BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di Divisi Industri Makanan dan Minuman (BMC) PT. AGRONESIA dan pembahasan pada
bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pengendalian internal sistem pembelian kredit bahan baku yang sudah diterapkan pada Divisi Industri Makanan dan Minuman (BMC) PT. AGRONESIA yaitu sebagai berikut: a. Lingkungan Pengendalian a. Terdapat tugas dan wewenang yang jelas untuk masing-masing bagian yang ditetapkan dalam struktur organisasi dan uraian tugas (job description). b. Mengadakan pelatihan untuk karyawan. b. Penilaian Risiko yaitu adanya penilaian risiko atas kerusakan produk. c. Aktivitas Pengendalian 7. Adanya pemisahan fungsi antara fungsi pembelian dengan penerimaan. 8. Adanya pemisahan fungsi antara fungsi pembelian dengan fungsi akuntansi. 9. Daftar Kebutuhan Bahan Produksi (DKBP) diotorisasi oleh fungsi gudang. 10. Surat Pesanan Barang (SPB) diotorisasi oleh fungsi pembelian. 11. Bukti Pengakuan Hutang (BPH) diotorisasi oleh fungsi akuntansi. 12. Pencatatan terjadinya hutang didasarkan pada Bukti Pengakuan Hutang (BPH) yang didukung oleh SPB, BPBG dan faktur dari pemasok.
88
89
13. Pencatatan ke dalam kartu hutang usaha diotorisasi oleh fungsi akuntansi.
14. Surat Pesanan Barang (SPB) bernomor urut tercetak dan pemakainnya
dipertanggungjawabkan oleh fungsi gudang. 15. Bukti Penerimaan Barang Gudang (BPBG) bernomor urut tercetak dan pemakainnya dipertanggungjawabkan oleh fungsi penerimaan.
16. Pemasok dipilih berdasarkan jawaban penawaran harga bersaing.
17. Catatan yang berfungsi sebagai buku pembantu hutang secara periodik direkonsiliasi dengan rekening kontrol hutang dalam buku besar. 18. Terdapat perhitungan fisik dan dibandingkan dengan catatan persediaan. 19. Penggunaan password dalam penggunaan komputer dalam mengakses data. 20. Terdapat pengecekan terhadap harga, syarat pembelian dan ketelitian perkalian dalam faktur dari pemasok sebelum faktur diakui sebagai hutang. d. Informasi dan Komunikasi yaitu adanya update data pada file-file komputer. e. Pemantauan 1. Pemantauan kinerja karyawan terhadap aktivitas yang berjalan sehari-hari. 2. Adanya auditor eksternal independen yang berpartisipasi dalam mengawasi kontrol aktivitas dan sistem yang dijalankan. 2. Pengendalian internal sistem pembelian kredit bahan baku pada Divisi Industri Makanan dan Minuman (BMC) PT. AGRONESIA belum memadai karena terdapat beberapa unsur atau komponen pengendalian internal yang belum diterapkan dan belum mencapai tujuan dari pengendalian internal itu sendiri, diantaranya:
90
a. Tidak adanya pemisahan fungsi antara fungsi penerimaan barang dengan
fungsi
penyimpanan
barang,
sehingga
pemeriksaan
barang
dan
pengotorisasian bukti penerimaan barang gudang dilakukan oleh fungsi
penyimpanan barang (gudang). b. Tidak semua dokumen yang digunakan dalam pembelian kredit bahan baku ini bernomor urut tercetak, seperti Daftar Kebutuhan Bahan Produksi (DKBP), Bukti Pengakuan Hutang (BPH), notulen kesepakatan, dan berita
acara penerimaan barang. c. Tidak adanya Surat Permintaan Penawaran Harga (SPPH) yang diajukan kepada supplier. d. Tidak adanya pengarsipan yang rapi dan aman. e. Tidak adanya pengendalian akses fisik terhadap persediaan. f. Perusahaan tidak mempunyai lead time yaitu waktu yang dibutuhkan ketika barang dipesan hingga sampai di perusahaan. g. Membeli bahan baku yang tidak memenuhi standar keberterimaan bahan baku atau berkualitas rendah. 4.2 Saran Berdasarkan penelitian, pembahasan dan penarikan kesimpulan, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan bagi intansi dan bagi peneliti selanjutnya yaitu sebagai berikut: 1. Perusahaan sebaiknya melakukan pemisahan fungsi antara fungsi penerimaan barang dengan fungsi penyimpanan barang, sehingga otorisasi dokumen dan pemeriksaan barang pun dilakukan oleh fungsi yang tepat. Kegiatan
91
penerimaan barang memerlukan keahlian mengenai barang dan pengetahuan mengenai
syarat-syarat
pembelian,
dan
kegiatan
penyimpanan barang
memerlukan keahlian dalam pengelolaan penyimpanan barang dan pelayanan
pengambilan barang bagi pemakai. Pemisahan kedua fungsi tersebut akan
mengakibatkan penyerahan masing-masing kegiatan tersebut ke tangan fungsi yang ahli dalam bidangnya, sehingga informasi penerimaan barang dan persediaan barang yang disimpan di gudang dijamin ketelitian dan
keandalannya. Selain itu juga, sebaiknya perusahaan menggunakan sistem penerimaan buta (blind receiving system) pada prosedur penerimaan barang, yaitu pada tembusan surat pesanan barang yang disampaikan ke bagian penerimaan barang, kolom kuantitasnya dihitamkan sehingga kuantitas yang dipesan tidak tampak pada dokumen tembusan surat peanan barang tersebut. Hal ini dimaksudkan agar bagian penerimaan benar-benar melakukan perhitungan dan pengecekan barang yang diterima dari supplier secara serius. Akan tetapi, bagian penerimaan masih mengetahui kuantitas barang yang seharusnya diterima karena supplier biasanya memasukkan slip pengepakan ke setiap pesanan. Hal ini menimbulkan godaan untuk hanya melakukan perbandingan cepat atas jumlah yang diterima dengan jumlah yang ditunjukkan dalam slip pengepakan. Selain diperlukannya otorisasi pada bukti penerimaan barang gudang, perusahaan juga menawarkan berbagai bonus bagi petugas bagian penerimaan yang menangkap penyimpangan antara slip pengepakan dengan kuantitas yang sebenarnya diterima sebelum supplier pergi.
92
2. Perusahaan menerapkan nomor urut tercetak seluruh dokumen yang digunakan. Hal ini perlu diterapkan agar terdapat pengawasan internal terhadap
penggunaan formulir, memudahkan penelusuran kembali dokumen yang
mendukung informasi yang dicatat dalam catatan, mencegah penyalahgunaan
formulir oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang dapat merugikan perusahaan, dan menjamin kelengkapan masukan data serta pemutakhirannya. 3. Perusahaan menggunakan Surat Permintaan Penawaran Harga (SPPH) untuk
mengajukan
permintaan penawaran
harga
kepada
supplier.
Hal
ini
dimaksudkan agar ada bukti tertulis bahwa bagian logistik telah melakukan permintaan penawaran harga ke sejumlah supplier dan menjamin bagian logistik telah menentukan pemasok berdasarkan harga termurah dan kualitas terbaik dari beberapa supplier yang sudah memberikan penawaran harga. 4. Perusahaan
melakukan
pengarsipan
yang
rapi
dan
aman
dengan
memperbanyak lemari untuk menyimpan arsip-arsip tersebut dengan akses terbatas dan meningkatkan kedisiplinan dari karyawan terkait yaitu dengan mengembalikan ordner yang telah dipakai ke tempat asal penyimpanannya. 5. Perusahaan mengadakan pengendalian akses fisik terhadap persediaan. Sistem gudang tertutup harus benar-benar diterapkan oleh seluruh pihak. Kunci gudang pun hanya dimiliki oleh pegawai bagian gudang. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mencegah hilangnya persediaan dan terjadinya selisih perhitungan fisik persediaan dengan catatan persediaan. 6. Perusahaan menerapkan lead time yaitu waktu yang dibutuhkan ketika barang dipesan hingga sampai di perusahaan. Hal ini diperlukan agar penentuan titik
93
pemesanan kembali persediaan menjadi akurat, sehingga dapat mencegah timbulnya kehabisan persediaan di outlet BMC dan sebagai antisipasi apabila
bahan baku yang dipesan datang terlambat.
7. Perusahaan harus membeli bahan baku yang memenuhi standar keberterimaan
bahan baku agar produk yang dihasilkan berkualitas baik sesuai dengan yang diinginkan perusahaan. Gudang mengajukan permintaan pembelian susu ke logistik dua hari sebelum proses produksi dilangsungkan sebagai antisipasi
apabila susu yang datang tidak sesuai dengan standar keberterimaan. Apabila sesuai, susu ditaruh terlebih dahulu di dalam mesin penyimpanan susu yang hemat energi untuk mengawetkan susu. Bagian logistik juga harus mencari lagi beberapa alternatif supplier yang memasok susu berkualitas sebagai antisipasi jika tiga supplier yang ada tidak mengirimkan susu sesuai dengan standar keberterimaan bahan baku secara terus-menerus, bagian logistik tidak memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan supplier pengganti dan mendapatkan susu yang sesuai dengan standar keberterimaan bahan baku.