BAB IV REKONSTRUKSI EKOTEOLOGI
4.1 Pendahuluan Pada bab sebelumnya, penulis telah menafsir dan membahas teks Kolose 1:15-23. Hasil penafsiran dan pembahasan tersebut menghasilkan pemikiran mengenai keutamaan Kristus terhadap masa depan ciptaan yang dibuktikan melalui kedudukan dan peran-Nya dalam kosmos yakni pada pra-eksistensi, kemanusiaan, kesetaraan dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, pencipta, penebus serta pendamai segala sesuatu. Pemahaman-pemahan yang berdasar pada Kolose 1:15-23 akan digunakan untuk merekonstruksi wacana ekoteologi. Rekonstruksi ini penting guna melahirkan pemikiran baru yang berdampak pada perubahan cara pandang dan perilaku. Penulis pun akan menjelaskan tentang wacana ekoteologi pada masa kekinian dan kehadiran wacana tersebut dalam konteks Indonesia.
4.2 Wacana Ekoteologi Masa Kini Ekoteologi melihat seluruh ciptaan Allah sebagai suatu sistem yang saling terkait1 dan penekanannya terletak pada relasi yang harmonis antara Allah, manusia dan alam semesta. Relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lain digambarkan dalam relasi lingkaran yakni setiap ciptaan saling berhubungan dan tidak mendominasi
1
Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan: Bagaimana Orang Kristen, Keluarga dan Gereja Mempraktikkan Kebenaran Firman Tuhan untuk Menjadi Jawaban atas Krisis Ekologi dan Perubahan Iklim di Bumi Indonesia (Jakarta: Literatur Perkantas, 2011), 84-85.
55
satu dengan yang lain. Ekoteologi tetap mengakui peran penting manusia dalam kehidupan planet bumi, namun menolak klaim mengenai peran dominasi manusia.2 Ekoteolog melukiskan kembali kisah penciptaan dan menolak pandangan tradisional yang melihat penciptaan dimulai dari tingkatan yang paling sederhana menuju tingkatan yang paling sempurna karena pandangan tersebut menempatkan manusia pada kedudukan yang tertinggi.3 Wacana ekoteologi pada masa kini masih diwarnai oleh perdebatanperdebatan mengenai alasan terjadinya krisis ekologi yang dikaitkan dengan peristiwaperistiwa alam baik itu bencana alam, dampak perubahan iklim, kelangkaan sumber daya alam, pengrusakan hutan, penggunaaan teknologi yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya serta bagaimana teologi menjawab dan bertindak menangani permasalahan-permasalahan lingkungan tersebut. Hal yang harus diakui bahwa krisis ekologi yang terjadi pada saat ini menyadarkan sebagian pemikir Kristen mengenai masalah lingkungan hidup sebagai bagian dari tugas agama. Para pemikir tersebut mulai mengkaji ulang pandangan agama yang telah berabad-abad lalu hanya terfokus pada keselamatan manusia yakni keselamatan untuk jiwa setelah kematian.4 Kritikan pedas bagi kekristenan oleh Lynn White dalam artikel yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis juga memberikan pengaruh besar bagi para teolog dengan tuduhan bahwa kekristenan menanggung beban besar 2 David G. Hallman, Beyond “North/South Dialogue” dalam David G. Hallman, Ed., Ecotheology: Voices From South and North (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1994), 6. 3 Andalas, Lahir, 236. 4 Martin Harun, “Alkitab dan Ekologi,” dalam Forum Biblika-Jurnal Ilmiah Populer No. 14 (Jakarta: Lembaga Indonesia, 2001), 2.
56
dari rasa bersalah atas krisis ekologi5 atau dengan kata lain, orang Kristen adalah biang keladi dari dieksploitasinya alam secara semena-mena dengan berdasar pada Kejadian 1:28, mengakibatkan banyaknya pemikiran-pemikiran baru yang muncul baik sifatnya mendukung maupun menentang tuduhan tersebut. Pengkajian ulang, pernyataan ataupun jawabab-jawaban yang disampaikan oleh para teolog pada hakekatnya bertujuan untuk membangun suatu pandangan dan pola perilaku yang mampu diterapkan dalam pemulihan ekologi. Sikap para teolog untuk merubah cara pandang lama yang antroposentrisme menjadi cara pandang yang ekoteologi agar menghasilkan suatu keutuhan ciptaan memang hal yang susah sehingga tidak terlepas dari perdebatan ataupun tantangan-tantangan yang ada di tingkat global maupun lokal. Saya berpendapat ada beberapa hal penting yang terdapat dalam bingkai pemikiran ekoteologi masa kini, yakni pertama, pengaruh filsafat dalam pemikiran barat
yang memperkenalkan dualisme dalam perkembangan teologi gereja
mengakibatkan ketimpangan relasi antara manusia dan alam. Ajaran tersebut membedakan dunia dan sorga ataupun jasmani dan rohani yang mempengaruhi konsep keselamatan, eskatologi, dan lain sebagainya. Kedua, ajaran yang menempatkan Allah di tempat yang sulit dijangkau yakni di Sorga, mengajarkan bahwa hal yang terpenting adalah di Sorga, bukan di dunia sehingga manusia dapat bersikap acuh tak acuh bahkan tidak peduli terhadap dunia ini. Ketiga, ilmu dan teknologi tidak salah, manusia-lah yang salah karena memakai ilmu dan teknologi dengan tujuan untuk
5
Pendapat Lynn White dikutip oleh Laurel Kearns, “The Context of Eco-Theology” dalam Gareth Jones, Ed., The Blackwell Companion to Modern Theology, 466.
57
kepentingan diri sendiri tanpa memperhatikan dampaknya pada alam. Keempat, intepretasi keliru terhadap teks Alkitab tanpa melihat konteks dari teks, terkhususnya dalam mandat Kej 1:28 yang dijadikan dasar atau justifikasi dari tindakan dominasi manusia terhadap alam bahkan sesamanya. Kelima, perlunya pertobatan ekologi. Andrew Shepherd menjelaskan bahwa pertobatan ekologi adalah pertobatan dengan cara mengakui bahwa kabar baik yang dinyatakan oleh Kristus berlaku juga bagi seluruh ciptaan dan disertai dengan perubahan cara hidup yakni gaya hidup yang sederhana dan berkelanjutan. Keenam, hubungan antar ciptaan adalah mitra sejajar dengan tugas manusia sebagai penatalayan, pengelola alam semesta ini dengan meneladani Kristus. Ketujuh, perlu adanya kepekaan yang kuat terhadap lingkungan di samping iman yang kuat. Bukan hanya berdoa untuk kelestarian alam tanpa tindakan tetapi perlu adanya tindakan yang selaras dengan doa. Ekoteologi semakin mengalami perkembangan yang pesat dengan corak yang bermacam-macam. Ekoteologi bukan hanya mencakup kaum Kristen namun mencakup keanekaragaman suara, telinga dan wajah dari berbagai pihak pada berbagai disiplin ilmu. Ini suatu pemikiran yang baik sekaligus tantangan yang harus dihadapi. Tantangan ekoteologi bukan hanya berupa permasalahan global tetapi juga masalah internal antar berbagai pihak dalam penanaman sikap kepeduliaan, menjaga, merawat dan memelihara ciptaan lain. Perspektif ekoteologi juga dihubungkan dengan feminisme yang melahirkan cara pandang ekofeminisme yang melihat bahwa bumi ini sengsara bukan hanya karena sikap manusia yang eksploitatif desktruktif tetap juga karena pandangan
58
androsentris dengan penempatan laki-laki sebagai puncak hierarki yang menjadi tolak ukur segala sesuatu.
4.3 Wacana Ekoteologi dalam Konteks di Indonesia Dalam konteks Indonesia, ekoteologi meupakan wacana yang tepat karena persoalan ekologi sangat yang relevan untuk dibicarakan di Indonesia. Betapa tidak, Indonesia yang kaya akan sumber daya alam tidak mampu mensejahterahkan rakyatnya.
Ini suatu fakta yang menggelitik dan menjadi bukti bahwa bangsa
Indonesia telah berada pada situasi yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang tertera dalam ideologi pancasila maupun UUD 45. Banjir bandang, angin puting beliung, lumpur lapindo, kegagalan panen, kekeringan, kelangkaan air bersih, kondisi laut dan terumbu karang yang semakin memburuk
setiap
harinya
serta
terjadinya
kerusakan
alam
yang
lain,
mempresentasikan keserakahan sebagian umat manusia yang tamak akan kekuasaan, kekayaan atau keuntungan pribadi sehingga menjadikan lingkungan hidup sebagai objek eksploitasi serta rusaknya rantai ekosistem bumi dengan beberapa faktor, antara lain: penebangan hutan secara illegal maupun legal, penggunaan sumber daya energi yang tidak dapat diperbaharui secara semena-mena, perumbuhan industri dan korporasi global yang mengeruk sumber daya alam, pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang tak terkendali serta gaya hidup manusia yang konsumtif dan materialistis mengantarkan bumi Indonesia pada ambang kepunahaan. Laporan Green Peace menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia adalah kerusakan hutan tertinggi di dunia dengan musnahnya 72 persen hutan Indonesia serta tercatat dalam
59
Guinnes Book of World Records sebagai negara dengan kerusakan hutan tercepat di dunia.6 Sungguh suatu realita hidup yang ironis. Manusia pada dasarnya sadar bahwa konsumsi sumber daya alam tanpa prosedur dan berlebihan akan berdampak negatif, yaitu rusaknya lingkungan, akan tetapi kesadaran tersebut tereduksi oleh nafsu eksploitatif dan paradigma patriakhi yang berpandangan bahwa alam harus dimanfaatkan oleh manusia. Suatu paradigma yang telah mengakar, sehingga tidakan-tindakan yang merusak tersebut seolah benar dan malah tidak jarang dicarikan justifikasi dari berbagai sumber, termasuk agama. Menurut Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim kesadaran masyarakat Indonesia cukup baik, kelembagaan kelestarian lingkungan sudah ada di tingkat pusat maupun daerah, peraturan tentang pelestarian lingkungan hidup sudah memadai, namun sampai sekarang kegiatan eksploitasi dan perusakan hutan masih berlangsung.7 Persoalan ekologi bukan hanya ulah pribadi atau sekelompok orang tertentu, pemerintah juga dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab karena pemerintah dinilai lemah dalam upaya penegakkan hukum, padahal dasar hukum perlindungan lingkungan yang ada di Indonesia telah tercantum dalam UUD 45, Pasal 338 dan UU 6
Imam Mustofa, “Urgensi Eko-Teologi,” diunduh dari http://catatanlepasnick.blogspot.com/2010/01/ekoteologi-menurut-denis-edwards.html, pada tanggal 10 November 2012. 7 Nick Doren, “Ekoteologi menurut Dennis Edwards,” dalam http://mushthava.blogspot.com/2012/02/urgensieko-teologi.html, pada tanggal 10 November 2012. 8 (ayat 1) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (ayat 4) Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Jangan hanya membaca ayat 1 dari pasal 33 UUD 45 tanpa melihat ayat 4 ataupun UU LH No. 32 Tahun 2009 karena makna yang didapat akan bersifat antroposentris bahkan hierarkis dengan negara di tempat pertama, rakyat ditempatkan pada kedudukan kedua dan yang terbawah adalah alam.
60
LH No. 32 Tahun 20099. Kerusakan ekologi Indonesia menuntut upaya perbaikan dari setiap warga negara, baik secara pribadi maupun secara kelompok, melalui lembaga pemerintahan maupun lembaga swadaya untuk segera memikirkan solusi jangka pendek dan panjang yang berguna bagi pertobatan ekologi. Pada bidang teologi, teologi keselamatan yang antroposentrik sangat kuat kehadirannya dalam gereja-gereja di Indonesia. Pengaruh teologi ini khususnya oleh Luther dan Calvin10 benar-benar tertanam dalam ajaran kekristenan sampai hari ini, Pengajaran dalam gereja selalu menekankan bahwa Kristus datang untuk menebus manusia. Fokus interpretasi Yohanes 3:16 oleh sebagian besar para pemimpin gereja terletak pada keselamatan manusia bukan keselamatan dunia. Teologi penciptaan yang bias antroposentrisme serta dualisme hierarkis juga dianut oleh gereja-gereja di Indonesia. Manusia11 dianggap sebagai pusat ciptaan. Teologi penciptaan ini cenderung berpikir bahwa manusia adalah ciptaan yang paling istimewa dan berhak mengusai ciptaan-ciptaan lain. Manusia berelasi dengan ciptaan lain secara piramidal. Mereka tidak hanya menemukan diri mereka berbeda, tetapi juga terpisah dari ciptaan-ciptaan lain. Manusia menganggap diri sebagai tuan atas ciptaan-ciptaan lainnya. Manusia menganggap diri sebagai tuan dan merasa mendapatkan penugasan istimewa dari Allah untuk menguasai dan menaklukan
9
mengatur dan melaksanakan proteksi atau perlindungan terhadap sumber daya alam yaitu udara, tanah, air, pesisir dan laut, keanekaragaman hayati, pedesaan, perkotaan, lingkungan sosial agar tidak mengalami kerusakan dan atau pencemaran. 10 Luther dan Calvin berpandangan sangat antroposentrik, walaupun tidak ekstrem seperti Origenes. Luther memandang alam bukan sebagai saksi kemuliaan Allah, sedangkan Calvin melihat alam hanyalah latar belakang dari drama penyelamatan manusia. 11 Kata manusia hanya menunjuk pada kaum laki-laki dalam perspektif teologi penciptaan yang bias antroposentrisme dan patriakhi.
61
ciptaan lain. Mereka dapat mempergunakan atau mengeksploitasi ciptaan lain demi keberlangsungan hidup. Ekoteologi sendiri telah menjadi salah satu tugas dari Persekutuan Gerejawi Indonesia (PGI). Tugas ini dinyatakan dalam buku Lima Dokumen Keesaan Gereja12 dan buku Tahun Rahmat dan Pemerdekaan: Perenungan Perjalanan Lima Puluh Tahun Republik Indonesia13. Dalam pertama, PGI berusaha melibatkan seluruh gereja untuk berperan aktif dalam memberitakan injil kepada seluruh makhluk dalam bentuk tanggung jawab terhadap keutuhan ciptaan dengan menwujudnyatakan tindakantindakan pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup sedangkan dalam buku yang kedua, PGI menegaskan telah sadar mendukung dan ingin mengembangkan perspektif ekoteologi dalam kehidupan sehari-hari. Pada hemat penulis, ekoteologi dalam konteks Indonesia masih berusaha untuk mengubah paradigma antroposentrisme, dualisme hierarki dan pemahaman bahwa bencana adalah hukuman Tuhan sehingga manusia hanya pasrah menerima musibah yang terjadi.
4.4 Sumbangsih Penafsiran Kolose 1:15-23 terhadap Wacana Ekoteologi Teks Kolose 1:15-23 berbicara mengenai dimensi transendental dari kosmik Kristus, yang meliputi kedudukan dan peran Kristus dalam kosmos. Seluruh karya Kristus bernilai ekologi dan sejalan dengan wacana ekoteologi. Karya-Nya bukan
12
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (LDKG-PGI): Keputusan Sidang Raya XII PGI, Jayapura 21-30 Oktober 1994 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 25. 13 Pada empat Artikel yang ditulis oleh Dr. Th. Kobong, Karel Phil Erari, Emmanuel Gerrit Singgih dan Kasumbogo Untung.
62
hanya dalam proses inkarnasi dan penebusan serta pendamaian umat manusia dari dosa tetapi juga dalam pra-eksistensi-Nya sebagai pencipta segala sesuatu.
4.4.1
Keutamaan Krisus terhadap Masa Depan Ciptaan dalam Wacana Ekoteologi Keutamaan Kristus dalam pra-eksistensi dan kemanusiaan-Nya, kesetaraanNya dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, kedudukan-Nya dalam karya penciptaan dan karya penebusan serta pendamaian yang bersifat kosmik memberikan suatu harapan akan masa depan ciptaan yang berimplikasi pada pola relasi yang setara antar ciptaan. Penafsiran terhadap Kolose 1:15-23 menyatakan bahwa Kristus berkaitan dengan segala ciptaan bukan sejak proses inkarnasi dan penebusan tetapi sejak awal, sebelum segala sesuatu dijadikan. Hubungan tersebut dijelaskan dalam konsep kosmik Kristus dalam gambaran kepala tubuh. Keterkaitan antara Kristus dan ciptaan mewujudnyatakan peristiwa Inkarnasi. Allah yang dalam kekekalan-Nya telah berencana sejak semula untuk menebus, mendamaikan serta memulihkan keutuhan ciptaan. Ini tujuan dari kedatangan dan pemberitaan Kristus mengenai Kerajaan Allah. Karya penebusan dan pendamaian-Nya menjadi awal transformasi dari relasi yang baru antara ciptaan dan Allah serta antar ciptaan. Ini sesuai dengan wacana ekoteologi, karena merupakan cara pandang yang menentang relasi antroposentrisme dan atau yang bias dualisme hierarki serta samasama mengakui bahwa seluruh ciptaan saling bergantung dan berpusat pada Allah di dalam Kristus.
63
Keutamaan Kristus dalam wacana ekoteologi menghadirkan pemahaman bahwa masa ini adalah masa transisi menuju masa depan ciptaan. Pemulihan ekologi akan terjadi dan itu didahului oleh pertobatan ekologi, sehingga tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu. Kristus sebagai kepala ciptaan telah mengumpulkan semua ciptaan yang berbeda-beda fungsinya untuk bersatu dan saling membangun, menjaga dan memelihara. Paradigma ini meyakini bahwa Kristus adalah teladan semua ciptaan tanpa terkecuali. Saya berpendapat bahwa mengaitkan atau menjelaskan wacana ekoteologi dalam pemahaman iman akan Kristus sangat penting untuk membantu penghayatan dan kepeduliaan pada ekologi yang berakar pada iman akan Kristus dan ini adalah bagian dari tanggung jawab menjadi pengikut Kristus, suatu jalan pemuridan Kristen. Kepeduliaan kepada ekologi bagi para pengikut Kristus bukanlah perintah atau paksaan tetapi sesuatu yang lahir dari iman akan Kristus.
4.4.2
Etika Kristosentris-Holisme dalam Kolose 1:15-23 Kacamata baru sangat diperlukan untuk membaca teks Alkitab dalam sentuhan ekoteologi. Kacamata tersebut ialah paradigma berpikir atau berteologi yang meniadakan relasi hierarkis dan menyatakan keutuhan ciptaan melalui karya Kristus, namun paradigma tersebut akan lebih bernilai jika dapat diterapkan dalam kehidupan. Paradigma keutamaan Kristus dalam wacana ekoteologi hasil penafsiran Kolose 1:15-23 melahirkan suatu pola berelasi yang baru antara Allah dan ciptaan maupun antar ciptaan. Pola atau etika ini, saya sebut sebagai kristosentris-holisme.
64
Ini berarti bahwa teks Kolose 1:15-23 seharusnya dibaca dalam paradigma ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme. Etika adalah uraian tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup atau berkelakuan dengan mencerminkan kebenaran, keadilan dan kasih kepada sesamanya.14 Holisme adalah paham yang memandang bahwa seluruh ciptaan adalah bagian yang utuh dan bukan merupakan kesatuan yang terpisah-pisah. Holisme berasal dari kata Yunani o[loj yang berarti semua, keseluruhan, lengkap. Etika kristosentris-holisme merupakan etika yang menjadikan Kristus sebagai teladan bagi ciptaan dan melihat ciptaan sebagai bagian yang utuh dan tidak terpisah, setara dan saling bergantung, dengan tanggungjawab manusia sebagai penatalayanan. Etika ini menghargai nilai dari semua ciptaan, tetapi juga melihat tempat tanggung jawab manusia dan semuanya tidak dapat terpisah dari Kristus. Seluruh ciptaan merupakan suatu keutuhan dengan peran yang berbeda-beda dan dikepalai oleh Kristus. Kenosis berasal dari kata Yunani keno,w yang berarti menghilangkan kekuasaan (deprive of power), mengesampingkan apa yang memiliki. Paham holisme telah mencakup kenosis karena keutuhan ciptaan dapat terjadi jika manusia mampu meneladani Kristus, yaitu teladan pengosongan diri Kristus. Pada paradigma baru ini, manusia berperan sebagai penatalayan yang memelihara, mengelola dan menjaga alam. Saya tidak sependapat dengan pernyataan yang menilai bahwa peran ini masih bias antroposentrisme karena setiap ciptaan dalam tubuh Kristus memiliki peran yang berbeda-beda, begitu pun dengan 14
Borrong, Etika, 142.
65
manusia. Peran penatalayan ini bukan dalam relasi hierarki tetapi relasi yang sejajar dalam hubungan kesalingbergantungan sebagai bagian dari tubuh Kristus. Teks Kolose 1:15-23 menekankan kristosentris daripada teosentris. Peranan dan kedudukan Kristus mewarnai keseluruhan teks daripada pembahasan mengenai Allah Tritunggal, walaupun keberadaan Kristus tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Sang Bapa dan Roh Kudus. Allah Tritunggal berperan dalam ciptaan, namun keutamaan Kristus yang hadir dalam pra-eksistensi, kesetaraan-Nya dengan Sang Bapa dan Roh Kudus, kedudukan-Nya dalam karya penciptaan, kemanusiaanNya serta karya-Nya dalam penebusan dan pendamaian menjadi alasan dari penulis untuk menekankan kepada jemaat di Kolose agar tidak dipengaruhi oleh ajaranajaran sesat. Ini berarti, Kristus dijadikan sebagai dorongan tingkah-laku jemaat. Kristus menjadi dasar beretika. Kuasa dan kasih yang dipraktekkan serta seluruh perbuatan dan perkataan Kristus membuka makna dan maksud karya Allah baik dalam peristiwa penciptaan, penebusan maupun setelah kenaikan Kristus ke Sorga. Keselamatan yang telah dikerjakan oleh Kristus bagi seluruh ciptaan adalah prasyarat yang mengakibatkan pertobatan yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu berbalik dari tindakan yang dilarang oleh Allah dan melakukan apa yang Ia kehendaki. Pertobatan yang dimaksud oleh teks Kolose 1:15-23 adalah perubahan cara pandang atau perilaku yang mengakibatkan penderitaan dengan perlakuan semena-mena terhadap ciptaan lain, memilah-milah ciptaan yang baik dan yang buruk, memposisikan diri unggul dari ciptaan lain, dan lain sebagainya. Pertobatan dari ajaran sesat. Pertobatan yang menghasilkan perilaku yang benar untuk menuju pada masa depan ciptaan yang sempurna dalam Kristus, suatu pertobatan ekologi. 66
Sikap yang benar tercantum dalam konsep kepala tubuh atau kosmik Kristus yang secara jelas dinyatakan dalam etika kristosentris-holisme. Tidak ada yang teristimewa atau teramat baik karena seluruh ciptaan adalah baik adanya dan perlakuan manusia terhadap ciptaan lain haruslah meneladani Kristus dengan kesadaran bahwa semua keberadaan, semua ciptaan tidak terpisah-pisah namun disatukan oleh Kristus dan saling berhubungan. Ekoteologi
yang
ber-etika
kristosentris-holisme
sudah
sepantasnya
diperjuangkan untuk menggantikan teologi-teologi, terkhususnya di Indonesia yang tidak melihat perempuan-laki-laki-alam sebagai ciptaan yang sejajar dan tidak melihat alam sebagai bagian yang telah ditebus serta diciptakan baik adanya sebagai perwujudan dari kemuliaan dan kebesaran Allah sehingga dapat dieksploitasi dengan semena-mena. Paradigma ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme melihat kaum laki-laki-perempuan-alam sebagai ciptaan yang saling bergantung dan berpusat pada Kristus. Keberadaan ciptaan yang satu ditentukan oleh keberadaan ciptaan lain. Tanpa kesalingbergantungan ini, tidak ada kehidupan di muka bumi.
4.4.3
Kristologi Kosmik bukan Kristologi Eksklusif Paradigma ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme ternyata memiliki kelemahan, karena dapat dipahami dalam elemen pemikiran kristologi yang eksklusif. Kristologi yang eksklusif yakni kristologi yang menekankan keutamaan Kristus sebagai Anak Tunggal Allah dan keselamatan hanya terjadi melalui Kristus, di luar kekristenan, di luar Kristus tidak ada kebenaran mutlak dan tidak ada keselamatan.
67
Pemahaman tersebut dapat berkembang karena teks dipahami hanya diperuntukkan bagi para pengikut Kristus. Masa depan ciptaan hanya ada di dalam Kristus dan Kristus menjadi dasar beretika yang tepat. Koridor pemikiran ini kurang tepat karena walaupun Kristus yang menjadi pokok pembahasan teks, teks menekankan ke-universal-an kedudukan Kristus bagi segala sesuatu, bagi semua ciptaan. Teks Kolose 1:15-23 membawa nilai kesetaraan, persamaan dan pembebasan untuk semua ciptaan tanpa terkecuali. Paradigma ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme lebih tepat dipahami sebagai kristologi kosmik karena teks menekankan mengenai kedudukan dan peran Kristus dalam kosmos. Ini berarti kehadiran Kristus tidak dapat dibatasi oleh agama dan budaya tertentu. Kristus hadir dalam kosmos dan Ia bertindak sebagai kepala atas seluruh ciptaan yang adalah tubuh. Pemikiran tersebut menjelaskan bahwa paradigma ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme adalah paradigma yang dapat diterapkan dalam agama dan kebudayaan yang lain.
4.5 Kesimpulan Saat ini, ekoteologi merupakan wacana yang ramai diperbincangkan oleh berbagai pihak. Wacana ini bukan hanya berkaitan dengan kekristenan tetapi juga berkaitan dengan agama-agama lain dalam lingkup pembahasan yang beranekaragam karena ekoteologi hanya dapat berhasil diterapkan apabila disesuaikan dan dipahami dalam konteks ekoteologi tersebut diwacanakan. Sebagian besar masyarakat dunia menggunakan pendekatan etis tradisional yang memahami bahwa nilai ciptaan tergantung pada manusia. Keberadaan ciptaan
68
lain
hadir
untuk
memenuhi
kebutuhan
manusia
sehingga
manusia
perlu
bertanggungjawab terhadap alam. Ciptaan lain tidak memiliki tempat dalam karya penebusan dan pendamaian Kristus. Ciptaan lain tidak dijelaskan dalam konsep kepala tubuh karena konsep ini hanya menjelaskan hubungan antara Kristus dan jemaat yang menunjuk pada manusia. Ketimpangan relasi antar ciptaan ini menyatakan bahwa pendekatan etis tradisional yakni antroposentrisme tidak dapat menolong sebagai dasar ber-etika karena manusia selalu menganggap dirinya sebagai tuan atau ciptaan yang paling istimewa. Kenyataan antroposentrisme semakin diperparah oleh relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Perilaku mendominasi, semena-mena terhadap perempuan disamakan dengan materi atau alam sebagai sesuatu yang pasif, bernafsu rendah dan kotor. Siklus haid dianggap najis dan perempuan yang datang bulan kadang-kadang ditolak ikut serta dalam perjamuan kudus, seperti yang nampak dalam agama-agama lain. Pendekatan antroposentrisme yang bias dualisme hierarkis dikoreksi dalam wawasan ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme. Pemikiran yang layak menjadi dasar berteologi pada konteks masa kini. Pada pemikiran ini Kristus menjadi dasar dalam ber-etika dan terdapat penghargaan terhadap semua ciptaan dalam hubungan kemitraan yang sejajar sambil melihat tempat tanggung jawab manusia yakni
sebagai
penatalayan
yang
mengurus
dan
mengelola
alam
secara
bertanggungjawab. Pandangan terhadap Kristus yang berdasar pada Kolose 1:15-23 membentuk cara pandang dan perilaku antar ciptaaan.
69