BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
V.1 POTENSI SUMBER DAYA ALAM Potensi lokal yang dominan adalah pertanian dan perkebunan, baik untuk konsumsi maupun perekonomian. Dengan asumsi bahwa sekian puluh tahun ke depan, wilayah di sekitar aliran sungai Enim akan tumbuh pesat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengejar pertumbuhan PAD atau dengan promosi-promosi tertentu yang memajukan daerah tersebut, jumlah penduduk akan bertambah dua kali lipat. Kebergantungan aktifitas produksi dan konsumsi populasi pada lahan dan sumber daya alam serta produktifitas dan daya dukung lingkungan hidup akan ditinjau melalui Analisis Ecological Footprint. Hampir semua aktifitas manusia memerlukan air, demikian pula yang ada di alam ini. Lahan hutan yang berubah fungsi, akan menurunkan kemampuannya menyerap, menahan dan menyimpan air. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas lahan pertanian dan perkebunan, sehingga berakibat menurunkan produktifitas lahan tersebut. Dibutuhkan teknologi, waktu dan biaya tambahan yang tidak sedikit untuk mengimbangi keadaan ini. Potensi sumber daya alam tak terbaharui yang diupayakan di sekitar aliran Sungai Enim adalah batubara dengan model pertambangan terbuka. Perubahan bentang alam dan tutupan lahan ini juga mempengaruhi keadaan lingkungan hidup.
V.2 KEADAAN SAAT INI Pertumbuhan, perkembangan dan penyebaran penduduk Kabupaten Muara Enim membawa dampak positif dan negatif terhadap lingkungan hidup. Dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Muara Enim, antara lain berupa peningkatan kemakmuran serta kesejahteraan sebagai dampak dari pengelolaan dan
52
pemanfaatan sumber daya lingkungan. Sedangkan dampak negatif berupa perusakan lingkungan seperti erosi, kekeringan, pencemaran, tanah longsor, banjir dan lain sebagainya. Masalah lingkungan ini sudah patut mendapat perhatian. Karena jika pembangunan yang dilaksanakan mengabaikan faktor lingkungan, maka kerugian material maupun spiritual akan menimpa kehidupan masyarakat itu sendiri. Merosotnya kualitas lingkungan juga tidak akan menjadi perhatian besar jika tidak terkait dengan kebutuhan hidup masyarakat sehingga bahasan tentang pencemaran dan konsep penanggulangannya lebih mengarah kepada upaya mengenai bentuk kegiatan masyarakat yang menjadi sumber pencemaran. Tetapi upaya menumbuhkan kesadaran yang lebih mendasar berdasarkan karakter budaya belumlah dipahami potensinya oleh banyak pihak. Untuk beban pencemaran kegiatan domestik terutama dari pemukiman/ perumahan penduduk sepanjang sempadan sungai tersebut jumlahnya tergantung pada pola perilaku penduduk dan pada akhirnya tergantung kepada tingkat penghasilan dan standar hidup. Semakin tinggi tingkat penghasilan suatu masyarakat makin tinggi pula jumlah limbah yang dihasilkannya dan makin tinggi beban pencemaran yang dikandung limbahnya. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, beban pencemaran BOD di Sungai Enim cenderung meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan.
V.3 ANALISIS ECOLOGICAL FOOTPRINT V.3.1 Hasil perhitungan Pertimbangan pemilihan unit perhitungan berdasar pada fungsi lahan untuk dapat mengetahui kemampuan lingkungan lokal memenuhi permintaan konsumsi populasi lokal di wilayah aliran Sungai Enim dengan data tahun 2006. Fungsi lahan pada data awal diseleksi untuk dimasukkan ke dalam kategori yang digunakan dalam perhitungan footprint; Arable (pertanian/perkebunan), Pasture (ladang penggembalaan), Forest (hutan, produktif), Energy (hutan, reservasi), Fisheries (perairan) dan Built-up (terbangun).
53
Tabel V.1 Luas lahan produktif menurut fungsinya (hektar) Muara Lawang Tanjung Enim Kidul Agung LAHAN sawah
Semende Semende Semende Darat Darat Darat Laut Tengah Ulu
total
1.741
65
2.294
1.060
1.219
1.828
8.207
626
637
2.691
53
158
95
4.260
Ladang kebun
2.413
3.786
21.691
0
1.100
385
29.375
Tidak digunakan
1.145
213
2.848
0
1.369
1.730
7.305
997
491
5.745
8.657
2.890
1.250
20.030
Hutan Negara
3.348
0
18.965
18.000
14.482
15.875
70.670
Perkebunan
5.099
0
5.622
5.325
5.495
4.510
26.051
158
62
78
95
257
85
735
3.947
11.751
8.066
2.710
730
642
27.846
19.474
17.005
68.000
35.900
27.700
Bangunan
Hutan rakyat
Kolam Lainnya total
(ha)
26.400 194.479
Dari data diatas diolah untuk mendapatkan luas total untuk masing-masing kategori. Hasilnya kemudian untuk digunakan dalam perkalian dengan produktifitas masingmasing tipe lahan dengan rumus yang telah ditunjukkan dalam Bab III. Adapun komponen perhitungan yang juga digunakan adalah yang terdapat dalam tabel di bawah ini; Tabel V.2 Indonesian Yield Factors & Equivalence Factors (2001)
Equivalence Factor
Yield Factor
[gha/ha]
[-]
Primary Cropland
2,17
0,98
Marginal Cropland
1,76
1,00
Forest
1,34
1,87
Forest AWS
1,34
1,87
Forest NAWS
1,34
1,87
Permanent Pasture
0,47
2,77
Marine Inland Water
0,35 0,35
0,81 1,00
Built
2,17
0,98
54
Tabel V.3 Ecological Footprint unit
Equivalence
Land type
ha/cap
factor
ha/cap
gha/cap
Energy
0,3730
1,34
0,4999
0,2673
Built up
0,0610
2,17
0,1325
0,1352
Arable
0,3359
1,965
0,6600
0,6667
Pasture
0,1470
0,47
0,0691
0,0249
Forest
0,1057
1,34
0,1417
0,0758
Fisheries
0,0039
0,35
0,0014
0,0014
1,171
Tabel V.4 Biological Capacity unit
Yield
Equivalence
Land type
factor
factor
ha/cap
gha/cap
Energy
1,87
1,34
0,373
0,935
Built up
0,98
2,17
0,061
0,130
Arable
0,99
1,965
0,336
0,653
Pasture
2,77
0,47
0,147
0,191
Forest
1,87
1,34
0,106
0,265
Fisheries
1
0,35
0,004
0,001 2,176
Minus 12% untuk biodiversity Rumus dan satuan untuk Biocapacity: Biocapacity (gha) = Area (ha) * Equivalence Factor (gha/ha) * Yield Factor (-)
Rumus untuk melihat keadaan dari perbandingan diatas; Ecological deficit (gha) = Footprint (gha) - Biocapacity (gha)
55
1,915
Dapat dilihat tingkat konsumsi di wilayah aliran sungai Enim dengan luas 194.479 ha yang dikonversikan ke dalam satuan lahan dunia (global hectare) masih dalam kapasitas biologis lingkungan hidup lokal untuk menyediakan kebutuhan pokok masyarakat lokal 1,915 gha/cap – 1,171 gha/cap menyisakan 0,744 gha/cap sebagai cadangan yang masih dapat dimanfaatkan produktifitasnya bagi 189.449 penduduk di wilayah aliran sungai Enim pada tahun 2006. Berarti walaupun pola konsumsi per kapita masyarakat di wilayah aliran sungai Enim membutuhkan 1,17 global hectare per kapita, namun daya dukung lingkungan hidup pada tahun 2006, dalam kapasitasnya menyediakan bahan untuk konsumsi pangan, masih dapat diandalkan dan belum mengalami defisit. Namun demikian, perlu diperhatikan dalam perbandingan antar komponen yang terdapat pada tabel Ecological Footprint dan Biocapacity, terlihat untuk tipe pemanfaatan untuk lahan terbangun, peternakan dan perairan mulai mengalami defisit dalam sudut pandang produktifitas global. Sedangkan untuk fungsi lahan lainnya masih reserved. Secara total, produktifitas lahan dan pola konsumsi masyarakat tersebut memang belum menunjukkan kekhawatiran bahkan menunjukkan potensi untuk tetap dapat mendukung kebutuhan selama komposisi jumlah penduduk dan produktifitas lahan tidak banyak berubah. Tetapi masih banyak faktor lain yang belum dihitung, karena minimnya data, yang dapat mempengaruhi terjaminnya kelangsungan lingkungan dalam kemampuannya memberikan kehidupan bagi manusia di wilayah tersebut secara lokal. Faktor-faktor fisik seperti pencemaran tanah maupun air, termasuk sungai dan pola pemanfaatan lahan itu sendiri, akan memberi pengaruh pada fungsi dan siklus hidrologi yang kemudian akan mempengaruhi unsur lingkungan hidup yang saling berkaitan dalam siklus tersebut termasuk lahan dengan tingkat produktifitasnya. Pengaruh pola atau gaya hidup memberi pengaruh besar terhadap besar kecilnya footprint. Karena akan mempengaruhi pilihan dalam menentukan apa yang akan dikonsumsi. Kecenderungan masyarakat perkotaan akan memiliki angka footprint yang lebih besar karena pilihan konsumsinya. Dengan kemungkinan di masa
56
depan wilayah sekitar aliran Sungai Enim akan menjadi lebih maju dan ramai penduduk, ditambah kecenderungan mengikuti pola gaya hidup kota besar, peluang bertambahnya angka footprint akan menjadi lebih besar. Walaupun perhitungan Footprint bukanlah alat untuk prediksi, namun hubungan pada perbandingan antara kemampuan alam dengan tingkat konsumsi populasi dapat menunjukkan semakin besar konsumsi akan semakin besar sumber daya alam yang dibutuhkan. Sedangkan lahan yang memiliki batas kemampuan produksi dan batasan waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi akan dibagi oleh jumlah per kapita yang menuntut pemenuhan kebutuhannya juga mengalami degradasi ataupun konversi. Sehingga pada saat jumlah kebutuhan per kapita, baik yang disebabkan oleh jumlah kapita yang bertambah ataupun gaya hidup per kapita yang boros, melampaui kemampuan alam untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka terjadilah apa yang disebut overshoot. Hal ini tentu akan menurunkan kualitas kehidupan, baik kesejahteraan manusia maupun keadaan lingkungan hidup. Tetapi hal ini dapat saja terjadi didahului oleh kualitas atau kemampuan lingkungan hidup yang menurun terlebih dahulu, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan per kapita suatu populasi. Studi lain yang dilakukan baru-baru ini memperkirakan bahwa untuk cukup pangan bagi 9 milyar jumlah penduduk bumi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2050—kebutuhan menjadi berlipatganda—akan membutuhkan konversi lahan yang luasnya lebih besar dari Negara AS termasuk Alaska, dari fungsinya yang semula menjadi lahan pertanian dan peternakan. Sementara saat ini, habitat alami yang tersisa sudah hampir habis karena dipergunakan oleh pengembangan perkotaan untuk menunjang pertambahan populasi. Dapatkah dihasilkan bahan pangan lebih banyak pada sedikit lahan yang ada? Prospek bagi peningkatan hasil panen dibandingkan dengan hasil 40 tahun yang lalu masih belum jelas, malah terdapat bukti bahwa hasil global produksi padi-padian per orang sudah mulai merosot. Kemudian, biaya tambahan dari upaya peningkatan apapun sepertinya akan sama atau lebih buruk daripada tingkat beban yang ditanggung oleh sektor pertanian saat ini. Lahan produktifitas rendah dan sekunder, dimana perluasan pertanian biasa
57
diarahkan, diragukan dapat menghasilkan panen yang banyak. Air irigasi yang semakin terbatas, limpasan pupuk kimia kini sudah mencemari lingkungan, dan tanaman akan menjadi semakin rentan terhadap hama dan penyakit diakibatkan pola produksi yang monokultur. Penting juga diingat bahwa prediksi peningkatan hasil panen tidak memperhitungkan dampak dari perubahan lingkungan dalam jangka panjang, seperti perubahan iklim atau kejadian lokal. Sebagai contoh adalah luasnya “brown cloud” akibat
polusi yang meliputi Asia Tenggara. Awan tersebut mengurangi sinar
matahari yang mencapai bumi sampai 10-15 persen dan kemudian mengubah iklim wilayah tersebut, mendinginkan permukaan bumi sambil menaikkan suhu atmosfir. Para ilmuwan yang mengamati awan tersebut telah mengingatkan bahwa hujan asam dari kabut asap mengancam pertanian, hutan dan lautan, dan dapat memangkas panen padi yang akan dihasilkan di India sebanyak 10 persen.
V.4 MENURUNKAN FOOTPRINT KONSUMSI Persoalan lingkungan hidup seringkali dibahas sektor per sektor. Tanpa perspektif sistem secara keseluruhan, jalan keluar dari satu permasalahan terkadang memunculkan sebuah persoalan yang baru. Sebagai contoh, budidaya air dikembangkan sebagai sebuah sumber protein yang efisien dengan mengambil lahan pertanian yang masih tersisa dan membantu mempertahankan ketersediaan ikan di alam bebas. Tetapi pertanian ikan yang terkumpul di suatu tempat akan mengganggu ekosistem laut dan pantai lewat kerusakan habitat, meninggalkan sedimen, pelepasan limbah mentah, penularan penyakit, penggunaan dan pengaliran obat-obatan dan antibiotik, konsentrasi dioksin dan racun lainnya, tercampurnya dengan spesies non lokal dan potensi tercampur dengan spesies yang dimodifikasi secara genetika. Beberapa konsekuensi yang tidak diharapkan walaupun tidak dapat dihindari, tetap dapat mencegah banyak lagi konsekuensi yang lain, melalui berpikir sistemik. Ecological Footprint membantu menjelaskan jumlah batasan keseluruhan terhadap aktivitas manusia, menjelaskan tradeoff dari berbagai pilihan kebijakan.
58
Mendekatkan gap antara permintaan manusia dan penyediaan oleh lingkungan alami akan bergantung pada empat zona—populasi, konsumsi, teknologi, dan pengelolaan kekayaan alam. Pertanian yang sustainable menawarkan peluang untuk secara bersamaan mendukung langkah maju pada keempat bidang tersebut. •
Populasi: populasi dunia yang terus bertambah berarti semakin sedikit daya dukung hayati lingkungan per orang. Salah satu peluang yang paling efektif dan manusiawi untuk tetap mampu sustain adalah dengan tercapainya secara luas perencanaan keluarga yang mapan, efektif dan mampu.
•
Konsumsi: Konsumen memiliki kekuatan investasi yang besar dalam membawa kepada sebuah sistem konsumsi pangan yang lebih sustainable. Pilihan pada apa yang kita makan mempunyai pengaruh langsung pada orang lain dan daerah dimana kita tinggal—ini adalah satu hal yang paling penting dari hak memilih yang kita miliki. Sistem konsumsi pangan yang sustainable jangkauannya jauh dibalik sekedar label pertanian organik melawan konvensional, atau penikmat daging melawan vegetarian, sampai kepada sistem konsumsi pangan secara menyeluruh. Pangan yang sustainable adalah yang diproduksi dalam wilayah pangannya sendiri oleh petani lokal; diproduksi pada skala yang secukupnya menurut area produksi dengan sesedikit mungkin proses dan gangguan terhadap lingkungan; diproduksi dalam kondisi kerja yang sehat; dan dengan karakter yang mudah untuk didapatkan.
•
Teknologi: Peningkatan efisiensi dalam produksi, proses, dan transportasi pangan, dan peralihan kepada sumber bahan bakar yang terbarukan, dapat mengurangi secara substansial Footprint pangan, sementara dapat menuai panen dengan hasil yang sama.
•
Pengelolaan sumber daya alam: Metode pertanian yang sustainable dapat melindungi lapisan tanah, air dan margasatwa liar. Terdapat banyak cara untuk membangun kekayaan sumber alam melalui pertanian termasuk mengelola atau menciptakan habitat bagi margasatwa liar tersebut, menggunakan praktek cocok tanam konservasi untuk mengembalikan karbon
59
lapisan tanah, mengurangi pencemaran air, dan pertanian dengan daur alami limpahan air. Hal-hal diatas menjadi penting karena kecenderungan mengikuti pola konsumsi masyarakat kota besar berpeluang besar terjadi di masyarakat mana pun. Baik karena pengaruh iklan maupun pemasaran produk komersial, yang akan memperbesar konsumsi yang pada akhirnya memperbesar angka footprint. Sedangkan alam memiliki pula keterbatasannya tersendiri. Sumber-sumber yang tidak terbarukan pasti akan habis apalagi terus ditingkatkan pemanfaatannya. Sumber daya yang terbarukan pun menerima dampak yang semakin jelas dengan laju pemanfaatan yang lebih tinggi dibanding tingkat regenerasi sumber tersebut. Hal ini akan menurunkan kualitas lingkungan keseluruhan secara perlahan, yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas kesejahteraan hidup manusia yang layak secara luas. Harga sebuah teknologi tidak dapat begitu saja mengkompensasi penurunan kualitas ini. Seringkali penerapan satu teknologi menyelesaikan satu permasalahan tetapi meninggalkan satu atau lebih permasalahan baru di belakangnya. Karena yang menjadi inti persoalan bukanlah sesuatu yang ada di hadapan, tetapi lebih kepada pola perilaku bertindak yang didasari pola pikir tertentu. Menelusuri kembali kepada yang ada di dasar pribadi manusia adalah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di kemudian hari, dan bukan menemukan bagaimana cara memenuhi kebutuhan manusia belaka yang tidak akan ada puasnya.
60