BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA BELI SEPEDA MOTOR DI PT. HARPINDO JAYA SEMARANG
A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Dasar Hukum Perjanjian Sewa Beli yang Dipakai di PT. Harpindo Jaya Semarang Pada bab III telah dipaparkan PT. Harpindo Jaya Semarang dalam mengadakan perjanjian sewa beli mengacu pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, KUH Dagang, Yuresprudensi Mahkamah Agung dan Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980 yang hanya menyebutkan azas kebebasan berkontrak. Jadi dalam setiap melakukan perjanjian sifatnya terbuka, atau sering juga disebut kebebasan berkontrak. Artinya, bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian apa saja, baik perjanjian yang sudah diatur dalam Undang-undang atau perjanjian yang sama sekali belum diatur dalam Undang-undang. Asas kebebasan berkontrak, secara umum (in abstracto) memang asas yang baik dalam bertransaksi bisnis. Akan tetapi memungkinkan para pihak mengikatkan diri kedudukannya, sehingga tidak seimbang, dan hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Adanya kelebihan ekonomis pada salah satu pihak secara psychologis akan mendominasi dalam menentukan syaratsyarat perjanjian, sehingga pihak yang lain hanya ada kesempatan untuk menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya. Akan tetapi perlu diperhatikan, bahwa semua itu dapat dimungkinkan oleh asas kebebasan
53
54
berkontrak itu sendiri. Di samping itu, hendaknya diingat bahwa KUH Perdata sendiri tidak mensyaratkan adanya keseimbangan antara prestasi dan kontraprestasi kedua belah pihak dalam perjanjian. Prinsipnya perjanjian tetap sah, sekalipun prestasi dan kontraprestasi kedua belah pihak tidak seimbang.1 Jika dilihat dari perspektif hukum Islam, maka kebebasan berkontrak berarti kebebasan dalam berakad, yaitu perikatan antara ijab dan qabul sesuai yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Akad sering didefinisikan sebagai sebab yang karenanya timbulah beberapa hukum.2 Dapat dikatakan bahwa akad itu suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang, berdasarkan keridhaan masing-masing. Akad-akad yang lazim digunakan dalam muamalah di bidang ekonomi di antaranya adalah akad tijarah/muawadah, yaitu akad yang bertujuan mencari keuntungan karena bersifat komersil, misalnya akad investasi, jual-beli dan sewa-menyewa.3 Sedangkan dalam membentuk akadakad yang belum diatur oleh syara’, dapat dibenarkan sepanjang tidak ada larangan nash sharih (dasar yang jelas) terhadap jenis akad tersebut. Dengan demikian Islam membenarkan akad-akad baru dalam bermuamalah, karena Islam tidak membatasi bentuk-bentuk akad dan macam-macamnya. Prinsip ini dapat dikembangkan dalam bermuamalah di dunia modern seperti sekarang. Kaidah fiqh menyebutkan “hukum yang terkuat segala 1
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jilid II, Bandung: PT. Aditya Bakti, 1995, hlm. 149. 2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm.
32. 3
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Universitas Indonesia, 2003, hlm. 68.
55
sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya.4 Kaidah ini cukup populer di kalangan madzhab Syafi’i. Akan tetapi madzhab Hanafi masih memperselisihkan kaidah ini, bahkan mereka mengemukakan kaidah “hukum yang terkuat segala sesuatu itu adalah haram”.5 Kedua kaidah yang bertentangan tersebut dapat ditafshil (dirinci); misalnya “hukum yang terkuat adalah boleh”, berlaku dalam lapangan muamalah. Sedangkan kaidah “hukum yang terkuat adalah haram”, diberlakukan dalam lapangan ibadah mahdhah, karena ibadah mahdhah pada hakikatnya harus menunggu adanya perintah. Jadi, praktek sewa beli sepeda motor di PT. Harpindo Jaya Semarang yang mengacu pada azas kebebasan berkontrak dengan prinsip tidak mengganggu ketertiban umum dan saling menguntungkan dengan para konsumennya dapat dibenarkan menurut perspektif hukum Islam, karena tidak ada larangan nash yang sharih terhadap terhadap akad sewa beli tersebut. Di dalam praktek muamalah dikenal dengan istilah bai al-takhjiri (al-ijarah almuntahia bi al-tamlik/ijarah wa iqtina).
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Sewa Beli Sepeda Motor di PT. Harpindo Jaya Semarang Sebagaimana disebutkan dalam bab terdahulu bahwa penjualan sepeda motor di PT. Harpindo Jaya Semarang Cabang Ngaliyan dilakukan 4
Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 41.
5
Ibid., hlm. 42..
56
dengan dua cara; tunai dan kredit (sewa beli). Harga jual dengan cara tunai berbeda dengan yang kredit. Jual beli atau penjualan tunai tidak perlu dibahas lagi karena status hukumnya sudah jelas diperbolehkan dan sudah diatur secara detail baik dalam fiqh muamalah, KUH Perdata, KUH Dagang, maupun peraturan-peraturan lainnya. Sedangkan penjualan kredit inilah yang perlu dianalisa lebih lanjut, karena terkait dengan perselisihan harga dengan penjualan tunai. Penjualan sepeda motor secara kredit di PT. Harpindo Jaya pada prakteknya, telah dialihkan kepada PT. Adira Finance, yaitu sebuah perusahaan pembiayaan. Mekanismenya, PT. Adira Finance sebagai penalang dana, sedangkan PT. Harpindo Jaya sebagai penyedia stok barang (sepeda motor), sehingga hak milik sepeda motor barada di pihak PT. Adira Finance, kemudian PT. Adira Finance menyewabelikan kepada pembeli dengan pembayaran diangsur dengan uang muka dan besarnya angsuran sesuai yang mereka sepakati. Inilah yang disebut dengan perjanjian sewa-beli, di mana selama harga barang belum dibayar lunas maka pembeli dianggap sebagai penyewa, dan yang menjadi harga sewa adalah harga barang yang bersangkutan. Di akhir masa sewa, pembeli langsung menjadi pemilik barang tersebut. Dilihat dari harganya, antara penjualan tunai dengan sewa-beli, terdapat selisih harga, misalnya jika sebuah sepeda motor Merk Yamaha Type Jupiter-Z dijual secara tunai seharga Rp 12.621.000,00 maka jika dijual secara kredit (disewabelikan) seharga Rp 16.403.500,00 untuk angsuran 23 bulan
57
dengan uang muka Rp 2.500.000,00. Besarnya angsuran setiap bulannya Rp 604.500,00 sudah termasuk asuransi. Menurut hukum Islam, pembebanan harga yang lebih tinggi untuk suatu barang jika pembayarannya dilakukan kemudian (ditangguhkan) atau bai mu’ajjal, diperbolehkan. Pembebanan harga yang lebih tinggi tersebut bukan termasuk bunga, karena bukan transaksi peminjaman, melainkan transaksi perdagangan.6 Karena perjanjian sewa beli termasuk model perjanjian baru sehingga dalam KUH Perdata ataupun KUH Dagang belum diatur secara detail. Begitu juga dalam rujukan utama fiqh muamalah yaitu al-Qur’an dan hadits belum ada bahasan khusus. Akan tetapi hukum Islam dalam memberikan aturanaturan bermuamalat bersifat amat longgar. Tujuannya memberi kesempatan kepada manusia untuk mengembangkan muamalah yang selalu dinamis. Jika dilihat prosesnya, perjanjian sewa-beli di PT. Harpindo Jaya Semarang, antara pihak kesatu (PT. Adira Finance) dan pihak kedua (penyewa beli) telah sepakat dan setuju untuk mengadakan perjanjian sewa beli kendaraan bermotor. Pihak kesatu merupakan pihak yang menyewabelikan dan pihak kedua penyewabeli. Kesapakatan inilah yang disebut sebagai salah satu syarat sahnya suatu perjanjian yang dalam Islam diistilahkan ‘antaradhin (saling rela/suka). Saling rela atau suka ini terkait dengan harga dan manfaatnya. Dalam fiqh Islam, akad jual beli dan sewa-menyewa di antara syarat yang harus dipenuhi adalah diketahuinya harga dan manfaat suatu obyek yang disewakan 6
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Al-Gaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktek dan Prospek, Jakarta: Serambi, 2003, hlm. 85.
58
atau dijualbelikan.7 Mengetahui harga bisa dengan keterangan dari pihak penjual atau yang menyewakan. Kriteria dapat diketahui harga dan manfaatnya dalam sewa-beli sepeda motor di PT. Harpindo Jaya dapat terpenuhi, karena sebelum melakukan transaksi, pihak PT. Harpindo Jaya terlebih dahulu memberikan keterangan prosedur sewa-beli termasuk harganya. Kedua pihak pun telah mengetahui manfaat dari sepeda motor yang akan disewabelikan. Pihak penyewabeli di PT. Harpindo Jaya kemudian hanya diberi STNK selama mengangsur. Baru setelah pembayarannya lunas, pihak kedua diberi BPKB berikut faktur dan kwitansi. Sewa-menyewa dalam Islam, kewajiban yang menyewakan menyerahkan barangnya untuk dimanfaatkan oleh penyewa dengan membayar ongkos sewa. Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki secara sempurna seperti halnya jual beli, tetapi hanya untuk dipakai kegunaannya. Penyerahan hanya kekuasaan atas barang untuk digunakan, bukan untuk dimiliki. Pada perjanjian sewa beli di PT. Harpindo Jaya, sebelum penyewabeli melunasi angsuran, maka hak milik sepeda motor tersebut ada pada PT. Adira Finance, sedangkan penyewabeli hanya berhak menggunakan sepeda motor itu. Setelah penyewabeli melunasi angsuran, baru dilakukan penyerahan hak milik kepada pihak penyewa beli. Penyerahan hak milik ini disebut penyerahan hak milik secara fiducia (selanjutnya) sebagaimana disebutkan dalam Akta Konfirmasi Persetujuan dan Akta
7
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, Semarang: Usaha Keluarga, t.th., hlm. 170.
59
Perjanjian Pembiayaan Bersama dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fiducia oleh PT. Adira Finance.8 Walaupun perjanjian sewabeli belum dikenal dalam fiqh Islam, namun dapat merujuk pendapat Imam Syafi’i; bahwa dalam sewa menyewa, apabila seseorang menyewakan barang/benda kemudian menjualnya, maka penjualan itu adalah sah, baik menjualnya kepada penyewa ataupun kepada orang lain. Sementara pendapat lain mengatakan penjualan itu sah hanya kepada penyewa saja karena hak atas manfaat masih ada pada penyewa.9 Menurut pendapat al-Mawardi, bahwa menjual rumah yang disewakan kepada penyewa dibolehkan, sehingga menjadi berkumpul antara pemilikan manfaat sebab persewaan dan penguasaan rumah itu sebab jual beli.10 Menurut ulama Malikiyah bahwa rumah yang telah disewakan kemudian seseorang hendak menjual separuhnya dalam waktu tertentu dibolehkan, sebab menggabungkan sewa dan beli dalam satu akad adalah sah.11 Karena muamalah merupakan bagian terbesar dalam hidup manusia yang selalu berkembang dan dinamis, maka aturan-aturan Islam pun longgar
8
Arsip Akta Konfirmasi Persetujuan dan Akta Perjanjian Pembiayaan Bersama dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fiducia PT. Adira Finace, 2004. 9
Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni, Juz VI, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm. 46. 10
Abu Hasan al-Mawardi, Hawy al-Kabir, Juz VII, Beirut Libanon: Daar al-Kutb alIlmiyah, t.th., hlm. 403. 11
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala Mazhahib al-Arba’ah, Juz III, Beirut Libanon: Daar al-Fikr, t.th., hlm. 135.
60
dan dapat bergerak.12 Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli yang merupakan kemajuan dalam dunia usaha. Perjanjian ini sebenarnya pengembangan dari sewa-menyewa yang telah diatur dalam hukum Islam, atau yang dikenal dengan istilah bai al-takhjiri (hire purchase), atau al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik, dapat pula dikatakan sebagai ijarah wa iqtina, yaitu suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan, tanpa ada akad baru. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga sebagian padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur.13 Ada pula yang menyebutnya sebagai jual angsur atau Huurkoop; artinya adalah sewa jual, jual dengan cara sewa atau jual beli dengan cara mengangsur. Sistem ini banyak terjadi pada masyarakat yang kemampuan ekonominya menengah ke bawah. Menurut Ahmad Hasan, bahwa jual angsuran atau sewa beli (huurkoop) menurut hukum Islam diperbolehkan asalkan akadnya adalah akad sewa, bukan akad beli. Sebab, semua urusan seperti sewa-menyewa, beri-memberi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah keduniaan pada asalnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Masalah sewabeli tidak terdapat satu dalil pun yang
12
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Bulan Bintang, 1975, hlm.
108. 13
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah, Yogyakarta: UII-Press, 2000, hlm. 35.
61
mengharamkannya. Ketidakadaan dalil yang mengharamkannya sudah cukup dijadikan dasar bahwa sewabeli adalah halal.14 Bai al-takhjiri lebih menyerupai sewa pembiayaan. Persewaan selama masa sewa ini cukup untuk melunasi (secara mengangsur) investasi perusahaan Leasing dan mendatangkan laba. Laba dari sistem bai al-takhjiri diperbolehkan, meskipun terkesan ada kesamaan dengan bunga. Sebab menurut ketentuan syari’ah membolehkan akad tertentu yang berhubungan dengan aset berwujud (sebagai kebalikan dari aset uang) karena dengan mengubah modal finansial menjadi aset berwujud maka panyandang dana telah menerima resiko yang boleh dikompensasikan yaitu boleh mengambil opsi pembelian atau opsi keharusan membeli pada akhir masa kontrak.15 Dapat ditegaskan lagi bahwa perjanjian sewa beli dengan cara mengangsur di PT. Harpindo Jaya diperbolehkan menurut hukum Islam, karena sebagai pengembangan dari perjanjian sewa-menyewa. Dalam istilah fiqh angsuran ini termasuk sifat dalam menentukan harga secara angsuran dalam tempo tertentu.
C. Tinjauan Terhadap Akibat Hukum Perjanjian Sewa Beli di PT. Harpindo Jaya Semarang Sistem pembayaran sewabeli di PT. Harpindo Jaya ialah bahwa pembeli membayar uang muka, sedangkan selebihnya dibayar secara angsuran
14
Ahmad Hasan, Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, Semarang: Diponegoro, 1988, hlm. 667. 15
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Al-Gaoud, op.cit., hlm. 88.
62
setiap bulan. Di atas telah disebutkan bahwa angsuran ini sebenarnya harga sewa yang harus dibayar sehingga lunas. Pembeli menerima kendaraan secara utuh sedangkan penjual menerima pembayaran uang muka dari pembeli dan pembayaran akan dibayar secara angsur sesuai dengan perjanjian. Kedua belah pihak telah tertolong. Artinya, pembelisewa dapat mengangsur harga yang tidak mampu dibayarnya secara tunai dan seketika dapat memakai sepeda motor. Sedangkan penjualsewa merasa aman karena bendanya tidak akan dihilangkan oleh pembelisewa selama harga belum dibayar lunas dengan jaminan BPKB masih dipegang oleh yang menyewabelikan. Selanjutnya penyerahan hak milik baru pada waktu dibayarnya angsuran yang terakhir, dengan cara pernyataan saja karena benda sudah berada dalam kekuasaan pembeli dalam kedudukannya sebagai penyewa.16 Walaupun esensi sewa beli adalah sewa-menyewa, namun memiliki banyak perbedaan akibat hukum. Begitu pula dengan jual beli pada umumnya. Jika dalam perjanjian sewa-menyewa yang berpindah hanya manfaat dari suatu objek yang disewakan dalam waktu tertentu, dan dalam perjanjian jual beli yang berpindah kepemilikan atau mafaat dari suatu objek yang diperjualbelikan, maka dalam perjanjian sewa-beli (jual sewa), pertama-tama yang berpindah hanya manfaatnya saja dari yang menyewabelikan kepada penyewa-beli, namun setelah angsuran lunas, kepemilikannya berpindah
16
Achmad Busro, “Perjanjian Sewa Beli Sebagai Bentuk Alternatif dalam Pemasaran Hasil Produk”, dalam Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 1, Januari 2004, hlm. 76.
63
kepada penyewabeli. Perbedaan yang lain, harga sudah diserahkan tetapi belum dibayar lunas. Karena sampai sekarang belum ada suatu peraturan yang mengatur sewa beli secara detail, baik dalam KUHP Perdata, KUH Dagang maupun fiqh muamalah sendiri, maka belum ada keseragaman pengaturan dalam perjanjian ini. Tetapi banyak prinsip yang pada umumnya sama, misalnya berakhirnya perjanjian sewabeli apabila: 1. Pembayaran angsuran terakhir sudah lunas 2. Perjanjian sewa beli juga berakhir setelah meninggalnya pihak kedua kecuali ahli waris sanggup melanjutkan perjanjian sewa beli. 3. Pihak kedua jatuh pailit/wanprestasi dan sejak saat itu kendaraan ditarik, kemudian dijual. Setelah dijual, lalu harga penjualan ditambahkan dengan angsuran yang sudah dibayar oleh pihak kedua. Dan apabila setelah dijumlahkan ternyata melebihi harga pembelian barang, maka selebihnya akan dikembalikan kepada pihak kedua. 4. Sejak diadakan perampasan oleh pihak pertama terhadap pihak lain. Ini terjadi apabila barang tersebut telah dipindahtangankan oleh pihak kedua kepada pihak lain. 5. Perjanjian sewa beli juga berakhir karena putusan pengadilan.17 Ada beberapa manfaat yang bisa diambil dari adanya perjanjian sewa beli bagi penjual maupun bagi pembeli. 1. Manfaat bagi Yang Menyewabelikan
17
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1994, hlm. 152.
64
Dengan sewabeli sangatlah menguntungkan para penguasaha, sebab produk cepat laku di pasaran. Penjual dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada dijual secara kontan. Dapat menambah pelanggan, karena pelanggan dapat dengan mudah memperoleh barang yang diinginkan dengan uang muka yang tidak terlalu besar. Penjual juga dapat menentukan syarat-syarat perjanjian kepada pembeli dan biasaya pembeli menerima apa yang sudah ditentukan dalam perjanjian itu. Posisi penjual di sini sangat kuat, sehingga banyak persyaratan yang tidak akan merugikan penjual. 2. Manfaat bagi Penyewabeli Pembeli bisa memiliki (memakai) kendaraan walaupun tanpa uang yang cukup. Dengan menyewabeli sepeda motor, bisa memperlancar usaha dan menambah pendapatan. Pembeli tertolong karena dapat segera menikmati dan memakai barang yang diinginkannya, seperti yang dapat diperoleh bila ia harus membayar/membeli dengan cara tunai. Pada akhir pembayaran angsuran, pembeli dapat memiliki sepeda motor yang sebenarnya selama itu disewanya.