BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Umum Agroforestri di Lokasi Penelitian Lahan agroforestri di Desa Bangunjaya pada umumnya didominasi dengan jenis tanaman buah, yaitu: Durian (Durio zibethinus), Petai (Parkia speciosa), Jengkol (Pithecellobium jiringa), Mangga (Mangifera indica), Rambutan (Nephelium lappaceum), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Manggis (Garcinia mangostana), Kopi (Coffea arabica), Cengkih (Syzygium aromaticum), Kelapa (Cocos nucifera), dan Pisang (Musa acuminata). Beberapa jenis tanaman tersebut seperti: Durian, Petai, Jengkol, dan Pisang menjadi jenis tanaman buah andalan bagi petani. Secara umum petani yang ada di Desa Bangunjaya saat ini mendapatkan lahan hutan tersebut sebagai warisan, sehingga mayoritas tanaman buah yang ada di kawasan hutan sudah tumbuh dan berada dalam masa produktif. Hal tersebut juga menjelaskan pola tanam yang tidak sistematis seperti pengaturan jarak tanam, jenis tanaman, dan sebagainya pada Gambar 3.
Gambar 3 Pola tanam hutan rakyat di lokasi penelitian.
Selain memiliki lahan hutan atau biasa disebut oleh petani lokal sebagai lahan darat, petani pada umumnya juga memiliki areal persawahan seperti tersaji pada Gambar 4. Areal persawahan ini dimanfaatkan oleh petani guna memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga petani sehari-hari juga pemasukan selingan. Pada areal persawahan ini pula petani menanam jenis palawija sebagai pengisi masa
19
bera tanaman padi. Pada umumnya kedua areal tersebut yang dijumpai di lokasi penelitian dari kediaman petani jaraknya cukup jauh.
Gambar 4 Areal persawahan pada lokasi penelitian.
Berkaitan dengan definisi Sistem agroforestri kompleks yang dikemukakan oleh De Foresta dan Michon (1997) yakni suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Jenis tanaman yang banyak ditanam, yaitu: singkong, jagung, kacang tanah dan jenis kacang-kacangan lainnya. Jenis pohon yang banyak ditanam adalah buah-buahan. Petani memanfaatkan ruang lahan yang mereka miliki seoptimal mungkin baik dengan jenis tanaman dengan daur tahunan maupun dengan jenis tanaman pertanian atau palawija dengan daur yang lebih pendek, sehingga sulit dijumpai area lahan yang masih kosong.
5.2. Karakteristik Petani Agroforestri Gambaran mengenai karakteristik petani agroforestri dilakukan dengan metode wawancara terhadap responden. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 45 orang mengacu pada jumlah anggota gabungan kelompok tani sebanyak 107 orang petani sebagai populasi yang mewakili satu desa. Data yang dikumpulkan, yaitu: identitas, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, pendapatan responden, dan pengeluaran responden.
20
5.2.1. Umur Berdasarkan data yang dikumpulkan, umur responden yang paling muda adalah 30 tahun dan yang paling tua berumur 83 tahun. Data mengenai umur responden disakikan pada Tabel 2. Tabel 2 Umur responden Umur (tahun)
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
26-35 36-45 46-55 56-65
6 7 19 6
13,33 15,56 42,22 13,33
≥ 66
7
15,56
Tabel 2 menunjukkan persentase umur responden terbesar berada pada selang umur 46-55 tahun sebesar 42,22%. Hal ini disebabkan pada rentang umur tersebut responden masih masuk pada kategori umur produktif dan rata-rata telah berkeluarga serta merupakan generasi yang terdekat dari generasi sebelumnya sebagai pewaris lahannya. Hasil wawancara di lapangan juga menunjukkan bahwa responden dengan rentang umur 46-55 tahun memiliki anggota keluarga (anak) yang berada pada usia sekolah sehingga tekanan untuk bisa mendapatkan penghasilan lebih besar. Adanya responden yang berusia muda menunjukkan bahwa pada dasarnya lahan hutan rakyat yang ada di Desa Bangunjaya merupakan lahan turun temurun yang dalam proses pengelolaannya juga turun temurun ke generasi berikutnya.
5.2.2. Pendidikan Tingkat pendidikan berpengaruh pada pola pikir petani dalam mengelola lahan yang dimilikinya. Kebanyakan dari petani atau dalam hal ini diwakili oleh responden, belum mampu mengaplikasikan pengelolaan lahannya secara lestari, dalam artian belum ada usaha yang dilakukan oleh petani untuk bisa menanggulangi problem yang akan dihadapi bila tanaman mereka memasuki masa tidak produktif lagi. Berdasarkan proses wawancara yang dilakukan selama penelitian, para petani seolah berada dalam zona aman dan nyaman ketika saat ini mereka tidak membutuhkan modal untuk mengelola lahan dikarenakan lahan
21
garapan mereka merupakan warisan dari generasi sebelumnya yang juga mewariskan tanaman yang sedang dalam masa produktif. Tingkat pendidikan dapat juga menjadi indikator status sosial dalam masyarakat, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula status sosialnya di dalam masyarakat tersebut. Data tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini bisa dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut : Tabel 3 Tingkat pendidikan responden Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang)
Presentase (%)
1. Tidak Bersekolah 2. SD 3. SMP 4. SMA
3 29 4 4
7 64 9 9
5. Sarjana
5
11
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa sebanyak 29 orang (64%) responden dengan tingkat pendidikan hanya sampai tingkat SD dan sebanyak 3 orang (7%) tidak bersekolah. Rendahnya tingkat pendidikan dipicu oleh besarnya biaya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, selain itu juga fasilitas pendidikan pada tingkat lanjutan yang ada di wilayah Desa Bangunjaya baru tersedia beberapa tahun terakhir. Selama ini masyarakat desa yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi harus memiliki kemampuan untuk sekolah keluar desa. Sementara sebanyak 5 orang (11%) responden yang memiliki gelar sarjana merupakan pendatang yang kemudian menetap di Desa Bangunjaya. Tingkat
pendidikan
yang
masih
rendah
menyebabkan
keterbatasan
kemampuan apalagi disertai dengan tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sehingga kebanyakan usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya adalah dengan meneruskan kelola lahan yang telah diwariskan atau pergi keluar desa untuk mendapatkan pekerjaan lain. Tingkat pendidikan sendiri tidak berpengaruh secara nyata terhadap tingkat pendapatan responden melainkan terhadap cara responden dalam merespon pasar atau pun kebutuhan kemudian mengaplikasikannya pada lahan mereka. Beberapa responden yang tingkat pendidikannya di atas pendidikan dasar atau sarjana sudah
22
mampu memodifikasi jenis-jenis selingan terkait dengan kebutuhannya dan mengelola lahan dengan menggunakan sumberdaya tambahan. Berkaitan dengan hal tersebut, gabungan kelompok tani desa mendapatkan pendampingan dan penyuluhan dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) setempat untuk lebih memperhatikan pengelolaan lahannya, seperti pola penanaman, pemilihan tanaman yang baik, serta mekanisme panen, namun sampai saat ini proses tersebut diprioritaskan pada area non hutan.
5.3. Pendapatan Responden Pendapatan dihitung dalam jangka waktu satu tahun terakhir berdasarkan perolehan dari pekerjaan masing-masing responden baik dari agroforestri maupun non agroforestri. Pendapatan yang berasal dari agroforestri dihitung dari penjualan kayu, panen buah, padi dan palawija yang ada di lahan milik petani. Sedangkan pendapatan non agroforestri dihitung dari hasil perdagangan, peternakan, gaji atau upah, dan lain-lain. Data penghasilan responden disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Pendapatan seluruh responden tahun 2010 Sumber Pendapatan
Jumlah (Rp/45 Responden/Tahun)
Rata-rata (Rp/Tahun)
1. Agroforestri a. Buah b. Kayu c. Padi & Palawija
4.900.504.000 470.050.000 339.960.000
108.900.088 10.445.555 7.554.666
2. Non Agroforestri
1.472.820.000
32.729.333
7.183.334.000
159.629.644,46
Total
Selang Pendapatan (Rp/Tahun) 0–699.150.000 0–77.500.000 0–39.300.000 0–360.000.000
Tabel 4 memberikan informasi bahwa pendapatan dari agroforestri dibagi menjadi pendapatan dari penjualan buah, kayu, padi dan palawija. Secara keseluruhan pendapatan yang berasal dari agroforestri lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan dari non agroforestri dimana hasil dari penjualan buah memiliki porsi yang paling besar. Hal ini disebabkan karena mayoritas responden sangat mengandalkan lahan agroforestri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
23
Pendapatan rata-rata responden per tahun terbesar berasal dari produk agroforestri berupa buah-buahan sebesar Rp 108.900.008 dengan selang pendapatan minimum sebesar Rp 0/tahun dan maksimum Rp 699.150.000/tahun. Kemudian hasil terkecil rata-rata dari produk agroforestri adalah dari komoditi padi dan palawija yakni Rp 7.554.666/tahun dengan selang minimum sebesar Rp 0/tahun dan maksimum Rp 39.300.000/tahun. Sementara dari produk non agroforestri diperoleh rata-rata Rp 32.729.333/tahun dengan selang minimum sebesar Rp 0/tahun dan maksimum sebesar Rp 360.000.000/tahun. Nilai dari selang minimum pada beberapa sumber pendapatan tersebut disebabkan oleh karena tidak semua responden memiliki atau mengusahakan sumber-sumber tersebut. Ada hal menarik yang dijumpai di lokasi penelitian dan juga bisa dijelaskan berdasarkan data pada Tabel 4 yaitu pendapatan terbesar responden berasal dari hasil penjualan buah. Berbeda dengan hutan rakyat atau agroforestri pada umumnya yang “mempercayakan” mekanisme pemasaran atau penjualan hasil agroforestrinya ke tengkulak, hasil panen di Desa Bangunjaya umumnya langsung dijual responden ke pasar yang terletak di luar desa, yakni di daerah Parung Panjang atau Leuwiliang. Jikapun melalui perantara, biasanya dilakukan oleh para petani lain yang memiliki kemampuan lebih sehingga harga yang didapatkan bisa jauh lebih baik dibandingkan dengan penjualan melalui tengkulak. Jika agroforestri pada umumnya atau di Jawa khusunya dimana hasil terbesarnya mayoritas berasal dari penjualan kayu terutama jenis Sengon (Paraserianthes falcataria), dalam konteks pemanfaatan hasil hutan berupa kayu di Desa Bangunjaya, dikenal istilah daur butuh. Hal ini disampaikan oleh petani yang menjadi responden pada penelitian ini. Apalagi responden tidak membutuhkan modal berarti untuk mengelola lahan mereka terutama hutan karena lahan yang mereka miliki sekarang merupakan warisan dari generasi sebelumnya yang juga sudah ditanami. Berdasarkan informasi pendukung yang didapat di lapangan, komposisi jenis dan jumlah tanaman serta luas lahan sangat mempengaruhi tingkat pendapatan. Adapun kemudian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap total pendapatan
24
responden tersebut diuji melalui persamaan regresi linier menggunakan software Minitab 14 sebagai berikut : Total Pendapatan = 21557487 + 2,09 padi palawija + 2255950 Durian + 924492 Petai - 575500 Mangga + 765148 Jengkol + 2493154 Cengkeh + 48737 Pisang - 2362376 Manggis - 44859 Kopi + 7892347 Dukuh + 8260 Rambutan + 802322 Nangka + 267312 Kelapa ................................................................... (1) R-Sq = 78,1% Dibandingkan dengan faktor luas lahan terhadap pendapatan responden dihasilkan persamaan regresi linier, sebagai berikut : Total Pendapatan = 5439752 + 8460 Pertanian + 4742 Hutan .......................... (2) R-Sq = 25,9% Persamaan (1) menguji hubungan antara komposisi (jenis dan jumlah) tanaman yang mengisi lahan terhadap total pendapatan, sedangkan persamaan (2) menguji hubungan antara luas lahan yang dimiliki responden terhadap total pendapatan. Kedua persamaan tersebut memberikan informasi bahwa ada beberapa faktor yang memperngaruhi besarnya tingkat pendapatan yang diperoleh responden seperti luas lahan dan komposisi tanaman, namun luas lahan yang dimiliki oleh responden tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah pendapatan, yakni dinyatakan oleh R² yang diperoleh dari persamaan hanya sebesar 25,9%. Komposisi dan jumlah tanaman yang mengisi lahan menjadi faktor yang berpengaruh nyata terhadap total pendapatan, dinyatakan dengan perolehan R² sebesar 78,1%.
5.4. Pengeluaran Responden Pengeluaran responden dihitung untuk semua keperluan mulai dari kebutuhan tetap tahunan, kebutuhan insidental, dan kebutuhan lainnya yang dikerluarkan tahun 2010. Kebutuhan rumah tangga responden berbeda-beda dipengaruhi jumlah anggota keluarga dan jenis kebutuhan lainnya. Data pengeluaran responden disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data pada Tabel 5, pengeluaran untuk biaya tetap tahunan yang dikeluarkan oleh seluruh responden petani sebesar Rp 1.095.615.500/45
25
responden/tahun, sedangkan rata-ratanya sebesar Rp 24.347.009/tahun. Rata-rata untuk biaya tetap diperoleh dari jumlah total pengeluaran dibagi dengan jumlah seluruh responden. Dikarenakan setiap rumah tangga responden mengeluarkan biaya yang berbeda untuk setiap kebutuhan yang sama dalam memenuhi pengeluaran
tetap
tahunan,
maka
disampaikan
selang
pengeluarannya.
Pengeluaran tetap terbesar dialokasikan untuk pangan dengan selang minimum sebesar Rp 3.600.00/tahun dan maksimum sebsar Rp 36.000.000/tahun, sedangkan yang terkecil adalah untuk pembayaran pajak dengan selang minimum sebesar Rp 10.500/tahun dan maksimum sebesar Rp 5.000.000/tahun. Tabel 5 Pengeluaran responden untuk biaya tetap tahunan pada tahun 2010 Jumlah (Rp/45 Responden/Tahun)
Rata-rata (Rp/Tahun)
1. Pangan
836.400.000
18.586.666
2. Sandang
92.900.000
2.064.444
300.000 – 6.000.000
3. Pendidikan Anak
21.466.000
477.022
100.000 – 3.780.000
4. Pajak
13.177.500
292.833
10.500 – 5.000.000
5. Sarana Rumah Tangga
40.752.000
905.600
240.000 – 2.400.000
6. Tabungan
49.320.000
1.096.000
7. Kesehatan
41.600.000
924.444
1.095.615.500
24.347.009
Biaya Tetap Tahunan
Total
Selang Pengeluaran (Rp/Tahun) 3.600.000-36.000.000
180.000 – 24.000.000 200.000 – 7.200.000
Hasil perhitungan di atas juga memberikan informasi bahwa ada alokasi pendapatan responden yang digunakan untuk tabungan. Hal ini membuktikan selain penting untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, hasil agroforestri juga berperan untuk memberikan simpanan bagi responden. Namun berdasarkan Tabel 5, besarnya pengeluaran tetap pada tabungan hanya Rp 1.096.000/tahun. Jumlah ini terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan total pendapatan yang dieproleh responden per tahunnya. Jumlah tersebut pun sudah termasuk kebiasaan masyarakat setempat untuk mengadakan arisan desa dimana setiap kepala keluarga wajib menabungkan sejumlah tertentu pendapatannya untuk nantinya digunakan sebagai keperluan bersama. Responden cenderung lebih memilih mengalokasikan sisa pendapatannya untuk diinvestasikan ke emas. Perilaku konsumtif juga sangat tinggi dimana masyarakat masih memiliki pemikiran jika ada uang harus digunakan, sehingga
26
tak jarang masyarakat membelanjakan uangnya untuk keperluan, seperti: membeli televisi, perabot rumah tangga, kendaraan bermotor, dan lain-lain. Faktor lain yang mempengaruhi responden untuk enggan menabung adalah tidak adanya lembaga terkait seperti bank atau koperasi di desa. Tabel 5 juga memberikan informasi bahwa pendapatan responden dari hutan rakyat masih lebih besar daripada total pengeluaran tetap tahunan. Selain biaya tetap tahunan, pengeluaran responden untuk biaya insidental dapat dilihat pada Tabel 6. Biaya insidental dikeluarkan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang mendesak untuk dipenuhi. Biaya insidental yang dikeluarkan oleh responden berupa biaya untuk pesta pernikahan, khitanan, dan biaya lain-lain yang meliputi biaya transportasi, rekreasi, pembangunan rumah, sumbangan atau bantuan lingkungan. Tabel 6 Pengeluaran responden untuk biaya insidental tahun 2010 Biaya Insidental
Jumlah (Rp/45 Responden/Tahun)
Rata-rata (Rp/Tahun)
1. Pesta Pernikahan 2. Pesta Khitanan 3. Naik Haji
394.000.000 24.000.000 134.500.000
8.755.556 533.333 2.988.888
4. Lain-lain
149.174.000
3.314.978
701.674.000
14.905.866
Total
Selang Pengeluaran (Rp/Tahun)
1.000.000 – 64.000.000 5.000.000 – 7.000.000 8.500.000 – 34.000.000 500.000 – 24.000.000
Berbeda dengan pengeluaran tetap tahunan, besarnya rata-rata biaya insidental yang dikeluarkan responden diperoleh dari total pengeluaran untuk masing-masing pengeluaran insidental dibagi dengan jumlah rumah tangga responden yang mengeluarkan biaya tersebut, tidak dibagi dengan jumlah keseluruhan jumlah responden. Dari Tabel 7 diatas, didapat informasi bahwa biaya insidental terbesar dikeluarkan untuk pesta pernikahan, yaitu: rata-rata sebesar Rp 8.755.556/tahun dengan selang minimum sebesar Rp 1.000.000/tahun dan maksimum sebesar Rp 64.000.000/tahun, sementara yang terkecil dikeluarkan untuk pesta khitanan rata-rata sebesar Rp 533.333/tahun. Sehingga perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran untuk keseluruhan responden dapat dilihat pada Tabel 7.
27
Tabel 7 Perbandingan total pendapatan dan pengeluaran seluruh responden tahun 2010 Indikator 1. Total Pendapatan Seluruh Responden 2. Total Pengeluaran Seluruh Responden
Jumlah (Rp/Tahun)
Rata-rata (Rp/Tahun)
7.183.334.000
159.629.644
1.797.289.500
39.939.766
Total pengeluaran responden baik dari biaya tetap tahunan maupun biaya insidental adalah Rp 1.797.289.500 dan rata-rata pengeluaran untuk rumah tangga dari masing-masing responden selama satu tahun adalah sebesar Rp 39.939.766. Hal ini menunjukkan bahwa jika dilakukan perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran baik total maupun rata-rata dapat diketahui bahwa pendapatan responden lebih besar dari pengeluarannya. Petani mampu membiayai kebutuhannya dengan baik dari hasil agroforestri maupun dari hasil non agroforestri.
5.5. Kontribusi sistem agroforestri terhadap pendapatan dan pengeluaran responden Kontribusi sistem agroforestri dibagi menjadi kontribusi pendapatan dari agroforestri baik dari buah, kayu, padi dan palawija terhadap total pendapatan dan pengeluaran. Selain itu juga dapat dihitung kontribusi non agroforestri terhadap total pendapatan dan pengeluaran. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 memberikan penjelasan bahwa sistem agroforestri memberikan kontribusi sebesar 79,5% (dari buah sebesar 68,3% ditambah kayu sebesar 6,5% ditambah padi dan palawija sebesar 4,7%) terhadap total pendapatan. Sedangkan dari hasil non agroforestri hanya memberikan kontribusi sebesar 20,5% terhadap total pendapatan. Untuk keseluruhan perhitungan yang dilakukan didapatkan nilai positif yaitu nilai yang lebih besar dari 100% untuk presentase total pendapatan terhadap total pengeluaran. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pendapatan responden terutama dari agroforestri sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari. Sementara hasil agroforestri dari komoditi buah memberikan
28
kontribusi yang lebih besar daripada komoditi kayu, padi dan palawija baik terhadap total pendapatan maupun total pengeluaran. Tabel 8 Presentase kontribusi agroforestri dan non agroforestri terhadap pendapatan dan pengeluaran responden tahun 2010 Indikator 1. Persentase total pendapatan AF (buah) terhadap total pendapatan 2. Persentase total pendapatan AF (kayu) terhadap total pendapatan 3. Persentase total pendapatan AF (padi & Palawija) terhadap total pendapatan 4. Persentase total pendapatan non AF terhadap total pendapatan 5. Persentase total pendapatan AF terhadap total pendapatan 6. Persentase total pendaptan AF (buah) terhadap total pengeluaran 7. Persentase total pendapatan AF (kayu) terhadap total pengeluaran 8. Persentase total pendapatan AF (padi & palawija) terhadap total pengeluaran 9. Persentase total pendapatan non AF terhadap total pengeluaran 10.Persentase total pendapatan terhadap total pengeluaran
Presentase Kontribusi (%) 68,3 6,5 4,7 20,5 79,5 272,7 26,2 18,9 81,9 399,7
Menurut Suharjito (2000), hutan rakyat agroforestri merupakan pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari total pendapatan. Tetapi pada kenyataannya di Desa Bangunjaya, kontribusinya jauh diatas 10%. Lahan agroforestri di Desa Bangunjaya memiliki peranan yang sangat penting dan dapat menjadi bermanfaat secara kontinyu, selain itu jelas memberikan dampak positif terutama bagi ekonomi petani maupun ekologi dan sosial. Besarnya presentase kontribusi komoditi buah terhadap total pendapatan disebabkan karena responden memanfaatkan ruang lahannya secara maksimal, selain itu faktor tanaman buah yang diwariskan oleh generasi sebelumnya sedang dalam masa produktif juga sangat berpengaruh. Secara keseluruhan, keberadaan sistem agroforestri di Desa Bangunjaya bisa jadi merupakan alternatif pemanfaatan lahan yang lebih baik dan menguntungkan, namun kebijakan yang baik untuk memfasilitasi kontribusi keberadaan
29
agroforestri menjadi sangat penting agar agroforestri terus memberikan tren yang positif.