BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1 Pertumbuhan Dimensi Tanaman Paraserianthes falcataria Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan tanaman pokok P. falcataria pada 3 (tiga) pola agroforestri menunjukkan rata-rata pertumbuhan yang hampir seragam dan tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu signifikan baik dalam hal tinggi total maupun diameter batangnya. Layout kombinasi tanaman pada masingmasing pola agroforestri disajikan pada Lampiran 1. Rata-rata pertumbuhan dimensi tanaman P. falcataria pada 3 (tiga) pola agroforestri disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rata-rata pertumbuhan tanaman P. falcataria pada 3 (tiga) pola agroforestri diRPH Jatirejo Rata-rata Tinggi (T) Rata-rata diameter (cm) Total (m) Bebas cabang (m) 1 AF1 11,93 8,79 10,07 2 AF2 11,25 8,41 9,78 3 AF3 12,00 8,92 10,63 AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas No
Pola Agroforestri
Dalam penerapan sistem agroforesti terdapat interaksi yang bersifat positif dan negatif. Interaksi positif terjadi apabila terdapat peningkatan produksi suatu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman yang lainnya (Hairiah et al. 2002). Interaksi positif ini ditunjukkan pada pola AF3. Pola ini memiliki kombinasi jumlah tanaman yang paling banyak dibanding pola lain. Pola AF3 memiliki rata-rata pertumbuhan yang paling baik dibandingkan pola lainnya, dengan rata-rata tinggi 12 m dan rata-rata diameter 10,63 m. Pada pola AF3, banyaknya jumlah tanaman tumpang sari tidak menimbulkan dampak negatif pada pertumbuhan tanaman pokok. Kegiatan pemupukan yang lebih intensif menyebabkan tanaman pokok memperoleh masukan nutrisi yang cukup, sehingga keberadaan jumlah tanaman tumpang sari yang lebih banyak justru akan menambah asupan unsur hara bagi tanaman pokok. Hal ini dikarenakan tanaman pokok sengon hanya mengandalkan pemupukan
23
yang diberikan pada tanaman semusim. Selain itu, menurut hasil penelitian Priyardashini (2011), populasi makrofauna tanah (cacing tanah) lebih besar pada tegakan yang multistrata. Populasi makrofauna tersebut juga dipengaruhi oleh masukan bahan organik. Serasah merupakan sumber bahan organik dan energi bagi makrofauna tanah, khususnya cacing tanah. Peningkatan aktivitas cacing tanah akan meningkatkan pori makro tanah yang baik bagi proses infiltrasi air. Wolf dan Snyder (2003) diacu dalam Priyardashini (2011) menyatakan, pori makro sangat berguna untuk mempertukarkan udara dan menginfiltrasikan air dengan baik, serta mendrainasekan kelebihan air. Tingginya populasi dan aktivitas makrofauna tanah ini juga dapat menjadi faktor pendukung kesuburan tanah pada pola AF3. Berdasarkan hasil penelitian, pola AF2 menunjukkan interaksi yang negatif dengan rata-rata pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan pola agroforestri lainnya. Menurut Mahendra (2009), interaksi negatif yang terjadi pada sistem agroforestri dapat berupa kompetisi yang tidak sehat dalam memperebutkan unsur hara, cahaya matahari, air, serta ruang tumbuh. Akibatnya, salah satu tanaman bisa tertekan bahkan mati karena pengaruh tanaman lainnya. Rendahnya intensitas pemupukan dapat diduga menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya pertumbuhan, karena pada pola ini yang diberi pupuk hanya tanaman jagung saja. Sifat tanaman singkong yang rakus akan unsur hara terutama unsur P dan K dapat mengakibatkan defisiensi unsur hara bagi tanaman pokok. Penggunaan K oleh ubi kayu berfungsi untuk pembentukan gula dan kandungan patinya. 5.2 Persentase Penutupan Tajuk Selain H2O, CO2, unsur hara, dan suhu, cahaya juga merupakan faktor yang mempengaruhi fotosintesis dan juga merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan. Cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman. Tempat utama terjadinya fotosintesis adalah pada daun atau tajuk. Dalam penerapan sistem agroforestri, cahaya merupakan faktor pembatas utama dalam pertumbuhan dan produktivitas tanaman semusim karena adanya pengaruh naungan.
24
Radiasi cahaya rendah mengakibatkan laju fotosintesis rendah sehingga biomassa juga rendah dan akhirnya hasil tanaman rendah (Purnomo 2005). Persentase penutupan tajuk tergantung pada jumlah pohon dan tipe kerapatan tajuk. Kerapatan tajuk sengon tergolong tajuk ringan (jarang). Pohon dengan tajuk jarang sangat baik bila dipadukan dengan tanaman tumpangsari, karena tanaman di strata di bawahnya masih mendapat suplai cahaya (Mahendra 2009). Hasil penelitian terhadap beberapa pola agroforestri menunjukkan adanya perbedaan persentase penutupan tajuk. Rata-rata ukuran tajuk tanaman P. falcataria pada masing-masing pola agroforestri disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Rata-rata ukuran tajuk tanaman P. falcataria pada 3 (tiga) pola agroforestri di RPH Jatirejo Rata-rata Persentase Rata-rata lebar Live Crown panjang tajuk penutupan tajuk tajuk (m) Ratio (%) (m) (%) AF1 4,57 3,38 42,95 26,32 AF2 3,26 2,31 32,83 25,24 AF3 3,30 2,33 34,88 25,67 AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas Pola Agroforestri
Produksi tanaman budidaya pada dasarnya tergantung pada efisiensi sistem fotosintesis. Cahaya yang dapat dipergunakan untuk fotosintesis adalah cahaya yang mempunyai panjang gelombang antara 400–700 nm. Cahaya itu kemudian disebut sebagai radiasi aktif untuk fotosintesis. Tanaman yang memperoleh pencahayaan dibawah optimum, produksi biomassa akan menjadi rendah meskipun faktor pertumbuhan lain optimum. Persentase penutupan tajuk menggambarkan besarnya cahaya yang masuk pada tegakan. Berdasarkan data hasil pengukuran, pola AF1 menunjukkan persentase penutupan tajuk terbesar yaitu 42,95%. Nilai tersebut menunjukkan besarnya cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk. Hal ini berarti cahaya matahari yang sampai ke tanah dan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman tumpang sari adalah sebesar 57,05%. Tajuk pohon yang terlalu lebat menyebabkan cahaya matahari tidak sampai ke strata di bawahnya yang menjadi tempat tumbuh tanaman pertanian (Mahendra 2009). Rata-rata lebar dan panjang tajuk yang paling tinggi, menyebabkan luasan penyerapan cahaya matahari lebih
25
banyak pada tanaman pokok di pola ini. Pada keadaan ternaungi spektrum cahaya yang aktif dalam proses fotosintesis (400‒700 nm) menurun. Pola agroforestri AF2 memilki persentase penutupan tajuk yang paling rendah, yaitu 32,83%, sehingga cahaya matahari yang sampai ke tanah memiliki persentase yang paling besar, yaitu sebesar 67,17%. Tingginya persentase keterbukaan tajuk pada pola ini juga dipengaruhi oleh tingginya tindakan pemangkasan yang hanya menyisakan 2‒3 ranting tiap pohon. Kondisi seperti ini dapat mengoptimalkan pemanfaatan cahaya matahari oleh tanaman semusim dalam berlangsungnya proses fotosintesis. Rata-rata lebar dan panjang tajuk pada pola ini juga menunjukkan nilai yang paling kecil dibandingkan dengan pola lain, sehingga juga dapat mengurangi luasan penyerapan cahaya matahari pada tanaman pokok untuk fotosintesis (Rifa’i 2010). Hal ini dapat terjadi sebagai dampak dari terhambatnya pertumbuhan tanaman pokok sengon akibat pemupukan yang kurang intensif dan dengan tingginya persaingan unsur hara yang kebanyakan diserap oleh tanaman singkong. Menurut Gardner et al. (1991), untuk memperoleh laju pertumbuhan tanaman budidaya yang maksimum, harus terdapat cukup banyak daun dalam tajuk untuk menyerap sebagian besar radiasi matahari yang jatuh ke atas tajuk tanaman. 5.3 Suhu dan Kelembaban Menurut Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN (1991), secara langsung suhu mempengaruhi fotosintesis tumbuhan, absorpsi air, serta transpirasi. Persentase penutupan tajuk menggambarkan besarnya cahaya yang masuk, sehingga jika cahaya merupakan pembatas, maka suhu memberikan pengaruh yang kecil terhadap proses fotosintesis. Kondisi ini dapat dialami pada tanaman pertanian di pola AF1 yang memperoleh asupan cahaya paling rendah dibandingkan dengan pola lain. Pengaruh suhu terhadap transpirasi yaitu pada suhu yang rendah maka jumlah transpirasi akan rendah, dan sebaliknya (Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN 1991). Data hasil pengukuran suhu dan kelembaban pada 3 (tiga) pola agroforestri disajikan pada Tabel 4.
26
Tabel 4 Rata-rata suhu dan kelembaban pada 3 (tiga) pola agroforestri di RPH Jatirejo Pola Agroforestri RH (%) Rata-rata Suhu (⁰C) AF1 25,13 74 AF2 25,72 75 AF3 25,33 67 AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas
Secara umum kondisi suhu dan kelembaban masing-masing tegakan memilki nilai yang tidak jauh berbeda. Menurut Soekotjo (1976) diacu dalam anonim (2011), pertumbuhan diameter batang tergantung pada kelembaban nisbi, permukaan tajuk, iklim dan kondisi tanah. Tingginya suhu udara akan meningkatkan laju transpirasi yang biasanya ditandai dengan turunnya kelembaban udara relatif. Apabila hal seperti ini cukup lama berlangsung, maka dapat menyebabkan keseimbangan air tanaman terganggu dan dapat menurunkan pertumbuhan tanaman termasuk diameter tanaman seperti yang terjadi pada pola AF2. 5.4 Parameter Tanah Tanah merupakan kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air, dan udara dan merupakan media tumbuh tanaman (Hardjowigeno 2003). Menurut Hanafiah (2005), tanah sebagai media tumbuh memiliki 4 fungsi utama antara lain: sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran, penyedia kebutuhan primer tanaman (air, udara, unsur hara), penyedia kebutuhan sekunder tanaman (hormon, vitamin, enzim), serta sebagai habitat biota tanah. Sifat fisik tanah berhubungan dengan kesesuaian tanah untuk berbagai penggunaan, yang meliputi: penetrasi akar, sirkulasi air dan udara, dan kemampuan tanah dalam menyimpan air. Peranan sifat fisik tersebut tergantung dari jumlah, ukuran, dan komposisi partikel masing-masing tanah. Hasil analisis sifat fisik tanah pada tiga pola agroforestri disajikan pada Tabel 5.
27
Tabel 5 Hasil analisis sifat fisik tanah pada 3 (tiga) pola agroforestridi RPH Jatirejo Tekstur
Kadar Air (% Volume) pada Air BD PR Pasir Debu Liat No Lokasi Pf Tersedia 3 (g/cm ) (%) Pf Pf (%) ....................(%).................. 2,54 4,2 1 AF1 84,26 7,35 8,39 1,09 58,77 36,21 22,51 13,70 2 AF2 75,90 17,51 6,59 1,37 48,34 35,96 24,33 11,63 3 AF3 81,69 11,61 6,70 1,40 47,08 33,95 24,49 9,46 AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas
Tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan daya serap air,ketersediaan air di dalam tanah, besar aerasi, infiltrasi dan laju pergerakan air. Dengan demikian secara tidak langsung tekstur tanah jugadapat mempengaruhi perkembangan perakaran dan pertumbuhan tanaman serta efisiensi dalam pemupukan. Tanah dengan kandungan debu tinggi memiliki kombinasi yang baik antara permukaan tanah dan ukuran pori-pori tanah. Secara umum tanah tersebut mengandung unsur hara yang lebih besar karena fraksi debu berasal dari mineral feldspar dan mika yang sifatnya cepat lapuk tergolong lebih cepat dibanding pasir (Foth 1984). Bulk Density (BD) merupakan berat suatu massa tanah per satuan volume tertentu termasuk ruang porinya. BD merupakan petunjuk kepadatan tanah (Hardjowigeno 2003). Semakin tinggi nilai BD, semakin padat suatu tanah. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi tanah di pola AF3 yang memiliki nilai BD tertinggi. Pada pola ini dapat diartikan bahwa kemampuan tanah untuk meneruskan air atau ditembus akar tanaman makin sulit. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya nilai BD pada lokasi ini yaitu adanya pemadatan tanah akibat aktivitas hewan yang mencari makan, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan kepadatan tanah walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar. Lee (1990) diacu dalam Dirjen Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial menyatakan, kondisi seperti ini dapat mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air dengan tertutupnya pori-pori tanah. Berkurangnya pori-pori tanah yang umumnya disebabkan oleh pemadatan tanah, menyebabkan menurunnya infiltrasi. Tanah
28
dengan BD tinggi dapat menurunkan laju pergerakan air di dalam tanah dan aerasi tanah juga menjadi rendah. Nilai porositas tanah tertinggi terdapat pada pola AF1 yaitu 58,77%. Jika nilai porositasnya tinggi maka nilai BD akan semakin rendah. Porositas merupakan proporsi ruang pori (ruang kosong total) dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara (Hanafiah 2005). Tanah yang porositasnya tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki ruang pori yang cukup untuk pergerakan air dan udara keluar masuk tanah. Kondisi ini didukung dengan tingginya kandungan fraksi pasir, sehingga akar mudah untuk berpenetrasi serta air dan udara untuk bersikulasi. Selain itu, kondisi ini juga dapat mengakibatkan kapasitas infiltrasi yang tinggi sehingga tercipta drainase dan aerasi yang baik. Fraksi liat yang tinggi menyebabkan air tidak mudah hilang, sehingga meningkatkan air tersedia dalam tanah. Hubungan nilai BD dengan porositas dan air tesedia dalam tanah pada tiga pola agroforestri di RPH Jatirejo disajikan pada Gambar 4. Persentase (%)
70 60 50
Porositas
40 30 20
Air tersedia
10 0 1,09
1,37
1,4
Bulk Density (g/cm3)
Gambar 4 Hubungan nilai bulk density dengan porositas dan air tesedia dalam tanah pada 3(tiga) pola agroforestri di RPH Jatirejo Pertumbuhan tanaman yang baik memerlukan penyediaan yang cukup dari berbagai unsur-unsur yang penting. Jika setiap unsur berada dalam jumlah yang tidak seimbang maka akan mengakibatkan pertumbuhan yang tidak normal. Rekapitulasi data hasil analisis sifat kimia tanah pada 3 (tiga) pola agroforestri disajikan pada Tabel 6. Sedangkan data lengkap hasil analisis kimia tanah dari laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan terdapat pada Lampiran 2.
29
Tabel 6 Hasil analisis sifat kimia tanah pada 3 (tiga) pola agroforestri Parameter pH 1:1 Walkley & Black Kjeldhal C/N Rasio (%) Bray I NNH4OAc pH 7.0
H2O KCl C-org (%) N-Total (%) P (ppm) Ca Mg K KTK
KB (%) 0,05 N HCl
Fe Cu
AF1 4,80 4,00 1,68 0,15 11,20 116,60
Hasil Analisis AF2 4,70 3,90 2,15 0,19 11,32 128,80
AF3 5,50 5,10 2,00 0,18 11,11 139,30
1,56 0,32 0,44 3,96
1,24 0,18 0,30 4,23
2,40 1,04 0,34 4,11
65,15
47,04
98,30
0,36 0,10
0,54 0.14
4,81 1,06
B (ppm) 1,20 0,65 1,53 AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas
Tingkat kemasaman tanah pada masing-masing pola agroforestri tergolong masam. Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kiamiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Berdasarkan data di atas pola yang memiliki nilai pH terendah adalah pada pola AF2 dan tertinggi pada pola AF3. Menurut Hanafiah (2005), pH yang rendah (<6,5) dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi P, Ca, dan Mg, serta terjadi toksisitas unsur mikro seperti Al dan Fe. Pengetahuan mengenai pengaruh pH terhadap pola ketersediaan hara tanah dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada suatu jenis tanah. Kisaran pH optimum untuk tanaman nanas berkisar antara 4,5–6,5, namun masih mampu bertahan pada pH di bawah 5,0. Jagung akan tumbuh secara optimum pada kisaran pH 5,5–7 dan agak mampu untuk bertahan pada tanah dengan pH di bawah 5,5 (Hanafiah 2005). Dari pernyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa tanaman nanas dan jagung masih dapat dijadikan pilihan untuk dikembangkan pada tanah tersebut. pH optimum untuk tanaman cabai terdapat pada kisaran 5,5‒6,8. Cabai akan mengalami pertumbuhan kerdil pada tanah yang masam (pH kurang dari 5,5) karena keracunan aluminium Al atau Mn (Suwandi et al. 2007, diacu dalam Yudilastri et al. 2010).
30
Unsur hara berfungsi sebagai bahan makanan pada tanaman. Unsur hara makro relatif diperlukan dalam jumlah besar oleh tanaman. Kekurangan unsur hara makro menimbulkan defisiensi yang tidak bisa digantikan oleh unsur hara lain, sedangkan jika kelebihan tidak menimbulkan pengaruh karena akan terlarut ke dalam tanah atau larut oleh air. Unsur hara mikro diperlukan tanaman dalam jumlah sedikit. Kekurangan unsur hara mikro biasanya dapat digantikan oleh unsur-unsur hara mikro yang lainnya, sedangkan kelebihan unsur hara mikro dapat menjadi racun. Kandungan N pada ketiga pola agroforestri tergolong rendah yaitu terdapat pada kisaran 0,10–0,20% (Irawan 2011). Namun pada AF2 menunjukkan kandungan N yang paling tinggi dibanding pola lainnya. Hal ini dikarenakan pemberian pupuk kandang berupa kotoran ayam mengandung N tiga kali lebih besar daripada pupuk kandang yang lain (Hardjowigeno 2003). Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman, yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti batang, cabang, dan daun serta mendorong terbentuknya klorofil sehingga daunnya menjadi lebih hijau, yang berguna bagi proses fotosintesis (Lingga 1986). Selain itu N juga berfungsi mempercepat pertumbuhan tanaman serta berperan dalam pembentukan protein tanaman. Tanaman yang tumbuh harus mengandung N untuk membentuk sel-sel baru. Proses fotosintesis dapat menghasilkan karbohidrat dari CO2 dan H2O, namun proses tersebut tidak dapat berlangsung untuk menghasilkan protein tanpa adanya N. Oleh karena itu, jika terjadi kekurangkan N akan menghambat proses pertumbuhan (Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN 1991). Kandungan N yang lebih tinggi dapat mengasamkan reaksi tanah, menurunkan pH tanah, dan merugikan tanaman, sebab akan mengikat unsur hara lain seperti Mg. Banyaknya kandungan air tersedia pada pola AF1 dapat mengurangi kandungan N. Suplai air yang tinggi dapat mempengaruhi proses dekomposisi melalui penurunan kecepatan dekomposisi. C-organik atau karbon yang terdapat dalam bahan organik merupakan sumber
energi
bagi
mikroorganisme.
Dalam
proses
pencernaan
oleh
mikroorganisme terjadi reaksi pembakaran antara unsur karbon dan oksigen menjadi kalori dan karbon dioksida (CO2). CO2 ini dilepas menjadi gas, kemudian
31
unsur N yang terurai ditangkap mikroorganisme untuk membangun tubuhnya. Pada waktu mikroorganisme ini mati, unsur N akan tinggal bersama kompos dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman. Selama proses fotosintesis tanaman menggunakan CO2, kemudian bergabung dengan ekositem melalui serasah tanaman yang jatuh. Sumber utama pemasok C pada tanah yaitu melalui: 1) serasah yang berasal dari tajuk tanaman tahunan(pohon) maupun tanaman musiman, serta dari tanaman sisa panen; 2) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, dan respirasi akar; 3) biota yang terdapat pada tanah. Proses hilanganya unsur C dalam tanah dapat terjadi melalui respirasi tanah, respirasi tanaman, terangkut panen, dipergunakan oleh biota, serta melalui erosi (Hairiah et al. 2002). Nilai kandungan C-organik pada ketiga pola agroforestri tersebut termasuk ke dalam kategori rendah hingga sedang. Perubahan imbangan C/N menunjukkan kecepatan dekomposisi bahan organik. Nilai C/N antara 12‒14 adalah merupakan nilai tengah, artinya kandungan bahan organiknya cukup baik apabila digunakan sebagai bahan pendukung pertumbuhan tanaman. Nilai kurang dari 11 artinya bahan organiknya sudah sangat melapuk dalam tanah dan sebaiknya ditambahkan bahan yang mengandung organik, seperti kompos atau kotoran ternak. Nilai C/N di atas 15 berarti bahwa bahan organik belum terdekomposisi sehingga perlu waktu untuk mendukung
pertumbuhan
tanaman.
Faktor
yang
mempengaruhi
penghancuran bahan organik antara lain suhu, kelembaban, tata udara tanah, pengolahan tanah, pH dan jenis bahan organik hancur atau sulit hancur. Nisbah C/N terendah ditunjukkan pada pola AF3. Kandungan C/N yang lebih rendah menunjukkan bahwa tanah tersebut mengandung bahan organik yang lebih tinggi (Sudaryono 2009) dan telah terdekomposisi dengan baik. Kisaran nilai C/N pada ketiga pola agroforestri tersebut tergolong sedang, yaitu C/N berada pada kisaran nilai antara 11‒15 (Irawan 2012). Jumlah kandungan P dalam tanah sangat dipengaruhi oleh sifat dan ciri suatu tanah. Unsur P berperan bagi tanaman dalam hal pembelahan dan pembesaran sel, pembentukan bunga, buah, dan biji, serta merangsang perkembangan akar. Kadar P yang tinggi ditemukan pada top soil atau lapisan
32
olah, karena adanya penimbunan bahan organik. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan P adalah pH tanah. Menurut Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN (1991), ketersediaan P maksimum dijumpai pada kisaran pH 5,5–7,0. Hal ini dapat dilihat pada pola AF3 yang menunjukkan kandungan P tertinggi dengan pH 5,5. Pada tanah masam banyak ditemukan unsur Al yang selain bersifat racun juga mengikat P, sehingga unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman (Hardjowigeno 2003). Hal ini dapat dijadikan indikator pertumbuhan pada pola AF 2. Walaupun kandungan P lebih tinggi dibanding pola AF1, namun apabila tanahnya lebih masam, maka unsur P tersebut tidak memberikan pengaruh yang positif bagi pertumbuhan karena tanaman tidak bisa menyerapnya. Peningkatan produksi ubi kayu atau singkong diikuti dengan peningkatan pembentukan akar tanaman, dimana dengan adanya pembentukan akar baru ini akan meningkatkan jumlah umbi per tanaman (Ispandi dan Munip 2005). Peningkatan pembentukan akar tanaman tersebut merupakan peran utama dari unsur P, sehingga dalam pola AF2 ini, tanaman pokok sengon kurang mendapat asupan unsur P karena unsur P banyak yang terserap oleh ubi kayu. Menurut data BPS (2005) di dalam Subandi et al. (2006), kebutuhan hara (kg/ha) untuk tanaman ubi kayu lebih besar dibanding tanaman jagung. Ubi kayu membutuhkan 20,7 kg/ha unsur P dan 96,1 kg/ha unsur K, sedangkan jagung hanya membutuhkan 16,0 kg/ha unsur P dan 60,8 kg/ha unsur K. Hal ini berdampak pada pertumbuhan tanaman sengon yang kurang baik dibandingkan dengan pada pola lain karena defisiensi unsur hara terutama P dan K. Oleh karena itu, apabila ubi kayu ditanam pada tanah tanpa pemupukan yang cukup, produktivitas tanah akan menurun karena deplesi kandungan hara baik akibat terangkut hasil penen ataupun erosi (Howeler 2002, diacu dalam Hafif 2011). Hal ini juga dapat menjadi salah satu faktor tertinggalnya pertumbuhan tanaman sengon dibandingkan dengan pola lain. Penambahan P dalam tanah dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain: penambahan pupuk fosfat dan dari sisa-sisa hewan dan tanaman. Penambahan P yang berasal dari sisa-sisa tanaman dan hewan tergolong sangat kecil, karena konsumsi fosfat oleh tanaman dan hewan juga sedikit. Oleh karena itu, penambahan P tertinggi adalah berasal dari pemberian pupuk P. Kehilangan
33
unsur P dapat terjadi melalui beberapa cara, seperti karena erosi, tercuci (leaching), dan karena terangkut tanaman. Pengaruh nyata dari K adalah dapat meningkatkan sintesis dan translokasi karbohidrat, sehingga mempercepat penebalan dinding sel dan meningkatkan turgor batang, sehingga batang tidak mudah patah atau rebah (Hanafiah 2005). Pengaruh K pada tanaman pokok sengon terlihat pada pola AF1 yang memiliki jumlah pohon terbanyak yaitu 54 pohon dengan kandungan K tertinggi. Selain itu, unsur K berfungsi untuk membentuk pati, mengaktifkan enzim, serta berperan dalam pembukaan stomata. Apabila tanaman kekurangan unsur K, maka dapat menghambat pembukaan stomata oleh tanaman (Hardjowigeno 2003). Hal ini dapat
menyebabkan
terhambatnya
penetrasi
cahaya
matahari
untuk
berlangsungnya proses fotosintesis, sehingga pada akhirnya akan menurunkan laju fotosintesis yang akan berdampak pada pertumbuhan tanaman seperti yang terjadi pada pola AF2 yang menunjukkan kandungan K yang terendah. Kalsium (Ca) merupakan komponen struktural dinding sel terutama pada daun dan batang tanaman yang dapat memperkuat bagian-bagian tersebut. Selain itu Ca juga berfungsi dalam pemanjangan sel dan pembelahan sel. Tanaman yang kekurangan Ca pertumbuhannya akan lebih lambat (cenderung kerdil) karena terganggunya pembentukan pucuk atau tunas tanaman, ujung-ujung akar (titik tumbuh), dan jaringan penyimpan (Hanafiah 2005). Kondisi seperti ini dapat dilihat pada pola AF2 yang memiliki kandungan Ca yang lebih rendah dibandingkan pola lain. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata pertumbuhan tinggi yang lebih rendah dari pola lain. Unsur Mg merupakan satu-satunya molekul anorganik yang menyusun molekul klorofil untuk proses fotosintesis, sehingga kekurangan unsur Mg dapat menghambat proses fotosintesis yang pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Selain unsur Mg dan N, unsur hara mikro seperti Fe dan Cu juga berperan dalam pembentukan klorofil dan penyusunan protein. Rendahnya kandungan unsur B pada pola AF2, dapat mengakibatkan beberapa pohon yang mengalami mati pucuk (die back). Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan salah satu sifat kimia tanah yang terkait erat dengan ketersediaan hara bagi tanaman dan menjadi indikator
34
kesuburan tanah. Pada ketiga pola agroforestri nilai KTK tergolong sangat rendah yaitu kurang dari 5me/100g (Irawan 2012). Nilai KTK yang rendah berarti menunjukkan kemampuan tanah dalam menjerap dan menyediakan unsur hara kurang baik (Hardjowigeno 2003). Pemberian pupuk organik yang lebih banyak berupa pupuk kandang dari kotoran ayam pada pola AF2, secara kimiawi dapat meningkatkan KTK tanah. Namun tanah dengan KTK tinggi jika memiliki kejenuhan basa yang rendah, maka dapat mengurangi kesuburan tanah (Hardjowigeno 2003). Nilai Kejenuhan Basa (KB) tanah merupakan persentase dari total KTK yang diduduki oleh kation-kation basa, yaitu Ca, Mg, Na, dan K. KB berbanding lurus dengan pH tanah, makin rendah pH, maka KB juga makin rendah seperti yang ditunjukkan pola AF2. Nilai KB pada ketiga pola agroforestri tergolong sedang hingga sangat tinggi. Nilai KB tertinggi ditunjukkan pada pola AF3 yang berarti tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno 2003). 5.5 Pengelolaan Lahan dan Pemeliharaan Tanaman Pertumbuhan tanaman pokok sengon juga sangat bergantung pada sistem pengelolaan lahan dan pemeliharaannya. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi: penyiangan, pendangiran, pemangkasan, dan pemupukan. Penyiangan gulma pada pola AF1 dan AF2 dilakukan setiap 2 minggu sekali bersamaan dengan kegiatan pendangiran. Pada pola AF3, penyiangan dilakukan setiap 3 minggu sekali bersamaan dengan pendangiran. Menurut Anino (1997) diacu dalam Krisnawati (2011), selama satu tahun pertama pohon harusbersih dari alang-alang paling tidak 2 m di sekitar pohon. Penyiangan dilakukan untuk memberikan ruang tumbuh pada tanaman pokok yang lebih baik dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan persen jadi tanaman, serta untuk memperkecil persaingan dalam hal cahaya, kelembaban tanah dan nutrisi pada tanaman pokok (Hartini dan Anna 2010). Secara umum kegiatan pendangiran sering dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan dan pemupukan.
Pendangiran merupakan kegiatan
penggemburan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah (aerasi tanah) untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Manfaat utama dari
35
pengolahan tanah adalah tersebarnya bahan organik dan pupuk yang lebih merata, sehingga ketersediaan bahan organik bagi mikroorganisme akan meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas dan jumlah mikroorganisme (Anas dan Bangun 2010). Selain itu, pengolahan tanah juga dapat meningkatkan akumulasi karbon yang larut dalam air maupun karbon total dan juga meningkatkan senyawa N yang dapat dimineralisasi pada lapisan 0‒7,5 cm. Pemangkasan cabang merupakan kegiatan pembuangan cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang yang bebas dari mata kayu (Hartini dan Anna 2010). Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh pasokan cahaya untuk mendukung pertumbuhan tanaman tumpang sari. Pemangkasan cabang umumnya dilakukan pada tanaman masih muda. Menurut Siahaya (2007) untuk setiap kali pemangkasan digunakan intensitas 30%, yaitu tajuk yang dibuang sebesar 30%. Pemangkasan tajuk yang dilakukan pada AF1 yaitu dengan menyisakan 4‒5 ranting tiap pohon, untuk AF2 2‒3 ranting, dan pola AF3 3‒4 ranting per pohon. Pemangkasan tajuk berhubungan dengan nilai Live Crown ratio (LCR). Nilai LCR yang disajikan pada Tabel 3, menggambarkan sisa tajuk yang terdapat pada pohon. Bedasarkan data pola AF2 mempunyai nilai LCR yang terendah. Hal ini dapat dijadikan salah satu faktor pembatas pertumbuhan pada pola AF2, karena proses fotosintesis berjalan kurang optimal. Kegiatan
pemupukan
yang
dilakukan
pada
masing-masing
pola
agroforestri umumnya hampir sama, termasuk dalam hal jenis pupuknya, namun untuk frekuensi dan dosisnya ada sedikit perbedaan. Pemupukan hanya dilakukan pada tanaman semusim saja, sedangkan tanaman pokok sengon hanya mengandalkan asupan nutrisi melalui pemupukan yang diberikan pada tanaman semusim. Nutrisi yang diberikan pada tanaman semusim akan mengalami leaching ke bagian bawah dan akan ditampung oleh jaringan di bawahnya, dalam hal ini adalah akar dari tanaman pokok sengon. Pupuk kandang hanya diberikan sekali pada saat penanaman tanaman semusim. Kegiatan pemupukan pada masing-masing pola agroforestri disajikan pada Tabel 7.
36
Tabel 7 Kegiatan pemupukan pada 3 (tiga) pola agroforestri di RPH Jatirejo No 1
Pola Jenis Jenis Pupuk Agroforestri Tanaman AF1 Jagung Urea
Cabai
2
AF2
Jagung
Dosis
Frekwensi
20 kg/1000 m2
Urea
20 kg/1000 m2
Kompos
90 kg/1000 m2
ZA+Phonska+Puradam Burat + ZA + Puradam + Phonska Pupuk daun
(4 kg + 3 kg + 0,5 kg)/1000 m2 (1kg + 10kg + 1kg + 5 kg)/1000 m2 1 botol
Kompos ayam
180 kg/1000 m2
Redumil+Puradam+ZA (2 bungkus+0,5 kg + 2,5 kg)/1000 m2 Urea 25 kg/1000 m2
3
AF3
Jagung
Cabai
Nanas
Pola
AF3
Urea
30 kg/1000 m2
Kompos ayam
150 kg/1000m2
Phonska + ZA
3kg + 4 kg
Phonska
± 5 gr/batang
Kompos ayam
150 kg/1000 m2
ZA + Phonska
(4kg+3kg)/1000m2
ZA + TSP + KCl + Pupuk organik
1 : 2 : 1: 1
Tetes
60 liter/larik
HNO (Pupuk daun)
1 botol
Tetes
60 liter/larik
mendapat
perlakuan pemupukan
yang
lebih
1 x (umur 15 hari) 1 x (umur 40 hari) 1 x (awal tanam) 1 x (umur 20 hari) 1 x (umur 2 bulan) Setiap minggu 1 x (awal tanam) 1 x (awal tanam) 1 x (umur 15 hari) 1 x (umur 36 hari) 1 x (awal tanam) 2 x (umur 25; 30 hari) 1 x (umur 45 hari) 1 x (awal tanam) 3 x (umur 1,5; 2,5; 3 bulan) 1 x (di atas umur 3 bulan) 3 x (tiap 1,5 bulan) Tiap 2 minggu (mulai umur 20 hari) 4 x (tiap 3 bulan)
intensif
dibandingkan dengan pola agroforestri lainnya. Adanya penambahan pupuk tetes
37
(limbah pengolahan tebu) pada pola ini juga dapat meningkatkan aktivitas mikroba dalam tanah. Tetes tebu merupakan sumber karbon dan nitrogen. Tetes tebu berfungsi untuk menyuburkan mikroba yang ada di dalam tanah, karena dalam tetes tebu terdapat nutrisi bagi mikroba (Martinsari et al. 2010). Selain itu, tetes tebu juga mengandung karbohidrat dalam bentuk gula yang tinggi (64%) disertai berbagai nutrien yang diperlukan jasad renik. Untuk pola ini, penggarap juga memberikan tetes ke tanaman pokok sengon bersamaan dengan nanas. Adanya pemberian bahan organik yang lebih banyak pada pola AF2 berupa pupuk kandang, secara kimiawi dapat meningkatkan KTK tanah. Namun kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak terlalu tinggi, maka memerlukan kapasitas pemberian yang lebih besar, sehingga kurang ekonomis. Selain itu, pupuk organik juga mudah terurai habis di alam dan respon tanaman lebih lambat dibandingkan dengan pupuk buatan. Jenis pupuk organik seperti pupuk kandang, memiliki beberapa kelebihan dalam memperbaiki sifat-sifat fisik tanah antara lain permeabilitas tanah, porositas tanah, struktur tanah, daya menahan air dan lain sebagainya.