan ukuran yang sama. Perlengkapan yang digunakan dalam penyadapan getah pinus ini meliputi petel (kadukul), talang, paku, batu asah, tempurung kelapa, sprayer, dan ember.
6 cm
a.bagian kulit yang dibersihkan 5 cm 10 cm
b.mal sadap c.quarre awal d.talang
20 cm
e.tempurung kelapa
Gambar 2 Penyadapan getah pinus dengan metode koakan. Menurut aturan yang diberlakukan oleh Perum Perhutani, pembaruan koakan (quarre) dilakukan setiap tiga hari tanpa stimulansia Cairan Asam Stimulansia (CAS) atau setiap lima hari dengan stimulansia CAS.
Untuk
penyadap yang menggunakan stimulan jenis etrat, pembaruan koakan dilakukan setiap tiga hari sekali. Namun, terkadang penyadap juga harus mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan lain sehingga pembaruan dilakukan di luar ketentuan tersebut, misalnya empat hari sekali atau tujuh hari sekali baik menggunakan stimulan CAS maupun stimulan etrat.
Gambar 3 Penyadap yang sedang memperbarui koakan.
28
Sebagian besar penyadap melakukan pembaruan quarre pada pagi hingga siang hari. Namun, adapula penyadap yang melakukan penyadapan sampai sore hari sambil mengambil rumput untuk pakan ternak. Penyadap getah pinus memiliki rata-rata curahan kerja dalam setiap pembaruan quarre adalah enam jam per hari dengan jumlah pohon yang mampu disadap rata-rata sebanyak 295 pohon (Gambar 3). Stimulan merupakan zat yang dapat merangsang keluarnya getah pinus dan berfungsi untuk meningkatkan produktivitas getah pinus. Jenis stimulan yang digunakan di KPH Banyumas Barat adalah CAS dan etrat (Gambar 4). Di RPH Karangpucung, penggunaan stimulan etrat masih dalam tahap percobaan sehingga masih banyak penyadap yang menggunakan stimulan CAS. Selain itu, banyak pula diantaranya yang beranggapan bahwa penggunaan stimulan etrat menghasilkan getah yang lebih sedikit daripada penggunaan stimulan CAS. Namun, penggunaan stimulan CAS menyebabkan perih dan gatal di kulit karena komponen zat di dalamnya mengandung asam sulfat sehingga ada beberapa penyadap yang enggan menggunakan stimulan CAS. Stimulan etrat mengandung zat asam organik dan etilen sehingga tidak menimbulkan efek negatif dan dianggap lebih ramah lingkungan.
a
b
Gambar 4 Stimulan untuk meningkatkan produktivitas getah pinus: (a) CAS (Cairan Asam Stimulansia) dan (b) etrat. Pengumpulan getah pinus dilakukan setelah tiga kali pembaruan koakan untuk yang tidak menggunakan stimulan CAS dan yang menggunakan stimulan etrat serta setelah dua kali pembaruan koakan untuk yang menggunakan stimulan CAS. Sebagian besar penyadap mengumpulkan getah sebanyak dua kali dalam setiap bulannya, namun adapula yang sebulan sekali. Pada musim-musim tertentu
29
seperti musim tanam dan panen, getah yang terkumpul di Tempat Pengumpulan Getah (TPG) sedikit
karena penyadap lebih banyak menghabiskan waktu di
sawah dan kebun. Pada akhir proses pengerukan atau peludangan getah pinus, dilakukan pembersihan tempurung sehingga benar-benar bersih dari sisa getah. Hal ini untuk menghindari pencampuran antara getah lama dengan getah baru yang akan mempengaruhi mutu getah. Getah pinus ditempatkan di ember yang berkapasitas 20-30 kg dan kemudian dipikul atau diangkut dari petak sadapan ke Tempat Pengumpulan Getah (TPG). Pengangkutan getah pinus ke TPG dilakukan dengan berbagai macam cara yakni dipikul sendiri oleh penyadap atau menggunakan kendaraan seperti sepeda motor dan mobil (Gambar 5). Upah angkutan dengan menggunakan kendaraan bermotor tersebut berkisar antara Rp 6.000,00 – Rp 10.000,00 setiap kali pengangkutan.
a
b
Gambar 5
c
Pengangkutan getah pinus ke TPG: (a) pengangkutan dengan menggunakan sepeda motor, (b) pengangkutan dengan menggunakan mobil, dan (c) pengangkutan dengan cara dipikul.
Getah pinus akan dikumpulkan ke Tempat Pengumpulan Getah (TPG) yang letaknya paling dekat dengan lokasi sadapan. TPG merupakan tempat penampungan getah sementara sebelum diangkut ke Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT). Penerimaan getah pinus di TPG dilakukan pada pagi hari. TPG yang berada di RPH Karangpucung berjumlah 6 TPG, yaitu TPG Gunung Sengkala, TPG Tayem, TPG Citando, TPG Dermaji, TPG Sawangan, dan TPG Tlaga. Gambar 6 merupakan contoh TPG yang berada di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir. Di TPG tersebut, hanya tersedia bak penampung getah, drum, dan timbangan.
30
Gambar 6 Tempat Pengumpulan Getah (TPG) Citando di RPH Karangpucung, BKPH Lumbir. Setelah getah sampai di TPG, mandor TPG segera memeriksa kondisi getah pinus (Gambar 7). Getah tersebut ditimbang dan dicatat berat bersihnya, kemudian dituang ke dalam bak penampung atau drum. Selain itu, dilakukan juga penentuan mutu getah dengan cara mencocokkan warna master getah dengan getah dari penyadap. Getah tidak diperkenankan berada di TPG lebih dari tujuh hari karena akan menurunkan mutu getah sehingga getah pinus tersebut harus segera diangkut ke Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT).
Gambar 7 Penimbangan getah pinus di TPG. Penyadap yang telah menyetorkan getah pinus ke TPG akan mendapatkan upah sesuai dengan mutu getah pinus yang dihasilkan. Adapun mutu getah pinus terbagi menjadi dua jenis, yaitu mutu I dan mutu II (Gambar 8) dengan penjelasan sebagai berikut: a.Mutu I, getah pinus yang mengandung kotoran kurang dari 12,9 % dengan tarif yang diberikan sebesar Rp 2.800,00/kg. b.Mutu II, getah pinus dengan kadar kotoran lebih dari 12,9 % dengan tarif yang diberikan sebesar Rp 2.550,00/kg.
31
Gambar 8 Getah pinus mutu I dan mutu II. Di RPH Karangpucung, getah pinus yang dihasilkan masih termasuk ke dalam kategori getah pinus mutu II. Perbedaan mutu getah pinus ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti frekuensi pengumpulan getah, perlakuan saat melakukan pembaruan quarre, dan faktor lingkungan. Getah yang terlalu lama berada di petak sadapan akan cepat membeku dan berubah warna. Getah pinus yang berkualitas baik berwarna putih bersih. Saat melakukan pembaruan quarre, tempurung kelapa dibiarkan terbuka sehingga tatal kulit kayu pinus masuk ke dalam tempurung kelapa dan mengotori getah pinus. Selain itu, tempurung kelapa yang selalu terbuka menyebabkan daun pinus dan ranting-ranting
masuk ke
dalam tempurung kelapa. Adapun kondisi lingkungan yang mempengaruhi mutu getah adalah cuaca. Saat musim hujan tiba, air akan turut masuk ke dalam tempurung kelapa sehingga getah akan bercampur dengan air hujan.
5.2 Karakteristik Penyadap Getah Pinus Karakterisitik responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan, ukuran keluarga, dan luas areal sadapan. Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah penyadap yang melakukan kegiatan penyadapan getah pinus pada lokasi penelitian yang ditentukan dan masih melakukan kegiatan penyadapan secara aktif. 5.2.1 Jenis Kelamin Penyadap Getah Pinus Kegiatan penyadapan getah pinus masih didominasi oleh laki-laki yakni dengan persentase sebesar 93,33% seperti yang disajikan pada Tabel 6. Adapun perempuan yang melakukan kegiatan penyadapan getah pinus dilatarbelakangi oleh keinginan responden untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah
32
tangganya. Pada umumnya, perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sebagai ibu rumah tangga. Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah (orang) 56 4 60
Persentase (%) 93,33 6,67 100,00
5.2.2 Umur Penyadap Getah Pinus Berdasarkan informasi pada Tabel 7, umur responden dengan persentase terbesar yakni 91,67% berada pada kisaran umur produktif. Menurut Muttaqien (2006), penduduk usia produktif berkisar antara 15-65 tahun. Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan umur Umur (tahun) 26-35 36-45 46-55 56-65 66-75 76-85 Jumlah
Jumlah (orang) 12 10 18 15 4 1 60
Persentase (%) 20,00 16,67 30,00 25,00 6,67 1,67 100,01
5.2.3 Tingkat Pendidikan Penyadap Getah Pinus Pendidikan penyadap getah pinus masih tergolong rendah yakni mayoritas penyadap berpendidikan sampai jenjang SD (Tabel 8). Hal ini disebabkan pendidikan belum menjadi prioritas utama penyadap. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan maka biaya yang harus dikeluarkan juga relatif lebih besar sehingga keluarga penyadap lebih mengutamakan ketercukupan akan kebutuhan hidup sehari-hari daripada pendidikan. Menurut Mursidin (2009), pendidikan khususnya pendidikan formal merupakan modal yang sangat berharga untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang layak, pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan pada setiap individu, baik cara berpikir dan bersikap.
33
Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Jumlah
Jumlah (orang) 2 52 7 60
Persentase (%) 3,33 86,67 11,67 100,00
5.2.4 Ukuran Keluarga Penyadap Getah Pinus Ukuran keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1994) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang). Ukuran keluarga yang dimaksud oleh BKKBN tersebut adalah ukuran keluarga inti yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak. Tabel 9 menunjukkan bahwa ukuran keluarga penyadap sebagian besar tergolong keluarga kecil yakni dengan persentase sebesar 86,67%. Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan ukuran keluarga inti Ukuran keluarga Kecil Sedang Besar Jumlah
Jumlah (orang) 52 7 1 60
Persentase (%) 86,67 11,67 1,67 100,00
5.2.5 Macam Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Sampingan Responden Penyadapan getah pinus bukan semata-mata pencaharian utama responden. Sebagian besar penyadap memiliki pekerjaan yang dianggap utama dan pekerjaan yang dianggap sampingan. Adanya pekerjaan selain menyadap inilah yang terkadang menyebabkan penyadap tidak mengumpulkan getah tepat waktu karena harus melakukan pekerjaan lain. Tabel 10 Sebaran Responden berdasarkan jenis pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan Pekerjaan utama Penyadap Petani Petani Penyadap Penyadap Ibu rumah tangga Penyadap Jumlah
Pekerjaan sampingan Petani Penyadap Penyadap dan buruh ternak Pedagang Buruh tani Penyadap Petani dan buruh tani
Jumlah (orang) 28 21 1 2 4 2 2 60
Persentase (%) 46,67 35,00 1,67 3,33 6,67 3,33 3,33 100,00
34
Responden yang menganggap penyadapan getah pinus sebagai pekerjaan utama adalah sebesar 60%, sedangkan responden yang menganggap penyadapan getah pinus sebagai pekerjaan sampingan adalah sebesar 40% (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan sadapan masih sangat dibutuhkan untuk memberikan tambahan bagi pendapatan rumah tangganya. Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Penduduk yang tidak memiliki lahan garapan akan bekerja di bidang lain seperti menjadi pedagang atau buruh. Adapula responden yang memiliki lahan garapan namun mengerjakan lahan orang lain untuk menambah penghasilan rumah tangganya.
5.2.6 Luas Areal Penyadapan Getah Pinus Setiap penyadap memperoleh luas areal sadapan bergantung kemampuan penyadap. Semakin banyak jumlah pohon dalam areal sadapan maka kemungkinan getah yang diperoleh pun semakin banyak karena setiap pohon dilakukan pembuatan quarre. Namun, produksi getah pinus pun tidak sematamata ditentukan oleh jumlah pohon tetapi juga ada faktor lain yang juga mempengaruhinya seperti yang dijelaskan oleh Kasmudjo (2011) yakni faktor eksternal pohon, internal pohon, dan perlakuan manusia. Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan luas areal penyadapan getah pinus Luas Areal Penyadapan (ha) <0,5 0,5-0.99 1-1,49 1,5-1,99 2-2,49 Jumlah
Jumlah (orang) 25 18 5 10 2 60
Persentase (%) 41,67 30,00 8,33 16,67 3,33 100,00
Sebagian besar penyadap getah pinus memiliki luas areal penyadapan kurang dari 0,5 hektar yakni dengan persentase sebesar 41,67% (Tabel 11). 5.3 Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus Pendapatan rumah tangga penyadap getah pinus dihitung dalam jangka waktu setahun terakhir yang bersumber dari penyadapan getah pinus dan non penyadapan getah pinus. Pendapatan dari hasil menyadap getah pinus diperoleh berdasarkan berat getah pinus yang diperoleh dalam satuan kilogram per jangka
35
waktu tertentu dikalikan dengan tarif upah getah pinus per kilogram. Tarif upah ini juga dilihat dari standar mutu getah pinus yang telah ditentukan oleh Perum Perhutani. Tarif getah pinus mutu I adalah sebesar Rp 2.800,00/kg, sedangkan tarif getah pinus mutu II adalah sebesar 2.550,00/kg. Adapun pendapatan dari non penyadapan getah pinus meliputi hasil sawah dan kebun, hasil ternak, kiriman, pekerjaan anggota rumah tangga selain responden, dan lain-lain. Tabel 12 Sumber pendapatan rumah tangga responden yang berasal dari kegiatan sadapan dan non sadapan Penyadapan getah pinus
Jumlah (Rp/60responden/tahun) 317.648.400
Rata-rata (Rp/responden/tahun) 5.294.140,00
Non penyadapan getah pinus: Sawah dan kebun Ternak Lain-lain Total
121.955.000 69.715.000 85.800.000 595.118.400
2.032.583,33 1.161.916,67 1.430.000,00 9.918.640,00
Sumber pendapatan
Tabel 12 menyajikan informasi bahwa pendapatan dari hasil sadapan getah pinus lebih besar daripada dari hasil non sadapan getah pinus. Pendapatan ratarata yang berasal dari sadapan getah pinus adalah sebesar Rp 5.294.140 per tahun dengan rata-rata jumlah getah pinus yang diperoleh adalah 2.076 kg per tahun. Mutu getah pinus yang dihasilkan oleh penyadap masih tergolong mutu II dengan upah Rp 2.550,00/kg. Adapun pendapatan dari non sadapan getah pinus terbagi menjadi pendapatan dari hasil sawah, kebun, dan lain-lain. Adapun pendapatan rata-rata dari non sadapan getah pinus adalah sebesar Rp 4.624.500 per tahun. Hasil sawah berupa penjualan padi, sedangkan hasil kebun berupa tanaman pertanian dan tanaman berkayu yang ditanam secara agroforestry. Beberapa responden tidak menjual padi dari hasil panen, tetapi hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tanaman pertanian yang ditanam beragam seperti jenis kapulaga, jeruk, kacang tanah, singkong, jagung, dan talas. Tanaman berkayu terdiri atas jenis jati dan sengon. Selain itu, beberapa responden juga memiliki ternak seperti ayam dan kambing. Ternak tersebut akan dijual pada saat memerlukan biaya mendesak atau menjelang hari raya. Namun, ternak juga tidak semuanya dijual, melainkan juga dikonsumsi sendiri. Pendapatan lain-lain
36
bersumber dari upah menjadi buruh, hasil dari berdagang, pendapatan dari anggota rumah tangga responden, dan kiriman. 5.4 Pengeluaran Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus Pengeluaran responden terdiri atas biaya untuk pangan dan non pangan. Biaya pangan meliputi pembelian beras, sayur-sayuran, lauk-pauk, dan buahbuahan. Sedangkan biaya non pangan meliputi biaya pendidikan, kesehatan, sarana rumah tangga, dan lain-lain. Tabel 13 Jenis pengeluaran rumah tangga responden Jenis pengeluaran Pangan Pendidikan Kesehatan Sarana rumah tangga Lain-lain Total
Jumlah (Rp/60 responden/tahun) 332.365.000 50.690.000 4.570.000 25.926.000 95.890.000 509.441.000
Rata-rata (Rp/responden/tahun) 5.539.416,67 844.833,33 76.166,67 432.100,00 1.598.166,67 8.490.683,34
Tabel 13 memperlihatkan bahwa pengeluaran untuk pangan lebih besar daripada pengeluaran lainnya. Rata-rata pengeluaran rumah tangga responden adalah sebesar Rp 8.490.683,34 per tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk pangan tidak semuanya diperoleh dengan cara membeli. Beberapa responden memenuhi kebutuhan akan beras yang berasal dari lahan mereka sendiri sehingga mereka hanya membeli kebutuhan seperti sayur-sayuran, lauk-pauk, dan buah-buahan. Tidak hanya itu, beberapa responden pun ada yang mengkombinasikan antara beras dengan singkong sebagai makanan utamanya. Rata-rata pengeluaran untuk pangan tiap rumah tangga responden yaitu sebesar Rp 5.539.416,7 per tahun. Biaya non pangan seperti pendidikan, kesehatan, sarana rumah tangga dan lain-lain masing-masing memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan biaya pangan. Dalam hal pendidikan misalnya, sebagian responden sudah tidak mengeluarkan biaya pendidikan lagi karena anak atau anggota keluarganya sudah dewasa dan banyak yang sudah bekerja. Biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk pendidikan sebesar Rp 844.833,33 per tahun. Biaya sarana rumah tangga ini biasanya untuk pembayaran listrik dan pembelian bahan bakar yang besarnya Rp
37
432.100,00/responden/tahun. Biaya lain-lain yang termasuk ke dalam anggaran pengeluaran yaitu biaya insidental, sandang, hajatan, dan biaya pembelian pupuk. Adapun yang dimaksud dengan biaya insidental adalah biaya yang dikeluarkan sewaktu-waktu dan besarnya tidak terduga. Sebagian responden mengkategorikan biaya untuk pengobatan ketika sakit dan kecelakaan sebagai biaya insidental. Pada umumnya, responden mengeluarkan biaya untuk sandang hanya pada waktuwaktu tertentu, misalnya saat hari raya. Untuk biaya hajatan, responden harus menyisihkan pendapatanya setiap bulan kurang lebih sebesar Rp 50.000,00 – Rp 100.000,00 karena hajatan bersifat tidak menentu. Selain uang, ada juga tambahan lain untuk menghadiri hajatan misalnya saja beras dan sembako. Besar pengeluaran rata-rata rumah tangga untuk biaya lain-lain adalah sebesar Rp 1.598.166,67 per tahun. Pengeluaran rata-rata untuk non pangan tiap rumah tangga responden adalah sebesar Rp 2.951.266,67 per tahun.
5.5 Kontribusi Penyadapan Getah Pinus terhadap Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Pendapatan dari sadapan getah pinus memberikan kontribusi yang berbeda-beda terhadap pendapatan rumah tangga responden. Jika pendapatan dari sadapan getah pinus memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan rumah tangga penyadap, maka penyadapan getah pinus merupakan sumber utama dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Selain itu, kontribusi hasil sadapan getah pinus juga dipengaruhi oleh pendapatan di luar sadapan getah pinus. Semakin besar pendapatan di luar sadapan getah pinus, maka kontribusi dari sadapan getah pinus semakin kecil.
38
100
93.32
Persentase Kontribusi (%)
90 73.76
80 70 53.71
60 50 40
67.53
37.88
sadapan getah pinus
30 20 10 0 <0,5
0,5-0,99 1-1,49 1,5-1,99 Luas Areal Sadapan (ha)
2-2,49
Gambar 9 Persentase kontribusi pendapatan dari penyadapan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga responden. Penyadap yang memiliki luas areal sadapan 2-2,49 hektar memberikan kontribusi terbesar yakni sebesar 93,32% terhadap pendapatan rumah tangganya. Selebihnya, penyadap yang memiliki luas areal sadapan kurang dari 0,5 hektar hanya memberikan kontribusi sebesar 37,88% terhadap pendapatan rumah tangganya. Jika dilihat dari Gambar 9, luas areal sadapan cenderung sebanding dengan kontribusi hasil sadapan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga walaupun pada luasan areal 1,5-1,99 hektar kontribusi hasil sadapan getah pinus lebih kecil daripada penyadap yang memiliki luas areal sadapan 1-1,49 hektar. Hal ini disebabkan pendapatan penyadap dari sadapan getah pinus pada areal 1,5-1,99 hektar lebih kecil daripada areal 1-1,49 hektar. Sebagaimana uji korelasi yang menunjukkan bahwa pendapatan dari sadapan getah pinus dan luas areal sadapan memiliki korelasi yang positif dan signifikan terhadap kontribusi hasil penyadapan getah pinus (Tabel 14). Sebaliknya, terdapat korelasi yang negatif antara pendapatan di luar sadapan getah pinus terhadap kontribusi sadapan getah pinus.
39
Tabel 14 Uji korelasi antara kontribusi pendapatan dari sadapan getah pinus dengan pendapatan dari sadapan getah pinus, pendapatan non sadapan getah pinus, dan luas areal sadapan
Kontribusi sadapan getah pinus
Pearson
Pendapatan
Pendapatan dari
dari sadapan
non sadapan
getah pinus
getah pinus
0,649**
-0,848**
0,488**
0,000
0,000
0,000
60
60
60
Luas areal sadapan
correlation Sig.(2-tailed) N
Keterangan: **correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed)
Pendapatan sadapan getah pinus yang rendah diduga dipengaruhi oleh kerapatan pohon. Kerapatan pohon pada areal 1,5-1,99 hektar (312 pohon/hektar) lebih besar dibandingkan kerapatan pohon
pada areal 1-1,49 hektar (255
pohon/hektar) (Perum Perhutani 2012b). Seperti yang dikemukakan oleh Kasmudjo (2011), jarak tanam yang jarang pada umumnya akan menghasilkan getah pinus lebih banyak karena penjarangan bertujuan untuk memberi ruang tumbuh agar pohon dapat tumbuh dengan baik. Selain itu, menurut Budiatmoko (2007), pohon dengan tajuk yang penuh akan berfotosintesis dengan baik sehingga ada kesempatan bagi pohon untuk menambah pertumbuhan riap diameternya. Penambahan riap diameter tersebut juga akan menambah persentase kayu gubal yang menjadi tempat berkumpulnya getah pinus. Penjarangan pohon juga bertujuan untuk memberi kesempatan agar cahaya matahari dapat masuk sehingga dapat meningkatkan suhu di dalam tegakan. Peningkatan suhu menyebabkan getah tidak cepat membeku dan terus mengalir. Selain disebabkan oleh jarak tanam, kontribusi pendapatan dari sadapan getah pinus juga dipengaruhi oleh besarnya pendapatan yang bersumber dari kegiatan selain menyadap getah pinus. Pada areal 1,5-1,99 hektar, pendapatan di luar sadapan lebih besar daripada penyadap yang memiliki areal sadapan 1-1,49 hektar sehingga kontribusi pendapatan getah pinus pada areal 1,5-1,99 hektar menjadi lebih kecil.
40
5.6 Variabel-variabel yang Mempengaruhi Pendapatan dari Menyadap Getah Pinus Uji regresi linier berganda bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya pendapatan yang diperoleh dari hasil penyadapan getah pinus. Menurut Riduwan et al. (2011), uji regresi linier berganda adalah suatu alat analisis untuk meramalkan pengaruh dua variabel bebas atau lebih terhadap variabel terikat. Persamaan regresi linear berganda yang diperoleh dari pendapatan hasil sadapan getah pinus sebagai variabel terikat (Y) dan variabel bebas (X), yaitu: Y = - 3927000 – 56376,789 X1 + 258203,150 X2 + 48034,362 X3 Variabel Y menunjukkan pendapatan getah pinus, X1 adalah pengalaman bekerja sebagai penyadap, X2 adalah frekuensi pengumpulan getah pinus, dan X3 adalah berat getah pinus. Dari hasil uji-f (Tabel 15), diperoleh nilai-P (0,000) < α (0,05), maka tolak H0 yang berarti minimal ada satu variabel X yang berpengaruh nyata terhadap Y atau dapat dikatakan bahwa model signifikan. Model tersebut memiliki nilai koefisien determinasi adjusted (R2(adj)) sebesar 91,1%. Hal ini menunjukkan pengalaman kerja, frekuensi pengumpulan getah pinus, dan berat getah pinus dapat menjelaskan keragaman pendapatan dari hasil sadapan getah pinus sebesar 91,1%, sedangkan sisanya yakni sebesar 8,9% dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Tabel
15 Analisis ragam hubungan antara pendapatan getah pinus dengan pengalaman kerja, frekuensi pengumpulan getah pinus, dan berat getah pinus
Sumber keragaman Regresi Galat Total
Derajat bebas 3 56 59
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
P
719.500.000.000.000 66.730.000.000.000 786.200.000.000.000
239.800.000.000.000 1.192.000.000.000
201,242
0,000
Untuk melihat pengaruh tiap variabel penduga terhadap besarnya pendapatan getah pinus dilakukan uji-t. Hasil dari uji-t (Tabel 16) menunjukkan bahwa pengalaman kerja, frekuensi pengumpulan getah pinus, dan berat getah pinus berpengaruh signifikan terhadap pendapatan getah pinus (P<0,05).
41
Tabel 16 Uji pengaruh masing-masing variabel terhadap besarnya pendapatan getah pinus Koefisien terstandardisasi -0,117 0,495 0,876
Variabel Pengalaman kerja Frekuensi pengumpulan getah pinus Berat getah pinus
t hitung
P
-2,996 12,574 22,328
0,004 0,000 0,000
Untuk melihat besar kecilnya pengaruh masing-masing variabel tehadap pendapatan getah pinus ditunjukkan dari nilai koefisien terstandardisasi (Tabel 16). Pengaruh setiap variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) dari yang terbesar hingga yang terkecil adalah berat getah pinus, frekuensi pengumpulan getah pinus, dan pengalaman kerja. Tabel 17 Uji korelasi masing-masing variabel terhadap besarnya pendapatan getah pinus Pengalaman kerja Pendapatan getah pinus
Frekuensi pengumpulan getah pinus 0,395**
Pearson -0,023 correlation Sig.(2 tailed) 0,001 0,062 N 60 60 Keterangan: **Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed)
Berat getah pinus 0,819** 0,010 60
Berdasarkan uji korelasi yang disajikan pada Tabel 17, pengalaman bekerja sebagai penyadap memiliki korelasi yang negatif (-0,023) terhadap pendapatan dari menyadap getah pinus. Hal ini diduga karena penyadap yang baru bekerja sebagai penyadap cenderung masih menaati peraturan atau tata cara menyadap getah pinus yang diberlakukan oleh Perum Perhutani. Sebaliknya, penyadap yang sudah lama bekerja sebagai penyadap kurang memperhatikan tata cara menyadap getah pinus dengan baik seperti dalam hal pembuatan koakan (quarre). Jumlah koakan maksimal yang diperkenankan hanya empat buah koakan. Namun, di lapangan banyak dijumpai jumlah koakan lebih dari empat seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 10.
42
a
b
Gambar 10 a) Pohon yang roboh akibat koakan yang terlalu dalam, dan b) Jumlah koakan yang melebihi koakan maksimal. Saat ini, lebar koakan yang dianjurkan oleh Perum Perhutani adalah 6 cm. Akan tetapi, penyadap yang sudah lama dan terbiasa menggunakan kadukul yang berukuran 8 cm enggan untuk mengganti ukuran kadukul tersebut. Perubahan ukuran kadukul ini untuk mengantisipasi kerusakan terhadap pohon. Perlakuan yang kurang baik terhadap pohon seperti koakan yang terlalu dalam dan lebar akan menimbulkan kerusakan terhadap pohon sehingga tidak hanya dapat menurunkan produktivitas getah pinus, tetapi juga dapat menyebabkan pohon rebah ketika ada angin (Gambar 10). Penurunan produktivitas ini akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh dari sadapan getah pinus. Sosialisasi tentang tata cara menyadap getah pinus ini hanya diberikan di awal ketika mulai terdaftar sebagai penyadap. Selain itu, pihak Perum Perhutani tidak memberikan sanksi yang tegas bagi para penyadap yang melanggar aturan karena dikhawatirkan akan menurunkan motivasi penyadap dalam kegiatan menyadap getah pinus. Selain itu, sebagian besar penyadap sulit untuk menerima hal-hal atau inovasi baru sehingga Perum Perhutani agak kesulitan dalam hal memberlakukan dan menegakkan peraturan baru dalam hal penyadapan getah pinus. Frekuensi pengumpulan getah pinus (0,395) dan berat getah pinus (0,819) mempunyai korelasi yang positif terhadap pendapatan getah pinus. Hal tersebut menandakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang searah dengan pendapatan getah pinus. Apabila frekuensi pengumpulan getah pinus naik satu kali per tahun maka akan meningkatkan pendapatan getah pinus Rp 258.203,150 per tahun dengan asumsi ceteris paribus. Berat getah merupakan variabel yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pendapatan dari sadapan getah pinus. Apabila berat getah naik 1 kilogram maka akan
43
meningkatkan pendapatan getah pinus Rp 48.034,362 per tahun dengan asumsi ceteris paribus. Dengan diketahuinya variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan hasil sadapan getah pinus, diharapkan penyadap dapat meningkatkan pendapatannya dari sadapan getah pinus sehingga kontribusi sadapan getah pinus terhadap pendapatan rumah tangga pun meningkat. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara memperbarui koakan secara rutin dan sesuai aturan dan mengumpulkan getah tepat waktu agar produktivitas dan mutu getah pinus dapat meningkat.
5.7 Tingkat Kesejahteraan Penyadap Getah Pinus Kesejahteraan penyadap getah pinus diukur dengan menggunakan pendekatan garis kemiskinan menurut Sajogyo dan Bank Dunia. Sajogyo menggunakan indikator pengeluaran per kapita per tahun yang setara dengan konsumsi beras, sedangkan garis kemiskinan Bank Dunia adalah pendapatan per kapita sebesar US$1 per hari. Ukuran kemiskinan menurut Bank Dunia bertujuan untuk menilai tingkat kemiskinan secara global. tidak miskin (sejahtera) 16,67%
miskin
13,33% 56,67% 13,33%
miskin sekali paling miskin
Gambar 11 Persentase tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus menurut kriteria kemiskinan Sajogyo. Gambar 11 menyajikan informasi bahwa responden yang termasuk kategori tidak miskin memiliki rata-rata pengeluaran per kapita adalah Rp 3.598.316,18 per tahun dengan persentase sebesar 56,67%. Responden dengan persentase sebesar 43,33% masih di bawah garis kemiskinan. Responden yang masuk ke dalam kategori miskin memiliki rata-rata pengeluaran per kapita Rp 2.286.060,85 per tahun dengan persentase sebesar 13,33%. Sedangkan responden yang tergolong miskin sekali dan paling miskin memiliki rata-rata pengeluaran
44
masing-masing sejumlah Rp 1.757.702,38/orang/tahun dengan persentase sebesar 13,33% dan Rp 1.228.749,99/orang/tahun dengan persentase sebesar 16,67%. Berdasarkan kriteria kemiskinan menurut Bank Dunia yang disajikan pada Gambar 12, diketahui bahwa sebanyak 37 responden atau sebesar 61,67% masih berada di bawah garis kemiskinan dengan rata-rata pendapatan per kapita Rp 2.140.254 per tahun. Sebanyak 38,33% berada di atas garis kemiskinan dengan rata-rata pendapatan per kapita Rp 5.062.609 per tahun. 38,33% 61,67%
miskin tidak miskin (sejahtera)
Gambar 12 Persentase tingkat kesejahteraan penyadap getah pinus menurut kriteria Bank Dunia. Dilihat dari dua pendekatan tersebut, diperoleh informasi bahwa penyadap getah pinus masih banyak yang belum sejahtera. Oleh karena itu, perlu upaya peningkatan kesejahteraan penyadap getah pinus dengan salah satunya melalui peningkatan pendapatan dari hasil sadapan getah pinus.