Rekonstruksi Peradaban Islam
Rekonstruksi Peradaban Islam Modern Telaah Pemikiran Malik Bennabi
Budiman
[email protected]
©Budiman
1
Rekonstruksi Peradaban Islam
Daftar Isi Daftar Isi............................................................................................ 2 Pendahuluan...................................................................................... 4 Bab 1 Problem Peradaban................................................................25 Bab 2 Konsep Peradaban..................................................................57 Bab 3 Pendekatan Peradaban.......................................................... 77 Bab 4 Rekonstruksi Manusia Peradaban........................................ 104 Bab 5 Dinamika Masyarakat Berperadaban................................... 150 Bab 6 Strategi Peradaban............................................................... 199
©Budiman
2
Rekonstruksi Peradaban Islam
Revisi Inisial
18.09.2015
Revisi 1
21.09.2015
©Budiman
3
Rekonstruksi Peradaban Islam
Pendahuluan
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib sebuah kaum, sampai kaum itu merubah jiwa mereka sendiri. (Ar Ra'd : 11) Ayat, yang sering disebut sebagai ayat perubahan, di atas sering dikutip para juru dakwah untuk menyerukan perubahan dan dari mana proses perubahan mesti bermula. Perubahan nasib sebuah bangsa (apa yang terjadi pada sebuah bangsa) selalu bermula dari perubahan dalam jiwa mereka.
Jakfar Syeikh Idris1
menyatakan setidaknya ada empat poin utama dalam ayat di atas : (1) Allah memiliki kebebasan bertindak yang absolut (2) Manusia memiliki kebebasan bertindak yang terbatas (3) Perubahan yang terjadi dalam jiwa 1
Ja'far Syeikh Idris, The Prcoess of Islamization, http://www.witnesspioneer.org/vil/Books/JI_PI/islamic_theory_of_social_change.ht m ©Budiman
4
Rekonstruksi Peradaban Islam
manusia, dan (4) Perubahan dalam kondisi manusia yang diberlakukan oleh Allah sebagai akibat dari perubahan yang dilakukan dalam jiwanya. Selanjutnya Jakfar Syeikh Idris, berdasarkan empat poin utama dalam ayat di atas, menjelaskan implikasi mendasar dari pemahaman itu. (1), Konsepsi perubahan sosial
Islam berbeda secara tegas dari konsepsi
perubahan sosial secara materialistik (yang tidak mengakui peran ilahi dalam proses perubahan). (2) Konsepsi perubahan sosial Islam juga berbeda secara tegas dari konsepsi deterministik yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki peran yang efektif dalam proses perubahan. Tafsir deterministik ini menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh manusia semata-mata ditentukan oleh kekuatan supernatural (ilahi) atau sebabsebab natural/sosial semata. (3) Perubahan yang terjadi dalam diri manusia (pada konteks ayat ini) berwujud perubahan
dari
kebaikan
menjadi
keburukan
(sebagaimana dipahami oleh ulama tafsir klasik). (4) Jika manusia sedemikian berubah (menjadi lebih buruk), ©Budiman
5
Rekonstruksi Peradaban Islam
Allah akan menghukum mereka dengan menarik anugerah material dan spiritual yang mereka terima; dan menyebabkan
mereka
berhadapan
dengan
banyak
kesulitan. Sebagaimana diungkapkan di atas, perubahan pada ayat di atas
bermakna perubahan sosial. Perubahan sosial
memiliki kaidah atau pola-pola (sunnah) yang universal. Mekanisme perubahan yang diacu oleh ayat di atas ada pada dua dimensi; pada apa yang berubah pada suatu kaum (yang merupakan perubahan yang dilakukan oleh Allah) (entitas
dan apa yang berubah pada diri (jiwa) kaum sosial)
itu.
Urutannya
kemudian
adalah
perubahan bermula dari perubahan yang menjadi tugas manusia, kemudian baru perubahan yang dilakukan Allah atas mereka. Jaudat Said2, mengungkapkan 'apa yang ada pada suatu kaum' mengacu pada nikmat yang umum (sehat, mulia, kekayaan dll). Perubahan nikmat itu
2
Jaudat Said, Meraih Masa Depan (Terj, Hatta Yughairu Ma Bi Anfusihim. Pustaka Hidayah, Jakarta, 2002 ©Budiman
6
Rekonstruksi Peradaban Islam
bisa bertambah atau berkurang/hilang. Bidang perubahan yang menjadi bagian manusia adalah 'perubahan pada jiwa (diri) mereka'. Merujuk pada ayat-ayat Al Qur'an yang lain, Said menegaskan jiwa atau diri manusia bisa dikotori atau dibersihkan. Ayat perubahan di atas (Ar Ra’d :11) selalu memberikan inspirasi abadi pada setiap zaman bagi umat untuk melakukan gerak perubahan. Pada titik-titik tertentu sejarahnya, di mana kondisi umat mengalami kelemahan atau kemunduran, inspirasi untuk melakukan perubahan selalu melahirkan gerakan reformasi baik secara individu maupun kolektif. Abad 15 hijriah sering disebut sebagai abad kebangkitan Islam. Gerak kebangkitan Islam pada hakikatnya adalah gerak perubahan. Gerak menuju sebuah cita-cita yang diidam-idamkan. Dari perspektif sejarah, sesungguhnya narasi-narasi kebangkitan Islam sudah muncul sejak lama. Sejak era kolonialisme, narasi-narasi kebangkitan umat sudah didengungkan. Hingga masa kontemporer ©Budiman
7
Rekonstruksi Peradaban Islam
kini narasi-narasi kebangkitan ini tetap hidup dalam tubuh umat. Tentu saja setiap masa memiliki tantangannya masingmasing. Pada awal-awal abad dua puluh, tantangan kebangkitan adalah bagaimana membebaskan umat dari tirani kolonialisme. Ketika kemerdekaan politik sudah didapatkan oleh mayoritas umat Islam diseluruh dunia, tantangan terbesar negeri-negeri muslim kemudian adalah melakukan pembangunan peradaban (atau secara parsial sering direduksi menjadi pembangunan ekonomi). Apakah gerak kebangkitan umat ini sudah memberikan hasil yang diharapkan, tentu membutuhkan studi yang mendalam untuk memetakan masalah, kerja dan hasil yang telah dicapai. Tetapi bahwa ada sensasi atau rasa ketertinggalan
dibandingkan
dengan
bangsa-bangsa
Barat, pada umumnya masih dirasakan oleh banyak orang. Demikian pula dengan kegeraman atas dominasi politik-ekonomi
dunia
Barat
atas
dunia
Islam,
sebagaimana terpapar dalam media informasi yang ada, ©Budiman
8
Rekonstruksi Peradaban Islam
sesungguhnya memberikan indikasi adanya jarak antara narasi kebangkitan yang telah muncul puluhan (atau ratusan) tahun sebelumnya dengan kenyataan aktual yang dirasakan oleh umat kini. Dalam konteks ini menjadi menarik untuk kembali membicarakan esensi dari problem kebangkitan umat maupun bagaimana strategi kebangkitan yang tepat bagi pembangunan umat untuk
kemajuan
masa
depannya,
untuk
sebuah
peradaban Islam yang aktual. Buku ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran Malik Bennabi mengenai proses rekonstruksi peradaban Islam. Pokok-pokok pikiran yang akan dibahas terkait dengan pertanyaan-pertanyaan berikut : (1) Apakah substansi permasalahan yang dialami oleh Umat ? (2) Apakah unsur-unsur
yang
perlu
direkonstruksi
untuk
membangkitkannya kembali ? (3) Bagaimana strategi yang tepat untuk membangkitkan kembali umat ini ? Pertanyaan-pertanyaan ini akan ditinjau dalam terang pemikiran seorang pemikir sosial ternama dari Al Jazair, Malik Bennabi. ©Budiman
9
Rekonstruksi Peradaban Islam
Karangan ini membatasi diri pada eksposisi pemikiran Bennabi, tidak untuk melakukan tinjauan kritis atasnya. Eksposisi pemikiran Bennabi ini dilakukan melalui pemaparan pemikiran Bennabi terkait dengan ide-ide utama yang melandasi beberapa karangannya. Tesis utama Bennabi adalah bahwa problem sebuah bangsa pada esensinya adalah problem peradaban. Apa makna peradaban atau masyarakat berperadaban ? Apa yang dimaksud sebagai problem peradaban ? Untuk mengurai dan menjawab pertanyaan ini kita akan menelusuri makna peradaban yang disampaikan oleh para pakar serta membandingkannya dengan apa yang dikonseptualisasikan
oleh
Malik
Bennabi.
Untuk
memberikan perspektif yang luas mengenai peradaban kita mencoba memahami teori-teori tentang peradaban yang dikonstruksi oleh beberapa pakar (Ibn Khaldun, Toynbee, dan Fukuzawa). Selanjutnya setelah kita mengurai makna dan substansi problem peradaban, kita juga sudah mengenali beberapa ©Budiman
10
Rekonstruksi Peradaban Islam
teori peradaban yang ada, kita akan mencoba menjawab pertanyaan bagaimana proses rekonstruksi peradaban dapat dilakukan, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Malik Bennabi. Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan memulai dari ide mengenai rekonstruksi manusia peradaban. Bennabi memandang bahwa problem utama dunia Islam adalah problem mengenai efektifitas manusianya. Manusia muslim modern terbentuk dari proses sejarah yang sedemikian panjang. Secara budaya ia mewarisi mentalitas manusia pasca-peradaban (yang sebagiannya patologis) yang muncul sejak era pascaalmuwahidun (keruntuhan peradaban Islam di Spanyol pada abad 15). Problem kedua adalah
problem
rekonstruksi jaringan sosial masyarakat muslim modern. Efektifitas kerja pembangunan sebuah masyarakat bergantung
dari
melatarinya.
Kerja
eksisnya
jaringan
rekonstruktif
sosial
untuk
yang
melakukan
pembangunan di dunia Islam kontemporer kehilangan efektifitasnya karena tidak memperhatikan aspek ini. Akumulasi teknologi atau produk-produk peradaban barat yang ©Budiman
diharapkan
dapat
meningkatkan
taraf 11
Rekonstruksi Peradaban Islam
peradaban umat justru tidak terjadi. Keterbelakangan, kemiskinan, ketidakadilan, korupsi merupakan fenomena yang justru makin banyak dijumpai di negeri-negeri Muslim. Tidak efektifnya akumulasi atau penumpukan produk-produk peradaban lain untuk menggerakkan sebuah peradaban di dunia Islam karena produk-produk peradaban (baik produk pemikiran maupun material) tidak menemukan jaringan social yang efektif dalam masyarakat muslim kontemporer. Hal ini berbeda dengan apa yang pernah diserap oleh peradaban Islam di masa lalu, ketika produk-produk pemikiran maupun teknologi peradaban Yunani, India maupun Cina diserap dan ditapis kemudian diintegrasikan ke dalam peradaban Islam ketika itu. Produk-produk peradaban itu menjadi efektif karena jaringan sosial umat berada dalam taraf kesehatan dan kohesi yang tinggi, sehingga produkproduk peradaban luar itu menjadi terintegrasi alih-alih berubah menjadi patologis (merusak) peradaban umat. Tema ketiga dalam konteks pembahasan mengenai rekonstruksi peradaban umat adalah tema mengenai ©Budiman
12
Rekonstruksi Peradaban Islam
kritik Bennabi terhadap strategi pendekatan yang digunakan oleh umat Islam dalam melakukan proses pembangunan peradaban. Berdasarkan perangkat analisis peradaban yang dikonstruksinya Bennabi memberikan kritik terhadap efektifitas kerja kebangkitan yang sudah dilakukan oleh para tokoh yang terpeta dalam dua model gerakan, gerakan reformasi dan gerakan modernisasi.
Relevansi Pemikiran Malik Bennabi Yusuf Qaradhawi, dalam refleksinya mengenai abad 21, menyebutkan Bennabi sebagai salah satu tokoh yang memiliki saham besar dalam kebangkitan umat Islam. “Di antaranya juga adalah salah seorang yang dengan gencar menyeru kaum muslimin untuk membangun sebuah kebangkitan peradaban. Seorang pemikir muslim yang memiliki kelebihan dengan rasionalitasnya yang
©Budiman
13
Rekonstruksi Peradaban Islam
tajam dan analisanya yang jempolan.”3 Demikian komentar Dr. Yusuf Qaradhawi. Di Indonesia sendiri persentuhan dengan pemikiran Bennabi bukanlah hal yang baru. Tahun 1980 bukunya Zhahirah Quraniyah sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia4. Tahun 1994 dua bukunya Syuruth An Nahdah dan Musykilat Al Afkar diterjemahkan dalam satu buku5. Menyusul terbit buku yang membahas mengenai teori peradaban Malik Bennabi, oleh Fawzia
3
Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Islam Abad 21,Refleksi Abad 20 dan Agenda Masa Depan. Pustaka Al Kautsar, Jakarta, April 2001, hal 96
4
Malik Bin Nabi, Le Phenomine Coranique, Fenomena Al-Qur'an, diterjemahkan dari teks edisi bahasa Arab (Azh Zhahirah Qur'aniyah) oleh Saleh Mahfoed, Penerbit Al Ma'arif, Bandung, tahun 1980.
5
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 173. Membangun Dunia Baru Islam adalah terjemahan dua karya Bin Nabi oleh Afif Muhammad, Syuruth An Nahdhah (bagian pertama) dan Musykilat Al Afkar fi 'alamil Islami(bagian kedua) ©Budiman
14
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bariun dalam bahasa Indonesia6. Selain interaksi pemikiran melalui penerjemahan atau penerbitan buku oleh atau tentang Malik Bennabi, kita juga dapat mencatat kutipan-kutipan yang dilakukan oleh beberapa tokoh ilmuwan Indonesia terkait dengan pemikiran Malik Bennabi. Dibanding pemikiran Sayyid Qutb atau Abul A'la Al Maududi yang sering dijadikan rujukan oleh para aktivis kebangkitan Islam (di kampus-kampus di Indonesia) pemikiran
Bennabi
tampaknya
kurang
mendapat
perhatian. Hal ini setidaknya dapat dipahami dari fenomena banyaknya penerjemahan karya-karya dua pemikir besar kebangkitan Islam ini maupun studi-studi mengenai pemikiran keduanya. Bahkan sejak era-era awal tahun 1950-an dan 1960-an ketika kedua pemikir tersebut berada dalam masa produktif dan berpengaruh besar terhadap dunia Islam, karya-karya mereka sudah
6
Fawzia Bariun, Malik Bennabi Sosiolog Muslim Masa Kini, (Pustaka, Bandung), 1998. ©Budiman
15
Rekonstruksi Peradaban Islam
banyak mempengaruhi pemikir-pemikir di Indonesia. Padahal secara pemikiran analisis maupun konsepkonsep strategis Malik Bennabi tidak kalah menarik dibandingkan dua pemikir besar di atas. Ide-ide Bennabi setidaknya akan mengayakan pemahaman kita untuk memahami problematika umat dari perspektif yang agak berbeda. Apalagi dunia Islam sejak Ibn Khaldun belum melahirkan kembali pemikir atau sosiolog terkemuka. Ide-ide sosiologis Malik Bennabi memberi kita kekayaan ide untuk memahami problematika umat dari perspektif sosial. Di tengah kekurangan perhatian terhadap pemikiran Malik bennabi itu sebenarnya ada tokoh yang perlu diberikan
perhatian
karena
interaksinya
dengan
pemikiran Bennabi. Barangkali tokoh di Indonesia yang cukup dipengaruhi pemikiran Bennabi adalah Anis Matta. Konsep peradaban menjadi tema yang cukup dominan dalam tulisan-tulisan Anis Matta. Eksposisi paling sistematis dari konsep dan pendekatan peradaban ©Budiman
16
Rekonstruksi Peradaban Islam
terhadap Islam dapat dilihat dalam Peradaban Islam : Sebuah Rekonstruksi Awal, yang dimuat dalam buku Wawasan Islam dan Ekonomi, Sebuah Bunga Rampai terbitan LP-FE Universitas Indonesia7. Refleksinya mengenai tema peradaban dalam Al Qur'an dapat dijumpai
dalam
tulisannya
yang
berjudul
Islam,
Peradaban Alternatif8. Eksposisinya mengenai Islam dan Ilmu Pengetahuan9 dan mengenai Konsepsi Seni Islam 7
Muhammad Anis Matta, Peradaban Islam : Sebuah Rekonstruksi Awal, dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, Sebuah Bunga Rampai, terbitan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997 hal 19-38. Tulisan ini pernah muncul juga di Kajian Dakwah Islam, Waqfah Tarbawiyah edisi 07, Volume I, 1996 hal 16-29 (tanpa nama penulis).
8
M. Anis Matta, Lc, ISLAM, Peradaban Alternatif. Kajian Dakwah Islam, Waqfah Tarbawiyah edisi 06, Volume I, 1996 hal 17-30. Secara kronologis tulisan ini mendahului tulisan Peradaban Islam : Sebuah Rekonstruksi Awal yang dimuat secara anonim dalam Waqfah Tarbawiyah dan dimuat atas nama penulisnya dalam Wawasan Islam dan Ekonomi.
9
Mohammad Anis Matta, Islam dan Ilmu Pengetahuan:Masalah Paradigma, dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, Sebuah Bunga Rampai, terbitan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997 hal 49-69. ©Budiman
17
Rekonstruksi Peradaban Islam
yang ditawarkannya, juga dirangkai dalam perspektif peradaban10. Selanjutnya kita dapat menemukan tematema pembentukan manusia dan pengembangan jaringan sosial, tema proyek peradaban maupun entitas negara peradaban yang dielaborasi pada era keterbukaan (pascareformasi 1998)11. Menilik
penggunaan
skema
konseptual
dalam
mengelaborasi tema-tema peradaban ini (misalnya skema peradaban sebagai manusia + tanah + waktu, yang disintesiskan semisal
melalui
agama)
atau
konsep-konsep
rekonstruksi
manusia
peradaban
maupun
penataan jaringan sosial, kita menemukan pengaruh yang cukup besar dari pemikiran Malik Bennabi. Walaupun 10
Muhammad Anis Matta, Seni Islam : Format Estetika dan Muatan Nilai, dimuat dalam buku Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa : Konsep Estetika, terbitan Yayasan Ferstival Istiqlal, Juni 1996 hal 20-32
11
Tema proyek peradaban dan strategi dakwahnya dapat dilihat dalam Menikmati Demokrasi, Pustaka Saksi, 2002. Tema mengenai rekonstruksi negara peradaban dapat dilihat dalam Dari Gerakan ke Negara, Fitrah Rabbani, 2010. ©Budiman
18
Rekonstruksi Peradaban Islam
jarang kita temukan rujukan secara langsung dalam daftar pustaka tulisannya, setidaknya dari paralelisme (kesejajaran) ide dan penyebutan nama Bennabi secara eksplisit dalam beberapa tulisannya bisa menguatkan hal ini12. Demikian pula jika kita memperhatikan beberapa langkah-langkah strategis entitas pergerakan (yang terekspresi dalam tulisan-tulisan salah satu tokoh utamanya ini) tampak jejak-jejak pengaruh pemikiran Malik Bennabi di sana. Jika tidak dapat disimpulkan bahwa strategi pergerakan yang ditetapkan dalam entitas pergerakan (yang sekarang menjelma dalam wujud Partai Keadilan Sejahtera) merupakan representasi (atau pengembangan) pemikiran Malik Bennabi. Setidaknya melalui pemikiran Anis Matta, pemikiran Bennabi telah disosialisasikan ke dalam tubuh pergerakan Islam.
12
Rujukan eksplisit yang menyebutkan nama Bennabi dapat dilihat pada kata pengantarnya pada buku Ceramah-Ceramah Hasan Al Banna, Era Intermedia. ©Budiman
19
Rekonstruksi Peradaban Islam
Biografi Singkat Malik Bennabi Malik Bennabi lahir di kota Konstantin, Aljazair pada tahun 1905. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara. Bennabi memperoleh pendidikan awalnya
melalui
cerita-cerita
kepahlawanan
yang
dikisahkan oleh neneknya. Secara formal ia memulai pendidikan awalnya dari kuttab (sekolah Al Qur'an). Selanjutnya ia memasuki sekolah dasar Perancis, sebuah sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Perancis di Aljazair. Pengajaran di sekolah ini diberikan dalam bahasa Arab dan Prancis. Selama periode ini ia bergabung dengan majlis pengajaran di Masjid Agung Konstantin untuk belajar bahasa Arab dari Syekh Abdul Majid. Di masa ini ia mulai berkenalan dengan syairsyair Arab klasik dan modern. Setelah lulus ia bekerja sebagai juru tulis di pengadilan. Tidak lama kemudian ia melanjutkan sekolah ke Perancis. Setelah gagal memasuki Sekolah Bahasa©Budiman
20
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bahasa Timur(L’Ecole des Languas Orientales), karena alasan politis, ia melanjutkan ke Institut Teknik Elektro untuk mendalami Sains. Di Perancis Bennabi banyak terlibat dalam usaha perjuangan menentang penjajahan di negeri asalnya (Aljazair). Tahun 1931, ia menikahi wanita Perancis, yang kemudian masuk Islam dengan nama Khadijah. Hingga tahun 1956 ia berhasil menulis empat (4) buah buku. Tahun 1956 ia meninggalkan Perancis dan mendapat suaka di Mesir. Hal ini dimotivasi oleh keinginan untuk berada di lingkungan yang simpati kepada perjuangan nasional negaranya. Ia berjuang membela negerinya dalam front perjuangan intelektual. Oleh Anwar Sadat ia ditunjuk sebagai Sekretaris Konferensi Islam. Satu tahun setelah kemerdekaan negerinya, 1962, ia kembali ke sana. 1965 ia diangkat sebagai Direktur Kajian Tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional. Tetapi ia mendapatkan tantangan berat. Setelah dipecat pada tahun 1967 ia melanjutkan aktivitas menulis dan menyebarkan gagasan-gagasannya di kalangan generasi muda. Ia ©Budiman
21
Rekonstruksi Peradaban Islam
menjadikan
rumahnya
sebagai
tempat
pertemuan,
sebagai tempat bertukar gagasan. Bennabi selanjutnya mendapat cekal ke luar negeri. Ia meninggal di rumahnya
pada
tahun
1973
setelah
sebelumnya
mendapatkan izin untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1971. Karya-karya Malik Bennabi mencapai 18 buku yang ditulis dalam bahasa Prancis dan Arab. Karya-karyanya dalam bahasa Prancis telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Di antara karya-karya terpenting Bennabi adalah
al-Zahirah
al-Qur'aniyyah
(Fenomena
al-
Quran)13, 1961; Wijhah al-Alam al-Islami (Masa Depan
Edisi asli dalam bahasa Perancis, Le phénomène coranique: Essai d’une théorie sur le Coran., terjemahan terbaru ke dalam bahasa Inggris dari oleh Mohamed el-Tahir el-Mesawi, The Qur’anic Phenomenon: An Essay of a Theory on the Qur’an (Kuala Lampur: Islamic Book Trust, 2001). Edisi Bahasa Indonesia Fenomena Al Qur'an (Al Ma'arif, Bandung, 1980) diterjemahkan dari edisi Bahasa Arab. Fenomena Al Qur'an (Marja', Bandung, 2003) diterjemahkan dari edisi Bahasa Inggris oleh ..
13
©Budiman
22
Rekonstruksi Peradaban Islam
Dunia Islam)14, 1959; Fikrah al-Ifriqiyyah al-Asiawiyyah (Pemikiran Asia Afrika), 1956; Musykilah al-Thaqafah (Problem Budaya), 1959; Syurut al-Nahdah (Syaratsyarat Kebangkitan)15, 1960; Milad Mujtama' (Kelahiran Masyarakat)16, 1962; Mudhakkirat Syahid li al-Qarn (Catatan Harian Seorang Saksi Sebuah Zaman), 1966; Musykilat al-Afkar (Problem Pemikiran)17, 1970; Fikrah Komonweth al-Islami (Pemikiran Persemakmuran Islam),
14
Edisi bahasa Inggris, Islam in History and Society, (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006
15
Edisi Bahasa Indonesia, Unsur-Unsur Pembangun Peradaban, ini merupakan bagian pertama buku Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994. Diterjemahkan oleh Afif Muhammad
16
Edisi Bahasa Inggris, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998. Diterjemahkan oleh Mohamed el Tahir el Mesawi
17
Edisi Bahasa Inggris, The Question of Ideas In The Muslim World (Islamic Book Trust, Kuala Lumpur), 2003. Diterjemahkan oleh Mohamed el Tahir el Mesawi. Edisi Bahasa Indonesia, Problem Pemikiran Di Dunia Islam, ini adalah bagian kedua buku Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994. Diterjemahkan oleh Afif Muhammad ©Budiman
23
Rekonstruksi Peradaban Islam
1971; dan al-Muslim fi Alam al-Iqtisad (Muslim dalam Dunia Ekonomi), 1972.
©Budiman
24
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bab 1 Problem Peradaban Bahwa dunia Islam sedang mengalami kemunduran, sesungguhnya sudah disadari oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14 masehi Setidaknya hal ini bisa dirujuk pada pernyataan Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, “Demikianlah di masa sekarang ini telah sampai beritaberita kepada kami bahwa ilmu-ilmu filsafat ini telah mengalami kemajuan yang pesat di negeri Franka (bi bilad al-ifranjah), di tanah Roma dan daerah-daerah bagian utara yang berdekatan dengannya.”18 Demikian pula situasi dunia Islam pasca runtuhnya Dinasti Abasiah dan penaklukan politik-geografis yang dilakukan oleh anak keturunan Jengis Khan, tentu mengakibatkan munculnya penilaian tentang kondisi peradaban umat Islam kala itu. Tetapi kesadaran terhadap kemunduran secara masif disadari oleh umat Islam ketika dunia Islam 18
Dikutip dari, A. Rahman Zaenuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992 hal 27. ©Budiman
25
Rekonstruksi Peradaban Islam
mengalami perjumpaan kedua dengan dunia Barat. Pada perjumpaan pertama (pada era perang salib), posisi dunia Islam adalah posisi superior dalam prestasi-prestasi kebudayaan
(sebagaimana
termanifestasi
dalam
kemajuan ilmu dan teknologi, dan kemajuan tata sosialekonomi). Demikian pula posisi dunia Islam saat itu juga superior secara politik ketika mengalahkan pasukan Salib dari Eropa. Pada perjumpaan kedua, posisi itu berbalik. Eropa dalam posisi superior. Sedangkan dunia Islam dalam posisi inferior. Karena kondisi kemunduran peradaban di dunia Islam yang sudah akut, perjumpaan dengan peradaban Barat (Eropa) dengan kemajuan ilmu, teknologi, organisasi sosial dan keunggulan militernya membuat ketercengangan tersendiri di dunia Islam. Kekalahan dunia Islam secara militer dan politik menjadikan kolonialisme, imperialisme Barat merata terjadi di dunia Islam. Superioritas peradaban Barat dalam perjumpaan kedua ini secara langsung mempengaruhi intensitas kesadaran ©Budiman
26
Rekonstruksi Peradaban Islam
mengenai kemunduran dunia Islam, utamanya pada abad-19 dan awal abad 20. Kesadaran ini setidaknya bisa kita pahami dari ungkapan pertanyaan yang disampaikan oleh Syaikh Basyuni Imran dari Sambas, Kalimantan kepada Syakib Arsalan (sang Pangeran Kefasihan) melalui majalah Al Manar yang dipimpin oleh Rasyid Ridha pada tahun 30-an abad lalu. Pertanyaan itu adalah19 : 1.
Mengapa kaum Muslim
saat ini mundur,
sedangkan bangsa selain mereka (mengacu pada bangsabangsa Barat) maju ? 2.
Apakah dimungkinkan bagi umat Islam untuk
maju dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama mereka ? Dua
pertanyaan
ini
bersifat
mendasar.
Sensasi
kemunduran peradaban Islam sampai saat ini masih kita rasakan. Kemajuan peradaban yang dicita-citakan sejak 19
Amir Shakib Arsalan Our Decline Its Causes and Remedies (Islamic Book Trust, Kuala Lumpur), 2005, hal xxiii-xxiv ©Budiman
27
Rekonstruksi Peradaban Islam
era kolonialisme, hingga saat ini belum bisa dicapai. Posisi dunia Islam tetap saja inferior terhadap peradaban Barat. Dengan demikian, pertanyaan mengenai mengapa umat Islam mengalami kemunduran dan mengapa bangsa Barat mengalami kemajuan masih relevan untuk didiskusikan. Dunia Islam sampai saat ini juga masih diliputi oleh ketegangan untuk menyelesaikan dilema yang diungkapkan dalam pertanyaan kedua di atas. Dilema mengenai agama dan peradaban, dilema antara mempertahankan modernitas,
komitmen
dilema
orisinalitas/keaslian
keagamaan
antara
dengan
mempertahankan
(asholah)
dengan
perubahan/modernitas (taghyir).
Mengapa Umat Islam Mundur ? Syakib
Arsalan
menyatakan
bahwa
fenomena
kemunduran merupakan fenomena merata di dunia Islam, yang berbeda hanya derajat atau levelnya saja20. 20
Amir Shakib Arsalanm Our Decline Its Casuses and Remedies (Islamic Book Trust, Kuala Lumpur), 2005, hal 1 ©Budiman
28
Rekonstruksi Peradaban Islam
Mengapa umat islam mundur ? Untuk menjawab pertanyaan ini perlulah diketahui terlebih dahulu apa yang menyebabkan majunya umat Islam di kurun awal. Syakib Arsalan menyatakan faktor keagamaan, Islam, menjadi faktor pendorong utama kemajuan bangsa arab dahulu. Bagaimana faktor Islam ini dioperasionalkan ? Kata kuncinya terletak pada iman (keyakinan) dan amal (aksi), yang tidak terpisahkan dalam islam. Hal ini menuntut pada umat untuk memenuhi kualifikasi yang menuntutnya ke gelanggang perjuangan (jihad). Karakter yang tidak mencukupkan identitas keislaman pada atribusi atau sekadar pada nama atau aktifitas kesalehan pribadi semata-mata. Kontras terhadap karakter pejuang pendahulunya, umat islam saat ini (awal abad kedua puluh) kehilangan gairah, semangat dan kesetiaan terhadap keimanannya. Hal ini digambarkan oleh Syakib Arsalan dalam beberapa fenomena berikut : 1. Rendahnya semangat untuk memberi dan
berkorban. Syakib Arsalan menggambarkan ©Budiman
29
Rekonstruksi Peradaban Islam
betapa pengorbanan yang diberikan oleh orangorang Barat untuk membela negeri mereka, sebagaimana terjadi dalam perang dunia I. Jutaan orang tewas. Demikian pula dengan pengorbanan harta, jutaan dolar hilang untuk membela kepentingan bangsa mereka. Syakib Arsalan mengkontraskan itu semua dengan pengorbanan yang diberikan oleh umat Islam untuk membela negeri mereka, saudara mereka. 2. Pengkhianatan para elite. Perjuangan umat
islam
dalam
menghadapi
bangsa
penjajah
seringkali mentah atau gagal atau terintangi karena
pengkhianatan
elite
mereka
dalam
perjuangan, baik elite kepemimpinan maupun elite intelektual (ulama). Berdasarkan fenomena-fenomena di atas Syakib Arsalan mencatat beberapa penyebab kemunduran umat Islam. 1. Kebodohan. Bukan cuma kebodohan dalam arti buta huruf semata-mata, tetapi juga pengetahuan setengah-setengah yang dimiliki oleh beberapa ©Budiman
30
Rekonstruksi Peradaban Islam
kalangan
umat.
Bahkan
menurut
beliau
pengetahuan setengah-setengah lebih berbahaya dari kebodohan. 2. Karakter
(akhlaq),
moralitas
yang
rendah.
Kemajuan memiliki akhlaq atau karakter yang mendukungnya semisal, keberanian, keteguhan, kesabaran (determinasi diri), mengembangkan kapasitas
intelektual.
Alih-alih
memiliki
moralitas yang kuat, umumnya umat islam justru dipenuhi oleh rasa takut, pengecut, rendah diri, perasaan tidak berdaya dan sekedar menjadi objek semata. 3. Sikap koruptif yang menginfeksi para elite
penguasa. Arsalan menunjuk satu sikap untuk menggambarkan
ini,
sikap
despotik
yang
menganggap rakyat hanya sebagai makhluk yang diciptakan
bagi mereka,
sehingga
tindakan
mereka penuh dengan kesewenang-wenangan.
©Budiman
31
Rekonstruksi Peradaban Islam
Responsi Umat Islam Terhadap Kemajuan Barat Superioritas peradaban barat adalah kenyataan yang dihadapi oleh umat Islam. Melihat superioritas Barat ini responsi umat Islam terhadapnya bermacam-macam. Syakib Arsalan memetakan dua responsi ekstrem yang diberikan oleh sebagian kalangan umat Islam dalam menyikapi kemajuan Barat. Profil pertama adalah mereka
yang
ultra-modern,
zaahid
(ingkar-
pembantah), yang mengingkari sejarah dan identitas kultural mereka, yang ingin mengesampingkan agama dari kehidupan sosial dan kemajuan, yang ingin melikuidasi agama dari kehidupan sosial politik, yang ingin membangun wilayah itu menjadi wilayah netral agama. Profil kedua adalah
mereka yang menganut
konservatisme ekstrem (jamid, enggan berubah), yang menolak ilmu pengetahuan semata-mata karena ia adalah produk orang kafir, yang bersikap fatalistik, yang menutup diri dan mencukupkan dengan warisan tradisi semata-mata. ©Budiman
32
Rekonstruksi Peradaban Islam
Apakah
Mungkin
Umat
Islam
Maju
Sekaligus Bertahan Dalam Islam ? Adakah alternatif ketiga ? Syakib Arsalan mengafirmasi secara positif kemungkinan ini. Beliau menyebut Jepang bisa
menjadi
pelajaran.
Islam
sendiri
mampu
memberikan dorongan dan motivasi internal untuk meraih kemajuan, sebagaimana dulu ia pernah meraih kejayaan. Kedua profil sikap terhadap kemajuan Barat diatas bagi Syakib Arsalan merupakan pilihan sikap yang tidak tepat. Syakib Arsalan membantah sikap pertama dengan mengajak mereka untuk memikirkan lebih dalam fenomena sejarah bangsa-bangsa yang maju adakah mereka melepaskan identitas religius (keagamaan) dan kultural mereka. Eropa (dengan negara-bangsa yang beraneka)
dan
Jepang
justru
menegaskan
dan
memelihara identitas keagamaan dan kultural mereka. Untuk
membantah
sikap
kedua,
mengutip ayat-ayat Al Quran ©Budiman
Syakib
Arsalan
yang mengajak untuk 33
Rekonstruksi Peradaban Islam
optimis, bekerja, dan menghilangkan sikap fatalistik dalam
kehidupan.
Ia
juga
mengingatkan
sikap
konservatisme ekstrem akan memuluskan para penjajah untuk menduduki negeri mereka. Tetapi, jawaban afirmatif saja tidaklah mencukupi. Dalam pertanyaan ini terkandung dilema. Sebuah dilema yang membuat operasionalisasi bagaimana kemajuan dan
bertahan
dalam
Islam
mengandung
banyak
permasalahan yang perlu ditangani. Pada
umumnya
ide
yang
dikembangkan
untuk
menyelesaikan permasalahan ini (permasalahan alternatif ketiga) mendasarkan diri pada pendekatan yang mencoba menerima aspek-aspek yang dianggap netral dari peradaban Barat semisal ilmu dan teknologi, dengan berusaha mempertahankan nilai-nilai agama dalam wilayah yang luas (tidak membatasi agama semata sebagai
wilayah
privat
sebagaimana
pendekatan
sekularis).
©Budiman
34
Rekonstruksi Peradaban Islam
Permasalahan bagaimana mencapai kemajuan (dengan mencapai apa yang sudah dicapai oleh peradaban Barat) dengan tetap bertahan dalam Islam adalah masalah yang kompleks. Sebagai sebuah ilustrasi, teknologi, sebuah aspek peradaban yang pada umumnya dianggap netral, sesungguhnya tidaklah netral. Justru melalui teknologi, berlangsunglah
perubahan
sosial
dalam
sebuah
masyarakat. Elemen agama, filsafat maupun norma-norma sebuah peradaban merupakan elemen paling resisten untuk disusupi (dirembesi) oleh agama, filsafat maupun normanorma dari peradaban lain. Elemen peradaban yang paling mudah untuk menembus sekat peradaban adalah teknologi. Bukan karena faktor netralitasnya, tetapi lebih pada dia sebagai produk material. Arnold Toynbee menyatakan, sebagaimana sinar radioaktif yang mampu menembus tubuh manusia memberikan efek negatif pada tubuh, demikian pula teknologi dari sebuah peradaban ketika menembus
peradaban lain. Atau sebagaimana
sebuah kuman penyakit tidak mematikan bagi sebuah ©Budiman
35
Rekonstruksi Peradaban Islam
bangsa, tetapi ketika ditularkan ke bangsa lain justru memberikan efek mematikan. Toynbee menyontohkan21, 1.
Pada awal atau pertengahan abad 19 Mesir, dalam
perjumpaannya dengan peradaban Barat (melalui invasi Napoleon, yang juga membawa mesin cetak), berusaha melakukan modernisasi terhadap angkatan militernya. Pemerintah Mesir kemudian mendatangkan ahli-ahli militer dari Barat. Tentu saja mereka mengajukan persyaratan sesuai standar mereka, diantaranya syarat membawa
keluarga
mereka.
Karena
mereka
membutuhkan standar perawatan kesehatan Barat, tentu saja mereka juga butuh mendatangkan dokter. Di kompleks militer dokter ini melayani keluarga Barat. Tetapi karena banyak waktu yang luang mereka juga berinisiatif untuk memberikan pertolongan kesehatan bagi keluarga Mesir (yang notabene Muslim) utamanya terkait masalah kelahiran, atau kesehatan keluarga. Pada titik inilah terjadi perbenturan nilai dengan masyarakat
21
Teknologi dan Dampak Kebudayaannya Vol 1, YB. Mangunwijaya,edt. YOI. 1993(cet.pertama 1983) ©Budiman
36
Rekonstruksi Peradaban Islam
sekitar kompleks militer itu, utamanya nilai yang mengatur hubungan antara pria dan wanita. 2.
Contoh kedua terkait dengan negara nasional,
yang berdiri atas asas nasionalisme. Bagi Barat, bentuk negara nasional adalah satu hal yang wajar yang muncul karena peta wilayah barat telah terpeta berdasarkan pemisahan bahasa yang tegas antara satu daerah dengan daerah lain. Peta alamiah Eropa adalah peta bahasa, yang membentuk garis batas yang jelas. Tetapi bagi negeri Asia, utamanya negeri-negeri Muslim, tidak ada garis batas bahasa yang jelas di sana. Perbauran (dan keragaman) bahasa terjadi di negeri mereka. Sehingga mendirikan negara berasas nasionalisme an sich menjadi satu problem bagi negeri-negeri Muslim terutama. Pengalaman kita di era globalisasi sekarang juga membuktikan aspek potensi sebagai agen perubah dari teknologi. Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sedemikian canggih saat ini (internet, misalnya), memberikan kita fakta adanya perubahan gaya
hidup
©Budiman
terhadap
penggunanya.
Sebagaimana 37
Rekonstruksi Peradaban Islam
diungkapkan
oleh
Marshall
McLuhan,
medium
(komunikasi) menentukan isi (muatan budaya). Medium (komunikasi) ini juga dapat menjadi medium untuk melancarkan proses perubahan (yang direncanakan), seperti tampak dalam revolusi sosial yang terjadi di Tunisia atau Mesir di permulaan tahun 2011 lalu, Skema
ide konseptual untuk memajukan peradaban
umat dengan tetap berpijak pada nilai-nilai Islam perlu memperhatikan pula kenyataan berikut. Kenyataan bahwa sejak perjumpaan kita dengan peradaban barat, utamanya melalui kolonialisasi barat atas negeri-negeri Muslim, peradaban barat sendiri telah menumbuhkan persoalan-persoalan peradaban di negeri-negeri Muslim. Tidak terbatas hanya pada persoalan politik (masalah dominasi dan kemerdekaan politik) atau persoalan pembangunan ekonomi (kemiskinan di dunia Islam) atau persoalan tingkat pendidikan (banyaknya kebutahurufan), tetapi juga menumbuhkan persoalan keyakinan terhadap Islam. Ini yang barangkali memunculkan isu mengenai perang pemikiran atau konflik pemikiran antara Barat ©Budiman
38
Rekonstruksi Peradaban Islam
dan Islam (Ghazw al-Fikri dan Shira’ al-Fikri). Pemikiran Barat yang diintrodusikan ke tubuh peradaban Islam
memberikan
pesoalan
tersendiri,
persoalan
pemikiran dan keyakinan terhadap warisan pemikiran, budaya Islam. Dalam konteks pertentangan pemikiran antara pemikiran Islam dan Barat seperti ini terlalu sederhana jika kita ingin menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh umat Islam
kini hanya dengan memandang persoalannya
sebagai pilihan biner semata-mata, lakukan ini atau kamu adalah kafir atau pernyataan sederhana berikut yang penting Islam walaupun miskin.
Mencari Solusi Dari penjelasan di atas kita memahami bahwa Syakib Arsalan mengembalikan penyebab kemunduran maupun kekalahan peradaban yang diderita oleh umat Islam pada sebab moral, karena umat sudah jauh dari kuatnya keyakinan maupun standar moralitas pendahulu mereka. ©Budiman
39
Rekonstruksi Peradaban Islam
Dalam bahasa awam kita sering membahasakan ini dengan mengatakan, umat sudah sangat jauh dari nilainilai Islam.
Dengan demikian kembalinya keyakinan
maupun kualitas moral (yang dalam hal ini diwakili oleh terminologi jihad) merupakan pra-syarat bagi kemajuan umat Islam. Perspektif ini secara umum mengembalikan pokok permasalahan yang dialami dunia Islam pada level individu (pada keyakinan/moralitas). Semakin banyak jumlah mereka yang memiliki kualitas keyakinan dan
moral
yang
tinggi,
semakin
mudah
untuk
menyelesaikan masalah kemunduran maupun masalah membangun kemajuan dunia Islam. Apakah
solusi
ini
sudah
mengembalikan kejayaan ummat ?
mencukupi
untuk
Setidaknya kasus
berikut dapat dipertimbangkan untuk mengkritisi solusi moralitas-individual ini. Globalisasi ekonomi adalah kenyataan yang tak terbantahkan saat ini. Tidak ada bagian dunia yang bisa secara isolatif berdiri sendiri. Informasi terbuka dan dapat diakses dimana-mana. Mengandalkan semata-mata pada kondisi moral individu ©Budiman
40
Rekonstruksi Peradaban Islam
(agar mampu bertahan dalam perjuangan menegakkan tata peradaban baru) dapat kehilangan efektifitasnya di tengah derasnya arus globalisasi ekonomi dan informasi. Fenomena pornografi, limbah informasi yang terbawa globalisasi informasi misalnya, tidak dapat diselesaikan semata-mata hanya dengan mengandalkan moralitas individu atau himbauan moral atau memperbanyak jumlah kader dengan kualitas moral tinggi. Pada titiktitik seperti ini pendekatan struktural (politik dan regulasi) kita perlukan. Pendekatan struktural (politik-ekonomi) sendiri bukan merupakan fenomena baru. Sejak pertengahan abad kedua puluh kemerdekaan negeri-negeri muslim menjadi fenomena dunia. Munculnya negara-negara baru (dengan tipikal pemerintahan yang sekularis, sosialis dan kemudian kapitalistik) memunculkan harapan besar untuk menyelesaikan problem kemunduran yang diderita rakyat
dunia
Islam
pada
umumnya.
Program
pembangunan pun kemudian digencarkan untuk meraih kemajuan (ekonomi). ©Budiman
41
Rekonstruksi Peradaban Islam
Tetapi, sepanjang kurang lebih lima puluh tahun pasca kemerdekaan, alih-alih pertumbuhan ekonomi yang muncul justru kebergantungan ekonomi pada dunia Barat. Lilitan kemiskinan, buta huruf, hutang luar negeri masih menghimpit dunia Islam. Kemajuan peradaban yang diinginkan tidak serta merta muncul seiring dengan gencarnya pemerintah-pemerintah negeri-negeri muslim menggenjot pembangunan.
Problem Peradaban Pendekatan
moralis
maupun
strukturalis(ekonomis)
semata-mata tidak cukup untuk mengembalikan vitalitas umat untuk meraih kemajuan. Sebagaimana diungkapkan di atas. Dalam konteks ini, menarik untuk melihat problematika yang dihadapai oleh dunia Islam dari perspektif budaya. Tesis utama yang dijadikan acuan dalam perspektif ini adalah apa yang diungkapkan oleh Malik Bennabi bahwa problem sebuah bangsa pada
©Budiman
42
Rekonstruksi Peradaban Islam
esensinya adalah problem peradaban22. Peradaban dalam arti konstitusi sosio-moral yang membuat pencapaianpencapaian prestasi budaya (ilmu, teknologi, seni maupun
ekonomi)
menjadi
efektif.
Untuk
menggambarkan prolem peradaban ini kita dapat meninjau sebuah polemik yang terjadi di Indonesia pada tahun tiga puluhan, kemudian mencoba mengelaborasi deskripsi problem peradaban yang dinyatakan oleh Malik Bennabi. Antara tahun 1935-1936, dan kemudian 1939, di Indonesia (Hindia Belanda ketika itu) terjadilah apa yang kemudian disebut sebagai polemik kebudayaan23. Polemik ini bermaksud untuk mencari bentuk atau wajah bagi konsep tentang Indonesia. Bermula dari tulisan Sutan Takdir Alisjahbana mengenai menuju masyarakat dan budaya baru yang membagi periodisasi kebudayaan 22
Malik Bin Nabi, Menuju Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 51
23
Lihat lebih lengkap pada Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan, (Balai Pustaka, Jakarta), 1998. ©Budiman
43
Rekonstruksi Peradaban Islam
Indonesia menjadi dua kategori besar, masa praindonesia dan masa indonesia. Masa pra-indonesia adalah masa jahiliyah indonesia. Sedang masa Indonesia, yang bermula di awal abad ke-20, bagi Sutan Takdir haruslah merupakan bentuk atau konsep baru yang memiliki dinamika, yang berbeda total dari masa sebelumnya. Masyarakat baru Indonesia itu adalah masyarakat dinamis, yang mengadopsi model dinamika yang
berkembang
pada
masyarakat
barat.
Intelektualisme, materialisme (dalam arti hasrat besar untuk membangun dunia ini), dan egoisme (dalam arti tumbuhnya spirit individual, kebebasan individu); yang merupakan karakter dinamika masyarakat barat, haruslah menjadi bagian dari masyarakat baru Indonesia. Bagi Takdir, penilaian negatif atas semangat barat dengan mengemukakan sisi-sisi negatif peradaban Barat, semisal barat tidak spiritual, adalah tidak tepat karena pada barat nilai-nilai spiritual itu dimilikinya. Sedangkan alasan yang menolak kiblat ke barat karena krisis yang dialami oleh barat (krisis intelektual), bagi Takdir itu adalah
©Budiman
44
Rekonstruksi Peradaban Islam
problem barat bukan problem kita, problem kita adalah bagaimana menggapai intelektualisme itu. Di sisi lain, bertentangan dengan pendapat Sutan Takdir, sebagian
kalangan
menghargai
warisan
menginginkan Timur
menjadi
wujud corak
yang yang
membangun Indonesia. Sanusi Pane, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara bisa disebut mewakili pandangan ini. Dalam konsep ini bukan berarti tidak ada nilai-nilai barat yang tidak kita adopsi, nilai intelektualisme misalnya. Tetapi yang diinginkan oleh pandangan yang berorientasi ke Timur ini adalah warisan budaya kita menjadi basis utama dalam membina kepribadian manusia Indonesia dan menghindari efek negatif dari kebudayaan barat. Model
pendidikan,
sebagai
medium
transmisi
kebudayaan, yang berakar dalam warisan budaya kita seperti model pesantren, bisa diberdayakan untuk membina kepribadian ini. Dalam konteks ini perlu dicatat adanya pembedaan antara pendidikan dengan pengajaran. Bagi Dr. Sutomo, pendidikan terkait dengan membentuk kepribadian sedangkan pengajaran terkait ©Budiman
45
Rekonstruksi Peradaban Islam
dengan pencapaian intelektual. Dari sudut pandangan ini mustahillah membangun konsep keindonesiaan baru yang
tercerabut
total
dari
akar
kesejarahannya,
sebagaimana diinginkan oleh Sutan Takdir. Sedangkan bagi Sutan Takdir sendiri pendapat sintesis ini masih memiliki tendensi anti-intelektualisme, anti-materialisme dan anti-individualisme (untuk dua terminologi terakhir hendaknya dipahami dalam konteks praktisnya bukan dalam pengertian metafisis). Sutan Takdir ingin merekonstruksi peradaban baru Indonesia dengan memutus tali mentalitas (sosial) yang diidapnya
dengan
menginjeksikan
semangat
baru
Indonesia yang dinamis. Semangat baru itu ia dapati esensinya dalam semangat Barat, yang termanifestasi dalam
intelektualisme,
materialisme
dan
individualismenya. Semangat Indonesia baru ini, dalam benak Sutan Takdir adalah semangat baru yang tidak terdapat dalam sejarah pra-Indonesia. Bagi Takdir, merekonstruksi
©Budiman
Indonesia
baru
berdasar
semangat
46
Rekonstruksi Peradaban Islam
kedaerahan berpotensi untuk terpecah belah ke dalam provisionalisme, dan tentunya ini tidak efektif24. Walaupun sempat menyebut Islam secara sepintas (ketika dibandingkan dengan semangat Barat) Sutan Takdir tidak melirik Islam dalam usaha merekonstruksi peradaban baru Indonesia itu. Barangkali Sutan Takdir lupa terhadap kenyataan bahwa dalam latar keislaman zaman pra-Indonesia telah disatukan oleh agama Islam (yang dianut mayoritas rakyat Nusantara). Esensi yang ingin diangkat dari keterangan di atas bukan masalah
polemiknya,
tetapi
semangat
pencarian
peradaban yang digambarkan oleh Sutan Takdir sebagai rekonstruksi
semangat
Indonesia.
Takdir
melihat
problem yang dialami oleh bangsa Indonesia terletak pada tidak adanya semangat 'kemajuan'. Semangat kemajuan
(atau
semangat
peradaban)
itu
24
Studi mengenai pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana mengenai semangat Indonesia baru dapat di lihat Yamamoto Haruki, Gelora Menuju Indonesia Baru, (Dian Rakyat, Jakarta), 2010. ©Budiman
47
Rekonstruksi Peradaban Islam
digambarkannya dalam semangat pencarian rasional, semangat pencarian ekonomi dan semangat kebebasan pribadi.Inilah yang menjadi esensi kemajuan Barat. Dengan demikian, menggunakan terminologi Bennabi, problem yang diidap oleh bangsa Indonesia adalah problem peradaban. Bennabi menyatakan bahwa problem setiap bangsa pada esensinya adalah problem peradaban. Peradaban yang sesungguhnya
adalah
peradaban
yang
melahirkan
capaian-capaian. Peradaban yang melahirkan prestasi kebudayaan. Menggerakkan peradaban sebuah bangsa tidaklah dapat dicapai melalaui penumpukan produkproduk peradaban lain. Peradaban adalah sumber yang melahirkan produk itu. Semangat peradaban tidaklah dapat diimpor begitu saja. Dari persepktif ini problem peradaban merupakan problem mengenai semangat yang menggerakkan sebuah peradaban. Jika diibaratkan sebagai orang yang tengah sakit; merupakan ©Budiman
kebutuhan
bagi
dunia
Islam
untuk 48
Rekonstruksi Peradaban Islam
memberantas kebodohan, di bagian lain ia harus mengusir penjajahan, di sisi lain ia harus memiliki kekayaan agar tidak terkena penyakit kemiskina. Ia harus membangun sekolah, pabrik, merebut kemerdekaan (kini, melakukan
pembangunan).
Bennabi
mengingatkan
semuanya dapat menjadi tidak efektif jika tidak ada yang dapat menunjang penyembuhan, itulah peradaban, etos yang
melatari
efektifitas
program-program
yang
dijalankan. Problem peradaban di dunia Islam ini bagi Bennabi bukanlah problem keyakinan keagamaan. Bagi Bennabi, permasalahannya
bukan
terletak
pada
hilangnya
keyakinan umat terhadap Islam. Keyakinan umat terhadap Islam masih sangat kuat. Problemnya adalah bagaimana menjadikan nilai-nilai keagamaan itu menjadi efektif secara sosial, sehingga mampu menggerakkan manusia-manusia muslim untuk berperan dalam sejarah secara efektif.. Dari perpekstif ini problem peradaban adalah problem terkait dengan rekonstruksi sosial.
©Budiman
49
Rekonstruksi Peradaban Islam
Walaupun
semua
negeri-negeri
muslim
saat
ini
umumnya telah merdeka secara politik dari penjajahan asing,
penilaian
Bennabi
mengenai
fenomena
kolonialisme yang mendominasi dunia Islam pada eraera yang lalu perlu diberi perhatian di sini. Hal ini terkait dengan mentalitas umat yang tertrasmisikan (secara budaya) dari generasi ke generasi. Bennabi menilai fenomena kolonialisasi di dunia Islam bukan sematamata fenomena luar, ada bangsa luar yang menduduki dan mendominasi sebuah bangsa. Masalah penjajahan adalah juga masalah kelayakan untuk dijajah. Koefisien penjajahan terkait erat dengan koeifisien kelayakan untuk dijajah (colonializebility/ al qabiliyah lil isti'mar). Ia adalah dua sisi dari satu mata uang. Bennabi tidak bermaksud untuk merendahkan perjuangan yang telah dilakukan untuk memerdekan diri dari penjajahan. Tetapi ia ingin mengingatkan bahwa penyakit terusirnya penjajah dari negeri-negeri muslim tidaklah secara otomatis akan menyelesaikan problem-problem yang dideritanya.
©Budiman
50
Rekonstruksi Peradaban Islam
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Sutan Takdir. Takdir pernah mengungkapkan, sebagian besar orang berpendapat bahwa masalah kelemahan bangsa adalah masalah yang diakibatkan oleh penjajahan, sehingga pihak yang paling bersalah adalah Belanda. Sehingga dengan perspektif ini orang mengambil kesimpulan, kualitas bangsa akan menjadi baik dengan sendirinya jika penjajah sudah enyah dari tanah air. Sutan Takdir mengritik pandangan ini dengan menyatakan penjajahan memang tidak baik bagi perkembangan suatu bangsa, tetapi perbaikan tidak datang dengan sendirinya dengan hilangnya penjajahan bangsa asing itu. “Bukan si tuan saja yang bersalah karena ia membuat orang menjadi budak, tetapi si budak pun tidak kurang salahnya karena ia salah
wataknya,
sikapnya,
perbuatannya
yang
membuat orang jadi tuan.”25 Dari perspektif ini problem peradaban adalah problem merekonstruksi manusia baru.
25
Yamamoto Haruki, Gelora Menuju Indonesia Baru, (Dian Rakyat, Jakarta), 2010, hal 154 ©Budiman
51
Rekonstruksi Peradaban Islam
Kesimpulan Di atas kita sudah mendiskusikan problem kemunduran peradaban di dunia Islam dan perjumpaan peradaban Barat dan Islam. Juga problem yang dihadapi dalam usaha menyelesaikan posisi inferior dunia Islam dalam pentas dunia.
Bennabi, menyatakan bahwa problem
utama yang dihadapi oleh dunia Islam pada dasarnya adalah problem peradaban. Problem peradaban ini, sebagaimana kita elaborasi di atas, dapat dirumuskan dalam point-point berikut : 1.
Bahwa posisi peradaban Islam saat ini berada
dalam kondisi kemunduran. Kemunduran yang sudah secara internal telah diwarisi sejak beberapa lama (titik sejarah
yang
seringkali
diacu
adalah
keruntuhan
Baghdad dan Kordoba). 2.
Bahwa peradaban Barat memiliki posisi superior
secara
peradaban.
Melalui
pencapaian-pencapaian
prestasi budaya yang mereka hasilkan. ©Budiman
52
Rekonstruksi Peradaban Islam
3.
Perjumpaan antara peradaban Barat dan Islam
adalah perjumpaan yang tidak seimbang, antara posisi superior dan inferior. Walaupun secara internal, secara budaya keyakinan umat Islam tetap tinggi terhadap Islam dan warisan kulturalnya; tetapi ia tidak secara efektif menggerakkan peradaban di dunia Islam. 4.
Adalah merupakan fakta bahwa peradaban barat
saat ini merupakan peradaban yang hegemonik. Budaya peradaban Barat, atau paling minimal teknologi atau produk-produk materialnya, telah dinikmati, dipakai dan membentuk dunia non Barat. Dalam konteks dunia Islam, peradaban Barat bukanlah satu sosok yang berdiri di sana, tetapi ia juga merupakan sosok di sini. Sosok yang merubah sekaligus membentuk wajah dunia Islam kontemporer. Membentuk wajah politik. Membentuk wajah ekonomi, sosial. Maupun membentuk wajah budaya. Hegemoni peradaban barat ini tidak saja berperan membentuk wajah kontemporer dunia Islam tetapi juga (dalam interaksinya) menumbuhkan problemproblem modern yang dihadapi dunia Islam. Hegemoni ©Budiman
53
Rekonstruksi Peradaban Islam
pemikiran barat menumbuhkan problem keyakinan terhadap agama Islam maupun warisan budayanya. Hegemoni ekonomi menumbuhkan problem kemiskinan. Hegemoni budaya menumbuhkan problem budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hegemoni politik menumbuhkan problem kebebasan di dunia Islam. Hegemoni ilmu dan teknologi menumbuhkan problem ketergantungan. 5.
Dunia Islam sendiri memandang Barat secara
ambivalen, antara keinginan untuk mengemulasikan kemajuan material yang dicapai barat dengan kebencian terhadapnya
secara
politik
maupun
ideologi.
Ambivalensi antara suka dan benci. Sehingga secara sederhana kita menyatakan problem peradaban adalah problem terkait dengan bagaimana dunia Islam mampu mengembangkan tata sosial (sebuah konstitusi sosio-moral) yang dinamis, yang mampu menghasilkan prestasi-prestasi budaya yang berakar dalam nilai-nilai orisinalitasnya (Islam). ©Budiman
54
Rekonstruksi Peradaban Islam
Sebuah polemik pernah terjadi antara Malik Bennabi dengan Sayyid Qutb26. Sayyid Qutb pernah berencana menerbitkan buku yang akan membahas tentang menuju masyarakat Islam yang berperadaban. Tetapi kemudian ia merubah menjadi menuju masyarakat Islam, dengan menghilangkan
atribut
berperadaban.
Bennabi
mengkritik
karena
menghilangkan
substansi
ini
permasalahan yang sesungguhnya pada masyarakat Islam. Dalam Ma’alim fi Thariq, Petunjuk Jalan, Sayyid Qutb menyebut seseorang sebagai muslim Perancis
telah
memberikan
kritik
terhadapnya27.
Kemudian ia menjelaskan substansi yang dimaksudkan olehnya,
dalam
pemahamannya
Islam
merupakan
kulminasi sifat beradab manusia atau Islam sendiri sama dengan peradaban. Bagi Qutb hanya masyarakat Islam (yang melaksanakan Islam secara totalitas) saja yang
26
Lihat Fawzia Bariun, Malik Bennabi Sosiolog Muslim Masa Kini, (Pustaka, Bandung), 1998, hal 69-70
27
Sayyid Qutb, Petunjuk Jalan, (Media Dakwah, Jakarta), 2000, hal. 229-230 ©Budiman
55
Rekonstruksi Peradaban Islam
bisa disebut sebagai masyarakat beradab. Karena manifestasi utama dari sifat beradab manusia adalah bebasnya manusia dari semua bentuk perhambahan yang palsu dan hanya berhamba (mengabdi) pada penciptaNya semata. Masyarakat yang tidak menerapkan konsepsi ini dalam kehidupannya adalah masyarakat tidak beradab, atau masyarakat jahiliyah. Polemik di atas menggarisbawahi perbedaan konsepsi peradaban yang dipahami oleh Sayyid Qutb dan Malik Bennabi. Apa yang dirujuk oleh Qutb dengan peradaban adalah nilai-nilai Islam itu sendiri. Sedangkan yang dirujuk oleh Bennabi adalah manifestasi Islam dalam sejarah dan masyarakat. Dalam konteks ini Bennabi memandang
permasalahannya
tidak
terletak
pada
hilangnya secara total komitmen terhadap nilai-nilai Islam. Yang menjadi problem adalah bahwa nilai-nilai itu tidak lagi efektif dalam menggerakkan umat untuk mencapai prestasi peradaban.
©Budiman
56
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bab 2 Konsep Peradaban Berbicara tentang peradaban berarti membicarakan topik yang sangat luas. Luas dari segi jangkauan konseptual maupun penunjukan lokasi fisik maupun sejarahnya. Peradaban merupakan satuan paling luas yang digunakan oleh para ahli sejarah.
Konsep peradaban sendiri
bukannya sesuatu yang sudah disepakati muatan maknanya.
Makna
yang
termuat
dalam
konsep
peradaban ini memiliki banyak sekali gradasi. Tujuan kita dalam bab ini adalah mencoba untuk menelusuri muatan makna yang terkandung dalam konsep peradaban, kemudian menunjuk makna yang akan digunakan dalam kajian ini. Secara umum kita memaknai peradaban dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari istilah civilization dalam bahasa Inggris. Dalam konteks ini peradaban berkonotasi dengan kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) secara lahir dan batin. Berdasar asa-usul bahasanya ©Budiman
57
Rekonstruksi Peradaban Islam
Istilah peradaban sendiri dibentuk dari kata adab (dari bahasa arab) yang didefinisikan sebagai kehalusan dan kebaikan budi pekerti atau kesopanan.28 Kita memahami juga bahwa konsep peradaban pada umumnya
ditempatkan
bersama
dengan
konsep
kebudayaan (yang merupakan terjemahan dari culture dalam bahasa Inggris). Kita akan coba mengurai dua konsep ini dengan terlebih dahulu mencoba mengurai makna yang termuat dalam konsep kebudayaan.
Konsep Kebudayaan Ketika antropolog berbicara mengenai budaya, ia mengacu kepada tindakan maupun hasil tindakan manusiawi
yang
membedakannya
dari
kehidupan
binatang. Pengertian ini merupakan pengertian yang teramat luas yang mengacu kepada totalitas kehidupan 28
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 hal 5 (dikutip dari Supratikno Rahardjo. Peradaban Jawa, Dinamika Pranata Politik, Agama dan Ekonomi Jawa Kuno (Komunitas Bambu, Jakarta), 2002, hal 25.) ©Budiman
58
Rekonstruksi Peradaban Islam
manusia itu sendiri. Kita dapat menyebut kebudayaan di sini sebagai way of life manusia. E.B. Taylor menyatakan kebudayaan
atau
peradaban
adalah
keseluruhan
kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-kebiasaan, dan kapabilitas dan kebiasaan yang dicapai manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Bagi Cliford Geertz, kebudayaan adalah pola-pola makna yang muncul dalam bentuk simbol yang tertransmisikan secara historis; sistem konsepsi yang diwariskan, terekspresikan dalam bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, mengabadikan, dan
mengembangkan
bagaimana
ia
pengetahuan
ber-sikap
tentang
terhadap
dan
kehidupan.
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai jumlah total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya dan yang bisa dicetuskan
oleh
Kebudayaan
manusia
dapat
pula
sesudah
proses
didefinisikan
belajar. sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
©Budiman
59
Rekonstruksi Peradaban Islam
dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Menurut beliau kebudayaan mewujud dalam : 1. Kompleks ide, gagasan, nilai dan norma (sistem nilai atau budaya) 2. Kompleks aktivitas pola kelakuan manusia dalam masyarakat (sistem sosial) 3. Benda-benda (sistem alat dan teknologi)29
Berbeda dengan para antropolog, ketika para sosiolog berbicara tentang kebudayaan, maka yang diacu oleh konsep itu adalah norma, nilai, kepercayaan atau simbolsimbol
ekspresif.
Norma
adalah
cara
manusia
berperilaku dalam masyarakat. Nilai adalah apa yang mereka pegang dengan kuat. Kepercayaan adalah bagaimana mereka berpikir tentang bagaimana semesta berjalan. Simbol-simbol ekspresif adalah representasi dari norma, nilai dan kepercayaan itu. Saat ini pengertian kebudayaan ini ditambahkan juga dengan praktek. Budaya, digunakan untuk mendeskripsikan pola-pola 29
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Rineka Cipta, Jakarta), 1990, hal 186-187 ©Budiman
60
Rekonstruksi Peradaban Islam
perilaku, yang tidak selalu harus terkoneksi dengan nilai atau kepercayaan tertentu. Ada pengertian yang lebih sempit. Dalam pengertian sehari-hari (umum) budaya (culture) mengacu pada produk seni atau sastra. Pada abad 19, banyak intelektual eropa membedakan antara budaya dan masyarakat atau dalam terminologi mereka antara budaya dan peradaban. Peradaban
(tata
sosial)
mengacu
pada
kemajuan
teknologi dan industri (sebagaimana termanifestasikan dalam revolusi industri). Mengkontraskan kebudayaan dengan peradaban dengan demikian merupakan protes terhadap
pemikiran
pencerahan,
protes
terhadap
kepercayaan atas kemajuan, protes terhadap aspek-aspek buruk industrialisasi atau protes atas "cash nexus" dari kapitalisme dimana semua orang dan semua hal dinilai dari berdasar nilai ekonomi (reduksi semua hubungan manusiawi “uang”).
menjadi Peradaban
sekedar dengan
hubungan demikian
pertukaran merusak
kemanusiaan. Jalan pemecahan dari kerusakan itu adalah budaya. Mattew Arnold, menyatakan budaya sebagai ©Budiman
61
Rekonstruksi Peradaban Islam
sebuah studi atas kesempurnaan. Budaya membuat peradaban lebih manusiawi dengan mengembalikan "sweetness and light", keindahan dan kebijaksanaan; yang didapatkan dari (1) kesadaran dan sensitivitas terhadap hal-hal terbaik yang pernah dipikirkan dan diketahui orang dalam seni, sastra, sejarah dan filsafat; (2) pikiran yang tepat (right reason), yaitu pikiran terbuka dan kecerdasan untuk menoleransi. Mattew Arnold,
memahami
budaya
dari
sudut
potensi
pendidikannya. Budaya adalah alat untuk mencapai tujuan, harmoni kehidupan (mencegah materialisme kehidupan
dan
filistinisme)
dengan
mengajarkan
manusia untuk hidup dan menyebarkan nilai-nilai moral. Posisi ini seringkali disebut sebagai posisi Humanities (sebagai hasil terbaik pemikiran dan pengetahuan manusia) dalam memaknai konsep kebudayaan.30
30
Lihat Wendy Griswold, Culture and Culture Diamond, merupakan bab 1 dari bukunya Cultures and Socienty in Changing World, (Pine Forge Press, California), 2008. ©Budiman
62
Rekonstruksi Peradaban Islam
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan konsep kebudayaan bisa mengacu pada tiga makna utama. Pertama, makna yang mengkontraskannya dengan peradaban, kebudayaan sebagai ekspresi nilai terbaik terekspresikan
dalam
sastra,
filsafat
dan
seni;
sedangkan peradaban dimaknai sebagai tata sosial (masyarakat) yang merupakan realitas yang berhadapan vis a vis individu . Ini merupakan sudut pandang humanistik.
Sudut
pandang
pertama
ini
melihat
peradaban sebagai ancaman terhadap budaya. Kedua, makna yang memahami kebudayaan sebagai aspek nilai (norma, kepercayaan) dari kehidupan sosial manusia (sudut pandang sosiologis). Ketiga, sudut pandang yang menyamakan antara kebudayaan dan peradaban (culture dan civilization), kebudayaan sebagai way of life manusia. Peradaban dalam makna ini hanya merupakan atribut tambahan bagi kebudayaan yang telah mencapai kemajuan
ilmu
dan
teknologi
(sudut
pandang
antropologis). Sudut pandang ketiga ini merupakan sudut pandang yang melihat harmonisasi antara budaya dan peradaban (tata sosial masyarakat). ©Budiman
63
Rekonstruksi Peradaban Islam
Konsep Peradaban Civilization berakar
pada kata civitas (kota), civility
(kesopanan). Konsep civilization (peradaban) kemudian dimaknai
sebagai
manifestasi
kemajuan
mekanis
(teknologis), yang mencirikan apa yang digunakan oleh manusia, yang terefleksi pada politik, ekonomi dan teknologi.
Will
Durant
mendefinisikan
peradaban
sebagai tata sosial yang mempromosikan capaiancapaian budaya, civilization is social order promoting cultural creation. Peradaban ini dibangun atas, tata ekonomi, organisasi politik, tradisi moral dan pencarian atas ilmu dan seni. Peradaban dimulai ketika kekacauan dan ketidakamanan sosial berakhir. 31 Dalam bahasa Arab modern, civilization seringkali diterjemahkan sebagai hadharah. Menurut ‘Effat al Sharqawi, terminologi hadharah (kosa kata umum yang seringkali digunakan untuk merujuk pada konsep
31
Will Durant, Story of Civilization I ©Budiman
64
Rekonstruksi Peradaban Islam
peradaban) berakar pada kata hadhara yang berarti hadir, hadir dalam kondisi baik. Di sini termuat indikasi ruang dan kebaikan. Hadharah berarti hidup menetap di kota sebagai lawan dari badw yang berarti desa, dusun, pengembara. Selain itu juga sering digunakan istilah madaniyah, yang terkait dengan aspek-aspek kehidupan kota (madinah)32.
Berdasar makna bahasa ini dapat
disimpulkan hadharah memberi makna-makna berikut pada kita : 1.
Kota,
yang
merupakan
tempat
munculnya
ketinggian ilmu, teknik dan sastra. 2.
Makna ijtima'i (sosial), interaksi antar manusia
yang terefleksikan pada aktivitas tolong menolong, penataan dan organisasi sosial; dalam tempat yang dibatasi (kota). Terkait dengan makna sosial atas peradaban (hadharah) di atas, kita juga mendapati Ibn Khaldun menggunakan terminologi 'umran untuk menggambarkan organisasi 32
Effat Al Shaqawi, Filsafat Kebudayaan Islam ©Budiman
65
Rekonstruksi Peradaban Islam
sosial manusia. Pengertian 'umran menurut Ibn Khaldun ini, dipengaruhi oleh penggunaan akar katanya oleh al Qur'an. Al Qur'an menggunakan akar kata 'amara mengacu pada kemunculan kehidupan sosial pada pada area tertentu sebagai akibat menentapnya satu kelompok manusia (surat Hud 61). Makna kedua (surat Rum 30) mengacu pada konstruksi berbagai fasilitas yang diasosiasikan dengan kehidupan sosial yang maju dan superior. Umran ini dibedakan menjadi 'umran badawi (bedouin culture) dan 'umran hadhari (civic culture). Kehidupan
badawi
dicirikan
oleh
kesederhanaan,
kebebasan, persamaan, keberanian spontan, kegembiraan dan
kohesifitas
('ashabiah).
Kehidupan
hadhari
dicirikan oleh kompleksitas, pembatasan (restriksi), pembedaan (inequality), kemampuan menahan diri (inhibitation), kecanggungan (clumsiness) dan interest pribadi (self interest).33
33
Louay M. Safi, Truth and Reform, Exploring the Pattern and Dynamics of Historical Change, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 51 ©Budiman
66
Rekonstruksi Peradaban Islam
Penggunaan terminologi hadharah oleh Ibnu Khaldun dapat disimpulkan sebagai berikut 34 : 1.
Hadharah adalah nihayatul 'umran, titik omega
(puncak) dari proses organisasi sosial masyarakat. Tahap akhir dari siklus masyarakat, yang ditandai oleh pudarnya solidaritas sosial dan munculnya kemewahan; sebuah titik ujung keburukan dan jauhnya masyrakat dari kebaikan. 2.
Hadharah adalah sirrullahi, rahasia Allah dalam
munculnya fenomena ilmu dan industri, atau sebagai qanun(hukum) yang mengatur pencapaian kemajuan ilmu dan teknologi. Ibnu Khaldun menggunakan makna ini ketika menjelaskan kemajuan ilmu dan industri yang dicapai oleh orang-orang Persia. Secara sejarah penggunaannya di era modern konsep civilized, beradab pada dasarnya adalah konsep yang 34
Badrane Benlahcene, Fi Mafhu al Hadharah (http://drbadrane.com/?p=109 ) ©Budiman
67
Rekonstruksi Peradaban Islam
menegaskan jati diri sebuah bangsa yang membedakan dengan bangsa lain. Kita sering mendapati istilah-istilah yang merupakan kontras dari peradaban misalnya biadab, barbar, liar, buas. Dalam sejarah penggunaannya konsep peradaban, dalam makna modernnya, adalah penemuan budaya Barat (Eropa). Pada awalnya ia mencerminkan sebuah ideologi. Baik ideologi kolonial maupun ideologi bagi identitas Eropa. Sebagai ideologi kolonial,
ia
merupakan alasan yang digunakan untuk melakukan ekspansi kolonial maupun mempertahankan eksistensi kolonial mereka atas bangsa-bangsa lain. Dalam hal ini kolonisasi, imperalisasi merupakan cara untuk mengadabkan bangsa lain. Sebagai ideologi bagi identitas Eropa, ia merupakan cermin dari kekhasan kamajuan yang dicapai Eropa modern (Barat pada umumnya) jika dibandingkan
dengan
bangsa-bangsa
lain
maupun
dibandingkan dengan sejarah Eropa masa silam.35
35
Civilization and Its Contents ©Budiman
68
Rekonstruksi Peradaban Islam
Antara Peradaban dan Kebudayaan Sebagaimana telah diuraikan di atas, pengertian sebagian pakar menyamakan antara peradaban dan kebudayaan (dan memakai salah satu konsep saja untuk menguraikan pandangannya).
Tetapi
secara
umum
kita
dapat
mengihtisarkan perbedaan antara budaya dan peradaban sebagai berikut : 1.
Peradaban (hadharah, civilization) berakar pada
ide tentang kota. Kemajuan
material (ilmu dan
teknologi), aspek kehalusan, penataan sosial dan aspek kemajuan lain. 2.
Kebudayaan (culture, tsaqafah) berakar pada ide
mengenai nilai, tujuan, pemikiran yang ditransmisikan melalui ilmu, seni dan agama suatu masyarakat 3.
Ide utama yang terkandung dalam peradaban
adalah
kemajuan,
perkembangan
(progress
and
development). Tetapi sebuah masyarakat selalu memiliki nilai-nilai, pemikiran-pemikiran dasar yang tetap, yang ©Budiman
69
Rekonstruksi Peradaban Islam
menjadi identitas kulturalnya. Nilai-nilai yang tidak hilang begitu saja ketika sebuah peradaban mundur atau hancur. Yang terjadi adalah nilai-nilai itu menjadi tidak efektif secara sosial. 4.
Sebuah peradaban mengalami siklus dalam ruang
dan waktu. Ia mengalami pasang dan surut. Sedang kebudayaan lepas dari kontradiksi ruang dan waktu. Ia memiliki ukuran tersendiri (ukuran benar salah, tepat tidak atau berguna tidak) di dunia pemikiran.
Pandangan Bennabi Tentang Peradaban dan Kebudayaan Walaupun secara konseptual berbeda, peradaban maupun kebudayaan tetaplah merupakan manifestasi eksistensi sosial manusia. Pembedaan ini
hanyalah pembedaan
analitik dalam meninjau atau memahami fenomena eksistensi sosial manusiaw. Budaya menampilkan aspek ekspresif, sedangkan peradaban
menampilkan aspek
relasional kehidupan manusia. Pembedaan ini tidak ©Budiman
70
Rekonstruksi Peradaban Islam
menjadikan aspek-aspek ini terpisah. Aspek-aspek ini saling berinterelasi dalam kehidupan sosial manusia, sebagaimana interelasi antara aspek mental dan material dalam diri manusia (individual). Dalam keterhubungan yang interaktif inilah Bennabi memahami
kebudayaan
dan
peradaban.
Bennabi
memandang peradaban (hadharah) sebagai totalitas kondisi etis (moral) dan material yang memungkinkan sebuah masyarakat memberikan garansi sosial bagi individu-individu didalamnya untuk berkembang dan memainkan
peran
kesejarahannya.
Dari
sini
kita
mengerti bahwa Bennabi memahami peradaban dari aspek
struktural,
fungsional
dan
dinamika
kesejarahannya. Kebudayaan
(tsaqafah)
bagi
Bennabi
merupakan
jembatan yang dilalui oleh masyarakat menuju kemajuan (peradaban), sekaligus pagar yang melindungi individu dari keterpelantingan. Bennabi memberikan tamsil mengenai fungsi budaya dalam sebuah peradaban ©Budiman
71
Rekonstruksi Peradaban Islam
semisal fungsi darah yang mengedarkan makanan bagi sel-sel tubuh. Darah ini juga memiliki komponen sel darah putih yang berperan dalam menghadapi serangan kuman penyakit. Budaya, seperti darah, membawa pemikiran dan nilai untuk disalurkan kepada anggota masyarakatnya, dan memberinya inspirasi dan kekebalan (pemikiran). Kebudayaan juga adalah atmosfer kognitif
yang
memberi seorang individu dalam sebuah masyarakay orientasi dan model; yang kemudian menstimulasi imajinasinya,
menginspirasi
kejeniusannya,
serta
menggerakkan fakultas kreatifnya. Individu-individu dalam masyarakat (secara
formal),
tidak mempelajari kebudayaan tetapi
dia
menghirup
dan
mengasimilasikannya melalui atmosfe kognitif ini. Definisi Bennabi ini melingkupi dimensi ketidaksadaran sebuah budaya yang terinternalisasi dalam individu. Definisi ini juga tidak mereduksi kebudayaan menjadi sekedar ilmu (sains). Budaya selalu menghasilkan sains tetapi
tidak
©Budiman
selalu
sains
menghasilkan
budaya. 72
Rekonstruksi Peradaban Islam
Kebudayaan adalah teori pendidikan, pembentukan perilaku,
bukan
teori
ilmu.
Kebudayaan
adalah
noosphere (atmosfer gagasan/ide). Definisi budaya yang diungkapkan Bennabi di atas merupakan hasil refleksi kritis Bennabi terhadap pengertian kebudayaan yang umum dipahami. Bennabi menilai pengertian budaya yang umum digunakan orang terpeta
ke
dalam
dua
kategori,
kategori
yang
menekankan primasi (pengutamaan) individu, yaitu perspektif
Humanisme-Liberal
menekankan
primasi
Marxis-Sosialis).
dan
masyarakat,
Perspektif
kategori
yang
yaitu
perspektif
humanis,
liberalis
menyatakan budaya sebagai produk mental manusia. Dalam perspektif ini budaya ditinjau sebagai hasil refleksi dari subjektifitas (kesadaran)
manusiawi.
Sedangkan perspektif Marxis menekankan primasi masyarakat, dengan menyatakan kebudayaan adalah hasil/refleksi dari basis material dan struktur ekonomi masyarakat. Dalam perspektif ini budaya ditinjau
©Budiman
73
Rekonstruksi Peradaban Islam
sebagai faktor objektif (material) yang mendeterminasi kesadaran manusia. Bagi Bennabi kedua perspektif budaya itu tidak mencukupi bagi dunia Islam. Bagi Bennabi budaya perlu dipahami secara rekonstruktif alih-alih secara deskriptif semata-mata. Budaya perlu dipahami dari perspektif yang berusaha membentuk atau merekonstruksi realitas sosial, bukan semata-mata memahami realitas yang ada. Aspek
rekonstruktif budaya
itu mestilah
bersifat
pedagogis (mendidik). Primasi antara individu atau masyarakat dalam mendefinisikan budaya bagi Bennabi bukanlah hal yang bertentangan, keduanya adalah aspek kehidupan manusia. Yang ada sesungguhnya adalah dualitas alih-alih dualism. Definisi-definisi di atas merupakan refleksi dari aspek psiko-ideasional dan aspek objektif-struktural dari kebudayaan. Aspek-aspek kebudayaan dari perspektif pedagogik itu, menurut Bennabi,
meliputi
©Budiman
Etika
(dustur
khuluqi),
74
Rekonstruksi Peradaban Islam
Estetika(dzauq jamali), Pragmatik (mantiq ‘amali), Industri/Teknik(shina’ah)36.
Kesimpulan Berdasarkan refleksi yang kita gunakan di atas dapat disimpulkan makna-makna berikut terhadap konsep peradaban yang diacu oleh kajian ini. Peradaban adalah: 1.
Derajat perkembangan budaya, taraf kemajuan
yang ingin dicapai oleh realisasi kebudayaan masyarakat. Ini
mengacu
pada
pencapaian-pencapaian
ilmu,
teknologi, ekonomi maupun sistem sosial. Ide utama yang melatarinya adalah kemajuan. 2.
Tatanan sosial, sistem sosial yang merupakan
syarat untuk merealisasikan prestasi (capaian-capaian) kebudayaan.
Ini
mengacu
pada
struktur
maupun
36
Keterangan lebih lanjut mengenai unsur-unsur kebudayaan ini, bisa dilihat pada bab 4 ©Budiman
75
Rekonstruksi Peradaban Islam
dinamika
sosial
yang
melatari
dimungkinkannya
pencapaian prestasi-prestasi kebudayaan. 3.
Proses menata aspek kejiwaan manusia hingga
dapat
membangun
hubungan
harmonis
dengan
sesamanya (civility). Ini mengacu pada aspek bagaimana aspek-aspek kejiwaaan manusia distrukturisasi sehingga memungkinkan kerjasama sosial berjalan dengan baik.
©Budiman
76
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bab 3 Pendekatan Peradaban
Peradaban mengalami siklus dalam waktu. Keruntuhan peradaban merupakan fakta sejarah yang banyak kita temui. Fenomena ini tidak saja menarik bagi para pemikir modern. Para pemikir masa lampau pun berusaha memahami fenomena ini. Ini memberikan pada kita keinsafan
bahwa
perspektif
peradaban
telah
dikembangkan oleh banyak ilmuwan sejak lama. Pada bagian ini kita akan menelusuri beberapa pendekatan peradaban yang dilakukan oleh beberapa ilmuwan. Pertama kita akan mencoba mendeskripsikan teori peradaban Ibn Khaldun, yang pemikirannya mengalami momentum peng-kajian di era modern ini. Kemudian kita akan mengurai secara ringkas teori peradaban yang dikembangkan Guizot, tokoh politik Prancis abad 19 yang pemikirannya memberikan pengaruh pada Bennabi (tokoh yang pemikirannya kita dalami secara mendalam dalam beberapa bab mendatang) ©Budiman
77
Rekonstruksi Peradaban Islam
dan Fukuzawa Yukichi. Fukuzawa Yukichi adalah salah satu
ilmuwan
Jepang
era
Meiji
yang
berusaha
memecahkan dilema kemajuan (peradaban) yang dicitacitakan dengan mempertahankan semangat Jepang. Dilema yang sudah kita ungkapkan dalam bab 1, dilema antara kemajuan dan keaslian. Menarik untuk memahami pengalaman Jepang dalam usaha memecahkan problem peradaban ini. Para pemikir muslim, Syakib Arsalan (juga Bennabi sendiri) misalnya seringkali merujuk pada pengalaman Jepang terkait. Apalagi saat ini Jepang dapat dikategorikan
sebagai negara maju yang berhasil
menyintesiskan, pada derajat tertentu, tradisi mereka dengan kemajuan ilmu-teknologis barat. Arnold Toynbee, ilmuwan sejarah yang terkenal dengan teori challengeand-response akan menjadi tokoh terakhir untuk kita kaji pendekatan peradabannya pada bab ini.
©Budiman
78
Rekonstruksi Peradaban Islam
Teori Peradaban Ibn Khaldun Ibn Khaldun merupakan salah satu ilmuwan klasik Islam yang paling banyak dibicarakan di era modern. Muqaddimah, karyanya yang monumental,
telah
menjadi trademark baginya. Para ahli terpecah menjadi dua ketika menyematkan atribut pengasas atau peletak dasar sebuah bidang ilmu baru kepada Ibn Khaldun. Satu golongan menisbatkan pengasas ilmu sosiologi kepadanya, para penisbat ini sebagian besarnya adalah tokoh muslim dan atau arab37. Sedang golongan lain menyebut Ibn Khaldun sebagai peletak dasar filsafat sejarah38. Terlepas dari nuansa defensif penyebutan Ibn Khaldun sebagai penemu sosiologi atau menyebut dia sebagai peletak dasar
37
Lihat Ali AbdulWahid Wafi, Ibnu Khaldun, Riwayat dan Karyanya (Grafiti Press, Jakarta), 1985
38
Lihat Zaenab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun (Pustaka, Bandung), 1987. Lihat juga, Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah (Terj. An Arab Philosophy of History oleh Mukti Ali) (Tintamas, Jakarta), 1972
©Budiman
79
Rekonstruksi Peradaban Islam
filsafat sejarah, Ibn Khaldun sendiri menyebut ilmu penemuannya sebagai 'ilm al ‘umran (ilmu peradaban/ ilmu sosial-budaya), yang mengkaji fenomena-fenomena peradaban (sosial budaya) manusia. Bagi Ibn Khaldun 'ilm al ‘umran ini berfungsi sebagai alat bantu bagi sejarah. Sehingga bahasannya meliputi sosiologi dan filsafat sejarah (dalam terminologi modern). Ibn Khaldun menyatakan bahwa sejarah pada hakikatnya adalah catatan mengenai umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada watak masyarakat (peradaban) itu. Manusia bersifat madaniyah (politis,
sipil)
menurut
tabiatnya,
karenanya
ia
membutuhkan organisasi sosial. Perbedaan organisasi sosial manusia adalah akibat perbedaan cara memperoleh penghidupan (ekonomi). Perbedaan cara memperoleh penghidupan berkembang seturut waktu (berubah). Sehingga
organisasi
sosial
manusia
(masyarakat)
berbeda-beda dan mengalami perubahan. Masyarakat nomadik (badawah, badui, pengembara, rural, desa) adalah organisasi sosial awal. Mereka mencukupkan diri ©Budiman
80
Rekonstruksi Peradaban Islam
menurut kebutuhan primer mereka. Jika kebutuhan mendasar
ini
terpenuhi
barulah
mereka
mencari
kemewahan, hidup enak. Kemudian berlangsunglah urbanisasi (tamadun), pengkotaan. Secara etis golongan pengembara lebih berani, lebih baik dibandingkan penduduk kota. Kondisi sosial perkotaan membentuk kecenderungan untuk bertindak korup. Dari sisi etis, proses urbanisasi adalah degradatif. Konsep kunci yang diajukan Ibn Khaldun untuk memahami ashabiah
proses
perubahan
(solidaritas
sosial
masyarakat atau
kohesi
adalah sosial).
Solidaritas sosial (ashabiah) ini menyatukan orang untuk
meraih
tujuan
yang
sama,
juga
untuk
mengendalikan masyarakat. Ashabiah terbentuk pada awalnya dari pertalian darah. Tetapi ia juga terbentuk dari perserikatan, persekutuan dan kesetiaan sosial. Tujuan ashabiah pada akhirnya adalah tercapainya kedaulatan (al mulk, kekuasaan, otoritas politik). Sebuah kedaulatan dijaga tegaknya oleh ashabiah. Setelah kedaulatan dicapai, ashabiah bisa ditinggalkan, karena ©Budiman
81
Rekonstruksi Peradaban Islam
kedaulatan politik kemudian menjadi sesuatu yang given bagi masyarakat kemudian. Masyarakat
pengembara,
badui
dapat
mencapai
kedaulatan hanya melalui agama. Agama berfungsi untuk menundukkan karakter psikologi badawah (nafsu, irihati, kebringasan, kekerasan, dsb). Tetapi dakwah keagamaan juga membutuhkan solidaritas sosial untuk berhasil. Puncak kedaulatan, sebagai tujuan solidaritas sosial adalah negara. Negara akan memiliki wilayah luas dan kedaulatan yang kuat jika mendasarkan pada agama. Merupakan watak yang alamiah, negara(kerajaan) akan memusatkan
kekuasaan
pada
tangan
satu
orang
(golongan), juga merupakan watak alami negara, ia menimbulkan kemewahan dan menumbuhkan sifat menurut dan malas. Pemusatan kekuasaan pada satu tangan dan meratanya kemewahan dan sifat malas merupakan indikasi kehancuran negara. Negara (kerajaan) memiliki umur, sebagaimana manusia. Siklus negara terdiri dari tiga generasi (120 tahun). ©Budiman
82
Rekonstruksi Peradaban Islam
Generasi pertama hidup dalam badawah yang keras dan jauh dari kemewahan, penuh dengan watak positif pengembara, ashabiah yang menyatukan masyarakat sangat kokoh dan memberi kekuatan dan kesanggupan untuk menguasai bangsa lain. Generasi kedua, generasi ini berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, terjadi peralihan dari badawah kepada hadharah (kota). Kemewahan mulai muncul, rasa puas dengan apa yang dimiliki melonggarkan ashabiah. Rasa rendah dan suka menyerah juga mulai tampak. Generasi ketiga, generasi ini telah lupa pada peringkat hidup nomadik dan hidup kasar. Kemewahan telah merusak, karena besar dalam hidup yang senang dan gampang. Pada generasi ketiga ini negara mulai meluncur turun. Hingga nantinya negara hancur. Kehancuran
sebuah
negara
menjadi
titik
anjak
munculnya negara baru. Negara baru ini tidak dibangun dari nol. Tetapi berdasar pada pencapaian-pencapaian negara sebelumnya (yang telah hilang dari putaran sejarah). Kemudian siklus dimulai kembali. Pola siklus ©Budiman
83
Rekonstruksi Peradaban Islam
yang sama dengan tingkat peradaban negara yang berbeda-beda. Jadi pola siklus tidak melingkar, namun spiral. Dari keterangan di atas konsep tampak adanya proses dialektika yang antara sisi interior dan eksterior peradaban (menggunakan terminologinya Guizot, lihat keterangan di bawah). Etika menentukan perkembangan organisasi sosial mansyarat, kemudian organisasi sosial masyarakat
yang
berkembang
juga
memberikan
pengaruh kepada etika individu. Etika tertentu, semisal keberanian,
kejujuran,
kebaikan
mempengaruhi
pembentukan negara pada tahap awalnya, kemudian pada tahap ketika negara sudah terbentuk dimana kondisi ekonomi-sosil mencapai kemakmuran, sisi etika individu umumnya
terpengaruh
menjadi
mudah
korup,
menggampangkan, cenderung bermewah-mewah; yang bisa memicu krisis yang menstimulasi keruntuhan.
©Budiman
84
Rekonstruksi Peradaban Islam
Teori Peradaban Guizot Guizot (lengkapnya François Pierre Guillaume Guizot) merupakan sejarawan Prancis, yang pernah menjadi perdana menteri pada abad 19. Eksposisi mengenai pemikiran Guizot di sini mengacu pada kuliah awalnya mengenai peradaban yang dibukukan dalam buku General History of Civilization in Europe (aslinya dalam bahasa
Prancis).
Pemikiran
Guizot
ini
cukup
berpengaruh pada pemikiran Bennabi (tokoh yang akan kita eksplorasi pemikirannya pada bab-bab mendatang) dan pemikiran Fukuzawa Yukichi, pemikir Jepang era Meiji
(keterangan
mengenai
pemikiran
Fukuzawa
setelah pembahasan ini). Guizot menekankan bahwa mempelajari sejarah adalah mempelajari fakta-fakta. Peradaban adalah sebuah fakta. Dari persepektif filsafat sejarah mempelajari sejarah adalah mempelajari keterkaitan antar peristiwa, rantai yang
menghubungkan
mereka
(sebab
dan
hasil
peristiwa). Peradaban sebagai sebuah fakta sejarah adalah fakta umum (general, luas), kompleks dan ©Budiman
85
Rekonstruksi Peradaban Islam
tersembunyi. Peradaban adalah pasar besar umat manusia, dimana elemen-elemen kesejahteraan mereka ditempatkan. Apa
makna
peradaban
?
Guizot
menggunakan
pendekatan negatif untuk mengenali muatan makna dari kata peradaban. Peradaban bukanlah lingkungan fisik yang
mudah,
dimana orang
diperlakukan
seperti
kawanan ternak yang secara fisik membahagiakan, tetapi tanpa aktivitas intelektual dan moral. Peradaban juga bukan sekedar lingkungan fisik yang nyaman dengan derajat tertentu perkembangan gagasan moral, intelektual tetapi dibatasi pada taraf pemikiran tertentu, tidak boleh melebihinya; tidak ada mobilitas di dalamnya, dan iklim penuh dengan penindasan. Mungkin saja setiap orang mempunyai kebebasan, tetapi tidak terkoneksi dengan masyarakatnya, ide individu bebas tetapi terasing dari ranah sosial. Ini juga bukan makna peradaban yang diinginkan. Bagi Guizot ide utama dari kata peradaban (civilization) adalah gagasan tentang kemajuan (progress), tentang ©Budiman
86
Rekonstruksi Peradaban Islam
perkembangan (development). Sebuah gagasan tentang manusia dalam arah peningkatan dan perbaikan. Apa itu kemajuan (progress) ? Gagasan utama konsep kemajuan berkonotasi dengan kemajuan masyarakat, peningkatan kondisi sosial, penyempurnaan relasi sosial antar manusia, kesejahteraan sosial dan kekuasaan. Ini adalah aspek luar, organisasi fisik masyarakat. Tetapi batasan ini terlalu dangkal, manusia ada untuk martabat yang lebih tinggi dari ini. Ide lain yang dibawa dalam muatan kata peradaban adalah ide mengenai perkembangan individu, perkembangan pemikiran dan fakultas (kecakapan) manusia. Singkatnya adalah perkembangan manusia itu sendiri. Oleh karena itu ada dua elemen penting yang terkandung dalam fakta peradaban, ini juga merupakan dua kondisi perlu untuk eksistensinya; perkembangan (progress) masyarakat dan perkembangan individu; peningkatan sistem sosial dan perluasan pemikiran dan kecakapan manusia. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa epik sejarah adalah kisah tentang individu dan kemajuan sosial; ©Budiman
87
Rekonstruksi Peradaban Islam
sejarah tentang perubahan manusia individual (aspek interior); pemikirannya (mentalitasnya) atau tentang kondisi
eksterior,
situasi
lingkungannya.
Sejarah
kristianitas pada seratus tahun pertama adalah sejarah promotor peradaban, karena perubahan yang terjadi pada kondisi interior manusia, pada opini, intelektual dan karakternya. Pada sisi lain, dari sejarah bangsa-bangsa kita
juga
menemukan
perubahan-perubahan
yang
menimpa aspek eksterior, kondisi luar manusia yang kemudian membentuk krisis dalam sebuah peradaban. Dua aspek ini saling terhubung dan mempengaruhi. Dengan demikian, sejarah sebuah peradaban dapat dipandang dari dua sudut pandang. Sejarawan bisa meninjau, meneliti, mendeskripsikan, dan mencari keterkaitan sejarah pada transformasi, revolusi pada sisi intelektual manusia. Atau dia bisa mengambil arah berbeda, daripada mendeskripsikan perubahan ide, sentimen individu, ia dapat mendeskripsikan lingkungan, peristiwa, revolusi dari kondisi sosial yang ada.
©Budiman
88
Rekonstruksi Peradaban Islam
Mana di antara dua aspek, sosial dan individual, tadi yang jadi tujuan dan menjadi sarana ? Guizot hanya menjawab dengan mengutip pendapat bahwa individu lebih memiliki martabat tinggi dibandingkan negara.
Teori Peradaban Fukuzawa Yukichi39 Pembukaan politik isolasi Jepang pada pertengahan abad 19 memberikan tantangan tersendiri bagi bangsa Jepang. Tantangan itu terumuskan dalam pertanyaan, bagaimana Jepang mempertahankan kemerdekaannya ? Pembukaan
39
Eksposisi mengenai teori peradaban Fukuzawa Yukichi di sini mengacu pada sumber-sumber berikut. Fukuzawa Yukichi, Jepang di antara Feodalisme dan Modernisme, terj. Gokumen no susume oleh Arifin Bey, (Pantja Simpati, Jakarta), 1980. Abdul Jabar Beg, Perspektif Peradaban (Pustaka, Bandung), 1986, hal 3-14 .Nishikawa Shunsaku, Fukuzawa Yukichi, artikel yang diunduh dari publikasi UNESCO tentang para pemikir pendidikan 2008 (http://www.ibe.unesco.org/publications/ThinkersPdf/fukuzawe. pdf ). Serta Alan Macfarlane, Yukichi Fukuzawa and The Making of The Modern World , ebook.
http://alanmacfarlane.com/FILES/ebooks.html ©Budiman
89
Rekonstruksi Peradaban Islam
politik isolasi dan interaksi terhadap dunia Barat memberikan pula kesadaran bahwa kemajuan Jepang kalah jika dibandingkan dengan kemajuan peradaban Barat. Ini adalah posisi inferior dibandingkan dengan posisi Amerika, Inggris ataupun Belanda. Bagi Fukuzawa Yukichi untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Jepang langkah yang perlu diambil adalah Jepang
harus
membangun
peradabannya.
Pada
peradaban itulah terletak kemerdekaan. Apakah peradaban itu ? Fukuzawa menyatakan bahwa peradaban tidak diukur dari tingkat kesejahteraan material (kekayaan negara dan rakyatnya), tetapi ia adalah peningkatan pengetahuan dan pengembangan kebaikan untuk membawa kehidupan manusiawi ke posisi lebih tinggi. Jadi peradaban meliputi pencapaian kesejahteraan
material
sekaligus
peninggian
spirit
manusiawi. Karena esensi kesejahteraan dan kemajuan adalah pengetahuan dan kebajikan, maka peradaban berarti
©Budiman
kemajuan
aspek
pengetahuan
90
Rekonstruksi Peradaban Islam
(kecerdasan/intelligence)
dan
kebajikan
manusia
(moralitas). Fukuzawa mengembangkan model berikut tentang masyarakat, berdasarkan tingkat peradabannya. Pertama adalah yaban, komunitas biadab, dan suku-suku primitif sebagai contohnya. Selanjutnya, hankai, orang China dan Jepang sebagai contoh. Pada masyarakat hankai, literatur mulai berkembang walaupun tidak memiliki ketertarikan untuk meneliti dunia natural, tidak memiliki ide orisinal untuk menemukan sesuatu dan belum mampu
mengkritisi
bermasyarakat.
dan
Ketiga,
meningkatkan bunmei,
tata
laku
masyarakat
berperadaban yang memiliki kualifikasi yang tidak dimiliki masyarakat hankai. Bagaimana
peradaban
dibangun
?
Melalui
penguasaannya dalam bahasa Belanda dan Inggris, Fukuzawa banyak mempelajari literatur tentang political economy. Dia juga mempelajari teknologi-teknologi baru yang datang dari peradaban Barat. Ia juga mempelajari fisika dan kimia. Sehingga dalam perjalanannya ke Barat ©Budiman
91
Rekonstruksi Peradaban Islam
(Eropa dan Amerika) sisi-sisi teknologi dan pengetahuan alam bukanlah faktor-faktor yang mengejutkan baginya. Semua
bisa
dikembalikan
ke
dalam
akar-akar
pengetahuan yang telah dipelajarinya. Pelayarannya ke Amerika dalam rombongan duta memberikan perspektif baru baginya. Tidak ada yang mengejutkan baginya tentang kemajuan teknologi yang dicapai Amerika. Yang mengejutkannya justru adalah situasi sosial. Kemajuan material di sana berdiri di atas landasan sosial yang dinamis pula. Dalam perjalanannya kemudian ke Eropa selama setahun, justru ia mulai memperhatikan institusiinstitusi
sosial
mempertanyakan
yang
berkembang
detail-detail
di
sana.
Ia
lembaga-lembaga
itu
(bagaimana semua bekerja); parlemen, bank, sekolah, rumah sakit, gudang senjata, tambang dsb. Ia menyadari bahwa perubahan revolusioner dalam pengetahuan dan cara berpikir rakyat adalah penting untuk kemajuan. Peradaban tidak dicapai sekedar dengan membeli mesin dan peralatan tetapi mendidik pemuda-pemuda berbakat. Kapal
perang
yang
lengkap
tidak
cukup,
ia
membutuhkan ahli navigasi, ahli teknik mesin, ahli ©Budiman
92
Rekonstruksi Peradaban Islam
persenjataan sebagaimana ia juga membutuhkan ahli geografi, matematika, fisika, kimia, dokter yang bekerja di balik kebutuhan pragmatis sebuah kapal. Kemajuan membutuhkan kondisi sosial sebagai syaratnya. Atau sebuah "batu penjuru dan pilar-pilar utama, jaringan sosial yang tidak terlihat (intangible social network) yang membentuk masyarakat berperadaban". Dalam Gokumon no Susume (An encouragement of learning) Fukuzawa mendiskusikan secara populer dua aspek peradaban di atas, pengetahuan dan moralitas. Ia memulai dengan kenyataan bahwa pada dasarnya semua orang diciptakan sama, yang membuat perbedaan kemudian adalah pendidikan. Usaha menuntut ilmu yang dibutuhkan, bagi Fukuzawa adalah yang memberikan manfaat praktis baginya, yang memberi bekal untuk kemandirian dan kemerdekaan pribadi. Pola menuntut ilmu yang tidak praktis ada pada tempat kedua. Ilmuilmu praktis itu meliputi baca dan tulis, kemahiran matematis, ilmu bumi, fisika, ekonomi, sejarah, akhlak. Orientasi menuntut ilmu yang bisa memberi manfaat ©Budiman
93
Rekonstruksi Peradaban Islam
sosial
bukan
sekedar
menuntut
ilmu
untuk
kemamkmuran pribadi semata, tetapi menuntut ilmu yang berorientasi pada kontribusi pada masyarakat (peradabannya). Aspek
moralitas
terpenting
bagi
pembangunan
peradaban adalah kebebasan. Fukuzawa menekankan bahwa kebebasan pribadi menopang kebebasan bangsa. Peradaban
tidak
bisa
dibangun
sekedar
dengan
mengimpor bentuk fisik peradaban. Sebuah peradaban memiliki
spirit
atau
jiwa
peradaban.
Fukuzawa
mengemukakan spirit yang menjiwai peradaban barat adalah spirit kebebasan. Kemerdekaan bangsa berakar pada kemerdekaan (kebebasan) pribadi. Tantangan untuk mengembangkan kebebasan pribadi ada pada jiwa feodalisme yang masih bercokol. Aspek-aspek patologis dari feodalisme menghalangi pengembangan peradaban (baru). Jiwa membudak, kebiasaan-kebiasaan negatif penghormatan terhadap orang yang dianggap lebih atas, penggunaan instrumen kekerasan untuk mengatur rakyat, penjinakan rakyat dengan hukuman-hukuman; adalah ©Budiman
94
Rekonstruksi Peradaban Islam
beberapa aspek negatif feodalisme. Tatanan feodal menggarisbawahi bahwa manusia diciptakan tidak setara. Peradaban
baru
menggarisbawahi
setiap
manusia
diciptakan sama. Jiwa feodal yang masih dipraktekkan menyuburkan kemunafikan sosial; korupsi, kolusi dan nepotisme. Memerintah dengan kekerasan (despotik) menyuburkan rasa takut pada rakyat, yang justru menghalangi kemajuan sektor pemerintahan. Apa strategi yang bisa digunakan untuk memulai proses peradaban ? Fukuzawa menilai pemerintahan reformasi Meiji ketika itu masih mengidap budaya negatif feodalisme Jepang dari masa-masa sebelumnya. Pada sisi lain rakyat kebanyakan juga masih memiliki budaya feodalisme itu. Peradaban modern dibangun di atas tiga landasan, ilmu pengetahuan, wiraswasta dan hukum. Pemerintah menelurkan hukum. Ahli ilmu (katakanlah seperti teknolog) memberi kemampuan mencipta secara fisik. Tetapi jika jiwa usang budaya lama masih tetap ada pemerintah bisa menjadi despotik dan para teknolog bisa berkolaborasi dengan pemerintah despotik sekedar untuk ©Budiman
95
Rekonstruksi Peradaban Islam
mencari kemamkmuran personal. Pangkalan utama untuk mengembangkan peradaban ada pada sektor swasta. Pada sektor inilah kecedekiaan berperan. Di sini jugalah terletak kelas menengah. Para cendekiwan berperan untuk memberi arah bagi peradaban. Dalam terminologi
modern,
memulai
proses
peradaban
berpangkal pada membangun masyarakat sipil yang bebas yang tidak disubordinasi oleh pemerintah.
Teori Peradaban Toynbee40 A. J. Toynbee adalah sejarawan modern yang mencoba membahas secara komparatif kemunculan, pertumbuhan, kemunduran dan keruntuhan peradaban-peradaban dunia. 40
Eksposisi terhadap teori peradaban Toynbee ini mengacu pada sumber-sumber berikut. Pitirim A. Sorokin, Toynbee's Philosophy of History, dalam Pattern of The Past. Can we determine it ?, (The Beacon Press, Boston) 1949. Juga Pieter Geyl , Toynbee's System of Civilization, dalam Pattern of The Past. Can we determine it ?, (The Beacon Press, Boston) 1949; Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Rineka Cipta, Jakarta), 1993 ©Budiman
96
Rekonstruksi Peradaban Islam
Karyanya, A Study of History, mencapai dua belas jilid. Bagi Toynbee, peradaban adalah unit nyata dari sejarah. Dia menganalisis, dua puluh satu peradaban, empat peradaban abortif (mati di tengah jalan) dan lima peradaban terpenjara (tidak bergerak dari fase awal peradabannya). Seperti Ibnu Khaldun, yang disebutnya sebagai
“genius Arab”,
Toynbee
melihat
sebuah
peradaban mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, kemandekan dan kehancuran. Problem pertama, bagaimana peradaban lahir ? Apa yang
menyebabkan
sebagian
masyarakat
(seperti
masyarakat primitif) menjadi statik sejak tahap awal keberadaannya, sedangkan masyarakat lain mencapai taraf peradaban ? Jawaban Toynbee, kelahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau lingkungan fisik (geografis). Mekanisme kelahiran sebuah peradaban terformulasi dalam proses saling mempengaruhi dari tantangan
dan
tanggapan
(challenge-and-response).
Lingkungan menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi dengan sukses ©Budiman
97
Rekonstruksi Peradaban Islam
tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul, diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. Proses ini terus berjalan. Masyarakat berada dalam proses bergerak terus dan gerak tertentu membawanya kepada tingkat peradaban. Apa
bentuk
tantangan-tantangan
atau
rangsangan
lingkungan yang melahirkan peradaban ini ? Negeri yang ganas (hard country), tanah baru (new ground, karena migrasi misalnya), tanah yang diperebutkan (blows, dengan demikian yang rentan terjadinya perang), kawasan tertindas atau penuh tekanan (pressures, menunjukkan situasi ancaman dari luar), dan kawasan hukuman
(penalization,
hukuman
sosial,
tempat
pembuanganl). Pertanyaanya
kemudian,
mengapa
dan
bagaimana
beberapa masyarakat gugur dalam proses peradabannya dan beberapa yang lain terperangkap pada taraf permulaan saja, sedangkan yang lain tumbuh menjadi peradaban yang penuh elan ? Menurut Toynbee untuk ©Budiman
98
Rekonstruksi Peradaban Islam
menjawab ini perlu ditegaskan dulu makna dari pertumbuhan (growth) dan gejala-gejalanya. Dalam pemikiran Toynbee, pertumbuhan peradaban tidak diukur dari ekspansi geografis masyarakatnya (bagi Toynbee kebalikannya malah valid, kemunduran peradaban dimulai dengan
ekspansi
geografis).
Pertumbuhan
peradaban juga tidak diukur dari kemajuan teknologinya. Pertumbuhan terdiri dari determinasi diri atau artikulasi diri ke dalam yang progresif dan kumulatif, dan simplifikasi
aparatus
dan
teknik
peradabannya
(diferensiasi masyarakat). Proses ini disebut Toynbee sebagai etherialisasi. Dari aspek hubungan intrasosial dan antar individu, pertumbuhan adalah tanggapan tak kenal henti dari minoritas kreatif terhadap tantangantantangan lingkungan
yang ada. Peradaban yang
berkembang membentangkan potensi dominannya (yang menjadi
ciri
khas
peradabannya);
estetika
pada
peradaban Hellenik, religius pada peradaban India dan Hindu, saintifik mekanistik pada peradaban Barat, dsb.
©Budiman
99
Rekonstruksi Peradaban Islam
Problem ketiga, bagaimana dan mengapa peradaban jatuh, terdisintegrasi dan hancur ? Peradaban yang jatuh kemudian hancur adalah kenyataan sejarah. Tetapi kejatuhan
atau
kehancuran
peradaban
bukanlah
keniscayaan kosmik atau karena faktor geografis atau karena degenerasi rasial atau karena penyerbuan dari luar. Juga bukan karena kemunduran teknik dan teknologi. Karena kemunduran peradaban adalah sebab, sedang kemunduran teknik adalah konsekuensi atau gejala. Pembeda utama masa pertumbuhan dan disintegrasi adalah pada masa pertumbuhan peradaban sukses memberikan respon terhadap tantangan sedang pada masa disintegrasi peradaban gagal memberi respon yang tepat. Toynbee menegaskan bahwa peradaban runtuh karena bunuh diri (sosial), bukan karena pembunuhan (sosial). Civilizations die from suicide, not by murder. Dalam formulasinya, keruntuhan peradaban berasal dari tiga hal; kegagalan usaha kreatif para minoritas, penarikan mimesis
dari mayoritas dan hilangnya
kesatuan sosial. Kemunduran peradaban melewati fasefase berikut; kejatuhan (break-down), disintegrasi dan ©Budiman
100
Rekonstruksi Peradaban Islam
hancur. Kejatuhan dan disintegrasi bisa berabad-abad, bahkan
ribuan
tahun.
Toynbee
memberi
contoh,
peradaban Mesir mulai jatuh pada abad ke-16 SM dan hancur pada abad ke-5 M. Selang dua ribu tahun antara awal jatuh dan kehancurannya adalah masa kehidupan yang membatu. Pada masa pertumbuhan minoritas kreatif memberi respon yang sukses terhadap tantangan yang muncul, pada periode disintegrasi, mereka gagal. Pada masa kejatuhan (break-down), minoritas kreatif mulai teracuni kemenangan, kemudian memberhalakan nilai-nilai relatif atas
nilai-nilai absolut, kehilangan
karisma yang
membuat mayoritas mengikuti mereka. Pada masa disintegrasi, minoritas ini kemudian bergantung pada kekuatan (force) untuk mengatur masyarakat. Mereka berubah dari minoritas kreatif menjadi minoritas penguasa. Massa berubah menjadi proletariat. Untuk menjaga
kelangsungan
hidup
peradaban,
dikembangkanlah negara universal, semisal Kekaisaran Roma. Sebagian masyarakat, mereka yang ada dalam ©Budiman
101
Rekonstruksi Peradaban Islam
subordinasi minoritas dalam tubuh peradaban (Toynbee menyebutnya internal proletariat) mulai meninggalkan minoritas ini, tidak puas, kemudian membentuk gereja universal (misal kristianitas dan budhisme). Mereka yang berada di luar peradaban pada kondisi kemiskinan, kekacauan (Toynbee menyebutnya external proletariat) mengorganisasikan diri untuk menyerang peradaban yang mulai runtuh. Perpecahan (schism) menimpa jiwa dan tubuh peradaban. Konflik pun kemudian berkobar. Pada level kejiwaan, schism ini mengubah mentalitas dan prilaku anggotanya. Personalitas manusia pada fase keruntuhan ini terbagi menjadi
empat
golongan
besar.
Mereka
yang
mengidealisasikan masa lalu (archaism), mereka yang mengidealisasikan masa depan (futurism), mereka yang menjauhkan diri dari realitas dunia yang runtuh (detachment) dan mereka yang menghadapi keruntuhan dengan wawasan baru (transendence, transfiguration). Kecuali
bagi
transfigurator,
usaha-usaha
manusia
berdasarkan tipe personalitasnya tidak menghentikan ©Budiman
102
Rekonstruksi Peradaban Islam
proses disintegrasi peradaban, paling banter hanya membuat peradaban menjadi fosil. Jalan tranfigurasi, mentransfer tujuan dan nilai kepada spiritualitas baru, tidak
menghentikan
disintegrasi
peradaban,
tetapi
membuka jalan bagi kelahiran peradaban baru.
©Budiman
103
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bab 4 Rekonstruksi Manusia Peradaban Peradaban adalah fenomena yang kompleks. Pertamatama peradaban adalah fenomena kultural, ia merupakan hasil
aktivitas
manusia
(masyarakat).
Peradaban
merupakan objektifikasi dari nilai-nilai manusiawi (kehendak dan kapasitas manusiawi) dalam kontek ruang dan waktu. Menggunakan skema Berger, peradaban merupakan hasil eksternalisasi (hasil aktivitas manusia), yang kemudian memiliki status objektif (mengalami objektifikasi)
dan
kemudian
membentuk
kembali
kesadaran diri manusia (internalisasi). Sebagai sebuah objektifikasi, peradaban ada “di luar sana”, sebagai sebuah
kenyataan
sui
generis41.
Sebagai
sebuah
41
Sebagai kenyataan sui generis, masyarakat merupakan entitas yang berdiri di luar kesadaran manusia, adanya tidak bergantung dengan kehendak kita. Kita tidak dapat menafikannya hanya dengan berangan-angan saja. Lihat Peter L Berger, Tafsir Sosial Atas Kenyataan. (LP3ES, Jakarta), 1990, hal. 1 ©Budiman
104
Rekonstruksi Peradaban Islam
kenyataan sui generis, peradaban adalah fakta sosial yang bersifat eksternal, tidak bergantung pada kesadaran individu-individu
secara
perorangan42.
Dalam
objektifikasinya sebagai realitas sui generis, peradaban adalah fenomena sejarah. Sebagai fenomena sejarah peradaban
memiliki
“kehidupannya”.
Peradaban
memiliki awal dan akhirnya. Peradaban didefinisikan oleh Bennabi sebagai himpunan elemen-elemen
spiritual
memungkinkan
bagi
dan
sebuah
material
yang
masyarakat
untuk
memberikan garansi (jaminan) sosial bagi perkembangan optimal setiap individu di dalamnya ( sehingga mampu menjalankan peran kesejarahannya)43. Individu mencapai 42
Hanneman Samuel, Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. (Kepik Ungu, Depok), 2010, hal 21-22
43
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 173. Membangun Dunia Baru Islam adalah terjemahan dua karya Bin Nabi oleh Afif Muhammad, Syuruth An Nahdhah (bagian pertama) dan Musykilat Al Afkar fi 'alamil Islami(bagian kedua) ©Budiman
105
Rekonstruksi Peradaban Islam
aktualisasi dirinya melalui kemauan dan kemampuannya. Kemauan dan kemampuan diri ini bukanlah sesuatu yang dapat ia munculkan secara mandiri, tetapi ia berakar pada masyarakat tempatnya hidup. Seseorang yang hidup
soliter
(menyendiri)
atau
tercerabut
dari
masyarakatnya adalah individu yang miskin dan tidak efektif. Bagi Bennabi, peradaban dinilai dari capaian-capaiannya. Peradaban yang sesungguhnya adalah peradaban yang menghasilkan
capaian-capaian44.
Menggerakkan
peradaban sebuah masyarakat tidaklah dapat dicapai melalui
proses
akumulasi
(takdis)
produk-produk
capaian peradaban lain. Peradaban adalah sumber, sedangkan produk adalah hasil. Secara jenaka Bennabi menggambarkan fenomena akumulasi produk peradaban lain ini dengan memberikan contoh sebagai berikut. Melalui kekayaan sumber daya alamnya masyarakat tradisional (yang sebagian masih nomadik) mampu 44
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 70. ©Budiman
106
Rekonstruksi Peradaban Islam
membeli mobil (sebuah produk peradaban barat modern). Tetapi dalam kesehariannya mobil tidak menjadi fungsional, justru menjadi kandang ayam saja. Melalui analogi proses akselerasi pemecahan atom (proses fisi atom) dalam reaktor yang berjalan secara singkat, padahal secara alamiah hanya dapat terjadi dalam hitungan jutaan tahun, proses akselerasi sosial untuk membangun peradaban juga dapat dilakukan, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman Jepang45. Bagaimana
proses
itu
dapat
dijalankan
sangat
bergantung pada pemahaman kita terhadap kaidahkaidah yang mengatur proses peradaban itu. Jika suatu produk peradaban dapat dijelaskan kaidahnya melalui formula berikut : produk peradaban = manusia + tanah + waktu, maka peradaban sebagai totalitas produkproduknya dapat dijelaskan melalui formula ini :
45
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 72 ©Budiman
107
Rekonstruksi Peradaban Islam
Peradaban = Manusia + Tanah + Waktu46 Sehingga untuk menganalisis problem peradaban sebuah bangsa berarti melakukan analisis terhadap problem manusia, tanah dan waktu. Namun, Bennabi menegaskan adanya modalitas peradaban itu, adanya manusia, tanah dan waktu; tidak serta merta menggerakkan peradaban sebuah bangsa. Analogi tentang bagaimana air terbentuk dapat membantu kita memahami hal ini. Adanya unsur hidrogen
maupun
oksigen
tidak
serta
merta
menghasilkan air (H2O), untuk bisa menghasilkan air perlu ada zat yang menjadi katalisatornya. Demikian pula dengan peradaban. Katalisator proses peradaban itu adalah pemikiran keagamaan
47
.
46
Darimana Bennabi mendapatkan kesimpulan ini. Tidak ada petunjuk yang jelas, namun hal ini bisa dianalogikan dengan konsep faktor-faktor produksi dalam ekonomi (manusia + tanah + modal).
47
Malik Bin Nabi, ibid, hal. 73 ©Budiman
108
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bennabi menyatakan bahwa peradaban pada esensinya adalah peradaban agama48. Argumentasinya diambil dari kenyataan historis peradaban-peradaban yang ada dalam sejarah; dengan eksemplar (contoh) utama peradaban Islam dan peradaban Barat. Dalam peradaban Islam, jelas bagaimana peran agama di dalamnya. Peradaban barat modern mungkin secara sekilas lalu tampak bukan sebagai peradaban agama (karena sekularisasi kehidupan mereka). Tetapi jika di-trace-back ke masa-masa formatifnya (masa pembentukannya), peradaban ini adalah peradaban Masehi pada esensinya49. Fenomena komunisme (maupun kapitalisme) modern bagi Bennabi adalah tahapan krisis dari peradaban Masehi ini. Dalam kata-kata Arnold Toynbee, Komunisme meruapakan “hal lain
dari
agama
(Kristen)
kita
kemudian”
dan
48
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994 bid, hal. 78
49
Malik Bin Nabi, ibid, hal. 77-80 ©Budiman
109
Rekonstruksi Peradaban Islam
menganggapnya sebagaoi “daun yang diambil dari kitab (suci) Kristen; daun yang dirobek dan dibaca salah.”50 Pemikiran keagamaan mempengaruhi proses peradaban dalam dua tahap, ketika ia lahir dan ketika ia terekam dalam jiwa pengikut-pengikutnya yang secara efektif menggerakkan sejarah. Dalam konteks peradaban Islam, dua proses itu terjadi dalam satu periode waktu; sedangkan dalam konteks peradaban Masehi antara kelahiran pemikiran keagamaan dan ketika ia efektif masuk ke dalam jiwa pengikutnya ada jarak ratusan tahun (masa Caroline – dengan Charlemagne sebagai tokoh
terbesarnya,
masa
ketika
agama
Masehi
menemukan jiwa fitrah dalam suku bangsa Jerman)51. Melalui formula ini maka kita memahami bahwa modalitas kebangkitan sebuah bangsa (untuk mencapai peradaban) terpeta menjadi dua, modalitas material dalam bentuk manusia, tanah dan waktu, serta modalitas 50
Fauziah Bariun, ibid, ha 88 Malik Bin Nabi,ibid, hal. 81
51
©Budiman
110
Rekonstruksi Peradaban Islam
spiritual dalam bentuk pemikiran keagamaan52. Tetapi hadirnya ke-empat faktor peradaban ini dalam sebuah bangsa belum menjelaskan kepada kita mengapa peradaban tidak hadir dalam titik tertentu sejarah bangsa itu. Kelimpahan manusia, adanya tanah yang subur dan modal waktu dalam kuantitas yang sama yang dimiliki semua
bangsa;
serta
masih
eksisnya
pemikiran
keagamaan dalam masyarakat tidak menjamin peradaban muncul sebagaimana dialami oleh dunia Islam saat ini (maupun dunia ketiga pada umumnya). Di sini kita perlu memahami bagaimana semua komponen ini berinteraksi dalam babakan-babakan sejarah yang dilalui oleh sebuah bangsa.
Perspektif
siklus
membantu
kita
untuk
memahami kondisi-kondisi yang mendorong kamajuan (progress) juga faktor-faktor yang membentuk regresi dan keruntuhan sebuah masyarakat (peradaban)53.
52
Malik Bin Nabi, ibid, hal. 74
53
Malik Bennabi, Islam in History and Society, (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 7. Juga Malik Bin Nabi, ibid, hal. 89-93 ©Budiman
111
Rekonstruksi Peradaban Islam
Perspektif siklus Bennabi ini berakar pada konsep tiga generasi Ibn Khaldun. Konsep siklus tiga generasi Ibn Khaldun menjelaskan siklus sebuah negara yang dimulai dari oleh generasi pertama yang hidup dalam alam badawah,
selanjutnya
generasi
kedua
yang
telah
mengalami urbanisasi (hadharah), dan generasi ketiga yang terperangkap pada kemewahan yang merusak yang meluncurkan negara pada kehancuran. Sementara Ibn Khaldun membatasi aplikasi tersebut pada skala negara (daulah), Bennabi meluaskan konsep siklus itu untuk mencakup
semua
peradaban54.
Dalam
pandangan
Bennabi, skema umum siklus sebuah peradaban dapat digambarkan dengan menghubungkan titik-titik awal kelahiran peradaban (milad) dengan titik-titik kejayaan (awj) dan kemunduran atau keruntuhannya (uful). Dipengaruhi oleh pemikiran Keyserling dan Ibn Khaldun, Bennabi membangun skema siklus peradaban berikut
54
Fauzia Bariun, ibid, hal 84-85 ©Budiman
112
Rekonstruksi Peradaban Islam
untuk dunia Islam55. Melalui skema ini kita dapat memahami
karakteristik-karakteristik
modalitas
peradaban di atas (terutama manusia dan pemikiran keagamaan) dalam setiap babakan sejarahnya.
55
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 89. Lihat juga Fawzia Bariun, Malik Bennabi Sosiolog Muslim Masa Kini, (Pustaka, Bandung), 1998, hal 84 ©Budiman
113
Rekonstruksi Peradaban Islam
Siklus Sebuah Peradaban Sebuah peradaban mengalami siklus dalam sejarahnya. Siklus itu bisa digambarkan dalam skema pada gambar di atas. Sumbu X mewakili faktor waktu sedangkan sumbu
Y
mewakili
nilai-nilai
psiko-sosial
yang
mengendalikan gerak sebuah masyarakat. Titik A adalah titik awal kelahiran sebuah peradaban. Garis A-B merupakan garis menaik, dimana sebuah peradaban dalam masa-masa formatif (pembentukannya). Garis BC merefleksikan masa-masa kejayaan sebuah peradaban. Titik B merupakan saat-saat paling krusial dalam sejarah sebuah peradaban yang menandai peralihan dari masamasa formatif menuju masa ekspansif. Sedang garis C-D menggambarkan proses keruntuhan sebuah peradaban. Kelahiran Peradaban. Titik A adalah awal kelahiran sebuah peradaban. Di titik awal peradaban ini modal yang dimiliki oleh setiap masyarakat adalah sama. Bennabi
menggunakan
(hadharah) = manusia ©Budiman
persamaan,
peradaban
(insan)+ tanah (turab) + 114
Rekonstruksi Peradaban Islam
waktu
(waqt),
untuk
menganalisis
modal
awal
peradaban ini. Tetapi untuk bisa memulai proses peradaban adanya ketiga faktor di atas belumlah cukup untuk menggerakkan proses itu. Untuk bisa bergerak perlu ada katalisator yang mensintesiskan ketiga faktor itu, katalisator itu adalah agama56. Peran utama agama pada babakan awal ini adalah peran dalam
merubah
individu
manusia
(fard),
yang
merupakan entitas biologis (yang dikuasai/digerakkan oleh naluri biologisnya untuk hidup, bertahan dan berkembang-biak) menjadi pribadi manusia (syakhs), sebagai entitas sosial57. Proses kerja ini secara psikologis merupakan proses pengondision energi vital (energi biologis dan instingtif) manusia, tanpa melenyapkannya, dengan mengarahkannya secara fungsional melalui tuntutan-tuntutan pemikiran keagamaan. Proses ini bisa 56
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 72-73
57
Malik Bin Nabi, ibid, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 90. Lihat juga Fawzia Bariun, ibid, hal 118 ©Budiman
115
Rekonstruksi Peradaban Islam
juga dipandang semacam kanalisasi potensi. Melalui mekanisme pengondision ini, manusia baru itu akan menjalankan kehidupannya sesuai dengan hukum-hukum spiritual. Peran lain agama pada babakan awal ini adalah merekonstruksi
jaringan
sosial
masyarakat
baru58.
Lahirnya jaringan sosial (social network) ini terbentuk melalui pembentukan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral inilah yang menautkan pribadi satu dengan yang lainnya dalam sebuah jaringan. Garis A-B menggambarkan proses menanjak sebuah peradaban. Fase ini adalah fase sakral sebuah peradaban. Nilai psiko-sosial yang membimbing fase ini adalah nilai-nilai ruhani (spiritual). Nilai inilah yang bisa mengkondisikan energi vital manusia sehingga dapat diarahkan (dikanalisasikan) ke dalam proses (kerja) peradaban. Daya cengkram nilai ini sedemikian kuat, 58
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 64-65 ©Budiman
116
Rekonstruksi Peradaban Islam
sehingga kita mendapati dalam sejarah Islam sebuah contoh kesadaran spiritual yang demikian kuat pada diri seorang perempuan muslimah yang minta dihukum karena melakukan perzinahan59. Manusia baru yang muncul ini kemudian merubah pola interaksi manusia itu dengan tanahnya (dari sekedar tempat mencari makan dalam artian konsumtif semata menjadi daerah yang terkondisikan dan menjadi faktor produksi) dan dalam merubah pandangan manusia terhadap waktu (dari sekedar durasi yang lewat -dihitung dengan jam- menjadi waktu sosial yang dihitung dengan nilai kerja)60. Kejayaan Peradaban. Pada masa formatif peradaban, pada garis A-B, jaringan sosial masyarakat ini berada 59
Malik Bin Nabi, op.cit, hal. 90
60
Malik Bennabi, Islam in History and Society, (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 10. Lihat juga Mohammed Tahir El-Mesawi, A Muslim Theory of Human Society, an investigation into the sociological thought of Malik Bennabi, (Thinkers Library, Kuala Lumpur), 1998. hal 83-85 ©Budiman
117
Rekonstruksi Peradaban Islam
pada taraf yang sangat mampat. Seiring dengan matangnya
jaringan
sosial
masyarakat
muncullah
tantangan-tantangan dan problem-problem yang mesti diselesaikan. Dalam sejarah Islam, masa-masa ekspansi ini
meluaskan
jangkauan
geografis
peradabannya,
sekaligus keragaman sosial-budaya manusia-manusia baru yang diintegrasikan ke dalam tubuh peradaban Islam ketika itu. Luasnya Jangkauan geografis dan demografis ini menghasilkan banyak masalah yang perlu dipecahkan. Dalam masa-masa seperti ini nilai psikososial yang membimbing manusia pada babakan ini adalah akal, rasionalitas. Jaringan sosial masyarakat pada babakan ini berada dalam taraf ekspansif dan mencapai jangkauan yang luas. Babakan ini merupakan babak kejayaan (puncak) peradaban yang ditandai dengan pencapaian-pencapaian besar secara budaya dan ilmupengetahuan-teknologi maupun pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun,
berbeda
dengan
nilai-nilai
ruhani,
daya
cengkram rasionalitas atas energi vital (naluri/impuls©Budiman
118
Rekonstruksi Peradaban Islam
impuls instingtif) manusia ini tidak sekuat yang diberikan oleh nilai spiritual (ruhiyah). Pada babakan ini ruh mulai kehilangan sedikit demi sedikit pengaruhnya atas naluri61. Permulaan masa kejayaan peradaban ini atau perubahan dari masa formatif menuju masa ekspansif peradaban ditandai oleh titik B pada diagram di atas. Dalam sejarah Islam, menurut Bennabi, titik ini berkoinsidensi dengan peristiwa perang Siffin pada tahun 38 H. Dalam konteks ini peristiwa itu (perang sipil antar umat Islam dari pihak Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah) dilihat dalam perspektif perubahan-perubahan nilai psikososial yang berkembang dalam masyarakat Islam dan impak (dampak) kesejarahannya dalam pertumbuhan peradaban Islam,
bukan
dalam
perspektif
teologis
maupun
politisnya. Munculnya dinasti Umayyah menandai di mulainya gerak horizontal dalam diagram di atas. Secara spekulatif kita dapat membandingkan peristiwa perang 61
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 91 ©Budiman
119
Rekonstruksi Peradaban Islam
Siffin ini dengan peristiwa perang Sipil Amerika yang berlangsung beberapa tahun dan berakhir pada tahun 1865. Sejak berakhirnya perang sipil itu Amerika memasuki tahap kedua dalam siklus peradabannya, masa ekspansi dan kejayaan. Kemunduran Peradaban. Karena nilai rasionalitas tidak sekuat nilai spiritual dalam mengkondisikan diri manusia, naluri pada masa-masa kejayaan peradaban mulai mengalami pelepasan. Pada puncaknya jika naluri mengendalikan diri manusia, secara sosial sebuah peradaban sudah mulai meluncur menuju keruntuhan. Jaringan sosial masyarakat pada babakan ini juga tidak lagi mampu mendukung kerja-kerja peradaban yang dijalankan. Fungsi sosial pemikiran keagamaan pada babakan ini lumpuh dan tak sanggup menjalankan fungsinya dalam masyarakat62. Dalam hal ini bukan berarti agama tidak lagi dianut atau tidak lagi diyakini oleh manusia, tetapi agama kehilangan radiasi sosialnya, 62
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 92 ©Budiman
120
Rekonstruksi Peradaban Islam
berubah menjadi agama yang bersifat individual. Manusia yang ada setelah titik C dalam diagram di atas adalah manusia pasca-peradaban, yang tidak lagi memiliki efektifitas untuk menggerakkan peradaban. Bennabi menganalogikan manusia ini dengan air yang sudah keluar dari turbin pembangkit listrik, yang berbeda dengan air yang masuk ke dalam turbin sebelumnya63. Manusia
pasca-peradaban
ini
efektifitas untuk kerja peradaban.
sudah
kehilangan
Ini berbeda dengan
manusia yang menjadi modal pada titik A (manusia praperadaban, Bennabi menyebutnya sebagai manusia fitrah). Perbedaan antara manusia fitrah dan manusia pasca-peradaban terletak pada adanya patologi mental yang diidap oleh manusia pasca-peradaban yang membuatnya tidak efektif dalam menggerakkan kembali peradabannnya. Titik kejatuhan peradaban Islam dalam skema di samping bermula sejak zaman Ibn Khaldun. Pasca masa 63
Malik Bin Nabi, ibid, hal. 93 ©Budiman
121
Rekonstruksi Peradaban Islam
Ibn Khaldun, Bennabi menyebutnya sebagai masa pasca al muwahidun (post al mohad), peradaban Islam mengalami disintegrasi. Ia masuk pada masa pasca peradaban, dengan tipologi manusianya sendiri (manusia pasca-almuwahid, post al mohad man) dan karakteristik masyarakat tersendiri (masyarakat pasca peradaban)64. Berdasarkan diagram di atas kita memahami bahwa karakteristik manusia dan fungsi sosial agama dalam masing-masing
tahapan
memiliki
perbedaan.
Karakteristik manusia pra-peradaban (manusia fitrah) berbeda dengan manusia peradaban, dan berbeda dengan manusia pasca peradaban (manusia pasca-al mohad)65. Manusia fitrah adalah manusia yang siap untuk melakukan kerja peradaban, sedangkan manusia pascaperadaban
telah
kehilangan
elan
peradabannya66.
64
Malik Bennabi, Islam in History and Society, (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 11
65
Malik Bennabi, ibid, 2006, hal 11
66
Malik Bennabi, ibid, 2006, hal 12 ©Budiman
122
Rekonstruksi Peradaban Islam
Karakteristik hubungan manusia dan agama dalam masa pasca-peradaban
memiliki
perbedaan
dengan
karakteristik hubungan manusia dan agama pada masa pembentukan peradaban. Karakteristik hubungan agama dan
manusia
dalam
masa
formatif
peradaban
digambarkan oleh Keyserling, yang dikutip oleh Bennabi, sebagai prinsip kesadaran, yang mengubah jiwa, yang darinya muncul kreasi-kreasi, konsepsi, penyampaian misi dan kemampuan tersembunyi untuk memahami berbagai hal67. Agama dalam babakan ini memainkan fungsi
sosialnya
sebagai
katalisator
yang
mentransformasi manusia dan interaksi manusia dengan tanah dan waktu; agama yang terekspresikan dalam pemikiran kolektif. Agama dalam masa kemunduran lebih sebagai fenomena individualistik, yang kehilangan radiasi sosialnya68. Keyakinan keagamaan berubah
67
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 82
68
Malik Bennabi, Islam in History and Society, (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 10 ©Budiman
123
Rekonstruksi Peradaban Islam
menjadi keyakinan pasif yang menarik diri dari kehidupan, menghidari tugas dan kewajiban, melarikan diri dari aktifitas sosial dan berhenti dari peran-peran kesejarahan. Salah satu fenomena yang menjadi kritik Bennabi pada era kemunduran peradaban Islam ini adalah
fenomena
asketisme-negatif
dalam
bentuk
pertapaan-pertapaan atau pondok-pondok sufi yang menjauh dari hiruk pikuk sosial umat.
Analisis Problem Peradaban Sebagaimana
sudah
dipaparkan
di
atas,
dalam
analisisnya Bennabi menyatakan bahwa sebuah produk peradaban terdiri dari komponen dasar berikut ; manusia + tanah + waktu. Karena peradaban merupakan jumlah total dari produk-produknya maka, menurut Bennabi, kita dapat menuliskan formula ini peradaban = manusia + tanah + waktu. Dengan demikian untuk memahami problem peradaban berarti kita memahami problem manusia, tanah dan waktu.
©Budiman
124
Rekonstruksi Peradaban Islam
Manusia Problem yang dihadapi oleh dunia Islam pada dasarnya adalah problem yang terkait dengan masalah manusia. Problem manusia di dunia Islam terkait dengan kejumudan dan kebekuan (problem terkait dengan efektifitas manusia), sehingga kebutuhan yang ada di dunia Islam adalah kebutuhan akan “orang”, yang dapat berjalan dalam sejarah. Tantangannya adalah bagaimana membentuk orang-orang yang mampu memanfaatkan tanah, waktu dan kreatifitasnya untuk mencapai tujuan besar dalam sejarah69. Berdasarkan peta kontribusinya terhadap peradaban (masyarakat),
manusia
memberikan
kontribusinya
melalui pemikiran, kerja dan harta70. Agar kontribusi ini menjadi efektif (memberikan pengaruh/efek) secara 69
Malik Bin Nabi,, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 123
70
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 96 ©Budiman
125
Rekonstruksi Peradaban Islam
peradaban,
Bennabi
menawarkan
konsep
orientasi/taujih71. Orientasi berarti kemampuan untuk mendefinisikan dan menjelaskan sesuatu. Orientasi adalah usaha menghimpun, mengatur dan mengarahkan (memfokuskan) tenaga dan waktu sehingga terhindar dari pemborosan, disia-siakan dan tidak tercapainya tujuan apapun. Abdul Aziz Berghout menggarisbawahi bahwa konsep orientasi Bennabi ini menekankan pada pentingnya
perencanaan
(planning).
Bennabi
menekankan pentingnya ide perencanaan dalam proses transformasi manusia. Bagi Bennabi masalah yang dihadapi tidak terletak pada dunia benda-benda yang dibutuhkan oleh manusia tetapi pada perencanaan dan pengorganisasian kapasitas manusiawi kita72. Dengan demikian orientasi (taujih) memberikan pendefinisian terhadap sasaran-sasaran yang dituju dan menentukan metode dan program untuk mencapainya. Orientasi ini, 71
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 96
72
Abdul Aziz Berghout, The Concept of Culture and Cultural Transformation: Views of Malik Bennabi. Intellectual Discource, 2001, Vol 9, no 1, 67-83 ©Budiman
126
Rekonstruksi Peradaban Islam
berdasarkan
peta
kontribusi
manusia
kepada
masyarakatnya, meliputi orientasi budaya (untuk bidang pemikiran), orientasi kerja/amal (untuk bidang kerja) dan orientasi modal (untuk bidang harta). Orientasi Kebudayaan (Taujih al Tsaqafah). Dalam pemikiran
Bennabi,
untuk
memahami
maknanya
kebudayaan bisa didekati melalui beberapa perspektif. Perspektif humanis (liberal) memahami kebudayaan dari jurusan filsafat manusia, memberikan penekanan pada keutamaan individu. Dalam perspektif humanis-liberal ini kebudayaan merupakan refleksi (atau produk) dari basis psiko-mental manusia. Definisi E.B. Taylor merupakan salah satu contoh definisi dari perspektif ini, “kebudayaan adalah keseluruhan kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kapabilitas serta kebiasaan lain yang didapatkan manusia sebagai anggota sebuah masyarakat.” Perspektif marxis disisi lain memahami kebudayaan dari arah filsafat sosial, kebudayaan sebagai refleksi dari basis material (ekonomi)
©Budiman
127
Rekonstruksi Peradaban Islam
masyarakat73. Salah satu perspektif Marxis dalam memahami
kebudayaan
ini
dinyatakan
oleh
V.Konstantinov, yang dikutip Bennabi. Bagi Konstatinov, kebudayaan
dalam
semua
manifesatasinya
(dalam
bentuk agama, filsafat, hokum, seni dsb.) merupakan refleksi dari basis material masyarakat itu, yang memiliki realitas objektif yang terlepas dari kemauan dan kesadaran manusia. Bagi Bennabi kedua perspektif ini tidak lengkap, karena mengabaikan aspek rekonstruktif dari kebudayaan. Definisi
humanis-liberal
menekankan
dimensi
berat
sebelah
manusia dalam
dalam
kebudayaan.
Kebudayaan dalam konteks ini adalah masalah filsafat manusia. Sedangkan definisi marxis berat sebelah dalam menekankan dimensi masyarakat dari kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks marxis ini adalah masalah filsafat masyarakat. Bagi Bennabi, mengadopsi dua perspektif ini akan membawa pada konflik dan 73
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 99 ©Budiman
128
Rekonstruksi Peradaban Islam
ketidakstabilan sosial. Definisi-definisi di atas hanya berkonsentrasi
pada
komposisi
yang
membentuk
kebudayaan semata-mata, dengan melupakan fungsi kebudayaan dan gerak dinamisnya dalam masyarakat. Bagi Bennabi, pendefinisian kebudayaan pada dua perspektif di atas pada dasarnya merefleksikan konteks sejarah dan ideologi masing-masing masyarakatnya, Amerika maupun Soviet (kala itu). Pendekatan dalam kedua
perspektif
di
atas
semata-mata
deskriptif.
Definisi-definisi ini menyamarkan arti penting budaya (atau kebudayaan) sebagai sebuah proses transformasi dan modifikasi ciri karakteristik kehidupan manusia. Sebagai alternative,
Bennabi memahami kebudayaan
dari sudut pandang pedagogis (pendidikan)74. Sehingga budaya
(kebudayaan)
harus
dimaknai
sebagai
lingkungan dinamis yang memberi pendidikan dan pembentukan etis untuk perbaikan dan penghalusan (pengadaban) individu dan masyarakat.
74
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 100 ©Budiman
129
Rekonstruksi Peradaban Islam
Pendidikan (tarbiyah) di sini mesti dibedakan dari pengajaran (ta'lim).
Kebudayaan dalam perpspektif
pedagogis ini merupakaan teori perilaku alih-alih sebagai teori pengetahuan (ilmu). Kebudayaan tidak dapat direduksi
sebagai
sains
(ilmu-pengetahuan)
atau
menyamakan dengannya. Bagi Bennabi, kebudayaan selalu menghasilkan sains, tetapi sains tidak selalu melahirkan kebudayaan. Kebudayaan dengan demikian lebih luas dari sekedar sains. Sains, bagi Bennabi, berurusan dengan fenomena alamiah yang berdiri terpisah dari manusia sebagai subjek, dengan pandangan untuk mendominasi dan memanipulasi fenomena itu. Kebudayaan-lah yang membentuk subjek (pengamat) itu dan membekalinya dengan perangkat observatif untuk memahami alam. Sains berisi prosedur dan metode yang membekali akal manusia untuk memahami (dan atau memanipulasi) dunia alamiah. Sedangkan kebudayaan berisi kekayaan intersubjektif berupa simbol, nilai, ide, tradisi dan cita-rasa yang memungkinkan manusia untuk menata dan mengharmonikan relasi dan interaksi di
©Budiman
130
Rekonstruksi Peradaban Islam
antara mereka, dengan lingkungannya dan dengan alam secara umum. Secara formal Bennabi mendefinisikan kebudayaan sebagai himpunan sifat moral dan nilai sosial yang dimiliki individu sejak lahirnya, sebagai modal awal di tengah lingkungannya75. Secara fungsional kebudayaan berfungsi seperti plasma darah dalam tubuh organisme, yang mengedarkan makanan (fungsi butir darah merah) maupun menjalankan fungsi preventif terhadap kumankuman yang masuk ke dalam tubuh (fungsi butir darah putih). Demikian pula kebudayaan, ia adalah plasma yang membawa pemikiran awam maupun ilmuan dan menyalurkannya dalam satu kanal. Melalui kebudayaan individu dalam sebuah peradaban, baik elit maupun rakyatnya, disuplai dengan kesamaan orientasi dan cita rasa.
75
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 100 ©Budiman
131
Rekonstruksi Peradaban Islam
Kebudayaan juga dapat dipandang sebagai atmosfer kognitif (psiko-mental) atau atmosfer makna yang darinya manusia menyerap kepribadian dan karakter76. Atmosfer kognitif ini dalam terminologi yang diberikan oleh Edgar Morin disebut sebagai noosphere77. Melalui noosphere inilah pertumbuhan spiritual dan mental spesies manusia dimungkinkan. Melalui kebudayaan, sebagai atmosfer makna (noosphere) inilah individu membangun
pandangan-dunianya
(world-view)
dan
membangun relasi dengan realitas alam dan sosialnya. Kebudayaan
adalah
jembatan
yang
melaluinya
masyarakat menuju kemajuan78.
76
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 102
77
Edgar Morin, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan, (Kanisius, Yogyakarta), 2005, hal 32-33. Lihat juga Mohammed Tahir El-Mesawi, A Muslim Theory of Human Society, an investigation into the sociological thought of Malik Bennabi, (Thinkers Library, Kuala Lumpur), 1998. hal 117
78
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 102 ©Budiman
132
Rekonstruksi Peradaban Islam
Menurut Bennabi membangun orientasi budaya (taujih al tsaqafa) terhadap manusia mencakup pengarahan potensi manusia kepada akhlaq/ etika, estetika, logika terapan dan industri(shina’ah) [tercakup di dalamnya pengertian profesi]79. 1. Etika (ad dustur khuluqi, konstitusi moral) berperan
sebagai
daya-pengikat
yang
mengintegrasikan anggota-anggota masyarakat sekaligus
menentukan
bagi
mereka
misi
kesejarahan dan tujuan dari aktivitas sosial mereka. Dengan perkataan lain etika berperan membangun jaringan sosial masyarakat, yang membuatnya
efektif
melakukan
kerja-kerja
sejarah. Etika ini dibentuk oleh agama, berfungsi sebagai penjaga kohesi sosial masyarakat dan membangun jaringan sosial masyarakat itu (social network). Pada analisis akhirnya, produkproduk peradaban dimungkinkan karena adanya 79
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 103 ©Budiman
133
Rekonstruksi Peradaban Islam
jaringan sosial masyarakat tersebut. Bennabi menyontohkan radio, sebagai produk peradaban, tidak muncul secara serta merta, tetapi melalui penyempurnaan dalam sejarah (oleh banyak tokoh, dan/atau beberapa generasi)80. Jaringan sosial ini adalah refleksi dari ikatan keagamaan. 2. Estetika (al dzauq al jamali) membangun cita rasa keindahan masyarakat. Cinta rasa keindahan ini adalah apa yang kita sebut sebagai semangat ihsan yang termanifestasi dalam keteraturan, ketertiban, juga keindahan81. Argumen Bennabi terkait dengan pentingnya estetika ini adalah
80
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 104. Untuk padanan istilah(terjemahan) yang digunakan di sini merupakan kombinasi dari beberapa pendapat (terjemahan), silahkan dirujuk juga Fawzia Bariun, ibid, hal. 128 dan Mohammed Tahir El-Mesawi, A Muslim Theory of Human Society, an investigation into the sociological thought of Malik Bennabi, (Thinkers Library, Kuala Lumpur), 1998.
81
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 105 ©Budiman
134
Rekonstruksi Peradaban Islam
bahwa elemen-elemen estetik dari lingkungan kita (baik warna, bunyi, gerak dan gambar) selalu menginspirasi
manusia
dengan
ide-ide
tentangnya (maksudnya tentang elemen-elemen estetik yang kita temukan dalam lingkungan kita) lalu memformatnya dalam karakter khusus dalam bentuk yang penuh cita rasa keindahan atau selera yang rendah. Cita rasa keindahan yang membentuk
pemikirannya
kemudian
merangsangnya untuk membentuk keindahan dalam
pekerjaannya82.
Bagi
Imam
Ghazali
keindahan ini dapat ditemukan pula dalam “benda” yang tidak tercerap indra; karakter, pengetahuan,
perilaku
manusiawi lainnya.
maupun
kualitas
Mengenai peran cita rasa
keindahan terhadap perubahan perilaku manusia ini
Bennabi
memberikan
sebuah
ilustrasi.
Seorang anak kecil tuna wisma dengan pakaian dekil, kumal, kotor sesunguhnya merefleksikan pengertian yang buruk dan kemalasan. Untuk 82
Malik Bin Nabi, ibid 105-106 ©Budiman
135
Rekonstruksi Peradaban Islam
mengubah anak itu tidak cukup dengan pidato atau caci maki yang menyakitkan. Alih-alih kita dapat mengubahnya melalui makna sederhana mengenai keindahan. Secara moral dia butuh pakaian baru, tetapi lingkungan sosialnya telah membunuh harga dirinya melalui ketidak-adilan sosial ekonomi yang dideritanya. Kita tidak perlu memberikan baju lain untuknya. Yang perlu kita lakukan adalah dengan mengajak anak itu ke sumur untuk mandi dan mencuci baju kumalnya, kita bawa dia ke tukang cukur untuk merapikan rambutnya. Setelah itu kita biarkan dia berjalan melangkahkan kaki. Dengan demikian anak itu telah berubah dari gudang kuman menjadi anak miskin yang mencari makan. Etika dan estetika inilah yang menentukan kekhasan karakteristik sebuah peradaban. Jika etika (ideal moral) menentukan tujuan dan motivasi
bagi
kerja-kerja
sosial,
estetika
memberikan bentuk dan efektifitas sosialnya ©Budiman
136
Rekonstruksi Peradaban Islam
(social
efficacy).
Etika memberikan
model
perilaku, menentukan motivasi dan tujuan akhir aktivitas sosialny. Estetika membentuk gaya hidup (life-style) masyarakat dan memberikan perilaku moral karakter yang penuh cita rasa dan diterima masyarakat. 3. Logika terapan (al mantiq
al ‘amali)
memberikan pedoman yang menautkan kerja dengan sarana-sarana dan konsep-konsepnya sehingga kita memiliki tolok ukur yang jelas. Hilangnya logika terapan (hubungan langsung antara pemikiran dengan finalisasi nyata) akan membuat kerja menjadi tidak koheren dan hasil yang bergantung pada apresiasi subjektif saja. Manifestasi logika terapan ini dapat dirujuk pada terhindarnya
seseorang
dari
problem
menggampangkan masalah atau menganggap sebuah persoalan sulit tanpa tolok ukur tertentu
©Budiman
137
Rekonstruksi Peradaban Islam
(fakta-fakta)83. mengenai masyarakat
Bennabi memberikan contoh
beberapa umum
mitos
yang
diterima
yang
menggambarkan
hilangnya logika terapan ini. “Kita tidak dapat berbuat banyak, karena kita bodoh. Kita tidak dapat merealisasikan itu karena kita miskin. Kita tidak dapat menjalankan kerja itu karena ada kolonialisme.” Bagi Bennabi ini ungkapan ini adalah gambaran hilangnya kapasitas untuk menautkan pikiran dan praktek (aksi nyata), dengan menggambarkan pokok persoalannya secara inflatif. Bennabi mengungkapkan kisah pendidikan anak-anak Israel pada masa perang dunia II (dalam situasi represif Jerman ketika itu) bisa
jadi
pelajaran
bagaimana
masalah
kebodohan (buta huruf) ditangani, masalah finansial sebenarnya berpangkal pada bagaimana menggerakkan harta agar berputar, masalah
83
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 109 ©Budiman
138
Rekonstruksi Peradaban Islam
kolonialisme pada pangkalnya terkait dengan masalah colonizeability (kelayakan untuk dijajah). 4. Teknik (Shina'ah/Industri/Profesi) memberikan
penyaluran
aktivitas
ekonomis
masyarakat,
sarana penghidupan dan martabat diri manusia. Menurut El-Messawi, Bennabi memaksudkan kedalam teknik ini sains pada umumnya (teoritis maupun praktis). Jika etika dan estetika memberikan arah (dan warna) bagi peradaban, maka logika terapan dan teknik memberikan dinamisasi bagi sebuah peradaban. Orientasi kerja (taujih al ‘amal). mengarahkan
manusia
untuk
Orientasi kerja
berkontribusi
dalam
membangun peradaban. Karena kerjalah cara yang bisa menggerakkan benda-benda kepada tujuan. Kerja di sini tidak dibatasi pada kerja profesi, tetapi pada setiap aksi
©Budiman
139
Rekonstruksi Peradaban Islam
yang memberikan pengaruh pada sejarah84. Bennabi mengilustrasikan, ketika generasi pertama umat (para sahabat) membangun masjid pertama, ini merupakan pelajaran
awal
pembangun
mengenai
peradaban
masalah
(shina’ah
kerja al
sebagai
hadharah).
Orientasi kerja ini menekankan visi kerja (pelajaran dasar mengenai fungsi dan peran besar kerja dalam kehidupan) untuk memberikan pengaruh pada sejarah, tidak semata-mata kerja yang memberi pengaruh pada penghasilan. Pada masa formatif masyarakat orientasi ini berarti
menggerakkan
usaha
bersama
pada
satu
arah/tujuan dari semua individu dalam masyarakat itu (penggembala, mahasiswa, pedagang, petani, intelektual dll),
sehingga
mereka
melakukan
andil
dalam
meletakkan bata bagi pembangunan peradaban baru. Mengajar beberapa huruf, menyingkirkan duri dari jalan, memberi nasihat dalam kebersihan, menanam pohon, membantu orang lain; semua adalah kerja. Yang pokok
84
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 116-117 ©Budiman
140
Rekonstruksi Peradaban Islam
dalam konteks kerja adalah orientasi metodologis mengenai kerja, baru setelah itu mengenai sarana-sarana khusus untuk meraih penghidupan (ma’isyah). Orientasi modal (taujih ra'sul mal). Orientasi modal mengarahkan harta untuk bergerak dan berfungsi secara sosial dan tidak menjadi harta mati. Kekayaan mesti dibedakan dengan modal. Kekayaan adalah fungsi penghasilan yang tidak bergerak dan tidak berputar secara ekonomi. Kekayaan adalah perspektif individual, sedangkan modal (kapital) adalah perspektif sosial. Ikatan yang membuat harta menjadi tidak bergerak menjadi kapital (modal) menjadikannya sesuatu yang sederhana dari sudut ekonomi dan budaya. Kekayaan terbatas dalam lingkup seputar kehidupan individu dan tidak memiliki daya ‘kerja’ mandiri yang menggerakkan aktivitas sosio-ekonomi masyarakat. Modal adalah kekayaan (harta) yang bergerak, terpisah dari pemiliknya, ia adalah dana yang memiliki guna sosial85. Modal dalam 85
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal. 118-119 ©Budiman
141
Rekonstruksi Peradaban Islam
hal ini dilihat sebagai fungsi sosial, bukan fungsi politis yang menjadi alat penghisapan terhadap orang lain (pekerja). Dalam sejarahnya di dunia Barat, modal telah menghasilkan kelas proletar dan kapitalisme. Dalam orientasi modal ini perlu ditekankan corak penggunaan modal yang demokratis, dan tidak feodalistis86. Terlihat dalam pembahasan ini penekanan Bennabi terhadap sumber daya manusia sebagai sumber daya utama sebuah peradaban. Sumber daya manusia adalah sumber daya terbesar sebuah peradaban, sebagaimana dikatakan
oleh
pendidikannya
E.F.
merupakan
Schumacher87. hal
yang
Sehingga
perlu
diberi
perhatian besar. Pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Bennabi terkait dengan pembentukan perilaku (oleh karenanya merupakan proses kebudayaan), tidak sematamata mengajarkan secara formal ilmu-pengetahuan. Dalam bahasa E.F. Schumacher pendidikan adalah 86
Malik Bin Nabi, ibid, hal. 121
87
E.F. Schumacher, Kecil Itu Indah, (LP3ES, Jakarta), 1980, hal 78. ©Budiman
142
Rekonstruksi Peradaban Islam
penyebaran nilai-nilai, sehingga nilai itu menjadi susunan
mental
manusia88.Nilai-nilai
itulah
yang
memberikan bekal, arah untuk hidup. Sains dan teknologi, aspek know-how, tidak dapat melahirkan ide yang membimbing kehidupan. Nilai-nilai yang memberi arti dan tujuan hidup, didapatkan dari metafisika dan etika89. Tanah Terminologi tanah digunakan di sini untuk menghindari salah persepsi jika menggunakan terminologi materi. Karena terminologi materi sering dilawankan dengan ruh dalam etika, dengan energi dalam ilmu alam, dan dengan idealisme dalam metafisika. Tanah disini dinilai dari perspektif sosial, semakin maju sebuah masyarakat semakin tinggi nilai tanahnya. Kesuburan tanah bisa mengalami
degradasi
seiring
runtuhnya
sebuah
88
E.F. Schumacher, ibid
89
E.F. Schumacher, ibid, hal 83. ©Budiman
143
Rekonstruksi Peradaban Islam
peradaban. Sebuah peradaban yang berjaya akan memperhatikan tanah-tanah tandus yang dimilikinya dan merubahnya menjadi tanah subur dengan kerja-kerja menanam90. Masyarakat
pra-peradaban
(masyarakat
badui) belum memiliki hubungan yang efektif dengan tanah mereka, karena karakter mereka yang berpindahpindah. Sehingga masyarakat tipe ini belum memetakan aktivitasnya secara terorganisasi, belum muncul ide mengenai kerja harian91. Masyarakat berperadaban adalah masyarakat yang mulai memanfaatkan tanahnya secara sadar. Bagaimana masyarakat menggunakan tanahnya, maka kita bisa menarik kesimpulan yang dapat dipercaya mengenai masa depannya92. Peradaban ditentukan oleh penggunaan tanah secara baik. Tetapi terkait masalah 90
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 133
91
Malik Bennabi, Islam in History and Society, (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 16
92
E.F. Schumacher, Kecil Itu Indah, (LP3ES, Jakarta), 1980, hal 92 ©Budiman
144
Rekonstruksi Peradaban Islam
tanah ini perlu dipahami bahwa problem tanah tidak semata-mata problem produktifitas, tanah sebagai salah satu faktor produksi. Bukan semata-mata problem cara mengolah tanah, tetapi juga problem terkait dengan tujuan.
Ia
menyangkut
problem
meta-ekonomis
(metafisis), dengan satu alasan mendasar bahwa manusia tidak membuat tanah93. Dalam konteks ini pandangan Islam terkait dengan dimensi tanah (bumi) perlu diberikan perhatian. Bumi adalah tempat aktualisasi misi hidup manusia (ibadah, khilafah dan imarah). Bumi telah ditata sedemikian rupa (melalui sunnah-sunnah-Nya) secara teliti dan teratur, sehingga laik huni dan serasi bagi pentas kehidupan manusia. Bumi juga dibuat lentur, sehingga dapat direkayasa oleh manusia (ditundukkan –tashkhir bagi manusia). Pola hubungan manusia dengan demikian adalah pola pendayagunaan, bukan pola penguasaan94. 93
E.F. Schumacher, ibid, hal. 98
94
M. Anis Matta, Peradaban Islam, Sebuah Rekonstruksi Awal (dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, Sebuah Bunga Ramapai), ©Budiman
145
Rekonstruksi Peradaban Islam
Waktu Bennabi mengibaratkan waktu sebagai sungai yang mengalir dalam bisu, waktu adalah modal yang diberikan Tuhan kepada semua bangsa dalam kuantitas yang sama. Karena ia mengalir dalam bisu amat sulit bagi kebanyakan bangsa untuk mendengar desirannya, yang berjalan begitu cepat. Sampai pada saat dimana kekayaan, kesejahteraan, kejayaan tidak lagi dihasilkan, barulah mulai pembicaraan mengenai “waktu kerja (sa’at ‘amal) ”95. Waktu hanya menjadi “jam-jam yang lewat (sa’at tamur)” disebabkan karena kita tidak mengetahui nilainilai pembagiannya. Bagi Bennabi yang dibutuhkan kemudian adalah konsep mengenai waktu. Makna waktu, dalam satuan-satuan atau bagian-bagiannya ini lah yang (Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta), 1997, hal 21-26 95
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 137 ©Budiman
146
Rekonstruksi Peradaban Islam
akan diisi oleh kerja. Kehancuran material sebuah peradaban, misal kehancuran Jerman dan Jepang pada Perang Dunia II, tidak menghancurkan peradaban mereka. Karena mereka masih memiliki kekayaan ide. Dengan kekayaan ide itulah mereka memaknai waktu mereka dengan kerja. Belajar dari pengalaman Jerman, Bennabi mengingatkan bahwa apa yang dilakukan oleh bangsa
Jerman,
membangun
pasca
peradaban
Perang
Dunia
mereka
II,
kembali
untuk adalah
memberikan waktu mereka lebih satu jam dari waktu kerja
normal
untuk
berkontribusi
mengembalikan
peradaban mereka96. Kesadaran tentang waktu selalu terkait dengan kesadaran tentang keterbatasan hidup. Merupakan kenyataan yang nyata bahwa kehidupan memiliki batasnya, kematian. Waktu
adalah
kesementaraan
konsep ini
kesementaraan.
dirubah
oleh
agama
Perspektif menjadi
perspektif kesementaraan yang penuh optimisme, bukan 96
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 138-139 ©Budiman
147
Rekonstruksi Peradaban Islam
perspektif kesementaraan yang pesimis. Dr. 'Effat al Sharqawi menjelaskan bahwa perspektif waktu yang dimiliki oleh orang-orang arab jahiliyah, sebelum datang risalah Islam, merupakan perspektif yang pesimis, waktu bagi orang arab jahiliyah adalah sumber penderitaan (aspek yang diatribusi sebagai faktor pembinasa yang digdaya), waktu merupakan akhir kehidupan (yang setelahnya manusia bukanlah apa-apa)97. Ungkapanungkapan ini merupakan ungkapan pesimisme dimana ketidakberdayaan menjadi dominan. Kesadaran tentang waktu ini kemudian berubah setelah turunnya risalah Islam. Masa lalu, masa kini dan masa depan menjadi medan pertanggung jawaban, medan kerja yang penuh arti. Kesadaran yang lebih optimis dimana sensasi kegelisahan (akan sirna, kehancuran) berubah menjadi sensasi rindu (atas balasan, dan keabadian). Kesadaran tentang waktu ini (menggunakan skema Anis Matta) dapat dipetakan ke dalam tiga beberapa aras/lapisan.
97
Dr. Effat al Sharqawim, Filsafat Kebudayaan Islam, (Pustaka, Bandung), 1986, hal 203 ©Budiman
148
Rekonstruksi Peradaban Islam
Waktu individu yang dibatasi oleh ajal (kematian, waktu sosial
(umur
peradaban)
yang
dibatasi
oleh
keruntuhannya dan waktu sejarah (atau alam) yang dibatasi oleh kiamat98.Distribusi waktu ke dalam tiga lapisan ini membantu kita untuk mendistribusikan beban kerja sejarah (kewajiban); kewajiban individu, sosial dan sejarah
dengan
konsekuensi
pertanggung-jawaban
masing-masing.
98
M. Anis Matta, ibid, hal 29-32 ©Budiman
149
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bab 5 Dinamika Masyarakat Berperadaban
Pendekatan
pada
bab
yang
lalu
melihat
peta
permasalahannya dari perspektif individu (psikologi). Mengacu
pada
Bennabi
kita
memahami
analisis
peradaban sebagai studi mengenai faktor psiko-temporal terkait dengan rekonstruksi manusia peradaban99. Karena memang faktor utama modalitas peradaban yang dimiliki oleh masyarakat adalah sumber daya manusianya. Tetapi peradaban juga merupakan fenomena sosial, terkait dengan proses perkembangan kelompok sosial manusia. Peradaban
adalah
tentang
rentetan
sebab-akibat
mengenai perubahan organisasi sosial manusia100.
99
Malek Bennabi, Islam in History and Society, (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal. 6
100
Malek Bennabi, Islam in History and Society, (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal. 6 ©Budiman
150
Rekonstruksi Peradaban Islam
Literatur ilmu sosial seringkali membagi teori-teori sosial
berdasarkan
pendekatannya
yang
lebih
mengutamakan individu atau yang lebih mengutamakan masyarakat101. Perspektif yang memandang individu menekankan peran kebebasan manusia. Sedangkan perspektif sosial menekankan karakter memaksa dari masyarakat.
Perspektif
ini
sesungguhnya
bukan
perspektif dikotomis, karena sesungguhnya masingmasing perspektif hanya melihat sudut tertentu dari entitas kehidupan sosial yang tengah diamati. Tetapi memang belum ada teori yang secara memuaskan dapat mengintegrasikan semua perspektif di atas. Sehingga pada titik ini wilayah kajian menjadi meluas ke bidang spekulatif.
101
K.J. Verger, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Penerbit PT. Gramedia, Jakarta) 1985, hal 13-15 ©Budiman
151
Rekonstruksi Peradaban Islam
Definisi Masyarakat Bennabi
menjelaskan
ada
dua
jenis
masyarakat,
masyarakat alamiah (masyarakat primitif) yang tidak mengalami perubahan pada
karakteristik internal
mereka; dan masyarakat historis yang mentrasformasi ciri-ciri fundamental
dalam dirinya102 seiring dengan
perjalanan
Masyarakat
waktu.
alamiah
(natural)
merupakan masyarakat statis sedangkan masyarakat historis merupakan masyarakat yang dinamis. Bennabi menyontohkan masyarakat manusia pada era pra-sejarah sebagai contoh tipe masyarakat alamiah ini. Sedangkan yang kita kenal dalam sejarah (sebagaimana tercatat dalam kisah-kisah peradaban umat manusia) adalah masyarakat historis. Berdasarkan
asal
dari
sumber-daya
manusianya
masyarakat historis (masyarakat berperadaban yang kita
102
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 5-6 ©Budiman
152
Rekonstruksi Peradaban Islam
kenal) muncul bisa melalui dua sumber. Pertama, masyarakat manusia
historis
natural
terbentuk
(primitif)
melalui
seperti
unsur-unsur
dalam
contoh
munculnya masyarakat historis awal pada zaman neolitik maupun zaman batu. Kedua, masyarakat historis terbentuk melalui manusia-manusia yang “dipinjam” atau diambil dari masyarakat sebelumnya atau dari masyarakat yang terdisitegrasi dalam sejarah (melalui proses peminjaman)103. “Peminjaman” ini bisa dalam bentuk migrasi, sebagaimana terbentuknya masyarakat Amerika dari para migran dari Eropa atau dapat melalui proses
re-integrasi
(penyatuan
kembali)
individu-
individu yang ditinggalkan oleh sebuah masyarakat yang terdisintegrasi
(runtuh)
dari
sejarah,
sebagaimana
masyrakat Roma dalam masa formatifnya yang terdiri terbentuk dari elemen-elemen yang ditinggalkan oleh masyrakat Gallic dan Cartago yang runtuh (di sini kita bisa juga menyebutkan Masyarakat Islam pada era klasik
103
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 7 ©Budiman
153
Rekonstruksi Peradaban Islam
yang terbentuk dari berbagai ragam manusia dari berbagai peradaban yang terdisintegrasi sebelumnya) . Dari perspektif lain, berdasarkan sumber historis perubahannya, masyarakat historis bisa dibagi ke dalam masyarakat yang kelahirannya terjadi karena respons terhadap tantangan lingkungan alamiah (tipe masyarakat geografis, misalnya masyarakat Amerika dalam masa formatifnya) dan masyarakat yang kemunculannya karena responsi terhadap ideal tertentu (tipe masyarakat ideologis, misalnya masyarakat Islam dalam masa formatifnya)104. Masyarakat historis muncul dan kemudian mencapai kejayaan tidak secara insidental (kebetulan). Ia muncul sebagai hasil dari proses transformasi berkelanjutan, baik melalui proses memberi atau meminjam elemen-elemen
104
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 7-8 ©Budiman
154
Rekonstruksi Peradaban Islam
sosial ke dan dari masyarakat lain105. Dengan demikian karakteristik
utama
masyarakat
historis
adalah
perubahan (change) atau gerakan (movement). Gerak perubahan
inilah
yang
membedakannya
dengan
masyarakat alamiah. Sehingga, masyarakat dapat kita definisikan bukan sekedar sebagai agregasi (jumlah total) individu-individu
ke
dalam
kolektivitas
sosial
berdasarkan faktor naluriah semata (insting sosial, naluri untuk konstan
berkumpul)106. yang
Masyarakat
independen
(yang
memiliki
faktor
darinya
sebuah
masyarakat bergantung kontinuitasnya dalam sejarah). Faktor konstan itu dapat dipahami dari dua hal berikut, bahwasanya mungkin saja sebuah masyarakat hilang dari sejarah (karena
tetapi
anggota-anggotanya
kehancuran
individu-individunya
sebuah kemudian
masih
bertahan
masyarakat/peradaban terpecah
dalam
105
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 7
106
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 9 ©Budiman
155
Rekonstruksi Peradaban Islam
komunitas-komunitas kecil atau terserap ke masyarakat lain); juga mungkin terjadi semua individu pembentuk masyarakat
hilang
dari
sejarah
tetapi
karakter
masyarakat itu masih bertahan. Faktor konstan yang menjadi faktor esensial kontinuitas masyarakat itu dalam sejarah adalah jaringan relasi sosial (social relation network)107
yang
menghubungkan
anggota-anggota
masyarakat itu, memberi petunjuk dan orientasi terhadap aktivitas
individual
agar
mencapai
tujuan
yang
ditetapkan (misi masyarakatnya). Dalam
memahami
konsep
masyarakat,
Bennabi
menambahkan kerangka acuan waktu. Sehingga secara dialektik Bennabi mendefinisikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang terus-menerus mengubah ciri sosialnya
melalui
sarana
(alat)
perubahan
yang
dibentuknya, untuk memenuhi sasaran (misi) tertentu108. 107
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 10
108
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 15 ©Budiman
156
Rekonstruksi Peradaban Islam
Masyarakat tidak sekedar kelompok atau asosiasi manusia semata. Faktor yang menentukkannya adalah struktur atau pola-pola fungsional, yang terpeta ke dalam tiga ciri fundamental berikut: (1) adanya
gerak
perubahan (yang memungkinkannya mencapai derajat kehidupan kolektif yang tinggi maupun terdegradasi ke derajat kehidupan yang terbelakang), (2) pembangkitan sarana-sarana perubahan, dan (3) fungsi atau arah yang ingin dicapai oleh gerakan itu109. Persis sebagaimana karakteristik sebuah unsur kimia dengan rumus kimia yang sama tidak bergantung pada satuan-satuan atomnya, tetapi pada struktur yang menata satuan-satuan itu. Karakteristik sebuah masyarakat juga tidak bergantung pada jumlah total individu-individu yang menjadi pembangunnya, tetapi struktur atau pola yang menata keterhubungan individu-individu itu. Satuan-satuan yang sama
dapat
menentukan
109
mengelompok, karakteristiknya
tetapi
faktor
yang
adalah
struktur
yang
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 15 ©Budiman
157
Rekonstruksi Peradaban Islam
menatanya (dalam istilah kimia ini disebut sebagai isomer110), sesuai dengan tiga karakteristik fundamental di atas.
Tafsir Sejarah Dari definisi masyarakat di atas, kita memahami betapa Bennabi menekankan faktor gerak perubahan (sebagai interaksi antara faktor psiko-sosial manusia dengan waktu) merupakan faktor dasar eksistensi sebuah masyarakat.
Gerak
sebagai
karakteristik
dasar
masyarakat ini tidak berjalan secara linier, sebagai garis lurus yang menanjak. Gerak masyarakat sebaliknya bisa menuju kepada ketinggian (kehidupan yang lebih baik 110
Dalam ilmu kimia, isomer ialah molekul-molekul dengan rumus kimia yang sama (dan sering dengan jenis ikatan yang sama), namun memiliki susunan atom yang berbeda (dapat diibaratkan sebagai sebuah anagram). Anagram adalah sejenis permainan kata berupa penyusunan kembali huruf-huruf dari sebuah kata atau frasa untuk menghasilkan sebuah kata atau frasa yang baru, dengan benar-benar menggunakan semua huruf sebelumnya. Contohnya, A Gentleman: seorang lelaki ramah = Elegant Man: lelaki yang rapi ©Budiman
158
Rekonstruksi Peradaban Islam
dari sebelumnya) atau sebaliknya mengarah kepada kemunduran, bergantung pada faktor psiko-sosial yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, dalam kerangka acuan waktu sebuah masyarakat (historis) memiliki titik kelahiran maupun titik keruntuhan dalam sejarah. Apakah kondisi utama yang menjadi syarat bagi kelahiran sebuah masyarakat dalam sejarah ? Banyak pandangan yang digunakan para ahli dalam memberikan interpretasi terhadap gerak sejarah. Hegel, dengan filsafat
idealismenya,
menginterpretasikan
setiap
gerakan sejarah (misal perubahan sosial) melalui prinsip kontradiksi antara tesis dan anti-tesis yang kemudian menghasilkan sintesis; demikian seterusnya. Idealisme Hegelian berbasis pada kemajuan roh untuk mencapai kebebasan mutlah yang berujung pada Negara Mutlak dalam
realisasi
dirinya.
Marx
membalik
prinsip
kontradiksi Hegel ke arah materialisme, faktor ekonomi sebagai basis kontradiksi (interpretasi materialistik terhadap sejarah). Dalam kerangka Marx-ian ini, perubahan alat produksi ©Budiman
merupakan faktor penting 159
Rekonstruksi Peradaban Islam
(basis) bagi perubahan masyarakat secara keseluruhan (superstruktur sosial, politik maupun agama). Menerapkan
interpretasi
materialistik
(ekonomis)
terhadap kelahiran masyarakat Islam di masa kenabian, Bennabi mengafirmasi kegagalan tafsir Marxis ini, karena tidak didapati perubahan ekonomi yang berarti dalam masyarakat Quraisy ketika itu. Basis ekonomi masyarakat tribal Quraisy selama dua ribu tahun (dua millenium), sejak masa Nabi Ismail hingga Nabi Muhammad,
tidak
mengalami
perubahan
berarti.
Perubahan mendadak yang dialami masyarakat Arab setelah kerasulan Muhammad kemudian tidak dapat ditafsirkan dengan tafsir materialistik (perubahan alat maupun relasi produksi) ala Marx ini, karena memang tidak ada perubahan terhadap alat maupun relasi produksi pada masyarakat Arab ketika itu. Seorang ahli sejarah, Arnold Toynbee, mengajukan teori challenge and response (tantangan dan respon) untuk menafsirkan gerak sejarah ini. Teori Toynbee ini ©Budiman
160
Rekonstruksi Peradaban Islam
menegaskan adanya simetri antara stimulasi alamiah (salah satunya adalah faktor geografis) dengan kapasitas (masyrakat) untuk merespons. Bagi Bennabi, teori tantangan dan respon Toynbee ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan model dialektika Hegel, model tesis dan anti-tesis. Dalam model Toynbee, untuk mendapatkan respon yang sesuai, sebuah tantangan haruslah seoptimal mungkin, dalam arti cocok dengan kemampuan manusia
untuk
menghadapinya.
Tantangan
yang
melebihi kapasitas manusia untuk menghadapinya tidak akan
membangkitkan
respon.
Walaupun
apresiatif
terhadap penafsiran Toynbee ini, menurut Bennabi teori Toynbee juga gagal dalam memahami kemunculan masyarakat Islam111. Alasan utamanya adalah tidak ditemukannya perubahan yang fundamental dalam alam atau lingkungan fisik geografi Arabia yang memberikan tantangan yang setara untuk direspon secara berbeda
111
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 19-22 ©Budiman
161
Rekonstruksi Peradaban Islam
oleh suku-suku Arab ketika itu. Struktur kehidupan tribal (kesukuan) Arab tidak berubah selama ribuan tahun. Dalam koreksinya terhadap teori Toynbee, Bennabi menafsirkan gerak sejarah masyarakat Muslim awal melalui atribusi faktor psikologis, yang mendorong daya spiritual
masyarakat,
keagamaan
untuk
(tantangan
menggapai
ideal,
spiritual).
tantangan Dalam
pandangan Bennabi, Quran menempatkan kesadaran manusia muslim antara dua limit; janji (wa’ad) dan ancaman (wa’id); artinya kesadaran manusia muslim ditempatkan dalam kondisi yang tepat untuk merespons tantangan
yang
secara
esensial
bersifat
spiritual.
Ancaman/Peringatan adalah batas terendah yang di bawah itu tak akan ada usaha yang efektif; Janji adalah level tertinggi yang di atasnya setiap usaha menjadi mustahil112.
112
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 22-23 ©Budiman
162
Rekonstruksi Peradaban Islam
Berdasarkan analisis ini dapat dipahami bahwa gerak kelahiran historis sebuah masyarakat tidak bergantung pada faktor disposisi biologis –bawaan biologis— manusiawi. Demikian pula secara eksternal objektif gerak sejarah itu pengaruh
tidak muncul semata-mata dari
lingkungan
(geografis
maupun
paksaan
ekonomis). Faktor yang bisa menjelaskan gerak sejarah kelahiran masyarakat mestilah dilacak dari adanya misi yang ingin dicapai oleh manusia. Jika kita menggunakan perspektif eksternal objektif, gerak sejarah kelahiran masyarakat bergantung pada adanya tantangan misional, yang pada hakikatnya bersifat spiritual113. Sedangkan jika kita menggunakan perspektif internal subjektif, gerak sejarah masyarakat muncul dari faktor psikologis yang berakar pada dorongan spiritual (tantangan spiritual/ideal).
113
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 24-26 ©Budiman
163
Rekonstruksi Peradaban Islam
Sebagai kesimpulan, kelahiran sebuah masyarakat atau terdorongnya sebuah kelompok manusia ke dalam sejarah sangat bergantung kepada ide atau pemikiran dasar yang memberikan makna dan arah baru bagi eksistensi mereka di dunia ini, dan mengorientasikan energi vital mereka untuk memenuhi sasaran dan aktualisasi nilai-nilai itu. Dalam esensinya pemikiran itu bersifat psiko-spiritual. Pada titik inilah kita memahami pentingnya agama dalam mendorong gerak sejarah masyarakat.
Triad Dinamika Sosial Masyarakat Pada bagian sebelumnya kita memahami bagaimana tafsir sebuah masyarakat terdorong masuk ke dalam sejarah. Karena eksistensi masyarakat, berdasarkan definisi dialektisnya, bergantung pada adanya gerakan, menuju sasaran tertentu,
melalui penciptaan sarana-
sarana yang diperlukan; maka eksistensi masyarakat itu bergantung pada dinamika sosial (melalui aktivitas sosial) yang berkembang di dalamnya. Masyarakat yang ©Budiman
164
Rekonstruksi Peradaban Islam
berhenti bergerak adalah masyarakat yang ditakdirkan untuk mati. Dengan mengacu pada Guizot, Bennabi menjelaskan pada dasarnya sejarah adalah perubahan yang terjadi atas individu maupun lingkungannya. Atau dengan ungkapan lain, sejarah adalah aktivitas kolektif yang dijalankan oleh orang, ide dan objek (benda) yang terpahat dalam memori waktu114. Secara sosiologis kerja sejarah (dinamika sosial sebuah masyarakat) merupakan produk interaksi dinamis dari tiga
kategori
sosial
berikut
:
dunia
pribadi/manusia(person, asykhas), dunia ide (afkar) dan dunia benda (objek/, asyya’)115.
Setiap aksi ini
ditentukan polanya oleh arketipe (model) ideologis dari dunia ide, yang diaplikasikan melalui sarana dunia benda, 114
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 26-27
115
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 24 ©Budiman
165
Rekonstruksi Peradaban Islam
untuk mencapai objektif yang dispesifikasi oleh dunia pribadi/manusia/orang. Walaupun ketiga dunia ini memeliki signifikansinya masing-masing,
bagi
Bennabi
kesejahteraan
atau
kekayaan sesungguhnya sebuah masyarakat bergantung pada dunia ide, tidak terkait dengan jumlah benda-benda yang dimilikinya. Bennabi menyontohkan, kehancuran Jerman pasca Perang Dunia ke-2 memberikan contoh bagaimana kekayaan ide membangunkan bangsa dari kehancuran116. Tetapi ketiga unsur di atas (orang, ide, dan benda) tidaklah cukup, ia membutuhkan adanya unsur (realm, dunia) ke-4 untuk menjadi efektif. Unsur ke-4 itu adalah jumlah total keterhubungan sosial yang dibutuhkan atau jaringan relasi sosial (social relation network)117. Adanya 116
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 41
117
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 27. Selanjutnya akan digunakan istilah ©Budiman
166
Rekonstruksi Peradaban Islam
banyak benda-benda (sumber daya material) pada sebuah bangsa, atau adanya banyak sumber daya manusia (dunia orang) atau berlimpahnya ide-ide tidaklah menjamin peradaban dimiliki oleh masyarakat itu, jika jaringan sosialnya rusak. Sebagaimana situasi yang dialami oleh dunia Islam saat ini pada umumnya.
Jaringan
keterhubungan sosial ini bukanlah efek yang ditimbulkan oleh ketiga dunia yang membentuk masyarakat, tetapi ia membentuk dimensi tersendiri. Adanya jaringan sosial ini memberikan relasi organik terhadap ketiga dunia (orang, ide dan objek), sehingga memberi pengaruh sebagai sebuah kesatuan. Jaringan sosial di sini adalah prinsip integratif dalam gerak sejarah sebuah masyarakat. Dari mana asal-usul jaringan sosial ini ? Kemunculan jaringan sosial ini dapat dilacak pada kondisi dan lingkungan yang membangkitkan gerak sejarah sebuah
jaringan sosial untuk menyingkat istilah jaringan relasi sosial (social relation network). ©Budiman
167
Rekonstruksi Peradaban Islam
masyarakat.
Pada bagian terdahulu kita memahami
bahwa, produk peradaban = manusia + tanah + waktu Ketiga dunia yang membangun konstruksi gerak kesejarahan sebuah masyarakat setiap unsurnya tunduk pada persamaan di atas (orang, ide dan benda adalah produk
peradaban)118.
Dari
pembahasan
terdahulu
dipahami bahwa, ketika unsur peradaban itu tidak akan bergerak kecuali jika ada proses sintesis yang dilakukan, proses sintesis itu membutuhkan katalisator, yaitu pemikiran keagamaan. Proses sintesis itu terjadi secara efektif di dunia orang (realm person) dengan membentuk ikatan sosial (social bond) di antara mereka119. Relasi yang terbangun dalam dunia orang ini kemudian akan menyediakan ikatan antara dunia orang itu dengan dunia ide dan objek. Dari sini dapat dipahami bahwa
tautan
118
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 31
119
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 33 ©Budiman
168
Rekonstruksi Peradaban Islam
yang menghubungkan antara satu orang-dengan orang yang lain adalah tautan (link) kultural120. Tautan kultural ini adalah nilai-nilai dan norma etik dan estetik121. Pada titik formatif sebuah masyarakat jaringan sosial inilah yang menjadi sumber perubahan. Sehingga, tugas awal sebuah masyarakat dalam proses rekonstruksinya adalah melakukan rekonstruksi jaringan sosialnya122. Bagaimana memahami keterkaitan formula, peradaban = manusia + tanah + waktu, dengan skema tiga dunia (triad manusia-ide-benda) ini ? Sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya, dalam pandangan Bennabi manusia, tanah dan waktu merupakan modal dasar atau modal
awal
setiap
masyarakat
untuk
memasuki
peradaban. Tetapi untuk menghasilkan peradaban ketiga 120
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 34
121
Lihat bab sebelumnya yang membahas mengenai orientasi budaya
122
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 29 ©Budiman
169
Rekonstruksi Peradaban Islam
modal dasar itu harus disintesiskan oleh pemikiran (ide) keagamaan. Jadi sesungguhnya triad aktivitas sosial sebuah masyarakat, yang membentuk dinamika sejarah sebuah masyarakat, ini sebenarnya adalah refleksi dari tiga modal (material) dasar dan modal ide di atas. Dunia pribadi merupakan refleksi dari aspek manusia, dunia ide merupakan refleksi dari aspek ide dasar (master idea, dalam hal ini adalah agama) dan dunia objek/benda merupakan
refleksi dari
tanah dan waktu sebagai
kerangka dasarnya).
Jaringan Sosial Jaringan sosial, sebagaimana diungkapkan di atas, pada esensinya adalah faktor kultural, atau lebih spesifik etika. Etika ini tidak bersumber dari ketiga dunia tadi, tetapi bersumber pada pemikiran keagamaan. Fungsi yang diperankan oleh etika ini adalah mentransformasi manusia dari entitas biologis (individu) menjadi entitas sosial (person), melalui pengubahan kualitas dasar yang
©Budiman
170
Rekonstruksi Peradaban Islam
menautkannya sebagai spesies biologis kepada arah sosial yang akan menautkannya dengan masyarakat123. Seperti diungkapkan di atas, kesejahteraan atau kejayaan sebuah masyarakat sangat tergantung pada dunia ide. Dunia ide adalah kekayaan sesungguhnya sebuah masyarakat. Tetapi dunia ide saja tidak mencukupi untuk kesejahteraan, kejayaan masyarakat. Faktor penting lain adalah selamatnya jaringan sosial masyarakat itu dari kerusakan124. Efektifitas
atau
efikasi
(kemanjuran,
kemujaraban) sebuah ide tergantung pada jaringan sosial masyarakat. Kerusakan pada jaringan sosial masyarakat akan menyebabkan patologi sosial yang membuat tidak efektifnya kelimpahan ide, manusia atau benda dalam sebuah
masyarakat125.
Bennabi
menyontohkan
123
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 33
124
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 41
125
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 47-53 ©Budiman
171
Rekonstruksi Peradaban Islam
penurunan produksi dalam sebuah masyarakat terjadi tidak semata-mata karena memang faktor alam, tetapi terkait dengan aktivitas agrikultural dan proses distribusi dalam sebuah masyarakat (dengan kata lain jaringan sosialnya)126.
Ia
juga
menyontohkan,
penemuan
teknologi kompas di dunia Islam pada era kemunduran, tidak mendapati jaringan sosial yang efektif, sehingga penemuan
menjadi
terbengkalai
dan
tidak
menggairahkan sisi-sisi lain dalam masyarakat, dan pada akhirnya ia menghilang. Kita dapat mengukur jaringan sosial secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif ia terkait dengan jumlah relasi yang menautkan setiap individu dalam masyarakat. Secara kualitatif ia terkait dengan level psiko-temporal efektifitasnya
yang
mempengaruhi
tingkat
(efikasi/kemujarabannya)127.
Dengan
126
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 52
127
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 43 ©Budiman
172
Rekonstruksi Peradaban Islam
menggunakan diagram yang digunakan sebelumnya kita dapat memahami aspek-aspek
ini dalam konteks
perubahannya.
©Budiman
173
Rekonstruksi Peradaban Islam
Titik A pada grafik di atas merupakan titik awal sintesis manusia, tanah dan waktu. Ia adalah titik awal kelahiran sebuah masyarakat. Masyarakat lahir ketika ia memulai gerak perubahan. Tetapi nilai-nilai sosial yang dikandung dalam sintesis ini belum aktual (terbentuk dalam realitas konkret), ia masih berupa benih, potensialitas. Relasi spiritual antara Tuhan dan manusia menjadi determinan bagi ikatan sosial yang menautkan individu-individu dalam masyarakat128. . Bennabi mengungkapkan bahwa persyaratan utama bagi terjaminnya jaringan sosial sebuah masyarakat adalah ditentukannya batas-batas bagi energi vital (hidup) anggota-anggotanya129. Batasbatas itu adalah etika yang mampu menundukkan naluri manusia. Sehingga lahirnya relasi sosial dalam konteks ini terbentuk dalam nilai-nilai moral, yang melekat pada
128
129
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 64 Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1994, hal 184 ©Budiman
174
Rekonstruksi Peradaban Islam
tradisi,
regulasi,
sikap,
administrasi
sosial
dan
sebagainya130 Secara psikologis peran nilai moral dalam membentuk individu adalah pada perannya yang merubah individumentah (entitas biologi) menjadi individu-sosial (entitas sosial) melalui mekanisme pengondisian terhadap energi vitalnya131. Energi vital atau energi dasar kehidupan ini meliputi naluri hidup, mempertahankan hidup dan melanjutkan
kehidupan
(pro-kreasi).
Proses
pengondisian energi vital ini meliputi proses filterisasi, yaitu penyaringan perilaku lama dan proses seleksi (asimilasi), yaitu penanaman perilaku baru yang sesuai dengan kebutuhan ideal tertentu. Pengondisian ini merupakan masyarakat,
proses di
integrasi
mana
energi
individu vital
ke
dalam
(kehidupan)
ditundukkan pada seperangkat ide dan prinsip-prinsip 130
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 75
131
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 77 ©Budiman
175
Rekonstruksi Peradaban Islam
tertentu132. Proses integrasi ini bukanlah represi, tetapi kanalisasi potensi, karena membebaskan naluri sebebasbebasnya atau menegasikan fungsi naluri manusia samasama akan merusak masyarakat. Secara
sosiologis,
peran
nilai
moral
ini
adalah
merekonstruksi jaringan sosial mereka. Pada masa formatif sebuah masyarakat, nilai-nilai spiritual yang menautkan manusia dengan Tuhan selanjutnya akan menautkan anggota-anggota sebuah masyarakat dalam sebuah jaringan. Untuk memahami proses ini kita pula merujuk pada gambaran yang diberikan oleh Norbert Elias. Norbert Elias menjelaskan bahwa maksud dan perbuatan manusia selalu berkaitan secara positif atau negatif. Dari hubungan saling ketergantungan ini tumbuhlah tatanan yang khas, yang lebih mengikat dan kuat dibanding rasio dan kemauan masing-masing individu. Gambaran mengenai jaringan sosial ini dapat 132
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 81. Ini yang kemudian secara fiqh disebut sebagai taklif ©Budiman
176
Rekonstruksi Peradaban Islam
dipahami dari gambaran umum mengenai kondisi jalan yang ada pada masyarakat primitif (masyarakat ekonomi subsisten)
dan masyarakat yang berkembang. Dalam
masyarakat primitif, tergambar jalan yang penuh lubang, terkikis oleh cuaca, semua kaum lelaki membawa senjata, lalu lintas sangat sepi, jalan seperti itu penuh ancaman yang membahayakan (perampokan, maupun serangan bersenjata dari suku lain), manusia yang berjalan di jalan itu akan tampak sangat waspada. Sementara itu jalan raya kota besar memberikan gambaran berbeda. Di jalan ini bayangan mengenai serangan fisik, kekerasan dan perang antar kelompok kecil sekali terjadi, di jalan itu orang lalu lalang dengan kecepatan tinggi, setiap orang mampu mengendalikan diri untuk tidak bertabrakan133. Garis A-B
menunjukkah
garis
menanjak
sebuah
masyarakat, ketika individu berada pada kondisi 133
Norbert Elias, Kerangka Untuk Sebuah Teori Peradaban, ermuat dalam Teori Masyarakat, Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Modern, edt. Hans Dieter Evers, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta) 1988, hal 8 ©Budiman
177
Rekonstruksi Peradaban Islam
terbaiknya, ketika reflek terkondisi mencapai taraf efikasinya (kemanjurannya)134. Energi kehidupan (vital – naluri) secara optimal terorganisasi dan terorientasi. Secara jaringan sosial, garis A-B menggambarkan situasi dimana jaringan sosial berada dalam tingkat kerapatan yang padat, tetapi dengan derajat ekspansi yang masih sempit135. Dalam konteks sejarah Islam, garis ini merepresentasikan masa-masa Kenabian dan Khilafah Rasyidah. Belum ada kelimpahan benda pada masa ini, dan benda material bukanlah determinan (bukan factor penentu) gerak masyarakat awal ini. Ide teknis juga memiliki keterbatasan. Tetapi apa yang menjadi dasar pergerakan pada masa ini adalah ide dasar keagamaan yang membentuk jaringan sosial dunia manusia. Pada garis B-C, jaringan sosial berada dalam tingkat perkembangan terbaiknya, mengalami ekspansi penuh. 134
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 90
135
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 89 ©Budiman
178
Rekonstruksi Peradaban Islam
Tetapi
individu-individu
tidak
lagi
mengalami
mekanisme pengondisian secara optimal136. Garis C-D menandai mulainya insting terlepas dari kontrol, sehingga individu-individu menjadi egoistis, individualis dan kehilangan fungsi sosialnya. Jaringan sosial pada garis ini mulai rusak dan kemudian lenyap. Kerusakan jaringan sosial ini terjadi karena naluri yang sudah tidak terkendali, karena terkikisnya idealisme, nilai-nilai moral (rusaknya semangat/spirit masyarakat) dan karena menyimpangnya energi kreatif dan moral ke arah yang tidak tepat (rusaknya sarana)137. Individuindividu setelah titik D ini mengalami split personality,
136
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 90-91
137
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 115 ©Budiman
179
Rekonstruksi Peradaban Islam
gagal menautkan (menggunakan istilah Bennabi) antara masjid dan kehidupan138.
Dinamika Ide Ide adalah faktor yang membedakan aktivitas manusiawi dengan aktivitas binatang. Sebagaimana dinyatakan oleh Marx, apa yang membedakan antara arsitek terburuk dengan lebah terpintar adalah bahwa manusia terlebih dulu membangun imajinasinya sebelum bekerja139. Sehingga komponen (dalam analisis akhir) aktivitas manusia terpeta ke dalam diri manusia itu sendiri (dunia pribadi), alat yang digunakan (dunia benda) dan ide yang mengarahkan (dunia ide). Ide juga merupakan faktor yang menjadi determinan bagi dinamika, kekayaan dan kesejahteraan sebuah 138
Malik Bennabi, On The Origin of Human Society, (The Open Press, Kuala Lumpur), 1998, hal 124-126
139
Malik Bennabi, The Question of Ideas in The Muslim World (IBT, Kuala Lumpur), 2003, hal 10-11 ©Budiman
180
Rekonstruksi Peradaban Islam
masyarakat (selain selamatnya jaringan sosial mereka)140. Kurangnya faktor benda (alat) atau sumber daya material, tidak akan menjadi faktor yang melumpuhkan bagi masyarakat jika ide berperan secara tepat dan dinamis. Dalam konteks ini masyarakat berperadaban mestilah mampu menjamin adanya lingkungan ideasional maupun material yang menumbuhkan kemauan dan kekuatan (kapasitas) individu anggota masyarakatnya dalam mengembangkan diri secara optimal141. Secara psikobiologis anak manusia memulai proses integrasinya ke dalam masyarakat melalui tahapan berikut. Diawali dengan penemuan dunia benda (tubuh bagi seorang bayi masih dianggap sebagai benda), berlanjut pada penemuan dunia pribadi (ibu, keluarga) dan
pada
akhirnya
penemuan
dunia
ide
(gagasan).Disintegrasi individu dari masyarakat juga 140
Lihat pembahasan di bagian sebelumnya
141
Malik Bennabi, The Question of Ideas in The Muslim World (IBT, Kuala Lumpur), 2003, hal 23-24 ©Budiman
181
Rekonstruksi Peradaban Islam
melalui tahap yang dapat digambarkan melalui hilangnya pola interaksi dengan ketiga triad di atas. Dimulai dari hilangnya kemampuan kreatif (dunia ide), berlanjut pada ketidakacuhan dan ketidakpercayaan pada orang lain (dunia pribadi) dan akhirnya kelemahan secara fisik dan tercerainya dari benda-benda sekitarnya (dunia benda)142. Karakter masyarakat juga dipengaruhi oleh interaksi dialektis antara ketiga dunia ini, walaupun disini kita tidak dapat secara tegas membedakan batas-batasnya. Mengacu pada diagram yang digunakan sebelumnya, kita dapat membagi tipikal masyarakat ke dalam masyarakat pra-peradaban (masyarakat sebelum titik A), masyarakat berperadaban (masyarakat dalam siklus A-D) dan masyarakat pasca-peradaban (masyarakat setelah titik D). Masyarakat pra-peradaban (dalam sejarah Islam ini mengacu pada masyarakat jahiliyah) dicirikan oleh dominasi dunia benda dalam kehidupan mereka.
142
Malik Bennabi, The Question of Ideas in The Muslim World (IBT, Kuala Lumpur), 2003, hal 13-14 ©Budiman
182
Rekonstruksi Peradaban Islam
Demikan pula dunia pribadi mereka terbatas pada dunia kesukuan
(kekabilahan).
Dalam
masyarakat
berperadaban ide menjadi pengarah utama, kemana dunia pribadi dan dunia benda digerakkan. Pada masyarakat
pasca-peradaban
ide
kehilangan
efektifitasnya, peran pengarah utama diduduki oleh dunia benda. Dominasi dunia benda dalam masyarakat pasca-peradaban dengan dominasi dunia benda pada masyarakat
pra-peradaban
memiliki
perbedaan
karakteristik. Masyarakat pra-peradaban memiliki dunia benda yang minim secara kuantitas. Sedangkan pada masyarakat pasca-peradaban benda-benda tersedia secara melimpah, tetapi masyarakat kehilangan dinamika peradabannya143.
Klasifikasi Ide
143
Malik Bennabi, The Question of Ideas in The Muslim World (IBT, Kuala Lumpur), 2003, hal 18-21 ©Budiman
183
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bennabi membagi ide menjadi dua kategori ide dasar (arketipe, orisinal) dan ide praktikal (teknik). Ide dasar (arketipe)
masyarakat
merupakan
ide
yang
mentrasformasi (mengubah, mengondisikan) manusia. Sedangkan ide praktikal (teknik) adalah ide yang mentrasformasi
(mengubah,
mengondisikan)
materi/benda. Ide arketipe masyarakat merupakan ide pendorong (driving idea) yang mendorong masyarakat memasuki sejarah (pada
titik A diagram
di
atas).
Proses
transformasi manusia ini meliputi proses pengondisian energi vital (kehidupan) manusia dan pengubahan jaringan sosialnya. Kekuatan ide arketipe ini bergantung pada sumbernya yang suci. Ide mengenai yang suci (sacred)
merupakan
kunci
pendorong
aktivitas
kesejarahan pada masa formatif masyarakat144.
144
Malik Bennabi, The Question of Ideas in The Muslim World (IBT, Kuala Lumpur), 2003, hal 34-35 ©Budiman
184
Rekonstruksi Peradaban Islam
Jika ide arketipe (kunci) memberi pada aktivitas masyarakat
sebuah
etos,
maka
ide
praktikal
membimbing aktivitas manusia membentuk teknik. Teknik dalam hal ini adalah pendekatan rasional, terbimbing
untuk
memecahkan
masalah-masalah
temporal yang dihadapi oleh masyarakat itu. Dari
sudut
pandang
lain,
Bennabi
juga
mengklasifikasikan ide menjadi dua kategori impressed idea dan expressed idea. Impressed idea adalah ide yang membentuk manusia, sebagaimana kategori ide arketipe (dasar) di atas. Impressed idea membangun pusat poralisasi bagi energi hidup manusia (energi biologis, naluriah) dan dorongan psiko-sosial bagi masyarakat145. Impressed idea merupakan world view
darimana
anggota sebuah masyarakat mempersepsi posisi mereka dalam alam semesta dan misi mereka dalam sejarah, serta mengembangkan jaringan antara anggotanya dalam 145
Mohammed Tahir El-Mesawi, A Muslim Theory of Human Society, an investigation into the sociological thought of Malik Bennabi, (Thinkers Library, Kuala Lumpur), 1998. hal 128 ©Budiman
185
Rekonstruksi Peradaban Islam
masyarakat itu (fungsi etis). Ide pada level ini juga merupakan sumber inspirasi bagi kejeniusan budaya dan kreatifitas intelektual masyarakat tersebut146. Sedangkan expressed idea adalah ide yang dibangun untuk
mengekspressikan
nada-nada
dasar
pada
impressed idea. Melalui expressed idea ini masyarakat mengonseptualisasikan,
memproyeksikan
dan
dan
mengaktualisasikan impressed idea (arketipe)-nya ke dalam pengalaman sejarah147. Impressed idea memiliki keterbatasan dalam jumlah, memiliki karakter universal, sumber yang transendental dan permanensi dari generasi ke generasi. Expressed idea
mengalami
proses
akumulasi,
adaptasi
dan
146
Mohammed Tahir El-Mesawi, A Muslim Theory of Human Society, an investigation into the sociological thought of Malik Bennabi, (Thinkers Library, Kuala Lumpur), 1998. hal 128
147
Mohammed Tahir El-Mesawi, A Muslim Theory of Human Society, an investigation into the sociological thought of Malik Bennabi, (Thinkers Library, Kuala Lumpur), 1998. hal 130 ©Budiman
186
Rekonstruksi Peradaban Islam
modifikasi
yang
memungkinkan
setiap
generasi
menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang tunduk pada kaidah pertumbuhan dan perubahan148. Dalam nisbatnya pada dunia pribadi, ia terekspresikan dalam ide politik, ideologi. Terhadap dunia ide itu sendiri, ia terekspresi dalam filsafat maupun sains. Sedangkan terhadap dunia benda ia terefleksi dalam ide rekayasa sosial, ekonomi dan teknik. Keefektifan dan efikasi (kemanjuran, kemujaraban) expressed idea, menurut Bennabi, bergantung pada dua faktor. Pertama, pada kerepresentatifannya terhadap nilai-nilai arketipal masyarakatnya, atau ia memiliki karakter otentik berdasarkan standar nilai-nilai arketipal yang ada. Kedua, kemampuan expressed idea itu untuk memberikan solusi yang adekuat terhadap permasalahan teoritis, kognitis, moral dan praktis yang dihadapi oleh masyarakat. Dari kedua faktor ini dapat dipahami proses 148
Mohammed Tahir El-Mesawi, A Muslim Theory of Human Society, an investigation into the sociological thought of Malik Bennabi, (Thinkers Library, Kuala Lumpur), 1998. hal 130 ©Budiman
187
Rekonstruksi Peradaban Islam
peminjaman dan adopsi terhadap produk-produk atau ide dari peradaban lain perlu disesuaikan dan diadaptasikan yang membuatnya searah/searus dengan fondasi moral dan kultural masyarakat itu. Membangun expressed idea (dengan memborong banyak ide-ide pinjaman) tanpa mempertimbangkan impressed idea adalah sebentuk pengkhianatan149.
Despotisme Benda-Figur-Ide Dunia ide, benda dan pribadi akan selalu mengalami dialektika. Efektifitas interaksi dialektis ini terletak pada keseimbangannya, dengan dunia ide sebagai dominator (yang
kritis).
Tetapi
peristiwa-peristiwa
sejarah
kadangkala menggoyahkan keseimbangan ini, sehingga muncullah
149
ekstrimitas
ketika
salah
satu
dunia
Malik Bennabi, The Question of Ideas in The Muslim World (IBT, Kuala Lumpur), 2003, hal 45 ©Budiman
188
Rekonstruksi Peradaban Islam
mendominasi yang lainnya dalam bentuk kultus. Hilangnya keseimbangan interaktif ketiga dunia (idebenda-pribadi) membentuk krisis dalam masyarakat. Krisis itu termanifestasi dalam fenomena despotisme satu elemen atas elemen-elemen yang lain. Despotisme Kebendaaan. Bagi Bennabi problem utama dunia Islam modern terletak pada despotisme kebendaan yang menguasai budaya mereka. Ketika dunia benda menjadi dominan terhadap dunia-dunia lain secara despotis
(despotisme
menyebabkan
patologi
objek/benda), dalam
sebuah
ia
akan
masyrakat.
Refleksi dominasi dunia benda (kultus kebendaan) dalam sebuah
masyarakat
dapat
dilihat
pada
fenomena
choseisme (thingism, bendaisme); di mana kualitas seseorang dinilai dari kuantitas materi yang dimiliki, menentukan solusi bagi problem sosial dilihat dari aspek kuantitas saja, serta konsumerisme (penumpukan dan penimbunan benda-benda). Level pengaruh paham bendaisme ini bisa mencakup berbagai level. Secara psikologis-moral, Bennabi menyontohkan, bendaisme ini ©Budiman
189
Rekonstruksi Peradaban Islam
muncul dalam fenomena yang menilai seseorang dari attribut berpakaian yang mahal, menilai seseorang dari hierarki sosialnya, juga dalam bentuk kekacauan ide antara yang memiliki dan dimiliki (misal dalam ungkapan 'Pemerintah dan rakyatnya' alih-alih secara tepat diungkapkan sebagai 'Rakyat dan pemerintah-nya'). Pada level sosial, fenomena ini muncul dalam bentuk solusi-solusi terhadap problem yang hanya menimbang aspek
kuantitatif
semata.
Pada
level
intelektual,
choseisme bisa muncul dalam contoh seorang penulis yang mengukur pencapaian intelektualnya dari berapa tebal atau berapa banyak halaman buku yang sudah dibaca atau ditulisnya. Pada level politik, fenomena bendaisme muncul dalam bentuk figurisme. Figurisme. Pemujaan figur ini menjadikan figur itu seolah menjadi kunci bagi semua masalah yang mereka hadapi, misal ide mengenai 'manusia-super' yang akan mampu menyelesaikan semua permasalahan mereka. . Figurisme ini menjasadkan solusi pada satu tokoh tertentu. Pemujaan figur ini adalah sejenis mistifikasi ©Budiman
190
Rekonstruksi Peradaban Islam
dimana ide tentang figur terperangkap dalam ide tentang berhala. Bennabi menyontohkan kasus ekstrim dalam hal ini pada munculnya figur Hitler pada era perang dunia ke-2. Secara sinis Bennabi juga menyontohkan hal ini pada fenomena BOULITIQUE (politik sekedar sebagai demagogi, slogan) sebagai kontras dari POLITIQUE (politik sebagai rekonstruksi manusia dan masyarakat). Kultus Ide. Jika ide merupakan sumber kekayaan sebuah masyarakat, mungkinkah ia dapat memicu sebuah krisis ? Problem terkait dengan ide ini tidak pada signifikansi ide atau kebutuhan terhadap ide itu sendiri. Tetapi pada relasi yang kita bangun terhadap ide. Relasi negatif yang dibangun terhadap ide adalah relasi kultus. Kultus ide ini dapat berbentuk semangat tidak kritis dalam
mengaplikasikan
menyontohkan,
dalam
ide
tertentu150.
sebuah
kuliah
Bennabi tentang
farmakologi, seorang profesor tengah menjelaskan sifat
150
Malik Bennabi, The Question of Ideas in The Muslim World (IBT, Kuala Lumpur), 2003, hal 54-67 ©Budiman
191
Rekonstruksi Peradaban Islam
sebuah tanaman. Alih-alih mengulurkan tangannya memetik daun pohon yang ada di kebun percontohan untuk diperlihatkan kepada mahasiswanya, ia justru menjelaskan sifat dan bentuk daun tersebut dari textbook yang dipegangnya. Fenomena ketidakseimbangan interaktif antara tiga elemen sejarah-budaya masyarakat ini (ide, benda dan pribadi) sesungguhnya merupakan refleksi dari modus relasi yang salah yang dibangun oleh manusia. Untuk memperjelas hal ini, kita dapat membanding keterangan Bennabi di atas dengan ide mengenai dua modus eksistensi manusia dari Erich Fromm. Menurut Fromm ada dua modus dasar eksistensi manusia, modus 'memiliki' (to have) dan 'menjadi' (to be). Modus dalam hal ini adalah struktur karakter yang mendominasi dan menentukan totalitas pemikiran, perasaan dan perilaku seseorang. Modus memiliki adalah modus yang menjadikan setiap orang atau sesuatu (termasuk diri sendiri) sebagai benda milik. Modus ©Budiman
192
Rekonstruksi Peradaban Islam
menjadi adalah relasi otentik dan hidup sebagai kontras dari 'memiliki'. Arti lain dari menjadi (to be) adalah realitas nyata sebagai kontras dari tampilan palsu. Modus
memiliki
ialah
kecenderungan
untuk
memperlakukan setiap hal (bahkan orang maupun pemikiran) sebagai sesuatu (benda) yang dimiliki. Memiliki
berarti
menguasai
dan
memperlakukan
'sesuatu' sebagai objek (benda). Keamanan dirinya terletak pada penimbunan 'benda-benda'. Bahkan cinta, ilmu dan relasi antar orang pun dibendakan; yang bisa ditimbun, diakumulasi sebanyak-banyaknya. Pelajar dalam modus memiliki akan mendengarkan kuliah, dan mencatat setiap kata yang keluar dari sang Dosen, sehingga ia dapat menghafalnya nanti dari catatannya untuk lulus dari ujian. Tetapi isi pengetahuan tidak menjadi bagian dari sistem pemikirannya, ia hanya menjadi informasi yang bisa disimpan (belajar gaya bank, dalam istilah Paulo Freire). Membaca juga bisa dijadikan contoh. Dalam modus memiliki membaca berarti menimbun informasi, cerita yang kemudian ©Budiman
bisa 193
Rekonstruksi Peradaban Islam
diceritakan ulang atau dijadikan sebagai bahan untuk menegakkan otoritas dalam obrolan. Dalam modus menjadi, belajar dilihat sebagai sesuatu yang fungsional dan menjadi medium untuk menggerakkan proses berpikir yang produktif. Membaca merupakan dialog pemikiran.
Sosiologi Ide Secara sosiologis sebuah ide memiliki dua atribut dasar, orisinalitas
(genuineness)
dan
efikasi
(efektifitas/aktualitas). Orisinalitas sebuah ide adalah nilai kebenaran ide tersebut. Nilai kebenaran ini bergantung dari level ide tersebut; apakah ide dalam level
logika,
saintifik
atau
teologis/metafisis.
Orisionalitas ide bebas dari dialektika sejarah, ia memiliki nilainya sendiri secara intrinsik. Sedangkan efektifitas/efikasi sebuah ide adalah dinamika ide itu dalam mendorong proses sejarah, kapasitasnya untuk membangkitkan efek. Ia tidak bergantung pada karakter intrinsik ide itu (nilai benar-salahnya) tetapi bergantung ©Budiman
194
Rekonstruksi Peradaban Islam
pada
dinamik
dan
kekuatannya
dalam
konteks
kulturalnya. Sebuah ide genuine (orisinal) tidak selalu efektif/efikatif, demikian pula sebuah ide yang efikatif tidak selalu genuine. Ide yang membuat sejarah selalu efikatif tetapi tidak selalu genuine. Ide mengenai sirkulasi peredaran darah yang ditemukan Ibn Nafis memerlukan empat abad untuk efikatif (di tangan William Harvey). Ide dapat benar dan dapat salah. Tetapi suatu ide entah benar maupun salah dapat sama-sama berperan (dominan) dalam sejarah, memiliki aktualitas/efikasi (kemanjuran dalam) sejarah. Bisa saja sebuah ide (gagasan, fikrah) merupakan gagasan orisinal dan benar, tetapi tidak menjadi tren yang dominan di masyarakat. Boleh jadi pula sebuah gagasan tidak orisinal atau salah total karena tidak memiliki basis kebenaran (gagasan bahwa bumi ada di atas tanduk kerbau misalnya), tetapi ia mendominasi pikiran masyarakat dan menggerakkan dinamika didalamnya. Pada era peradaban Islam klasik, pemikiran Islam berada dalam taraf efikasi yang tinggi. ©Budiman
195
Rekonstruksi Peradaban Islam
Ia menggerakkan peradaban, ia menghasilkan produkproduk. Sehingga sulit bagi masyarakat Kristen Eropa ketika itu untuk mengabaikan efikasi ide-ide muslim itu. Saat ini perjumpaan pemikiran antara peradaban Barat modern dengan kesadaran muslim berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Barat modern memberikan primasi yang tinggi terhadap nilai efikasi atas nilai kebenaran ide-ide mereka. Manusia muslim modern melihat satu wajah saja dari aspek ini (aspek nilai efikasi) yang
mebuat
kebingungan.
Kebingungan
ini
mempengaruhi psikologi manusia muslim modern (dalam pertarungan ideologisnya) yang menjadikan 'income per capita' untuk menilai otentisitas atau kebenaran
ide-ide
Islam
dalam
pemikiran
kaum
muslimin. Secara singkat, dalam pertarungan pemikiran di dunia Islam pemikiran Barat menitikberatkan pada efikasi ide sebagai basis penilaian mereka terhadap ideide yang muncul. Likuidasi ide-ide Islam dari kehidupan didasarkan
©Budiman
pada
logika
satu
dimensi
ini,
yang
196
Rekonstruksi Peradaban Islam
termanifestasi dalam menjadikan Islam sebagai tertuduh terhadap keterbelakangan umat. Berdasarkan analisa di atas, Bennabi mengingatkan, bahwa dunia Islam saat ini bukan hanya latar bagi pertarungan antara ide dengan berhala (idol) dan benda (objek); ia juga merupakan ring pertarungan dalam memenangkan logika efiefektifitas/logika aktualitas. Dunia modern adalah dunia yang menekankan primasi efektifitas (aktualitas atau efikasi) ide atas kebenaran. Ia diatur oleh logika pragmatis. Logika pragmatis ini terkait dengan apa manfaat yang diberikannya pada manusia pada umumnya. Dominasi ide dalam sebuah masyarakat tergantung pada aspek manfaat yang mereka terima. Bagi Bennabi, ini menjadi penting karena selain terkait bagaimana
kita
perlu
memenangkan
pertarungan
melawan bendaisme yang merajalela, adalah masalah bagaimana kita memenangkan logika efikasi (melalui
©Budiman
197
Rekonstruksi Peradaban Islam
manfaat pragmatis yang diberikan oleh ide yang dimunculkan dari sumber keaslian kita (Islam) )151.
151
Malik Bennabi, The Question of Ideas in The Muslim World (IBT, Kuala Lumpur), 2003, hal 73 ©Budiman
198
Rekonstruksi Peradaban Islam
Bab 6 Strategi Peradaban
Setelah kita memahami hakikat problem peradaban dan melakukan analisis terhadap problem tersebut dari perspektif individu ( manusia) maupun sosial ( jaringan sosial),
pada bagian ini kita akan memetakan pola
strategi membangun peradaban dan kritik Bennabi atas strategi itu. Kerangka (skema) konseptual yang telah dipaparkan pada dua bab sebelumnya akan digunakan untuk menganalisis stategi peradaban itu. Pertanyaan mengenai strategi peradaban ini, seringkali diungkapkan pula dalam bentuk pertanyaan berikut, 'Dari Mana Kita Mesti Mulai ?' atau 'Apa yang Harus Dilakukan ?'. Pertanyaan ini selalu muncul dalam masyarakat
yang
tengah
mengalami
perubahan.
Pertanyaan seperti ini diajukan jika suatu masyarakat sedang berada dalam proses berkembang dari satu keadaan menuju keadaan lain. Oleh sebab itu persoalan ©Budiman
199
Rekonstruksi Peradaban Islam
terkait dengan hal ini adalah persoalan tentang strategi sosial, bukan masalah ideologi152. Dengan demikian, penilaian terhadap jawaban pertanyaan ini bukanlah benar atas salah, tetapi efektif atau tidak efektif.
Reaksi Perjumpaan Islam dan Barat Perjumpaan dunia Islam dengan dunia Barat berlangsung secara tidak seimbang, perjumpaan sebagai kolonialis dengan dunia yang layak untuk kolonialisasi. Dunia barat sedang mengalami masa pasang peradaban, sedangkan dunia Islam sedang mengalami masa surut peradaban. Bagi Bennabi problem kolonialisme ini haruslah dipandang dari dua sudut yang seimbang, problem
kolonialisasi
(penjajahan)
dan
problem
kelayakan untuk dijajah (colonializability, al qabiliyah lil isti'mar)153. (Bandingkan ini dengan pendapat 152
Dr. Ali Syari'ati, Membangun Masa Depan Islam, (Mizan, Banding), 1998, hal 25
153
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1998, hal ©Budiman
200
Rekonstruksi Peradaban Islam
Toynbee, bahwa keruntuhan peradaban tidak disebabkan oleh faktor invasi luas, tetapi oleh bunuh diri sosial). Perjumpaan
tidak
seimbang
ini
tentu
saja
membangunkan reaksi perlawanan. Pada awalnya reaksi perlawanan itu berwujud perjuangan fisik. Bennabi menilai perjuangan (perlawanan fisik) yang dilakukan pada umumnya merupakan perjuangan demi heroisme (kepahlawanan) semata, perhatian
secara
luas
karena tidak memberikan terhadap
problem
yang
ditumbuhkan oleh kolonialisme dalam masyarakat dunia Islam154. Dari sudut pandang moral kolonisasi merupakan dosa sejarah barat terhadap dunia Islam. Tetapi dari sudut pandang sosial, perjumpaan dengan barat ini
juga
merupakan katalisator yang meledakkan keheningan dan
154
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, (Mizan, Bandung), 1998, hal 5 ©Budiman
201
Rekonstruksi Peradaban Islam
masa berdiam diri dunia Islam155. Responsi selanjutnya terhadap proses perjumpaan ini mengambil bentuk gerakan pemikiran dan politik. Bennabi memetakan dua tipe pada gerakan ini, gerakan reformis dan gerakan modernis156. Gerakan Reformis bermula dari gerakan Jamaluddin Al Afghani melihat problem utama dunia Islam pada problem terpecah-pecahnya dunia Islam (rusaknya kesatuan dunia Islam)157. Dengan pembawaannya yang lebih revolusioner, ia menyerukan penyelesaian problem ini dalam institusionalisasi blok persatuan Islam (pan-
155
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 20
156
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 21
157
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 22 ©Budiman
202
Rekonstruksi Peradaban Islam
islami)158, sehingga pendekatannya lebih kental nuansa politiknya. Pendekatan lain kalangan reformis tercermin dalam gerakan Muhammad Abduh, murid Al Afghani, yang menekankan reformasi sosial. Reformasi sosial ini berbasis pada reformasi terhadap jiwa (individu). Sebuah ayat terkenal yang dijadikan semboyan dalam konteks ini adalah “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum, sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri.” Bagaimana proses transformasi kejiwaan ini dijalankan ? Jawaban Abduh terletak pada reformulasi teologi159. Inilah yang dikembangkan Abduh dalam Risalah Tauhid. Melalui risalah ini Abduh berusaha memberikan basis rasional bagi keyakinan-keyakinan keagamaan Islam, terhadap Tuhan, Kenabian maupun masalah takdir. 158
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 23
159
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 24 ©Budiman
203
Rekonstruksi Peradaban Islam
Gerakan Modernis bermula dari ditubuhkannya sekolahsekolah modern (ala Barat) di dunia Islam160. Pendekatan modernis menilai kemajuan dunia Islam dapat diraih dengan
strategi peminjaman dari Barat, baik dalam
bentuk ide, teknik (sosial maupun teknologi) maupun produk-produk material peradaban barat. Bentuk ekstrim pendekatan ini adalah Kemalisme, yang meminggirkan Islam dari pentas kehidupan sosial di Turki pada masa sebelum perang dunia II. Pendirian sekolah-sekolah modern, pengiriman mahasiswa-mahasiswa ke Barat, modernisasi
infrastruktur
ekonomi,
modernisasi
administrasi birokrasi kenegeraaan; merupakan beberapa bagian dari strategi modernis.
Responsi dan Kritik Berdasarkan kerangka analisis yang telah dijelaskan di dua bab sebelumnya, Bennabi memberikan kritik
160
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 31 ©Budiman
204
Rekonstruksi Peradaban Islam
terhadap kedua pendekatan, gerakan di atas (reformis maupun modernis). Bagi Bennabi gerakan reformasi politik ini terlalu banyak perhatian pada pertahanan dan pembenaran diri alih-alih transformasi kondisi-kondisi sosial masyarakat. Tulisan Afghani dan lainnya (Arslan, Kawakibi dsb) cenderung apologetik dan defensif, lebih banyak mengritik musuh luar dibandingkan dengan mengurai
sebab-sebab
disintegrasi
internal
umat.
Problem utama gerakan politik ini adalah tiadanya cara berpikir yang metodologis dan ilmiah dalam analisa dan strategi pergerakannya. Sedangkan terhadap gerakan reformasi
sosial
(sebagaimana
tercermin
dalam
pendekatan Abduh dan muridnya Rasyid Ridha serta para pendukung pendekatan mereka di seluruh dunia) Bennabi menilainya tepat dalam analisisnya ketika menyatakan pentingnya proses perubahan bermula dari perubahan jiwa. Tetapi gerakan reformasi sosial ini tidak tepat ketika menyatakan solusi transformasi kejiwaan itu terletak pada reformulasi teologi. Dalam pandangan Bennabi permasalahan umat Islam tidak terletak pada ketidakpercayaannya pada Islam, tetapi terletak pada ©Budiman
205
Rekonstruksi Peradaban Islam
hilangnya efektifitas (efikasi) nilai-nilai itu secara sosial161.
Ketidakefektifan
termanifestasi
dari
nilai
hilangnya
keyakinan radiasi
(Islam)
sosial
dan
berubahnya keyakinan itu menjadi keyakinan yang bersifat individualis. Pada konteks ini reformulasi teologis (melalui reformulasi problem-problem skolastik mengenai
masalah-masalah
Ketuhanan,
Wahyu,
Kerasulan maupun Takdir) menyentuh jiwa manusia hanya pada tataran kredo dan dogma. Sedangkan kebutuhan untuk transformasi individu bukan terletak pada pembuktian mengenai adanya Tuhan, tetapi bagaimana memanifestasikannya ke dalam kesadaran dan
mengisi
utamanya
jiwanya
adalah
pada
dengan
energi.
restorasi
Kebutuhan
(pengembalian)
efektifitas keimanan itu dalam kehidupan. Pendekatan teologis-skolastik
ini
menggantikan
“problem
psikologis” dengan “problem teologis” yang tidak efektif dalam menyelesaikan isu fungsi sosial dari agama.
161
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 24 ©Budiman
206
Rekonstruksi Peradaban Islam
Melalui sudut pandang lain kita dapat memahami tidak efektifnya pendekatan teologis-skolastik seperti yang dipahami para reformis dunia Islam melalui fenomena berikut ini. Dunia Islam modern mewarisi problem yang akut
dalam
institusi
(pranata)
intelektualnya.
Dogmatisme (taqlid), atomisme (pemikiran yang tidak integratif,
terpecah, kegagalan menautkan aspek
partikular fenomena dengan hokum umum) maupun tendensi apologetik dalam dunia pemikiran menjadi contoh permasalahan intelektual itu. Problem-problem institutional
itu
termanifestasi
dalam
gejala-gejala
berikut; kesukaan dalam perdebatan kosong /mujadalah , literalisme (tercermin dalam hilangnya cita rasa dan proporsi untuk bertindak, lebih menyukai banyak bicara), histeria (obsesi berlebihan terhadap masa lampau) maupun
kuantitatisme
(menilai
berdasar
jumlah
semata)162. Reformulasi teologi, yang digulirkan oleh Gerakan Reformis, menjadi tidak efektif ketika bertemu
162
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 27-28 ©Budiman
207
Rekonstruksi Peradaban Islam
dengan hal-hal ini. Alih-alih perdebatan kosong akan lebih banyak terjadi dibandingkan dengan kerja efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Gerakan
Modernis
secara
umum
juga
mewarisi
mentalitas yang sama dengan Gerakan Reformis, sesuatu yang diwarisinya dari era kemunduran (manusia pasca al muwahid)163.
Disini
muncul
ketidakritisan
dalam
melakukan peminjaman. Mahasiswa yang dikirim ke luar negeri (Barat) sekedar belajar dan terpaku pada aspek-aspek artifisial Barat saja, tanpa mengalami peradaban. Dalam modus pendekatan ini, manusia jadi terobsesi dengan penumpukan, penimbunan (akumulasi) benda-benda maupun akumulasi ide-ide dari luar, tanpa memahami bagaimana sintesis kreatifnya164.
163
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 31
164
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 32-33 ©Budiman
208
Rekonstruksi Peradaban Islam
Pendekatan modernis menilai bahwa problem dunia Islam adalah masalah institusi, utamanya adalah institusi politik. Tetapi dalam ranah publik ini, manusia-manusia modernis
jatuh
ke
(mengumbar kata)
dalam
mentalitas
verbalistik
dalam manifestasi yang berbeda
(dengan padanan pada Gerakan Reformis); sebuah verbalisme tanpa tensi untuk bekerja. Jika dalam kasus gerakan
reformis,
kata-kata
kehilangan
landasan
sosialnya, maka dalam kasus gerakan modernis kata-kata tidak tidak memiliki tensi praktis (mengarahkan pada bidang kerja)165. Orientasi gerakan ini terjebak pada tampilan luar, tidak pada aksi yang substansial. Politik yang dikembangkan tidak menyentuh politik yang sesungguhnya (sebagai usaha rekonstruktif bagi interaksi esensial manusia terhadap diri, tanah dan waktunya), justru ia menjadi sekedar demagogi.
165
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 35 ©Budiman
209
Rekonstruksi Peradaban Islam
Berdasarkan kritik di atas bukan berarti dua gerakan ini (reformis dan modernis) tidak memberikan nilai apapun kepada dunia Islam. Secara pemikiran setidaknya gerakan reformis telah memprovokasi tensi intelektual dunia Islam. Demikian pula secara sosial politik, ia telah menstimulasi
kesadaran
dunia
Islam
terhadap
permasalahannya. Demikian pula gerakan modernis, usaha-usaha politiknya telah mengkristalisasi kesadaran kolektif muslim (yang sempat hilang sejak lama) dan menyelamatkan mereka dari ketidakcuhan dan keputusasaan terhadap nasib komunal mereka. Secara intelektual, walaupun tidak efektif menumbuhkan peradaban melalui peminjaman ide luar, setidaknya ia telah menstimulasi perdebatan terhadap tradisionalisme yang diwarisinya.
Krisis Dunia Islam Bennabi menyimpulkan bahwa krisis dunia Islam saat ini merupakan gabungan dari problem terkait dengan residu yang diwariskan oleh generasi pasca al muwahid dan budaya baru yang didepositokan oleh gerakan reformis ©Budiman
210
Rekonstruksi Peradaban Islam
maupun modernis166. Bennabi memetakan dua dilema utama dunia Islam saat ini, problem peminjaman (ide, teknik sosial, maupun teknologi) dari peradaban Barat modern dan problem terkait dengan sikap diri (attitute) manusia muslim terhadap permasalahan kontemporer yang mereka hadapi. Proses
peminjaman
sebagaimananya
proses
dari
peradaban
transfusi
darah,
modern, perlu
mendapatkan pengondisian sosial yang tepat untuk bisa efektif. Peminjaman yang mengabaikan atau bahkan menyingkirkan nilai-nilai atau ide dasar (Islam) yang membentuk dan mengondisikan masyarakat justru tidak akan efektif, malah merusak. Proses peminjaman memerlukan ketepatan sasaran dan sarana, penyesuaian dengan kebutuhan psikologis masyarakat. Demikian pula proses peminjaman ini memerlukan proses filterasi (penyaringan) untuk disesuaikan dengan kebutuhan
166
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 40 ©Budiman
211
Rekonstruksi Peradaban Islam
mendesak(imperative need) dunia Islam.Pengalaman sejarah dunia Islam, ketika berinteraksi dengan warisan peradaban-peradaban lain (Yunani misalnya), telah membuktikan kepentingan langkah-langkah ini. Proses yang sering dinamakan sebagai Islamisasi. Untuk menambah jelasnya problem terkait dengan peminjaman produk peradaban lain itu kita dapat menggunakan ilustrasi yang dibuat oleh Soedjatmoko berikut. Pengenalan koperasi dalam masyarakat kita bukan sekedar mengenalkan sebuah institusi semata. Untuk
efektif
ia
memerlukan
administrasi
dan
pembukuan modern, meminta tanggungjawab finansial dan perubahan sikap terhadap uang/kredit. Demikian pula dengan penggunaan mesin dalam pertanian, ia membutuhkan penyesuaian terhadap kecakapan tertentu yang dibutuhkan, perlunya pemeliharaan, kerja sama dan visi mengenai mesin sebagai perpanjangan tangan manusia. Sehingga peminjaman produk peradaban lain itu
membutuhkan
©Budiman
perubahan
tanggapan
jiwa,
212
Rekonstruksi Peradaban Islam
penyesuaian kreatif sehingga ia merupakan jelmaan dari kebutuhan dan kesanggupan masyarakat itu167. Problem utama terkait dengan sikap diri (attitute) manusia muslim terhadap permasalahan kontemporer mereka, menurut Bennabi, adalah hilangnya kapasitas (incapacity) untuk berpikir dan bertindak. Refleksi problem ini tampak dalam gejala-gejala berikut. Gejala paling utama terkait dengan hilangnya tautan (link) antara pemikiran (ide) dengan realisasi konkretnya168. Bennabi menyontohkan, gerakan Reformasi menekankan bahwa proses reformasi mesti bermula dari reformasi individu. Tetapi mereka gagal menentukan di mana mereka dapat menemukan manusia-manusia itu. Bagi gerakan reformasi, mereka yang ada di cafe-cafe, di sekolah umum, di tempat kerja mereka; tidak masuk 167
168
Soedjatmoko, Pembangunan Ekonomi Sebagai Masalah Kebudayaan, dalam Dimensi Manusia dalam Pembangunan Nasional (LP3ES, Jakarta), 1995, hal 4-6 Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 43 ©Budiman
213
Rekonstruksi Peradaban Islam
perhitungan. Kegagalan menautkan pemikiran (ide) dengan realisasi konkret ini memberikan implikasi pada munculnya aktivitas yang membuta, tidak koheren dan munculnya
apresiasi
(penyikapan)
yang
subjektif
terhadap fakta dan permasalahan. Refleksi penyikapan subjektif ini adalah sebuah psikosis (gangguan tilikan pribadi yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai
realitas),
yang
menggampangkan'
(easy
berbentuk thing
/
sikap
'serba
under-estimate)
maupun sikap 'serba tidak-mungkin' (impossible thing/ over-estimate) terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Bennabi memberikan contoh mengenai beberapa contoh mitos
yang
diterima
masyarakat
umum
yang
menggambarkan hilangnya kapasitas untuk menautkan ide dengan realisasi konkret ini (dalam bahasa lain, Bennabi
menyebutnya
sebagai
masalah
logika
amal/terapan). “Kita tidak dapat berbuat banyak, karena kita bodoh. Kita tidak dapat merealisasikan itu karena kita miskin. Kita tidak dapat menjalankan kerja itu ©Budiman
214
Rekonstruksi Peradaban Islam
karena ada kolonialisme.” Bagi Bennabi ini ungkapan ini adalah gambaran hilangnya kapasitas untuk menautkan pikiran
dan
praktek
(aksi
nyata),
dengan
menggambarkan pokok persoalannya secara inflatif. Bennabi mengungkapkan kisah pendidikan anak-anak Israel pada masa perang dunia II (dalam situasi represif Jerman ketika itu) bisa jadi pelajaran bagaimana masalah kebodohan (buta huruf) ditangani, masalah finansial sebenarnya berpangkal pada bagaimana menggerakkan harta
agar
berputar,
masalah
kolonialisme
pada
pangkalnya terkait dengan masalah colonizeability (kelayakan untuk dijajah).
Gejala kedua (dalam peta masalah sikap diri muslim terhadap problem kontemporer mereka) terkait dengan kebingungan untuk membedakan antara fenomena esensial dengan fenomena artifisial. Beberapa orientalis menilai
gagalnya
memunculkan
dunia
Islam
jenius-jenius baru
di
era
modern
di bidang
sains
merupakan refleksi dari problem ini. Berbeda dengan ©Budiman
215
Rekonstruksi Peradaban Islam
pendapat
orientalis
yang
mengafirmasi
penyebab
masalah ini pada karakter agama Islam itu sendiri, Bennabi menyatakan penyebab dari ketidakmampuan ini tidak terletak pada karakter agama atau Islam, tetapi pada hilangnya tensi intelektual di dunia Islam. Hilangnya tensi intelektual ini berakar pada kelumpuhan moral (moral paralysis) yang diderita oleh manusiamanusia muslim, yang menyebabkan ia tidak mampu melebihi pencapaian tradisi klasik Islam maupun tidak kritis terhadap pencapaian peradaban barat modern. Kelumpuhan
moral
ini
diperkuat
oleh
silogisme
mematikan yang diidap oleh banyak pikiran kaum muslimin, “Islam adalah agama sempurna. Kita adalah orang muslim. Maka kita (kaum muslimin) sudah sempurna.169” menetralisasi
Silogisme semua
mematikan
kehendak
untuk
ini
akan
mencapai
penyempurnaan (perfection). Kelumpuhan moral ini selanjutnya akan melumpuhkan kapasitas intelektual
169
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 44 ©Budiman
216
Rekonstruksi Peradaban Islam
(budaya taklid dan hilangnya daya kreatif merupakan salah satu manifestasinya).
Krisis Dunia Barat Merupakan fakta yang harus diakui bahwa kemajuan ilmu dan teknologi merupakan pencapaian spektakuler peradaban barat modern. Kita tak dapat menafikan sumbangan-sumbangan peradaban barat itu, karena pada dasarnya ia adalah warisan kemanusiaan. Kita juga perlu menyadari bahwa peradaban barat dengan ide-ide-nya (produk pemikiran
pemikirannya) yang
saat
hegemonik
ini
merupakan
(memenangkan
ide, opini,
pikiran publik dunia). Tetapi pada sisi lain peradaban barat juga mengalami krisis. Bennabi menyebut krisis itu sebagai krisis retardasi (kelambanan) kesadaran170, di mana kesadaran
170
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 63 ©Budiman
217
Rekonstruksi Peradaban Islam
gagal
mengikuti
kemajuan
sains
dan
pemikiran.
Kesadaran merupakan resume sejarah masyarakat secara psikologis, ia adalah distilasi masa lalu umat manusia. Pencapaian pemikiran yang tidak memiliki tautan dengan masa lalu, tradisi, dan kebiasaan umat akan tinggal
di
luar
(kelambanan)
jangkauan
kesadaran
kesadaran.
ini
Retardasi
terefleksi
dalam
keterpecahan dalam tubuh peradaban mereka. Secara historis Bennabi mencatat beberapa peristiwa sejarah terkait dengan keterpecahan dalam tubuh peradaban Barat ini. Perpecahan awal dapat dideteksi dalam peristiwa
Reformasi
ketidakmampuan
yang
kesadaran
mengindikasikan
Kristiani
menjembatani
jarak antara dirinya dengan rasionalisme (hasil dari kemajuan sains). Peristiwa keterpecahan kedua ada pada wilayah politik melalui peristiwa Revolusi Prancis yang meruntuhkan
tatanan
tradisional
mereka
dan
menggantinya dengan tatanan yang mengakui persamaan individu. Dalam perkembangan selanjutnya ia juga memunculkan perpecahan kelas (sosial) dalam tubuh peradaban Barat, kelas Borjuis dan kelas Proletar. ©Budiman
218
Rekonstruksi Peradaban Islam
Kontradiksi-kontradiksi
internal
ini
kemudian
berkembang lebih lanjut, yang dalam perjumpaannya dengan dunia Islam terefleksi dalam bentuk saintifisme dan kolonialisme. Mabuk
oleh
kedigdayaannya
(keberdayaan
yang
diberikan oleh Ilmu Pengetahuan) kesadaran Barat modern menjadi tawanan mesin ciptaan mereka sendiri, yang dapat mereka buat tapi tidak dapat dikontrol. Realitas
dibatasi
pada
apa
yang
dapat
diukur
(kuantitatifisme kesadaran), kebahagian hidup manusia diukur secara kuantitatif (sebatas pemenuhan kalori semata, berapa banyak yang berhasil diproduksi, berapa banyak yang dapat dikonsumsi). Manifestasi krisis ini menjelma dalam berbagai fenomena. Era krisis ini merupakan era relativisme moral, tidak ada makna bagi yang absolut. Krisis ini juga menjelma dalam hilangnya makna terhadap keadilan (justice), yang terefleksi dalam kolonialisme (atau standar ganda dalam penegakkan nilai-nilai hak asasi). Krisis ini terjelma juga dalam
©Budiman
219
Rekonstruksi Peradaban Islam
pertentangan (konflik) laten maupun aktual dalam kelaskelas yang muncul dalam peradaban barat. Krisis dunia barat, seperti yang diungkapkan oleh Bennabi di atas, juga diungkapkan oleh para pemikir Barat
sendiri.
E.F.
Schumacher
misalnya
mengungkapkan krisis itu sebagai krisis metafisika. Saintisme
(pendewaan
ilmu
pengetahuan)
dan
teknologisme, telah membuat kehidupan manusia barat menjadi kering dan kehilangan makna. Schumacher menyatakan, ilmu dan teknologi hanya membekali manusia dengan aspek know-how, bukan keseluruhan aspek pengetahuan (ide) yang dibutuhkan manusia untuk hidup. Sains tidak dapat melahirkan ide untuk hidup, sains tidak memberi makna bagi hidup. Sains tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah divergen, ia hanya memecahkan masalah konvergen saja (masalah yang bisa dipecah-pecah dan direduksi).
Untuk
memecahkan masalah divergen (masalah mengenai bagaimana hidup dengan baik, masalah makna hidup) membutuhkan kekuatan yang lebih tinggi dari sekedar ©Budiman
220
Rekonstruksi Peradaban Islam
rasionalitas manusia (kekuatan cinta dalam terminologi Rumi). Upaya menyingkirkan metafisika (termasuk agama) dengan dalih kemajuan sains dan teknologi, justru menjadikan pendewaan sains dan teknologi sebagai metafisika tersendiri, dengan bentuk metafisika yang buruk, keji dan mematikan jiwa171. Kritik lain, misalnya, disampaikan oleh Erich Fromm. Ia menyebut peradaban modern sebagai sebuah momok baru, sebuah masyarakat yang sepenuhnya menjadi mesin (a completely mechanized society). Masyarakat yang mendewakan produksi material dan konsumsi maksimal. Dalam proses ini manusia hanya sekedar menjadi bagian dari mesin raksasa yang digaji secara baik, diberikan hiburan, menjadi manusia pasif yang tak memiliki daya hidup serta mati rasa. Prinsip-prinsip sistem masyarakat modern ini ada dua. Prinsip pertama, segala sesuatu harus dikerjakan karena secara teknis hal
171
Lihat E.F. Schumacher, Kecil Itu Indah, (LP3ES, Jakarta), 1980, hal 77-85 ©Budiman
221
Rekonstruksi Peradaban Islam
tersebut mungkin.
Nuklir mungkin maka dibuat.
Mendaratkan manusia di bulan secara teknis mungkin maka dilakukan. Sekalipun sebagian besar dunia mengalami kemelaratan. Ukurannya bukan lagi demi kebutuhan manusia, demi kebahagiaan mereka, demi akal budi atau keindahan atau kebaikan atau kebenaran. Prinsip kedua, efisiensi maksimal dan output maksimal. Efisiensi
meminimalkan
individualitas
manusia,
mereduksinya mejadi unit-unit yang dapat dikuantifikasi. Kepribadian manusia diwakili oleh angka-angka. Dalam ekonomi efisiensi adalah
prinsip dasar, sehingga
melupakan biaya kemanusiaan yang harus dibayarkan. Efek dari prinsip efisiensi maksimum ini adalah kebosanan, cemas, tegang, terbelenggunya imajinasi (tidak
kreatif,
rutin,
birokratis).
Sedangkan
maksimalisasi output merupakan prinsip akselerasi, percepatan dan perlombaan. Produksi lebih banyak lebih baik. Akselerasi secara ekonomis kemudian memasuki ranah pendidikan (prestasi terbaik), olahraga(rekor baru terpecahkan), bahkan terhadap cuaca (cuaca terpanasa dalam tahun ini). Dampaknya terhadap manusia dari ©Budiman
222
Rekonstruksi Peradaban Islam
prinsip-prinsip ini (dua prinsip di atas) adalah pada kepasifan manusia dan sindrom keterasingan (alienasi) manusia (yang terungkap dalam kondisi minus identitas, gelisah, ketidakberdayaan, konformitas dan irasionalitas emosi)172. Jika dunia Islam (dunia pasca-al-muwahhid) mengalami kelumpuhan dalam bentuk kelesuan (karena apatisme mereka) dan berhentinya gerak (diam), peradaban Barat modern
mengalami
kelumpuhan
dalam
(tersebab)
keserakahan (convulsive) dan kelimpahan material mereka. Sehingga, Bennabi mengingatkan,
tidaklah
mungkin bagi dunia Islam untuk mencari petunjuk nilainilai dari peradaban ini. Dunia Islam harus menentukan sendiri jalan (baru) yang harus mereka tempuh. Hal ini senada dengan ungkapan Sayyid Qutb yang menyatakan bahwa peradaban barat sudah mengalami kebangkrutan,
172
Erich Fromm, Revolusi Pengharapan (Menuju Masyrakat Teknologi Yang Semakin Manusiawi). (Pelangi Cendekia, Jakarta), 2007, hal 41-47 ©Budiman
223
Rekonstruksi Peradaban Islam
bukan
pada
kebangkrutan
material
tetapi
pada
sumbangan nilai bagi kemanusiaan173.
Strategi Peradaban Problem yang dihadapi oleh dunia Islam, dengan mengacu pada penjelasan di atas, pada dasarnya adalah problem peradaban174, bukan problem mengenai status politik
tertentu
bukan
pula
problem
terhadap
ketidakpercayaan (iman) yang hilang terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karenat itu strategi peradaban yang tepat untuk itu, bagi Bennabi, adalah melakukan rekonstruksi manusia
peradaban
dan
pengembangan
jaringan
sosialnya. Bagaimana memulai proses itu ? Sebagian pakar menegaskan bahwa untuk menggerakkan dinamika masyarakat (dalam konteks pembangunan) 173
Sayyid Qutb, Petunjuk Jalan, (Media Dakwah, Jakarta), 2000, hal. 5
174
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 50 ©Budiman
224
Rekonstruksi Peradaban Islam
adalah
dengan
menekankan
terpenuhinya
aspek
konsumsi masyarakat. Sehingga tugas kesejarahan awal sebuah
bangsa
adalah
pemenuhan
aspek-aspek
kebutuhan (need) ini. Menurut Bennabi, pendekatan ini menjelaskan sejarah sebagai proses konsumsi. Bagi Bennabi, pendekatan seperti ini tidak tepat, tidak sesuai dengan respon yang seharusnya diberikan terhadap permasalahan yang diidap oleh masyarakat pasca-almuwahid di dunia Islam, dengan tipikal problem dan patologi mental yang dimilikinya. Kebutuhan akan memicu kreativitas dan akan efektif menggerakkan masyarakat jika ia dispiritualisasi oleh kesadaran yang mentrasformasi
(kebutuhan
itu)
menjadi
imperatif
(kewajiban) untuk bekerja (imperative of action). Dalam latar kesejarahan, kita mendapati bahwa proses produksi (dalam pembangunan masyarakat) tidak dapat direduksi atau disederhanakan mejadi sekedar proses konsumsi. Bennabi
menegaskan,
hukum
pertukaran
dalam
kehidupan sosial tidak dapat disederhanakan menjadi skema
sederhana
©Budiman
mengenai
keseimbangan
antara 225
Rekonstruksi Peradaban Islam
produksi dan konsumsi. Karena keseimbangan seperti ini hanya
akan
memicu
melakukan
proses
masyarakat
itu.
mengingatkan,
penggunaan
akumulasi
Menyitir bahwa
daya-daya
kaidah
untuk
produk
tanpa
produktif
fisika,
Bennabi
memunculkan
energi
haruslah ada potensialisasi energi itu terlebih dahulu (akumulasi energi). Kebutuhan (need) adalah energi yang muncul dari potensialisasi (akumulasi) itu. Dalam konteks sosial, tugas awal kesejarahan sebuah masyarakat (untuk menggerakkan kembali sejarahnya) adalah
memunculkan
inisiatif
untuk
membuat,
mengembangkan dan memenuhi (kebutuhan itu). Atau secara politik, alih-alih sebagai masalah kebutuhan (tuntutan) hal ini adalah masalah sarana (means). Tuntutan,
keperluan,
hak-hak
sudah
menjadi
pengetahuan atau kepentingan yang tersadari, tetapi yang dibutuhkan adalah metode, cara realisasi yang efektif untuk mencapai itu semua.
©Budiman
226
Rekonstruksi Peradaban Islam
Sehingga
tugas
kesejarahan
awal
sebuah
proses
rekonstruksi peradaban adalah menggunakan bahasa kewajiban (duty) alih-alih bahasa kebutuhan (need), tuntutan maupun hak (right). Tentu saja dalam konteks ini bukan maksud Bennabi untuk mendikotomi antara hak dan kewajiban. Karena, dengan mengembangkan kewajibannya
masyarakat
akan
memenuhi
(dan
melampaui) apa yang dia butuhkan. Dari keterangan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa proses rekonstruksi dan menata-ulang (re-adjustment) jaringan sosial, dalam rangka rekonstruksi peradaban, bermula
pada
pembaharuan
nilai-nilai
(values).
Komponen nilai baru bagi aktivitas sejarah ini adalah bahasa kewajiban(duty), kerja(act) alih-alih bahasa hak (right), kebutuhan (need)175. Kita dapat menyebut nilainilai yang menggerakkan manusia (dalam berinteraksi dengan problematika peradabannya) ini sebagai Etika
175
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 74 ©Budiman
227
Rekonstruksi Peradaban Islam
Kewajiban.
Etika kewajiban
inilah yang
mampu
merubah ide menjadi produk peradaban. Bagaimana Etika Kewajiban itu dapat muncul ? Untuk memahami hal ini perlulah dikenali secara mendalam potensi dan kelemahan manusia itu sendiri. Dalam konteks manusia sebagai motor penggerak kehidupan sosial, perlu dipahami kondisi transformatif (sebuah kesadaran/conscience)
yang
dapat
memunculkan
artikulasi kepribadian yang integratif yang mendorong manusia menjalankan gerakan dan aksi sejarah. Menurut Bennabi pada titik inilah kita memahami pentingnya peran agama. Manusia pada dasarnya adalah makhluk dualistik, moral dan temporal. Temporalitas manusia yang termanifestasikan dalam kebutuhan materialnya (kebutuhan hidupnya) hanyalah satu sisi saja dari dirinya. Tetapi
manusia
temporalitasnya,
bertindak tetapi
tidak juga
sekedar dalam
dalam
moralitas
(spiritualitasnya). Dalam dimensi moral inilah manusia merupakan homo religius. Agama merupakan basis bagi kesadaran dalam perjalanan menemukan kepribadiannya. ©Budiman
228
Rekonstruksi Peradaban Islam
Sehingga dalam proses transformasi diri, pembaruan religius (keagamaan) merupakan sesuatu yang perlu (necessary). Seperti yang telah diterangkan pada dua bab sebelumnya, agama merupakan faktor penting (bahkan determinan) dalam proses mengkondisikan jiwa manusia dan dalam proses membentuk jaringan sosial mereka. Etika yang muncul
dalam
mengintegrasikan
potensi-potensi
individu dan etika yang menata jaringan sosial individuindividu masyarakat bersumber dari nilai-nilai agama. Sehingga untuk menjadikan bahasa hak (tuntutan, right) menjadi bahasa imperatif (kewajiban), diperlukan proses spiritualisasi kesadaran manusia. Spiritualisasi kesadaran dilakukan melalui nilai-nilai religius (Islam). Bagaimana nilai-nilai agama itu kemudian membentuk kesadaran ? Strateginya tidak terletak pada formulasi teologi (sebagaimana kritik Bennabi atas pendekatan reformsi), apalagi melakukan likuidasi nilai-nilai religius dari
kehidupan
©Budiman
(sebagaiman
kritik
Bennabi
atas
229
Rekonstruksi Peradaban Islam
pendekatan modernis), tetapi pada mekanisme yang mampu mengilhamkan nilai-nilai itu ke dalam jiwa manusia dan mengisinya dengan energi kreatif. Strategi ini mirip dengan strategi gerakan sufistik untuk mengilhami para pengikutnya. Dengan kata lain strategi ini adalah strategi kultural atau pedagogis (pendidikan). Strategi ini tidak berlawanan dengan politik, karena politik yang sesungguhnya bukanlah sekedar demagogi, menjejali
dengan
slogan-slogan,
tetapi
proses
mempersiapkan kondisi psikologis dan material bagi kerja historis, proses memberdayakan manusia untuk merealisasikan kemampuan dan pengetahuannya dalam bentuk sosial yang nyata176. Dalam penilaian Bennabi gerakan Ikhwanul Muslimun (di Mesir) dengan Hasan Al Banna sebagai tokohnya, memberikan contoh bagi proses rekonstruksi itu. Misi Ikhwan pada pokoknya misi Qurani, misi yang
176
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 76 ©Budiman
230
Rekonstruksi Peradaban Islam
memperbaharui diri (transformasi diri), misi aktif dan alat untuk mentransformasi manusia. Melalui Al Banna ayat Qur’an menjadi imperatif yang hidup, mengarahkan inidvidu ke dalam perilaku dan merubah diam menjadi aksi.
Abstraksi
mengkatalisasi
ilmiah
semata
transformasi
radikal
tidak
mampu
dalam
proses
sosilogis sebuah sintesis sosial. Al Banna tidak menafsirkan Al Quran tetapi mengilhami kesadaran. Ilham
yang
ditransformasikan
menyadarkan ke
dalam
itu gerakan;
kemudian mendirikan
institusi keuangan untuk mengarahkan(orientasi) modal, pers yang kuat untuk mengarahkan budaya (orientasi kultural),dan industri untuk membuat dan mengarahkan kerja (orientasi kerja)177.
177
Malik Bennabi, Islam in History and Society (Kitab Bhavan, New Delhi), 2006, hal 84-86 ©Budiman
231