BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah 5.1.1. Sub Sektor Unggulan di Halmahera Utara Setiap daerah atau wilayah mempunyai beberapa sektor atau komoditas yang dapat mengembangkan daerah atau wilayah tersebut, namun kemampuan setiap sektor tersebut tentu berbeda-beda, biasanya sektor yang mempunyai potensi supply dan demand yang besar dan berorientasi pada pasar ekspor baik keluar daerah, antar pulau, maupun ke pasar luar negeri dengan intensitas perdagangan yang stabil, selalu mempunyai keunggulan komparatif dan kempetitif yang tinggi. Untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di Halmahera Utara dalam penulisan ini digunakan analisis Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share (SSA). Kedua analisis ini menggunakan data PDRB kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara pada dua titik waktu yaitu pada tahun 2000 dan tahun 2004. A. Keunggulan Komparatif Kabupaten Halmahera Utara mempunyai tiga sub sektor yang memiliki peranan besar dalam kontribusi terhadap PDRB. Indikator ini dapat kita lihat pada PDRB Kabupaten Halmahera Utara berdasarkan pada harga konstan dengan tahun dasar tahun 2000. Perkembangan PDRB mempunyai tren yang meningkat, yaitu pada tahun 2000 sebesar 322.916,69 juta rupiah, pada tahun 2001 naik menjadi 328.149,27 juta rupiah atau pertumbuhan sebesar 1,62% kemudian naik menjadi 339.333,83 juta rupiah pada tahun 2002 dengan pertumbuhan sebesar 3,41%. Pada tahun 2003 PDRB meningkat sebesar 349.269,80 juta rupiah atau pertumbuhan sebesar 2,93%, hal ini terus mengalami peningkatan pada tahun 2004 sebesar 360.914,14 atau pertumbuhan sebesar 3,33%. Dari pertumbuhan PDRB dari tahun ke tahun pada 9 sektor/lapangan usaha, peranan sektor pertanian masih sangat dominan yakni pada tahun 2000 sektor pertanian menyumbang sekitar 41,54%, pada tahun 2001 sebesar 41,74%, kemudian tahun 2002 naik menjadi 41,99%, namun pada tahun 2003 turun menjadi 41,96 begitu juga pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 41,29%. Dalam peranan sektor pertanian
tersebut yang paling dominan adalah sub sektor perkebunan, kemudian tanaman bahan makan dan diikuti oleh sub sektor perikanan serta sub sektor kehutanan. Selain sektor pertanian, sektor industri pengolahan, juga mempunyai peran besar dalam PDRB Kabupaten Halmahera Utara, yakni pada tahun 2000 sebesar 23,44%, kemudian pada tahun 2001 sebesar 23,30%, pada tahun 2002 sebesar 23,70%, pada tahun 2003 sebesar 23,18% dan pada tahun 2004 sebesar 23,33%. Indikator kontribusi sektor/sub sektor dalam PDRB di atas belum menjadi cerminan sektor/sub sektor tersebut unggulan dalam perekonomian daerah Kabupaten Halmahera Utara, untuk itu maka data kontribusi PDRB di atas kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) untuk mengetahui sektor/ sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Kabupaten Halmahera Utara. Dalam analisis LQ ini dilakukan dalam bentuk time series/trend, artinya untuk melihat beberapa kurun waktu yang berbeda apakah terjadi kenaikan atau penurunan. Berdasarkan hasil analisis LQ, sub sektor yang ada di PDRB Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2000 (Tabel 13), hanya terdapat tujuh sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif, hal ini karena ketujuh sub sektor tersebut memiliki nilai indeks LQ lebih besar dari satu. Sub sektor tersebut yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor industri tanpa migas dan sub sektor restoran. Sedangkan sub sektor yang lainnya memiliki nilai indeks LQ lebih kecil dari satu, sehingga tidak termasuk sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif. Sedangkan analisis LQ pada tahun 2004 (Tabel 14), ternyata tidak berbeda dengan tahun 2000. Tujuh sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di tahun 2000 masih mempunyai peranan sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di tahun 2004. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan ke tujuh sub sektor tersebut dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 masih di atas ratarata sub sektor lainnya, sehingga ketujuh sub sektor dimaksud tetap memiliki keunggulan komparatif dalam perekonomian wilayah di Halmahera Utrara. Mencermati analisis LQ tahun 2000 dan 2004, terlihat bahwa dalam sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif, hanya tiga sub sektor yang mengalami kenaikan nilai indeks LQ yaitu sub sektor kehutanan, industri tanpa migas, dan perkebunan.
85
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa dalam kurun tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 ketiga sub sektor tersebut mengalami pertumbuhan di atas rata-rata dari sub sektor lainnya yang memiliki keunggulan komparatif, sehingga bisa dikatakan sub sektor dimaksud mempunyai tingkat stabilitas keunggulan komparatif yang tinggi. Dengan demikian maka pengembangan sub sektor kehutanan, industri tanpa migas dan perkebunan di Halmahera Utara merupakan suatu langkah yang strategis untuk mengembangkan ekonomi wilayah. Namun dalam pengembangan ketiga sub sektor tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi semata, tetapi juga pada aspek sosial, budaya, dan ekologi. Untuk sub sektor kehutanan misalnya dalam pengelolaanya harus memperhatikan dua hal, yang pertama ; pengelolaan sub sektor kehutanan yang ramah terhadap lingkungan sehingga pengelolaannya tidak berdampak pada ekosistem hutan dan sumberdaya lainnya, yang kedua ; pengelolaan sub sektor kehutanan yang berbasis pada masyarakat, sehingga manfaat dari hasil hutan dapat mempunyai dampak sosial dan ekonomi pada masyarakat di sekitar hutan. Untuk sub sektor perkebunan yang harus dikembangkan adalah komoditas lokal yang mempunyai potensi supply dan potensi demand yang besar, dalam hal ini adalah komoditas kelapa (kelapa dalam) harus dapat dipertahankan dengan pengembangan pola diversifikasi usaha, penguatan kelembagaan petani, penguatan modal, dan pengembangan
pasar terutama pasar ekspor. Dalam konteks wilayah
Kabupaten Halmahera Utara hal ini penting dilakukan karena pada era otonomi daerah saat ini, salasatu orientasi pemerintah daerah adalah untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) namun untuk hal tersebut dalam implementasi sering salah kapra dalam melakukan strategi investasi. Dalam investasi di bidang pertanian pemerintah daerah sering mengikuti usaha yang telah ada dan maju di daerah lain, misalnya rencana membuka perkebunan kelapa sawit, upaya ini kalau direalisasikan dikhawatirkan akan mengancam perkebunan kelapa rakyat yang telah lama menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat di Halmahera Utara. Kemudian sub sektor industri harus dapat menjadi sub sektor yang menghela sub sektor kehutanan dan perkebunan sekaligus menjadi pendorong sub sektor lainnya untuk pengembangan perekonomian wilayah di Halmahera Utara.
86
Kemudian jika dilihat dari besarnya nilai LQ, maka dalam analisis pada dua titik waktu tersebut, yang mempunyai nilai LQ tertinggi adalah sub sektor restoran. Hal ini terjadi karena Kota Tobelo merupakan kota terbesar kedua di Maluku Utara, selain berfungsi sebagai pusat perkembangan wilayah di Pulau Halmahera juga berfungsi sebagai kota transit yang berperan menghubungkan beberapa kota di kawasan timur Indonesia, yaitu Kota Surabaya, Manado, Ternate dan Buli. Selain itu juga Kota Tobelo dalam kurun waktu tersebut mengalami pertumbuhan restoran yang tinggi seiring dengan naiknya status kota tersebut dari ibu kota kecamatan menjadi ibu kota Kabupaten Halmahera Utara. Dari ketujuh sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di Halmahera Utara jika dicermati dengan baik yang berdasarkan pada potensi sumberdaya alam yang dimiliki, maka ada dua sub sektor yang memiliki prospek yang bagus untuk berkembang yaitu sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan. Secara umum masyarakat Maluku Utara dan khususnya di Halmahera Utara adalah masyarakat perkebunan kelapa, usaha ini telah lama ditekuni oleh masyarakat di Halmahera Utara, namun di sisi yang lain potensi laut/ perikanan juga sangat besar. Kenapa saat ini di wilayah yang berbentuk kepulauan seperti Maluku Utara dan Halmahera Utara basis perekonomian masyarakatnya berada pada sub sektor perkebunan, tentu hal ini disebabkan karena orientasi masyarakat di Halmahera Utara yang masih berorientasi pada wilayah daratan. Untuk menjadikan orientasi ekonomi masyarakat yang tidak hanya berorientasi pada wilayah daratan tetapi juga pada wilayah lautan maka peranan pemerintah daerah dan stakeholders di Halmahera Utara sangat penting. Dalam hal ini artinya pemerintah daerah bersama stakeholders perlu bekerja keras untuk merubah pola pikir, penyiapan ketrampilan, penyiapan prasarana dan sarana perikanan dan investasi swasta di sub sektor perikanan, sehingga sub sektor perikanan menjadi orientasi kegiatan ekonomi yang baru bagi masyarakat di Halmahera Utara.
87
Tabel 13. Hasil Analisis LQ di Provinsi Maluku Utara Tahun 2000
6
7
Kab.Halut
1.32
1.10
1.47
1.16
1.05
-
2
Kota Ternate
0.44
0.30
0.56
0.63
0.41
3
Kab.Haltim
1.33
1.24
0.81
1.41
4
Kab.Halbar
0.56
1.50
0.31
5
Kab.Halsel
1.24
1.12
6
Kab.Halteng
0.67
7
Kab.Sula Kep.
8
Kota Tidore Kep.
Pemerintahan Umum 24
25
0.36
1.48
0.33
0.72
0.49
0.95
0.20
1.53
0.92
0.39
0.50
0.51
0.80
0.74
0.47
0.58
-
2.91
0.45
3.62
2.76
1.91
1.37
4.14
0.80
1.65
3.87
3.40
3.35
2.12
2.13
2.41
2.28
1.58
3.31
0.61
0.31
0.13
0.25
1.71
0.77
0.00
0.49
0.63
0.09
0.01
0.16
0.52
0.12
0.81
0.99
0.56
0.77
-
0.34
1.50
1.67
1.03
0.35
1.07
1.71
0.57
0.96
0.82
1.14
0.96
0.87
1.49
0.56
0.31
0.97
0.91
1.22
-
0.29
1.43
0.36
0.55
0.49
0.98
0.22
1.48
0.98
0.35
0.59
0.57
0.88
0.88
0.46
0.76
0.66
2.13
1.11
0.86
9.02
1.29
0.20
0.08
0.15
1.10
0.48
0.00
0.30
0.40
0.06
0.01
0.07
0.32
0.16
1.24
0.62
0.87
1.11
1.08
1.06
1.00
-
0.32
1.58
0.35
1.06
0.54
1.03
0.15
1.49
0.99
0.58
0.66
0.64
0.91
1.22
0.55
0.60
1.63
1.45
0.74
1.54
1.46
-
1.47
0.37
0.14
0.28
1.73
0.96
0.02
0.23
0.79
0.11
0.02
0.18
0.64
0.23
1.27
1.23
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Swasta
Jasa Perusahaan 23
LKTB
22
Bank
21
Komunikasi
20
P’angkutan
19
Restoran
18
Hotel
17
Perdagangan bsr & Ec
16
Bangunan
15
10
Air Bersih
14
9
Listrik
13
8
Penggalian
12
Perikanan
1
11
Kehutanan
2
Sewa Bangunan
5
1
Industri T. Migas
Peternakan dan Hasil2
4
Kab/Kota
Industri Migas
Tanaman Perkebunan
3
No
Pertambangan Tanpa Migas
Tanaman B. Makan
Sektor/Sub Sektor
Tabel 14. Hasil Analisis LQ di Provinsi Maluku Utara Tahun 2004 1
2
3
4
5
6
7
1
8
9
10
Kab.Halut
1.27
1.11
1.17
1.23
1.04
-
0.37
1.50
0.41
0.96
0.48
0.91
0.49
1.52
1.00
0.48
0.59
0.80
0.80
0.66
0.49
0.66
2
Kota Ternate
0.45
0.29
0.43
0.58
0.41
-
2.46
0.42
3.37
1.87
2.02
1.40
3.44
0.70
1.63
3.39
3.27
2.34
2.00
2.44
2.49
2.31
3
Kab.Haltim
1.54
1.21
0.69
1.36
1.56
3.27
0.96
0.35
0.16
0.51
1.64
0.75
0.01
0.44
0.72
0.11
0.02
0.34
0.56
0.15
0.72
0.95
4
Kab.Halbar
0.55
1.37
2.56
0.52
0.76
-
0.32
1.46
1.45
0.70
0.32
1.08
1.41
0.50
0.92
0.71
1.05
0.68
0.87
1.26
0.55
0.30
5
Kab.Halsel
1.17
1.19
0.76
0.91
1.20
-
0.28
1.41
0.47
0.72
0.47
0.97
0.48
1.75
0.91
0.67
0.58
0.95
0.86
0.82
0.50
0.72
6
Kab.Halteng
0.69
0.68
1.84
1.09
0.94
9.06
1.79
0.30
0.11
0.37
1.06
0.51
0.00
0.29
0.44
0.06
0.01
0.12
0.35
0.17
1.18
0.61
7
Kab.Sula Kep.
0.86
1.12
0.85
1.14
0.97
-
0.33
1.56
0.50
1.57
0.54
1.02
0.59
1.30
0.97
0.68
0.79
1.08
1.03
1.08
0.52
0.59
8
Kota Tidore Kep.
1.63
1.44
0.59
1.50
1.53
-
1.59
0.41
0.20
0.48
1.66
0.97
0.02
0.20
0.79
0.14
0.02
0.33
0.70
0.25
1.15
1.18
B. Keunggulan Kompetitif Analisis dengan pendekatan metode LQ tersebut di atas dapat didukung dengan menggunakan analisis shift share (SSA) yang dapat menggambarkan pergeseran struktur aktivitas suatu sub sektor pada wilayah Kabupaten Halmahera Utara dibandingkan dengan sub sektor yang sama di wilayah referensinya. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menentukan kinerja atau produktivitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkan dengan wilayah yang setara (dalam hal ini delapan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Maluku Utara). Analisis ini menggunakan data PDRB pada dua titik tahun yaitu tahun 2000 dan tahun 2004. Dalam analisis shift share ini terdiri dari nilai komponen growth economic, nilai komponen proporsional (proportional shift), dan nilai komponen diferensial (differential share). Hasil analisis shift share dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil perhitungan dengan mengunakan analisis SSA menunjukan bahwa laju pertumbuhan ekonomi wilayah Maluku Utara dari tahun 2000 sampai dengan 2004 secara agregat tumbuh sebesar 0.14. Artinya secara agregat tingkat pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mengalami pertumbuhan yang positif atau dapat dikatakan produktivitas kinerja ekonomi Provinsi Maluku Utara pada dua periode waktu tersebut mengalami kenaikan. Hal ini karena komponen share dari sektor-sektor penting atau penentu mengalami kenaikan. Berkaitan dengan hal tersebut, secara regional Maluku Utara dapat dilihat nilai komponen proporsional shift pada sub sektor tanaman bahan makanan, pertambangan tanpa migas, industri tanpa migas, perdagangan besar dan eceran, sewa bangunan, pemerintahan umum serta sub sektor perikanan mempunyai laju pertumbuhan ekonomi lebih rendah di bandingkan dengan laju pertumbuhan total di Provinsi Maluku Utara. Sedangkan untuk sub sektor-sub sektor seperti peternakan dan hasil-hasilnya, air bersih, hotel, restoran, komunikasi dan lembaga keuangan tanpa bank mempunyai laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di Provinsi Maluku Utara. Laju pertumbuhan ekonomi sub sektor tanaman bahan makanan, peternakan, perikanan, sub sektor bangunan, perdagangan, restoran, sewa bangunan dan jasa perusahaan di Kabupaten Halmahera Utara mempunyai tingkat competitiveness lebih
rendah dibandingkan dengan sub sektor lain. Kondisi ini menunjukan bahwa pertumbuhan rata-rata sub sektor dimaksud lebih rendah dibandingkan dengan sub sektor lainnya di Kabupaten Halmahera Utara. Sebaliknya sub sektor hotel, lembaga keuangan tanpa bank, air bersih, listrik, komunikasi, dan bank mempunyai keunggulan kompetitif yang relatif besar, artinya sub sektor ini mempunyai laju pertumbuhan rata-rata lebih besar dibandingkan sub sektor lainnya di Halmahera Utara selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa investasi pada sub sektor dimaksud akan meningkatkan daya saing yang besar dalam peningkatan perekonomian wilayah Halmahera Utara. Tabel 15. Hasil Analisis LQ dan Shift Share tentang Sub Sektor Unggulan Komparatif dan Kompetitif di Halmahera Utara. No.
Sub Sketor No. Sub Sektor (Keunggulan Komparatif) (Keunggulan Kompetitif) 1. Restoran 1. Hotel 2. Industri non migas 2. Lembaga Keuangan tanpa Bank 3. Peternakan 3. Air Bersih 4. Tanaman Bahan Makanan 4. Listrik 5. Kehutanan 5. Komunikasi 6. Perkebunan 6. Bank 7. Perikanan Sumber: Diolah dari Analisis LQ dan Shift Share 2006. Mencermati hasil analisis di atas menunjukan bahwa sektor yang mempunyai tingkat kompetitif besar masih berada pada sektor-sektor sekunder dan tersier yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal (service sectors). Kecuali sub sektor hotel, sub sektor yang hanya berperan sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal adalah sub sektor lembaga keuangan tanpa bank, air bersih, listrik, komunikasi, dan bank. Fenomena ini menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagian besar didorong oleh tingkat konsumsi yang tinggi, dan sebaliknya pengaruh investasi dan peranan sektor basis (basis sectors) masih sangat rendah. Hal ini dapat terjadi karena sektor-sektor primer belum dikelola dengan baik. Pengelolaan sektor primer tersebut sangat tergantung pada investasi, baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun oleh swasta/ perusahaan besar.
90
Dalam strategi pembangunan ekonomi wilayah, pengembangan sub sektor yang mempunyai peranan sebagai sektor basis sangat penting, karena sektor basis adalah sektor yang berorientasi pada pemenuhan pasar atau permintaan luar daerah (export oriented). Dengan demikian maka, potansi pasar dari sektor basis lebih besar dari sektor yang hanya melayani pemenuhan kebutuhan masyarakt lokal (service sectors). Untuk itu maka, dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah Halmahera Utara sub sektorsub sektor basis, yang mempunyai potensi supply yang besar dan potensi pasar ekspor yang besar harus di kembangkan sehingga dapat menjadi sub sektor yang memiliki tingkat keunggulan kompetitf (daya saing) yang tinggi. Sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif tetapi tidak mempunyai daya saing tinggi (competitivnes) disebabkan oleh adanya distorsi pasar (Gonarsyah, 2001). Distorsi dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy), baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi), dan atau karena adanya ketaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya adanya monopoli/ monopsoni domestik. Dalam konteks ini, jika dilihat pada hasil analisis LQ dan shift share sebelumnya, menunjukan inkonsistensi karena sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif tidak satupun menjadi keunggulan kompetitif (Tabel 15), Hal ini disebabkan karena adanya distorsi pasar. Faktor distorsi pasar diduga menjadi penyebab sub sektor-sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Halmahera Utara seperti restoran, industri non migas, peternakan, tanaman bahan makanan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan, menjadi tidak memiliki keunggulan kompetitif. Kebijakan pemerintah yang bersifat langsung seperti penentuan tarif harga input produksi maupun harga output hasil produksi serta yang bersifat tak langsung seperti regulasi menjadi kendala bagi ke tujuh sub sektor tersebut untuk berkembang. Gambaran mengenai harga input yang mahal dan harga output yang murah pada sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif di Halmahera Utara menjadi cerminan bahwa adanya distorsi pasar yang di alami oleh beberapa sub sektor tersebut. Terkait dengan masalah ini perlu di teliti lebih spesifik tentang pengaruh distorsi pasar terhadap tingkat kompetitif dari sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Halmahera Utara.
91
Tabel 16. Hasil Perhitungan Analisis Shift-Share di Provinsi Maluku Utara Pertumbuhan Maluku Utara
ekonomi
Lapangan Usaha Tanaman bahan makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan tanpa migas Penggalian Industri migas Industri tanpa migas Listrik Air bersih Bangunan Perdagangan besar dan eceran Hotel Restoran Pengangkutan Komunikasi Bank LKTB Sewa bangunan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Swasta
Provinsi
0.14 Pergeseran Proporsional Provinsi Maluku Utara -0.05 0.03 0.26 0.02 -0.04 -0.09 0.09 -0.02 0.10 0.60 0.02 -0.01 0.28 0.16 0.02 0.16 0.08 0.45 -0.01 0.12 -0.02 0.02
Halut -0.05 -0.00 -0.03 0.05 -0.03 0.02 -0.00 0.27 0.53 -0.04 -0.07 2.03 -0.03 0.08 0.26 0.19 0.85 -0.02 -0.17 0.02 0.14
Ternate 0.05 0.04 -0.32 -0.08 -0.00 -0.18 -0.07 -0.08 -0.55 0.08 0.04 -0.23 -0.15 -0.01 -0.15 -0.04 -0.47 -0.05 0.19 0.05 0.02
Haltim 0.18 -0.01 -0.19 -0.03 0.00 -0.00 0.73 0.13 0.31 1.89 -0.04 -0.01 1.58 -0.11 0.19 0.46 0.58 1.71 0.10 0.30 -0.11 -0.04
Pergeseran Diferensial Halbar Halsel Halteng -0.03 -0.05 0.03 -0.12 0.08 0.03 10.08 -0.29 -0.19 -0.09 0.01 -0.03 -0.03 -0.02 0.10 0.00 -0.11 -0.03 0.47 -0.05 -0.01 0.53 -0.18 0.37 0.43 -0.57 0.54 2.60 -0.13 -0.04 -0.04 -0.00 -0.00 0.07 0.27 1.65 0.14 -0.17 0.25 -0.03 -0.07 -0.08 0.12 -0.19 1.22 -0.08 -0.12 -0.00 0.64 -0.49 1.11 0.91 -0.02 -0.01 0.10 -0.21 -0.07 0.05 -0.05 0.09 -0.06 -0.08 -0.06 -0.04
Kep.Sula 0.00 0.01 -0.29 0.10 -0.02 -0.05 -0.01 0.55 0.84 0.02 -0.00 4.11 -0.16 -0.02 0.23 0.24 1.10 0.15 -0.14 -0.05 -0.02
Tidore 0.00 -0.00 -0.29 -0.03 0.05 0.10 0.11 0.56 1.28 -0.04 0.01 0.33 -0.14 0.01 0.37 0.22 1.35 0.10 0.10 -0.11 -0.05
92
5.1.2. Sub Sektor Unggulan Kepulauan Morotai Setelah menganalisis sub sektor unggulan di Kabupaten Halmahera Utara, selanjutnya dilakukan analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, hal ini dilakukan karena wilayah kajian dari penelitian ini dilakukan pada wilayah Kepulauan Morotai. Di sisi lain hasil analisis dalam skala kabupaten mempunyai tingkat relevansi yang kecil terhadap kondisi Kepulauan Morotai. Ketidakrelevannya keunggulan di tingkat kabupaten dengan wilayah Kepulauan Morotai karena secara umum karakteristik wilayah dan sumberdaya yang dimiliki Kepulauan Morotai sangat berbeda dengan kondisi Kabupaten Halmahera Utara. Dalam analisis keunggulan komparatif pada tingkat Kabupaten Halmahera Utara terdapat tujuh sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor industri tanpa migas dan sub sektor restoran. Sedangkan dalam analisis keunggulan kompetitif yang dilakukan pada tingkat Kabupaten Halmahera Utara terdapat lima sub sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif yaitu sub sektor hotel, sub sektor listrik, sub sektor air bersih, sub sektor komunikasi dan sub sektor lembaga keuangan tanpa bank. Jika dipilah pada ketuju sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif pada tingkat kabupaten dan dicocokan dengan potensi sumber daya alam Kepulauan Morotai, maka yang mempunyai relevansi hanya tiga sub sektor yaitu sub sektor perkebunan, sub sektor perikanan, dan sub sektor kehutanan. Sedangkan keunggulan kompetitif pada tingkat kabupaten semuanya sangat bias bila jadikan patokan sebagai keunggulan kompetitif di wilayah Kepulauan Morotai. Untuk itu maka, dalam analisis ini karena keterbatasan data, maka analisis hanya difokuskan pada keunggulan komparatif di Kepulauan Morotai. Namun analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai berbeda dengan analisis di tingkat Kabupaten Halmahera Utara. Perbedaan ini terletak pada metode analisis dan sumber data, hal ini karena adanya keterbatasan data tentang potensi sumberdaya alam di Kepulauan Morotai. Untuk itu maka, data yang digunakan dalam analisis sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, menggunakan data produksi,
93
penyerapan tenaga kerja, dan orientasi pasar dari komoditas/ sub sektor yang ada di Kepulauan Morotai, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi kualitatif. Berdasarkan data kecamatan dalam angka pada ke tiga kecamatan di Kepulauan Morotai pada tahun 2003, sektor yang mempunyai aktivitas ekonomi wilayah besar di Kepulauan Morotai adalah sektor pertanian dalam arti luas, sektor ini sangat kelihatan peranannya dalam penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat yang mendiami Kepulauan Morotai seperti terlihat pada Tabel 17. Kondisi tersebut menunjukan bahwa sektorsektor lain belum berkembang dengan baik, indikasi penyerapan tenaga kerja yang rendah pada sektor lain selain sektor pertanian menjadi sala satu fakta tersebut. Dalam sektor pertanian, sub sektor yang mempunyai penyerapan tenaga kerja besar adalah sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan. Komoditas yang banyak diusahakan pada Sub sektor perkebunan di Kepulauan Morotai adalah kelapa (kelapa dalam), komoditas ini diusahakan dengan pola perkebunan rakyat. Sedangkan komoditas pada sub sektor perikanan yang banyak diusahakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai adalah ikan cakalang, rumput laut dan keramba apung kerapu hidup. Namun nelayan di Kepulauan Morotai umumnya memiliki peralatan masih tradisional dengan armada penangkapan yang berukuran kecil sampai dengan sedang. Selain itu kendala modal usaha juga menjadi masalah klasik yang masih dihadapi oleh nelayan di Kepulauan Morotai. Tabel 17. Jumlah Keluarga Menurut Mata Pencahrian di Kepulaun Morotai Tahun 2003. No. 1. 2. 3.
Kecamatan Morotai Selatan Morotai Utara Morotai Selatan Barat Jumlah
Pertanian
Bidang Usaha/Mata Pencahrian Pertambangan/ Industri Perdagangan Penggalian Pengolahan
Jasa
lainnya
2.479
-
98
306
501
3.772
4
157
142
281
60
2.162
-
-
100
165
-
8.413
4
255
548
947
60
Sumber: BPS Kabupaten Maluku Utara 2004a, 2004b, dan 2004c. Berdasarkan data produksi dan orientasi ekspor untuk beberapa komoditas di Kepulauan Morotai (Tabel 18), terlihat bahwa sub sektor perikanan, sub sektor
94
perkebunan, dan sub sektor kehutanan mempunyai peranan yang besar dalam perekonomian di Kepulauan Morotai. Komoditas pada ketiga sub sektor tersebut mempunyai orientasi ekspor, baik yang berorientasi pada pasar regional, nasional, dan pasar internasional. Dari perkembangan produksi dan orientasi pasar tersebut dapat disimpulkan bahwa sub sektor perikanan, sub sektor perkebunan dan sub sektor kehutanan merupakan sub sektor atau sektor yang mempunyai keunggulan komparatif di Kepulauan Morotai. Dengan potensi yang besar produk dari ketiga sub sektor dimaksud selama ini dapat memenuhi kebutuhan/ permintaan daerah lain, dalam konteks ini tentu terdapat aliran nilai tambah yang besar mengalir dari luar Kepulauan Morotai ke dalam wilayah Kepulauan Morotai. Tabel 18. Komoditas Unggulan Tiga Sub Sektor di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara. Tahun Daerah Jenis Komoditi Tujuan 2002 2003 2004 2005 Cakalang (Ton) 550 670 810 Jakarta, Banyuwangi Kerapu (Ton)
8,3
8,5
9,2
9,6
Hongkong
R. Laut (Ton)
350
335
320
300
Manado, Surabaya
Kopra (Ton)
5.321
4.213
6.139
6.865
Tobelo, Manado
Kayu G. (Ton)
2.637
2.765
2.936
3.281
Kalimantan
Sumber: Diolah dari data primer dan sekunder, 2006. Menurut Gonarsyah (2001), keunggulan komparatif dicirikan oleh rendahnya biaya relatif di tingkat produsen, hal ini dapat terjadi karena adanya keunggulan statik (static advantage) akibat relatif kaya akan sumberdaya alam tertentu, sumberdaya manusia dan lokasi yang strategis; atau karena adanya keunggulan pembelajaran (learning advantage) yang bersifat dinamik, yang diperolah dari proses pendidikan, pelatihan, pengalaman dan penelitian; atau kombinasi dari keunggulan statik dan keunggulan pembelajaran (termasuk kearifan tradisional). Jika didasarkan pada pemikiran Gonarsyah (2001) dengan asumsi bahwa sektor unggulan adalah sektor atau sub sektor yang mempunyai tinggkat supply dan demand komoditas tertentu yang tinggi, berorientasi pada pasar ekspor, serta mempunyai penyerapan tenaga kerja yang besar, maka dapat disimpulkan sub sektor perikanan dan
95
perkebunan adalah sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, karena kedua sub sektor ini memiliki tingkat supply demand yang besar, berorientasi ekspor serta mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja yang besar. Sedangkan sub sektor kehutanan memang mempunyai komoditas kayu gelondongan dengan potensi supply demand yang besar tetapi sumber daya ini mempunyai keterbatasan produksi dan resiko terhadap kerusakan lingkungan cukup tinggi, di sisi lain sub sektor ini mempunyai penyerapan tenaga kerja sangat kecil karena diusahakan dengan menggunakan sistem HPHH yang produksinya menggunakan teknologi tinggi atau peralatan mesin dan alat berat. Apabila dilihat dalam perspektif jangka panjang, prospek kedua sub sektor antara sub sektor perikanan dan sub sektor perkebunan di Kepulauan Morotai maka keduanya mempunyai prospek yang sama-sama menjanjikan, karena sama-sama memiliki basis sumberdaya yang besar. Tetapi dalam konteks peranan komoditas pada setiap sub sektor, maka hanya ada komoditas tertentu yang memiliki peranan dominan dalam kedua sub sektor tersebut. Untuk sub sektor perkebunan komoditas kelapa merupakan komoditas yang sangat potensial dan prospektif, sementara untuk sub sektor perikanan komoditas cakalang mempunyai potensi dan prospek yang lebih baik. Walaupun kedua sub sektor tersebut mempunyai peranan yang besar sebagai sektor basis di Kepulauan Morotai, namun barang yang diekspor masih dalam bentuk bahan baku. Pada sub sektor perikanan masih dalam bentuk ikan cakalang segar, dan sub sektor perkebunan masih dalam bentuk kopra (Tabel 18). Dari kondisi tersebut terlihat bahwa sub sektor-sub sektor tersebut walaupun berperanan besar namun belum optimal karena aktivitas ekonominya masih berada pada sektor primer. Untuk itu yang harus dilakukan adalah bagaimana sektor industri (manufacturing) dikembangkan untuk mendukung kedua sub sektor tersebut, sehingga dapat menimbulkan multi player effect yang lebih besar di Kepulauan Morotai sehingga dapat menekan tingkat kebocoran wilayah atau setidaknya dapat menekan aliran nilai tambah ekonomi yang mengalir ke luar dari Kepulauan Morotai, sekaligus dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mengurangi kesenjangan antar wilayah.
96
5.2. Hirarki Perkembangan Wilayah Analisis hirarki perkembangan wilayah di Halmahera Utara dalam penelitian ini dilakukan dalam dua aspek, yang pertama dilakukan analisis terhadap kapasitas pelayanan perikanan tangkap dengan berbasis pada wilayah kecamatan, dan yang kedua analisis pusat pelayanan desa dengan berbasis pada wilayah desa. 5.2.1. Hirarki/kapasitas Pelayanan Perikanan Tangkap Analisis hirarki/kapasitas pelayanan perikanan tangkap di Halmahera Utara di lakukan dengan tujuan untuk menganalisis hirarki dan kapasitas pelayanan perikanan tangkap yang terdapat di Halmahera Utara dengan berbasis pada wilayah kecamatan, sehingga dapat mengetahui di mana pusat-pusat pelayanan perikanan tangkap tersebut. Dalam analisis ini variabel yang dipakai adalah perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), kapal motor (KM), jumlah unit penangkapan, dan keberadaan perusahaan perikanan tangkap. Setelah dilakukan analisis hanya terdapat dua kategori hirarki perkembangan wilayah dalam aspek kapasitas pelayanan perikanan tangkap, yaitu tinggi dan rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa ada ketimpangan yang besar antara kecamatan di Halmahera Utara dalam hal ketersediaan fasilitas perikanan tangkap, hal ini dapat dilihat pada range antara hirarki yang sangat besar yaitu empat koma empat (4.4), sementara total nilai indeks yang diperoleh pada kecamatan-kecamatan mempunyai perbedaan yang sangat besar antara 0.2190 sampai dengan 9.2279. Ketimpangan indeks fasilitas perikanan tangkap yang berbasis pada wilayah kecamatan di Halmahera Utara, disebabkan oleh distribusi fasilitas perikanan tangkap yang tidak merata antar wilayah kecamatan. Padahal dengan karakteristik wilayah Halmahera Utara yang berbentuk pulau-pulau kecil dan pesisir, serta potensi sumberdaya perikanan yang besar semestinya pengelolaan sumberdaya ini harus didukung oleh fasilitas perikanan tangkap yang merata. Mengapa ketimpangan fasilitas bisa terjadi, karena orientasi kegiatan ekonomi sebagian masyarakat di Halmahera Utara masih mempunyai orientasi pada wilayah daratan dengan aktivitas ekonomi pada sub sektor perkebunan, dan hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja yang mempunyai
97
orientasi ekonomi masyarakatnya pada pengelolaan sumberdaya perikanan. Salah satu bukti yaitu dengan tingginya ketersediaan fasilitas perikanan tangkap. Berdasarkan hasil analisis hirarki yang tertinggi terdapat di Kecamatan Morotai Selatan dengan total nilai sebesar sembilan koma dua (9.2), kondisi ini terjadi karena pada wilayah tersebut mempunyai jumlah jenis prasarana dan fasilitas perikanan tangkap yang lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Salah satu fasilitas yang menonjol adalah perusahaan perikanan, perusahaan ini berfungsi sebagai pembeli hasil perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang (cold storage). Perusahaan tersebut adalah PT. Primarefa Indo yang mengekspor komoditas cakalang ke Banyuwangi dan Jakarta. Sedangkan pada wilayah kecamatan yang lain di Halmahera Utara tidak terdapat perusahaan yang menampung hasil perikanan tangkap komoditas cakalang tersebut. Selain variabel perusahaan perikanan, untuk variabel PTM, PMT, KM dan jumlah unit penangkapan, terdapat perbedaan nilai yang relatif kecil artinya fasilitas-fasilitas tersebut mempunyai tingkat penyebaran yang relatif sama di semua kecamatan. Tabel 19. Hirarki/Kapasitas Pelayanan Fasilitas Perikanan Tangkap di Halmahera Utara
PTM
PMT
KM
JUMLAH UNIT PENANGKAPAN
GALELA
0.2599
0.0628
0.0000
0.3379
0.0000
0.6606
Rendah
KAO
0.2975
0.0830
0.0000
0.0941
0.0000
0.4745
Rendah
LOLODA UTARA
0.2077
0.0434
0.0000
0.2161
0.0000
0.4672
Rendah
MALIFUT
0.2300
0.0267
0.0000
0.4800
0.0000
0.7367
Rendah
MOROTAI SELATAN
0.0000
0.0600
0.0084
0.1595
9.0000
9.2279
Tinggi
TYPE PERAHU / KAPAL (unit)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Kecamatan
Perusahaan Perikanan Tangkap
Total
Hirarki
MOROTAI UTARA
0.1117
0.0261
0.0000
0.1160
0.0000
0.2539
Rendah
MORSELBAR
0.1092
0.0174
0.0000
0.0924
0.0000
0.2190
Rendah
TOBELO
0.1013
0.0660
0.0000
0.7360
0.0000
0.9033
Rendah
TOBELO SELATAN
0.1730
0.0430
0.0121
0.1124
0.0000
0.3405
Rendah
Sumber: Diolah dari data Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara 2006. 5.2.2. Desa-Desa Pusat Pelayanan Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pusat-pusat pelayanan di Halmahera Utara pada tingkat desa, sehingga dapat diketahui tingkat/ hirarki perkembangan wilayah. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah data Potensi Desa (Podes) Tahun 2005, dengan variabel-variabel prasarana sosial dan prasarana ekonomi.
98
Hasil analisis skalogram menunjukan ada tiga hirarki pusat pelayanan di Halmahera Utara, yaitu hirarki tinggi, sedang dan rendah. Artinya bahwa dalam perkembangan wilayah di Halmahera Utara ada wilayah yang berfungsi sebagai pusat, ada yang berfungsi sebagai daerah antara (kota menengah) dan ada yang berfungsi sebagai daerah hinterland. Dari 181 desa yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdapat 14 (7.74%) desa yang berhirarki tinggi, 54 (29.83%) desa yang berhirarki sedang, dan 113 (62.43%) desa yang berhirarki rendah. Dari 14 desa berhirarki tinggi terdistribusi di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Tobelo sebanyak 4 desa, Kecamatan Galela terdapat 2 desa, Kecamatan Kao sebanyak 2 desa, Kecamatan Morotai Selatan sebanyak 2 desa dan Kecamatan Morotai Selatan Barat terdapat 4 desa. Empat desa berhirarki tinggi di Kecamatan Tobelo adalah desa-desa yang berada di pusat Kota Tobelo sebagai Ibu Kota Kabupaten Halmahera Utara. Karena berada di pusat kota, desa-desa tersebut mempunyai prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang memadai. Selain itu juga pada Kecamatan Galela dan Kao desa yang mempunyai indeks perkembangan desa tinggi merupakan desa-desa yang berada di pusat ibu kota kecamatan. Untuk wilayah Kepulauan Morotai desa-desa yang berhirarki tinggi terletak di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Morotai Selatan terdapat 2 desa yaitu Desa Daruba dan Desa Gotalamo, sedangkan di Kecamatan Morotai Selatan Barat terdapat 4 desa yaitu Desa Posi-Posi Rao, Desa Leo-Leo, Desa Tiley, dan Desa Lou Mandoro, sehingga secara keseluruhan jumlah desa yang memiliki hirarki tinggi di Kepulauan Morotai berjumlah 6 desa. Berdasarkan pada hasil analisis desa-desa pusat pelayanan (Tabel 20), menunjukan bahwa ke enam desa di Kepulauan Morotai yang memiliki indeks perkembangan desa (IPD) paling tinggi adalah Desa Posi-Posi Rao dengan IPD sebesar 10.954, desa ini terletak di Kecamatan Morotai Selatan Barat dan bukan sebagai pusat pelayanan yang sesungguhnya di Kepulauan Morotai, sementara Desa Daruba yang terletak di Kecamatan Morotai Selatan yang merupakan pusat pelayanan wilayah sesungguhnya di Kepulauan Morotai memiliki nilai IPD sebesar 9.096, atau urutan ke 3 dari 6 desa yang memiliki hirarki tinggi di Kepulauan Morotai. Dengan itu maka pertanyaannya mengapa Desa Posi-Posi Rao memiliki hirarki yang tinggi di bandingkan
99
dengan Desa Daruba, hal ini karena hasil tersebut didasarkan pada teknik pembobotan fasilitas dalam metode skalogram. Namun, jika menggunakan pendekatan jumlah jenis fasilitas dan jumlah unit fasilitas maka sesungguhnya nomor 1 di Kepulauan Morotai adalah Desa Daruba, karena Desa Daruba memiliki Jumlah jenis Fasilitas sebanyak 28 dan Jumlah unit fasilitas sebanyak 116, sedangkan Desa Posi-Posi hanya memiliki jumlah jenis fasilitas sebanyak 13 dan jumlah unit fasilitas sebanyak 95. Dalam konteks ini jumlah jenis fasilitas lebih mempunyai arti penting dalam peranan sebagai pusat pelayanan dari pada jumlah unit fasilitas. Sebagai pusat pelayanan di Kepulauan Morotai, jika ditinjau dari aspek sistem produksi suatu barang dan jasa, Desa Daruba memiliki fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki range of good dan treshold yang cukup tinggi. Ketersediaan fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa di Desa Daruba memiliki range dengan daerah pelayanan yang luas yang mencakup seluruh wilayah Kepulauan Morotai. Kemudian juga Desa Daruba memiliki fasilitas dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki treshold volume penawaran yang besar untuk melayani permintaan akan barang dan jasa di Kepulauan Morotai. Tabel 20. Struktur Pusat-Pusat Pelayanan di Halmahera Utara di Ambil untuk Ranking Tertinggi Hirarki
No
Nama Kecamatan
Nama Desa
IPD
1
2
3
4
5
PERSIAPAN RAWAJA GAMSUNGI PERSIAPAN GOSOMA POSI POSI RAO LEO LEO SOA SIO DARUBA GURA TILEY SASUR GOTALAMO DORO LOU MADORO JERE
27983 27867 14708 10954 10588 10187 9096 8927 8136 7745 7006 6983 6641 6376
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Berdasarkan IPD
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
TOBELO TOBELO TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT MOROTAI SELATAN BARAT GALELA MOROTAI SELATAN TOBELO MOROTAI SELATAN BARAT KAO MOROTAI SELATAN KAO MOROTAI SELATAN BARAT GALELA
Sumber: BPS (diolah) Data Podes Tahun 2005.
100
5.2.3. Arahan Pusat Pelayanan Perikanan di Halmahera Utara Berdasarkan analisis hirarki/ pusat pelayanan perikanan tangkap dan desa-desa pusat pelayanan di Kabupaten Halmahera Utara, yang selanjutnya dilakukan overlay antara kedua analisis wilayah tersebut secara spasial dengan maksud untuk mendapatkan arahan pengembangan pusat pelayanan perikanan tangkap di Halmahera Utara. Dari analisis pusat pelayanan perikanan tangkap hanya terdapat satu wilayah kecamatan yang mempunyai hirarki tinggi yaitu Kecamatan Morotai Selatan. Sedangkan untuk menentukan pusat pelayanan di Kecamatan Morotai Selatan, ditentukan berdasarkan analisis desa pusat pelayanan. Menurut hasil analisis desa-desa pusat pelayanan di Kecamatan Morotai Selatan, desa yang mempunyai hiararki tinggi adalah Desa Daruba dan Desa Gotalamo. Kedua desa ini berada dalam satu kawasan sebagai pusat kota di Kecamatan Morotai Selatan. Hasil analisis ini sangat realistis karena kedua desa tersebut selain sebagai pusat kota di Kepulauan Morotai juga sebagai pusat pelayanan dalam berbagai aktivitas masyarakat. Desa Daruba dan Desa Gotalamo memiliki infrastruktur sosial ekonomi yang cukup lengkap. Selain itu, kawasan ini juga memiliki aksesibilitas kawasan yang sangat tinggi baik ke Ibu Kota Provinsi yaitu Kota Ternate, Ibu Kabupaten yaitu Kota Tobelo dan juga ke Ibu Kota Kecamatan dalam lingkup wilayah Kepulauan Morotai, dengan beberapa moda transportasi diantaranya kapal penyebrangan ferry, pelaran rakyat, dan penerbangan perintis yang menghubungkan Kota Daruba dengan Kota Tobelo (melalui bandara Galela), serta Kota Daruba dengan Kota Ternate. Selain itu juga di Desa Daruba terdapat perusahaan perikanan PT. Primarefa Indo, sebagai satusatunya perusahaan perikanan cakalang yang ada di Kabupaten Halmahera Utara, yang kegiatan utamanya adalah sebagai penampung hasil-hasil perikanan tangkap cakalang dari nelayan di Kepulauan Morotai dan sekitarnya, kemudian komoditas cakalang tersebut diekspor ke Banyuwangi dan Jakarta. Dengan hasil analisis tersebut di atas maka arahan pengembangan pusat perikanan di Halmahera Utara layak di arahkan di Desa Daruba dan Desa Gotalamo Kecamatan Morotai Selatan. Namun mengingat kedua desa ini juga merupakan pusat kota, maka penentuan lokasi harus dipertimbangan dari aspek teknis seperti daya
101
dukung lahan, dampak lingkungan, aspek sosial budaya, aksesibilitas, dan lain sebagainya. 5.3. Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Kepulauan Morotai adalah gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara yang terletak pada wilayah perbatasan antar negara yaitu antara Indonesia dengan Republik Palau di kawasan pasifik. Letaknya tersebut sangat potensial dalam konteks sumberdaya perikanan tangkap, karena wilayah ini dilalui oleh pola arus dari samudra pasifik dan migrasi ikan cakalang dari laut pasifik ke laut Halmahera dan laut Maluku yang melalui perairan Kepulauan Morotai. Menurut hasil penelitian Arifin (2006), menyimpulkan bahwa kepulauan Morotai merupakan daerah penangkapan ikan (DPI) cakalang yang potensial di Laut Maluku. Sehingga walaupun pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kepulauan Morotai sangat beragam yang terdiri dari beberapa komoditas, namun yang paling dominan adalah usaha perikanan tangkap komoditas cakalang. Usaha ini dikatakan dominan karena disetiap desa nelayan di Kepulauan Morotai usaha perikanannya adalah usaha perikanan tangkap cakalang dan usahanya sudah berorientasi ke pasar regional/ antar pulau. Kegiatan penangkapan cakalang di perairan Kepulauan Morotai merupakan salah satu usaha andalan masyarakat nelayan di Kepulauan Morotai, selain karena di perairan tersebut mempunyai potensi komoditas cakalang yang besar, usaha ini juga sudah menjadi tradisi masyarakat di Kepulauan Morotai, namun sampai saat ini pemanfaatannya belum optimal karena ada kelemahan kelembagaan yang mengelolah sumberdaya tersebut. Kondisi ini berdampak pada beberapa keterbatasan seperti modal usaha yang kecil, peralatan penangkapan yang masih tradisional, armada penangkapan yang kecil, jumlah hari trip yang kecil dan lemahnya manajemen usaha. Penangkapan ikan cakalang di Kepulaun Morotai dilakukan pada wilayah tanpa alat rumpon dan wilayah yang mempunyai alat rumpon, namun lebih banyak nelayan melakukan penangkapan di wilayah yang mempunyai alat rumpon, dengan jarak penangkapan antara 3 sampai dengan 12 mil laut. Umumnya nelayan perikanan tangkap cakalang di Kepulauan Morotai menggunakan alat tangkap huhate (pole and line), dan pancing ulur (hand line) dengan armada perahu kayu dengan ukuran/kapasitas kecil
102
sampai dengan perahu yang berkapasitas 5 ton, armada-armada tersebut ada yang menggunakan mesin ketinting dan diesel TS yang dimodifikasi untuk armada perikanan dengan jumlah ABK antara 2-3 orang, serta armada besar yang menggunakan Motor Tempel Yamaha enduro 40 PK dan mesin dalam dengan jumlah ABK antara 8 sampai dengan 12 orang. Dengan pemanfaatan perikanan tangkap yang disampaikan di atas hasil yang diperoleh masih belum optimal karena rata-rata jumlah ikan yang ditangkap untuk nelayan yang menggunakan armada kecil sebesar 69,78 kg per trip dan untuk armada besar rata-rata dalam satu kali trip sebesar 411,67 kg. Ada beberapa kendala yang menyebabkan nelayan di Kepulauan Morotai mempunyai hasil tangkapan yang kecil antara lain, Pertama; tingginya harga BBM merupakan salah satu kendala yang sangat dirasakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai. Dengan tipologi wilayah kepulauan dan aksesibilitas antar desa yang rendah menyebabkan harga BBM antara desa satu dengan desa yang lainnya sangat berbeda, kisaran harga BBM di Kepulauan Morotai antara Rp. 5500/lt sampai dengan Rp. 7000/lt. Kedua; rendahnya harga ikan. Ketiga; banyaknya nelayan asing yang melakukan penangkapan di wilayah perairan Kepulauan Morotai. Ada nelayan asing yang mempunyai izin operasi di daerah lain seperti di Sulawesi Utara, ada yang memang tanpa izin sama sekali yang berasal dari negara Fhilipina dan Taiwan. 5.3.1. Aspek Biologi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang Data pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang dalam analisis ini dibuat dalam 6 titik waktu mulai dari tahun 1999 – 2004. Selama periode 1999 sampai dengan 2004, hasil tangkapan atau produksi (catch) dan hasil per unit penangkapan (CPUE) perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai untuk alat tangkap Pole and Line dan Hand Line berfluktuasi seperti terlihat pada Tabel 21. Dari Tabel 21, menunjukan bahwa hasil tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2004 yaitu sebesar 810 ton dengan intensitas penangkapan 2.642 trip, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2000 dengan produksi sebesar 350 ton dan upaya penangkapan sebesar 958 trip. Sementara itu fluktuasi pertumbuhan produksi (catch) tertinggi terdapat pada tahun 2001 yaitu sebesar 105.71% dan fluktuasi terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu -46.15%.
103
Tabel 21. Fluktuasi Catch, Effort dan CPUE Cakalang selama periode 1999 – 2004 di Kepulauan Morotai. Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Total Hasil Tangkapan Kg 650000 350000 720000 550000 670000 810000
Upaya Penangkapan Baku (Trip) Pole and Line
Hand Line
1698 912 2210 1553 1843 2408
82.16 46.56 130.00 121.80 164.82 234.01
Total Effort Trip (X) 1780.16 958.56 2340.00 1674.80 2007.82 2642.01
CPUE Kg/Trip (Y) 365.14 365.13 307.69 328.40 333.70 306.59
Sumber: Diolah dari Data Produksi PT. Primarefa Indo Morotai 2006 Upaya penangkapan (effort) juga mengalami fluktuasi selama kurun waktu 1999 – 2004. Selama 6 titik waktu tersebut, pada tahun 2001 terjadi kenaikan upaya penangkapan (effort) yang tertinggi, yaitu sebesar 144.12%. Sedangkan penurunan effort yang terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu mencapai -46.15%. Penurunan upaya penangkapan (effort) pada tahun 2000 disebabkan oleh dampak konflik yang terjadi pada bulan Desember tahun 1999. Nilai Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan jumlah tangkapan per satuan upaya penangkapan. Nilai CPUE mempunyai hubungan yang negatif terhadap nilai effort, artinya semakin tinggi nilai effort maka nilai CPUE semakin berkurang atau produktivitas alat tangkap yang digunakan akan berkurang jika dilakukan penambahan effort. Berdasarkan hasil olahan data yang diperoleh dari PT. Primareva Indo Morotai nilai CPUE tertinggi dalam kurung waktu 1999 – 2004 terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 6.73%. Nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar -15.73%, hal ini terjadi karena pada tahun tersebut terjadi peningkatan effort seiring dengan kondisi keamanan pasca konflik yang mulai kondusif. 5.3.2. Fungsi Produksi Lestari Komoditas Cakalang Fungsi produksi lestari (maximum sustainable yield) merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Pendekatan dengan menggunakan fungsi produksi ini menggambarkan bahwa jika effort dinaikkan maka produksi juga akan naik dengan kecepatan yang menurun. Menurut Schaefer dalam Fauzi (2001), dengan menggunakan
104
metode analisis regresi linier antara upaya penangkapan (E) sebagai variabel independent (X) dan CPUE sebagai variabel dipendent (Y) akan diperoleh koefisien regresi α dan β yang merupakan penduga fungsi produksi lestari perikanan khususnya komoditas Cakalang dengan persamaan h = αE – βE2 di mana h adalah hasil tangkapan (kg) sedangkan E adalah tingkat upaya penangkapan (trip). Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode regresi linier (ols), menunjukan nilai koefisien regresi α = 405.39 dan β = -0.0373, sehingga persamaan fungsi produksi lestari perikanan komoditas Cakalang di Kepulauan Morotai adalah h = 405.39E – 0.03731E2. Berdasarkan persamaan tersebut maka tingkat upaya penangkapan untuk mencapai produksi maksimum lestari (Emsy) sebanyak 5.434,18 trip dan menghasilkan tingkat produksi maksimum (hmsy) sebesar 1.101.481,58 kg/trip/tahun. Dengan demikian kondisi pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai belum melampaui batas maksimum lestari karena secara aktual effort baru mencapai 2.642,01 trip dengan produksi sebesar 810.000 kg/trip/tahun. 5.3.3. Aspek Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya perikanan Cakalang Aspek utama dalam penelitian ini adalah terkait dengan struktur biaya dari usaha perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang. Struktur biaya ini diperoleh dari data primer melalui wawancara langsung dengan responden. Struktur biaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai dikategorikan dalam bentuk:
(1)
biaya tetap (fixed cost) yang meliputi biaya penyusutan beserta material penunjangnya, biaya perawatan, perizinan, dan lain-lainnya yang bersifat tetap setiap tahun; dan (2) biaya tidak tetap (variable cost) yang besarnya selalu berfluktuasi dan habis dipakai pada setiap operasi penangkapan, seperti biaya bahan bakar minyak (BBM dan pelumas), serta biaya konsumsi. Pembahasan mengenai struktur biaya penangkapan adalah dengan merujuk pada model bioekonomi Gordon-Schaefer yang mengasumsikan bahwa hanya biaya penangkapan (operasional) yang akan diperhitungkan. Biaya penangkapan tersebut dapat diartikan sebagai biaya tidak tetap (variable cost) yang dikeluarkan setiap trip penangkapan ikan. Dari struktur biaya ini diperoleh biaya per unit upaya yang
105
diperlukan bagi analisis rente ekonomi dari sumber daya di wilayah penelitian, dimana diketahui bahwa biaya rata-rata setiap trip penangkapan ikan dengan alat tangkap pole and line dan hand line adalah sebesar Rp. 450.000. Sesuai dengan asumsi yang dianut dalam model Gordon-Schaefer, harga persatuan output (produksi) adalah konstan. Harga produksi dihitung berdasarkan ratarata harga jual tangkapan responden pada waktu penelitian dilaksanakan. Harga jual ikan cakalang menurut responden berkisar antara Rp. 2500 sampai dengan Rp. 3.500 dengan harga rata-rata (p) sebesar Rp. 3000 per kg.
TC
MSY msy MEY mey
aktual
oa
TR
Gambar 6. Kurva Penerimaan Total dan Biaya Total 5.3.4. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Komoditas Cakalang Kajian optimasi pemanfaatan sumber daya perikanan laut secara lestari baik dari aspek biologi maupun ekonomi dalam penelitian ini bioekonomi model GordonSchaefer yang bertitik tolak pada pendekatan faktor input. Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya perikanan melalui pendekatan bioekonomik dilakukan melalui pendekatan analitik. Hasil olahan optimasi bioekonomi pada berbagai kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai selama periode 1999 – 2004 dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini.
106
Tabel 22. Optimasi Bioekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai selama periode 1999 – 2004 Variabel Upaya Penangkapan (Effort) Hasil Tangkapan (Kg) Rente Ekonomi (Rp)
Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Aktual Lestari (MSY) Open Access Optimasi (MEY) 2.642,01 5.434,18 6.846,92 3.423,46 810.000 1.101.481,58 1.027.037,53 950.667,29 1.241.095.500 859.062.712 0 1.311.475.579
Sumber: Analisis Bioekonomi 2006 Kondisi Aktual dan Lestari Upaya penangkapan atau effort pada kondisi aktual yang digunakan nelayan adalah sebesar 2.642 trip/tahun dengan catch sebesar 810.000 kg, sedangkan pada kondisi lestari effortnya sebesar 5.434,18 trip/tahun dengan volume hasil tangkapan sebesar 1.101.481,58 kg , hal ini membuktikan bahwa pada kondisi lestari jumlah effort yang digunakan melebihi dari kondisi aktual sehingga hasil tangkapannya juga lebih tinggi dari kondisi aktual tersebut. Demandan effort yang besar tersebut berimplikasi pada besar biaya operasional yang harus dikeluarkan, sehingga rente ekonomi yang diperoleh para nelayan pada kondisi lestari setiap tahun sebesar Rp. 859.062.712,sementara pada kondisi aktual sebesar Rp. 1.241.095.500,Dengan keuntungan yang diperoleh tersebut nelayan perikanan cakalang akan cenderung melakukan eksploitasi sumberdaya perikanan. Apabila eksploitasi dilakukan terus menerus tanpa memikirkan aspek konservasi maupun kelestarian stok sumberdaya berserta lingkungan perairannya, akan berakibat punahnya semberdaya tersebut sehingga dengan cepat merangsang terjadinya kepunahan. Implikasi proses pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan tersebut adalah adanya kelangkaan sumberdaya (resources scarcity). Kondisi tersebut tergambar dari meningkatnya harga komoditas, serta biaya ekstraksi (cost) yang diperlukan. Kondisi tersebut perlu dicegah, karena berdampak pada proses penurunan sumberdaya (resources depletion), sementara dari sisi konsumen juga mengalami kerugian karena tingginya harga produk. Jika dibandingkan dengan kondisi aktual, jumlah upaya penangkapan (effort) dan hasilnya (catch), maka pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkapan komoditas cakalang secara aktual di Kepulauan Morotai masih berada jauh pada titik hasil tangkapan lestari. Hal ini disebabkan karena peralatan penangkapan yang digunakan di Kepulauan Morotai masih dalam skala kecil baik kapasitas maupun tingkat teknologinya.
107
Kondisi Akses Terbuka Teori ekonomi menyangkut perikanan open access atau common property telah dikembangkan oleh Gordon sejak tahun 1954. Open access didefinisikan dengan seseorang atau pelaku perikanan yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau dengan kata lain setiap orang dapat memanen sumberdaya tersebut (Clark, 1990). Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terjadi selama ini pada umumnya bersifat akses terbuka, tidak terkecuali hal ini juga terjadi di wilayah perairan Kepulauan Morotai. Kondisi open access ini memungkinkan semua pihak dengan bebas melakukan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan (every one’s property is no one’s property), namun sedikit dari mereka yang memperhatikan pemulihan atau konservasi dari sumberdaya tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya kepemilikan yang jelas dari sumberdaya perikanan tangkap. Di samping itu, tidak terdapat regulasi yang jelas seperti adanya pembatasan kuota dalam mengeksploitasi sumberdaya tersebut, sehingga para pelaku cenderung memaksimalkan hasil tangkapannya dengan meningkatkan upaya penangkapan guna memperoleh keuntungan yang lebih besar, karena menurut hukum permintaan dan penawaran, jika terjadi over supply maka akan terjadi penurunan harga, hal ini akan diikuti dengan peningkatan permintaan konsumen terhadap komoditas tersebut. Kondisi ini akan berpengaruh pada penurunan jumlah stok sumberdaya perikanan dan pada gilirannya dapat mengancam keberlanjutan komoditas dan pelaku usaha tersebut. Jika diasumsikan tingkat teknologi dan efisiensi usaha para nelayan pemanfaatan perikanan adalah sama, jika telah melampaui tingkat keseimbangan open access, keuntungan yang diperoleh nelayan mencapai titik maksimum (π = 0), sebaliknya jika teknologi dan efisiensi usaha heterogen, maka terjadi persaingan usaha penangkapan sehingga hanya nelayan dengan teknologi dan efisiensi usaha yang tinggi yang akan “survive” dan memperoleh keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sedangkan nelayan kecil pasti tersisih dari usaha perikana tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 22 di atas, hasil optimasi data dapat diketahui bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di perairan Kepulauan Morotai pada kondisi open access memperlihatkan bahwa tingkat effort yang digunakan para nelayan sebesar 6.846,92 trip per tahun, dengan hasil tangkapan
108
sebesar 1.027.037,53 kg per tahun di mana keuntungan yang diterima sama dengan nol (TR = TC). Dengan demikian, situasi yang terjadi pada kondisi tersebut akan merujuk pada dua argumen sebagai berikut : (1) Jika upaya penagkapan yang digunakan menghasilkan suatu keadaan dimana total cost lebih tinggi dari total revenue maka nelayan akan kehilangan penerimaannya dalam mengambil sumberdaya perikanan atau akan keluar dari usaha tersebut. (2) Jika upaya penangkapan yang digunakan menghasilkan suatu keadaan dimana total revenue yang diterima lebih besar dari total cost, maka nelayan akan
tertarik
untuk
melakukan
eksploitasi
dengan
meningkatkan
upaya
penangkapannya. Kondisi Optimal (Maximum Economic Yield) Kondisi optimum atau maximum economic yield (MEY) berperan penting dalam penentuan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari baik dari aspek biologi maupun aspek ekonomi. Hasil perhitungan optimasi perikanan menunjukan bahwa baik effort maupun hasil tangkapan pada kondisi optimal lebih rendah dari kondisi lestari maupun open access, yakni effort sebesar 3.423,46 trip/tahun, sedangkan produksi sebesar 950.667,29/tahun. Namun dilihat dari nilai rente ekonomi pada kondisi MEY justru mempunyai nilai keuntungan tertinggi terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di Kepulauan Morotai yaitu sebesar Rp. 1.311.475.579,5.3.5. Sensitivitas Sumberdaya perikanan Cakalang Analisis sensitivitas pemanfaaatn sumberdaya cakalang dikembangkan untuk melihat perubahan yang akan terjadi pada harga jika terjadi kenaikan maupun penurunan. Dalam analisis sensitivitas ini dilakukan perubahan hanya pada faktor ekonomis yakni perubahan harga dalam hal ini harga input (biaya operasional per trip) dan harga output (harga ikan) terhadap peningkatan upaya penangkapan dan produksi pada kondisi open access. Hal ini dikarenakan harga merupakan faktor yang dinamis yang selalu mengalami pergerakan, selain itu untuk mengatasi keterbatasan data sekunder yang meliputi produksi perikanan tangkap laut, jumlah alat tangkap dan harga hasil tangkapan per tahun maka disusunlah skenario kenaikan dan penurunannya.
109
Kenaikan dan penurunan tersebut akan dibandingkan dengan kondisi awal upaya penangkapan dan hasil sumberdaya perikanan pada kondisi open access. Tabel 23. Skenario Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. No. Skenario 1 Kondisi awal 2 Harga Ikan Naik 10 % 3 Harga Ikan Naik 20 % 4 Harga Ikan Turun 10 % 5 Harga Ikan Turun 20 % 6 Harga Input Naik 10 % 7 Harga input Turun 10 % 8 Harga input Naik 10 % Ikan naik 10 % 9 Harga Input Naik 10 % Ikan Turun 10 % 10 Harga Input Turun 10 % Ikan Naik 10 % 11 Harga Input Turun 10 % Ikan turun 10 % 12 Harga Input Naik 10 % Ikan Naik 20 % 13 Harga Input Naik 10 % Ikan Turun 20 % 14 Harga Input Turun 10 % Ikan Naik 20 % 15 Harga Input turun 10 % Ikan Turun 20 % Sumber: Hasil Olahan Data, 2006.
Eoa
Hoa
6.846,92 7.212,50 7.517,16 6.400,09 5.841,55 6.444,77 7.249,06 6.846,92 5.953,26 7.578,09 6.846,92 7.182,04 5.338,87 7.852,28 6.344,24
1.027.037,53 983.523,14 939.644,77 1.066.681,56 1.095.291,55 1.063.387,40 978.623,32 1.027.037,53 1.091.431,33 930.038,22 1.027.037,53 987.530,16 1.101.142,76 883.381,37 1.070.589,81
Dari Tebel 23 menunjukkan bahwa secara umum jika terjadi kenaikan maupun penurunan harga ikan maka kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang akan mengalami kenaikan maupun penurunan jumlah upaya penangkapan dan hasil tangkapan pada kondisi open access. Hal tersebut terjadi karena pada kondisi open access nelayan akan berusaha mencari hasil tangkapan sebesar-besarnya dengan meningkatkan upaya penangkapannya. Sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan maka nelayan akan mengurangi aktivitas penangkapan di laut. Pada sisi lain jika terjadi peningkatan harga input maka biaya operasional penangkapan akan meningkat sehingga aktivitas penangkapan akan mengalami penurunan, sedangkan jika harga input turun maka nelayan akan meningkatkan upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Berdasar hasil penelitian skenario optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalnag di Kepulauan Morotai Halmahera Utara menunjukkan bahwa peningkatan upaya penangkapan tertinggi terjadi pada kondisi harga input turun 10 % harga ikan naik 20 %. Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi harga diatas dapat meningkatkan
110
upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan atau pelaku perikanan. Fenomena tersebut menggambarkan para nelayan atau pelaku perikanan akan terus berlombalomba untuk meningkatkan upaya penangkapan dalam memperoleh rente ekonomi. Di sisi lainnya, di perairan Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat rentan terhadap kegiatan illegal fishing karena banyaknya armada perahu nelayan asing dari Fhillipina dan Taiwan yang beroperasi di wilayah tersebut. Dalam konteks inilah tantangan mendasar dalam pengelolaan perikanan cakalang di wilayah Kepulauan Morotai yaitu bagaimana suatu kebijakan penetapan harga, baik harga input maupun harga output, kemudian pengaturan regulasi dan kerjasama antar negara dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang sehingga dapat menunjang pembangunan ekonomi wilayah di Kepulauan Morotai dan tercipta kegiatan pembangunan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan sehingga pembangunan ekonomi di wilayah Kepulauan Morotai dapat berlangsung secara berkesinambungan. Berkaitan dengan skenario perubahan harga input dan output, para pengambil kebijakan selalu dihadapkan pada pertanyaan bagaimana dampak dari terjadinya kenaikan harga output sebesar 20 % dan penurunan harga input sebesar 10 % terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat open access. Dari hasil analisis skenario di atas, menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan harga output 20 % dan penurunan harga input 10 %, maka sangat dikhawatirkan kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan seperti itu akan mengalami misalokasi sumberdaya perikanan, sementara hasil tangkapan yang diperoleh sangat kecil.
Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa instrumen kebijakan tersebut tidak layak diterapkan karena dapat menyebabkan semakin meningkatnya upaya penangkapan terutama bagi nelayan yang bermodal besar dengan tingkat teknologi yang lebih canggih, yang berbuntut terhadap rusaknya kualitas lingkungan pesisir dan mengancam keberlanjutan pembangunan wilayah. Sedangkan upaya penangkapan terendah terjadi pada kondisi harga ikan turun 20 % dan harga input naik 10 %. Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan yang diterapkan pada dua kondisi di atas akan menurunkan upaya penangkapan, akan tetapi dari sisi hasil tangkapan justru mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena dengan penurunan harga ikan 20 % dan kombinasi harga input naik 10 % akan
111
meningkatkan biaya operasional dan juga dengan turunnya harga ikan maka tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan akan semakin berkurang. Disamping itu, penetapan harga tersebut justru memberikan dampak positif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap karena aktivitas penangkapan semakin berkurang sedangkan rente ekonomi yang diperoleh mengalami peningkatan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap diatas secara umum lebih sesuai untuk diusahakan dan dikembangkan karena lebih menjamin keberkelanjutan sumberdaya alam dan secara khusus dapat mengurangi tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan yang berlebihan, mencegah timbulnya misalocation sumberdaya serta pengurasan sumberdaya yang tidak efisien. Berkaitan dengan kajian di atas, instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan sektor perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara yakni dengan memadukan kebijakan harga output dan harga input produksi. Instrumen kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang patut dipertimbangkan dalam kaitan dengan permasalahan ini yakni kebijakan yang mengarah pada pengurangan output maupun input yang berlebihan. Salah satu cara konvensional yang umum digunakan untuk mengurangi output produksi yaitu dengan menerapkan sistem quota dan limited entry pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap seperti pembatasan jumlah kapal maupun alat tangkap yang beroperasi dalam suatu perairan maupun jumlah trip penangkapan, sedangkan untuk harga input yaitu dengan penetapan pajak. Strategi lainnya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kelebihan faktor output dan input produksi adalah dengan mengembangkan potensi ekonomi wilayah di Kepulauan Morotai di luar sektor perikanan, sehingga surplus tenaga kerja dapat diserap dengan melalui mobilisasi vertikal dan horizontal tenaga kerja. Selain itu, menurut Fauzi (2000b) strategi konservasi dengan mengembangkan Marine Protected Area (MPA) yang mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dapat dijadikan pilihan karena sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi dalam jangka panjang dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan nelayan secara komprehensif. 5.4. Kelembagaan Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Menurut Rustiadi et al. (2005), penguasaan dan pengelolaan sumberdaya sangat ditentukan oleh sistem kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat. Sistem nilai yang
112
berlaku dalam suatu kelompok masyarakat, dapat menentukan pembagian tanah atau lahan bagi anggota masyarakat. Kelembagaan (institution), sebagai kumpulan aturan main (rules of the game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur Demandan/ alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Dalam penelitian ini kelembagaan perikanan yang menjadi kajian adalah kelembagaan pemerintah, pengusaha dan nelayan dalam usaha pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 5.4.1. Kondisi Kelembagaan Perikanan Pemerintah Daerah Sejak tahun 2003 Kabupaten Halmahera Utara dibentuk melalui pemekaran wilayah dari Kabupaten Maluku Utara, sedangkan pembentukan Dinas Perikanan dan Kelautan dibentuk pada tahun 2004 yang berkedudukan di Tobelo sebagai Ibu Kota Kabupaten. Namun kondisi kelembagaan perikanan pemerintah daerah di Kepulauan Morotai sama dengan kondisi sebelum pemekaran yaitu hanya berbentuk petugas perikanan. Dinas perikanan di kabupaten memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai dinas teknis daerah yang melaksanakan program-program di bidang perikanan di Halmahera Utara, terutama sebagai fasilitator dan regulator, pembinaan dan penyuluhan serta bantuan prasarana dan sarana serta modal usaha. Sedangkan fungsi Petugas perikanan di tingkat kecamatan yaitu melakukan pendataan potensi perikanan, inventarisasi masalahmasalah perikanan, pendataan produksi nelayan dan pengusaha, pembinaan dan penyuluhan serta penarikan retribusi. Dari tugas dan fungsi Dinas Perikanan di atas, dilakukan melalui program pembangunan dan program pembangunan yang direalisasikan adalah program pengembangan perikanan tangkap dan budi daya, program pengembangan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, serta program pengembangan pengawasan berbasis masyarakat. Namun ada program-program yang belum terrealisasi adalah pengembangan prasarana dan sara perikanan. Sedangkan realisasi petugas perikanan di kecamatan yaitu pendataan potensi perikanan, inventarisasi masalah-masalah perikanan, pendataan produksi nelayan dan pengusaha serta penarikan retribusi, sementara yang belum terealisasi adalah kegiatan pembinaan dan penyuluhan.
113
Implikasi dari pelaksanaan program dibidang perikanan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara adalah tersedianya sarana perikanan tangkap serta modal usaha bagi nelayan, namun sarana dan modal yang diberikan masih sangat terbatas baik jumlah maupun mutunya. Program yang dilakukan jika dilihat dalam jangka panjang tidak mempunyai prospek yang bagus karena pragram selalu dalam bentuk bantuan sarana dan modal usaha (fisik/finansial) perikanan, sementara penyiapan sumberdaya, ketrampilan dan kelembagaan perikanan nelayan tidak dilaksanakan. Apalagi program bantuan sarana dan modal yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan. Dalam upaya untuk mengelolah sumberdaya perikanan cakalang yang ada di pulau-pulau kecil, pemerintah daerah Halmahera Utara selama ini hanya bersandar pada aturan-aturan secara nasional, baik Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah, hal ini karena selama ini pemerintah daerah baik sebelum pemekaran dan setelah pemekaran belum memiliki peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya perikanan. 5.4.2. Kondisi Kelembagaan Pengusaha dalam bidang Perikanan Cakalang Pengusaha yang melakukan investasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan komoditas cakalang di Kepulauan Morotai saat ini hanya terdapat satu perusahaan yaitu PT. Primareva Indo. Perusahaan ini mulai beroperasi pada akhir tahun 1997 sebagai perusahaan pengumpul dan pengawetan (cold storage). PT. Primareva Indo tidak memiliki armada sendiri tetapi hanya melakukan kegiatan pembelian hasil tangkapan nelayan (sebagai penampung ikan cakalang segar) kemudian hasilnya diekspor ke Banyuwangi dan Jakarta. Karena hanya terdapat satu perusahaan maka organisasi antar perusahaan jelas tidak ada. Kelembagaan yang ada hanya mengatur secara internal perusahaan dalam pemanfaatan komoditas cakalang. Hubungan Perusahaan dengan nelayan di Kepulauan Morotai melalui dua pola yaitu dengan sistem kemitraan dan bukan kemitraan. Nelayan yang mempunyai kemitraan akan mendapat bantuan prasarana dan sarana penangkapan dari perusahaan namun nelayan tersebut mempunyai kewajiban menjual hasil tangkapannya kepada perusahaan. Sedangkan nelayan yang tidak bermitra tentu tidak
114
mendapat fasilitas dari perusahaan dan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk perusahaan. Dengan hanya terdapat satu perusahan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai menciptakan kondisi pasar cakalang menjadi pasar monopoli. Karena hanya terdapat satu pembeli maka harga ikan hanya ditentukan oleh perusahaan. Kondisi ini jelas merugikan nelayan yang tidak melakukan kemitraan karena pada satu sisi mereka tidak mendapat bantuan prasarana dan sarana tangkapan, pada sisi yang lain mereka terpaksa harus menjual hasil tangkapan mereka kepada perusahaan PT. Primareva Indo karena pasar komoditas cakalang yang masih terbatas. Selain hanya terdapat satu perusahaan pengumpul atau pembeli hasil tangkapan, pihak sawasta seperti perbankan dan koperasi juga belum terlihat pernannya dalam pengembangan pemanfaatan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai. Di kepulauan ini hanya terdapat satu Bank yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Daruba. Menurut hasil wawancara dengan pihak perbankan BRI unit Daruba, kurang berperannya perbankan dalam pemanfaatan perikanan cakalang di Kepulauan Morotai karena pengorganisasian nelayan baik kelompok nelayan maupun koperasi nelayan di Kepulauan Morotai belum terbentuk sehingga kemitraan dan pembinaan terhadap nelayan dalam penyaluran kredit usaha mengalami kendala. 5.4.3. Kondisi Kelembagaan Nelayan Perikanan Cakalang Nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara adalah nelayan perikanan tangkap dan hanya terdapat sebagian kecil nelayan budidaya rumput laut dan kerapu hidup. Komoditas cakalang menjadi jenis ikan yang paling banyak dimanfaatkan oleh nelayan perikanan tangkap di Kepulauan Morotai. Prasarana dan sarana nelayan cakalang masih tradisional. Dengan peralatan tangkap yang terbatas sehingga jumlah hari trip nelayan cakalang di Kepulauan Morotai hanya one day trip. Dari aspek peralatan penangkapan, nelayan cakalang di Kepulauan Morotai mempunyai dua peralatan yaitu hand line dengan armada kecil yang jumlah ABK antara 2 - 4 orang dan pole and line dengan armada besar yang mempunyai ABK antara 7 – 12 orang. Umumnya nelayan cakalang di Kepulauan Morotai belum terorganisir dengan baik, yang ada hanya pengorganisasian secara internal dalam satu armada penangkapan.
115
Secara internal dalam satu armada aturan-aturan yang mengatur hubungan antara pemilik kapal, juragan dan ABK umumnya sangat jelas, apakah tentang pembagian tugas antar ABK saat melaut maupun pembagian hasil penangkapan (kelembagaan bagi hasil). Usaha perikanan cakalang umumnya dimiliki oleh usaha perorangan dan hanya beberapa unit usaha saja yang menjadi milik orang lain/ pengusaha yang diusahakan oleh nelayan. Sistem pembagian hasil umumnya dibagi dua yaitu 50 % dari hasil tangkapan untuk pemilik perahu dan 50% untuk ABK, pembagian ini dilakukan setelah mengurangi biaya BBM dan operasional lainnya. Nelayan cakalang di Kepulauan Morotai sebagian besar tidak mempunyai hubungan kemitraan dengan pengusaha/ perusahaan (kelembagaan hubungan kerja). Kondisi ini tercipta karena sebagian besar nelayan tidak terorganisir dengan baik. Namun nelayan cakalang di Desa Sangowo berbeda dengan desa-desa lainnya, mereka terhimpun dalam tiga kelompok nelayan yaitu kelompok nelayan Bahari Mandiri, Tuna Abadi dan Bubu Guraci. Kelompok- kelompok nelayan ini sudah terorganisir dengan baik, mereka mempunyai badan pengurus dan aturan-aturan organisasi (AD/ART). Dengan kondisi seperti itu hak dan kewajiban anggota secara organisasi telah diatur dengan baik untuk mensejahterakan anggotanya. Walaupun nelayan Desa Sangowo memiliki kelembagaan yang baik namun mereka memiliki armada penangkapan yang umumnya berukuran kecil dengan mesin ketinting yang berkapasitas 5 PK, dengan jumlah ABK hanya 2 orang per armada. Dengan kondisi yang terorganisir tersebut nelayan di Desa Sangowo melakukan kemitraan dengan PT. Primareva Indo, sehingga dengan kemitraan ini nelayan dapat merasakan kepastian pasar walaupun harga yang dibeli kadang-kadang tidak sesuai dengan harga ikan di pasar lokal, namun mereka mempunyai kepastian harga dan pasar yang lebih baik dari yang tidak bermitra. Berdasarkan penelitian ini, kelembagaan nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara selain tidak memiliki kelompok nelayan yang memadai, nelayan di Kepulauan Morotai juga tidak memiliki organisasi atau usaha-usaha dagang atau koperasi. Kondisi ini sangat menyulitkan bagi pemerintah daerah maupun pengusaha dalam melakukan pembinaan, penyuluhan dan kemitraan. Di sisi lain, kondisi
116
kelembagaan nelayan ini akan memperlemah nilai tawar nelayan itu sendiri terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah maupun perusahaan atau kondisi pasar. 5.4.4. Analisis Interaksi antar Unsur Lembaga Perikanan Cakalang. Dalam analisis interaksi antar unsur lembaga yang memanfaatkan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan terlebihdahulu melihat fungsi dan peranan masing-masing lembaga kemudian dilanjutkan dengan analisis pola interaksi antar lembaga tersebut. Berdasarkan Tabel 24 menunjukan bahwa fungsi dan peran dari masing-masing unsur lembaga belum terrealisasi dengan baik. Dari fungsi dan peranan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif kemudian di ranking dalam tiga kategori yaitu fungsi dan peranan yang baik, cukup dan kurang. Tabel 24. Fungsi dan Peranan Unsur Lembaga Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Unsur Lembaga Fungsi dan Peranan Realisasi Permasalahan Pemerintah Daerah
Pengusaha
Nelayan
1. Sebagai Fasilitator dan Regulator. 2. Melakukan Pembinaan dan Penyuluhan.
1. Cukup
3. Memberikan Bantuan Modal kepada nelayan. 1. Melakukan Kemitraan dengan nelayan 2. Melakukan Kemitraan Pemda.
3. Kurang
1. Melakukan pembinaan kepada Angt. Nelayan. 2. Melakukan Kemitraan dengan Pengusaha. 3. Melakukan Kemitraan dengan Pemda.
1. Kurang
2. Kurang
1. Kurang 2. Kurang
2. Kurang
1.Keterbatasan Biaya dan waktu. 2.Keterbatasan Biaya dan Tenaga Pegawai/Penyuluh. 3.Sarana dan modal tidak sesuai kebutuhan 1.Nelayan tdk Terorganisir 2.Pemahaman yang terbatas dari Pemda. 1.Nelayan tdk terorganisir
3. Cukup
Sumber: Diolah dari data primer 2006.
117
Unsur lembaga pemerintah daerah mempunyai fungsi dan peranan sebagai fasilitator dan regulator, pembinaan dan penyuluhan, serta memberikan bantuan berupa sarana dan modal dalam usaha perikanan tangkap. Dari fungsi dan peranan tersebut realisasinya untuk fungsi fasilitator dan regulator berada dalam kategori cukup, sedangkan pembinaan dan penyuluhan serta bantuan modal realisasinya masih terasa kurang. Hal ini karena dalam realisasi fungsi-fungsi tersebut terdapat kendala-kendala yaitu keterbatasan biaya dan waktu, tenaga lapangan/penyuluh, dan ketidaksesuaian bantuan modal yang dibutuhkan oleh nelayan. Sedangkan unsur lembaga pengusaha fungsi dan peranannya adalah melakukan kemitraan dengan nelayan dan pemerintah daerah, dari kedua fungsi tersebut menunjukan hasil yang masih kurang. Hal ini terjadi karena terdapat kendala-kendala seperti tidak terorganisirnya kelompok nelayan serta kurang pemahaman dari pemerintah daerah dalam upaya memberikan dukungan kepada pengusaha dalam membangun kemitraan antara pengusaha dan nelayan. Selanjutnya unsur lembaga nelayan fungsi dan peranannya adalah melakukan pembinaan ketrampilan dan manajemen usaha kepada anggota kelompok (nelayan), dan melakukan kemitraan dengan pengusaha dan pemerintah daerah, dari fungsi tersebut realisasinya sangat kurang karena sebagian besar desa-desa nelayan belum terdapat organisasi nelayan yang telah berfungsi dengan baik. Hubungan antara ketiga unsur kelembagan perikanan yaitu pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan (kelompok nelayan) harus mempunyai suatu hubungan yang sinergis dan menguntungkan secara sosial ekonomi. Untuk mencapai kondisi tersebut perlu kesiapan-kesiapan dari ketiga unsur kelembagaan perikanan dalam meciptakan suatu kondisi kelembagaan yang sinergi, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan usaha perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halamahera Utara. Pada Tabel 25 menunjukan hubungan antara unsur lembaga pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Tabel 25 menunjukan bahwa interaksi antara unsur-unsur lembaga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang belum mempunyai pola hubungan yang saling mendukung. Hal ini terjadi karena ketiga unsur tersebut belum mempunyai persepsi dan komitmen yang sama dalam pemanfaatan dan
118
pengembangan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan ketiga unsur lembaga perikanan tidak mempunyai media komunikasi dan pembinaan yang teratur, sehingga komunikasi, kerjasama, dan pembinaan hanya terjadi secara insidentil. Tabel 25. Interaksi antara Unsur Lemabaga dalam Pemanfataan SD Perikanan Cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Interaksi Pemda Perusaha Nelayan Pemda
-
Pengusaha selalu melaksanakan kewajibankewajiban kepada Pemda dalam bentuk pajak, retribusi dan kewajiban lainnya. Tetapi tidak melakukan hubungan kemitraan dengan Pemda dan kelompok nelayan Nelayan selalu Nelayan melaksanakan kewajibankewajiban kepada Pemda dalam bentuk pajak, retribusi dan kewajiban lainnya. Namun rendahnya ketrampilan dan SDM membuat mereka tidak terorganisir dengan baik. Sumber: Diolah dari data primer, 2006. Pengusaha
Pemda belum mempunyai pemahaman yang baik ttg peranan pengusaha dalam membangun kemitraan dengan nelayan. Sehingga dukungan kepada pengusaha untuk investasi sangat kurang. -
Pemda kurang melakukan pembinaan dan penyuluhan. Bantuan dari Pemda tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan. Pengusaha selalu berupaya untuk melakukan hubungan kemitraan dengan nelayan. Namun sistemnya masih merugikan nelayan.
Nelayan tidak terorganisir dengan baik, kemudian skala usahanya masih kecil menjadikan produktivitas mereka rendah.
-
Selain itu keterlibatan pengusaha dan kelompok nelayan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan perikanan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Halmahera Utara sangat kurang. Pengusaha dan nelayan hanya dijadikan obyek, bukan sebagai subyek pembangunan. Dengan kondisi itu menyebabkan program yang disusun tidak memenuhi kebutuhan dari nelayan dan pengusaha.
119
5.4.5. Analisis Kelembagaan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi dan atau aturan main (the rules of the game). Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembagalembaga formal seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok Nelayan dan Petani Ikan, Bank dan sejenisnya. Atau dalam masyarakat yang secara lebih formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual anggotanya yang membangun pengaturan dalam interaksi antar anggota-anggota dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Pada analisis kelembagaan perikanan komoditas cakalang dalam penelitian ini, dikaji pada tiga unsur kelembagaan yang dilakukan dengan
pendekatan deskripsi
kualitatif yang menitik beratkan pada tiga aspek yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan, dan aturan representasi. Analisis deskriptif kelembagaan perikanan ini ditinjau dari hubungan kelembagaan antara Pemerintah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang. Batas Yurisdiksi Banyak permasalahan dan isu dalam ekonomi yang berkaitan dengan struktur dari batas yurisdiksi. Konsep batas yurisdiksi dapat memberi arti batas kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya. Dalam kasus pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap komoditas cakalang, batas yurisdiksi memegang peranan penting dalam menentukan penanggung dan keluaran. Sumberdaya perikanan laut termasuk komoditas cakalang yang lokasinya tersebar
sangat
luas
di
wilayah
perairan
nusantara,
dalam
melaksanakan
pengendaliannya mengalami kesulitan karena mahalnya biaya-biaya transaksi (biaya pemantauan, enforcement) dari claim negara ataupun pihak-pihak tertentu atas sumberdaya tersebut, sehingga dalam prakteknya tidak mungkin dapat terwujudkan. Dengan demikian, sumberdaya perikanan tersebut mengalami ‘semacam akses terbuka’ (quasi open access resources) dimana semua pihak mau memaksimumkan keuntungan dari sumberdaya tersebut, sedangkan tidak satupun mau memelihara kelestariannya.
120
Berdasarkan kondisi kelembagaan perikanan dari unsur pemerintah daerah menunjukan bahwa batas kekuasaan atau otoritas kelembagaan dimaksud memiliki kekuasaan yang terbatas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang. Menurut Peraturan Menteri kelautan dan perikanan Nomor: PER.17/MEN/2006 tentang usaha perikanan tangkap, Pasal 19 ayat 2; pemerintah kabupaten atau Bupati diberi kewenangan untuk menerbitkan SIUP dan atau SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran 5 – 10 GT kepada orang atau badan hukum yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan atau tenaga kerja asing. Mencermati aturan di atas dan dikaitkan dengan kondisi aktivitas penangkapan ikan cakalang di wilayah perairan Kepulauan Morotai (bagian utara Laut Maluku) maka terdapat ketimpangan yang besar. Di perairan Kepulauan Morotai misalnya banyak terdapat kapal asing yang berkapasitas antara 30 – 200 GT yang melakukan kegiatan penangkapan ikan cakalang, baik yang mempunyai izin dari pemerintah pusat, atau izin dari pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, maupun izin dari pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ironisnya izin tersebut tidak dikoordinasikan kepada pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, sehingga pemerintah daerah Halmahera Utara mengalami kesulitan dalam melakukan pengawasan. Mestinya daerah-daerah yang wilayah perairannya berada di wilayah perbatasan harus diberi kewenangan khusus dalam mengelolah sumberdaya perikanan baik yang mengatur tentang perizinan dan pengawasan karena pada wilayah ini aktivitas penangkapan ikan sangat tinggi dan sangat rawan akan terjadi kegiatan-kegiatan pencurian ikan oleh nelayan daerah/negara tetangga. Sementara itu untuk unsur kelembagaan nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara tidak mengatur tentang otoritas atau kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang. Namun nelayan di lokasi penelitian mempunyai kesamaan pola pikir bahwa keberadaan sumberdaya laut yakni “sumberdaya perikanan adalah milik bersama (common property) dan siapa saja mempunyai hak yang sama atas sumberdaya tersebut”. Sesuai hasil pengamatan di lapangan, pada prinsipnya masyarakat nelayan khususnya yang lebih berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya laut tidak merasa keberatan terhadap penilaian di atas, namun lokasi pemanfaatannya haruslah diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu aktivitas
121
mereka di dalam usaha penangkapannya, seperti keberadaan kapal dan rumpon yang dari nelayan asing Fhillipina dan Taiwan. Dalam konteks sesama nelayan lokal, dengan adanya rumpon di suatu wilayah penangkapan telah memberi signal bagi nelayan lainnya bahwa daerah penangkapan tersebut merupakan lokasi penangkapan yang sudah ditetapkan nelayan tertentu dan memberi kejelasan kepada nelayan lainnya bahwa daerah tersebut merupakan batas wilayah operasinya, sehingga bila terdapat nelayan lain ataupun masyarakat yang beroperasi di wilayah tersebut akan menimbulkan konflik.
Sedangkan untuk alat
tangkap yang sifatnya bergerak aktif seperti jaring, relatif sukar untuk menentukan batas-batas wilayah penangkapan karena tidak ada rambu/tanda yang menandakan kepemilikan fishing ground oleh nelayan tertentu. Hak Kepemilikan Konsep hak pemilikan selalu mengandung makna sosial, yang mencakup hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Implikasinya adalah (1) hak individu merupakan tanggung jawab bagi orang lain, dan (2) kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya perikanan. Dalam kaitannya dengan sifat sumberdaya perikanan laut yang open access, maka hak kepemilikan menjadi suatu polemik diantara para ahli perikanan, dimana jika sumberdaya perikanan menjadi milik setiap orang bukan milik siapapun maka tak seorangpun yang mau bersusah payah untuk memelihara dan mengurus sumberdaya tersebut. Hal ini karena dia tak merasa pasti akan menerima sebagian dari hasil pengelolaannya karena tidak mempunyai hak kepemilikan dari hasilnya. Sebaliknya jika ada lembaga hak milik perseorangan, belum cukup untuk menjamin pengelolaan yang efisien atas sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, hak kepemilikan tersebut haruslah diberikan dalam kadar yang cukup di mana bisa menjamin bahwa pengelola dapat mengendalikan milik tersebut sepenuhnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di bagi dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Perairan Kepulauan Morotai adalah bagian dari Laut Maluku yang merupakan salah satu WPP di perairan
122
Indonesia. Dalam setiap WPP tersebut diatur jarak dan wilayah penangkapan dari garis pantai yang disesuaikan dengan kapasitas kapal perikanan yang dimiliki. Namun dengan pengawasan yang lemah secara umum operasionalnya sangat merugikan nelayan lokal. Untuk itu maka kegiatan pengawasan mestinya ditingkatkan terutama pada wilayahwilayah perbatasan dan wilayah yang potensial. Sedangkan secara tradisional masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Morotai dalam penentuan hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut masih bersifat milik bersama dimana belum adanya hak kepemilikan perorangan ataupun lembaga pemerintah maupun pengusaha/swasta. Namun demikian, lokasi penangkapan bagi nelayan setempat biasanya sudah berjalan secara alami dan sudah merupakan kesepakan yang tidak tertulis antara nelayan maupun kelompok nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Namun mengingat wilayah ini berada di daerah perbatasan dengan Provinsi Sulawesi Utara dan Negara Fhillipina serta Republik Palau maka gangguan dan kegiatan illegal fishing sering terjadi dari nelayan Sulawesi Utara dan Nelayan asing tersebut. Kejadian illegal fishing tersebut terjadi karena koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah yang tidak jalan sebagaimana mestinya sehingga pengawasan kapal yang beroperasi sesuai dengan wilayah perizinan tidak berjalan dengan baik. Aturan Representasi Aturan representasi (rules of representation) mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka, sehingga analisis kelembagaan mengenai alternatif aturan representasi akan berguna untuk memecahkan masalah efisiensi dalam pengambil keputusan. Dalam hubungan pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam hal aturan representasi tercermin pada pengambilan keputusan, baik yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program pengembangan perikanan, perizinan usaha perikanan, pajak, retribusi dan lainlain sebagainya.
123
Dalam konteks ini menunjukan dominasi pemerintah daerah sangat besar, pemerintah daerah sebagai penguasa di daerah sering melakukan keputusan yang sepihak tanpa melakukan musyawarah dengan pengusaha dan nelayan. Kondisi ini terjadi karena pertama; kelembagaan nelayan dan pengusaha tidak mempunyai kekuatan untuk bergaining dengan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan; yang kedua; belum adanya aturan/kelembagaan di tingkat daerah yang secara spesifik mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap/ cakalang, sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut belum mempunyai orientasi yang spesifik sesuai dengan potensi dan permasalahan di daerah. Setelah mencermati pembahasan tentang kondisi kelembagaan perikanan, interaksi antar lembaga perikanan dan analisis kelembagaan dalam tiga aspek yaitu yurisdiksi, properti right dan aturan representasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara, menunjukan adanya benang merah mengapa sub sektor perikanan di Kepulauan Morotai khususnya dan Kabupaten Halmahera Utara umumnya belum berkembang dengan baik. Para pakar ekonomi dalam Gonarsyah (2001) mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil kombinasi dari adanya distorsi pasar dan keunggulan komparatif (comparative advantage). Distorsi dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy), baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi), dan atau karena adanya ketaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya adanya monopoli/monopsoni domestik. Sementara keunggulan komparatif, yang dicirikan oleh rendahnya biaya relatif di tingkat produsen dapat terjadi karena adanya keunggulan statik (static advantage) akibat relatif kaya akan sumberdaya alam tertentu, sumberdaya manusia dan lokasi yang strategis; atau karena adanya keunggulan pembelajaran (learning advantage) yang bersifat dinamik, yang diperolah dari proses pendidikan, pelatihan, pengalaman dan penelitian; atau kombinasi dari keunggulan statik dan keunggulan pembelajaran (termasuk kearifan tradisional). Berdasarkan analisis Locational Quotient yang dilakukan secara umum pada wilayah Halmahera Utara di sub bab sebelumnya dalam dua titik waktu yaitu tahun 2000 dan 2004, menunjukan bahwa sub sektor perikanan di Halmahera Utara memiliki keunggulan komparatif, namun kemudian dianalisis dengan metode Shift Share ternyata
124
sub sektor perikanan memiliki keunggulan kompetitif (daya saing) yang rendah. Hal ini terjadi karena adanya distorsi pasar yang tidak mendukung sub sektor perikanan di Halmahera Utara. Distorsi tersebut terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy) yang terkait dengan tarif maupun aturan-aturan (regulasi). Kebijakan pemerintah (government policy) yang terkait dengan tarif yang paling berpengaruh pada sub sektor perikanan adalah tarif harga ikan dan harga BBM. Perkembangan harga ikan dan tarif BBM di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat tidak mendukung berkembangnya sub sektor perikanan, pada satu sisi harga ikan sangat rendah sedangkan di sisi yang lain harga BBM sangat tinggi. Kondisi ini sangat menghambat aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang karena biaya produksi cukup mahal. Selain itu aturan-aturan (regulasi) yang mengatur tentang pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
cakalang
juga
masih
merugikan
bagi
berkembangannya sub sektor perikanan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara terutama nelayan kecil. Kondisi wilayah Kepulauan Morotai yang berada di wilayah perbatasan yang potensial akan sumberdaya perikanan cakalang tidak didukung oleh regulasi yang dapat mengatur pemanfaatan potensi tersebut, akibatnya banyak terjadi pencurian ikan (illegal fishing), baik yang dilakukan oleh nelayan daerah lain maupun nelayan asing. Kondisi ini memang terjadi karena pengelolaan sumberdaya perikanan di Kepulauan Morotai yang bersifat open acces. Kelembagaan perikanan di Kepulauan Morotai khususnya kelembagaan perikanan cakalang belum mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang secara lestari, masalah ini dikhawatirkan dalam jangka panjang sumberdaya perikanan di Kepulauan Morotai akan mengalami overfishing. Untuk mengatasi jangan sampai terjadi overfishing pada sumberdaya perikanan cakalang dalam jangka panjang, menurut Fauzi (2000b), instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan sektor perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara yakni dengan memadukan kebijakan harga output dan harga input produksi. Instrumen kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang patut dipertimbangkan dalam kaitan dengan permasalahan ini yakni kebijakan yang mengarah pada pengurangan output maupun input yang berlebihan. Salah satu cara konvensional yang umum digunakan untuk mengurangi output produksi yaitu dengan menerapkan
125
sistem quota dan limited entry pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap seperti pembatasan jumlah kapal maupun alat tangkap yang beroperasi dalam suatu perairan maupun jumlah trip penangkapan, sedangkan untuk harga input yaitu dengan penetapan pajak. Strategi lainnya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kelebihan faktor output dan input produksi adalah dengan mengembangkan potensi ekonomi wilayah pulau-pulau kecil perbatasan di luar sektor perikanan, sehingga surplus tenaga kerja dapat diserap dengan melalui mobilisasi vertikal dan horizontal tenaga kerja. Selain itu, strategi konservasi dengan mengembangkan Marine Protected Area (MPA) yang mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dapat dijadikan pilihan karena sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi dalam jangka panjang dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan nelayan secara komprehensif. Dalam perspektif sosial budaya masyarakat di Kepulauan Morotai secara historis mempunyai kelembagaan lokal yang berfungsi mengelolah sumberdaya perikanan secara lestari. Kelembagaan-kelembagaan tersebut seperti Kelembagaan Siu di Desa Mira, Sangowo, dan sekitarnya (sekarang Kecamatan Morotai Timur), Kelembagaan Hau Gumi dan Giop yang terdapat disemua desa-desa nelayan. Kemudian ada satu kelembagaan perikanan yang cukup berpengaruh dan menjadi falsafah kehidupan nelayan di Kepulauan Morotai adalah kelembagaan Dolabololo. Kelembagaan Dolabololo adalah kumpulan syair yang merupakan pegangan bagi masyarakat Moloku Kie Raha termasuk nelayan di Kepulauan Morotai yang berisi petunjuk atau arahan tentang hubungan antar manusia dengan sesamanya maupun dengan alam sekitarnya. Dalam memanfaatkan sumberdaya laut, para nelayan yang menangkap ikan, memegang teguh falsafah yang terkandung di dalam Dolabololo. Di dalam Dolabololo terdapat syair yang berbunyi HAU FOMA TAI PASI MORO-MORO FO MAKU GISE yang artinya kurang lebih adalah semua nelayan adalah hamba Allah yang mencari nafkah dari harta Allah, sehingga tidak boleh ada yang disembunyikan diantara para nelayan tersebut. Ditinjau dari sosial kapital, kelembagaan di atas memberikan kekuatan tersendiri yang mendudukan para nelayan pada posisi yang sama dalam mencari nafkah. Dengan cara seperti ini telah tercipta suatu pemerataan (equity), sehingga tidak ada yang tumbuh cepat dan tidak ada pula yang “ketinggalan kereta”. Kelembagaan seperti ini sangat efektif dalam membina dan memperkokoh sosial kapital diantara mereka, dan
126
ternyata sosial kapital ini telah terbangun selama berabad-abad, dan telah terbukti sangat ampuh dalam menghadapi berbagai gejolak perekonomian, pengaruh politik maupun pengaruh paham eksternal lainnya seperti yang dialami pada zaman penjajah (Mansyur, 2000). Namun kelembagaan-kelembagaan lokal tersebut telah lenyap dari tradisi nelayan di Kepulauan Morotai. Menurut Anwar (1994), sebenarnya di Indonesia banyak kelembagaan yang mengandung aspek-aspek pengaturan komunal dan pengelolaan wilayah pantai yang dapat berfungsi sebagai kontrol dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Namun demikian pemerintah kurang manghargai arti dari kelembagaan ini, maka secara de facto sumberdaya perairan menjadi akses terbuka di sebagian besar perairan Indonesia. Untuk itu maka, upaya revitalisasi kelembagaan lokal yang dimiliki oleh nelayan di Kepulauan Morotai merupakan satu hal yang penting dalam penataan kelembagaan perikanan di Kepulauan Morotai atau paling tidak nilai-nilai dari kelembagaan perikanan tradisional tersebut ditransformasikan ke dalam lembaga perikanan yang dikelola dengan menggunakan manajemen moderen. Selain itu, penataan kelembagaan perikanan yang sering dijumpai di desa-desa pantai/ nelayan seperti kelembagaan bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, serta kelembagaan pemasaran dan perkreditan menjadi hal lain yang juga sangat penting untuk dibenahi di Kepulauan Morotai. Dalam hal kelembagaan bagi hasil, aktivitas nelayan di Kepulauan Morotai telah ada sejak lama, sistem bagi hasil ini dijumpai dan berlaku antara pemiliki modal dan operator, serta pembagian hasil antara operator dalam hal ini antara juragang dan anak buah kapal dalam satu unit armada penangkapan, namun pembagiannya terasa belum seimbang antara keduanya. Dengan prosentase 50% untuk pemilik modal dan 50% untuk operator menggambarkan pembagian yang menguntungkan pemiliki modal, karena dalam 50% untuk operator kemudian dibagi untuk juragang dan anak buah kapal. Sedangkan dalam kelembagaan hubungan kerja yaitu bersifat mutualistik antara pihak pungusaha (perusahaan) dan nelayan. Dalam kelembagaan ini pengusaha sebagai pemilik modal dan nelayan memiliki tenaga kerja dan ketrampilan dalam usaha perikanan, mereka memiliki perjanjian/kesepakatan dimana pengusaha menyediakan modal dan peralatan dan nelayan berfungsi sebagai pemasok hasil perikanan tersebut kepada pengusaha, namun kondisi ini nelayan berada pada posisi tawar yang lemah
127
terutama dalam penentuan harga ikan. Kondisi yang sama di alami pada kelembagaan pemasaran dan perkreditan, dalam kelembagaan ini fungsi pemasaran dan perkreditan dilakoni secara sepihak oleh pengusaha perikanan, hal ini karena lembaga-lembaga perkreditan seperti perbankan dan koperasi di Kepulauan Morotai belum berperan dengan baik. Nelayan di Kepulauan Morotai umumnya melakukan kredit berupa modal usaha dan peralatan penangkapan kepada pengusaha dan sebaliknya hasil dari penangkapan tersebut wajib di pasarkan atau dijual kepada pengusaha yang memberikan kredit tersebut. Dalam konteks penataan kelembagaan bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, serta kelembagaan pemasaran dan perkreditan di Kepulauan Morotai hal yang perlu dibenahi adalah penataan aturan yang dapat menguatkan posisi tawar yang menguntungkan pihak nelayan. Untuk penguatan posisi tawar nelayan terhadap pengusaha maka harus diawali dengan penataan kelembagaan nelayaan itu sendiri. Untuk mencapai kondisi tersebut perlu kerja keras dari pemerintah daerah dan tokohtokoh masyarakat (stakeholders) yang bergerak di bidang perikanan, karena saat ini kondisi kelembagaan perikanan khususnya perikanan cakalang berada pada kondisi yang tidak terorganisir dengan baik, bahkan ada desa-desa nelayan yang tidak memiliki organisasi nelayan. Selain itu peningkatan peranan perbankan dan koperasi menjadi satu prioritas yang harus cepat ditata. Peranan perbankan harus dapat mengadakan skim kredit yang memudahkan nelayan untuk mengakses modal usaha, hal yang sama juga berlaku pada penataan koperasi, terutama koperasi nelayan yang terasa penting untuk memenuhi modal usaha dan peralatan serta kebutuhan nelayan. Dengan gambaran sub sektor perikanan khususnya komoditas cakalang dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara di atas, maka diperlukan adanya kelembagaan pemerintah daerah, nelayan dan pengusaha yang terorganisir secara integratif, baik secara organisasi maupun secara aturan mainnya (rules of the game) dalam mengembangakan sub sektor perikanan, sehingga harapan untuk menjadikan sub sektor perikanan sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif kedepan dapat terwujud.
128
5.5. Networking Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Morotai Halmahera Utara Berdasarkan konsep wilayah yang di klasifikasikan oleh Rustiadi et al. (2005), maka wilayah pulau-pulau kecil termasuk dalam konsep wilayah sistem/fungsional kompleks. Konsep wilayah sebagai suatu sistem kompleks mendiskripsikan wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya (komponen-komponen) di dalamnya bersifat kompleks. Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Untuk itu pengembangan wilayah pulaupulau kecil sangat berbeda dengan pengembangan wilayah mainland dan pesisir. Ada dua karakteristik yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan wilayah pulaupulau kecil, pertama; karakteristik pulau-pulau kecil, yakni berukuran kecil (smallness), terpencar, rentan (vulnerabilty), ketergantungan (dependence), dan terisolasi (isolation) (Fauzi, 2002), serta kedua; karakteristik sosial ekonomi wilayah pulau-pulau kecil yang rendahnya sumberdaya manusia, jauh dari pusat pertumbuhan, serta miskin akan prasarana dan sarana sosial ekonomi. Dengan karakteristik wilayah pulau-pulau kecil di atas, maka pengembangan wilayah pulau-pulau kecil terdapat barbagai kendala. Untuk itu maka analisis networking pulau-pulau kecil yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, prasarana dan sarana sosial ekonomi, serta suku, penting dilakukan untuk melihat interaksi spasial antar pulau-pulau tersebut dalam aktivitas-aktivitas manusia baik ekonomi dan sosial (Hayness and Fotheingham dalam Rustiadi et al. 2005), sehingga dapat mengidentifikasi kendala-kendala yang dialami pada setiap pulau dalam melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. Analisis networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai pada Tabel 26, difokuskan pada pulau yang memiliki penduduk, dari 31 pulau di Kepulauan Morotai yang berpenghuni hanya 6 pulau, yaitu Pulau Morotai mempunyai jumlah penduduk 44.865 jiwa dan luas wilayah 1.983,54 Km2, Pulau Kolorai mempunyai jumlah penduduk 312 jiwa dan luas wilayah 2 Km3, Pulau Galo-Galo Besar mempunyai jumlah penduduk 532 jiwa dengan luas wilayah 3.5 Km2, Pulau Ngele-Ngele Besar mempunyai jumlah penduduk 447 jiwa dengan luas wilayah 5 Km2 , Pulau Saminyamau mempunyai jumlah penduduk 484 jiwa dengan luas wilayah 910 Ha, dan Pulau Rao mempunyai jumlah penduduk 3.862 jiwa dengan luas wilayah 11.864 Ha.
129
Tabel 26. Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara Pulau No.
Networking
Morotai
Kolorai
Galo-Galo Besar
Ngele-Ngele Besar
Saminyamau
Rao
Daerah Tujuan
P/ Kg (Rp)
B/C (Rp)
P/Q (Rp/Ton/ Thn)
1.
Produksi Cakalang
Supply, Transit
Supply
Supply
Supply
Supply
Supply
Jakarta, Banyuwangi
3.000
1.200.000/ 450.000
3.000/ 810
2.
Produksi Kerapu hidup
-
Supply
Supply
Supply
-
-
Hongkong
99.000
6.870.000/ 1.752.000
99.000/ 9,6
3.
Produksi Rumput Laut
Transit
Supply
Supply
Supply
-
-
Tobelo, Manado, Surabaya
3.500
5.075.000/ 675.688
3.500/ 300
4.
Produksi Kopra
Supply, Transit
Supply
Supply
Supply
Supply
Supply
Manado, Surabaya
Produksi Kayu
Supply, Transit
-
-
-
-
-
Kalimantan
5.
Gelondongan
6.
Pengadaan Air bersih
Supply
Demand
Demand
Demand
Demand
Supply
7.
Pendidikan
Supply
Demand
Demand
Demand
Demand
Demand
8.
Kesehatan
Supply
Demand
Demand
Demand
Demand
Demand
9.
Pengadaan Sembako
Supply
Demand
Demand
Demand
Demand
Demand
10.
Suku/Etnis
Galela, Tobelo, Sangihe
Galela, Tobelo
Galela, Tobelo
Galela, Tobelo
Sangihe
Sangihe
Sumber: Diolah data primer 2006.
Pulau-pulau ini dianalisis dalam fungsi-fungsi pulau yakni sebagai pemasok (supply), sebagai perantara (transit), dan sebagai tempat tujuan akhir (demand) dari aktivitas ekonomi dan sosial yang berlangsung di pulau-pulau kecil tersebut. Walaupun Kepulaun Morotai tidak memiliki interaksi dengan negara tetangga, namun networking ini penting dianalisis karena dengan gambarannya kita dapat mengetahui orientasi dan ketergantungan dari pulau-pulau tersebut terhadap suatu sumberdaya. Networking pulau-pulau kecil ini dianalisis berdasarkan pada, Networking yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, terdiri atas komoditas ikan cakalang, ikan kerapu hidup, rumput laut, kopra, dan kayu gelondongan; Networking yang berbasis pada prasarana dan sarana sosial ekonomi, terdiri atas kebutuhan air bersih, pendidikan, kesehatan, dan Sembako; serta Networking yang berbasis pada suku/ etnis. 5.5.1. Networking Berbasis Pengelolaan Sumberdaya Alam (1). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas ikan cakalang. Masyarakat nelayan pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sebagian besar adalah nelayan ikan cakalang. Walaupun secara organisasi nelayannelayan tersebut tidak mempunyai networking (organisasi formal), namun dengan orientasi pasar ke satu daerah atau perusahan menjadikan wilayah Daruba atau perusahaan PT. Primarefa Indo menjadi pusat interaksi nelayan ikan cakalang. Berdasarkan peta networking pada Gambar 7 menunjukan bahwa Desa Daruba di Pulau Morotai berfungsi sebagai daerah transit yang menampung ikan cakalang sebelum di ekspor ke Banyuwangi dan Jakarta. Sedangkan pulau-pulau lainnya berfungsi sebagai pemasok (supply). Aktivitas ekspor komoditas cakalang ke Banyuwangi dan Jakarta dilakukan setiap tiga bulan sekali dengan rata-rata kuota ekspor sebesar 677 ton per tahun, dengan nilai ekspor rata-rata sebesar Rp. 2.031.000.000., per tahun. Mencermati kondisi networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis komoditas ikan cakalang pada Gambar 7 memberi indikasi bahwa ada potensi yang besar untuk mengorganisir nelayan-nelayan tersebut. Pengorganisasian dimaksud adalah menata kelembagaan komoditas cakalang yang di
131
dalamnya termasuk kelompok nelayan, pengusaha, dan pemerintah daerah sehingga dapat meningkatkan nilai produksi ekspor.
Gambar 7. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Ikan Cakalang. (2). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas ikan kerapu hidup. Dari enam pulau yang dihuni di Kepulauan Morotai, hanya nelayan di tiga pulau yang melakukan aktivitas keramba jaring apung ikan kerapu hidup, yaitu nelayan di Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar (Gambar 8). Secara fungsional ketiga pulau di atas berfungsi sebagai pemasok (supply) langsung ke negara tujuan, karena hasil nelayan tersebut langsung dijual di kapal penampung yang berlabuh di sekitar ketiga pulau tersebut. Frekuensi ekspor ikan kerapu hidup ke Hongkong dilakukan tiga bulan sekali. Rata-rata produski sebesar 8.9 ton per tahun, dengan nilai ekspor sebesar Rp 881.100.000., per tahun. Walaupun dalam konteks lokal networking pulau-pulau kecil yang berbasis pada komoditas ikan kerapu hidup sangat terbatas, tetapi secara internasional mempunyai
132
networking dengan Hongkong, karena ikan kerapu di ketiga pulau tersebut diekspor ke Hongkong.
Gambar 8. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Ikan Kerapu Hidup. (3). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas rumput laut. Berdasarkan Gambar 9, networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai yang berbasis komoditas rumput laut memiliki jumlah pulau yang sama seperti komoditas ikan kerapu sebanyak tiga pulau, namun networking ke luar dari Kepulaun Morotai berbeda dengan komoditas ikan kerapu. Hasil rumput laut dari ketiga pulau yaitu Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar, di perdagangkan melalui pedagang di Desa Daruba Pulau Morotai kemudian di angkut ke Kota Tobelo dan seterusnya di ekspor ke Manado dan Surabaya. Jumlah produksi rumput laut di Kepulauan Morotai dari tahun 2002-2005 rata-rata sebesar 326 ton per tahun, dengan nilai produksi sebesar Rp. 1.141.000.000., per tahun.
133
Secara fungsional dalam networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai berbasis komoditas rumput laut yang berfungsi sebagai pemasok (supply) adalah Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar. Sedangkan yang berfungsi sebagai perantara (transit) adalah Pulau Morotai dan Kota Tobelo dan kemudian di ekspor ke Manado dan Surabaya.
Gambar 9. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Rumpu Laut. (4). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas kopra. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang berkembang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Tanaman kelapa menjadi komoditas unggulan yang diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di Kepulauan Morotai, namun produk yang diekspor keluar dari tanaman kelapa tersebut hanya dalam bentuk kopra. Dalam networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai berbasis komoditas kopra, Pulau Morotai selain berfungsi sebagai daerah perantara (transit) juga berfungsi sebagai daerah pemasok (supply). Sedangkan Pulau Rao, Pulau Saminyamau, dan Pulau Morotai bagian utara berfungsi sebagai pemasok dengan orientasi pasar ke Kota Tobelo.
134
Kemudian kopra tersebut di ekspor ke Manado dan Surabaya sebagai daerah tujuan akhir (Gambar 10).
Gambar 10. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Kopra. Mencermati Gambar 10 di atas menunjukan bahwa terjadi ekspor komoditas kopra dari Pulau Morotai Desa Daruba dan Kota Tobelo dengan daerah tujuan Manado dan Surabaya, hal menunjukan bahwa potensi supply komoditas kopra di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat besar. (5). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis pada sumberdaya alam komoditas kayu gelondongan. Pulau Morotai merupakan satu dari tiga puluh satu pulau yang ada di Kepulauan Morotai yang memiliki luas wilayah besar yakni sebesar 1.983,54 Km2. Dengan luas wilayah tersebut Pulau Morotai memiliki sumberdaya hutan yang lebih besar dari pulau lainnya, sehingga Pulau Morotai merupakan satu-satunya pulau yang menjadi supplier komoditas kayu dari Kepulauan Morotai.
135
Berdasarkan Gambar 11 yang berfungsi sebagai supplier adalah Pulau Morotai yang melakukan ekspor komoditas kayu gelondongan ke Kalimantan. Kayu gelondongan tersebut diusahakan oleh pengusaha yang memiliki izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang tersebar di desa-desa sekitar Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morotai Utara, dan Kecamatan Morotai Utara.
Gambar 11. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Sumber Daya Alam Komoditas Kayu Gelondongan. Mencermati networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai khususnya yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, terutama komoditas ikan cakalang, rumput laut, kopra, dan kayu gelondongan menunjukan Desa Daruba memiliki peranan yang besar sebagai daerah transit sebelum diekspor ke Tobelo atau ke daerah lain di luar Maluku Utara. Terkecuali komoditas ikan kerapu hidup, karena proses perdagangannya dijual dalam bentuk ikan hidup dan dijual langsung di kapal penampung, maka perdagangan komoditas ini berlangsung di sekitar pulau-pulau yang memproduksi komoditas tersebut tanpa melalui Desa Daruba di Pulau Morotai.
136
Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya alam, jika di pilah dalam sub sektor pembangunan maka terdapat tiga sub sektor yang berperan besar dalam pengembangan ekonomi wilayah yakni sub sektor perikanan, sub sektor perkebunan, dan sub sektor kehutanan. Ketiga sub sektor ini merupakan sub sektor unggulan di Kepulauan Morotai, karena memiliki potensi yang cukup besar. Namun dari ketiga sub sektor tersebut yang memiliki prospek cerah adalah sub sektor perikanan dan sub sektor perkebunan. Disamping itu, ada potensi pada sub sektor pariwisata yakni periwisata bahari dan sejarah, namun potensi ini belum dikelolah sama sekali. Pada sub sektor perikanan terdapat tiga komoditas utama yang diusahakan di Kepulauan Morotai, yakni cakalang, budidaya rumput laut, dan keramba apung ikan kerapu. Ketiga komoditas ini, jika kita telaah dalam pola pemanfaatan, maka terdapat dua pola usaha yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dalam bidang perikanan tangkap khususnya ikan cakalang dalam kajian networking berbasis pengelolaan sumberdaya alam memiliki networking antar pulau yang cukup kuat. Baik secara internal di wilayah Kepulauan Morotai maupun secara eksternal dari luar wilayah Kepulauan Morotai. Kondisi ini menggambarkan bahwa sumberdaya perikanan tangkap cakalang tidak hanya diusahakan oleh nelayan di Kepulauan Morotai, akan tetapi juga dimanfaatkan oleh nelayan dari luar Kepulauan Morotai, baik nelayan dari kecamatankecamatan lain di Halmahera Utara, maupun nelayan dari Sulawesi Utara, Fhilipina, dan Taiwan, kondisi ini tidak terlepas dari sifat sumberdaya perikanan yang open acces. Sedangkan dalam pola pemanfaatan perikanan budidaya, networking pulau-pulau kecilnya sangat terbatas. Terdapat tiga pulau yang memiliki networking dalam pola budidaya yaitu Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar. Dengan kondisi tersebut, networking pulau-pulau kecil khususnya yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya di bidang perikanan, memiliki dua karakteristik networking yang berbeda yaitu networking perikanan tangkap dan networking perikanan budidaya, akan tetapi dalam proses pengembangan wilayah pengembangan kedua networking tersebut tidak boleh berdiri sendiri, keduanya harus saling menunjang satu dengan yang lainnya.
137
Sedangkan pada sub sektor perkebunan dalam analisis ini hanya dilakukan pada komoditas kelapa (kopra). Pengelolaan kelapa memiliki networking yang cukup kuat antara pulau-pulau, karena masyarakat di Kepulauan Morotai secara umum memiliki orientasi ekonomi ganda, selain sebagai nelayan juga sebagai petani kopra. Komoditas kopra memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat di Kepulauan Morotai, namun dukungan prasarana dan sarana ekonomi yang minim serta kelembagaan petani yang lemah menjadikan networking antar desa/ pulau terjadi dalam konteks hubungan pedagang dan petani. Padahal sebagai sub sektor unggulan masyarakat di Kepulauan Morotai, networking berbasis pengelolaan sumberdaya alam kelapa antar pulau, tidak hanya sekedar hubungan antara petani dan pedagang, akan tetapi hubungan antara kelompok tani satu desa/ pulau dengan kelompok tani desa/ pulau yang lain menjadi hal yang penting. Hal ini dimaksud untuk peningkatan posisi tawar antara kelompok tani kelapa dengan pedagang kelapa, sehingga dapat tercipta hubungan antara petani dan pedagang yang saling memperkuat (sinergi) bukan saling memperlemah (eksploitasi). 5.5.2. Networking Berbasis Kebutuhan Prasarana dan Sarana Sosial Ekonomi (1). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis prasarana dan sarana sosial ekonomi untuk kebutuhan air bersih. Dengan karakteristik pulau yang kecil (smallness), Pulau Kolorai, Galo-Galo Besar, Ngele-Ngele Besar, dan Saminyamau memiliki luas lahan yang kecil, kondisi tersebut menjadikan pulau-pulau ini memiliki sumber air dan cadangan air tanah yang terbatas. Selain itu di pulau-pulau tersebut tidak terdapat prasarana dan sarana air bersih yang memadai, penduduk setempat memperoleh air bersih pada sumur galian mereka, namun karena sangat dekat dengan pantai kualitas airnya tidak memenuhi standar air bersih. Kondisi ini menyebabkan pada musim kemarau pulau-pulau ini selalu mempunyai ketergantungan air bersih dengan pulau lainnya yang berdekatan. Berdasarkan Gambar 12, Pulau Kolorai dan Pulau Galo-Galo Besar, dalam memenuhi kebutuhan air bersih diperoleh pada Kota Daruba Pulau Morotai. Sedangkan Pulau Ngele-Ngele Besar kebutuhan air bersih diperoleh di Desa Wayabula dan Tiley yang terletak di Pulau Morotai. Kemudian untuk Pulau Saminyamau orientasi air bersih
138
ke Desa Wayabula Pulau Morotai dan Desa Posi-Posi yang terletak di Pulau Rao. Dari networking tersebut Pulau Morotai dan Pulau Rao berfungsi sebagai pemasok (supply) air bersih, sedangkan Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, Pulau Ngele-Ngele Besar, dan Pulau Saminyamau berfungsi sebagai pulau yang menjadi membutuhkan air bersih (demand).
Gambar 12. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Air Bersih. (2). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis prasarana dan sarana sosial ekonomi untuk kebutuhan pendidikan Jika dianalisis networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara dalam aspek kebutuhan pendidikan pada Gambar 13, maka Pulau Rao, Pulau Saminyamau memiliki networking dengan Pulau Morotai bagian selatan barat di Desa Wayabula, sedangkan Pulau Ngele-Ngele Besar, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Kolorai memiliki networking dengan Pulau Morotai bagian selatan tetaptnya di Desa Daruba. Networking pulau-pulau tersebut dengan Pulau Morotai sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan pendidikan SMP dan SMU hal ini karena di pulaupulau tersebut hanya memiliki sekolah setingkat SD. Kemudian networking antara
139
Pulau Morotai dengan Kota Tobelo terjadi untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan pendidikan SMU dan Akademi. Sedangkan networking Pulau Morotai dengan Kota Ternate, Manado dan Kota di Indonesia Bagian Barat lainnya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan pada tingkatan sarjana/Universitas.
Gambar 13. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Pendidikan. (3). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis prasarana dan sarana sosial ekonomi untuk kebutuhan kesehatan Gambar 14 menunjukan bahwa networking berbasis kebutuhan kesehatan mempunyai orientasi yang sama dengan kebutuhan pendidikan, yaitu Pulau Rao, Pulau Saminyamau, dan Pulau Ngele-Ngele Besar untuk memenuhi kebutuhan kesehatan setingkat Puskesmas bernetworking dengan Desa Wayabula di Pulau Morotai, tetapi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan setingkat Puskesmas rumah sakit pulau-pulau tersebut bernetworking dengan Kota Tobelo melalui Desa Daruba. Sedangkan Pulau Galo-Galo Besar dan Pulau Kolorai untuk memenuhi kebutahan kesehatan setingkat Puskesmas bernetworking dengan Desa Daruba.
140
Mencermati networking kebutuhan kesehatan pulau-pulau kecil, memberikan gambaran bahwa networking dilakukan berjenjang sesuai dengan kebutuhan kesehatan dari pulau-pulau kecil. Semakin besar kebutuhan kesehatan yang dibutuhkan semakin jauh mereka memperoleh prasarana dan sarana kesehatan tersebut. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa prasarana dan sarana kesehatan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat terbatas.
Gambar 14. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Kesehatan. (4). Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara berbasis prasarana dan sarana sosial ekonomi untuk kebutuhan Sembako Dalam networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai untuk memenuhi kebutuhan Sembako dianalisis berdasarkan tiga tingkatan kebutuhan, yaitu kebutuhan setingkat rumah tangga dan pedagang kecil, kebutuhan setingkat pedagang kecil dan menengah, serta kebutuhan setingkat pedagang menengah dan pedagang besar besar. Berdasarkan Gambar 15, untuk memenuhi kebutuhan Sembako pada kebutuhan rumah tangga dan pedagang kecil Pulau Galo-Galo Besar, Pulau Kolorai, dan Pulau
141
Ngele-Ngele Besar memiliki networking dengan Desa Daruba Pulau Morotai, sedangkan Pulau Saminyamau dan Pulau Rao melakukan networking dengan Desa Wayabula Pulau Morotai. Namun untuk kebutuhan Sembako pada tingkat pedagang menengah Pulau Morotai dan Pulau Rao langsung bernetworking dengan Kota Tobelo. Sedangkan untuk wilayah Halmahera Utara memperoleh pasokan Sembako dari daerah Manado dan Surabaya.
Gambar 15. Peta Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Berbasis Prasarana Sosial Ekonomi Kebutuhan Sembako. Networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai yang berbasis pada kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi menunjukan hubungan interkoneksitas wilayah bersifat dendritik, misalnya dalam memenuhi kebutuhan air bersih, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan Sembako sebagian besar desa-desa di pulau-pulau kecil mempunyai orientasi kebutuhan ke Desa Daruba dan juga ke Desa Wayabula. Corak interkoneksitas wilayah yang berbentuk denritik mengindikasikan bahwa jumlah dan jenis fasilitas atau prasarana dan sarana di pulau-pulau kecil Kepulauan Morotai meyebar tidak merata.
142
Ketimpangan dalam penyediaan prasarana dan sarana di Kepulauan Morotai berakibat pada inefisiensi berbagai transaksi di bidang ekonomi. Kondisi ini berdampak negatif pada produktivitas berbagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat di Kepulauan Morotai. Sebagai masyarakat kepulauan yang tulang punggung ekonominya berada pada sub sektor perikanan, nelayan di Kepulauan Morotai sangat merasakan akibat ini. Hal yang paling dirasakan adalah tingginya harga faktor-faktor produksi, seperti bensin, minyak tanah, oli, dan faktor produksi lainnya, perbedaannya hampir mencapai 100% dari harga-harga yang di tetapkan oleh pemerintah. Disamping itu harga-harga bahan pokok sebagai kebutuhan sehari-hari masyarakatpun mengalami hal yang sama. 5.5.3. Networking Berbasis Suku/ Etnis Secara historis Kepulauan Morotai tidak memiliki penduduk asli, penduduk yang mendiami wilayah Kepulauan Morotai adalah suku pendatang dari Tobelo Galela dan Sangihe Talaud. Untuk itu, dalam analisis networking pulau-pulau kecil yang berbasis pada suku/etnis di Kepulaun Morotai, hanya dianalisis distribusi suku yang yang mayoritas yaitu Suku Tobelo Galela dan Suku Sangihe Talaud. Kedua suku ini tersebar di enam pulau yang berpenghuni, yaitu Suku Tobelo Galela tersebar di Pulau Morotai bagian selatan, timur, dan utara, kemudian Pulau Kolorai, Pulau Galo-Galo Besar, dan Pulau Ngele-Ngele Besar. Sedangkan Suku Sangihe Talaud tersebar di Pulau Morotai bagian utara dan barat, kemudian Pulau Rao dan Pulau Saminyamau. Pada Gambar 16, menunjukan distribusi Suku Tobelo Galela dan Suku Sangihe Talaud dan interaksi dengan daerah asal mereka. Gambaran ini menunjukan bahwa interkoneksitas mereka dengan asal cukup intensif, hal ini terjadi karena pada wilayah ini didukung oleh jalur pelayaran rakyat yang menghubungkan antara daerah asal Tobelo Galela dan Sangihe Talaud dengan wilayah Kepulauan Morotai. Suku Tobelo Galela dalam kegiatan ekonominya memiliki orientasi ganda yaitu sebagai nelayan dan juga sebagai petani, di bidang pertanian Suku Tobelo Galela lebih banyak bercocok tanam pada tanaman tahunan, namun tanaman tahunan yang dominan diusahakan adalah tanaman kelapa, sedangkan di bidang perikanan Suku Tobelo Galela banyak berusaha sebagai nelayan perikanan tangkap dengan komoditas andalan adalah ikan
143
cakalang. Sedangkan suku Sangihe Talaud dalam kegiatan ekonominya umumnya berorientasi sebagai nelayan dan tukang pembuat armada perahu.
Gambar 16. Peta Networking Suku / Etnis Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara. Mencermati pola penyebaran dua suku besar di Kepulauan Morotai, menunjukan penyebaran kedua suku tersebut mempunyai orientasi secara sendiri-sendiri. Hal ini jika ditinjau dari aspek sosiologis dapat diduga tidak terjadi proses transformasi budaya antara kedua suku tersebut. Di sisi lain, dengan pola distribusi seperti ini mengakibatkan kerentanan sosial yang tinggi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Untuk itu, dalam pembentukan kelembagaan ekonomi masyarakat harus diciptakan pola kerjasama antar lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang berbasis pada suku/etnis. Hal semacam ini perlu dilakukan untuk mencegah konflik yang terjadi antara suku/ etnis ditingkat komunal/lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam. 5.5.4. Strategi Penguatan Networking Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Morotai Dalam strategi penguatan networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai, selain didasarkan pada pengelolaan sumberdaya alam, kebutuhan prasarana dan sarana
144
sosial ekonomi, serta distribusi suku/ etnis, dimensi lain yang menjadi perspektif kajian adalah pertimbangan Kepulauan Morotai sebagai gugusan pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan antar negara, pertimbangan ini penting dilakukan karena wilayah ini dalam penataan ruang secara nasional (RTRWN) merupakan suatu wilayah prioritas untuk di kembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perbatasan antar negara. Untuk penguatan networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam, kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi, serta berbasis pada suku/ etnis, paling tidak dilakukan melalui dua strategi penting, pertama; pembangunan prasarana dan sarana fisik wilayah sebagai penunjang dalam mengelola sumberdaya alam unggulan, dan kedua; pembentukan kelembagaan atau penguatan kelembagaan untuk pengelolaan sumberdaya alam unggulan, sehingga dapat menciptakan pengelolaan sumberdaya alam yang efisien (efficient), merata (equity), dan berkelanjutan (sustainable). Sedangkan penguatan networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai yang berorientasi pada Kepulauan Morotai sebagai gugusan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan antar negara, maka diperlukan strategi-strategi pengembangan. Menurut Witoelar (2000), untuk pengembangan wilayah dengan karakteristik dan permasalahan pengembangan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil ada tiga jenjang, yang menjadi strategi pengembangan wilayah, yaitu : 1. Strategi pengembangan pada level Mikro (desa), yaitu pengembangan pada level “grass root” masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan masyarakat (potensi sumberdaya manusia dan teknologi) dan sumberdaya kelautan. 2. Strategi pengembangan pada level Messo atau keterkaitan antar pulau-pulau, yaitu upaya-upaya untuk lebih meningkatkan nilai produksi, dikaitkan dengan pengembangan pasar, pengolahan produksi dan kemudahan transportasi. 3. Strategi pengembangan pada level Makro, yaitu mengaitkan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil ke dalam sistem yang lebih luas baik sistem nasional maupun internasional.
145