BAB IX ANALISIS EKONOMI DAN ASPEK SOSIAL USAHA SAPI PERAH I Atien Priyanti , Sudi Nurtini 2 dan Achmad Firman3 'Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 2 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3Fakultas Petemakan Universitas Padjadjaran, Bandung
1.
PENDAHULUAN
Usaha sapi perah di Indonesia sebagian besar didominasi oleh peternakan rakyat, dan Pulau Jawa masih terus menjadi wilayah utama usaha sapi perah yang mencakup 97% dari produksi susu nasional pada tahun 2007 . Peternak ini telah menghasilkan 574 ribu ton susu pada tahun 2008, naik dari 550 ribu ton pada tahun 2004 atau meningkat sebesar 4,43% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008) . Berdasarkan sensus pertanian pada tahun 2003, jumlah rumah tangga peternak sapi perah di Pulau Jawa juga menunjukkan peningkatan seiring dengan pertambahan populasi sapi perah, kecuali untuk Jawa Barat (BPS, 2007) . Dibandingkan dengan sensus penduduk pada tahun 1993, jumlah rumah tangga peternak sapi perah di Jawa Barat menurun sebesar 4,8%, sedangkan hal tersebut di Jawa Timur dan Jawa Tengah meningkat masing-masing sebesar 33% dan 18% . Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan sapi perah di Jawa Barat per rumah tangga peternak relatif meningkat. Populasi sapi perah berjumlah 408 ribu (Direktorat Jenderal Petemakan, 2008), dengan jumlah rumah tangga petemak sapi perah pada tahun 2003, maka rata-rata 347
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
kepemilikan sapi perah per rumah tangga peternak adalah 2,7 ekor, 3,8 ekor dan 4,7 ekor berturut-turut untuk Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat . Dalam melaksanakan usaha, peternak harus mempunyai pengetahuan dalarn hal produksi dan pemasaran sehingga dapat menghitung keuntungan dan kerugian yang akan terjadi . Tujuan dari pemeliharaan sapi perah yang berorientasi bisnis adalah memperoleh keuntungan yang optimal berdasarkan sumber daya dan nilai investasi yang dimiliki . Hal ini terkait dengan menguantifkasi keuntungan ekonomi yang meliputi berbagai metode seperti analisis parsial usaha tani, penganggaran inputoutput dan analisis fungsi produksi . Bab ini secara terperinci membahas hal tersebut disertai dengan aspek sosial terkait dengan usaha peternakan sapi perah rakyat . Aspek-aspek yang menjadi topik bahasan adalah ekonomi produksi usaha sapi perah, analisis investasi, metode kuantifikasi keuntungan ekonomi, faktor-faktor yang memengaruhi keuntungan usaha, efisiensi usaha, dan aspek sosial pemeliharaan sapi perah . II .
EKONOMI PRODUKSI
Ekonomi produksi pertanian berkaitan erat dengan teoriteori ekonomi yang berhubungan dengan produsen komoditas pertanian . Suatu fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat penggunaan input-input (atau kombinasinya) . Pada umumnya, fungsi produksi dituliskan sebagai (Debertin, 1986) : Q = f(X,, X2, X3 , . . . . X„) (1) di mana : Q = tingkat produksi (output) X 1 , X 2 , X 3, . . . . X, = berbagai penggunaan input Dalam teori ekonomi, terdapat suatu asumsi dasar tentang sifat dan fungsi produksi yang menganut suatu hukum yang disebut dengan the law of diminishing returns . Hukum ini menyatakan bahwa apabila penggunaan satu input ditingkatkan, dengan penggunaan input lain tetap, maka tambahan output yang dihasilkan pada awalnya juga ineningkat, namun kemudian 348
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
seterusnya akan menurun apabila input tersebut terus ditambahkan . Tambahan output yang dihasilkan dari penambahan satu unit input tersebut disebut dengan marginal physical product (MPP), atau secara matematis ditulis sebagai : MPP = A Q/A X, (2) The law of diminishing returns sering juga disebut dengan the law of diminishing marginal physical product . Menurut hukum ini, AQ/AX,, AQ/AX 2, AQ/AX 3, . . . AQ/AX„ (input-input lain tetap) mulai dari titik tertentu akan terus menurun . Kurva total physical product (TPP) adalah kurva yang menunjukkan tingkat produksi total (=Q) pada berbagai tingkat penggunaan variabel input dengan input-input lain dianggap tetap . Dalam hat ini, TPP = f(X) atau Q = f(X) . Kurva MPP adalah kurva yang menunjukkan tambahan (atau kenaikan) dari TPP yang disebabkan oleh penggunaan tambahan 1 (satu) unit variabel input sehingga (3) MPPX = A TPP/A X = A Q/A X = df(X)/dX Kurva average physical product (APP) adalah kurva yang menunjukkan basil rata-rata per unit output pada berbagai tingkat penggunaan variabel input tersebut atau secara matematis ditulis sebagai : (4) APP = TPP/X = Q/X = f(X)/X Secara grafik, hubungan antara kurva-kurva TPP, MPP dan APP disajikan secara terperinci dalam Gambar 1 . Implikasi hubungan antara ketiga kurva tersebut adalah sebagai berikut : 1) Penggunaan input X sampai pada tingkat ketika TPP cekung ke atas (0 sampai A), maka balk MPP maupun APP adalah meningkat . 2) Pada tingkat penggunaan input X yang menghasilkan TPP naik dan cembung ke atas (antara A dan C), maka MPP menurun . 3) Pada tingkat penggunaan input X yang menghasilkan TPP turun (setelah C), maka MPP negatif. 3 49
Pro/l Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
4) Pada tingkat penggunaan input X ketika garis singgung pada TPP persis melalui titik origin (B), maka MPP = APP maksimum.
Input
n MP AP Maximum APP
Gambar 1 . Pembagian daerah dalam fungsi produksi
Secara umum fungsi produksi dibagi dalam tiga daerah . Daerah I adalah daerah ketika kurva MPPx berada di atas kurva APPx . Daerah ini tidak pernah menjadi daerah untuk mencapai keuntungan maksimum, sebab selalu lebih menguntungkan bagi produsen untuk menambah penggunaan input X, karena setiap tambahan X akan menyebabkan tambahan output. Daerah ini disebut dengan daerah yang tidak rasional (irrational stage), karena produsen yang rasional tidak akan pernah mengambil keputusan di daerah ini . Demikian pula untuk Daerah III atau 350
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
daerah tempat MPP X negatif juga merupakan daerah yang tidak rasional karena, setiap tambahan input X justru akan menurunkan tambahan output. Daerah I dan III disebut dengan daerah yang tidak rasional. Daerah I juga menunjukkan daerah ketika APP, menaik yang artinya bahwa setiap tambahan penggunaan input X akan menurunkan biaya rata-rata per satuan sehingga pasti selalu menambah keuntungan total . Jadi, selama APP, menaik, produsen akan terns menambah input X yang digunakan, dengan demikian juga akan menambah output. Hal ini juga nienjadi tidak rasional apabila produsen mengambil keputusan di daerah tersebut . Daerah II merupakan daerah yang rasional karena produsen yang rasional dalam memaksimumkan keuntungan akan melaksanakan usahanya di daerah ini . Daerah ini meliputi wilayah mulai dari titik MPP = APP (titik B) sampai ke titik di mana fungsi produksi mencapai maksimum, yakiii saat MPP = 0 (titik C). Dapat juga dijelaskan bahwa daerah II adalah daerah tempat kurva APPx berada di atas kurva MPPx . Pembagian daerah dalam fungsi produksi dapat juga dijelaskan dengan konsep elastisitas produksi . Pada tingkat penggunaan input yang meningkat, elastisitas produksi (E r) juga akan berubah karena EP merupakan nisbah dari MPP dan APP. Nilai EP dapat menunjukkan daerah produksi . Jika EP lebih besar dari 1, maka MPP akan lebih besar dari APP, dan hal ini berada di daerah I. Daerah II dimulai pada titik EP = 1 dan MPP = APP. Daerah III dimulai pada titik EP = 0 dan MPP juga = 0. Daerah III akan selalu terjadi pada saat EP negatif, demikian pula MPP juga negatif Keputusan yang harus diambil oleh produsen adalah berapa tingkat penggunaan input X yang dapat menghasilkan tingkat output Q yang menghasilkan keuntungan maksimum . Ketentuan umum untuk mencapai keuntungan maksimum mernerlukan beberapa kriteria . Pertama adalah menghitung penerimaan atau total revenue (TR), atau sering disebut dengan total value product (TVP) : 35 1
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
TVP = TPP x PQ (5) Total factor cost (TFC) adalah jumlah biaya yang dikeluarkan dari penggunaan variabel input : TFC = X x Px (6) Keuntungan atau profit adalah : rl = TVP -TFC (7) Melalui berbagai perhitungan matematis maka keuntungan maksimum akan dicapai pada kondisi : VMP / MFC = 1 (8) Sedangkan penggunaan input X akan optimum apabila: MPPx x PQ = Px atau MPPx = Px/P Q (9) Apabila digabung menjadi : MPPx ,/Px, = MPP x2 /P x2 = MPPx3 /Px3 = MPPx„/Pxn = 1/PQ (10) Konsep ekonomi produksi telah banyak digunakan oleh para ilmuwan dalam menguantifikasi keuntungan ekonomi pada sistem usaha tani . Pada umumnya, analisis ekonomi fokus pada penggunaan input yang efisien untuk mencapai suatu tingkat output. Pindyck dan Rubinfeld (1997) menyatakan bahwa hubungan input dan output untuk setiap sistem produksi adalah fungsi dari karakteristik teknologi . Fungsi biaya yang minimum dapat diturunkan dengan kendala fungsi produksi sehingga menghasilkan fungsi permintaan faktor input . Proses minimisasi biaya total akan menghasilkan nilai-nilai optimal pemakaian faktor-faktor input produksi yang merupakan implementasi dari konsep ekonomi produksi . Nilai optimal dari faktor-faktor input produksi tergantung dari harga input dan jumlah output yang dihasilkan sehingga fungsi permintaan faktor-faktor input adalah fungsi dari harga input dengan tingkat produksinya . Hadiana et al . (2005) telah mengaplikasikan konsep ekonomi produksi melalui analisis biaya produksi susu segar pada peternak sapi perah anggota GKSl Jawa Barat . Penelitian ini dilakukan terhadap 140 anggota peternak di 4 kabupaten dan 7 koperasi, yaitu Kabupaten Bandung (KUD Sinarjaya, KUD Sarwamukti, KPSBU Lembang), Kabupaten Sukabumi (KUD
352
Profri Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Makmur), Kabupaten Kuningan (KUD Gemahripah), dan Kabupaten Garut (KUD Cikajang dan KUD Bayongbong) . Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu per ekor adalah 13 liter/hari sehingga dalam satu siklus produksi satu ekor sapi perah dapat menghasilkan susu sebanyak 3965 liter (Tabel 1) . Total biaya produksi (TC) yang merupakan penjumlahan dari TVC dan TFC sebesar Rp26,29 juta dengan total pendapatan sebesar Rp31,04 juta . Apabila pendapatan difokuskan hanya dari pendapatan susu segar, maka total pendapatan yang diterima hanya sebesar Rp23,97 juta . Hal ini akan sulit bagi peternak untuk mendapatkan keuntungan, karena pada tahun 2005 kisaran harga jual susu di tingkat peternak antara Rp1900-2100/liter . Hasil analisis menunjukkan harga pokok produksi susu atau biaya titik impas di tingkat peternak sudah mencapai Rp2200/liter .
353
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Tabel 1 . Biaya produksi usaha sapi perah dengan skala usaha tiga ekor sapi laktasi di Jawa Barat tahun 2005 Komponen usaha Pendapatan (TR atau TVP) Penjualan susu Penjualan pedet Sub total Biaya Pemeliharaan (VC) Konsentrat Rumput Pakan tambahan Reproduksi/IB Obat/desinfektan BBM Pemeliharaan pedet Sub o al (TVC) Biaya Tetap (FC) Penyusutan kandang Penyusutan alat Penyusutan bibit Organisasi/sosial Bunqa modal Biaya hidup Tenaqa kerja Sub total (TFC) Biaya total (TC) Keuntungan Produksi susu (liter/tahun) Harga pokok produksi
Biaya produksi (Rpjuta /tahun)
Keterangan perhitungan
23 97 7 07 31,04
Qs ~ a
5 91 3,95 0,29 0 08 0,06 0,18 0 57 10 28
Qkoos
Qpedet
(I) x P oso (Rp/I) x 305 han (ekor) P det (Rp/ekor)
(kg) x P ops (Rp/kg) x 365 hr (kg) x P rmp, ( Rp/kg) x 365 hr Qpakao (kg) x P (Rp/kg) x 365 h Q,B X P, 8 (Rp/IB) x frekuensi IB Qobet (unit) x P bah- hebis tRplunit) QBBM (I) x P BBM (Rp/I) x jumlah Q oos (kg) x Pkons (Rp/kg) x 365 hr Qrmp,
0 45 0 41 1 29 0 05 2,29 11,52 16 01 26 29 4,75 11 .986,50 2 .200,08
TC = TVC + TFC (a = TR - TC (TVC+TFC)) TC/Q
produksi susu setahun
Sumber : Hadiana et al . (2005) III . MENGUANTIFIKASI KEUNTUNGAN EKONOMI
Beberapa metode dapat dilakukan dalam menguantifikasi keuntungan ekonomi pada sistem usahatani, diantaranya yang umum dipakai adalah partial-farm analysis dan input-output budgeting (Amir dan Knipscheer, 1989) . Partial farm analysis meliputi partial budget analysis dan break even analysis . Inputoutput budgeting meliputi benefit-cost analysis dan gross margin analysis .
354
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
M.1 Partial Budget Analysis Partial budget analysis yang juga disebut dengan partialprofit budget adalah tabulasi dari tambahan nilai yang diharapkan dan kerugian yang ditimbulkan akibat suatu perubahan dalam sistem usaha tani . Misalnya, introduksi jenis pakan barn, penggunaan pupuk organik, aplikasi penggunaan alat, dan lain sebagainya . Hal ini merupakan metode untuk mendapatkan keseimbangan antara tambahan nilai atau keuntungan yang diperoleh dengan kerugian atau biaya yang ditimbulkan jika keputusan untuk mengubah akan diambil . Metode ini sangat sederhana dan mudah digunakan dalam memberikan informasi terkait dengan keuntungan dan biaya akibat suatu perubahan . Rumus sederhana untuk menghitung kerugian atau keuntungan disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 . Rumus dalam artial bud et ana ysis Tambahan nilai (A) Tambahan penerimaan Pengurangan biaya Total A Keuntungan atau kerugian = A - B
Kerugiari (B) Tambahan biaya Pengurangan penerimaan Total B
Sumanto et al. (2004) telah menggunakan partial budget analysis untuk menghitung keuntungan ekonomi dari perbaikan pakan dari suatu usaha sapi perah di Bandung sebagaimana disajikan pada Tabel 3 . Metode ini mengonversikan indikator teknis, dalam hal ini pertambahan bobot badan, yang diperoleh akibat perbaikan pakan pada sapi perah dara . Di samping sederhana dan praktis, metode ini juga mudah dilakukan oleh petani dalam mengevaluasi keuntungan atau kerugian dari usaha taninya . Tabel 3 . Contoh hasil erhitun an den an metode artial bud et ana ysis Parameter _ Pertambahan bobot badan (kg) Pertambahan nilai Biaya konsentrat Biaya rumput Nilai tambah
Konsentrat 1,01 20 .200 7 .600 2 .000 10 .600
Perlakuan pakan Pakan komplit 0,94 18 .800 10.500 0 8 .300
Kontrol 0,69 13 .800 6 .300 2 .000 5 .500
Sumber : Suman o et al . (2004)
355
Projil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
111.2 Analisis Titik Impas Analisis titik impas (break even analysis) menentukan tingkat di mana nilai tambah dan kerugian adalah sama atau sering disebut dengan analisis titik impas . Analisis ini biasanya menjadi indikasi untuk menentukan skala usaha minimal yang harus dikelola peternak. Kondisi di atas titik impas menunjukkan bahwa keuntungan lebih besar dari biaya, sebaliknya jika berada di bawah titik impas, maka biaya lebih besar dari penerin aan dan kondisi ini secara ekonomi tidak menguntungkan . Terdapat dua kondisi titik impas, yaitu titik impas volume produksi dan titik impas harga produksi, masing-masing dirumuskan sebagai : Titik impas volume produksi = TC/P Q (11) Titik impas harga produksi = TC/Q (12) di mana : TC = total biaya produksi PQ = harga per satuan produk Q = total produksi Sebagai contoh dalam perhitungan titik impas diuraikan dengan menggunakan data primer berupa informasi hasil survei terhadap peternak sapi perah pada bulan Juni-Agustus 2008 di empat provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur). Masing-masing provinsi terdiri dari dua kabupaten dengan representasi lokasi dataran tinggi dan rendah . Masingmasing lokasi dipilih responden secara purposive random sehingga diperoleh total 177 responden yang telah diwawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur . Hasil perhitungan titik impas pada usaha sapi perah untuk menghasilkan susu di masing-masing provinsi disajikan pada Tabel 4.
356
Prof1/ Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Tabel 4 .
Perhitungan titik impas, estimasi gross margin dan nisbah R/C usaha sa i erah berdasarkan rovinsi Parameter Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur dan DIY
Rata-rata biaya produksi (Rp/th) : 1 . Sewa lahan : tanaman pakan 2 . Penyusutan kandang 3 . Pakan : - Rumput - Leguminosa - Limbah tanaman pangan - Konsentrat - Dedak -Ampas tahu -Singkong/ubi 4 . Mineral dan obat-obatan 5 . Inseminasi buatan 6 . Peremajaan induk 7 . Upah tenaga kerja 8 . Peralatan : - Habis pakai (ember, arit) - Penyusutan milk can Total biaya produksi Rata-rata total produksi susu (I) Rata-rata harga susu (Rp/I) Titik impas volume produksi (I) Titik impas harga (Rp/I) Rata-rata total penerimaan (Rp) Rata-rata gross margin (Rp) Rata-rata gross margin (Rp/bln) Nisbah R/C
271 .213 (1642 m2 ) 668.260 (30 m 2)
145 .191 (348 m2 ) 515 .440 (47 m2 )
228 .304 (1301 m 2) 733 .370 (54 m 2 )
8 .102 .742 2 .433.548 1 .842.290 13 .810.773 0 3 .760 .968 1 .002.500 317.001 337 .097 2 .551 .613 2 .599.597 371 .561
5.213 .308 2 .069 .290 1 .312 .823 8.089 .871 2 .591 .903 2 .320 .194 1 .400.839 247 .108 _ 274 .315 882 .258 1 .055 .484 289 .177
6 .939 .192 3 .580 808 2 .047 .341 14 .548 .929 0 4 .250 .659 2 .010 .243 596 .865 317 .530 1 .502 .168 1 .171 .729 397 .995
38 .069 .163 12 .376 3 .133 12 .151 3 .076 50 .791 .395 12 .722 .232 1 .060 .186 1,33
26 .407 .201 9 .142 2 .980 8 .861 2 .827 31 .372 .799 4 .965.598 413 .800 1,19
38 .325 .133 12 .505 3 .137 12 .217 3 .065 54 .593 .890 16 .268 .757 1 .355 .730 1,42
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa peternak sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, serta Jawa Timur berada sedikit di atas kondisi titik impas harga. Rata-rata jumlah sapi laktasi yang dimiliki peternak adalah 2,8 ; 2,7 dan 3,4 ekor masing-masing untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, serta Jawa Timur . Hal ini menunjukkan bahwa guna mencapai kondisi titik impas harga susu, maka jumlah sapi laktasi minimal yang harus dimiliki peternak dalam satu tahun adalah 3,2 ekor ; 3,6 ekor dan 4,3 ekor untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, serta Jawa Timur . Berdasarkan rata-rata masa laktasi sebesar 300 hari, maka titik impas volume produksi yang dicapai oleh peternak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, serta Jawa Timur berturut-turut 357
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
adalah 12 .151 ; 8 .861 dan 12 .217 liter susu per tahun . Dengan kata lain, titik impas volume produksi per ekor sapi laktasi per hari di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, serta Jawa Timur berturut-turut adalah 14,05 liter, 10,20 liter dan 12,5 liter . Untuk mencapai titik impas produksi susu, ternyata sapi laktasi di Jawa Barat harus menunjukkan produktivitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Tengah dan DIY serta Jawa Timur . Hal in] disebabkan karena pemilikan sapi laktasi di Jawa Barat relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain dengan biaya produksi yang relatif lebih tinggi . 111.3 Gross Margin Analysis Gross margin analysis adalah model input-output, karena hal ini selain memberikan gambaran yang jelas terhadap suatu proses produksi, juga mudah untuk dilakukan evaluasi dimasa-masa yang akan datang . Analisis ini juga mengestimasi revenue cost ratio (R/C) berdasarkan periode produksi yang dihasilkan selama satu tahun . Estimasi gross margin merupakan salah satu metode/teknik dari model input-output yang diperoleh dari perbedaan atas total penerimaan dengan total biaya produksi (Amir dan Knipscheer, 1989) . Total penerimaan merupakan komponen output secara langsung, yakni penjualan susu, penjualan pedet, dan penjualan ternak afkir dalam tahun tersebut, sedangkan total biaya produksi terdiri dari komponen biaya produksi . Biaya ini meliputi biaya sewa lahan, penyusutan kandang, pakan, obat dan mineral, layanan 113, peralatan, upah tenaga kerja dan peremajaan induk . Biaya peremajaan induk merupakan selisih dari nilai jual ternak afkir dengan nilai pembekan sapi dara slap kawin ataupun sapi bunting pertama kali . Gross margin adalah selisih antara penerimaan kotor dari suatu usaha dengan biaya produksi, dan dalam usaha tani hal ini merupakan estimasi penerimaan atas biaya tidak tetap dari suatu usaha . Gross margin ini pada umumnya direpresentasikan dalam
358
Profri Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
satuan unit pada waktu tertentu, misalnya gross margin dalam rupiah untuk peternak per tahun . Hasil survei rnenunjukkan bahwa estimasi gross margin atas biaya produksi paling tinggi diperoleh pada peternak di Jawa Timur dan diikuti dengan peternak di Jawa Barat (Tabel 4) . Hal ini disebabkan rata-rata jumlah sapi yang dimiliki peternak di Jawa Timur relatif lebih banyak dibandingkan dengan di Jawa Barat, Jawa Tengah serta DIY dengan total biaya produksi yang dibayarkan relatif lebih rendah . Di samping itu, produksi susu yang dihasilkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Tengah dan DIY, meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan di Jawa Barat. Semakin besar selisih antara komponen penerimaan dan biaya produksi, akan semakin besar imbalan ekonomi yang diterima peternak . Dengan kata lain, semakin rendah biaya produksi, pada tingkat penerimaan tertentu, akan semakin besar pendapatan yang diterima peternak . Hasil perhitungan nisbah R/C dari usaha • sapi perah MI bervariasi pula untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY serta Jawa Timur, yang berturut-turut adalah 1,33 ; 1,19 dan 1,42 . Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu unit input akan diperoleh tambahan penerimaan yang bervariasi antara 1,19 sampai 1,42 unit output . Perlu diperhatikan bahwa nilai ini diperoleh dari seluruh komponen usaha sapi perah, seperti susu, penjualan pedet, dan penjualan ternak afkir . Rata-rata jumlah pedet dan ternak afkir yang dijual adalah 1,73 dan 0,36 ; 1,55 dan 0,56 ; serta 1,29 dan 0,33 ekor masing-masing untuk peternak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, serta Jawa Timur . Nisbah R/C ini akan sangat berkaitan dengan estimasi gross margin yang diperoleh . Semakin tinggi gross margin yang didapat, akan semakin besar pula nisbah R/C . Kondisi titik impas akan diperoleh saat R/C = 1, di mana semakin tinggi nisbah R/C menunjukkan bahwa usaha tersebut semakin menguntungkan . Hasil survei menunjukkan bahwa estimasi gross margin atas biaya produksi paling tinggi diperoleh pada peternak di Jawa Timur dan diikuti dengan peternak di Jawa Barat. Hal ini disebabkan rata-rata jumlah sap] yang dimiliki peternak di Jawa 359
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Timur relatif lebih banyak dibandingkan dua provinsi lainnya dengan total biaya produksi yang dibayarkan relatif lebih rendah . Di samping itu, produksi susu yang dihasilkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Tengah dan DIY, meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan di Jawa Barat. Semakin besar selisih antara komponen penerimaan dan biaya produksi, akan semakin besar imbalan ekonomi yang diterima peternak . Dengan kata lain, semakin rendah biaya produksi, pada tingkat penerimaan tertentu, akan semakin besar pendapatan yang diterima peternak . Analisis gross margin juga dilakukan oleh Budiarsana dan Juarini (2008) pada usaha sapi perah rakyat di daerah Bogor dan Sukabumi, yang menunjukkan bahwa keuntungan bagi setiap peternak per bulan diperoleh sebesar Rp174 .464 dan Rp155 .518 per ekor sapi . Dengan rata-rata pemilikan sapi sebegar 4,9 clan 4,6 ekor per peternak masing-masing untuk daerah Bogor dan Sukabumi, maka rata-rata keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp854 .874 dan Rp715 .383 per bulan . Jumlah sapi betina laktasi dan biaya pakan adalah komponen yang sangat memengaruhi terhadap keuntungan yang diperoleh, di mana satu ekor sapi laktasi tidak ekonomis jika membiayai lebih dari satu ekor sapi kering atau yang sedang tidak berproduksi. Oleh karena itu, rasio antara sapi produktif dan non produktif adalah 80 berbanding 20, artinya 70-80% terdiri dari sapi perah produktif dan 20-30% sapi perah non produktif (pedet dan sapi perah dewasa masa kering kandang) (Makin et al., (1998) dikutip oleh Firman (2008)) . IV . ANALISIS INVESTASI USAHA SAN PERAH
Usaha sapi perah merupakan usaha jangka panjang yang harus dijaga keberlanjutannya dalam memenuhi kebutuhan susu secara nasional . Proses pengambilan keputusan menjadi sangat penting dalarn usaha ini, karena dalarn waktu yang relatif panjang tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahanperubahan lingkungan yang dapat memengaruhi terhadap 3 60
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
keberlangsungan suatu usaha . Lee et al. (1988) menyatakan bahwa sedikitnya terdapat tiga unsur penting sebagai proses pengambilan keputusan, yaitu (a) berdasarkan fakta yang ada, (b) berdasarkan analisis faktual, dan (c) pertimbangan dan penilaian subjektif terhadap situasi, pengalaman dan pandangan umum. Ada banyak metode untuk mengambil keputusan berdasarkan analisis faktual, namun yang terkait dengan usaha sapi perah sedikitnya terdapat enam metode yang dapat diterapkan. Keragaman corak usaha yang cukup tinggi harus betul-betul dipahami pada usaha peternakan yang meliputi proses produksi sampai pada proses penjualan produk akhir. Metode-metode tersebut membutuhkan analisis cash flow yang digunakan untuk mengevaluasi usaha tersebut dengan fokus pada nilai uang dalam satuan waktu tertentu . Uang merupakan salah satu sumber daya yang terbatas, di mana nilai uang saat ini lebih tinggi dibandingkan saat yang akan datang (Peters, 1994) . Faktor utama yang memengaruhi hal ini adalah tingkat suku bunga yang sedang berlaku saat ini . Cash flow usaha peternakan sapi perah terdiri dari tiga komponen utama, yakni komponen penerimaan, pengeluaran, cicilan kredit dan pembayaran bunga . Selisih antara komponen penerimaan dengan total pengeluaran merupakan nilai cash inflow (arus pemasukan) yang terdiri dari total benefit, total cost, dan net benefit . Analisis cash flow (arus kas) merupakan bagian dari suatu proses penganggaran kebutuhan modal atau capital budgeting dari suatu sistem usaha tani, yang dapat melihat pengaruh dari pilihan investasi yang dilakukan oleh peternak terhadap keuntungan (business profit), risiko, dan likuiditas dari berbagai peluang usaha yang dapat dilakukannya . Cara ini juga biasa dikenal dengan analisis investasi. Proses analisis investasi meliputi beberapa tahapan, yaitu : (a) identifikasi dari berbagai peluang usaha yang dapat dilakukan petemak, (b) menentukan periode jangka waktu usaha dari usaha terpilih yang akan dilakukan, (c) menentukan nilai salvage dari barang inventaris yang tidak habis pakai, (d) menentukan tingkat suku bunga yang 361
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
akan digunakan dalam analisis investasi, dan (e) membuat analisis arus kas . IV.1 Pay Back Period (Masa Pembayaran Kembali) Dalam perencanaan suatu usaha, lama waktu pengembalian investasi sering dijadikan sebagai salah satu penilaian/indikator kelayakan investasi . Pay back period (PBP) adalah jangka waktu pengembalian biaya investasi yang merupakan nilai kumulatif dari penerimaan . Semakin cepat suatu usaha dapat mengembalikan biaya investasi, maka semakin cepat pula usaha tersebut dapat menghasilkan keuntungan . Apabila suatu usaha yang direncanakan, pengembalian investasinya lambat maka beban yang harus ditanggung atas sejumlah dana investasi menjadi tinggi terutama apabila dana investasi berasal dari pinjaman, karena ada sejumlah beban bunga pinjaman yang harus dibayarkan . PBP merupakan jangka waktu tertentu yang menunjukkan adanya arus penerimaan (cash inflow) secara kumulatif sama dengan jumlah investasi, atau dengan kata lain PBP adalah suatu masa di mana arus kas neto dapat menutup kembali seluruh biaya atau biaya investasi . Secara matematis PBP dapat dihitung sebagai berikut : 11, - L PBP
= T,, ,+
di mana : PBP = T,, , = I = B,, = =
(13)
Pay back period Tahun sebelum terdapat PBP Jumlah investasi Jumlah benefit sebelutn payback period Jumlah benefit pada payback period berlaku
Analisis PBP cukup sederhana dan dipergunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan investasi dengan membandingkan altematif investasi lain . Untuk rencana usaha dengan jumlah dana terbatas alangkah baiknya untuk memilih usaha dengan pengembalian modal yang lebih cepat . 3 62
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
tidak menghitung PBP pada umumnya Untuk memperhitungkan tingkat suku bunga karena metode in] tidak memasukkan waktu untuk arus kas yang saat itu terjadi . Pay back period hendaknya dilengkapi dengan kriteria lain seperti net present value (NPV) atau internal rate of return (IRR) . Apabila NPV >_ 0, maka baru diperhitungkan pay back period. Jika nilai pay back period lebih kecil dari jangka waktu pengembalian yang ditentukan oleh pemberi pinjaman, maka usaha ini layak untuk dijalankan . Semakin kecil PBP, semakin baik karena berarti investasi semakin cepat kembali .
IV.2 Rate of Return (Tingkat Pengembalian) Simple rate of return (= RoR, tingkat pengembalian sederhana) menunjukkan tingkat keuntungan sebagai persentase dari suatu investasi . Metode yang paling umum digunakan adalah selisih antara keuntungan rata-rata dengan penyusutan rata-rata terhadap investasi rata-rata sehingga dirumuskan sebagai berikut (Riyanto, 1993) : (14) RoR = (I - D)/O di mana : RoR = tingkat pengembalian (%) = keuntungan bersih rata-rata I D = penyusutan rata-rata 0 = investasi rata-rata Penyusutan rata-rata diperoleh melalui : (15) D = (O - S)/n di mana : S = nilai akhir suatu barang modal n = umur ekonomi dari barang modal tersebut Jika usulan investasi tidak melebihi standar minumum maka usaha tersebut tidak layak, standar yang sangat umum digunakan untuk tingkat pengembalian ini adalah 15-25% . Tingkat RoR yang tinggi lebih dipilih dibandingkan dengan tingkat RoR yang rendah . Apabila suatu usaha mengalami kerugian (total 36 3
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
pengeluaran lebih besar dari total penerimaan), maka tingkat RoR menjadi negatif.
IV.3 Net Present Value Net present value (NPV) adalah kriteria yang menggunakan furmula discounting dengan menggunakan cara penerimaan uniform ataupun yang tidak uniform untuk menilai proyeksi arus uang kas untuk setiap pilihan investasi pada suatu waktu tertentu . Metode ini menghitung komponen pengeluaran dan penerimaan pada tahun-tahun yang sedang berlangsung dan dinilai dengan saat ini . Kriteria ini secara langsung mempertimbangkan segi waktu dan besaran dari suatu arus kas yang diproyeksikan . Perhitungan NPV adalah arus pendapatan (net benefit) yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai discount factor yang sama dengan tingkat suku bunga pasar . Hal ini dirumuskan sebagai berikut : NB, NPV = ~ NB, p+i) atau NPV = (16) -i (I+
i) ,
di mana : NB = Net benefit = benefit - cost C = Biaya investasi + biaya operasi i = Interest rate t = Tahun (waktu) Apabila NPV lebih besar dart nol maka rencana usaha tersebut dikatakan layak untuk dilaksanakan . Jika NPV lebih kecil dari no] maka rencana usaha tidak layak untuk dilaksanakan . Apabila nilai NPV sama dengan nol, berarti usaha tersebut berada dalam kondisi impas di mana jumlah penerimaan (total revenue = TR) sama besarnya dengan jumlah pengeluaran (total pengeluaran = TC) atau TR = TC.
3 64
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
IV.4 Internal Rate of Return Internal rate of return (= IRR, tingkat penghasilan) adalah suatu tingkat bunga di mana NPV sama dengan jumlah investasi . Hal ini menunjukkan bahwa suatu tingkat suku bunga yang jumlah seluruh arus kas bersih sesudah dinilaikan dengan saat ini sama jumlahnya dengan jumlah biaya investasi . Pada umumnya, IRR tidak dapat dihitung secara langsung, harus melalui proses interpolasi . Jika IRR = nilai i yang berlaku sebagai discount rate, maka NPV = 0, sebaliknya jika IRR _ discount rate . Suatu investasi layak untuk dijalankan apabila nilai IRR lebih besar daripada keuntungan yang dikehendaki . Sebaliknya, jika nilai IRR lebih kecil daripada keuntungan yang diharapkan maka investasi tidak layak untuk dijalankan . IRR suatu investasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : (17) IRR = I + NPV/(NPV + NPV') x (i' - i) di mana : NPV = NPV positif NPV = NPV negatif (NPV+NPV') = penjumlahan mutlak NPV i = tingkat bunga untuk NPV positif = tingkat bunga untuk NPV negatif i'
IV.5 Benefit Cost Ratio Benefit cost ratio (BCR) adalah perbandingan antara present value dari hasil dengan biaya, sebagai indikasi dapat tidaknya suatu investasi dijalankan . Analisis BCR bertujuan untuk mengetahui besarnya manfaat dari suatu investasi . Suatu usaha dikatakan memberi manfaat atau keuntungan apabila BCR lebih dari 1 . BCR dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 1995) :
365
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
B/C Y,C, /(t+1Y
di mana : B = benefit C = cost i = tingkat bunga yang berlaku t = jangka waktu usaha IV.6 Profitability
Ratio
Sebelum menganalisis profitability ratio perlu diketahui dahulu antara istilah profit dan profitabilitas . Profit adalah nilai uang yang diperoleh dari penghitungan pendapatan bersih atau keuntungan suatu usaha. Profitabilitas menunjukkan ukuran keuntungan yang diperoleh berdasarkan ukuran besarnya suatu usaha atau berdasarkan nilai dari sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan tersebut. Suatu usaha kemungkinan menghasilkan profit yang positif, tetapi profitabilitasnya rendah apabila nilai profitnya relatif kecil dibandingkan dengan besarnya ukuran usaha tersebut . Sebagai contoh dua jenis usaha yang mempunyai nilai profit yang sama, belum tentu profitabilitasnya sama jika salah satu dari keduanya menggunakan modal yang lebih besar daripada yang lainnya . Profitabilitas merupakan kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan . Pada intinya profitabilitas adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan penerimaan di atas total biaya produksi (Penson et al., 2002) . Salah satu indikator profitabilitas suatu usaha adalah dengan menghitung return to capital. Pada umumnya, diekspresikan dalam bentuk persentase untuk dapat dibandingkan dengan return dari peluang investasi yang lain. Return to capital dirumuskan sebagai berikut (Kay, 1981) : Return to capital Tingkat return to capital = (19) x 100% Totalfarm assets 3 66
Profd Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Return to capital merupakan perolehan dari modal yang digunakan dalam suatu usaha, balk modal pinjaman maupun modal sendiri sehingga net farm income hares disesuaikan lebih dahulu sebelum menghitung return to capital . Sebagai contoh, dalam penghitungan net farm income, pembayaran bunga untuk modal pinjaman merupakan suatu pengeluaran, namun dalam penghitungan return to capital, bunga ini tidak diperhitungkan sebagai pengeluaran . Penyesuaian yang lain adalah bahwa biaya opportunity tenaga kerja keluarga dan biaya opportunity manajemen diperhitungkan sebagai pengeluaran . Apabila nilai tingkat return to capital lebih besar daripada tingkat bunga modal pinjaman maka usaha tersebut menguntungkan, di mana semakin besar selisihnya maka profitabilitasnya akan semakin tinggi . Indikator profitabilitas yang lain adalah tingkat return to equity, yaitu return atau pendapatan dari modal sendiri (modal bukan pinjaman) . Bagi pemilik usaha indikator iiii sangat berarti karena kaitannya dengan likuidasi, dan juga untuk dibandingkan dengan peluang-peluang investasi yang lain . Pada penghitungan return to equity, interest tetap dimasukkan sebagai pengeluaran, demikian pula opportunity cost untuk tenaga kerja keluarga dan manajemen hares diperhitungkan . Hal ini dirumuskan sebagai berikut (Kay, 1981) : Return to equity Tingkat return to equity = x 100% (20) Modal sendiri Semakin besar nilai tingkat return to equity, akan semakin tinggi nilai profitabilitas . Peluang investasi yang dapat menghasilkan keuntungan adalah kriteria dengan nilai tingkat return to equity yang paling tinggi, karena hal ini menunjukkan profitabilitas yang tinggi .
3 67
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
V.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEUNTUNGAN USAHA SAM PERAH
Sarana produksi di dalam sistem usaha tam sering dikategorikan sebagai input tetap . Input tetap ini terbagi atas dua kategori berdasarkan lamanya penggunaan, yaitu input tetap sementara dan input tetap jangka panjang (Firman, 2008) . Input tetap sementara adalah input tetap yang penggunaannya hanya sekali pakai atau lama waktu penggunaan input tetap tersebut hanya setahun . Biasanya input tetap sementara ini dikategorikan sebagai input variabel dan dimasukkan dalam biaya variabel . Contoh input tetap sementara, misalnya straw untuk semen beku, ember perah dari plastik, sikat, kain penyaring susu, lap untuk sapi perah, dan sebagainya . Input tetap jangka panjang adalah input tetap yang penggunaannya bisa lebih dari dua tahun, misalnya mesin perah, gunting kuku sapi, chopper, dan sebagainya . Sarana produksi ini biasanya diproduksi oleh home industry atau perusahaan komersial yang bergerak di bidang peralatan dan mesin pertanian . Biasanya peralatan-peralatan yang sederhana lebih banyak diproduksi oleh home industry, sedangkan peralatan yang berteknologi lebih banyak diproduksi oleh perusahaan komersial . Berdasarkan uraian di atas, maka keberadaan sektor penyedia sarana dan input produksi mempunyai arti penting atau manfaat sebagai berikut : 1) Mendukung kegiatan subsistem produksi atau budi daya dan subsistem pengolahan ; 2) Secara ekonomi makro, sektor ini mampu memberikan nilai kontribusi pendapatan terhadap perekonomian ; 3) Keberadaan subsistem ini berdampak pada penyediaan lapangan kerja, utamanya bagi masyarakat di pedesaan ; 4) Membantu meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal yang akan dimanfaatkan oleh subsistem produksi atau budi daya dan subsistem pengolahan ; dan
368
Porofil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
5) Dengan meningkatnya subsistem produksi atau budidaya, maka investasi di sektor penyedia sarana dan input produksi akan meningkat . Adapun yang terkait dengan output sapi perah terbagi dua, yaitu: (a) ouput utama berupa susu, dan (b) output sampingan, yaitu berupa pedet, sapi afkir, dan kotoran ternak yang dapat digunakan sebagai pupuk organik . Hasil utama sapi perah berupa susu, produksinya sangat tergantung dari kualitas dan kuantitas input produksi . Apabila input produksi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan ternak sapi perah laktasi, maka dapat berakibat pada rendahnya produktivitas sebagai akibat penurunan jumlah produksi susu yang dihasilkan per satuan ternak sapi laktasi . Keuntungan usaha dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu efisiensi faktor-faktor produksi dan peningkatan harga output. Output usaha sapi perah didasarkan pada pengukuran total produksi susu dan produksi ternak (pedet dan sapi afkir) selama periode satu tahun . Pengukuran produksi dilakukan secara individu, maka produksi susu setiap unit usaha sapi perah merupakan kumulatif dari ukuran produksi dari masing-masing individu sapi laktasi . Formulasi perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut : Y; = f' f (x).dr + 12 g(x) .dc + f' h(x).dx (21) di mana : Yi : Produksi susu sapi ke-i selama satu periode laktasi (liter/laktasi) . Jumlah hari laktasi distandarkan pada 305 hari atau 44 minggu f(x) : kurva produksi pada fase meningkat, di mana x menunjukkan waktu (minggu) t,-t„ : Interval waktu fase pertama (hari), di mana t,, adalah awal produksi dan t, batas akhir fase pertama atau batas awal fase produksi tertinggi g(x) : kurva produksi pada fase produksi puncak
3 69
Profl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
t2-t,
h(x) t3 _tz
Interval waktu fase ke dua (hari), di mana t, adalah awal produksi puncak dan t2 batas akhir fase produksi tertinggi atau batas awal fase produksi menurun kurva produksi pada fase produksi menurun Interval waktu fase ke dua (hari), di mana t2 adalah awal fase produksi menurun dan t3 batas akhir fase produksi menurun atau awal fase kandang
Hadiana et al . (2005) menyatakan bahwa pendugaan produksi sapi laktasi didasarkan pada pengukuran interpolasi dengan mempertimbangkan produksi susu pada awal laktasi (fase meningkat), produksi puncak (fase produksi tertinggi), dan produksi menjelang sapi dikeringkan sebelum melahirkan (fase produksi menurun) . Berdasarkan formula tersebut, dapat diidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi terhadap jumlah produksi susu . Oleh karena itu, beberapa faktor yang memengaruhi keuntungan usaha sapi perah adalah sebagai berikut : V.1 Skala Usaha Produktif Kepemilikan skala usaha sapi perah yang produktif akan menghasilkan output yang optimal. Hal ini akan terkait dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang semakin efisien . Hasil penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah (2008) menunjukkan bahwa semakin tinggi skala pemeliharaan sapi perah produktif, maka indeks efisiensi skala usaha semakin tinggi . Semakin besar skala pemeliharaan sapi perah produktif, maka indeks efisiensi ekonomi juga semakin tinggi . Indeks efisiensi skala adalah rasio dari indeks efisiensi agregat terhadap indeks efisiensi teknik mum] untuk masing-masing unit usaha (Coelli, 1996) . Sedangkan menurut Camanho dan Dyason (2004), efisiensi biaya atau efisiensi ekonomi adalah rasio biaya minimum terhadap biaya yang diamati .
3 70
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
V .2 Daya Dukung Sumber Daya Pakan Pakan sapi perah terdiri dari hijauan dan konsentrat . Apabila hijauan dan konsentrat sesuai dengan kebutuhan untuk sapi-sapi perah laktasi maka akan berdampak terhadap produksi susu . Beberapa hasil penelitian telah banyak melaporkan bahwa bila kualitas hijauan atau konsentrat rendah, maka akan berdampak pada penurunan jumlah produksi susu . Hasil penelitian Hadiana dan Hasan (2008) serta Firmansyah (2008) menunjukkan bahwa ketidaktersediaan hijauan dan lamanya waktu yang digunakan untuk mencari rumput menyebabkan tidak efisiennya usaha yang dimanifestasikan dengan turunnya produksi susu . V .3 Bibit Sapi Perah Bibit sapi perah merupakan salah satu faktor yang utama dalam peningkatan produksi susu . Seleksi terhadap bibit sapi perah sangat penting dilakukan untuk mengetahui silsilah bibit tersebut dan kinerja produksi yang dihasilkan . Salah satu peternakan sapi perah di Sukabumi, Jawa Barat menyatakan bahwa untuk memperoleh bibit sapi perah unggul diperlukan upaya seleksi bibit yang ketat, di samping melakukan penjaringan pedet dari masyarakat (Rosdiana, 2007) . Usaha pembibitan sapi perah ini melibatkan kelompok petemak yang melakukan pencatatan mulai dari pejantan, induk, tanggal inseminasi buatan sampai kapan sapi tersebut mulai berahi . Rata-rata produksi susu yang dihasilkan saat ini sekitar 15 1/ekor/hari dengan produktivitas induk sampai beranak ke-7 dengan masa laktasi 305 hari . Kisaran produksi susu yang dihasilkan oleh peternak antara 6-20 1/ekor/hari dengan produktivitas induk sampai beranak ke-7 dengan masa laktasi 305 hari .
371
Projil Ucaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
V .4 Harga Input Produksi dan Output Harga merupakan faktor eksternal yang dapat memengaruhi terhadap keberlangsungan suatu usaha . Biaya tidak tetap yang dapat memberikan dampak yang sangat luas terhadap input produksi adalah kenaikan harga bahan bakar dan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kenaikan harga minyak dapat menyebabkan peningkatan harga-harga input produksi lainnya, begitu juga dengan kenaikan nilai tukar dapat berdampak pada peningkatan harga bahan baku impor yang digunakan dalam proses produksi . Sebenarnya, kenaikan nilai tukar rupiah tidak berdampak secara langsung terhadap usaha sapi perah karena sumber input pakan (konsentrat dan hijauan) dapat diproduksi secara lokal di mana pakan merupakan biaya input produksi terbesar dibandingkan dengan biaya input lainnya . Dampak yang mungkin dirasakan adalah kenaikan input produksi lain yang diimpor, seperti straw, peralatan inseminasi buatan atau embrio transfer, peralatan serta mesin, dan lain sebagainya . Bahkan di satu sisi, kenaikan nilai tukar rupiah dapat menjadi peluang bag] peternak karena IPS akan kesulitan untuk mendatangkan bahan baku impor karena harganya lebih mahal dan IPS dengan sendirinya akan mencari susu segar sebagai penggantinya. Kenaikan harga bahan bakar minyak akan berdampak pada peningkatan biaya produksi terutama pengadaan minyak tanah atau bahan bakar kendaraan untuk mencari rumput . V .5 Agroklimat Terkait dengan perubahan iklim, secara tidak langsung dapat berdampak pada penurunan produksi susu . Hal ini disebabkan karena perubahan iklim dapat menyebabkan kekeringan sehingga sulit untuk mendapatkan hijauan atau bahkan perubahan iklim mampu menimbulkan peningkatan bakteri . Hasil penelitian oleh Hadiana dan Hasan (2008) menunjukkan bahwa indikator faktor fisik yang diduga berdampak terhadap koefisien inetisiensi usaha sapi perah 3 72
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
adalah faktor ketinggian tempat, jarak atau jangkauan ke sumber hijauan, serta dukungan sumber daya alam . Pengaruh ketinggian tempat berhubungan negatif terhadap koefisien inefisiensi dan signifikan . Hal ini berarti bahwa peternakan yang berada di wilayah dataran tinggi mampu menekan inefisiensi usaha . Diduga hal ini berkaitan dengan faktor kesesuaian lingkungan fisik agroklimat yang berdampak pada produktivitas sapi perah (suhu, kelembapan), serta interaksi antara kondisi wilayah dengan ketersediaan sumber pakan hijauan yang pada akhirnya berdampak pula terhadap efisiensi produksi sapi perah . Van den Berg (1990) yang dikutip oleh Hadiana dan Hasan (2008) menyatakan bahwa temperatur merupakan faktor kelima yang paling penting pada produksi susu, bukan semata-mata karena temperatur yang lebih dingin mendekati kondisi di negara asalnya, namun karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman hijauan dan ketersedian pakan berkualitas . Jangkauan ke sumber hijauan (didasarkan pada ukuran total-jam orang kerja yang dicurahkan peternak dalam satu hari untuk menyediakan hijauan) berpengaruh signifikan terhadap efisiensi usaha . Hubungan positif menjelaskan bahwa semakin lama waktu yang diperlukan untuk menjangkau lokasi sumber hijauan, menyebabkan koefisien inefisiensi biaya yang semakin tinggi, atau usaha ternak semakin tidak efisien . Dukungan sumber daya alam ditangkap sebagai variabel kualitatif (dummy atau binary variable), di mana pengukuran didasarkan pada ada tidaknya dukungan sumber daya kehutanan dan perkebunan sebagai sumber rumput . Hasil analisis menunjukkan hubungan yang negatif, artinya adanya dukungan sumber daya ini menurunkan biaya produksi atau menekan inefisiensi usaha sapi perah dengan pengaruh yang signifikan . V .6 Kualitas Susu Apabila kualitas susu yang dihasilkan rendah maka harga yang diterima petani akan rendah pula . Harga standar yang diterima petani ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu total 373
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
solid (TS) dan total plate count (TPC = jumlah bakteri/cc susu) . Kriteria yang digunakan oleh para peternak dan IPS adalah apabila nilai TPC antara 10-15 juta dan nilai TS sebesar 11,3%, maka peternak akan memperoleh harga sebesar Rp 3800/liter susu segar sejak bulan Januari 2008 . Tingkat harga yang ditetapkan disesuaikan dengan perjanjian antara pihak koperasi susu dengan IPS mengikuti kaidah standar . Sebagai gambaran bahwa kualitas susu yang ditentukan oleh kandungan hakteri di dalam susu terdapat 8 grade, yaitu grade I mempunyai nilai TPC antara 1-500 ribu, grade II mempunyai nilai TPC antara 500 ribu-1 juta, grade III mempunyai nilai TPC antara 1-3 juta, grade IV mempunyai nilai TPC antara 3-5 juta, grade V mempunyai nilai TPC antara 5-10 juta, grade VI mempunyai nilai TPC antara 10-15 juta, grade VII mempunyai nilai TPC antara 15-20 juta, dan grade VIII mempunyai nilai TPC di atas 20 juta . Masing-masing grade tersebut mempunyai nilai harga tertentu, atau dengan kata lain terdapat bonus bagi peternak apabila melebihi standar yang telah ditetapkan .
V.7 Manajemen Budi Daya Manajemen usaha budi daya ternak sapi perah sangat berpengaruh terhadap keuntungan usaha. Apabila manajemen budi daya yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dapat berdampak pada penurunan keuntungan usaha . Peternakan sapi perah masih dicirikan oleh tingkat manajemen dan pemeliharaan yang sederhana. Erwidodo dan Sayaka (1998) memperkirakan bahwa 64% produksi susu segar di Indonesia berasal dari peternak skala kecil, 28 persen dari peternak skala menengah dan 8 persen dari skala besar . Hal ini sejalan dengan temuan Sulistiyanto (2008) yang menyatakan bahwa penyetor susu terbanyak ke IPS melalui koperasi adalah peternak dengan rata-rata produksi susu 10-20 liter yang mencapai 76% . Model fungsi keuntungan unit output price (UOP) telah digunakan oleh Mandaka dan Hutagaol (2005) untuk 3 74
Prod Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi terhadap usaha sapi perah rakyat di wilayah Kota Bogor . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah induk produktif, sapi laktasi dan sapi kering, sangat memengaruhi terhadap fungsi keuntungan UOP peternak sapi perah . Peningkatan jumlah kepemilikan sapi produktif sebesar 10%, akan meningkatkan keuntungan usaha sebesar 9,27% . Lebih lanjut disampaikan bahwa peternak sapi perah skala menengah dan besar menerima keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan skala kecil . Kriteria skala usaha in] meliputi : skala usaha kecil adalah kurang dari empat ekor sapi (80%), skala menengah adalah 4-7 ekor sapi (17%) dan skala besar, yaitu lebih dari 7 ekor sapi perah (3%) . Keragaan yang cukup besar dalam skala usaha ini disebabkan antara lain oleh keterbatasan modal yang dimiliki sehingga berakibat pada rendahnya pendapatan yang diterima peternak . Fungsi produksi Cobb-Douglas telah digunakan oleh Santosa dan Ahmadi (1996) untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi produksi susu peternakan rakyat di lahan kering. Hal ini berimplikasi terhadap keuntungan yang diperoleh, karena pada dasarnya keuntungan adalah selisih antara komponen penerimaan dan biaya produksi, di mana penerimaan merupakan jumlah produksi dikalikan dengan per unit harga output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah sapi laktasi dan modal sangat berpengaruh terhadap produksi susu . Elastisitas produksi jumlah sapi laktasi adalah inelastis, sehingga dengan kondisi daerah lahan kering tidak ekonomis apabila jumlah sapi ditingkatkan, karena peningkatan ini akan memberikan peningkatan produksi secara menurun (increases at a decreasing rate) . Modal yang meliputi angsuran kredit dan pengadaan air merupakan dua komponen terbesar yang berpengaruh terhadap produksi . Faktor produksi ini bersifat elastis sehingga peningkatan pengadaan modal dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan keuntungan peternak sapi perah . Santosa (2008) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan pendapatan peternak sapi perah rendah . Pertama, adalah rendahnya harga susu relatif terhadap 375
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
harga konsentrat dan biaya pakan lainnya . Rasio nilai susu per ekor per hari dengan nilai pakan per ekor dengan rata-rata produksi 7 1/ekor/hari adalah 4:3 . Artinya adalah sisa pendapatan setelah dikurangi biaya pakan adalah 25% dan digunakan untuk menanggung biaya pakan pedet dan sapi lain yang belum atau tidak produktif, serta harus menanggung biaya pengembalian pembelian alat, kandang, dan biaya produksi lainnya . Hal ini sejalan dengan temuan Priyanti dan Mariyono (2008) yang melaporkan bahwa kenaikan harga susu periode Januari 2007-Maret 2008 di tingkat peternak sebesar 40% ternyata dikompensasi dengan rata-rata kenaikan bahan baku pakan sebesar 29% ; 58% ; 42% ; dan 50% masing-masing untuk konsentrat, bungkil kopra, wheat pollard dan kulit kopi . Salah satu yang dapat meningkatkan harga jual susu adalah perbaikan mutu/kualitas susu sehingga diperlukan upaya-upaya terobosan dalam menciptakan pakan berkualitas dengan biaya produksi terjangkau . Fenomena di lapang menunjukkan bahwa introduksi teknologi pakan masih relatif mahal sehingga kurang terjangkau dan kurang ekonomis bagi peternakan rakyat . Kedua, kesadaran peternak untuk memanfaatkan kotoran dan urine sapi sehingga tercipta nilai tambah bagi peternak masih rendah . Oleh karena itu, perlu upaya yang harus ditempuh guna menciptakan nilai tambah, baik dari sisi produk susu maupun nilai tambah untuk produk samping seperti kotoran dan urine . Di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar peternak belum memanfaatkan hasil samping ini dengan baik dan benar. Ketiga, produktivitas susu per ekor yang masih rendah . Untuk mengatasi hal ini juga berhubungan erat dengan kuantitas dan kualitas pakan sehingga solusinya adalah pada penemuan cara menyediakan pakan bermutu dengan harga terjangkau dan cara serta bahan yang mudah didapat oleh peternak serta kontinuitas ketersediaan terjamin . Produksi susu juga ditentukan oleh jenis induk sapi perah . Semakin bagus induk yang digunakan, niaka kemampuan produktivitasnya juga semakin tinggi . Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas peternak masih menggunakan induk lokal dan jenis unggul kelas 376
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
menengah . Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu : mahalnya harga induk yang berkualitas, ketersediaannya di pasar langka dan tuntutan perlakuan khusus, seperti jenis pakan, obat-obatan dan penanganan . Upaya yang perlu dilakukan adalah ditingkatkannya percontohan-percontohan untuk sosialisasi tentang peternakan rakyat yang menggunakan bibit kualitas tinggi serta insentif penyediaan bibit berkualitas untuk masyarakat peternak dalam jumlah yang lebih banyak. Untuk hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan program kredit ketahanan pangan dan energi ataupun program-program pemberdayaan yang lain . V.8 Skala Usaha Skala usaha yang optimal merupakan salah satu faktor dalam mencapai keuntungan usaha sapi perah . Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata sapi laktasi yang cimiliki peternak adalah 2,8 ekor, 2,7 ekor, dan 3,4 ekor masing-masing untuk peternak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, serta Jawa Timur. Berdasarkan total produksi susu yang dihasilkan sebagaimana dalam Tabel 3, maka rata-rata produksi susu yang dihasilkan adalah bervariasi antara 10,2-14,5 Uekor/hari. Kondisi ini belum menunjukkan skala usaha yang optimal, meskipun sudah berada sedikit di atas titik impas harga dan titik impas produksi . Rata-rata pedet dan sapi afkir yang dijual dalam setahun adalah 1,75 dan 0,36 ekor ; 1,56 dan 0,55 ekor dan 1,8 dan 0,34 ekor masing-masing untuk peternak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, serta Jawa Timur . Dengan kata lain, untuk memperoleh R/C sebagaimana dalam Tabel 4 minimal diperlukan sapi induk sebanyak 5-6 ekor . Berarti, untuk mencapai skala usaha yang optimal, setiap peternak harus memelihara lebih dari enam ekor induk dalam satu tahun . Hal in] tentu saja sangat tergantung dari keterbatasan sumber daya yang dimiliki peternak, yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal . Jika ditinjau dari aspek populasi ternak, produksi, dan permintaan susu dapat diilustrasikan sebagai berikut . Populasi 377
Proftl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
ternak sapi perah pada tahun 2007 adalah sekitar 378 ribu ekor dan menghasilkan produksi susu sebesar 637 ribu ton per tahun . Rata-rata skala usaha kepemilikan sapi perah berkisar antara 2-4 ekor per peternak, dengan tingkat produksi susu per ekor per hari adalah sekitar 8-10 liter . Berdasarkan data tersebut, terungkap bahwa kemampuan produksi susu segar nasional masih jauh dari jumlah kebutuhan konsumen, yaitu sekitar 1860 ribu ton per tahun, atau baru mencapai kira-kira sepertiga dari kebutuhan . Hal ini menunjukkan bahwa masih rendahnya penyediaan produksi susu segar nasional yang disebabkan selain populasi ternak yang relatif sedikit-sehingga rata-rata tingkat kepemilikan ternak pada skala usaha yang tidak efisien, juga produktivitas ternaknya rendah . Usaha peternakan sapi perah saat ini masih didominasi oleh usaha peternakan rakyat dengan manajemen tradisional dan skala pemilikan yang belum ekonomis, yaitu sekitar 1-4 ekor, dengan produksi susu yang masih rendah, yaitu rata-rata 10 liter per hari per ekor . Kondisi skala usaha yang belum ekonomis in] antara lain disebabkan oleh terbatasnya modal peternak dan kesulitan mencari pakan hijauan karena terbatasnya lahan untuk tanaman pakan ternak sehingga penyediaan jumlah dan kualitas pakan juga terbatas . Hal ini mengakibatkan usaha budi daya sapi perah belum efisien . Ahmad dan Hermiyetti (2008) menyatakan bahwa diperkirakan skala ekonomis dapat dicapai dengan kepemilikan 10-12 ekor sapi per peternak, sedangkan Setiani dan Prasetyo (2008) melaporkan bahwa usaha peternakan sapi perah tingkat rumah tangga dapat memberikan keuntungan jika jumlah yang dipelihara minimal 6 ekor . Kornposisi ternak produktif dan non produktif juga merupakan faktor yang harus diperhatikan pada usaha pemeliharaan sapi perah . Djaja (1991) menyatakan bahwa agar kelangsungan usaha dan kestabilan produksi terjaga, maka komposisi ternak pada usaha sapi perah adalah 85% ternak produktif dan 15% ternak nonproduktif. Sarjana et al . (2008) menyarankan bahwa dalam upaya meningkatkan usaha sapi perah perlu dilakukan fasilitasi peningkatan skala usaha dari 2 378
Profi/ Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
ekor menjadi sekitar 7-15 ekor/rumah tangga, dan peningkatan produksi dari sekitar 5 1/ekor/hari menjadi minimal 10 1/ekor/hari . Mahaputra yang disitasi oleh Prasetyo (2008) juga menyatakan bahwa perbandingan sapi laktasi yang efisien adalah 4:3, artinya bahwa apabila jumlah sapi yang dipelihara 7 ekor, harus terdiri dari empat ekor sapi laktasi, satu ekor sapi kering dan dua ekor pedet . Nurtini (2005) nnelaporkan bahwa usaha tani sapi perah sebagai penghasil bahan baku IPS yang memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif adalah dengan skala pemilikan >3UT atau rata-rata 5,23 L T dan proporsi sapi laktasi >70%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan kepemilikan seperti itu maka usaha tani sapi perah mempunyai potensi dan sustainable untuk dikembangkan. VI. KERAGAAN USAHA SAPI PERAH PETERNAKAN RAKYAT
Di TINGKAT
Suatu survei telah dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2008 di empat provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur) untuk mengetahui keragaan usaha sapi perah di tingkat peternakan rakyat. Data primer diperoleh langsung dart rumah tangga peternak melalui teknik wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur yang telah dipersiapkan . Daftar pertanyaan meliputi (1) karakteristik rumah tangga peternak, (2) penguasaan lahan dan ternak sapi perah serta masing-masing produksinya, (3) penggunaan tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi perah, (4) penggunaan sarana produksi, (5) komponen biaya produksi, dan (6) komponen pendapatan usaha sapi perah . Sejumlah 177 peternak yang dipilih secara acak telah diwawancara sebagai responden . VIA Karakteristik Rumah Tangga Peternak Secara umum dinyatakan bahwa jumlah anggota keluarga adalah bervariasi antara 3,5-4,17 jiwa per keluarga, di mana hal ini mengindikasikan tersedianya jumlah angkatan kerja keluarga 379
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dan jumlah anak yang masih menjadi tanggungan sekolah (label 5) . Angkatan kerja keluarga diukur dengan jumlah anggota keluarga yang berumur sama dengan atau lebih dari 15 tahun . Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi jumlah anggota keluarga yang dimiliki, akan semakin besar pula jumlah angkatan kerja keluarga yang ada . Ukuran keluarga dapat dilihat dari dua sisi, yakni sebagai potensi ketersediaan tenaga kerja yang dimiliki oleh rumah tangga petani dan di sisi lain adalah sebagai beban tanggungan keluarga . Pekerjaan utama responden sebagian besar adalah petani dan atau buruh tam, termasuk peternak sapi perah. Pekerjaan utama lainnya terdistribusi secara minoritas pada profesi pedagang/ wiraswasta, guru (PNS)/TNI dan karyawan swasta. Rata-rata umur KK rumah tangga peternak berada dalam usia produktif yang berkisar masing-masing antara 36 tahun sampai 45 tahun, dengan rata-rata pendidikan yang diukur berdasarkan lama tahun pendidikan berkisar 6-8 tahun . Hal ini menunjukkan bahwa hampir di semua provinsi KK peternak berpendidikan setara dengan lulus SD . Pekerjaan utama istri, selain sebagai ibu rumah tangga, hampir 50 persen juga sebagai petani/buruh tani dan terlibat dalam kegiatan usaha sapi perah . Rata-rata pendidikan istri juga relatif hampir sama dengan KK, yakni berkisar antara 6-7 tahun atau setara dengan lulus tingkat SD . Keterampilan peternak diterjemahkan dalam konsep sederhana yang direfleksikan dengan tata cara pengelolaan dan pemeliharaan ternak sapi perah sehari-hari . Hal ini diukur dengan perubahan pengalaman responden dalam usaha ternak, di mana secara umum dinyatakan bahwa pengalaman peternak sudah cukup lama. Rata-rata pengalaman peternak dalam usaha ternak sapi perah bervariasi mulai dari 12,8 tahun di Jawa Barat dan 18,3 tahun di DIY . Manfaat menjadi anggota kelompok peternak susu adalah sebagai fasilitasi dalam meminjam uang dan kredit bagi usaha sapi perah .
3 80
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Uraian Jumlah peternak (orang) Jumlah anggota keluarga (orang) Pekerjaan utama KK (%): - Petani/buruh tani/peternak -Pedagang/wiraswasta -PNS/TNI/POLRI - Karyawan swasta Pendidikan KK (%): - Tidak sekolah -SD -SLTP -SLTA - PerguruanTinggi Lama pendidikan KK (tahun Umur KK (tahun) Pekerjaan istri (%) : -Ibu rumah tangga -Petani/buruhtani/peternak - Pedagang/wiraswasta - PNS/TNI/POLRI Pendidikan istri (%): - Tidak sekolah -SD - SLTP - SLTA - Perguruan Tingqi Lama pendidikan istri (tahun) Pengalaman beternak (tahun) Asal pengetahuan beternak (%) : - Turun temurun - Meniru tetangga - Penyuluhan - Minat sendiri Tujuan beternak - Usaha pokok -Usahasambilan Manfaat anggota kel (%) : - Menambah pengetahuan - Fasilitasi kredit - Lainnya
r mah tan
a eternak
28 3,56
Jawa Timur 55 4,17
90,63 3,13 6,25
85,71 3,57 7,14 3,57
89,10 3,64 3,64 3,64
91,94 1,61 3,22 1,61 6 56 38 52
6,25 50,00 12,50 21,88 9,37 7,27 41,40
7,14 42,86 17,86 28,57 3,57 7,62 44,67
40 .00 14,55 25,45 1,82 8,04 36 .78
38,71 50,00 6,45 4,84
28,13 59,38 6,25 6,25
39,29 50,00 7,14 3 57
38,18 52,73 9,10
85,48 8,06 3,22 3,22 6,61 12,81
6,25 68,75 6,25 9,38 9,38 6,30 16,96
3,57 46,43 21,43 28,57
47,27 21,82 12,73 7,00 15,78
91,94 8,06 -
59,38 34,38 28,13 9,38
53,57 32,14 14,29
80,00 1,82 1,82 16,36
98,39 1,61
75,00 25,00
78,57 21,43
98,18 1,82
96,77 3,22
37,50 50,00 12,50
39,29 39,29 21,43
92,73 7,27 -
Jawa Barat
62 4,13 96,77 1,61 1 61
Jawa Tengah 32 3,55
DIY
6,92 18,34
VL2 Penguasaan Sumber Daya Lahan Pertanian dan Sapi Perah Usaha ternak sapi perah di Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan usaha pokok sehingga pengusaan sumber daya lahan pertanian di wilayah ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan di DIY dan Jawa Tengah (Tabel 6). Rata-rata luas lahan sawah adalah 571 m2 dengan luasan terkecil di DIY (66,7 m2) dan 38 1
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
terbesar di Jawa Tengah (1176 m`) . Rata-rata luas lahan non sawah (tegalan) lebih besar dibandingkan dengan lahan sawah, yakni sekitar 1327 m 2 , di mana pada umumnya ditanami tanaman pangan seperti jagung dan singkong serta tanaman hortikultura karena topografinya yang terletak di kawasan dataran tinggi . Salah satu keterbatasan dalam penguasaan sumber daya lahan pertanian ini mengakibatkan peternak untuk menyewa lahan perhutani sebagai penyedia lahan hijauan pakan sapi perah dengan ditanami rumput gajah . Rata-rata lahan yang disewa adalah 3229 m2 sehingga rata-rata total lahan garapan peternak adalah 5128 m2. Rata-rata penguasaan sapi perah yang dimiliki peternak bervariasi cukup tinggi . Rata-rata jumlah sapi terbanyak dimiliki oleh peternak di Jawa Timur (8 ekor) dan terendah adalah peternak di Jawa Barat (4,2 ekor). Komposisi kepemilikan sapi perah ini hanya 51,6% yang merupakan sapi laktasi sebagai penghasil susu, selebihnya adalah sapi kering ; dara dan pedet . Hal ini menunjukkan bahwa beban usaha sapi Iaktasi cukup tinggi dalam menanggulangi input produksi untuk sapi yang tidak berproduksi . Kepemilikan pedet jantan relatif kecil karena pada umumnya pedet jantan dijual pada umur 6-12 bulan . Pedet betina dan sapi dara dipergunakan sebagai replacement sapi induk sehingga kepemilikannya relatif besar . Kepemilikan sapi perah juga merupakan tabungan yang mempunyai nilai/asset ekonomi tinggi, karena secara umum usaha ini berasset sekitar Rp40 juta-Rp122 juta tergantung dari jumlah ternak yang dimiliki . Nilai ekonomi sapi laktasi adalah yang tertinggi, dengan rataan sekitar Rp101uta per ekor.
382
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Tabel 6 Rata-rata en uasaan sumberda a lahan ertanian dan sa i erah Uraian
Luas lahan sawah (m2) Luas lahan non sawah (m 2) Total pemilikan lahan (m 2 ) Sewa lahan hijauan (m`) Total lahan garapan (m ) Kepemihkan sapi (ekor) : - Sapi laktasi - Sapi kering - Sapidara - Pedetbetina -Pedetjantan Jumlah ternak Nilai ternak (Rp 000) - Sapi laktasi -Sapi kering - Sapi dara - Pedet betina -Pedetjantan Nilai ternak (Rp 000)
Jawa Barat 632,30 225,80 858,10 2 .592,60 3 .450,60
Jawa Tengah 1 .176 3 .215 4 .391 1 .866,70 -6257,90
DIY
66,67 930 996,67 4 .820 5 .816,70
Jawa Timur 410,70 _ 938,10 1 .348,80 3 .635,50 4 .984,40 _
2,47 0,24 0,76 0,73 0,02
3,21 0,82 0,55 1,21 0,94
2,13 0,40 1,13 0,97 0,40
4,59 0,64 0,91 ',50 0,38
4,21
6,73
5,03
8,03
30 .572,6 2 .806,5 4 .693,5 2 .306,5 64,5 40 .443,5
33 .139,4 8 .939,4 4 .045,5 3 .863,6 4 .584,8 100.696,9
18 .233,3 3 .556,7 6 .916,7 3 .650,0 _ 1 .466,7 62 .530,0
_ _ _
45 .803,6 7 .196,4 5660,7 4 .017,8 1 125,5 122 .444,6
VI.3 Produksi Susu, Pembelian, dan Penjualan Usaha Sapi Perah Rata-rata penjualan sapi selama setahun dilakukan pada pedet jantan sebesar 1,32 ekor bagi peternak di Jawa Timur dan 0.3 ekor bagi peternak di Jawa Tengah . Penjualan sapi dewasa justru tertinggi dicapai oleh peternak di Jawa Tengah, dengan rataan sekitar 0,7 ekor. Tabel 7 menunjukkan bahwa penjualan sapi dalam setahun lebih besar daripada pembelian sapi dara . Peternak di Jawa Barat dan DIY bahkan tidak membeli pedet betina, sedangkan pembelian sapi dewasa oleh peternak di Jawa Tengah mencapai yang tertinggi, yakni 0,4 ekor . Nilai pembelian sapi dalam setahun mencapai Rp3,6 juta bagi peternak di Jawa Tengah, diikuti oleh peternak di Jawa Timur sebesar Rp2,2 juta . Hal ini sejalan dengan nilai penjualan sapi di kedua provinsi tersebut, masing-masing sebesar Rp6,7 juta dan Rp6,4 juta.
383
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Tabel 7 . Rata-rata roduksi susu, emb lian, d en u I n usah Uraian Jawa Barat Jawa DIY Tengah Pembelian sapi (ekor) : - Sapi dewasa 0,06 0,42 0,07 - Pedet betina 0 0,03 0 Nilai pembelian sapi (Rp) : - Sapi dewasa - Pedet betina Total embelian sa .i R . Penjualan sapi (ekor) : - Sapi dewasa - Pedet jantan
Penerimaan susu (Rp000) Total penerimaan (Rp000)
i er h Jawa Timur 0,25 0,02
653 .226 0 653 226
3 .575 .758 60 .607 3 .636 .364
666 .667 0 666 .667
2.142 .937 48 .214 2.191 .151
0,35 0,73
0,70 0,30
0,40 0,80
0,36 1,32
2 .462 .903 2 .203 .226 4 .666 .129
5 .836 .364 878 .788 6 .715 .151
2 .426 .667 2 .426 .667 4 .853 .334
2.942 .089 3.450 .000 6.392 .090
44,48 13 .576 36 .281,7 40 .294,6
38,56 11 .761 35 .451,2 38 .529,9
25,12 7 .661 19 .723,3 23 .910,0
50,39 15 .138 50 .280,9 54 .481,9
Rata-rata produksi susu tertinggi dicapai • oleh peternak di wilayah Jawa Barat sebesar 44,5 1/hari/peternak . Hal ini berdasarkan atas jumlah kepemilikan sapi laktasi sehingga produktivitas sapi perah di Jawa Barat dapat mencapai 16 1/hari . Namun, karena jumlah sapi laktasi yang dimiliki peternak di Jawa Barat relatif paling kecil, maka penerimaan atas produk susu yang dihasilkan juga relatif rendah dibandingkan dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah . Penermaan susu tertinggi dicapai oleh peternak di Jawa Timur karena jumlah pemilikan sapi laktasi yang terbesar dibandingkan dengan provinsi lain . Total penerimaan usaha sapi perah berasal dari nilai penjualan sapi dan nilai penerimaan susu, dengan peternak di Jawa Timur mencapai yang terbesar, diikuti oleh Jawa Barat dan Jawa Tengah . Provinsi DIY mengalami penerimaan usaha sapi perah yang terendah, karena hal ini selain disebabkan oleh rendahnya jumlah kepemilikan sapi perah juga perkembangan industri persusuan di wilayah in] masih relatif baru . Sejak tahun 2007, telah ditetapkan Surat Keputusan Bersama antara Gubernur DIY dan Jawa Tengah dalam rangka mengatasi permasalahan susu yang diinisiasi oleh Fakultas Peternakan UGM bekerja sama 384
Projil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dengan seluruh stakeholder persusuan dan Dinas Peternakan masing-masing provinsi . Diharapkan adanya program aksi yang berkelanjutan dengan output yang dapat segera disampaikan kepada pemerintah sebagai alternatif opsi kebijakan dalam upaya meningkatkan pendapatan petemak sapi perah . VIA Biaya Produksi dan Pendapatan Usaha Sapi Perah Pakan merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi usaha sapi perah, rata-rata mencapai 78% . Yusdja (2005) menyatakan bahwa pada usaha sapi perah, biaya pakan dapat mencapai 62,5% dari total biaya produksi sehingga keuntungan yang diterima oleh peternak juga sangat tergantung dari besaran biaya pakan yang dikeluarkan. Komponen terbesar dari biaya pakan adalah konsentrat yang merupakan sumber energi dan protein, sedangkan sumber serat berasal . dari hijauan. Kontinuitas ketersediaan pakan sumber serat ini sepanjang tahun sangat menentukan produktivitas dan reproduktivitas ternak (Mariyono, 2008) . Pada umumnya, di waktu musim hujan produksi hijauan pakan sapi perah melimpah dengan kandungan bahan kering yang rendah, sebaliknya di musim kemarau produksi tersebut menjadi berkurang, bahkan pada daerahdaerah tertentu tidak berproduksi sama sekali . Oleh karena itu, strategi pengaturan ketersediaan pakan sumber serat perlu mendapat perhatian serius. Tabel 8 menunjukkan bahwa biaya sarana produksi usaha sapi perah terdiri atas biaya sarana penggunaan input produksi dan tenaga kerja . Input produksi meliputi pakan sumber serat (rumput, leguminosa, limbah tanaman pangan), konsentrat, dedak padi, ampas tahu dan singkong serta mineral, obat-obatan, biaya penyusutan kandang dan peralatan, upah tenaga kerja yang disewa, dan peremajaan induk sapi perah . Selisih antara penerimaan usaha sapi perah dengan biaya sarana produksi merupakan pendapatan peternak dari usaha sapi perah .
385
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Tabel 8 . Rata-rata bia a in ut roduksi dan enda atan usaha sa i erah Uraian
Pakan (kg) : - Rumput - Leguminosa - Limbah tanaman pangan -Konsentrat - Dedak padi -Ampastahu - Singkong Mineral (kq) Obat-obatan (liter) Inseminasi buatan (kali) Sewa lahan utk kandang (m4) Luas kandang (m ) Sewa tenaga kerja (orang) Biaya input produk (Rp000) -Rumput -Leguminosa - Limbah tanaman panqan -Konsentrat - Dedak padi - Ampas tahu - Singkong Mineral Obat-obatan Inseminasi buatan Sewa lahan kandang Penyusutan kandang Penyusutan alat Upah tenaga kerja Peremajaan induk Total biaya produksi Total pendapatan usaha sapi perah
Jawa Barat
23 .676 3 .584 10 .282 9 .872 0 7 .522 2 .153 _ 0 24,70 9,50 1 .642 30 0,21
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
8 .400 1 .495 13 .206 6 .144 3 .874 5 .342 2 .267 18,61 3,97 8,80 66,67 54,32 0,27
12 .387 3 .397 2 .870 6 .241 823 1 .083 1 .233 15,10 3,30 6,93 645 39 0,17
15 .039 3 .238 3 .613 10 .494 0 6 .798 1 .776 0 37,20 3,13 1 .402 56,04 0,21 3 .585 1 .295 903,1 14 .623,7 0 2 .719,3 932,6 0 541,9 112,4 28,3 721,8 194,7 1 .170 954,5 27 .782,3
3 .551,4 1 .433,5 1 .542,3 11 .810,7 0 3 .760,9 1 .002,5 0 317 237,1 271,2 668,3 171,5 1 .399,6 1 .551,6 27,717,8
2 .059,1 598,1 1 .811,2 7 .348,6 5 .527,5 2 .122,8 1 .759,2 103,2 _ 173,9 165,7 54,5 569,6 196,6 1 .207,3 469,7 24 .166,8
2 .941,3 1 .358,7 314,2 8 .657,6 1 .399,7 433,3 986,7 140,2 239,9 179,7 244,9 448,7 178,1 1 .060 686,7 19 .269,7
12 .576,8
14 .363,1
4 .640,3
1
26 .699,6
Rata-rata biaya sarana produksi sapi perah di Jawa Timur dan Jawa Barat hampir sama, diikuti dengan hal tersebut di Jawa Tengah . Hal ini menunjukkan bahwa biaya produksi usaha sapi perah di Jawa Barat relatif lebih mahal dibandingkan dengan provinsi lain karena jumlah kepemilikan sapi perah yang relatif rendah . Hal in] sejalan dengan total pendapatan usaha sapi perah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan hal tersebut di Jawa Timur dan Jawa Tengah . Rata-rata pendapatan usaha sapi perah bagi peternak bervariasi dari mulai Rp4,6 juta sampai Rp26,7 juta selama setahun .
386
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di indonesia
VII. KONTRIBUSI USAHA SAPI PERAH TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN INTEGRASI TERHADAP USAHA TANI Keberadaan peternakan sapi perah di Indonesia secara historis tidak terlepas dari penjajahan pemerintah Belanda, yang pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan akan susu bagi masyarakat Belanda yang berada di Indonesia . Saat ini peternakan sapi perah telah menjadi salah satu aset komoditas unggulan di bidang pertanian . Meskipun usaha peternakan sapi perah sebenarnya merupakan usaha petemakan yang membutuhkan modal yang tidak sedikit dan paket teknologi yang tinggi, namun dalam kenyataannya di Indonesia usaha ini merupakan salah satu usaha industri berbasis pedesaan dan padat karya . Kusmaningsih et al. (2008) menyatakan bahwa setiap 2-4 ekor sapi memerlukan sedikitnya seorang tenaga kerja untuk memelihara . Kegiatan on farm usaha ini mampu menciptakan lapangan kerja yang tidak sedikit . Produk yang dihasilkan dari usaha ini tidak hanya susu, tetapi juga sapi bakalan yang dapat dipergunakan sebagai penghasil daging, terutama pedet jantan, serta kotoran ternak yang dapat diolah sebagai biogas dan pupuk organik, sedangkan urinenya dapat digunakan sebagai pupuk tanaman . Bahkan saat ini sudah ada usaha peternakan sapi perah dengan produk utamanya adalah kompos di mana susu justru sebagai produk samping . Kenyataan ini menunjukkan bahwa usaha sapi perah mempunyai potensi yang besar bagi pengembangan suatu wilayah. Hal ini meliputi perannya dalam menyuburkan lahan pertanian sehingga secara tidak langsung dapat membantu mengembangkan usaha tani tanaman . Biogas yang dihasilkan dapat menjadi sumber energi, sedangkan produk utama sebagai penghasil pangan sumber protein hewani, yaitu susu dan daging yang mampu membantu pengembangan wilayah melalui pembangunan sumber daya manusia .
3 87
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
VIII .ASPEK SOSIAL PEMELIHARAAN SAN PERAH Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis dan meliputi hubungan antara masing-masing individu perorangan ; antara kelompok-kelompok manusia ; maupun antara perorangan dengan kelompok manusia (Fatah, 2006) . Lebih lanjut dijelaskan bahwa interaksi sosial tidak akan terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communications) . Ahli-ahli sosial menyatakan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), pertentangan atau pertikaian (conflict), dan dapat pula berbentuk akomodasi (acommodation) . Pelaksanaan usaha tani sapi perah pada umumnya diusahakan secara individual, meskipun secara formal membentuk suatu kelompok atau wadah untuk mengelola bersama, khususnya pada aspek pemasaran . • Peran kelompok tani bagi pengembangan usaha tam khususnya petemak sapi perah dalam mewujudkan kemandirian usaha sangat penting . Menurut Menteri Pertanian yang disitasi oleh Darmawan et al. (2008) fungsi kelompok merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta turnbuh dan berkembangnya kemandirian dalam berusaha tani sehingga produktivitas meningkat, pendapatan bertambah, serta kehidupan menjadi lebih sejahtera . Hasil penelitian Darmawan et al . (2008) di desa Pagerwangi, Lembang, Bandung, Jawa Barat menginformasikan bahwa aktivitas kehidupan masyarakat sapi perah untuk kepentingan pendapatan keluarga, kepentingan interaksi gotong royong, prestasi keunggulan dalam pengelolaan pemeliharaan dan produktivitas susu menduduki tingkat sosial lebih tinggi dibandingkan para peternak pada umumnya . Peternakan sapi perah yang membutuhkan paket teknologi dan biaya yang relatif mahal temyata dapat diadopsi oleh peternak-peternak rakyat di pedesaan melalui interaksi sosial di antara mereka dengan menggunakan wadah kelompok peternak . Hal ini mengindikasi388
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
kan bahwa dari aspek sosial usaha peternakan sapi perah secara tidak langsung menambah wawasan dan pengetahuan mereka serta meningkatkan semangat gotong royong, selain menciptakan lapangan pekerjaan dan berusaha . Santosa (2001) menyatakan bahwa walaupun skala usaha sapi perah pada peternakan rakyat relatif amat sangat kecil, namun jumlahnya amat sangat banyak, bahkan produksi peternakan rakyat merupakan sekitar 90% dari produksi nasional . Usaha peternakan sapi perah rakyat meskipun skala usahanya kecil, tetapi sudah mengarah pada sifat usaha komersial, seperti halnya pada perusahaan peternakan sapi perah berskala besar . Hal ini tercermin bahwa pada usaha sapi perah hampir seluruh produksinya dijual, di samping itu juga banyak komponen input yang dibeli seperti bibit, konsentrat, peralatan dan bahkan pakan hijauan dan tenaga kerja . Pasang surut pada usaha peternakan sapi perah dengan berbagai faktor penyebabnya, berpengaruh pada minat penanam modal yang ingin berinvestasi di bidang ini. Diperlukan pemikiranpemikiran yang sangat matang dan ekstra hati-hati serta teliti, baik dari aspek sosial, ekonomi maupun politik . Peternak rakyat dengan skala usaha yang belum ekonomis dengan berbagai keterbatasannya, saat ini masih dapat bertahan, meskipun menurut Santosa (2008) reward-nya sangat minim . Pendapatan peternak sapi perah baru merupakan upah tenaga kerja, yang pada analisis pendapatan tidak pernah diperhitungkan dan itupun dengan nilai per bulan yang sangat rendah, rata-rata hanya mendekati nilai upah minimum regional . Oleh karena itu, menurut Nurtini (2007) perlu dicari alternatif aktivitas ekonomi lain yang lebih efisien untuk menggantikan usaha peternakan sapi perah rakyat yang berskala kecil dalam kaitannya untuk pemerataan berusaha dan pemberdayaan masyarakat di pedesaan .
389
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Amir, P ., and H .C . Knipscheer . 1989 . Conducting on-Farm Animal Research : Procedurs and Economic Analysis. Winrock International Institute for Agricultural Development and International Development Research Centre . Singapore National Printers Ltd, Singapore . Ahmad, I . dan Hermiyetti . 2008 . Analisis Produksi dan Konsumsi Susu di Indonesia . Prosiding Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta, 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia . BPS . 2007 . Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta . Budiarsana, I-G M dan E . Juarini . 2008 . Analisis Biaya Produksi pada Usaha Sapi Perah Rakyat : Studi Kasus di Daerah Bogor dan Sukabumi . Prosiding Prospek Industri Sapi Perah menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta, 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia . Camanho, A .S, and Dyson, R .G . 2004 . The Assessment of Cost Efficiency Allowing for Adjustments to Input Prices . Data 4th Envelopment Analysis and Performance Managemen . tn International Symposium of DEA . S -6` t' September 2004, Aston Business School, Aston University . UK . Melalui < w ww .dezone . com > .[04/05/05] . Coelli, T .J . 1996 . A guide to DEAP Version 2 .1, a Data Envelopment Analysis (Computer) Program . Centre for Efficiency and Productivity Analysis . Department of Economics . University of England . Armidale, NSW, 2351 . Melalui [17/04/061 . Darmawan, Y . Rismayanti, T . Maryati dan 0 . Marbun . 2008 . Kelembagaan Persusuan dan Manfaatnya di Tingkat Peternak Sapi Perah : Studi Kasus di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Jawa Barat . Prosiding Prospek Industri
Sapi Perah menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta, 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia .
Debertin, D .L . 1986 . Agricultural Production Economics . Macmillan Publishing Company, New York .
390
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Direktorat Jendral Peternakan . 2008 . Statistik Peternakan . Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta . Djaja, W . 1991 . Perhitungan Jumlah Sapi Produktif dan Non Produktif. Buletin PPSKI Nomor 33 Th VII April-Juni 1991 . Erwidodo dan B . Sayaka . 1998 . Dampak Krisis Moneter dan Refornlasi Indonesia . Analisis Ekonomi terhadap Industri Persusuan di Kebijaksanaan : Pembangunan Agribisnis di Pedesaan dan Analisis Dampak Krisis . Monograph Series No .18 . Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Fatah, L. 2006 . Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan . jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat bekerjasama dengan Pustaka Benua . Banjarbaru . Firman, Achmad . 2008 . Manjemen Agribisnis Peternakan : Teori dan Contoh Kasus . Universitas Padjadjaran Press, Bandung . Firmansyah, Cecep . 2008 . Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat dan Hubungannya dengan Faktor Determinan . Prosiding Focus Group Discussion Arah Pengembangan Industri Persusuan Jangka Panjang . Sumedang, 18-19 Januari 2008 . Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung . Hadiana, Muhamad Hasan, Rochadi Tawaf, dan Achmad Firman . 2005 . Analisis Biaya Produksi Susu Segar pada Peternak Sapi Perah Anggota GKSI Jawa Barat . Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Dinas Koperasi Jawa Barat, dan GKSI Jawa Barat. Bandung. Hadiana, dan Muhammad Hasan . 2008 . Dampak Faktor Eksternal Kawasan terhadap Efisiensi Usaha Ternak Sapi Perah . Prosiding Arah Pengembangan Industri Peternakan . Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung . Kay, Ronald D . 1981 . Farm Management Planning, Control, and Implementation . International Student Edition . McGraw-Hill International Book Company . Tokyo, Japan . Kusmaningsih, Susilawati dan K, Diwyanto . 2008 . Prospek dan Pengembangan Usaha Sapi Perah di Jawa Tengah Menyongsong MDG's 2015 . Prosiding Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta, 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia.
391
Profii Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Lee, W .F ., M .D . Boehlje, A .G . Nelson and W .G . Murray. 1988 . Agricultural Finance. Eight Edition . Iowa State University Press, Ames, Iowa.
Mandaka, S dan M . P . Hutagaol . 2005 . Analisis Fungsi Keuntungan, Efisiensi Ekonomi dan Kemungkinan Skema Kredit bagi Pengembangan Skala Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor . Jurnal Agro Ekonomi, Vol . 23 No . 2 . Nurtini, S . 2005 . Insentif Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Sapi Perah Penghasil Bahan Baku Susu Industri Pengolahan Susu (IPS) di Daerah Istimewa Yogyakarta . Disertasi Sekolah Pascasarjana I niversits Gadjah Mada, Yogyakarta . Nurtini, S . 2007 . Usaha Peternakan Sapi Perah dan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan . Prosiding Seminar Nasional Peternakan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan . Dies Natalis Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada ke 38 . Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 8 November 2007 .
Penson, J .B . Jr., Oral Capps, Jr ., and C . Parr Rosson 111 . 2002 . Introduction To Agricultural Economics . Third Edition . Prentice Hall . Upper Saddle River . New Jersey . Peters, S .E . 1994 . Conversion to Low-input Farming Systems in Pennsylvania, USA : An Evaluation of the Rodale Farming Systems Trial and Related Economic Studies . In : The Economics of Organic Farming . Ed(s) N .H. Lampkin and S . Padel . CAB International, Wallingford, United Kingdom . Pindyck, R .S . and D .L . Rubenfeld . 1997 . Microeconomics . Prentice Hall, New Jersey . Prasetyo . 2008 . Arah Pengembangan Industri Sapi Perah di Jawa Tengah . Prosiding Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta, 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia .
Priyanti, A ., dan Mariyono . 2008 . Analisis Keseimbangan Rasio Harga Pakan terhadap Susu Segar pada Peternakan Rakyat . Prosiding Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta . 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia .
3 92
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Rahayu, S ., S . Kuswaryan, A . Firman, L . Budimuijati, C . Firmansyah dan A . Fitriani. 2005 . Pembentukan Model Unit Pelayanan Jasa dan Alat Mesin Sapi Perah . Kerjasama Dinas Peternakan Jawa Barat dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung . Riyanto, B . 1993 . Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan . Edisi 3 . Cetakan ke-16 . Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada . Yogyakarta . Rosdiana, Fina . 2007 . Pengelolaan dan Pengembangan Sapi Perah Rakyat. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21-22 Agustus 2007 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor . Santosa, K .A ., dan Ahmadi . 1996 . Faktor-faktor Produksi Susu Peternakan Sapi Perah Rakyat di Daerah Kering . Buletin Peternakan, Volume 20, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta . Santosa, K .A . 2001 . Strategi Pendidikan Petani Peternak untuk Menghasilkan Produk Peternakan yang Kompetitif. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mengkaji Kualitas Produk Peternakan yang Kompetitif. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta, 14 Juli 2001 .
Santosa, A . 2008 . Evaluasi Proyek Agribisnis Ternak Sapi Perah Rakyat dalam Upaya Pemberdayaan Peternak di Gapoktan Prima Tani di Kecamatan Ampel Boyolali : Studi Kasus pada Kelompok Tani Mulyo . Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengembangan Agroindustri Usaha Persusuan Nasional untuk Perbaikan Gizi Masyarakat dan Kesejahteraan Peternak . Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian . Yogyakarta, 5 November 2008 .
Sarjana, Budi Utamo dan Miranti Dian Pertiwi . 2008 . Kontribusi Usaha Sapi Perah terhadap Pendapatan Rumahtangga Peternak : Studi Kasus di Desa Kembang Kabupaten Boyolali . Prosiding Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta, 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia.
3 93
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Setiani, C. dan T, Prasetyo . 2008 . Penguatan Kelembagaan Pemasaran Susu untuk Mendukung Pengembangan Industri Sapi Perah di Jawa Tengah . Prosiding Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta. 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia . Soekartawi . 1995 . Analisis Usaha Tani . Universitas Indonesia Press . Jakarta . Sulistiyanto . 2008 . Prospek dan Pengembangan Usaha Agrobisnis Persusuan bagi Koperasi . Makalah disampaikan dalam `Workshop Pengembangan Peternakan Dalam Bidang Usaha Agrobisnis Persusuan' . Kamar Dagang dan Industri Indonesia . Jakarta, 18 Maret 2008 . Sumanto, E . Juarini dan Ketut Sutama . 2004 . Keuntungan Ekonomi Perbaikan Pakan Sapi Perah Dara di Noriko Dairy Farm Indonesia, Pangalengan, Bandung . Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Bogor, 4-5 Agustus 2004, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor . Yusdja, Yusmichad . 2005 . Kebijakan Ekonomi Industri Agribisnis Sapi Perah di Indonesia . Analisis Kebijakan Pertanian, September 2005 . Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor . Vol .3 No .3 .
394