BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kesinambungan antar upaya program dan sektor, serta kesinambungan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan oleh periode sebelumnya (Kemenkes RI, 2015). Salah satu sasaran pembangunan kesehatan yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah menurunkan prevalensi gizi kurang setinggi-tingginya 20% (Depkes RI, 2007). Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Menurunnya kualitas sumber daya manusia di usia muda berarti hilangnya sebagian besar potensi yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan bangsa. Kurang gizi berakibat menurunnya tingkat kecerdasan anak karena gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya (Depkes RI, 2009). Masalah gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Gizi yang tidak seimbang, baik kekurangan maupun kelebihan, akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Memasuki era pembangunan dimasa yang akan datang, Indonesia menghadapi beban ganda, yaitu gangguan gizi kurang seperti KEP (Kekurangan Energi Protein) dan KEK (Kekurangan Energi Kronis), GAKY (Gangguan Akibat Kurang Yodium), anemia gizi, KVA (Kekurangan Vitamin A), dan masalah gizi lebih yang banyak terdapat pada sebagian penduduk terutama di perkotaan (Depkes RI, 2000). Gizi yang baik perlu ditingkatkan untuk mendukung pembanguan manusia guna menjamin kesehatanya. Gizi dibutuhkan dari sejak dalam kandungan 1
2
melalui peran ibu hingga lanjut usia. Balita merupakan salah satu golongan penduduk yang rawan dengan masalah gizi (Azwar, 2002). Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Namun, periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat sehingga gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat permanen, tidak dapat dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi (Depkes RI, 2007). Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umunya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya ketersediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan {(sanitasi, kurangnya pengetahuannya masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (iodium)}. Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan (Almatsier, 2002). Status gizi yang buruk pada bayi dan anak dapat menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun perkembangan dalam berfikir yang gilirannya akan menurunkan produktivitas kerja (Suhardjo, 2007). Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi buruk atau kurang akan berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia yang akan mempengaruhi nilai Indeks Pembangunan Manusia. Penyebab terjadinya kurang gizi pada balita salah satunya yaitu kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan pada orang tua, khususnya ibu (Balawati, 2004). Untuk menanggulangi masalah gizi di Indonesia, sejak tahun 1999 telah dikeluarkan
Inpres
nomor
8
tahun
1999
tentang
Gerakan
Nasional
Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi yang diarahkan pada pemberdayaan keluarga, pemberdayaan masyarakat dan pemantapan kerjasama lintas sektor (Almatsier, 2004). Sejalan dengan Inpres tersebut, Departemen Kesehatan RI (2007) menetapkan sasaran prioritas dalam strategi utama untuk mempercepat
3
penurunan gizi kurang pada balita adalah mewujudkan keluarga sadar gizi. Berdasarkan
keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No
747/Menkes/SK/VI/2007 ditetapkan bahwa target nasional untuk keluarga sadar gizi (gizi) adalah 80% keluarga di Indonesia bisa melaksanakan perilaku sadar gizi atau mencapai status kadarzi. Hal ini didasari karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (Depkes RI, 2002). Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya melakukan perilaku gizi seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya, dan mampu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah gizi yang dijumpai oleh anggota keluarganya.
Keluarga
dikatakan
mencapai
status
Kadarzi
jika
telah
melaksanakan lima indikator yaitu 1) Menimbang berat badan secara teratur, 2) Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif), 3) Makan beraneka ragam, 4) Menggunakan garam beriodium dan 5) Minum suplemen gizi {TTD (Tablet Tambah Darah), kapsul Vitamin A dosis tinggi} sesuai anjuran (Depkes RI, 2007). Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi untuk pertembuhan dan perkembangan tubuh. Namun anak balita justru merupakan kelompok umur yang paling
sering
menderita
akibat
kekurangan
gizi
(Sediaoetama,
2010).
Permasalahan gizi pada anak balita di Indonesia masih tinggi hingga sekarang. Secara nasional, prevalensi gizi berat-kurang (underweight) pada tahun 2013 adalah 19,6%, terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4%) dan tahun 2010 (17,9%) terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9% tahun 2010, dan 5,7% tahun 2013. Sedangkan gizi kurang naik sebesar 0,9% dari 2007 dan 2013.
4
Masih tingginya prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia menunjukkan perilaku gizi ditingkat keluarga masih belum baik. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan pencapaian ke lima indikator Kadarzi yang masih berada di bawah target. Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) ditemui hanya 44,6% keluarga balita yang melakukan pemantauan pertumbuhan 4 kali atau lebih dalam 6 bulan terakhir. Persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 30,2% (target 75%). Prevalensi kurang makan buah dan sayur mencapai 93,5%, dan baru 77,1% (target 85%) keluarga yang mengkonsumsi garam dengan cukup iodium serta cakupan distribusi kapsul vitamin A untuk balita juga baru mencapai 75,5% (target 83%) (Kemenkes RI, 2013). Di Provinsi Banten, prevalensi berat-kurang (underweight) pada balita sebesar 17,2%, terdiri dari 4,3% gizi buruk dan 12,9% gizi kurang. Prevalensi beratkurang Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan angka prevalensi berat-kurang nasional tahun 2013 (19,6%). Prevalensi balita berat-kurang tertinggi ialah di Kabupaten Serang (22,4%) dan terendah di Kota Tangerang (10.9%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi berat-kurang antara 20,0-20,9%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30%. Pada tahun 2013, prevalensi gizi berat-kurang pada anak balita di Provinsi Banten masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena mendekati prevalensi tinggi, masih tingginya prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita menunjukkan perilaku gizi ditingkat keluarga masih belum baik. Berdasarkan Riskesdas Provinsi Banten (2013) persentase kurang makan buah dan sayur sebesar 97,6%, proporsi ibu hamil konsumsi zat besi (Fe) sebesar 89,1% (target 93%), cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak balita sebesar 74,% (target 83%), frekuensi penimbangan ≥ 4 kali sebesar 35,9%, keluarga yang mengkonsumsi garam dengan cukup iodium sebesar 80,1% (target 85%) (Kemenkes RI, 2013). Secara nasional cakupan ibu hamil mendapat tablet Fe tahun 2014 sebesar 85,1% (target 95%), cakupan pemberian ASI eksklusif sebesar 52,3% (target
5
80%), cakupan pemberian vitamin A pada balita secara nasional 85,4% (target 90%), cakupan balita ditimbang sebesar 80,8% (target 85%). Sementara itu di Provinsi Banten cakupan pemberian zat besi pada ibu hamil sebesar 85,1% yang berarti bahwa masih dibawah target nasional, cakupan pemberian ASI eksklusif sebesar 65,0% dibawah target nasional, cakupan pemberian vitamin A pada balita sebesar 71,0% dibawah target nasional, dan cakupan balita ditimbang sebesar 83,42% dibawah target nasional (Kemenkes RI, 2015). Tiga dari lima indikator kadarzi yaitu menimbang berat badan secara teratur, memberi ASI eksklusif, dan memberikan suplemen gizi, yang ada dalam profil kesehatan Indonesia tahun 2014 menggambarkan bahwa di Indonesia dan Provinsi Banten belum menerapkan perilaku keluarga sadar gizi yang baik karena seluruh cakupannya masih dibawah target nasional. Status gizi balita di kabupaten Tangerang pada tahun 2011 yaitu terdapat kejadian gizi kurang pada balita sebesar 5,9% sedangkan gizi buruk sebesar 0,8%. Persentase balita ditimbang pada tahun 2011 adalah sebesar 75,5% (target 70%), jumlah bayi yang diberi ASI ekslusif sebesar 45,1% (target 67%), anak balita yang mendapat vitamin A sebesar 87,3% (target 78%) (Dinkes Provinsi Banten, 2011). Sementara pada tahun 2012 di Kabupaten Tangerang pemberian vitamin A pada balita sebesar 100% (target 80%), jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif sebesar 34,2% (target 80%), balita yang ditimbang sebesar 67,7% (target 75%). Kejadian kasus gizi kurang pada balita sebear 5,1% (11.989) dan gizi kurang 0,67 (1.579) (Dinkes Provinsi Banten, 2012). Berdasarkan upaya perbaikan gizi yang dilakukan Puksesmas Teluknaga terdapat empat indikator keluarga sadar gizi, yaitu cakupan balita mendapat vitamin A 2 kali pada balita umur 12-59 bulan tahun 2014 sebesar 80,62% (target 85%), cakupan bayi yang mendapat ASI eksklusif adalah 86,3% (target 80%), cakupan balita ditimbang (D/S) sebesar 79,5% (target 85%), dan pada tahun 2014 ada 2 desa (28,57%) yang menggunakan garam beryodium (Desa baik) dari 7 desa di wilayah Puskesmas Teluknaga dan jumlah Kepala Keluarga yang menggunakan garam beryodium sebanyak 181 KK (90,5%), dimana target rumah
6
tangga konsumsi garam beryodium 90%, sementara yang tidak menggunakan garam beryodium sebanyak 19 KK (9,5%). Dari keempat cakupan yang ada dapat diketahui bahwa cakupan balita mendapat vitamin A 2 kali. dan cakupan balita ditimbang (D/S), masih dibawah target capaian indikator pembinaan gizi masyarakat. Dari 7 Desa yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas Teluknaga tahun 2014, Desa Teluknaga memiliki cakupan terendah pada dua indikator keluarga sadar gizi yaitu pada cakupan balita (12-59 bulan) yang mendapat vitamin A 2 kali yaitu sebesar 70,98 % dengan target 85%, dan cakupan balita ditimbang (D/S) sebesar 68,5% dengan target 85%. Di Desa Teluknaga terdapat 5 balita di Bawah Garis Merah (BGM), dan 1 balita dengan kasus gizi buruk. (Profil Kesehatan UPT Puskesmas Teluknaga, 2014). Selain kedua indikator tersebut terdapat 3 indikator lainnya, menurut penjelasan petugas puskemas banyak ibu yang belum mengetahui pentingnya ASI eksklusif sehingga ibu sudah memberikan makanan selain ASI sebelum bayi berumur 6 bulan, ibu juga kurang memperhatikan makanan yang disediakan untuk keluarga terutama balita, ibu tidak selalu menghidangkan makanan yang beraneka ragam, hal tersebut dapat terjadi karena penghasilan keluarga yang kurang, banyak juga ibu yang belum mengetahui pentingnya penggunaan garam beryodium dalam masakan ibu. Berdasarkan data yang diperoleh dari petugas gizi disebutkan bahwa terdapat 70 kasus gizi buruk dan 370 gizi kurang pada anak usia 0-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Teluknaga Tahun 2015, sementara di Desa Teluknaga pada Tahun 2015 terdapat 10 kasus gizi buruk, dan 40 kasus gizi kurang pada anak usia 0-59 bulan, hal ini dapat terjadi karena perilaku keluarga sadar gizi Desa Teluknaga yang belum baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lutfi Fauzi Ridwan (2010) yang berjudul “Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar Tahun 2010”, menyimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita yaitu pendapatan, pengetahuan
7
gizi, budaya keluarga, dan peran tokoh masyarakat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nery Aprilia Kardina (2015) dengan judul “Hubungan antara Karakteristik Ibu, Keluarga, dan Pelayanan Kesehatan dengan Status Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Prajekan, Kabupaten Bondowoso, disimpulkan bahwa pendidikan, pengetahuan, pelayanan petugas kesehatan/kader dan keterpaparan informasi Kadarzi berhubungan dengan status Kadarzi pada keluarga balita. Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Teluknaga yang merupakan bagian dari wilayah kerja Puskesmas Teluknaga dengan tujuan untuk menganalisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016. 1.2 Identifikasi Masalah Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi antara lain: 1. Umur Secara umum dapat dikatakan bahwa bertambah pengetahuan seseorang berbanding lurus dengan pertambahan usia. Hal ini dikarenakan semakin bertambah usia seseorang maka ia akan semakin terpajan oleh informasi, sehingga dengan demikian ada kecendrungan akan semakin bertambah pegetahuannya (Notodmodjo, 2003). 2. Tingkat Pendidikan Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 1987). 3. Pekerjaan Keterlibatan ibu dalam kegiatan ekonomi/bekerja dibatasi oleh waktu mereka untuk kegiatan rumah tangga termasuk pengelolaan pangan buat keluarga. Saat wanita dari keluarga menengah ke bawah lebih mengalokasikan untuk
8
kegiatan bekerja di luar rumah, biasanya mereka akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan di rumah tangga dengan cara mengurangi frekuensi memasak dan mengurangi jenis makanan yang dimasak yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas gizi pada menu makanan anggota keluarga tersebut (Hardinsyah, 2007). 4. Pendapatan Keluarga Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan (Hardinsyah, 1997). 5. Pengetahuan Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang serta kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. Pengetahuan sangat penting dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan mempengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007). 6. Sikap Sikap ibu tentang kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi di tingkat keluarga. Sikap tentang kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan gizi sebagai upaya untuk memelihara kesehatannya (Sedioetama, 2006). 7. Budaya Keluarga Masalah lain yang menghambat penerapan perilaku keluarga sadar gizi adalah adanya kepercayaan, adat istiadat, dan mitos negatif pada keluarga. Sebagai contoh masih banyak keluarga yang mempunyai anggapan negatif dan pantangan terhadap beberapa jenis makanan yang justru sangat bermanfaat bagi asupan gizi (Depkes RI, 2007).
9
8. Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Sarana pelayanan kesehatan pada hakikatnya untuk mendukung atau meningkatkan terwujudnya perubahan perilaku kesehatan, oleh sebab itu posyandu merupakan salah satu sarana pendukung program Kadarzi, karena kegiatan pemantauan tumbuh kembang, penyuluhan, dan pendampingan ASI ekslusif serta memberikan suplemen gizi sesuai anjuran dilakukan melalui posyandu (Indahsari, 2011). 9. Keterpaparan Informasi Kadarzi Sumber informasi adalah segala sesuatu yang menjadi perantara dalam penyambungan informasi baik media dan non media, sehingga sasaran dapat meningkatkan pengetahuannya yang akhirnya diharapkan dapat merubah perilakunya kearah positif terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Salah satu
tujuan promosi kadarzi adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga yang sadar gizi (Depkes RI, 2007). 10. Dukungan Sosial Suami Suami juga mempunyai hak yang sama dengan ibu dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya, dalam hal ini suami juga harus memperhatikan gizi yang diberikan ibu untuk anaknya apakah sudah memenuhi gizi yang dibutuhkan oleh anaknya atau belum, sehingga ibu bisa bertukar pendapat dengan suami untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan anaknya (Saputri, 2015). 11. Peran Tokoh Mayarakat Peran tokoh masyarakat merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku Kadarzi pada keluarga balita. Peran tokoh masyarkat terutama berhubungan dalam menganjurkan ibu balita datang ke posyandu. Posyandu sangat erat kaitannya dengan perilaku Kadarzi karena dua indikator perilaku Kadarzi seperti menimbang balita, dan memberikan balita suplemen vitamin dilaksanakan di posyandu (Ridwan, 2010).
10
12. Pelayanan Petugas Kesehatan atau Kader Beberapa tugas kader pada hari buka Posyandu, antara lain yaitu melaksanakan penimbangan balita yang berkunjung ke Posyandu, mencatat hasil penimbangan di kartu menuju sehat, melaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan dan gizi sesuai dengan hasil penimbangan serta pemberian makanan tambahan (Depkes RI, 2006). Sikap dan perilaku yang baik dari petugas kesehatan/kader akan mempengaruhi klien dalam mengikuti anjuran yang diberikan oleh petugas kesehatan/kader dalam pemberian pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). 1.3 Pembatasan Masalah Peneliti memberikan batasan lingkup penelitian mengingat banyaknya faktor yang berhubungan dengan perilaku sadar gizi pada keluarga, maka penilitian yang akan dilakukan sebatas faktor-faktor antara lain umur ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, pengetahuan ibu, sikap ibu, dan dukungan sosial suami yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016. 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian adalah apakah “Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Desa
Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang pada Tahun 2016?” 1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang pada Tahun 2016. 1.5.2 Tujuan Khusus a.
Mengetahui gambaran karakteristik responden (umur ibu, pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga) di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
11
b.
Mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang keluarga sadar gizi di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
c.
Mengetahui gambaran sikap gizi terhadap keluarga sadar gizi di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
d.
Mengetahui gambaran dukungan sosial suamiterhadap perilaku keluarga sadar gizi di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
e.
Mengetahui gambaran perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
f.
Menganalisis hubungan karakteristik responden (umur ibu, pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga) dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
g.
Menganalisis hubungan pengetahuan ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
h.
Menganalisis hubungan sikap ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
i.
Menganalisis hubungan dukungan sosial suami dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita di Desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang Tahun 2016.
1.6
Manfaat Penelitian 1.6.1 Bagi Puskesmas Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka perencanaan kegiatan selanjutnya khususnya pada program gizi dan promosi kesehatan.
12
1.6.2 Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi bagi masyarakat umum mengenai perilaku keluarga sadar gizi sebagai upaya pencegahan masalah gizi, perbaikan gizi dan peningkatan gizi ditingkat masyarakat. 1.6.3 Bagi Institusi Pendidikan Dapat menambah dan melengkapi kepustakaan khususnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita. 1.6.4 Bagi Peneliti Dapat mengaplikasikan keilmuan yang telah didapatkan selama menjalankan pendidikan di bangku kuliah serta menambah ilmu pengetahuan dan menambah informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku sadar gizi pada keluarga balita. 1.7 Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu yang memilki kemiripan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Lutfi Fauzi Ridwan dengan judul skripsi “Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Balita di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar Tahun 2010”, menyimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga sadar gizi pada keluarga balita yaitu pendapatan, pengetahuan gizi, budaya keluarga, dan peran tokoh masyarakat. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini antara lain perbedaan pemilihan lokasi penelitian, dimana penelitian sebelumnya dilakukan di Kelurahan Karangpanimbal Kecamatan Purwaharja Kota Banjar, sedangkan penelitian yang penulis lakukan bertempat di Desa Teluknaga Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang. Variabel yang diteliti, bila dalam penelitian yang dilakukan oleh Lutfi Fauzi Ridwan, variabel indenpenden yang diteliti terdiri dari umur ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, besar keluarga, pengetahuan gizi ibu, sikap ibu, budaya keluarga, keterpaparan
13
informasi kadarzi, peran tokoh masyarakat. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan pada penelitian ini faktor-faktor yang diteliti lebih terfokus pada karakteristik responden (umur ibu, pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga,), pengetahuan ibu tentang kadarzi, sikap ibu terhadap kadarzi dan dukungan sosial suami terhadap perilaku kadarzi.