BAB IV TAKSIRAN MAKSIMUM LIKELIHOOD FUNGSI INTENSITAS POISSON NONHOMOGEN
4.1
Pendahuluan
Berikut ini, akan dibahas tentang dua pendekatan untuk mendapatkan taksiran fungsi intensitas proses Poisson nonhomogen, yaitu secara teoritis dan studi kasus. Pada tulisan ini, pendekatan teoritis yang dilakukan dengan menggunakan metode maksimum likelihood. Sedangkan, studi kasus yang diambil berupa data pohon pinus berdaun panjang (longleaf pine) berdiameter 2-10 dbh. Sebelumnya, akan dibahas lebih dahulu tentang definisi dari fungsi intensitas proses Poisson nonhomogen.
4.2
Fungsi Intensitas Proses Poisson Nonhomogen
Perdefinisi, intensitas proses adalah frekuensi kejadian yang terjadi pada suatu daerah tertentu (Schoenberg, 2000). Misalkan N(A) menyatakan banyaknya kejadian yang terjadi di daerah A, maka fungsi intensitas proses didefinisikan melalui:
λ ( A) = E [N ( A)]
...(4.1)
dimana persamaan (4.1) biasanya dinyatakan sebagai banyaknya kejadian di daerah A per satuan daerah A. Sebagai contoh, jika dikaitkan dengan pembahasan di Subbab 4.4, dimana himpunan A didefinisikan sebagai area hutan seluas 4 hektar dan kejadiannya didefinisikan sebagai pohon pinus berdaun panjang berdiameter 2-10 dbh,
42
diperoleh N(A) = 190 pohon, atau dengan kata lain intensitas pohon pinus adalah 190 pohon per 4 hektar. Selanjutnya, dalam kasus ini, himpunan A dipartisi menjadi subhimpunan Ai untuk i = 1,2,3,4 yang didefinisikan sebagai area hutan seluas 1 hektar dan diperoleh N(A1) = 6 pohon, N(A2) = 46 pohon, N(A3) = 72 pohon dan N(A4) = 66 pohon. Karena intensitas pohon pinus di masing-masing area hutan seluas 1 hektar berbeda-beda, maka proses yang terjadi dapat dipandang nonhomogen. Selanjutnya, pandang proses dengan indeks parameter waktu. Berdasarkan persamaan (4.1), maka diperoleh
λ (t ) = E [N (t )]
...(4.2)
Persamaan (4.2) menyatakan banyaknya kejadian per satuan waktu. Sebagai contoh, pengamatan banyaknya mobil yang masuk ke gerbang tol pada jam 9 sampai jam 10 pagi, misal diperoleh 50 mobil. Maka intensitas mobil untuk interval waktu tersebut adalah 50 mobil per jam. Hasil yang berbeda bisa diperoleh untuk 1 jam berikutnya. Maka untuk kasus ini, proses yang terjadi dapat dipandang nonhomogen.
4.3
Taksiran Fungsi Intensitas Proses Kedatangan
Berikut ini, dilakukan pendekatan teoritis untuk mendapatkan taksiran fungsi intensitas proses Poisson nonhomogen. Pada kebanyakan aplikasi, proses Poisson nonhomogen digunakan untuk memodelkan proses kedatangan (Kuhl dan Lim, 1999). Sehingga, pada tulisan ini diambil fungsi intensitas proses kedatangan sebagai contoh, dimana fungsi intensitasnya didefinisikan melalui
λ(t) = λ [ 1- F(t) ],
;t>0
…(4.3)
43
mengingat λ adalah intensitas kedatangan, F(t) adalah suatu fungsi distribusi yang berkaitan dengan λ(t) (www.amathworld.com). Misalkan pengamatan dilakukan pada interval [0,T] dengan barisan titik waktunya t1, t2,
…
, tn. Mengacu pada pembahasan di Subbab 3.2, maka dapat
dikatakan bahwa partisi interval [0,T] adalah ℘ = (t1, t2,…, tn). Karenanya, notasi t pada persamaan (4.3) diganti dengan notasi ti untuk i = 1,2,…,n, sehingga
menjadi
λ(ti) = λ [ 1- F(ti) ],
; ti > 0, i = 1,2,…,n
…(4.4)
Adapun permasalahan yang akan diselesaikan adalah mencari taksiran intensitas kedatangan, λˆ , yang selanjutnya digunakan untuk mendapatkan taksiran fungsi intensitas, yaitu λˆ (t i ) . Metode penaksiran yang akan digunakan pada tulisan ini adalah metode maksimum likelihood dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mencari bentuk eksplisit dari fungsi intensitas. 2. Substitusikan fungsi intensitas ke dalam fungsi likelihood Poisson nonhomogen yang telah disinggung pada bab sebelumnya. 3. Mengambil bentuk logaritma dari fungsi likelihood yang diperoleh dari langkah 2 agar perhitungan menjadi lebih mudah. 4. Mengambil bentuk turunan pertama dari logaritma fungsi likelihood. 5. Hasil dari langkah 4 disamakan dengan nilai 0 (nol) untuk mendapatkan λˆ . 6. Substitusikan λˆ ke dalam persamaan (4.4) sehingga diperoleh λˆ (t i ) .
44
Pembahasan:
Sebagai penyederhanaan masalah, asumsikan peubah acak T ~ Exp(β), dimana fungsi peluang densitasnya adalah
f (t i ) =
1
β
−
ti
e
β
,
ti > 0
…(4.5)
dan fungsi distribusinya adalah ti
ti
F (t i ) = ∫ f (t i )dt i = ∫ 0
0
−
1
e
β
ti
β
dt i =
1
β
ti
∫e
−
ti
β
dt i =
0
1
β
. − β .(e
−
ti
β
− 1) = 1 − e
−
ti
β
…(4.6)
Jika persamaan (4.6) disubstitusikan ke persamaan (4.4), maka bentuk eksplisit fungsi intensitas didefinisikan melalui persamaan di bawah ini, yaitu t ⎡ ⎛ − i ⎜ λ (t i ) = λ ⎢1 − 1 − e β ⎢⎣ ⎜⎝
t t − i ⎤ − i ⎡ ⎞⎤ ⎟⎥ = λ ⎢1 − 1 + e β ⎥ = λ .e β ⎟⎥ ⎥⎦ ⎢⎣ ⎠⎦
…(4.7)
Selanjutnya, substitusikan persamaan (4.7) ke fungsi likelihood proses Poisson nonhomogen yang didefinisikan melalui persamaan (3.9), diperoleh T
L(λ t1 ,..., t n ) = exp{− ∫ λ.e 0
−
ti
β
T ⎛ − ti dt i + ∫ ln⎜ λ.e β ⎜ 0 ⎝
⎞ ⎟dN (t )} i ⎟ ⎠
…(4.8)
Persamaan (4.8) menyatakan fungsi likelihood dari proses kedatangan atau bisa juga menyatakan fungsi dari intensitas kedatangan, λ, jika diketahui titik-titik waktu pengamatan. Agar perhitungannya menjadi lebih mudah, persamaan (4.8) diambil bentuk logaritmanya. Sehingga, persamaan (4.8) menjadi T
−
ti
T
⎛
ln L(λ t1 ,..., t n ) = − ∫ λ.e β dt i + ∫ ln⎜ λ.e 0
⎡
T
⎢⎣
0
−
ti
⎤
⎡ ⎛
⎥⎦
⎢⎣ ⎜⎝
= ⎢− λ ∫ e β dt i ⎥ + ⎢ln⎜ λ.e
0
−
ti
β
⎜ ⎝
⎤ ⎞T ⎟ dN (t )⎥ = i ⎟ ∫0 ⎥⎦ ⎠
−
ti
β
⎞ ⎟dN (t ) i ⎟ ⎠
⎡ ⎛ − βti ⎢− λ. − β ⎜ e ⎜ ⎢⎣ ⎝
T 0
⎞⎤ ⎟⎥ + ⎟⎥ ⎠⎦
⎡ ⎛ − ti ⎢ln⎜ λ.e β ⎢⎣ ⎜⎝
⎤ ⎞ ⎟{N (T ) − N (0)}⎥ ⎟ ⎥⎦ ⎠
45
⎡
⎛
⎢⎣
⎜ ⎝
⎡
⎛
⎢⎣
⎜ ⎝
= ⎢λ.β ⎜ e
= ⎢λ.β ⎜ e
−
T
−
T
β
β
⎞⎤ ⎡ ⎛ − ti − 1⎟⎥ + ⎢ln⎜ λ.e β ⎟⎥ ⎢ ⎜ ⎠⎦ ⎣ ⎝
⎤ ⎡ ⎞ ⎛ − ti ⎛ −T ⎞⎤ ⎡⎧ ⎟ N (T )⎥ = ⎢λ.β ⎜ e β − 1⎟⎥ + ⎢⎪⎨ln(λ ) + ln⎜ e β ⎜ ⎟⎥ ⎢⎪ ⎟ ⎜ ⎥⎦ ⎢⎣ ⎝ ⎠⎦ ⎣⎩ ⎠ ⎝
⎛ − ti ⎞⎤ ⎡ − 1⎟⎥ + ⎢ N (T ) ln(λ ) + N (T ) ln⎜ e β ⎟⎥ ⎢ ⎜ ⎠⎦ ⎣ ⎝
⎤ ⎞⎫⎪ ⎟⎬ N (T )⎥ ⎟⎪ ⎥ ⎠⎭ ⎦
⎞⎤ ⎟⎥ ⎟⎥ ⎠⎦
…(4.9)
Salah satu cara untuk memperoleh nilai λ yang dapat memaksimumkan fungsi ln L(λ t1 ,..., t n ) sekaligus memaksimumkan fungsi L(λ t1 ,..., t n ) adalah mencari bentuk turunan pertama dari fungsi ln L(λ t1 ,..., t n ) dan kemudian hasilnya disamakan dengan nilai 0 (nol)4 (Hogg, Kean dan Craig, 2005, h.312). Jika persamaan (4.9) diambil bentuk turunan pertamanya terhadap λ, diperoleh d (ln L(λ t 1 ,..., t n )) dλ
⎡ ⎛ −T ⎞⎤ ⎡ N (T ) ⎤ = ⎢ β ⎜ e β − 1⎟⎥ + ⎢ ⎟⎥ ⎣ λ ⎥⎦ ⎢⎣ ⎜⎝ ⎠⎦
…(4.10)
Selanjutnya, persamaan (4.10) disamakan dengan 0 (nol), maka diperoleh taksiran intensitas kedatangan yang didefinisikan melalui:
λˆ =
N (T ) T − ⎛ ⎜ β 1− e β ⎜ ⎝
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
…(4.11)
Jika nilai λˆ disubstitusikan pada persamaan (4.9), maka fungsi ln L(λ t 1 ,..., t n ) mencapai nilai maksimum5 pada interval [0,T]. Selanjutnya, persamaan (4.11) disubstitusikan ke persamaan (4.4), diperoleh taksiran fungsi intensitas proses kedatangan yang didefinisikan melalui persamaan berikut ini: 4
Jika λ suatu titik dimana f ' (λ ) = 0 , maka λ disebut titik stasioner. Nilai minimum atau maksimum dari f seringkali terjadi pada titik-titik stasioner (Purcell dan Varberg, 1996, h.186)
5
Jika t > 0 maka grafik dari fungsi ln L(λ⏐t) monoton naik. Oleh karena fungsi ln L(λ⏐t) didefinisikan pada interval tutup [0,T], maka fungsi ln L(λ⏐t) tidak mempunyai nilai minimum karena grafiknya asimtot untuk t → 0 dan fungsi ln L(λ⏐t) mempunyai nilai maksimum di titik ujung interval, yaitu di titik T.
46
λˆ (t i ) =
N (T ) ⎛ ⎜ ⎝
β ⎜1 − e
−
T
β
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
.[1 − F (t i )]
…(4.12)
mengingat β adalah parameter distribusi eksponensial, N(T) menyatakan banyaknya kedatangan selama interval [0,T] dan F(ti) adalah suatu fungsi distribusi yang berkaitan dengan λ(ti).
4.4
Fungsi Intensitas Pohon Pinus Berdaun Panjang (Longleaf Pine)
Berikut ini, dilakukan studi kasus untuk mendapatkan fungsi intensitas proses Poisson nonhomogen dengan mengambil data pohon pinus berdaun panjang yang tersebar di hutan Wade Tract, Thomas County, Georgia. Luas hutan yang diambil sebagai lokasi pengamatan sebesar empat hektar, dimana tersebar 584 pohon pinus berdaun panjang dengan diameter lebih dari 2 dbh. Setiap pohon terletak di koordinat yang berbeda-beda, seperti yang diilustrasikan oleh Gambar berikut ini: Gambar 27
Peta Penyebaran Pohon Pinus Berdaun Panjang dengan Diameter Lebih Dari Dua dbh di Lokasi Hutan Wade Tract Seluas Empat Hektar
y
0
x
dimana setiap lingkaran pada Gambar 27 di atas, memuat koordinat (satuan meter) dari pohon pinus. 47
Ukuran lingkaran yang berbeda-beda menunjukkan ukuran dari diameter (satuan breast height/dbh) pohon pinus. Di sini, konsep pengemasan lingkaran (circle packing) dipakai, yaitu sebuah lokasi hutan seluas empat hektar diisi oleh pohon pinus dengan diameter berbeda yang diidentifikasi melalui ukuran lingkaran yang berbeda. Sebagai penyederhanaan perhitungan, pada tulisan ini, data pohon pinus berdaun panjang yang diambil untuk dianalisis memiliki diameter 2-10 dbh. Analisis dilakukan untuk mengetahui intensitas dan proporsi dari pohon pinus dengan diameter 2-10 dbh, yang tersebar di lokasi hutan seluas empat hektar, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Partisi lokasi hutan menjadi empat sublokasi, dimana masing-masing sublokasi memiliki luas sebesar satu hektar. Konsep partisi menggunakan bentuk yang sebangun. 2. Klasifikasikan pohon pinus sesuai dengan koordinat setiap sublokasi 3. Hitung jumlah pohon pinus yang tersebar pada masing-masing sublokasi 4. Menentukan intensitas pohon pinus pada masing-masing sublokasi 5. Menentukan intensitas dan proporsi pohon pinus pada lokasi hutan seluas empat hektar Hasil yang diperoleh dari langkah-langkah di atas adalah: Empat sublokasi hutan hasil partisi: Sublokasi I
{((x,y),D)⏐0 ≤ x ≤ 100, 0 ≤ y ≤ 100, D = diameter pohon}
Sublokasi II
{((x,y),D)⏐ 100 ≤ x ≤ 200, 0 ≤ y ≤ 100, D = diameter pohon}
Sublokasi III
{((x,y),D)⏐ 0 ≤ x ≤ 100, 100 ≤ y ≤ 200, D = diameter pohon}
Sublokasi IV
{((x,y),D)⏐100 ≤ x ≤ 200, 100 ≤ y ≤ 200, D = diameter pohon}
48
dan diilustrasikan oleh Gambar 28 berikut ini: Gambar 28
Empat Sublokasi Hutan Hasil Partisi
meter 200 Sublokasi III
Sublokasi IV
Sublokasi I
Sublokasi II
100
meter 0
100
200
Hasil klasifikasi pohon pinus sesuai dengan koordinat di setiap sublokasi dapat di lihat pada Lampiran, dengan jumlah pohon pinus di masing-masing sublokasi sebagai berikut: Tabel 6
Jumlah Pohon Pinus di Masing-masing Sublokasi
Jumlah pohon pinus berdaun panjang dengan diameter 2-10 dbh Sublokasi I 6 pohon
Sublokasi II 46 pohon
Sublokasi III 72 pohon
Sublokasi IV 66 pohon
Sehingga diperoleh: Tabel 7
Intensitas Pohon Pinus di Masing-masing Sublokasi
Intensitas pohon pinus berdaun panjang dengan diameter 2-10 dbh Sublokasi I 6 pohon/hektar
Sublokasi II 46 pohon/hektar
Sublokasi III 72 pohon/hektar
Sublokasi IV 66 pohon/hektar
Berdasarkan Tabel 7, intensitas pohon pinus di sublokasi I adalah 6 pohon/hektar, disublokasi II adalah 46 pohon/hektar, disublokasi III adalah 72 pohon/hektar dan disublokasi IV adalah 66 pohon/hektar. Sehingga, intensitas pohon pinus di lokasi
49
hutan seluas empat hektar adalah 190 pohon/empat hektar. Dengan kata lain, proporsi pohon pinus yang tersebar di area hutan tersebut adalah 32.53 %. Hasil yang berbeda bisa diperoleh, yaitu dengan melakukan partisi lokasi hutan sekecil mungkin, seperti yang diilustrasikan melalui Gambar 29 berikut ini: Gambar 29
Partisi Lokasi Hutan yang Diperkecil
meter 200
100
meter 0
100
200
Semakin diperkecil partisinya, maka banyaknya pohon pinus yang tersebar pada sublokasi tersebut kemungkinan hanya ada satu pohon ataupun tidak ada sama sekali. Artinya intensitas untuk masing-masing sublokasi juga berbeda-beda. Karenanya, contoh proses menghitung pohon pinus yang paling mudah untuk kasus yang diperlihatkan melalui Gambar 29 adalah proses Poisson nonhomogen.
50