66
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD SEWA MENYEWA DAN PEMANFAATAN TANAH EKS BENGKOK DI KELURAHAN ROWOSARI KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG
A. Analisis Praktek Sewa Menyewa Tanah Eks Bengkok di Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Mencermati persoalan yang terjadi atas tanah eks bengkok Kelurahan Rowosari sekilas memang tampak dilematis. Para penggarap merasa bahwa apa yang selama ini mereka lakukan adalah sesuatu yang biasa dikerjakan, karena menjadi salah satu sumber kehidapan mereka. Sehingga sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan bahwa apa yang mereka kerjakan bukanlah menjadi hak mereka lagi. Fenomena ini apabila berlangsung terus menerus dan tidak diantisipasi sejak dini, bukan tidak mungkin akan membawa potensi kerawanan sosial di kemudian hari. Pelepasan tanah eks bengkok1 tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang Kotamadya Daerah
1 Pelepasan tanah bengkok yang ada di 17 kelurahan dari enam kecamatan yang ada di Kota Semarang dilakukan secara bertahap, mulai 1991 hingga 1995. Tahap pertama 25,5 hektar meliputi Kecamatan Semarang Selatan (Ngesrep, Tembalang, Bulusan, dan Srondol Kulon), Semarang Timur (Pedurungan Kidul), dan Genuk (Sambirejo dan Tlogomulyo). Tahap kedua 16,98 hektar meliputi Kecamatan Semarang Selatan (Ngesrep, Tembalang, Srondol Kulon, dan Pedalangan), Kecamatan Semarang Timur (Pedurungan Kidul, Sendangguwo, dan Gayamsari), Kecamatan Genuk (Bangetayu), dan Kecamatan Tugu (Tugurejo). Tahap ketiga dilepas 42,35 hektar tanah bengkok di Kecamatan Banyumanik (Pudak Payung, Srondol Wetan, Pedalangan, dan Gedawang), Kecamatan Genuk (Bangetayu Wetan), dan Kecamatan Gayamsari (Pandean Lamper). Lihat : Kompas, 21 Agustus 2001.
67
Tingkat II Semarang Nomor 143/09/Tahun1997 tanggal 8 Nopember 1997 yang kemudian ditidaklanjuti dengan mengadakan musyawarah Kelurahan Rowosari pada tanggal 8 Nopember 1997 dengan dihadiri oleh beberapa pihak, antara lain Ketua LKMD dan stafnya, staf Kelurahan Rowosari, Ketua RW/RT, tokoh masyarakat dan para petani penyewa tanah eks bengkok. Dalam musyawarah tersebut diperoleh pokok-pokok kesepakatan sebagai berikut : 1. Tidak keberatan atas pelepasan tanah bekas bengkok/bondo desa Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang tersebut untuk lokasi pembangunan Perumahan Karyawan/Karyawati Inspektorat Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. 2. Taksiran nilai ganti rugi tanah bekas bengkok tersebut adalah Rp. 4.500/m2, sehingga untuk tanah seluas + 40.000/m2 nilai ganti ruginya adalah Rp. 180.000.000,- dan atas pelepasan tanah bekas bengkok/bondo desa tersebut, maka Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang akan mendapatkan pengembalian dana sebesar Rp. 100.000.000,-.2 Berdasarkan hasil rapat tersebut, semua pihak yang sebelumnya berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung mengerti bahwa telah terjadi perubahan status kepemilikan atas tanah eks Bengkok. Yaitu, dimana sebelumnya menjadi milik kelurahan Rowosari sekarang menjadi milik Karyawan/Karyawati Inspektorat Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Perubahan status ini tentunya berakibat pula pada akibat segala hukum yang ditimbulkannya setelah perpindahan kepemilikan tersebut.3 2
Sumber : Dokumen Surat Keputusan Kepala Kelurahan Rowosari. Pembebasan hak atas tanah adalah melepaskan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak atau penguasa dengan cara memberikan ganti rugi. Pembebasan hak atas tanah untuk proyek-proyek pemerintah ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu : 1) Berdasarkan tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. 2) Berdasarkan tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985. Tata cara Pengadaan tanah menurut Peraturan yang kedua ini adalah untuk pengadaan tanah di wilayah kecamatan yang luasnya tidak lebih dari 5 haktar. Pengadaan tanah dimaksud dilaksanakan 3
68
Namun fenomena yang terjadi sampai saat ini, para petani yang sejak dulu menyewa tanah eks bengkok tersebut masih memanfaatkan dengan menanami lahan tersebut. Mereka beralasan bahwa tanah tersebut masih dapat dimanfaatkan hingga pemilik yang sah mengambil hak mereka. Dalam rentang waktu tersebut, para petani dapat memanfaatkan eks tanah bengkok yang telah dilepas tanpa mengeluarkan pembayaran uang sewa. Hasil rapat tersebut seharusnya menjadi acuan pihak kelurahan Rowosari untuk segera mengambil langkah tindak lanjut yang lebih tegas. Sehingga apa yang menjadi keputusan rapat tersebut tidak menimbulkan dampak persoalan di kemudian hari. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan tanah eks bengkok Kelurahan Rowosari tersebut hingga saat ini memang masih dalam keadaan kosong. Belum ada tanda-tanda untuk dipergunakan sebagai lahan perumahan sebagaimana rencana semula. Bahkan menurut beberapa sumber, tanah eks bengkok yang mereka manfaatkan hingga sekarang ini belum diketahui pasti siapa pemiliknya. Sehingga para petani menganggap wajar dan tidak ada salahnya bila lahan tersebut untuk sementara dimanfaatkan. Kepedulian dan kesadaran semua pihak dalam persoalan ini harus dibangun untuk mencegah persoalan yang bisa saja muncul di kemudian hari. Pihak-pihak tang berhubungan dengan hal tersebut harus melakukan langkah antisipasi dini terhadap potensi konflik di tengah masyarakat. Mereka harus belajar atas berbagai insiden yang memperihatinkan akhir-akhir ini. Sengketa langsung oleh Pimpinan Proyek Instansi yang bersangkutan, yaitu dengan memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan luas tanah yang ditentukan. Lihat : I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, hal. 21-26.
69
tanah antar warga, penggusuran lahan, relokasi yang sarat konflik sosial agar menjadi pelajaran yang berharga. Dan semua pihak berharap penegakan hukum dan peraturan yang ada secara nyata. Sehingga tercipta iklim kondusif di semua lapisan masyarakat khususnya di Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang Kota Semarang. B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Akad Sewa Menyewa dan Pemanfaatan Tanah Eks Bengkok di Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Konsep Islam adalah menjunjung kebebasan kepada manusia untuk bermuamalah dalam segala aspek kehidupan.4 Ini menunjukkan ajaran Islam sangat akomodatif terhadap berkembangan paradaban manusia dari masa ke masa. Namun begitu, Islam juga menegaskan prinsip-prinsip sebagai acuan dasar yang harus ditaati dalam melakukan interaksi sosial antara manusia dengan manusia lainnya.5
4
Bandingkan dengan asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata Nasional (BW). Bahwa dalam Buku III, manganut asas “Kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrisheid). Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud oleh pasal tersebut, tidak lain dari kenyataan bahwa tiap perjanjian adalah mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Lihat :Subketi, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermassa, 1994, hal. 127 5 Secara garis besar ada dua dimensi ajaran dalam Islam, yaitu ibadah dan muamalah. Dalam dimensi ibadah, patokan yang harus dipegangi adalah : ﻻ ﻳﻌﺒﺪﺍﷲ ﺍﻻ ﲟﺎ ﺷﺮﻉ:”tidaklah disembah Allah (tiada dibuat suatu ibadah) melainkan dengan apa yang Allah syari’atkan”, ini artinya bahwa hukum ibadah pada awalnya adalah dilarang kecuali adanya nash-nash yang menganjurkan untuk melakukan suatu ibadah. Sehingga dimensi ibadah (mahdhah) sangat sempit tidak membuka celah adanya pengurangan dan penambahan. Sedangkan dalam dimensi muamalah adalah : ﺍﳌﻌﺎ ﻣﻼﺕ ﻃﻠﻖ ﺣﱴ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﳌﻨﻊartinya : “Segala jenis muamalah bebas kita kerjakan sehingga diketahui larangannya”. Maksudnya adalah bahwa muamalah yang tidak diharamkan syara’ dan tidak meliputi sesuatu yang haram adalah boleh. Lihat : Teungku Muhammad Hasbi ashShiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001, hal. 403.
70
Prinsip yang paling penting dalam bermuamalah adalah tidak boleh satupun yang kita kerjakan menimbulkan kemudaratan baik itu untuk diri sendiri maupun orang lain. Aturan-aturan tersebut telah di jelaskan secara kongkrit dalam beberapa ketentuan yurisprudensi Islam yang disebut dengan fiqh muamalah.6 Yang kesemuanya merupakan hasil penggalian pemahaman hukum dari al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu bentuk muamalah yang kerap dilakukan di tengah masyarakat adalah perjanjian sewa menyewa (al-Ijarah). Pejanjian sewamenyewa adalah akad menyerahkan (memberikan manfaat) suatu benda kepada orang lain dengan suatu ganti pembayaran. Kemudian penyewa memiliki manfaat benda yang disewa berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam naskah perjanjian.7 Maka setiap melakukan perjanjian sewa menyewa, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya pihak penyewa ; 2. Adanya pihak yang menyewakan ; 6
Ruang lingkup Fiqih Muamalah ada dua yaitu : Pertama, al-Muamalah al-Adabiyah ialah muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, jujur, hasud, dengki, dendam. Misalnya adalah: ijab qabul, saling meridhai, tidak ada katerpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat. Kedua, al-Mua’malah al-Madiyah, adalah muamalah yang mengkaji obyeknya atau menurut ulama adalah muamalah yang bersifat kebendaan. Diantaranya adalah : jual beli (alba’i al-Tijarah), gadai (al-rabn) jaminan tanggungan (kafalah dan dhaman), pemindahan hutang (hiwalah), jatuh bangkrut (taflis), batasan bertindak (al-Hajru), perseroan atau perkongsian (alSyirkah) perseroan harta tenaga (al-Mudharabah), sewa-menyewa (al-Ijarah), pemberian hak guna pakai (al-‘Ariyah), barang titipan (al-Wadhi’ah), barang temuan (al-Luqatah), garapan tanah (alMuzara’ah), sewa-menyewa tanah (al-Mukhabarah), upah (ujrat al-‘Amal), gugatan (al-Syuf’ah), sayembara (al-Ji’alah), pembagian kekayaan bersama (al-Qismah), pemberian (al-Hibbah), pembebasan (al-Ibra) damai (al-Suhlu), dan ditambah dengan beberapa masalah (mu’ashirah mahaditsah) seperti : masalah bunga bank, asuransi, kredit dan masalah-masalah baru lainnya. Lihat : Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2002, hal. 4-5. 7 Masduha Abdurrahman, Hukum Perdata Islam (Fiqh Muamalah), Surabaya : Central Media, 1992, hal. 97.
71
3. Adanya akad menyerahkan (perjanjian) ;8 4. Adanya suatu benda yang bermanfaat ; 5. Biaya sewa yang disepakati kedua belah pihak. Maka, suatu perjanjian sewa menyewa harus memenuhi unsur-unsur tersebut, bila tidak maka dapat dikatakan batal demi hukum atau tidak sah. Barometer inilah yang dapat digunakan untuk menilai bagaimanakah fenomena sewa menyewa tanah Eks Bengkok di Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang Kota Semarang dalam tinjauan hukum Islam. Akad sewa menyewa tanah bengkok ketika status kepemilikian tanah tersebut masih dipegang oleh desa atau kelurahan Rowosari adalah sah menurut pandangan hukum Islam. Karena perjanjian sewa menyewa tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai akad ijarah atau sewa menyewa. Namun setelah keluarnya Surat Keputusan (SK) Kepala Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 143/09/Tahun1997 tanggal 8 Nopember 1997 tentang pelepasan tanah eks bengkok, ada beberapa perubahan mendasar mengenai status benda (tanah) tersebut, yaitu : Pertama. Status kepemilikan, yaitu perubahan pemilik lama atas nama Kelurahan Rowosari Kec. Tembalang Kota Semarang kepada pemilik baru yaitu pihak Karyawan/Karyawati Inspektorat Wilayah Kotamadya Daerah
8
Para ulama fiqh menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syarat, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad (transaksi). Di sisi lain, setiap manusia mempunyai kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad, dan sebagai akibatnya wajib memenuhi ketentuan hukum yang ditimbulkan oleh akad tersebut. Lihat : M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 108-109.
72
Tingkat II Semarang. Kedua, berakhirnya sewa menyewa atas tanah tersebut. Setelah pengalihan kepemilikan dari pihak Kelurahan Rowosari kepada pihak Karyawan/Karyawati Inspektorat Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, maka sewa-menyewa berakhir bersamaan dengan perpindahan hak milik tersebut dan pemilik (baru) tidak pernah mempersewakan tanah tersebut. Sedangkan pada perjanjian sewa-menyewa sebelumnya disepakati habis bahwa masa sewa berakhir pada setiap bulan Oktober. Maka seharusnya bulan Oktober terakhir sebelum perpindahan kepemilikan, tanah harus sudah dalam keadaan kosong. Dalam hukum Islam, salah satu sebab rusaknya (fasakh) perjanjian sewa menyewa adalah jika masa atau waktu yang ditentukan telah telah habis. Maka akad sewa menyewa itu menjadi berakhir, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah fasakh tersebut. Misalnya jika masa ijarah tanah pertanian telah berakhir sebelum tanaman dipanen, maka ia tetap berada ditangan penyewa sampai masa selesai panen, sekalipun terjadi pemaksaan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kerugian pada pihak penyewa, yaitu dengan mencabut tanaman sebelum waktunya. 9 Fenomena yang terjadi pada para penggarap tanah eks bengkok Kel. Rowosari tidak demikian adanya. Sampai batas waktu yang telah ditentukan sesuai dengan hasil musyawarah, para petani masih menggarap tanah eks bengkok tersebut. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh para penggarap tanah eks bengkok Kel. Rowosari dengan tetap menggarap tanah tersebut
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, Beirut : Daar al-Fikr, 1983, hal. 173.
73
menurut hukum Islam tidak dibenarkan. Yaitu tetap mengambil manfaat suatu benda yang nyata-nyata tidak sah atas hal tersebut. Karena tidak ada izin (akad) kepada pemilik untuk memanfaatkan lahan tersebut, meskipun secara de vacto tanah tersebut belum digunakan oleh pemiliknya. Menurut hukum Islam, persoalan hal ini dinyatakan dengan sangat tegas. Bahwa setiap tindakan mengambil barang dengan cara terang-terangan tanpa izin pemilik yang sah,10 meskipun hanya untuk mengambil manfaat11 disebut dengan ghasab. Dan hukum atas perbuatan tersebut adalah haram.12 Larangan untuk tidak mengambil sesuatu barang dengan cara yang batil ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut :
(١٨٨ : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ... ﺎ ِﻃ ِﻞﻨﻜﹸﻢ ﺑِﺎﹾﻟﺒﻴﺑ ﺍﹶﻟﻜﹸﻢﻣﻮ ﺗ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﹾﺍ ﹶﺃ ﻭ ﹶﻻ Artinya : Dan janganlah sebagian kamu, memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil…(Q.S. al-Baqarah :188)13 Asbabun nuzul ayat inipun berkenaan dengan sengketa tanah. Yaitu ketika Umru al-Qois bin ‘Abis dan ‘Abdan bin Asywa’ al-Hadirami yang bertengkar dalam soal tanah. Umru al-Qois bin ‘Abis berusaha mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim. Maka turunlah ayat tersebut sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan yang bathil.14 10
Abu Bakar Ibn Muhammad Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Indonesia: Daar Ihyak alKutub al-‘Arabiyah, t.th, hal. 294. 11 Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati, I’anat al-Thalibin, Semarang: Toha Putra, t.th., hal. 136. 12 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Libanon, Daar Kutub al-Ilmiyah, t.th., hal. 267. 13 Departeman Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1998, hal. 53. 14 Q. Shaleh dan A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul ; Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat alQur’an, Bandung : Diponegoro, 2000, hal. 54-55.
74
Allah memerintahkan agar dalam mendapatkan segala sesuatu harus melalui jalan yang sah dan jujur. Sebagaimana dalam firmannya :
(٢٦٧: ﺕ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ِ ﺎﻴﺒﻮﹾﺍ ﺃﹶﻧ ِﻔﻘﹸﻮﹾﺍ ﻣِﻦ ﹶﻃﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ Artinya : Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik (Q.S al-Baqarah : 267).15 Dalam ayat lain ditegaskan, bahwa apa yang kita ambil harus berasal dari hal-hal yang baik-baik saja :
(٤ : ﺕ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ ﺎﻴﺒ ﺍﻟ ﱠﻄﻢ ﹸﻗ ﹾﻞ ﺃﹸ ِﺣﻞﱠ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﻬ ﺎﺫﹶﺍ ﺃﹸ ِﺣﻞﱠ ﹶﻟﻚ ﻣ ﻧﺴﹶﺄﻟﹸﻮ ﻳ Artinya : Mereka menanyakan kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka ?”. Katakanlah : “Dihalalkan bagimu yang baikbaik…”(Q.S al-Maidah : 4)16 Berdasarkan kandungan dan asbabun nuzul ayat-ayat di atas, jelas sekali bahwa Islam sangat menjunjung tinggi dan melindungi hak milik seseorang. Sehingga tindakan-tindakan yang melanggar hak kepemilikan seseorang dan mengancam eksistensi hak milik orang sangat dilarang. Dan itu termasuk perbuatan yang dzalim.17 Sebagaimana hadist riwayat Aisyah : 15
Departemen Agama RI, op. cit., hal. 83. Departemen Agama RI, op. cit., hal. 201. 17 Ada beberapa syarat dimana kepemilikan dan kekayaan pribadi diperbolehkan, sebagai berikut: 1) Harus diperoleh melalui jalan sah dan jujur. Syarat jalan yang sah dan jujur tidak mencakup semua cara yang tidak sah dan tidak jujur seperti judi, bunga, menipu, pemalsuan, memaksa dan lain-lain. 2) harus dikualifikasikan untuk membentuk subject matter kontrak yang berada di bawah hukum Islam yang melarang segala sesuatu yang dilarang Islam. Seperti bangkai, darah, daging babi, binatang bertaring, tidak disembelih atas nama Allah, minuman keras dan lain sebagainya. 3) Bahwa Zakat harus dibayarkan sebagai penetapan hukum Islam dan dalam proporsi kekayaan yang dimiliki. 4) Bahwa kekayaan itu digunakan membahayakan orang lain dan juga manfaat penggunaannya diberikan kepada orang lain jika tidak ada akibat yang membayahakan dari kekayaan itu. Lihat : Muhammad Muslihuddin, Solusi Atas Problem Perekonomian Global– Kontemporer : Wacana Baru Manajemen dan Ekonomi Islam, (terj.) Dahlan Rosyidin dan Akhmad Affandi,Yogyakarta : IRCiSoD, 2004, hal. 189-190. 16
75
18
(ﻦ )ﺭﻭﺍﻩ ﲞﺎﺭﻯ ﻴﺿ ِ ﺭ ﺒ ِﻊ ﹶﺃﺳ ﻦ ِﻣﻮﹶﻗﻪ ﺍ ﹶﻃﺒﺮﻢ ِﺷ ﻣَﻦْ ﹶﻇﹶﻠ
Artinya : Barang siapa mengambil tanah dengan zalim, maka Allah akan mengalungkan kelak dalam bentuk tujuh lapis bumi (HR. Bukhari Muslim) Secara khusus atuaran mengenai menanam pada tanah hasil ghasab adalah sebagai berikut : Barang siapa menanami lahan tanah darat atau persawahan hasil ghasab, sedangkan tanamannya belum dapat dipanen, maka tanaman adalah hak pemilik tanah dan perampas hanya menerima upah dari pemilik tanah, jika tanaman telah dapat dipanen, maka pemilik tanah tidak berhak apa-apa kecuali hanya ongkos sewa lahannya saja. Namun bila yang meng-ghasab telah menanam pohon pada tanah ghasab tersebut, maka ia harus mencabutnya.19 Rasulullah bersabda :
ﻪ ـﻧ ﹶﻔ ﹶﻘﺘ ﻪ ﻭﻟﹶـ ﻴ ﹲﺊﺷ ﻉ ِ ﺭ ﺰ ﻦ ﺍﻟ ِﻣﺲ ﹶﻟﻪ ﻴﻢ ﹶﻓﹶﻠ ﻴ ِﺮ ِﺇ ﹾﺫِﻧ ِﻬﻐ ﻮ ٍﻡ ِﺑ ﺽ ﹶﻗ ِ ﺭ ﻉ ﻓِﻰ ﹶﺃ ﺭ ﺯ ﻦ ﻣ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮﺩﺍﻭﺩ 20
Artinya : Siapa yang menanam di atas tanah suatu kaum tanpa izin mereka, maka ia tidak berhak memperoleh apapun kecuali ongkos pengolahan. (HR. Abu Daud). Hadis ini menjelaskan secara tegas, bagaimana status tanaman yang ditanam pada lahan atau tanah ghasab. Sangat potensial menimbulkan sengketa di kemudian hari. Akhirnya justru kerugian akan diderita bagi pihak yang meng-ghasab tanah milik orang lain. Meskipun dalam kasus para penggarap eks bengkok tidak dirasakan secara langsung kerugian yang diderita dari apa yang mereka kerjakan saat ini. Namun dapat dibayangkan 18
Imam Bukhari, op. cit., hal. 341. Hendi Suhendi, op. cit., hal. 252-253. 20 Imam Abu Daud, ‘Ain al-Ma’bud, Beirut: Al-Maktabah al-Salafiyah, t.th. hal. 265. 19
76
apabila tiba-tiba pemilik tanah tersebut meminta haknya, sedangkan tanaman penggarap belum saatnya untuk dipanen, tentu para penggarap tersebut tidak kuasa untuk menahan atau menolak untuk menyerahkan. Akibat terburuk adalah para pengarap akan menderita kerugian karena banyaknya biaya yang telah dikeluarkan untuk biaya tanam menjadi sia-sia. Hukum Islam sebenarnya tidak kaku dalam memberikan justifikasi hukum atas suatu persoalan. Hukum Islam selalu memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan bagi umatnya untuk berbuat sesuatu yang baik.21 Kemaslahatan adalah tujuan utama diturunkannya syari’ah untuk umat manusia. Apalagi dalam urusan kemanusiaan (muamalah), pertimbangan kemaslahatan ini sangat dijunjung tinggi.22 Setiap permasalahan yang mengemuka di tengah masyarakat harus disikapi dari sudut pandang yang obyektif. Harus dicari akar pokok masalah mengapa sampai terjadi hal yang demikian. Sehingga kita akan lebih berhati-hati dalam menjustifikasi hukum atas sebuah persoalan. Karena persoalan kadang tidak selesai begitu saja hanya sebatas justifikasi hukum haram dan halal saja.23
21
Ketentuan ini ditegaskan oleh Allah berulang-ulang dalam al-Qur’an, antara laian : Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan. (Q.S. al-Baqarah : 185). 22 Konsep ini dalam Islam disebut dengan maqasid al-syari’ah yang digagas oleh alSyatiby dalam kitabya al-Muwafaqat. Dalam kitab ini menegaskan bahwa tujuan utama Allah menurunkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah kepada terealisasinya dan terwujudnya hukum tersebut. yang disebut dengan maslahat yaitu terwujudnya atau terpeliharnya lima hal pokok, yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lihat Amir Mua’alim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta : UII Press, 1999, hal. 54. 23 Dalam justifikasi hukum ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan. Bahwa ta’rif hukum ada tiga klasifiksi, yaitu : 1) Hukum yang mengandung tuntutan (suruhan dan larangan) yang disebut hukum taklif. 2) Hukum yang mengandung takhyir (boleh dikerjakan dan tidak boleh dikerjakan) dinami dengan hukum takhyiri .3) Hukum yang menerangkan sebab, syarat, mani’,
َ(١٨٥: ﺮ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻌﺴ ﺍﹾﻟﺪ ِﺑﻜﹸﻢ ﻳﺮِﻳ ﻭ ﹶﻻ ﺮ ﺴ ﻴ ﺍﹾﻟﻪ ِﺑﻜﹸﻢ ﺪ ﺍﻟﻠﹼ ﻳﺮِﻳ
77
Apa yang dilakukan oleh para petani tersebut sebenarnya bisa menjadi legal dan sah menurut hukum, seandainya ada upaya-upaya yang mengarahkan kepada hal tersebut. Misalnya dengan melakukan langkahlangkah sebagaimana telah diuraikan di atas. Yaitu dengan melibatkan pihak Kelurahan Rowosari sebagai fasilitator untuk membantu mempertemukan kedua belah pihak untuk melakukan sewa-menyewa, meskipun sifatnya sementara. Menurut penulis, langkah tersebut akan betul-betul membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Pihak penggarap dapat sementara waktu tetap dapat menggarap lahan tersebut, sambil berfikir dan memberi kesempatan untuk mencari penghidupan dari sektor lain. Sedangkan pemilik lahan masih tetap menerima keuntungan dari hasil uang sewa tanah tersebut sampai lahan betul-betul akan digunakan. Dari sudat pandang hukum Islam, para pengarap lahan bukan lagi sebagai peng-ghasab lahan milik orang lain sehingga terbebas dari perbuatan yang dilarang agama. Inilah menurut penulis apa yang dinamakan penyelesaian (problem solving) atas persoalan tanah eks bengkok di Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang Kota Semarang dengan win-win solution. Wallahu ‘alam bi al-shawab.
sah, batal, berat, ringan, disebut dengan hukum wadh’i. Namun kebanyakan ulama membagi hukum kepada dua saja, yakni taklif dan wad’i. Lihat : Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001, hal. 388.
78