BAB IV POLA HUBUNGAN GURU MURID DALAM SURAT AL-KAHFI AYAT 65 SAMPAI 70 DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Sifat Guru Dalam Surat Al-Kahfi Ayat 65 Dan Implementasinya Dalam Pendidikan Islam. Bila kita sepakat bahwa pendidik adalah orang yang secara sengaja mengasuh individu atau beberapa individu lainnya, agar mereka dapat tumbuh dan berhasil dalam menjalani kehiduipan, maka seperti disebutkan oleh Muhamad Slamet Untung, Muhammad adalah sosok pendidik Agung bagi umat manusia. Meskipun pendidik pertama sebagaimana diyakini umat Islam adalah Allah SWT.1 Betapapun sempurna teori pendidikan seseorang, namun watak kepribadian orang itulah yang menentukan keberhasilan pendidikannya. Muhammad sang pendidik utama yang menjadi teladan umat Islam, telah dikaruniai Allah sifat-sifat yang mulia dan tabiat suci. Sebagai seorang pendidik hendaknya meniru apa yang diajarkan Muhammad. Karena guru adalah figur yang diteladanioleh semua pihak. Oleh kartena itu seorang guru hendaknya menempatkan posisinya sebagai seorang pendidik, pengajar, dan sekaligus sebagai pembimbing. Bagi anak didik guru adalah orang tua dan anak didik adalah anak. Orang tua dan anak sebagaimana dituturkan Syaiful Bahri Djamarah, adalah dua sosok insani yang diikat oleh tali jiwa. Belaian kasih dan sayang adalah naluri jiwa orang tua yang sangat diharapkan oleh anak, sama halnya belaian kasih dan sayang seoarang guru kepada anak didiknya.2 Kebaikan seorang guru tercermin dari kepribadiannya dalam bersikap dan berbuat, tidak saja 1
Moh. Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: Pustaka Rizky Putra,
2002), hlm.55 2
Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm. 4
99
100
ketika di sekolah tetapi juga diluar sekolah. Guru memang hendaknya menyadari bahwa dirinya adalah figur yang diteladani oleh semua pihak, terutama oleh anak didiknya. Hal ini berarti, bahwa guru sebagai arsitek bagi rohani anak didiknya. Kebaikan rohani anak didik tergantung dari pembinaan dan bimbingan guru. Disini tugas dan tanggung jawab guru adalah meluruskan tingkah laku dan perbuatan anak didik yang kurang baik, yang dibawanya dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Demi merealisasikan hal di atas al-Qur’an melalui surat al-Kahfi ayat 65 telah menjelaskan kriteria seorang guru yang diharapkan bisa diimplementasikan dalam dunia pendidikan., baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Kriteria guru dalam surat al-Kahfi seperti telah disebutkan dalam bab III, meliputi 3 hal yaitu: guru adalah seorang ‘abd, guru adalah orang yang mendapat rahmat, dan guru adalah orang yang berpengetahuan luas. Sebagai seorang ‘abd hendaknya guru membiasakan diri dengan sikap yang mencerminkan sosok ‘abdullah. Secara umum kategori ‘abdullah ada 4 yaitu: 1. Rajin beribadah secara formal 2. Memberikan teladan yang baik bagi orang lain 3. Menghilangkan tingkah laku yang tidak baik 4. Bersikap rahman rahim kepada sesama, termasuk anak didiknya. Dengan memegang teguh keempat sifat di atas maka diharapkan proses belajar mengajar akan menjadi sesuatu yang menyenangkan baik bagi pendidik maupun anak didik. Karena keduanya sama-sama memiliki keridho’an. Guru ridho pada anak didik, demikian pula anak didik juga ridho kepada guru Sebagai teladan maka mutlak bagi guru untuk konsisten dengan sifatsifat yang terpuji. Baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan makhluk. Dan dalam hal ini lebih mengkhusus dalam hubungannya dengan anak didik.
101
Adapaun yang kedua, guru adalah orang yang mendapat rahmat Tuhan. Hal ini bisa diartikan sebagai rahmat kenabian seperti telah disebutkan dalam bab III. Maksudnya guru hendaknya menerapkan sifat-sifat seperti seorang nabi yang telah di utus Tuhan dan menyampaikan risalah. Dalam dunia pendidikan sebagaimana di sebutkan dalam bab III, rahmat bisa diterjemahkan sebagai pengakuan, baik dari Allah maupun dari masyarakat, bahwa dia pantas mendapat derajat guru. Sebagaiman seorang nabi yang telah mendapatkan nubuwwah, ini berarti dia telah mendapatkan pengakuan dari Allah bahwa dia pantas menjadi nabi. Lalu diejawantahkan dengan pengakuan masyarakat di bumi akan posisi/ derajat kenabiannya. Intinya bahwa seorang guru adalah orang yang benar-benar telah mendapat pengakuan dari masyarakat. Dia diakui sebagi orang yang pantas menjadi teladan. Aspek ini lebih menjurus pada sisi sosial kemasyarakatan. Karena guru adalah seorang figur di mata masyarakat. Kata rahmat mengandung arti kenikmatan. Namun kenikmatan di sini tidak serta merta diasosiasikan sebagai kenikmatan berupa harta dunia semata. Sebab kenikmatan itu banyak bentuknya. Adapun kenikmatan disini justru lebih menjurus pada nikmat kewibawaan/ atau nikmat pengakuan dari masyarakat. Sebab yang diharapkan dari seorang guru adalah ilmunya Kata rahmat secara lebih rinci dalam konteks pendidikan dapat diartikan sebagai: 1. Guru adalah orang yang memasyarakat, tidak individualis 2. Guru adalah seorang yang dihormati dan diakui kepandaiannya dan keluhuran sikapnya 3. Memiliki kewibawaan (gezag) sebagai unsur yang penting yang hendaknya ada pada diri guru. Adapun yang ketiga adalah sebagai guru hendaknya memiliki pegetahuan yang luas. Maksudnya seorang guru tidaklah sempit wawasannya atau dalam bahasa lain kuper. Guru juga tidak buta tehnologi sehingga terlambat dalam mengakses informasi-informasi baru.
102
Seorang guru tidak akan dapat menyampaikan ilmu dengan baik kalau tingkat pengetahuannya belum sempurna. Dengan kata lain, semakin pandai seorang guru maka akan semakin mampu untuk mentransfer pengetahuannya. Dalam dunia pendidikan secara khusus ini di sebut dengan penguasaan materi. Penguasaan materi adalah salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Walaupun ini bukan satu-satunya. Karena banyak faktor lain yang berjalin berkelindan ikut mempengaruhi proses belajar mengajar. Disamping itu karena guru adalah seorang pendidik tentu saja dia juga menempati peran sebagai seorang konselor, yang harus siap apabila dimintai tugas untuk memberikan solusi bagi masalah sesorang individu. Seorang guru yang bisa memenuhi tugas ini pastilah mereka yang telah berpengetahuan dan berpengalaman luas. Sehingga mempunyai banyak alternatif jawaban untuk berbagai persoalan. Artinya jangan sampai seorang guru gagap ketika dimintai tolong untuk menyelesaikan masalah.. Figur guru dalam surat al-Kahfi di atas kiranya sesuai dengan yang diharapkan selama ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Chabib Thoha bahwa kualitas guru hendaknya di tingkatkan, karena secara umum peran guru masih cukup besar dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini ada 3 aspek yang perlu diperbaiki dari sisi guru, yaitu: 1. Aspek peningkatan wawasan akademik. a. wawasan medan keilmuan b. wawasan medan objektif peserta didik. c. wawasan objektif masa depan. 2. Aspek Metodik. a. strategi belajar mengajar. b. desain instruksional. c. evaluasi hasil belajar. 3. Aspek Religik. a. pendidikan wawasan nilai b. bersatunya ilmu, iman dan amal.3 3
Drs. H.M. Chabib Thoha, M.A, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 43
103
Dari penjelasan di atas maka sifat ‘abdullah dalam surat-al-Kahfi ayat 65 mewakili aspek ketiga, yaitu aspek religik. Maksudnya sebagai guru disamping memiliki bekal pendidikan wawasan nilai dia juga punya komitmen mengamalkan sifat-sifat religius dalam kesehariannya. Sedangkan sifat rahmat dalam surat al-Kahfi mewakili aspek kedua yaitu aspek metodik. Dengan menerapkan sifat rahmat ini guru akan semakin percaya diri dalam menyampaikan ilmunya demikian pula murid akan menerima ilmu sebagai sebuah tindak ibadah. Karena guru menyampaikan didasari sifat religius. Adapun aspek ketiga yaitu aspek peningkatan wawasan akademik, diwakili oleh sifat berpengetahuan luas seperti di sebutkan dalam ayat 65. B. Sifat
Murid Dalam Surat Al-Kahfi Ayat 65 Sampai 70 Dan
Implementasinya Dalam Pendidikan Islam. Berbicara mengenai pendidikan, khususnya pendidikan agama di millenium ketiga terjadi dua hal yang paradoks atau bertentangan. Demikian menurut Qodri Azizy.4 satu sisi keadaan masyarakat kita sedang bobrok, yang tidak lepas dari kegagalan pendidikan bangsa (bukan hanya pendidikan sekolah). Sisi lain tantangan
sekarang sangat berat, yang mengharuskan kondisi
kebangsaan harus fit, sekaligur juga memiliki kemampuan yang lebih atau tambahan untuk mampu bersaing diera tersebut. Sementara kita disuguhi contoh-contoh yang menyedihkan. Seperti free sex, tawuran pelajar, aklak yang tidak baik, narkotika, dan miras. Ketidakhormatan pada orang tua dan juga guru dan sederet perilaku tidak terpuji lainnya. Contoh-contoh tersebut sebagaimana dikemukakan Qodri mengacu pada kesamaan inti permasalahan, yaitu rapuhnya fondasi moralitas. Moralitas kebangsaan kita saat ini berada pada titik terendah.5
4
Qodri A. Azizi, Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika Sosial (Surabaya: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 60. 5 Ibid, hlm. 61
104
Pendidikan akhlak merupakan salah satu dari ciri pendidikan Nabi Muhammad yang menjadi jiwa bagi pendidikan muslim. Para pakar pendidikan muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran tidak sebatas memenuhi otak anak didik dengan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Tujuan utama dari pendidikan adalah mendidik akhlak dan jiwa anak didik, menanamkan rasa fadhilah dan mempersiapkan mereka dalam kehidupan yang suci.6 Pernyataan di atas menunjukkan pada hakikatnya ciri khas pendidikan Islam adalah pada etika atau akhlak, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Islam menekankan begitu pentingnya akhlak bagi pendidik dan juga anak didik. Karena hal ini baik secara langsung maupun tidak turut mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar.
Dalam hal ini etika anak didik
menempati porsi yang besar. Islam menekankan sekali bnagi seorang pelajar untuk menjunjung tinggi etika dan bersikap tawadlu. Bukannya bertindak bebas ala barat. Mengacu pada surat al-Kahfi ayat 66 yang berbunyi
(66) ﺪﺍ ﺭﺷ ﺖ ﻤ ﻋﻠ ﻤﺎ ﻤ ِﻦ ِﻣ ﻌﱢﻠ ﻋﹶﻠﻰ ﹶﺍ ﹾﻥ ﺗ ﻚ ﻌ ﻬ ﹾﻞ ﹶﺍﺗِﺒ ﻮﺳى ﻣ ﻗﺎ ﹶﻝ ﹶﻟﻪ "Musa AS berkata kepada Khidhir AS, “bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmuilmu yang diajarkan Allah SWT kepadamu?" (65) Kita bisa melihat pada dasarnya sikap tawadlu’ murid sangat ditekankan dalam al-Qur’an. Hal ini dikarenakan substansi dari ilmu itu sendiri adalah mulia. Oleh karena itu memuliakan ahli ilmu adalah lebih utama dari pada memperjuangkan kebebasan seperti terlihat dalam Liberalisme Barat.
6
Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj: Busthami A. Gani dan Johar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) cet. III, hlm 1
105
Fenomena kerusakan moral seperti telah disebutkan sudah menjadi rahasia umum. Sehingga pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana dekadensi moral itu dapat diatasi. Disinilah pentingnya bagi para insan-insan pendidikan untuk mengkaji al-Qur’an dan sekaligus menerapkan kembali konsep etika anak didik seperti termuat dalam ayat 66 surat al-Kahfi. Yang pada intinya murid hendaknya mengutamakan sikap tawadlu’ kepada guru. Akan tetapi ketawadhu’an bukanlah tamallu (menjilat), karena ini adalah kelemahan daqn tindak tak terpuji. Ketawadhu’an yang dimaksud adalah sebagai usaha menjaga sikap dan adab sepeprti yang telah direkomendasikan oleh az-Zarnuji. Sya’ir 7
ﻭﺑﻪ ﺍﻟﺘﻘﻰ ﺍﱃ ﺍﳌﻌﺎﱃ ﻳﺮﺗﻘﻰ# ﺍﻥ ﺍﻟﺘﻮﺍﺿﻊ ﻣﻦ ﺧﺼﺎﻝ ﺍﳌﺘﻘﻰ
“sesungguhnya sikap tawadhu (rendah hati) adalah bagian dari sifatsifat orang yang takwa kepada Allah SWT. Dan dengan tawadhu’ orang yang takwa akan semakin naik derajatnya.” Perlu ditekankan disini bahwa ketawadhu’an murid yang diharapkan bukanlah cermin keotoriteran. Karena ketawadhu’an adalah merupakan sikap yang dijunjung tinggi dalam Islam. Oleh karena itu para insan pendidikan tidak perlu ragu untuk mempertahankan konsep asli al-Qur’an yang sekaligus juga teladan Nabi. Dalam hal ini sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan diri kita menghadapi “serangan” pemikiran liberalisme dari barat. Jika sikap-sikap seperti dalam surat al-Kahfi ini diterapkan maka diharapkan pamor pendidikan akan beranjak naik. Bagi guru sebnagai pendidik tidakdibuat malu oleh tingkah buruk anak didiknya. Dan disisi lain bagi murid akan merasa bangga karena menjadi pribadi yang tangguh, yang bukan hanya sekadar mengimitasi kebudayaan barat yang bebas nilai, dan kadang-kadang melenceng jauh dari nilai- Islam.
7
Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Syarah Ta'limul Muta'allim., (Semarang: Pustaka Al-Alawiyah, t.t) hlm. 12
106
Maka murid hendaknya menerapkan konsep etika yang tertuang dalam surat al-Kahfi ayat 66, yang meliputi: 1. Menjunjung tinggi sikap tawadhu’ pada guru. 2. Murid hendaknya pada asumsi dasar bahwa guru lebih pandai darinya. 3. Murid
hendaknya
memilki
komitmen
untuk
mendalami dengan sungguh-sungguh ilmunya. 4. Murid hendaknya memilki komitmen untuk beramal. Empat etika dasar diatas adalah sangat ideal diterapkan dalam pendidikan sekarang. Karena sebagaimana telah disebutkan oleh Qodri Azizi dimuka bahwa moralitas pelajar sudah makin menjauh dari ajaran Al-Qur’an. Sehingga berakibat menurunnya semangat belajar siswa bahkan sampai pada menurunnya prestasi belajarnya. Perlu ditegaskan disini bahwa etika pada dasarnya adalah philosophy of moral, atau pemikiran sistematis tentang moralitas. Dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yuang mendasar dan kritis. Dengan kata lain kata etika tidak identik dengan moral atau moralitas. 8 Dengan menjunjung tinggi etika diharapkan situasi belajar-mengajar akan menjadi kondusif dan menyenangkan.
Karena guru tatap dapat
memenuhi hak-haknya dan murid juga sebaliknya. C. Pola Hubungan Guru-Murid Dalam Surat Al-Kahfi Ayat 65 Sampai 70 dan Implementasinya Dalam Pendidikan Islam. Untuk mencapai interaksi belajar mengajar, perlu adanya komunikasi yang jelas antara guru (pengajar) dengan siswa (pelajar)sehingga terpadunya dua kegiatan, yakni kegiatan mengajar dan kegiatan belajar yang berdaya guna dalam mencapai tujuan pengajaran.9 Mengacu pada surat al-Kahfi ayat
8
Qodri Azizy, Op.Cit., hlm. 23 Dr. Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 2000),
9
hlm. 31
107
65 sampai 70, bahwa pola hubungan guru murid hendaknya mendasarkan pada dua hal, yaitu: 1. Relasi persahabatan antara guru dan anak didik. Disini guru berperan sebagai teman setia yang melayani kebutuhan muridnya akan ilmu. Demikian pula murid dengan penuh setia menerima pelajaran dari gurunya. Hubungan persahabatan ini seperti tercantum dalam ayat 66 surat al-Kahfi, yang berbunyi:
(66) ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ﻣﻮﺳىﻬﻞ ﺍﺗﺒﻌﻚ ﻋﻠﻰ ﺁﻥ ﺗﻌﻠﻤﻦ ﳑﺎ ﻋﻠﻤﺖ ﺭﺷﺪﺍ “Musa berkata pada Khidhir: Apakah aku bileh mengikutimu supaya engkau mengajarkan aku dari apa yang telah diajarkan Allah SWT kepadamu.” Dimana lafadz
ﺍﺗﺒﻌﻚ
mengandung makna
( ﺃﺻﺤﺒﻚmenemanimu)
seperti tafsiran Musthafa Al-Maraghi. Berdasarkan hal ini maka seorang guru
diharapkan
bisa
menerapkan
konsep
persahabatan
dalam
hubungannya dengan murid. Akan tetapi persahabatan disini tentu saja tetap mendasarkan pada etika. Karena posisi guru tetaplah sebagai guru yang memiliki kedudukan tak sama dengan murid, demikian pula posisi murid tretaplah sebagai murid. Sehingga masing-masing hendaknya memperhatikan posisinya. 2. Rasa saling pengertian. Guru dan murid hendaknya mendasarkan pada rasa saling pengertian seperti yang tercantum dalam ayat 70 surat al-Kahfi, yang berbunyi:
(70) ﻗﺎﻝ ﻓﺎﺀﻥ ﺍﺗﺒﻌﺘﲎ ﻓﻼ ﺗﺴﺌﻠﲎ ﻋﻦ ﺷﺊ ﺣﱴ ﺍﺣﺪﺙ ﻟﻚ ﻣﻨﻪ ﺫﻛﺮﺍ “Dia
berkata,
“jika
kamu
mengikutiku
janganlah
kamu
menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (70)
108
Dalam ayat ini Khidhir memberi syarat pada Musa agar ia tidak bertanya dulu sebelum Khidhir mendemonstrasikan semua yang akan ditunjukkan kepada Musa AS. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru memiliki hak untuk dipatuhi perintahnya. Karena perintah yang berhubungan dengan proses belajar mengajar, sesungguhnya bertujuan untuk melancarkan proses belajar-mengeajar itu. Sehingga hendaknya murid mentaati perintah gurunya. Inilah wujud rasa pengertian seorang murid atas hak seorang guru. Karena secara naluriah guru adalah manusia yang juga ingin dijunjung tinggi dan dihormati. Apabila guru ridho pada muridnya, maka diharapkan proses belajar mengajar akan berjalan dengan baik, serta menuai keberhasilan yang baik pula. Disamping murid memilki rasa pengertian kepada guru begitu pula sebaliknya guru juga punya rasa pengertian kepada murid. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Khidhir, dimana ketika Musa AS melanggar perintahnya, Khidhir tidak serta merta mendrop out Musa dari pencarian ilmunya. Disini Khidhir cukup memahami Musa yang kritis dan mengerti keinginan Musa. Sehingga Khidhir tetap membolehkan Musa mengikutinya, sampai batas toleransi pelanggaran yang ketiga kalinya. Adapun kejadian ini tercantum dalam tiga ayat selanjutnya yang sebetulnya terangkum dalam lafadz
ﻋـﻦ ﺷﺊ
(tentang sesuatu). Sesuatu
inilah yang dimaksud oleh Khidhir dalam ayat 71 sampai 77, yang meliputi ; membocorkan perahu, membunuh seorang anak, dan membetulkan rumah yang hampir roboh. Interaksi yang semacam ini
dalam pendidikan mengacu pada
model perpaduan antara komunikasi sebagai aksi dan komunikasi sebagai interaksi. Sebagaimana disebutkan oleh Syaiful Bahri Djamarah, bahwa ada 3 pola komunikasi antar guru dan murid dalam interaksi edukatif. Tiga pola itu adalah pola komunikasi sebagai aksi, pola komunikasi sebagai
109
interaksi, dan polakomunikasi sebagai transaksi.10 Perpaduan dua pola yang dimaksud disini adalah bahwa disaat menerangkan guru lebih dahulu menerangkan secara penuh materi pelajaran, tanpa “diganggu” oleh pertanyaan murid (ini wujud komunikasi sebagai aksi). Dan kemudian setelah penyampaian materi selesai barulah guru mempersilahkan murid untuk bertanya dan juga bediskusi dengan guru (komunikasi sebagai interaksi). Model inilah yang sampai sekarang masih sering diterapkan dan terbukti efektif. Interaksi ini lazim disebut interaksi belajar-mengajar.11 Dalam interaksi semacam ini terjadi siswa belajar dan guru mengajar. Keduanya untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun tugas siswa adalah belajar, yaitu mengembangkan potensi semaksimal mungkin, sehingga tujuan tercapai sesuai dengan apa yang dicita-citakan didalam dirinya. Dalam hal ini siswa membuttuhkan situasi kondisi yang memungkinkan serta menunjang berkembangnya potensi tersebut. Untuk kepentingan tersebut peranan guru sangat diperlukan tugas seoarang guru adalah mengajar, dimana guru harus membimbing anak belajar, dengan menyediakan situasi kondisi yang tepat, agar potensi anak berkembang semaksimal mungkin.dengan demikian diharapkan tujuan pendidikan dapat tercapai. Penjelasan diatas mendasarkan pada surat al-Kahfi ayat 65 sampai 70, dan dapat dijabarkan pola interaksi guru-murid sebagai berikut: Sikap seorang guru ketika menyampaikan pelajaran: 1. Mempersilakan murid bertanya pada waktunya Hal ini dapat di lihat dari sikap Khidhir ketika menghadapi Musa. Kendati Musa AS telah melanggar syarat yang diberikan oleh Khidhir agar jangan bertanya apapun, seperti dalam ayat
ﻓﻼ ﺗﺴﺌﻠﲎ ﻋﻦ ﺷﺊ ﺣﱴ
10
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 12
11
Rustiyah NK, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, (Jakarta: Bina Aksara, 1982),
hlm. 43.
110
ﺍﺣـﺪﺙ ﻟﻚ ﻣﻨﻪ ﺫﻛﺮﺍTetap saja Khidhir memperbolehkan Musa AS untuk bicara, bahkan sampai Musa AS melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali. Ini menunjukkan kebijaksanaan Khidhir sebagai guru yang lebih mengedepankan sikap rahman dan rahim. Dia tidak serta merta memutus hubungan dengan musa melainkan di beri waktu sampai tiga kali pelanggaran. 2. Menanggapi dengan positif sikap kritis murid.. Karena sikap kritis pada hakekatnya adalah semangat yang luar biasa dalam mendalami ilmu. Sehingga ketika ada seorang murid yang kritis guru dengan legawa menanggapi walaupun mungkin dari sudut etika terlihat kurang sopan 3. Memberikan tugas seperlunya kepada murid. Khidhir memberikan satu syarat kepada musa AS agar ia tidak menanyakan sesuatu apapun adalah merupakan tugas yang harus di kerjakan oleh musa AS. Dan sebagai murid musa hendaknya mentaati dan mengerjakan tugas dari gurunya tanpa di dahului perbantahan. Sedangkan dalam PBM dapat berwujud tugas rumah ataupun tugas mengamati kejadian di luar kelas. 4. Mencoba menakar daya pikir anak didik. Hal ini terlihat dari ayat
ﻗـﺎﻝ ﺍﻧـﻚ ﻟـﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻊ ﻣﻌﻰ ﺻﱪﺍ. Dalam ayat ini khidhir mencoba memprediksi sekaligus menakar daya pikir musa AS. Ini bertujuan untuk mengetahui apakah musa AS termasuk golongan murid pandai sedang ataukah bodoh. Hal ini penting sebab seorang guru tidak boleh menyeamakan begitu saja antara murid yang pandai dan yang bodoh, dikarenakan daya tangkap masing-masing berbeda. Akan tetapi hal ini bukannya berarti membeda bedakan, melainkan hanya sebagai satu cara untuk memeahamkan satu pelajaran kepada banyak murid dengan potensi dasar yang berbeda. 5. Mempersilakan murid berargumen. Seorang guru tidaklah mutlak menjadi penguasa muridnya, sehingga dia bebas membungkam daya
111
kritis murid. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan diatas daya kritis adalah satu sikap maju yang perlu dikembangkan asalkan sesuai norma dan etika. Maka dalam hal ini seorang guru hendaknya mempersilahkan murid untuk bertargumen sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Dan sebagai guru berkewajiban untuk menanggapi argumen si murid. Pernyataan ini terlihat dari sikap khidhir yang tetap mempersilahkan musa untuk mendebat dan membentah perbuatan khidhir yang dinilai menyimpang oleh musa. Demikianlah sikap guru terhadap murid dalam proses belajar mengajar menurut surat al-kahfi ayat 65 sampai 70. Sedangkan sikap murid terhadap guru adalah sebagai berikut: 1. Mengkolaborasikan
pengetahuan
yang
telah
dimiliki
dengan
pengetahuan baru yang diperoleh dari gurunya, agar diperoleh kebenaran yang sesungguhnya. Seperti potongan ayat
ﻫﻞ ﺍﺗﺒﻌﻚ ﻋﻠﻰ ﺍﻥ ﺗﻌﻠﻤﻦ ﳑﺎ ﻋﻠﻤﺖ ﺭﺷﺪﺍ 2. Ketika guru menerangkan, murid harus pada asumsi dasar bahwa guru lebih pandai darinya dalam banyak hal. Artinya murid hendaknya mengedepankan sikap tawadlu’ pada guru. Ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat
ﳑــﺎ ﻋﻠﻤــﺖ ﺭﺷــﺪﺍ
karena jika murid lebih
menguinggulkan egonya bisa dipastikan justru pengetahuannya semakin dangkal. 3. Murid tidak merasa tersinggung ketika guru seolah melemahkan dirinya dalam dalam hal ilmu. Karena ini semata-mata untuk memotifasi dirinya belajar lebih giat lagi. Ini yang diisyaratkan dalam ayat
ﻗﺎﻝ ﺳﺘﺠﺪﱏ ﺍﻥ ﺷﺎﺀﺍﷲ ﺻﺎﺑﺮﺍ ﻭﻻﺍﻋﺼﻰ ﻟﻚ ﺍﻣﺮﺍ sebagai jawaban dari pernyataan guru (Khidhir) yang tampaknya melemahkan Musa AS yaitu ayat
112
ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺼﱪ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﱂ ﲢﻂ ﺑﻪ ﺧﱪﺍ. ﻗﺎﻝ ﺍﻧﻚ ﻟﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻊ ﻣﻌﻰ ﺻﱪﺍ hal ini menunjukkan adanya komunikasi dan hubungan yang harmonis serta saling pengertian antara guru dan murid. 4. Memiliki komitmen/ tekad yang kuat akan menjalankan perintah guru. Sebagaiman ayat
ﻗـﺎﻝ ﺳـﺘﺠﺪﱏ ﺍﻥ ﺷﺎﺀﺍﷲ ﺻﺎﺑﺮﺍ ﻭﻻﺍﻋﺼﻰ ﻟﻚ ﺍﻣﺮﺍ
.
sebagaimana dikemukakan oleh al-kanani yang di kutip oleh hery noer ali bahwa seorang murid hendaknya patuh pada guru dalam segala hal, menghormati hak guru, bershabar terhadap guru ytang keras, banyak berterima kasih kepada guru, menjaga sopan santun.12
.5 Mengikuti anjuran guru dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh guru seperti dalam potongan ayat
ﻭﻻﺍﻋﺼﻰ ﻟﻚ ﺍﻣﺮﺍ
6. Tidak banyak bertanya kecuali sudah diberi waktu. Hal ini penting agar penjelasan tidak terpotong. Seperti pernyataan Khidhir dalam ayat
ﻗﺎﻝ ﻓﺎﺀﻥ ﺍﺗﺒﻌﺘﲎ ﻓﻼ ﺗﺴﺌﻠﲎ ﻋﻦ ﺷﺊ ﺣﱴ ﺍﺣﺪﺙ ﻟﻚ ﻣﻨﻪ ﺫﻛﺮﺍ 7. Shabar dalam melakukan proses berfikir. Berfikir dalam hal ini, berusaha memecahkan masalah yang baru dalam pelajarannya. Murid berfikir keras mencari jawaban sampai menjumpai titik klimaks, sampai pada waktunya untuk berdiskusi, sehingga dia sudah mempunyai argumen yang matang karena hasil berfikir yang serius. Demikianlah timbal balik antara murid dan guru sebagai interaksi yang baik yang terkandung dalam surat al-Kahfi ayat 65 sampai 70
12
Drs. Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm.131