POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Pemikiran Politik Islam Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Ihsan Maulana NIM: 104033201092
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1430 H
POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Pemikiran Politik Islam Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Ihsan Maulana NIM: 104033201092
Di Bawah Bimbingan
M. Zaki Mubarak. M. Si NIP: 197309272005011008
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1430 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ”POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 November 2009. Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada program Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 20 November 2009
Panitia Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota
Sekertaris Merangkap Anggota
Dr. Hendro Prasetyo, MA NIP: 196407191990031001
Joharatul Jamilah, S. Ag, M. Si NIP: 196808161997032002
Anggota,
Penguji I
Penguji II
Dr. Sirojuddin Aly, MA NIP: 195406052001121001
Dr. Nawiruddin, M. Ag NIP: 197201052001121003
Pembimbing
M. Zaki Mubarak, M. Si NIP: 197309272005011008
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 September 2009
Ihsan Maulana
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan berbagai nikmat dan karunia, dialah yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Dengan rahmat, inayah dan ridhanya juga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan baik dalam pengetahuan maupun dalam teknik penulisan, oleh karena itu dengan rendah hati dan lapang dada penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun bagi semua pihak. Akhir kata penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besaranya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Pertama-tama rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, Selaku Sekertaris Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih khusus kepada Bapak Agus Darmadji, M. Fils, Dr. Sirojuddin Aly, MA, M. Zaki Mubarak, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang memberikan arahan, saran, masukan serta kritikan yang bersifat membangun dalam penulisan skripsi ini. Begitu juga seluruh dosen dan staf pengajar pada program Studi Pemikiran Politik Islam, penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya.
Terima kasih dari hati yang paling dalam kepada mereka yang sangat berjasa memberikan sumbangan moral maupun material yang terhingga nilainnya, yang begitu sabar dalam penantian, yaitu kedua orang tua penulis, (Alm) Bapak H. Muhammad Ali dan Ibu Hj. Marpuah, keduanya ikut terlibat langsung jatuh bangun dalam kehidupan penulis. Kakak-kakak dan abang-abang tercinta juga patut mendapat ucapan terima kasih. Mereka antara lain, (almh) Hj. Rokibah, S. Ag, Ahmad, Marwajih, Mardan, Rosyadah, Ismail, Muhammad Taufiq, S. Si, Siti Marliah, S. Ag, Siti Nazullah, Amd, S. Pd I, serta Sahruddin, SHI. (eka elrun ono) karena doa dan pengertian mereka, untuk mereka semua penulis persembahkan karya ini. Atra esterni ono thelduin. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Burhanuddin Muhtadi dan Abdul Hakim, yang telah membantu penulis dalam meminjamkan beberapa buku, majalah, serta koran yang penulis sangat perlukan, ucapan terima kasih pula penulis sampaikan atas wawancaranya secara langsung, sehingga penulis menemukan pemikiran Islam yang sangat signifikan. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa Pemikiran Politik Islam angkatan 2004, baik kelas A dan B, yang juga membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, semoga kita tetap solid dan selalu menjaga tali silaturrahmi. Khusus kepada my girls friend, Yuliana, dialah salah satu bintang dari sekian banyak bintang yang bersinar, atas pengorbanannya sedikit banyak telah menemani dalam suka dan duka, ikut dalam pencarian data, buku, dan selalu memberikan support, eka elrun ono, atra esterni ono thelduin, kata tersebut layak penulis persembahkan untuknya. Thanks for all..
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam sebuah karya ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, serta mampu mengisi wawasan khazanah Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 28 Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI .......................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................... 10
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 10
D.
Metode Penelitian................................................................. 11
E.
Sistematika Penulisan........................................................... 11
BAB II BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG ISLAM DAN NEGARA A.
Tiga Pendekatan Islam dan Negara....................................... 13 1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik.......................... 15 2. Paradigma Islam Substantif .............................................. 20 3. Paradigma Islam Sekularistik............................................ 22
B.
Islam dan Pluralisme ............................................................ 31
C.
Hak Asasi Manusia .............................................................. 36
D.
Formalisasi Syariat Islam .................................................... 41
BAB III SEPUTAR JARINGAN ISLAM LIBERAL A.
Latar Belakang Berdirinya JIL.............................................. 52
B.
Visi, Misi dan Tujuan JIL .................................................... 58
C.
Perkembangan dan Program JIL ........................................... 60
BAB IV TELAAH TERHADAP ISU WACANA PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL A.
Islam dan Sekularisme ( Negara Islam).............................. 66
B.
Islam Pluralisme dan HAM (Negara Plural)...................... 71
C.
Penerapan Syariat Islam di Indonesia................................. 79
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan .......................................................................... 88
B.
Saran dan Kritik .................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Wacana tentang agama dan negara, seolah tidak akan pernah ada habisnya. Dua institusi ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya bagi yang berada dalam wilayah keduanya. Agama sebagai sumber etika moral mempunyai kedudukan yang sangat jelas karena berkaitan erat dengan prilaku seseorang dalam interaksi sosial kehidupannya dan agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran dalam setiap langkah kehidupan, baik terhadap sesama maupun dengan sumber agama tersebut. Sedangkan negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh aturan mengenai tata kemasyarakatan yang mempunyai wewenang dalam memaksakan setiap aturan yang dibuatnya kepada masyarakat. Di sini, bisa saja aturan yang dibuat oleh negara sejalan dengan apa yang menjadi sumber acuan masyarakat (agama), tetapi bisa juga berlawanan atau tidak sejalan dengan agama, tergantung bagaimana sistem yang dianut oleh seluruh negara tersebut, yang kemudian menimbulkan benturan-benturan antara agama dan negara. Perdebatan mengenai Islam, apakah harus dikaitkan dengan permasalahan negara, pastinya perdebatan ini akan terus menerus dibahas dalam dunia intelektual dalam dan luar kampus, aktivis dan sebagainya masih sering mendiskusikan bentuk yang ideal apakah Islam berhubungan dengan negara atau tidak. Hubungan Islam dan negara merupakan persoalan tidak hanya dunia intelektual an sich yang membahas
persoalan
ini,
tapi
sebagian
masyarakat
Muslim
Indonesia
mempersoalkan masalah ini, persoalan ini sebenarnya bagian dari masalah yang
sangat besar tentang dimana posisi agama dalam negara. Bermacam argumentasi telah muncul dalam rangka menjawab persoalan dan perdebatan ini. Banyak upaya yang telah dilakukan para intelektual muslim dalam rangka pencarian konsep tentang relasi agama dan negara pada dasarnya mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan. ”Bagaimana bentuk negara Islam?”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu mengenai negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni mencoba menjawab pertanyaan. ”Bagaimana isi negara menurut Islam?”. pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar tentang etika dan moral. Sebagimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa persoalan ini banyak di perbincangkan oleh beberapa kalangan. Pertama, mereka yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, kalangan ini mengacu kepada sistem politik Islam yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Empat Sahabatnya. Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah sebagai suatu agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan, menurut kalangan ini Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti hanya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas
hanya mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dan berbudi pekerti baik. Nabi Muhammad menurut kalangan ini tidak pernah mendirikan dan menjadi kepala negara. Ketiga, mereka menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap yang di dalamnya mengatur sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya, sebagaimana pengertian Barat. Menurut mereka Islam merupakan ajaran totalitas, tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja, karena itu menurut mereka, dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori yang lengkap, namun disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.1 Perdebatan mengenai hubungan Islam dan negara telah melahirkan tiga kelompok besar dalam kalangan peneliti.2 Pertama, dengan tegas menolak adanya hubungan antara agama dan negara dalam hal ini adalah Islam, kelompok ini beranggapan bahwa agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda dan bertolak belakang. Agama sama sekali tidak membicarakan persoalan negara dengan jelas, kelompok ini disebut dengan kelompok sekuler. Kedua, mereka yang mengasumsi bahwa agama dan negara mempunyai ikatan erat yang tidak dapat dipisahkan. Kelompok ini sering disebut kelompok formalis. Ketiga, mereka yang mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kedua kelompok tersebut. Terlepas dari kelompok-kelompok tersebut apakah dalam Islam sekaligus dalam kitab suci Al-quran di perintah dan di tuntut untuk mendirikan negara atau
1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UIPRESS, 1993), h. 1-2. 2 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais (Jakarta: Teraju, 2005), h.40.
tidak, kenyataannya banyak kalangan Islam politik (yang me\nginginkan penyatuan antara agama dan negara) membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang Islami, karena bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu kekuatan (institusi politik). Untuk menegakkan keadilan dan menjaga perdamaian, diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.3 Banyak faktor yang membuat kalangan yang menolak Islam sebagai negara atau tidak menyukai Islam disatukan dengan negara dengan berbagai banyak alasan, faktor tersebut lebih kepada bahwa Islam belum dapat diterima oleh kalangan masyarakat secara utuh, masih adanya ketakutan dengan Islam jika mempunyai keterkaitan dengan negara dengan jargon syariat Islam yang banyak kalangan mengatakan tidak ideal diterapkan dalam konteks negara Indonesia dan lain sebagainya. Di lain pihak banyak kalangan yang sepakat dengan penyatuan antara Islam dan negara, paling tidak Islam harus mempunyai andil dalam negara. Beragam potret aliran maupun mazhab baik dalam soal fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti bahwa Islam tidaklah monolitis.4 Penafsiran dua istilah tersebut akan terus menerus menjadi persoalan dan perdebatan antara kalangan yang setuju dan yang tidak setuju secara tegas bahwa Islam terlepas dari negara. Dalam penafsiran antara Islam dan negara, sebagaimana yang penulis katakan tadi adalah kalangan yang setuju bahwa Islam tidak dipisahkan dengan konteks negara. Penafsiran yang lain mengatakan Islam dan negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus dipisahkan. Sedangkan pandangan yang paling moderat pun juga ada, pandangan moderat menegaskan, meski Islam dan negara merupakan persoalan yang berbeda namun kedunya 3
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 8-9. Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h.21. 4
mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu ada.5 Perbedaan disini akan selalu ada dalam menafsirkan segala sesuatu dan mewarnai dunia keislaman. Para pemikir politik Islam sepakat bahwa hubungan antara Islam dan politik dalam makna negara, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Dari aspek manapun, definisi politik selalu di postulasikan terkait dengan Islam. Ada dua dimensi dalam hubungan Islam dengan negara, yaitu dimensi the art of government (seni dalam memerintah) dan dimensi struggle for power (perjuangan untuk meraih kekuasaan). Jika politik didefinisikan dalam konteks the art of government, menurut Abdul Rasyid Moten, sudah dapat diketahui adanya hubungan antara Islam dan negara, bahkan negara tidak dapat dilepaskan dari Islam dalam formulasi Al-Quran, hal ini masuk kedalam lingkup amar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar). Dalam formulasi sosiologis berarti adanya keharusan bagi setiap umat Islam, dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman, berpartisipasi dalam mengoreksi jalannya pemerintahan.6 Begitu juga jika politik di definisikan sebagai struggle for power, maka tak ada kontradiksi antara Islam dan negara.7 Sebagaimana diketahui, titik akhir dari struggle for power adalah formasi kekuasaan politik. Para pemikir Islam kontemporer, terutama Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Qutb dan al-Maududi, telah bayak mengemukakan pandangannya bahwa Islam adalah suatu agama yang tidak mengurusi masalah agama semata, Islam sekaligus mengurusi masalah kenegaraan. Dalam arti lain, bahwa negara merupakan wacana keagamaan yang berimplikasi kepada suatu keterkaitan antara kedunya.
5
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h.6. Abdul Rasyid Moten, Political Science an Islamic Perspective (London: Macmalian Press, 1996), h. 20. 7 Moten, Political Science an Islamic,h.20. 6
Kalau dalam konteks politik Indonesia sebenarnya perdebatan sekaligus pergulatan hubungan antara Islam dan negara sudah berlangsung. Dalam proses awal pembentukan sebuah negara, ketika itu persoalan yang paling krusial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah menyepakati bentuk dasar sebuah negara. Dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) permasalahan pokok yang dibahas ketika itu antara lain persoalan bentuk negara, ini juga menyangkut masalah hubungan agama dengan negara. Dari kelompok pembela dasar Islam, juru bicara terkemuka adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar, Muhammad Natsir dan KH. A. Wachid Hasyim. Dalam kelompok ini pihak Islam bersatu menghadapi pihak nasionalis. Gagasan tentang suatu bentuk negara berdasarkan Islam telah muncul kepermukaan, sejak Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang.8 Kemudian pergolakan ini berlanjut ketika umat Muslim berusaha memformalisasikan Islam dalam konteks negara Islam sebagai dasar agama tentu tidak dapat diterima oleh kalangan nasionalis sekuler. Demikian pula dengan kelompok Islam politik tetap gigih untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang hubungan agama (Islam) dengan negara terekam dalam panji Islam9, perdebatan ini akan terus menerus tidak ada habisnya. Perdebatan yang sama terjadi dalam sidang konstituante di Bandung pada tahun 1956-1959. Voting yang dilakukan majelis, yang bertugas membuat UUD baru. Ini tidak dapat menetapkan dasar negara antara pilihan pancasila dan Islam. Saat itu terjadi perdebatan antara pancasila dan Islam. Partai-partai Islam seperti Masyumi dan NU memperjuangkan negara demokrasi berdasarkan Islam. Dan h. viii
8
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002),
9
Suhelmi, Polemik Negara Islam,h. viii.
partai nasionalis seperti PNI dan Partai Komunis bersatu mempertahankan pancasila sebagai dasar negara.10 Perdebatan ini kembali mewarnai politik Indonesia, ketika
Soeharto
berkuasa bagaimana ketika itu partai Islam yang mengusung Islam sebagai dasar negara tidak diberikan ruang gerak yang signifikan. Soeharto tidak mau membiarkan partai Islam memimpin Indonesia dengan alasan mencoba mendirikan negara Islam dan jargon Syariat Islam. Lengsernya Soeharto masih saja perdebatan ini dibahas, perdebatan yang terjadi tidak banyak bergeser dari apa yang diperdebatkan Soekarno dan Natsir, jadi tidak memuat persoalan-persoalan baru. Piagam Jakarta adalah salah satu perdebatan yang menarik pada masa reformasi, banyak ketika itu partai Islam mencoba mengangkat kembali piagam Jakarta yang semula juga pernah diperdebatkan, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PBB (Partai Bulan Bintang), kedua partai ini mencoba mengangkat tema yang sudah lama dibahas, kedua partai ini mencoba mempermasalahkan kembali persoalan-persoalan yang menyangkut masalah agama dan negara, mereka mencoba menjadikan syariat Islam sebagai salah satu hukum negara. Usulan itu berawal dari keinginan F-PPP dan F-PBB dalam rapat panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR yang bertugas menyiapkan amandemen pasal-pasal UUD 1945 untuk sidang tahunan MPR tahun 2000. Sidang tersebut mencuat persoalan piagam Jakarta dan syariat Islam di Indonesia, catatan atas kontroversi amandemen pasal 29 UUD 1945. Ketegangan itu berakhir ketika MPR memutuskan untuk menunda pembahasan beberapa pasal sensitif dalam rangka amandemen. Alasan penundaan ini secara formal adalah keterbatasan waktu sidang. Tetapi ini 10
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama 40 Negara dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 7.
sebenarnya menunjukkan bahwa masalah itu memang bukan permaslahan yang mudah bagi perumusan bangunan negara Indonesia. Pada konteks kekinian muncul HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang mencoba mengangkat persoalan-persoalan klasik, yang tidak jauh seputar hubungan Islam dan negara mereka mencoba memperjuangkan bentuk Khilafah Internasional. Ini adalah bagian dari kalangan kelompok yang memaknai keterkaitan hubungan Islam dan negara, disamping banyak juga yang menolak argumentasi tersebut. Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan suatu jaringan yang membahas tentang masalah-masalah keislaman. Keterkaitan agama (Islam) dan negara salah satu topik pembahasan yang akan tidak henti-hentinya diperdebatkan, baik dari kalangan yang pro dan yang kontra. Mengenai pembahasan Islam dan negara, JIL menjelaskan bahwa kalau umat Islam mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis dan rasional akan menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama politik semata dalam konteks negara. Bahkan, porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun berkaitan dengan kepentingan banyak orang yang berarti kepentingan rakyat kecil (lower class in the society), bukan pada tatanan model-model politik. Oleh karena itu negara (politik) dan agama (Islam) suatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar negara.11 Sebagian orang percaya bahwa politik dalam makna negara merupakan bagian dari agama. Karena itu, ia harus diatur sesuai dengan ajaran agama. 11
Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam/
Sementara sebagian lagi percaya bahwa politik merupakan urusan duniawi dan tidak ada hubungannya dengan agama. Ini adalah masyarakat yang sudah terdoktrinasi dengan istilah “Islam adalah agama sekaligus negara”.12 Dengan demikian sering kali menimbulkan dilema termasuk dalam munculnya berbagai pemikiran dan pemahaman tentang Islam yang tidak saja berbeda, namun bertolak belakang bahkan berbenturan. Jaringan Islam Liberal (JIL) turut berbicara dan meramaikan perdebatan antara Islam dan negara. Banyak artikel, buku dan jurnal yang telah di terbitkan sebagai bagian dari kepedulian dan kontribusi dalam mencari jalan keluar dalam persoalan perdebatan yang sangat lama. Dengan demikian berbagai penjelasan baik yang setuju dan tidak setuju diatas mengantarkan saya untuk mengetahui dan mengetengahkan pokok-pokok persoalan yang cukup signifikan, sejauh mana pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) mewarnai persoalan antara Islam dan negara. Pandangan yang sangat kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk memahami lebih lanjut hubungan Islam dan negara menurut JIL. Disamping itu, penulis juga akan mencoba mencari letak argumentasi JIL tentang hubungan Islam dan negara. Untuk itu, penulis tertarik untuk mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: Pola Hubungan Islam dan Negara dalam Pemikiran Jaringan Islam Liberal.
12 Abdul Moqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, Upaya Merumuskan Keberagaman Yang Dinamis (Jakarta: JIL, 2005), h. 86.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam proposal skripsi ini dibatasi pada pembahasan sekitar hubungan Islam dan negara menurut Jaringan Islam Liberal (JIL) serta isu wacana global pemikiran JIL Dengan pembatasan masalah seperti ini, maka yang akan penulis permasalahkan pada penulisan ini adalah bagaimana pola hubungan Islam dan negara dalam pemikiran Jaringan Islam Liberal dan isu wacana global pemikiran JIL
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas rumusan ideal menurut JIL soal hubungan Islam dan negara. Serta melakukan analisis kritis terhadapnya. Sementara tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan secara rinci pemikiran JIL tentang hubungan Islam dan negara. 2. Untuk mengetahui wacana-wacana yang selama ini JIL serbarkan gagasan-gagasannya ke publik. 3. Untuk mengetahui konsep yang ideal tentang hubungan Islam dan negara. Sedangkan kegunaan penelitian ini diantaranya untuk memperkaya khazanah intelektual politik Islam. Penulis mengharapkan agar penelitian ini ada kegunaan dan dapat memberikan arti akademis dalam menambah informasi dan memperkaya wawasan ke-islaman dalam bidang pengembangan Pemikiran Politik Umat Islam.
D. Metode Penelitian Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan menelaah buku-buku, majalah, artikel-artikel dan juga jelajah dunia maya (internet) yang penulis anggap relevan dengan pokok permaslahan. Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis juga akan melakukan wawancara lansung atau tidak langsung dengan aktivis JIL. Dari wawancara ini diharapkan mampu menemukan pemikiran kritis JIL terkait dengan hubungan Islam dan negara. Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah dan penulisan dalam skripsi ini di sesuaikan dengan standar penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) yang di terbitkan Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang akan di uraikan secara ringkas, dari masing-masing bab sebagi berikut: Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang memuat tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan. Bab kedua, akan membahas seputar tiga pendekatan hubungan Islam dan negara secara singkat, yang terdiri dari tiga paradigma antara lain, Paradigma Islam Simbolistik Formalistik, Paradigma Islam Substantif serta Paradigma Islam Sekularistik. Kemudian penulis membahas beberapa permasalahan islam dan negara yang terdiri dari Islam dan Pluralisme, HAM serta Formalisasi Syariat Islam.
Bab ketiga, akan dibahas singkat tentang Jaringan Islam Liberal (JIL), Latar Belakang Berdirinya JIL, Visi, Misi, Tujuan Berdirinya JIL serta Perkembangan dan Program JIL. Bab keempat, membahas tentang isu wacana pemikiran Jaringan Islam Liberal (JIL), yang di dalamnya terdapat penjelasan mengenai Islam dan Sekularisme, Islam Pluralisme dan HAM serta Penerapan Syariat Islam di Indonesia. Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan, saran dan kritik berkaitan dengan masalah yang akan diajukan dari keseluruhan proposal skripsi ini.
BAB II BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG ISLAM DAN NEGARA
A. Tiga Pendekatan Hubungan Islam dan Negara Perdebatan mengenai hubungan negara dan agama telah menjadi persoalan yang cukup krusial, apakah negara bagian dari agama ataukah sebaliknya. Pertanyaan adalah, apakah negara ada hubungannya dengan agama dalam konteks Islam. Wacana atau istilah relasi antara Islam (Agama) dan negara tentu mewarnai perdebatan fiqh siyasah (fiqih politik) dalam Islam. Peristiwa ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu. Suatu negara memerlukan sesuatu institusi apakah itu Islam atau hal lain untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan secara bersamasama untuk mencapai suatu cita-cita dan keinginan. Otoritas politik memiliki urgensi yang harus ada yang terwakilkan untuk memerlukan konsep negara, sehingga dirasa perlu oleh sebagian kaum Muslimin untuk memerlukan konsep negara yang berhubungan dengan agama dan berinstitusi dengan Islam itu sendiri. Perdebatan ini sebenarnya bukan perdebatan atau persoalan baru dalam wacaana keislaman. Jargon syariat Islam menjadi bahan pertimbangan diantara kelompok-kelompok masyarakat Muslim. Kejadian seperti ini hampir dialami oleh sebagian negara yang mempunyai pemeluk agama Islam lebih banyak ketimbang agama-agama yang lain. Peristiwa ini bisa dilihat dari banyaknya organisasi atau gerakan Islam di dunia yang menyuarakan agar negara harus berdasarkan Islam, dengan kata lain menginginkan negara agama, seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir), Jama’at Islamiyah (India), FIS (Aljazair), PAS (Malaysia), bahkan di Indonesia
ketika itu ada Masyumi dan sekarang muncul HTI (Hizbut Tahrir Indoneia). Historitas negara agama tersebut dapat disebut sebagai alternataif yang bisa dilakukan dan diwujudkan oleh kalangan Islam politik untuk menjadikan syariat sebagai sistem kenegaraan. Kalau kita melihat dari kaca mata dunia sampai saat ini tidak ada satupun negara yang menjadi acuan bagi negara lain, tidak ada representasi negara Islam. Banyak pemikiran Islam itu tidak lepas dari pengaruh dunia Barat. Pada masa modern, ekspansi, imprealisme dan kolonialisme Eropa kewilayah Islam tidak hanya menciptakan dis-integrasi politik (dis-integrartion of politic) Islam tapi lebih jauh menggoncangkan jati diri Islam.1 Perdebatan ini melahirkan tiga kelompok atau aliran, antara lain, Pertama, mereka yang secara tegas menginginkan penyatuan Islam dan negara. Kedua, mereka yang menginginkan isi dari negara bukan karena simbol dan formalnya saja. Ketiga, mereka yang memisahkan antara permasalahan agama (Islam) dan negara. Kelompok dan aliran tersebut semuanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam memahami hubungan antara agama dan negara, tetapi dari ketiga pandangan tersebut mengakui peran penting negara dalam proses pencarian identitas negara, umat Islam ada yang meniru Barat dan ada pula yang menolak secara terangterangan, tetapi menurut penulis tidak semua yang berasal dari Barat itu tidak baik pasti ada baiknya juga, tetapi ada juga yang bersikeras mengatakan bahwa Islam mempunyai konsep yang jelas. Beragam macam pendukung dan penentang tentang relasi agama dan negara, ada yang ekstrim, ada yang moderat. Pendukung yang ekstrim, mereka yang mencoba menerapkan Islam sebagai institusi negara, mengubah sistem politik 1
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2.
menjadi khilafah atau negara Islam. Sementara ada juga yang memisahkan agama (Islam) dari konteks negara. Pandangan, relasi atau hubungan antara agama dan negara menurut Kamaruzzaman menjadi dua gerakan. Pertama, gerakan fundamentalisme yaitu kalangan yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara. Kedua disebut gerakan modernisme yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu, modernisme Islam dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan bahwa agama dan negara di integrasikan namun tidak mempersoalkan jika umat Islam mencontoh Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler, mereka memisahkan antara agama dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh gaya Barat dalam sistem kenegaraan.2 Di sini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada dalam memahami hubungan antara agama dan negara, yang akan diklarifikasikan berdasarkan tiga paradigma yaitu, paradigma Islam formalistik, paradigma Islam substansif serta paradigma Islam sekularistik, penulis juga mengklasifikasi tokohtokoh yang berada dalam paradigma tersebut.
1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik Paradigma ini menginginkan pengintegrasian antara Islam dan negara. Karena Islam adalah agama yang serba lengkap yang mengatur masalah agama, negara dan masyarakat, dalam paradigma ini mereka mencoba menjelaskan bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dengan persoalan negara, tidak ada pemisahan layaknya agama Kristen dalam doktrin two sord-nya tersebut.
2
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis (Magelang: Indonesia Tera, 2001), h.50.
Paradigma ini menjelaskan bahwa antara Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, sekiranya muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu, termasuk persoalan agama dan politik, syariat Islam, din wa daulah merupakan Istilah yang berhubungan dengannya. Dalam pandangan ini Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya memilki sistem dan teori politik tersendiri. Sistem pemerintahan dan politik yang bergariskan Islam tak lain hanya sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Khulafa ArRasyidin. Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi menjadi dua aliran, yakni tradisionalis dan fundamentalis. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan empat sahabatnya, dengan tokoh sentralnya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep lainnya.3 Dengan begitu mereka mempunyai keyakian bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk Islam, entah itu dengan kata apa, karena kepercayaan yang teguh bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi penilaian terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis.4 Tokoh yang berada dalam paradigma ini adalah Muhammad Natsir, disamping banyak tokoh yang lain baik di luar maupun di dalam negeri. Faktor yang paling dominan yang melatar belakangi pemikiran Natsir tentang hal ini
3 Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30. 4 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h. 8.
adalah keyakinannya akan ajaran Al-Qur’an. Muhammad Natsir secara tegas dalam pidatonya tentang ”Islam sebagai dasar negara” menyatakan yakni “kehendak kami (saya dan Masyumi) sebagaimana yang sudah diketahui kita semua, supaya negara Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam.5 Natsir melihat adanya keterkaitan antara agama dan negara. Lembaga negara sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada, dan pikiran seperti ini nampaknya menguasai pandangan Natsir dalam pelaksanaan syariat Islam atau hukum-hukum Islam di Indonesia. Menurut Natsir Islam dan negara merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan, oleh karena itu keterkaitan Islam dan negara sangat signifikan, kalau ada pembedaan antara keduanya, menurutnya itu karena pengaruh Barat. Barat yang mencoba menancapkan doktrin kedalam dunia Islam. Natsir memandang bahwa Islam meliputi dua aspek, yakni agama dan masyarakat politik. Islam tidak memisahkan persoalan rohani dan duniawi, melainkan mencakup dua segi, hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.6 Ahmad Suhelmi mengungkapkan bahwa pandangan Natsir tentang agama tertitik tolak dari pandangan bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara, bagi Natsir urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah sosio-politik umat, diantara prinsip-prinsip yang harus diikuti dan dihormati. Menurut Natsir adalah prinsip syura, tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura,
5
Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h. 8. Aay Muhammad Furqon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer (Bandung: Mizan, 2004), h. 8. 6
menurut Natsir semuanya bergantung kepada ijtihad umat Islam, karena Islam tidak menetapkan secara kaku dan pasti.7 Ia adalah demokrat yang bagus dan gigih, sekalipun tidak senang dengan praktik-praktik sistem demokrasi di Barat. ”Demokrasi bagus” akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi. Islam menurutnya adalah sintesis antara demokrasi dan otokrasi atau sistem politik diktatosial, tetapi bagaimana sintesis ini beroperasinya, Natsir tidak menjelaskan teorinya secara menyakinkan.8 Kemudian upaya ini juga terjadi pada gerakan yang dinamakan dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Suatu gerakan yang berideologikan Islam yang mempunyai tujuan mendirikan negara Islam yang di dalamnya berlaku hukum syariat Islam. Gerakan ini muncul pada tahun 1949-1962 yang melakukan konfrontasi dengan jalur peperangan lewat tentara yang mereka latih dengan mengambil teknik perjuangan gerilya. Tokoh yang melakukan gerakan ini antara lain, Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar dan Daud Beureureh. Paradigma ini memahami bahwa Islam sebagai agama pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan, alasan seperti ini memunculkan sebuah sistem syariat secara langsung sebagai sebuah konstitusi negara, ada semacam kesadaran teologis yang sangat kental, bahwa syariat Islam dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam. Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa pengaruh aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa Islam merupakan sebuah agama yang serba lengkap yang mengurusi masalah keduniaan dan kenegaraan serta masalah politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem 7
h. ix-x.
8
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002), Suhelmi, Polemik Negara Islam, h. ix-x.
ketatanegaraan Islam, sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan Rasulullah dan empat sahabatnya.9 Para pendukung aliran ini secara tegas menolak adanya liberalisme, sekularisme dan ideologi-ideologi Barat lainnya, mereka mendukung adopsi yang komprehensif dari sumber-sumber illahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk mengakhiri hegemoni Barat dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah sulit yang dihadapi masyarakat Muslim. Mereka menginginkan penyatuan agama dan negara, mereka beranggapan bahwa integrasinya agama dan negara juga dibangun atas contoh Nabi, yang sekaligus bertindak sebagai agamawan dan negarawan. Kekuasaan agama dan negara harus digabung dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat Islam bisa diterapkan dan komunitas Muslim terlindungi. Pandangan yang menginginkan menyatunya agama dan negara menurut Zuhairi Misrawi dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler, ini menjadi alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang Islami. Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai suatu resistensi terhadap modernitas.10 Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa Yusuf Qardhawi adalah salah satu pemikir Muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan negara, sebagai alternatif dari kegagalan sistem sekuler yang telah memporak-porandakan nilai dan moralitas. Menurut Qardhawi tegasnya, Islam mempunyai seperangkat
9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UIPRESS, 1993), h.1. 10 Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,”artikel diakses tanggal 1 Desember 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=148.html//
nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Al-Qur’an dan Sunnah rujukan utamanya.11
2. Paradigma Islam Substantif Paradigma ini menolak pendapat bahwa antara agama dan negara itu disatukan, tetapi juga menolak adanya pemisahan secara total atau agama dan negara tidak dapat disatukan, paradigma ini terdiri dari kelompok yang mencoba mengetengahkan atau bisa dikatakan juga dengan kelompok yang mengambil jalan tengah, kelompok yang berada ditengah-tengah antara yang setuju dan tidak setuju dengan penyatuan agama dan negara. Sebagaimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa kelompok ini menolak secara tegas bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Kelompok ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem kenegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.12 Ada yang mengatakan juga bahwa kelompok ini adalah kelompok modernis, kelompok yang memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk pemerintahan dan negara) hanya pada tatanan nilai dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat Islam bisa mengambil sistem lain yang dirasakan bernilai dan bermanfaat.13
11
Misrawi, Dalam Redaksi Islam Liberal, “Negara Syariat atau Negara Sekuler, Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2. 13 Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30. 12
Mereka
berpendapat
bahwa
Islam
mengatur
masalah
keduniaan
(kemasyarakatan) hanya secara dasar-dasarnya saja, adapun secara teknis bisa mengadopsi sistem lain, yang dalam hal ini sistem “Barat” yang memperlihatkan kelebihannya. Paradigma ini biasanya di dukung oleh kaum modernis. Kalau kita lihat dari dua paradigma sebelumnya, paradigma ini mencoba menyelaraskan agama dan politik (negara) tanpa harus memformulasikan ataupun memisahkan keduanya. Bagi mereka yang penting adalah substansinya. Paradigma ini juga bisa disebut dengan paradigma Islam substantif. Adapaun tokoh yang berada dalam paradigma ini antara lain, Muhammad Abduh, Muhammad Husain Haikal, Adapun dalam konteks Indonesia ada, Muhammad Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan sebagainya. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat format hubungan agama dengan masalah kenegaraan dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin politik. Meskipun demikian secara substansial keduanya sulit dipisahkan. Paradigma ini lebih menekankan nilai substansinya dari pada formal dan legalnya. Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsipprinsip Islam), kecenderungan ini mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, dimana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya. Refleksi kelompok ini dalam bidang politik, pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.14
14
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 155.
Negara tidak perlu menelusup masuk kedalam hubungan antara manusia dan tuhannya. Dengan kata lain negara tidak berhak mengintervensi kehidupan beragama seseorang. Tugas pemerintah dalam hal ini adalah sebagai penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan serta kenyamanan warganya. Dengan kata lain negara hanya mengurus sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan politik saja bukan ikut campur dalam masalah privat, yang terpenting dalam kelompok ini adalah menciptakan format kehidupan demokratis yang berkeadaban (civility) dan format kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship) tanpa menelikung ajaran-ajaran normatif suatu agama hanya puas menerapkan halhal simbolik, tetapi hal-hal substansial yang menjadi inti agama tidak terwujud. Dalam hal ini yang diinginkan oleh paradigma ini adalah jangan mementingkan formalnya saja tetapi substansinya. Kemudian kelompok ini menginginkan bagaimana antara ulama dan pemerintah (agama dan negara) bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurusi masalah moral rakyatnya, kemudian pemerintah mengurusi masalah kesejahteraan, ketentraman dan perdamaian rakyat bisa tercapai. Agama dan negara harus bisa berjalan bersamaan bahkan harus saling mendukung tanpa harus diformalisasikan dan di pisahkan, yang terpenting bagaimana nilai-nilai Islam dapat diimplelemtasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Paradigma Islam Sekularistik Sekularisme adalah sebuah ideologi atau paham yang intinya adalah agama merupakan masalah pribadi dan masalah subjektif, setiap individu yang hanya bermanfaat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan. Disamping itu paham
hidup ini memandang agama hanya berhubungan dengan masalah privat, dalam arti masalah-masalah pribadi. Oleh karena itu, urusan kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan, pengembangan ilmu dan teknologi modern, dalam pandangan sekularisme tidak dapat dan tidak perlu dikaitkan dengan agama.15 Sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagi cara dalam sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara Katolik, menekankan pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada dua aspek yang sama, dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan gereja dan negara. Kata secular, seculer, seculare berarti temporal, sementara, tak abadi. Sekularisme adalah gerakan dalam masyarakat yang mencoba memisahkan urusan luar dunia dari dunia ini.16 Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan yang tidak akan pernah usai, banyak kalangan intelektual Islam merujuk kepada sekularisme untuk mengartikan dan menjawab persoalan tentang agama (Islam) dengan negara, dan banyak pula yang secara tegas menolak konsep sekularisme dengan alasan ideologi tersebut berasal dari Barat dan berbahaya bagi Islam itu sendiri. Para sejarawan mendefinisikan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai hal yang mengindikasikan ”penempatan” agama dalam masyarakat.17 Islam dan pengalaman Islam secara historis sangat berbeda dengan Kristen dan Barat. Kristen Romawai dan Protestan sama-sama mengakui, meskipun dengan
15
Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998), h. 75. 16 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 179. 17 Sommerville, The Secularazation of Early Modern England, (New York: Oxford, 1992), h. 8.
interpretasi yang berbeda, pembedaan antara gereja dan negara serta wilayah kekuasaan mereka berbeda. Islam tidak mengakui ini, para teolog Islam membedakan antara urusan agama dan negara dalam kaitannya dengan upaya untuk mencapai keselamatan di akhirat dan hal yang hanya berkenaan dengan kehidupan pribadi di dunia ini. Meskipun demikian Islam tidak pernah mendefinisikan persoalan keagamaan dan politik sebagai dua institusi yang berbeda. Islam juga tidak mempunyai institusi kependetaan yang dapat dipisahkan dari institusi politik. Islam tidak mengalami reformasi analog seperti reformasi Protestan di dunia Kristen Barat. Gerakan reformasi Islam, sebelum kedatangan pengaruh Barat, bertujuan memurnikan Islam dari bid’ah dengan jalan memperkuat otoritas Islam atas masyarakat serta memastikan kepatuhan total terhadap hukum-hukum, hal ini berbeda dengan tujuan Protestan yang bermaksud memurnikan agama dengan memisahkan dari negara. Sekularisme sering kali dikaitkan dengan era pencerahan di Eropa dan memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat dan Fasisme di Prancis, didasarkan dari sekularisme. Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus dipisahkan dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan, tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik atau pemerintahan, pola pemisahan agama dan negara ini menolak eksistensi ”negara agama” juga kaitan dengan hukum keagamaan Di dunia Islam, sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah menjadi paradigma ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan dianggap secara sistematis dan terencana. Sekularisasi dianggap prasyarat transformasi masyarakat tradisional menjadi modern, pendukung arus sekular menyuguhkan
analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan mengukuhkannya sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik Islam untuk berkembang atau berevolusi.18 Ada dua macam sekularisme, yaitu, sekularisme objektif dan sekularisme subjektif. Sekularisme objektif terjadi bila secara struktural atau institusional terdapat pemisahan antara agama dan lembaga-lembaga lain. Sedangkan sekularisme subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipatahkan dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan dalam pemisahan antara agama dan negara.19 Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama (Islam) dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. Secara umum sekularisme dipahami sebagai upaya untuk memisahkan agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan umum bahwa hasil utama sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah pemisahan gereja dan negara. Dan dalam konteks Islam sekularisme juga dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan demokratisasi masyarakat termasuk dalam masyarakat muslim. Sekularisme sebetulnya adalah istilah netral untuk menunjuk kepada konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali di perkenalkan oleh 18
Ahmad Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syahab (Jakarta: Citra, 2006), h. 1. 19 Peter L. Berger, The Secred Canopy: Element of Social Theory of Religion (New York, Doubleday and Company Inc, 1969), h. 179.
George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas keagamaan dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri, negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja. Sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat, kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya, bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang sangat berbeda. Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Karena itu, menempatkan agama disatu pihak dan politik (negara) dipihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan Islam dan negara. Sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan totalitas antara agama dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar negara. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. Dalam pengalaman sejarah Eropa, proses sekularisme hidup perdampingan dengan intersifikasi keagamaan pada tingkat personal dan rakyat, sekularisme sering kali selalu dikaitkan dengan pengalaman sejarah bangsa Eropa dan memainkan peranan penting dalam peradaban Barat. Peristiwa yang menghebohkan dan mengejutkan di dunia Islam adalah bagaimana ketika itu Mustafa Kemal Attaturk memberlakukan sekularisme di Turki pada tahun 1924, yang kita tahu bahwa Turki yang sebelumnya menjadi pusat khilafah Islamiyah yang salah satu tokoh intelektualitas Muslim Ali Abd Ar-Raziq
menerbitkan bukunya yang berjudul al-Islam wa ushul al-hukmi (Islam dan dasardasar pemerintahan) pada tahun 1925 yang berisi penolakan secara tegas tentang doktrin yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus Allah kedunia dengan membawa misi ganda (double mission), dunia dan akhirat.20 Dalam artian Nabi Muhammad hanya membawa risalah kenabian an sich tanpa ada sangkut pautnya dengan kehidupan temporal (negara). Peristiwa sekularisme juga terjadi di negaranegara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, baik oleh adanya intervensi Barat secara langsung maupun tidak langsung. Yang membuat kasus Turki menjadi penting adalah kompleksitas persoalan yang menjadi latar belakang peristiwa sekularisme. Sebagai negara yang makin demokratis dan ingin menjunjung kebebasan (liberalisme) berserikat, Turki memberi saluran dan mengakomodasi berbagai aliran politik, agar maistream politik yang demokratis itu semakin diterima dan mengakar. Yang terjadi adalah, politik Islam itu sangat menguat serta berpotensi mengubah sistem politik Turki yang demokratis dan sekuler itu sendiri. Bagi pembela demokrasi, kasus Turki mengangkat kembali dilema sistem demokrasi,
yaitu
bagaimana sebenarnya mengakomodasi berbagai politik
kepentingan dan aliran masyarakat, namun tetap menjaga agar politik kepentingan dan aliran itu tidak cukup kuat untuk menggoyahkan sistem demokrasi. Sebagaimana kita mengetahui bahwa Turki dihidupi oleh dua peradaban besar di dunia yang terus menerus tumbuh dan berinteraksi, yakni peradaban Barat dan Peradaban Islam. Kemal Attaturk adalah peletak kebudayaan Barat yang terpenting di Turki modern, ia mengubah politik Islam di Turki yang mewarisi dari Ottoman Empire menjadi politik nasional demokrasi seperti di Barat dengan 20
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), h. 136.
berbagai kebijakan yang radikal.21 Di tingkat eksekutif dan legislatif, Attaturk menghapuskan kesultanan dan kekhalifahan Islam di tahun 1924, menghapuskan kementrian, pengadilan dan berbagai gelar keagamaan, mengadopsi sistem hukum sekuler Swiss tahun 1926 dan mendeklarasikan Turki sebagai negara republik yang sekuler dalam amandemen konstitusi tahun 1937. Lebih jauh dari itu, Turki juga merubah pendidikan nasional yang bercorak keagamaan menjadi pendidikan model Barat sejak tahun 1926, huruf resmi berbahasa Arab juga diubah menjadi bahasa Latin di tahun 1928. bahasa resmi Nasional Turki di bersihkan dari pengaruh Persia dan Arab dan menjaga perifikasi bahasa ini dengan mendirikan Turkish Linguistic Society, tahun 1932. bahkan panggilan solat diganti dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki. Emansipasi wanita digalakkan dengan mengaktifkan mereka di dunia politik.22 Namun bagaimanapun juga peradaban Islam lebih lama mengakar, kecenderungan Islamisasi terus hidup dengan menggunakan atribut modern dan juga dihasilkan oleh pendidikan Barat yang modern juga. Sebagaimana Turki, kemudian datang Iran yang ketika itu Dinasti Pahlevi (1925-1979) merupakan periode sekuler, ketika upaya-upaya untuk memaksakan tatanan modernisasi negara pada akhirnya menyulut perlawanan masa yang dipelopori dan dimotori oleh tokoh-tokoh agama syiah yang otoritasnya belum pernah secara penuh ditumpas.
21
Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik (Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000), h. 4.\ 22 Denny JA, dkk, Negara Sekuler, h. 4.
Sekularisme sebagai suatu yang impor dari asing dihubungkan dengan pengaruh Amerika yang berlangsung secara gradual terhadap Iran dan terhadap penguasa kedua Pahalevi, Muhammad Reza Syah.23 Kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa sekularisme di negara Muslim yang ketika itu banyak yang menentang dengan perlawanan. Kalau dalam konteks Indonesia, salah satu proklamator kita Soekarno, ia adalah salah seorang Muslim yang mendukung pemisahan antara agama dan negara, ketika itu banyak orang yang menganggap sebagai sekularis. Soekarno mengungkapkan bahwa agama (Islam) harus dipisahkan oleh negara, karena Indonesia dari sudut pandangan populasi bukanlah negara yang dihuni oleh 100 persen Muslim. Dengan kenyataan itu tentu kalau Islam dijadikan dasar negara akan terjadi diskriminasi terhadap pemeluk agama yang lain. Menurut Soekarno, agama merupakan masalah spiritual dan pribadi sedangkan
kehidupan
bernegara
adalah
masalah
dunia
temporal
dan
kemasyarakatan. Bertolak dari asumsi ini Soekarno menilai bahwa aplikasi ajaran agama hanyalah tanggung jawab pribadi setiap Muslim dan sama sekali bukan masalah yang harus diurus oleh negara dan pemerintah.24 Cak Nur berpendapat bahwa negara Islam itu tidak terdapat dalam AlQur’an dan konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah Islam serta sebuah bentuk apologis umat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama beabad-abad.25
23
Jhon. L Espositto, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 1999), h.
134. 24 Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 59 25 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), h. 13.
Menurut An-Naim pemisahan antara agama dan negara tidak berarti bahwa Islam menurunkan ketingkat privat karena prinsip-prinsip Islam, sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-undang negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang berarti bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada keyakinan agama.26 Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban agama, dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban mendirikan negara. Namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum Muslim. Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari politik (negara) karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada moral dan pribadi. Paradigma ini selalu memisahkan Islam (agama) dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniaan termasuk pemerintahan dan negara.27 tokoh yang terkenal yang menyuarakan secara lantang adalah Ali Abd Ar-Raziq, Thaha Husain, Abdullahi Ahmed An-Naim serta Soekarno dalam konteks Indonesia. Mereka semua menentang penyatuan antara agama (Islam) dan negara. Dari ketiga paradigma tersebut, JIL dalam hal ini berada pada paradigma Islam sekularistik, karena menurutnya entitas kenegaraan dan keagamaan harus dipisahkan, mereka memberi gagasan tentang sekularisme sebagai sesuatu yang harus dijalankan dalam negara atau pemerintah.
26
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 78. 27 Edward Bot, . “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30.
B. Islam dan pluralisme Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan zaman pencerahan (enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern, yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsikuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja, munculah suatu fahan yang dikenal dengan ”Liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi dan keragaman (pluralism). Islam sendiri sebagai agama yang universal sangat menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, persamaan hak, kebebasan (liberalism) dan mengakui adanya agama yang plural. Pluralisme agama menurut Islam adalah hukum atau aturan tuhan (law of God) yang tidak akan berubah, tidak akan dilawan dan diingkari. Ungkapan ini bagi sebagian orang menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme, karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan agama masing-masing. Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham ”pluralisme agama”, penyebaran paham ini di Indonesia sangat meluas. Istilah pluralisme agama atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks teologi, bisa ditelusuri pada catatan harian Ahmad Wahib salah satu penulis gerakan Islam liberal di Indonesia, disamping M. Dawam Raharjo dan Djohan Effendi. Ketika akhir tahun 1960-an, paham ini tentu saja sangat aneh, meskipun ideide persamaan agama tidak pernah berhenti dilontarkan, tetapi hampir tidak ada
kalangan tokoh agama atau akademisi Muslim yang melontarkan pahan semacam ini. Gagasan penyamaan agama, oleh sebagian kalangan kemudian di populerkan dengan istilah Pluralisme Agama yang dikembangkan sampai ke level operasional kehidupan sosial. Seperti penghalalan perkawinan antar agama dan sebagainnya. Gagasan ini juga secara tidak terlalu tepat distandarkan pada ide Trancendent Unity of Religion yang secara sistematis dikembangkan oleh Frieth Ohof Schoon. Dengan gagasan ”pluralisme agama” itu, maka tidak boleh ada ”truth claim”, bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan gagasan ini, maka masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran mutlak, karena masing-masing mempunyai metode, jalan atau bentuk untuk mencapai tuhan. Ide Trancendent Unity of Religion sendiri berpendapat, bahwa semua agama adalah sama, esensinya adalah sama, sebab agama itu didasarkan kepada sumber yang sama. Bentuknya bisa berbeda, karena manifestasi yang berbeda ketika menanggapi yang mutlak. Diskursus tentang istilah Islam dan pluralisme merupakan tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan Muslim pada dekade 1980-an. Pentingnya tema ini nampaknya tidak bisa dipisahkan dari kondisi objektif bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai tingkat kemajemukan tinggi secara fisik (negara kepulauan) maupun dari segi sosial budaya (social culture). Secara fisik kepulauan Indonesia terdiri tidak kurang dari ± 15.000 pulau besar kecil dihuni maupun tidak dihuni. Selain itu Indonesia terdiri dari beberapa suku, bahasa, adat-istiadat serta agama yang juga menunjukkan heterogenitas sosial budaya, sekalipun Islam agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal
perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.28 Nurcholish sangat menyadarai bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralistik, baik dari segi etis, adat-istiadat maupun agama. Dari segi agama, selain Islam realitas menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Itulah sebabnya masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Namun demikian ia tetap optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan, seperti dinyatakan dalam urainnya sebagai berikut: ”Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam disebut sebagai dukungan karena Islam adalah agama yang pengalamannya dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih nampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia, dimana agama Islam merupakan anutan mayoritas agama-agama lain, tidak mengalami kesulitan berarti, tapi sebaliknya dimana mayoritas bukan Islam dan kaum Muslim menjadi minoritas, mereka ini selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di negara-negara demokratis Barat. Disana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kelebihan beragama yang menjadi hak mereka”.29 Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad demi berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Intinya adalah Indonesia mempunyai pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragaman aliran politik dan keagamaan, sejak zaman pra kemerdekaan hingga setidaknya ia melihat ideologi negara pancasilalah yang sudah memberi kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralisme keagamaan. 28 29
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), h. iv. Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. xvviii.
Masalah dasar pluraslime yang dikembangkan Cak Nur sering menuai kontroversi dari kalangan intelektual Muslim lainnya, bahkan MUI sekalipun. Cak Nur menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan memperoleh manfaat yang sangat besar dalam usaha transformasi sosial menuju demokrasi, keterbukaan demi keadilan itu, jika pluralisme dapat ditanamkan dan dijalankan oleh setiap Muslim yang merupakan agama mayoritas bangsa Indonesia, oleh karena itu ia dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada jalan lagi bagi umat Muslim khususnya Indonesia untuk menjalankan pluralisme untuk membuat negeri, bangsa ini maju, makmur, kuat dan modern sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia. Pluralisme, sebagimana halnya seluruh fenomena dan mazhab pemikiran, memiliki sifat pertengahan (moderat/adil), keseimbangan juga mempunyai sisi yang ekstrim, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Sisi pertengahan (keadilan) serta keseimbangannyalah yang dapat memelihara hubungan antara kemajemukan perbedaan dan pluralitas serta faktor kesamaan, pengikat dan kesatuan. Sementara itu, dis-integrasi dan kacau balau ditimbulkan oleh “sikap ekstrem memusuhi menyempal”, yang tidak mengakui dan tidak memiliki faktor pemersatu, juga oleh sikap “penyeragaman” (yang mengingkari kekhasan dan perbedaan), yaitu, sikap ekstrem represif dan otoriter “yang menafihkan perbedaan masing-masing pihak dan keunikannya.30 Islam sendiri hanya mengakui “ketunggalan” (yang tidak mempunyai sisi parsial dan bentuk yang plural). Muhammad Fathi Osman mengatakan bahwa pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan, makannya menurutnya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan 30
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan Dalam Bingkai persatuan . Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattanie (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 10.
perasaan pribadi, sementara koeksistensi semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme menuntut untuk melakukan kerjasama, memahami agama lain demi kebaikan bersama, setiap manusia wajib memiliki hak dan kesempatan untuk menikmatinya, setiap manusia memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingan.31 Ini menandakan bahwa pluralisme sangat memegang teguh prinsip-prinsip keagamaan sesuai dengan agama masing-masing, memiliki rasa toleransi keagamaan baik individu maupun golongan, membiarkan setiap manusia menggunakan dan menikmati hak-haknya tersebut. Pluralisme mempunyai arti bahwa kelompok-kelompok kecil (minoritas society) dapat berperan serta secara penuh, dan setara dengan kelompok-kelompok besar (majoritas society) dalam lingkup masyarakat yang majemuk, sembari mempertahankan ideologi dan identitas serta perbedaan yang khas. Pluralisme hampir layaknya sebuah agama dilindungi oleh negara dan hukum, pada awalnya pluralisme hanya mengacu kepada masalah-masalah tertentu antara lain, perbedaan agama dan suku, tetapi lebih lanjut pluralisme mengasumsi berbagai macam keyakinan, kelembagaan dan komunitas yang seyogyanya muncul berbarengan dan menikmati pengakuan dan perlakuan yang sama. Kelompok mayoritas dalam hal ini adalah Islam, seperti pemeluk agama lain yang menjadi mayoritas di sebuah negara, harus hidup dengan kalangan minoritas (Muslim harus bisa hidup dengan kalangan minoritas) dalam suatu negeri tertentu. Penduduk Muslim dari suatu negeri dapat memiliki perbedaan-perbedaan kesukuan
31 Muhammad Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan (Pandangan AlQur’an, Kemanusiaan Sejarah dan Peradaban. Penerjemah Irfan Abu Bakar (Jakarta: Paramadina, 2006), h. 2-3.
dan doktrinal dalam diri mereka sendiri ataupun dengan kaum Muslim lain diseluruh dunia. Non-Muslim yang berada dalam negara yang berpenduduk Muslim mayoritas harus dilakukan oleh kaum Muslim dan pemerintah setempat dengan baik dan adil, martabat dan hak-hak mereka harus dijamin meskipun harus dilindungi oleh hukum Islam dan pemerintahan. Begitupun juga dengan non-Muslim yang merupakan penduduk tidak tetap dalam negara Islam juga berhak terhadap martabat diri dan keamanan yang dilindungi oleh hukum Islam sekalipun, kemudian nonMuslim dapat memperoleh pekerjaan di negara mayoritas Muslim sekalipun menjabat sebagai menteri (wazir).32
C. Hak Asasi Manusia Selain pluralisme yang merupakan isu global ada juga isu-isu lain yang penting diketahui dan banyak dibahas oleh kalangan intelektual diantaranya adalah. Pertama, Environment, lingkungan merupakan masalah yang perlu dibahas oleh negara, kemudian masalah ini menjadi masalah yang serius bagi semua negara demi menjaga kepentingan alam (nature). Kedua, Free Trede, hal ini merupakan hak manusia tanpa harus ikut campur negara dan dibahas oleh kekuasaan negara, negara hanya boleh mengatur undang-undang perdagangan bebas. Ketiga, Public Health Service, isu flu babi merupakan suatu bentuk penyakit yang mengganggu kesehatan masyarakat dan merupakan perhatian seluruh dunia internasional sembari mencari permasalahannya disamping banyak pula penyakit-penyakit yang menggaggu kesehatan manusia. Keempat, Emansipasi Wanita, pada dasawarsa ini muncul tren wanita boleh mengimami laki-laki, pemberontakan kaum wanita dalam mencari 32
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyah (Kairo: Maktabat Musthafa Al-Babi- Al-Halabi,. 1973), h. 27.
kehidupan dunia, yang memunculkan pendapat bahwa wanita sama dengan laki-laki dan tidak boleh ditempatkan sebagai subordinasi kaum laki-laki. Kelima, Human Right, ini merupakan isu global yang terakhir yang harus diperjuangkan oleh bangsa-bangsa dan harus dilindungi oleh negara, sehingga negara tidak berhak menghapus demi kepentingan kekuasaan. Semua manusia dilahirkan bebas (live for liberty) dan sama dalam martabat dan hak-hak asasi, dan bahwa setiap manusia berhak terhadap semua hak dan kebebasan yang telah disebutkan itu, tanpa perbedaan dalam bentuk apapun juga, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin lebih jauh lagi tentang agama dan kepercayaan.33 Hak asasi manusia adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan kepada umat manusia begitu ia dilahirkan, jadi sudah merupakan hukum kodrat.34 Masalah HAM merupakan masalah yang sangat penting secara politik dan dipandang dari segi ideologi, adat istiadat dan terutama sekali kemajuan warga negara. Masalah ini merupakan suatu masalah yang tidak hanya memberikan inspirasi kepada para politik, organisasi-organisasi keagamaan, tetapi juga manusia secara pribadi dalam melaksanakan kebebasan.35 Lebih jauh Peter R. Baehr mengatakan bahwa semua negara menghormati hak asasi manusia dan kebebasan, termasuk kebebasan berfikir, berpendapat, beragama atau berkeyakinan, bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa bahkan agama sekalipun.36 Pengertian hak dalam berbagai bahasa dan menurut bangsa-bangsa barangkali tidak akan sama disebabkan oleh perbedaan budaya, tradisi dan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, namun substansi hak yang merupakan 33 Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia. Penerjemah A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 33. 34 Davies, Hak-hak Asasi Manusia, h. viii 35 Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah. Penerujemah A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. xxiii. 36 Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri. Penerjemah Somadi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 46.
kebenaran yang diperjuangkan oleh setiap orang maupun kelompok masyarakat pasti tidak akan banyak berbeda dan memiliki kesamaan yang sangat besar. Perbedaan faham tentang hak tentu dilatar belakangi oleh cara pandang mereka terhadap kebenaran. Secara bahasa, hak asasi manusia dalam bahasa Inggris disebut Human Right dan dalam bahasa Arab disebut Huququl Insan. Right dalam bahasa Inggris berarti: hak, kebenaran, kanan,37 sedangkan hak dalam bahasa Arab berarti: lawan kebatilan, keadilan, bagian serta nasib. Secara terminologi yang disebut dengan hak menurut Shalahuddin Hamid adalah kebenaran yang diperjuangkan kewenangannya dan menjadi milik individu dan kelompok sesuai dengan cara pandang terhadap kebenaran baik berupa materi maupun non materi.38 Hak asasi manusia yang sering disebut orang Indonesia dengan HAM menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusi. Selama ini HAM masuk kedalam sistem internasional yang dibakukan dengan Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948. pembahasan tentang HAM akan berpengaruh besar terhadap perubahan struktur nilai universal yang sudah ditetapkan dalam sistem internsioanal. Pembahasan ini penting untuk dituangkan dalam wacana akademis maupun wacana dialogis antara bangsa dengan alasan bahwa sejauh ini HAM dikembangkan dan dikendalikan oleh PBB yang belum mengakomodasi nilai-nilai bangsa-bangsa secara sempurna. Deklarasi tersebut masih kental dengan peradaban dan kebudayaan Eropa dan Amerika yang punya perbedaan yang sangat signifikan dengan budaya-budaya dan kepercayaan di negara-negara lain, seperti negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga. 37
Jhon M. Echols dan Hasan Shadili, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996). Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amisco, 2000), h. 11. 38
Banyak sebagian kalangan intelektual Muslim mengklaim bahwa Islam sebagai agama terbesar di dunia dan di Indonesia mengatur segala aspek kehidupan manusia, begitu juga dengan permaslahan HAM. Harmonisasi antara tradisi Islam (Islamic trade) dengan konsep HAM (Human Right Concepth) adalah sesuatu yang niscaya, sehingga hukum Islam pra modern yang menghambat kemungkinan itu haruslah ditafsir ulang.39 Dalam Islam, konsep HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam, karena dalam sistem demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial. Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu.40 fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. Keagungan ajaran Islam sebagaimana banyak kalangan intelektual Muslim tercermin dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perbuatan manusia yang berhubungan dengan Allah, manusia maupun alam semesta tidak satupun lepas dari aspek ibadah, hal tersebut memahamkan agar manusia tidak sewenang-wenang, berbuat tidak adil, berbuat zalim terhadap sesama manusia dan tidak memperdulikan kepentingan umum, yang semua ini bahwa Islam menganjurkan yang baik dan mencegah yang buruk, melalui HAM Islam sangat toleran dan membela terhadap kezaliman. Konsep HAM antara pandangan Barat dan pandangan Islam cukup berbeda. Barat memandang realitas keagamaan dalam pandangan filsafat, sosiologis, 39
Budhy Munawar Rahman “ HAM dan Persoalan Relativisme Budaya” dalam Komaruddin Hiadayat dan Ahamd Gaus AF, (ed), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 47. 40 Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Republika, 2004), h. 91.
psikologis dan antropologis. Pendekatan Barat terhadap HAM terpola melalui pendekatan kepentingan manusia secara individu maupun kolektif, dengan pendekatan ini pemikiran Barat mengakui hak-hak individu dan kolektif serta kewajiban-kewajiban kolektif sementara kewajiban-kewajiban individu tidak diakui.41 Kemudian dalam pembahasannya Barat dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan filsafat Yahudi-Kristen, namun tidak dapat disimpulkan bahwa faham Barat adalah faham Yahudi-Kristen, sebab nilai immateri yang ada dalam agama-agama tersebut belum tentu menjadi standar, mungkin lebih tepat dikatakan faham Barat mengarah kepada sekularisme yang mementingkan realitas atau nilai materi. Hak asasi manusia dalam Islam bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya, karena itu dalam hubungannya ini ada dua prinsip, yakni prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan manusia, hal ini terbukti dengan adanya jaminan Islam terhadap HAM melalui berbagi cara, terdapat tiga hal yang membuktikan keterkaitan Islam dengan HAM.42 Pertama, dalam Al-Qur’an tidak terdapat paksaan bagi manusia untuk memeluk agama yang mereka yakini bahkan Islam tidak memaksa manusia supaya masuk kedalam agama Islam. Kedua, model masyarakat (model society) yang dikembangkan Rasul di Madinah melalui piagam Madinah merupakan deklarasi HAM pertama di dunia. Dalam piagam tersebut setiap masyarakat Madinah dibolehkan dan menganut agama masingmasing dan tidak mengganggu orang lain dalam melaksanakan ibadah, karena itu banyak sarjana memandang bahwa piagam Madinah ini merupakan teks sebagai pengakuan hak asasi manusia, walaupun kemudian teks ini dilanggar oleh kelompok non-Muslim, namun harus diakui bahwa sumbangsih Islam terhadap 41
Muhammad Immarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat. Penerjemah Mushsalah Maufir (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 128. 42 Kamaruzzaman, Wajah Baru Islam di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 105.
cetak biru (blue print) HAM di muka bumi, sebab teks HAM di Barat mulai dikenal pada abad ke-13 dengan munculnya magna charta (1215). Ketiga, dalam Islam dikenal lima prinsip hak asasi manusia yang sering kali dijumpai dalam kitab-kitab fiqih yakni, hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup, hak perlindungan keyakinan, hak perlindungan terhadap hak milik serta hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.43 Lima prinsip ini yang selalu menjadi pegangan dalam pengkajian hukum Islam.
D. Formalisasi Syariat Islam Dalam agama syariat merupakan ruh, syariat memainkan peranan penting dalam kehidupan beragama, syariat merupakan sesuatu yang terdapat pada agama yang harus dijalankan, ia merupakan jalan, cara serta metode yang digunakan oleh agama tertentu untuk merealisasikan tujuan dan inti agama yang dimaksud, sesuai dengan tempat agama itu dilahirkan dan disebarkan. Secara etimologi, syariat berarti peraturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada hamba-hambanya.44
Seperti, puasa, salat, haji, zakat dan
seluruh kebajikan. Kata syariat berasal dari kata syara’a al-syai’a yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu.45 Sejumlah kamus bahasa menyebutkan bahwa syari’ah atau syir’ah dalam arti dasarnya adalah sumber air atau jalan kemata air.46 Syariat adalah jalan luas yang harus dilalui oleh orang-orang beriman. Dalam Islam jalan yang dimaksud
43 Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah, (ed), Diseminasi Hak Asasi Manusia, 2000, h. 66-67. 44 Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam: Kekuasaan Aturan Illahi Untuk Manusia. Penerjemah Ade Nurdin dan Risman (Bandung: Mizan, 2003), h. 13. 45 Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, h. 13. 46 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiyai Pesantren (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 2.
adalah jalan yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, baik yang disampaikan dalam bentuk wahyu yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Syariat Islam dalam pengertian terminologinya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama dan intelektual. Sebagian besar ulama Islam merumuskan syariat Islam sebagai aturan-aturan atau hukum-hukum tuhan yang tertuang dalam AlQur’an dan Sunnah. Aturan-aturan tersebut meliputi kompleksitas dan totalitas kebutuhan manusia baik secara vertikal individual, yakni hubungan individu manusia dengan sang khalik maupun hubungan horizontal kolektif, yakni hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, bahkan juga dengan kehidupan alam sekitarnya. Perjuangan penerapan syariat Islam bukanlah hal baru, gagasan ini sangat meramaikan perjalanan sejarah (traveling history) bangsa Indonesia. Para tokoh intelektual yang duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sempat berdebat keras dengan tokoh Islam nasionalis sekuler dan kalangan Kristian, mereka semua memperdebatkan dengan apa yang dinamakan dengan Piagam Jakarta. Sebagai hukum final negara. Perdebatan seputar masalah piagam Jakarta yang mengandung tujuh kata yang diperdebatkan yaitu, ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” Dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, wakil Kristen dari Indonesia Timur, Latuharhary, menggugat kesepakatan soal tujuh kata tersebut, yang telah dicapai dalam sidang sebelumnya, menurutnya kalimat tersebut dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap Istiadat. Ia menyarankan untuk mencari alternatif lain yang tidak banyak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat Indonesia.
Soekarno yang merupakan ketua tim kecil (panitia sembilan) menolak keberatan Latuharhary, menurutnya barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat ini tidak dimasukkan, ia yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini.47 Kemudian Soekarno menegaskan kembali bahwa ”saya kira sudah nyata kalimat dengan didasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah diterima oleh panitia”.48 Dalam risalah sidang BPUPKI disebutkan, pada rapat tanggal 13 Juli 1945, Wahid Hasyim ayah dari Abdurrahman Wahid mengusulkan agar syariat yang dikatakan presiden Soekarno ditambah dengan, ”Yang beragama Islam”. Juga pasal 29 ditambahkan, ”Agama negara adalah agama Islam,” bahkan pada rapat tanggal 14 Juli 1945, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan agar kata ”bagi pemeluknya” dicoret. Jadi bunyinya hanya ”ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”, tetapi usul tersebut ditolak. Perdebatan mengenai hal ini berlanjut di meja konstituante, mereka yang berada dalam kelompok Islam memperjuangkan kembali Piagam Jakarta, bahkan menurut Prof. Kesman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo sampai meninggal dalam penantian akan kembalinya Piagan Jakarta, dalam biografinya juga dikatakan bahwa Piagam Jakarta sebenarnya merupakan ”Gentlemelis Agreement” dari bangsa ini. Dalam konteks kekinian, Partai Keadilan (PK) yang bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia dan FIS di Aljazair, adalah 47
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal (Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 138-139. 48 Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, h. 138-139.
sebagian contoh partai-partai yang mendukung agenda penerapan syariat Islam dalam pemerintahan di sejumlah negara Muslim lain seperti, Pakistan, Yordania, Mesir, Maroko, Iran dan Kuwait. Kelompok-kelompok Islamis, mereka ikut bersaing di pentas politik nasional, masing-masing dengan menggunakan prosedur pemilihan umum. Namun demikian, Arab Saudi salah satu negara yang secara konsisten memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sosial-politik melalui jalur ototarianisme bukan dibangun lewat prosedur non-demokrasi sejak kepemimpinan Muhammad Al-Saud dan Muhammad bin Abd Al-Wahhab, menyepakati suatu kontrak politik yang melahirkan kerajaan kaya minyak itu, sampai sekarang syariat Islam masih tetap berjalan. Kemudian Afghanistan dibawah kekuasaan pemerintahan Taliban sebelum dirobohkan oleh koalisi Amerika Serikat dan sekutunya, juga menjadi contoh yang baik betapa ototarianisme menjadi jalan tol bagi pelaksanaan syariat Islam yang efektif. Semua ini adalah peristiwa yang terjadi di Indonesia dan di negara-negara Muslim lainnya. Syariat Islam akan terus menerus menjadi sesuatu yang pasti akan diperdebatkan sepanjang masa. Syariat Islam pasti memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan politik masyarakat Islam, karena dapat berperan dan akan menerus memainkan peran yang penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direpleksikan dalam perundang-undangan yang demokratis. Namun An-Naim berpendapat bahwa prinsip atau aturan syariat tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum (law) dan kebijakan public (public spehere) dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan
aturan-aturan ini merupakan bagian dari syariat.49 Apabila pemberlakuan syariat Islam itu diusahakan maka hal ini merupakan kehendak politik negara dan bukan hukum Islam. Bahwa adanya klaim elit penguasa yang kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariat tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mengkin dilaksanakan. Mengingat bahwa prinsip-prinsip syariat ditinjau dari watak dan fungsinya memang menolak setiap kemungkinan penerapan syariat oleh negara. Maka klaim untuk melakukan hal itu bertentangan dengan logika, sekalipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi pertentangan itu. Dengan kata lain, masalahanya bukan sekedar karena kurangnya pengalaman sehingga dapat ditingkatkan disana-sini, tapi karena tujuan yang ingin dicapai memang mustahil untuk diraih. Namun pernyataan ini tidak berarti bahwa Islam harus dikeluarkan dari perumusan kebijkan publik dan perundang-undangan atau dari kehidupan publik pada umumnya. Sebaliknya negara tidak perlu berusaha menerapkan syariat secara formal agar umat Islam benar-benar dapat menjalankan keyakian Islamnya secara sungguh-sungguh, sebagai bagian dari kewajiban beragama bukan karena paksaan negara.50 Umat Islam dimanapun berada, apakah itu sebagai mayoritas ataupun minoritas, dituntut untuk menjalankan syariat Islam sebagai bagian dari kewajiban agamanya. Tuntutan ini akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan (netral for doktrin religion) dan tidak berusaha menerapkan prinsip syariat Islam sebagai kebijakan dan undang-undang negara, artinya masyarakat tidak dapat benar-benar menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya tentang Islam, apabila orang yang menggunakan kekuasaan negara memaksakan pemahaman 49
Abdullahi Ahmed An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, Tanpa Tahun Terbit dan Penerbit, h. 7. 50 An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, h. 7.
mereka tentang syariat Islam kepada masyarakat secara keseluruhan, baik Muslim ataupun non-Muslim, tapi ini tidak berarti bahwa negara dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan warga negara. An-Naim mengatakan bahwa syariat Islam hanya bisa dijalankan dengan suka rela oleh penganutnya, sedangkan prinsip-prinsip syariat Islam akan kehilangan otoritas dan nilai-nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara. Dimana diperlukan sekularisme, yakni pemisahan antara Islam dan negara secara kelembagaan sangat diperlukan agar syariat Islam bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam.51 Pemikir liberal kelahiran Mesir, Said Al-Asymawi turut berbicra dalam permasalahan ini, ia mengatakan bahwa syariat Islam hanyalah metode, jalan atau cara yang digunakan oleh agama tertentu untuk merealisasikan tujuan dan inti agama yang dimaksud, sesuai dengan tempat agama itu dilahirkan dan disebarkan, menurutnya tidak satupun agama yang bertujuan menjerumuskan pemeluknya kedalam jurang kenistaan, tapi sebaliknya, agama mengarahkan pemeluknya ke dunia yang lebih utama dengan tetap tidak mencerabut jiwa dari eksistensi dirinya dan dunia yang melingkupnya. Dengan demikian, syariat Islam merupakan jalan untuk mengantarkan umat ke arah perubahan yang lebih baik, utama dan maju.52 Syariat tidak lain hanyalah wadah yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Syariat Islam menghendaki hukum dan keputusan yang benar jika hukum itu diletakkan dihadapan manusia, sebagai sebuah metode dan jalan menuju kemajuan dan kemuliaan. Syariat bukan seperangkat aturan dan kaidah, syariat juga bukan fiqih yang selama ini diyakini umat Islam. Hukum-hukum 51 52
An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, h. 3. Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. v.
syariat mengikuti perkembangan realitas sosial, dan selalu melangkah dalam perkembangan tersebut. Oleh karena itu, ia menjelaskan tentang dasar-dasar syariat dan membatasi objeknya dengan realitas sosial dalam membahas prinsip dasar syariat harus menjadi tujuan utama ketika hendak menerapkan syariat Islam. Jika tidak, maka ia hanya menjadi sekedar pembahasan teoritis dan penyelidikan logis yang bertentangan dengan syariat agama dan inti Islam itu sendiri. Oleh karena itu, menurutnya dalam Islam tidak jarang menemukan orangorang salah paham dalam memaknai syariat, bisa jadi apa yang selama ini mereka anggap syariat bukanlah syariat itu sendiri. Sebaliknya, apa yang selama ini tidak bisa anggap syariat, justru merupakan inti syariat. Oleh karena itu, menangkap arti hakiki syariat dalam konteks keberagamaan menjadi hal yang niscaya.53
53
Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, h. vi.
BAB III SEPUTAR JARINGAN ISLAM LIBERAL
Perkembangan awal ideologi liberal erat kaitannya dengan perkembangan pemikiran-pemikiran yang lahir pada masa pencerahan dan revolusi Perancis pada tahun 1789.1 Istilah liberalisme adalah sebuah ideologi yang diterapkan pada individu dan masyarakat yang mana setiap individu dapat mengejar dan mewujudkan tujuan mereka. Prinsip liberal fundamental mengakui keunggulan kebebasan sebagai nilai acuan politik, itu menegaskan bahwa kemerdekaan adalah dasar semuanya. Sedikit pembatasan terhadap kebebasan bisa dibenarkan, masalahnya, siapakah yang bisa dibenarkan untuk melakukan pembatasan itu. Karena itu otoritas politik dan hukum bisa dibenarkan sepanjang dimaksudkan untuk membatasi kebebasan warga negara. Kemerdekaan dimaksudkan untuk kemajuan diri seperti seorang individu yang benar menentukan prilakunya sendiri. Kebebasan (liberty) adalah kemerdekaan dalam konteks sosial dan kebebasan individual dalam relasinya pada ranah sosial politik. Konsep kebebasan individual adalah inti dari ideologi liberal. Liberalisme yang dahulu berkembang di Eropa rupanya tidak dapat dibendung. Cepat atau lambat gerakan ini telah merasuk keseluruh penjuru dunia. Platfomnya adalah untuk membebaskan individu dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, semakin menjanjikan kehidupan manusia yang lebih selera. Liberalisme yang mulanya berada ditatanan politik-ekonomi kini juga telah menginspirasi para agamawan dan rohaniawan untuk menafsir ulang teks-teks agama, termasuk kalangan Islam di Indonesia. 1
Carlton Clymer Roddee, (ed), Pengantar Ilmu Politik, Penerjemah Zulkifly Hamid (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 132.
Lebih lanjut Leonard Binder mengatakan bahwa liberalisme adalah satu faham yang berkembang di Eropa yang menjelaskan beberapa prinsip, yakni. Pertama, prinsip kebebasan individu. Kedua, prinsip kontrak sosial. Ketiga, prinsip masyarakat pasaran bebas. Keempat, prinsip meyakini wujudnya pluralitas sosialkultural dan politik masyarakat.2 Doktrin liberal berpangkal dari keyakinan bahwa kesepakatan demi kebaikan bersama bagi kelompok bersejarah manapun bisa dicapai menggunkan wacana rasional. Doktrin liberal mengasumsikan adanya komunitas politik heterogen, keanggotaan yang tidak tetap dan peduli terhadap penetapan kebaikan bersama bagi bermacam kelompok yang memiliki kepentingan dan jati diri masingmasing. Penentuan kebaikan bersama untuk sebuah komunitas yang anggotanya tidak banyak memiliki perbedaan mendasar adalah persoalan lain. Disamping itu, jika komunitas politik diyakini bersifat lintas sejarah, maka doktrin liberal akan menjadi semakin problematik.3 Konsep liberal menurut Charles Kurzman, memang terdengar seperti sebuah kontradiksi dan perselisihan, Kurzman mencontohkan beberapa pandangan Barat terhadap Islam melalui unsur-unsur yang eksotik, misalnya, Islam disamakan dengan fanatisme (sebagaimana disebut dalam karya Voltaire: kekuasaan politik Islam disamakan dengan kezhaliman). Montesquieu menyebut dalam farsenya dengan kezaliman Timur.4 Konteks Islam liberal tegasnya lagi harus dilihat sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan katagori yang mutlak. Disinilah Kuzman mendefinisikan liberal dengan pengertian yang agak longgar, yakni kelompok yang bersikap oposan 2
Leonard Binder, Islam liberal, Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 3-6. 3 Binder, Islam liberal, h. 3-6. 4 Charles Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Terjemah Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001), h.xii.
terhadap revivalis Islam. Sementara Islam dipahami dengan mereka yang mempercayai bahwa Islam memiliki peranan penting dalam dunia kontemporer, sebagi lawan dari kaum sekularis.5 Banyak orang berspekulasi tentang Islam liberal, menamakan istilah Islam liberal dengan semaunya. Islam liberal seringkali mengandung konotasi negatif dimana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, kemunafikan yang mendewakan kebenaran dan permusuhan kepada Islam.6 Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang mengenai liberal dalam Islam, liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap primitif, ibbabiyah, sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagaman yang sudah terlembaga.7 Sebuah buku yang sangat penting yang diterbitkan oleh Paramadina dan Pustaka Antara dengan judul: Gagasan Islam Liberal di Indonesia penulis buku ini, Greg Barton, meneliti khusus empat pemikir Neomodernisme di Indonesia bahkan ada yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh tersebut peletak dari Islam liberal Indonesia, diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, periode 1968-1980. Istilah Islam liberal dapat digunakan lebih jauh, yaitu interpretasi Islam yang paralel dengan prinsip modernitas dan demokrasi, kata ”interpretasi” sangat ditekankan disini, karena Islam pun dalam kenyataannya dapat dan telah di interpretasi oleh kelompok lain yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.8 Istilah
5
Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xii. Adian Husaini dan Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),h. 2. 7 Abdul Moqsith Gazali, Ijtihad Islam Liberal (Jakarta: JIL, 2004), h.xvi. 8 Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik (Jakarta: Putra Bedikari Bangsa, 2000), h.118. 6
Islam liberal pertama kali oleh Asaf Ali Asghar Fyzee, inti utama dari pemikiran Islam liberal, menurut hasil penelitian Leonard Binder adalah, mesti Al-Qur’an itu bahasa wahyu namun demikian makna dan esensi wahyu bukanlah hal yang bersifat verbal, sehingga untuk mendapatkan makna wahyu tidak terbatas pada kata-kata yang terungkap dalam Al-Qur’an dan untuk memahaminya melalui kata-kata, tetapi penafsirannya dapat melampauinya, sehingga menemukan arti sebenarnya.9 Menurut Greg Barton Islam liberal adalah paham yang membuka wawasan ijtihad dan kebebasan berfikir dalam Islam.10 Pengertian Islam liberal sebagaimana yang dipakai Charles Kurzman dan Greg Barton tidaklah mesti mengacu kepada istilah yang pernah disebut Leonard Binder sebelumnya. Islamic liberalism, liberalisme Islam seperti yang diangkat pakar politik ini merupakan sebuah tema yang menampilkan dialog yang terbuka antara dunia Islam dan Barat, antara pemikiran Islam Arab dan Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan cuma upaya menarik akar-akar trend ”Liberalisme Islam” sampai ke dunia Barat, tetapi lebih dari itu adalah adanya proses take and give yang saling mengisi dalam menangani persoalan-persoalan dialektika hubungan antara problem kemodernan, transformasi sosial dan tradisi lokal.11 Menurut Kurzman, pada umumnya membicarakan Islam liberal berarti membandingkan dengan liberalisme Barat yang intinya pada daya kritisnya, meskipun terdapat perbedaan diantara keduannya, karena liberal Islam masih berpijak pada Al-Qur’an dan Hadis serta Sejarah Islam.12
9
Rudy Suharto, Islam dan Tantangan Modernitas: Kajian Metode Ijtihad Islam Liberal (Jakarta: Jurnal Al-Huds, 2002), h. 37. 10 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia (Jakarta: Pustaka Antara Paramadina, 1999), h. 21. 11 Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia, h. 21. 12 Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xxxiii
Lebih jauh Kurzman mengatakan bahwa Islam liberal dapat terbagi menjadi tiga tipologi, yaitu. Bentuk liberal sharia, silent sharia dan interpreted sharia. Tipologi pertama melihat Al-Qur’an dan praktik umat Islam awal sebagai sumber ajaran yang memiliki posisi liberal. Dengan demikian, sumber ajaran itu akan mengalami kontekstualisasi yang tidak pernah diam. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa syariat tidak membicarakan semua permaslahan. Ada sebuah persoalan tertentu yang tidak disentuhnya. Kenyataan ini bisa karena wahyu tidak lengkap namun karena hal itu diserahkan kepada usaha penemuan manusia yang dapat dan keliru. Kerena itu pluralitas merupakan kemestian.13
A. Latar Belakang Berdirinya Jaringan Islam Liberal Islam liberal menurut Charles Kurzman muncul sekitar abad ke-18 ketika kerajaan Turki Utsmaniyah Dinasti Shafawi dan dinasti Mughal (India) berada diambang keruntuhan. Pada saat itu tampilah para ulama untuk mengadakan gerakan pemurnian, yaitu, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Faham liberal banyak berkembang di penjuru dunia, mulai dari India sampai dengan Indonesia, faham liberal di India diawali dengan seorang tokoh keagamaan yang bernama Syah Waliullah pada tahun 1703-1762, menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan keperluan penduduknya. Ide liberalisme juga mewarnai kahidupan Timur Tengah, Eropa dan sebaginya, para liberalis mencoba memasukan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam.14 Di Mesir munculah Qasim Amin (1865-1908) ia adalah pemikir pembaharu dan peletak emansipasi wanita, penulis buku Tahrir Al-Mar’ah (Emansipasi 13
Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xxxiii Luthfi Assyaukanie “Sejarah Liberalisasi Islam,” Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. 14
Wanita), yang mencoba mengangkat citra kaum perempuan ke level yang lebih tinggi dan sederajat dengan kaum laki-laki. Kemudian muncul Ali Abdul Ar-Raziq (1888-1966), yang gencar menentang sistem khilafah, karena menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik, karenanya Muhammad hanyalah pemimpin agama bukan negarawan. Di teruskan di Pakistan, seorang pemikir yang menetap di Amerika dan menjadi pengarah di Universitas Chicago. Pemikir tersebut bernama Fazrul Rahman, Rahman lahir pada tahun 1914, ia mempelopori tafsir konstektual, satusatunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Dia mengatakan Al-Qur’an itu mengandung dua aspek, yaitu peraturan spesifik dan idea moral dan dituju oleh Al-Qur’an adalah idea moralnya.15 Keterangan di atas hanya sedikit keterangan tentang munculnya Islam liberal, disamping itu banyak pula yang terdapat di negara-negara lain, yang mencoba mengangkat permaslahan Islam itu sendiri dengan bersandingan dengan faham liberalisme. Di Indonesia, istilah Islam liberal telah menunjukkan popularitasnya sejak 1970-an, hampir bersamaan dengan menguatnya posisi Islam revivalis.16 Wacana Islam liberal mulai populer dan berkembang sejak 1970-an dengan tokoh utama seperti Nurcholish Madjid, meski Nurcholish Madjid sendiri tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk gagasan dan pemikirannya.17 Cak Nur telah memulai gagasan sejak 1970-an. Pada saat itu dia telah menyuarakan pluralisme agama dengan mengatakan: ”Rasanya toleransi agama hanya akan timbul diatas dasar faham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini
15
Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 18. Kurzman, Wacana Islam Liberal h. xvviii. 17 Adian Husaini dan Nu’im Hidayat, Islam Liberal, h.2. 16
dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal yang mengarah kepada setiap manusia yang kiranya merupakan inti setiap agama.18 Salah satu aktivis JIL, Novriantoni mengatakan bahwa, keberadaan JIL untuk menindaklanjuti proyek pembaharuan Islam yang sudah ada. Novi juga tidak menampik keberadaan sosok Cak Nur yang turut menginspirasi JIL. Menurutnya, ketika zaman Cak Nur perspektif tentang Islam itu inklusif, kini JIL agak sedikit melangkah kedepan, sedikit lebih kritis. Selain Cak Nur, beberapa tokoh yang turut menginspirasi JIL adalah Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali maupun Harun Nasution. Setelah Cak Nur meluncurkan gagasannya apada era 1970-an, kini giliran generasi yang lebih muda seperti, Ulil Abshar Abdalla, Lutfhi Assaukanie dan Ahmad Sahal melakukan langkah-langkah yang sistematis dan terorganisir dalam mengusung gagasannya. Kelompok ini menamakan dirinya dengan ”Jaringan Islam Liberal yang biasa disebut dengan JIL”. Jaringan Islam Liberal yang mereka singkat dengan JIL ini mulai menancapkan dirinya pada bulan Maret 2001, kegiatan awal dilakukan melalui forum diskusi dunia maya (milis) yang tergabung dalam
[email protected], selain menyebarkan gagasan-gagasannya lewat website dengan alamatnya www.islamlib.com.19 Islam dan liberal adalah dua istilah yang mempunyai makna yang berbeda, adapun dua istilah ini adalah sesuatu yang antagonis, yaitu saling bertentangan dan berlawanan. Islam liberal menggambarkan prinsip yang mereka anut, yaitu yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Liberal disini bermakna dua yakni, kebebasan dan pembebasan, mereka 18
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), h.
19
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002),
239. h. 185.
percaya bahwa Islam selalu dilekati dengan kata sifat tersebut, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirannya, mereka memilih satu jenis tafsir dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu ”liberal” untuk mewujudkan Islam liberal, mereka membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Gagasan Jaringan Islam Liberal, dibicarakan pertama kali di Utan Kayu, tahun 2001, pada waktu itu beberapa intelektual muda antara lain, Ulil Abshar Abdalla, Lutfhi Assyaukanie, Gunawan Muhammad dan lain-lain, berkumpul untuk membentuk Jaringan Islam Liberal. JIL yang merupakan forum intelektual terbuka dan menyebarkan faham liberalisme Islam Indonesia ini awalnya sebatas komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim di ISAI (Insitut Studi Arus Informasi), namun kemudian berkembang menjadi forum diskusi via internet. Jaringan Islam Liberal (JIL) terbentuk pada tanggal 9 Maret 2001. Tanggal tersebut merujuk pada awal diluncurkannya milis
[email protected] yang awalnya beranggotakan puluhan aktivis-intelektual muda dari berbagai kelompok Muslim moderat. Sejak awal, JIL di desain sebagai forum bersama kaum Muslim moderat untuk menyaringkan aspirasi dan opini mereka tentang persoalanpersoalan sosial-keagamaan dalam perspektif demokrasi dan pluralisme. Disebut menyaringkan, karena suara Muslim moderat yang diyakini sebagai mayoritas secara statistik di Indonesia, selama ini cenderung “diam” (silent majority). Sementara kalangan hardliners, meskipun minoritas tapi vokal (vocal minority). Pengelolaan JIL dikomandani oleh beberapa pemikir muda, antara lain, Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Luthfi Assyaukanie (Dosen Paramadina Mulya) dan Ahmad Sahal (Jurnal Kalam). Markas JIL yang berpusat di Jl. Utan Kayu No.
68H Jakarta Timur, markas tersebut sering diramaikan dengan diskusi atau kongkow-kongkow para aktivis muda dari berbagai kalangan. Jaringan Islam Liberal dengan slogan menuju Islam yang membebaskan, bertujuan untuk memperkokoh landasan demokratisasi melalui penanaman nilainilai
pluralisme,
inklusivisme
dan
humanisme,
membangun
kehidupan
keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap perbedaan, mendukung gagasan penyebaran pemahaman keagamaan (terutama Islam) yang pluralis, terbuka dan humanis, mencegah agar gagasan yang militan dan pro kekerasan menguasai publik. JIL adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia, karena dianggap mendobrak kemapanan dan kejumudan berfikir. Hal ini bisa dimengerti karena ratarata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi masalah ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa diskusi, padahal aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari kemiskinan, kebodohan ataupun penindasan.20 Disamping aktif dalam berkampanye lewat internet dan radio, sejumlah aktivis Islam liberal juga menerbitkan jurnal Tashwirul Afkar, yang dikomadani oleh Ulil, jurnal yang terbit empat bulan sekali ini resmi dibawahi oleh Lakpesdam NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM) bekerja sama dengan The Asia Fundation. Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan beberapa landasan diantarannya adalah:21 Pertama, membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, mereka percaya bahwa ijtihad adalah prinsip utama untuk 20
Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-
21
Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-
jil/html jil/html
menafsirkan segala sesuatu. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyat (ritual) dan ilahiyyat (teologi). Kedua, mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, mereka tidak menafsirkan sesuatu tanpa lewat sumber hukum Islam yakni, AlQur’an dan Hadis, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Ketiga, mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, mereka mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai suatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang mungkin dapat memperoleh kebenaran dan kemungkinan kesalahan. Keempat, memihak pada yang minoritas dan tertindas, mereka berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan.
Setiap
struktur
sosial-politik
yang
memperlakukan
praktik
ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas disini mencakup minoritas agama, etik, ras, jender, budaya, politik dan ekonomi. Kelima, kebebasan beragama, mereka menyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Mereka tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan. Keenam, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik, mereka yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan.
Mereka menentang negara agama (teokrasi). Mereka yakin bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
B. Visi, Misi dan Tujuan Berdirinya Jaringan Islam Liberal Layaknya sebuah organisasi keagamaan atau non keagamaan pasti mempunyai visi, misi serta tujuan mengapa organisasi tersebut berdiri. Salah satu pembahasan skripsi ini mengenai visi, misi serta tujuan berdirinya JIL. Kita mengetahui bahwa JIL adalah sebuah jaringan yang tidak akan bisa dipahami hanya dengan pendekatan wacana pemikiran keagamaan an sich, yang steril dan vakum dari berbagai pertimbangan lain. Sebab eksistensi JIL sebenarnya tidak lepas dari konteks-konteks ideologi, politik, sosiologis dan historis yang melingkupnya. Untuk itu dirasa perlu penulis menyampaikan visi, misi serta tujuan Jaringan Islam Liberal. Visi JIL dirumuskan dalam memperkokoh
landasan
demokrasi
beberapa hal, melalui
diantaranya.
penanaman
nilai
Pertama, pluralisme,
inklusivisme dan humanisme. Kedua, membangun kehidupan keagamaan yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan.22 Adapun misi JIL sebagaimana termaktub dalam websitenya sebagai berikut:23 Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yaang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut serta menyebarkannya kepada seluas mungkin 22
Luthfi Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal,” Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. 23 Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal.
masyarakat. Kedua, mengusahakan terbentuknya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme, mereka menyakini bahwa, terbentuknya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi. Sedangkan tujuan dari JIL adalah menyebarkan gagasan-gagasan Islam liberal seluas-luasnya kepada masyarakat, baik yang diterima atau tidak diterima oleh khayalak masyarakat Indonesia khususnya, maupun mancanegara umumnya. Adapun tujuan khususnya adalah:24. Pertama, menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender di kampus-kampus, mediamassa cetak maupun elektronik dengan tujuan yang lebih spesifik, yakni, memberi pandangan alternatif bagi umat tentang isu-isu sosial keagamaan, sehingga tidak dimonopoli oleh satu penafsiran yang anti-demokrasi dan anti-pluralisme serta misoginis. Mengajak publik untuk berpikir kritis, argumentatif, berpikir kontekstual dan tidak terjebak pada nilai-nilai yang dogmatis. Kedua, membentuk intellectual community yang bersifat organik dan responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang
suportif terhadap
pemantapan
konsolidasi demokrasi di Indonesia
Memperbanyak jaringan kampus untuk bersama-sama memperjuangkan wacana Islam dan demokrasi. Ketiga, menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, akademisi dan civitas academica di perguruan tinggi, dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama. Mengaktifkan jaringan-jaringan kampus, mengajak LSM, media 24
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Litbang. Dep. Agama, 2005), h. 7.
masa, intelektual dan para akademisi untuk bersama-sama memperjuangkan isu kebebasan sipil, sosial-keagamaan sebagai prioritas pemantapan demokraasi. Mengingat kompleksitas permasalahan dan luasnya cakupan, adalah sebuah keniscayaan bagi JIL untuk membangun networking dan kemitraan strategis dengan media massa, LSM, akademisi, dan tidak menutup kemungkinan dengan parlemen dan pemerintah. Namun, JIL sendiri harus realistik untuk menetapkan area of concern pada wilayah publik, meski tidak menutup pintu untuk menjalin aliansi strategis dengan LSM-LSM yang sudah bergerak pada level parlemen dan pemerintahan.
C. Perkembangan dan Kegiatan Pokok Jaringan Islam Liberal Perkembangan JIL untuk saat ini masih melalui forum diskusi dalam kampus, UIN adalah salah satu kampus yang sering kedatangan aktivis JIL untuk mengadakan diskusi mengenai keagamaan dan politik nasional dan internasional, tapi keberadaan aktivis JIL yang menempuh studi di luar negeri adalah salah satu penghambat bagi JIL itu sendiri diantaranya adalah, Ulil Abshar Abdalla yang studi di AS, Nong Darul Mahmada yang studi di Australia, Lutfhi Assyaukanie yang studi di Singapura, Anick yang studi di India serta Burhanuddin yang belum lama ini sudah kembali ke Tanah Air setelah studi di Australia dan Ahmad Wahib yang studi di Amerika Serikat. Ditambah lagi dengan melemahnya dukungan dana dari Asia Fundation yang merupakan penyokong dana terbesar bagi JIL, lembaga tersebut sekarang tidak lagi memberikan sumbangan. JIL sendiri tidak menjelaskan berapa dana yang diberikan oleh The Asia Foundation. Mungkin ini adalah salah satu penghambat
bagi perkembangan JIL itu sendiri untuk memperluas kader-kader atau menambah aktivis-aktivis JIL yang lain. Sementara kegiatan yang sampai saat ini berkembang dan terus-menerus disampaikan oleh JIL adalah sebagai berikut:25 Pertama, sindikasi penulis Islam liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal atau belum dikenal oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme. Kedua, mengadakan talk-show di Kantor Berita Radio 68H. talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosialkeagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu dan disiarkan melalui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain: Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart Manado, Radio DMS Maluku, Radio Unisi Yogyakarta, Radio PTPN Solo, Radio Mara Bandung dan Radio Prima Aceh. Ketiga, penerbitan buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tematema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL. Keempat, mereka menerbitkan buku setebal 50-100 halaman, buku tersebut membahas masalah isu yang menjadi perdebatan dalam masyarakat antara lain antara lain, jihad, penerapan syariat Islam liberalisme, sekularisme, HAM, jilbab dan lain-lain.
25 Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam.
Kelima, website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis Islam liberal (
[email protected]) yang mendapat respon positif.. Keenam, iklan layanan masyarakat. mereka membuat iklan layanan masyarakat (public service advertisment), dengan tema seputar, pluralisme, penghargaan atas perbedaan dan pencegahan konflik sosial. Ketujuh, diskusi keagamaan. Mereka bekerjasama dengan pihak luar (Universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keagamaan dan keislaman secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah Universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Islam Negeri (UIN), Universitas Diponegoro Semarang, Insitut Pertanian Bogor, dan lainlain. Lebih lanjut Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin mengatakan bahwa ada beberapa agenda dan kegiatan yang selama ini sudah berjalan antara lain:26 Pada
2001, mereka menggunakan beberapa medium untuk mensosialisasikan
tafsir-tafsir yang suportif terhadap isu-isu kebebasan sipil itu, yakni. Pertama, mailing list
[email protected] yang hingga saat ini telah tercatat sekitar ratusan anggota. Kedua Jaringan radio, yang awalnya hanya berangotakan 10 radio yang secara reguler menyiarkan rubrik “Agama dan Toleransi”. Ketiga, sindikasi koran daerah melalui jaringan Jawa Pos di seluruh Indonesia yang hingga saat ini masih melampirkan satu halaman penuh tiap minggu buat rubrik yang mereka
kelola.
26
Keempat,
memproduksi
dan
mengelola
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal,h. 1-3.
website
http://www.islamlib.com. Kelima, mengadakan diskusi keislaman di Teater Utan Kayu secara rutin pada setiap bulannya. Adapun agenda kerja pada 2002, mereka berusaha memperluas wilayah jangkauan media, baik radio, sindikasi media maupun iklan layanan masyarakat di TV-TV. Jadi empat medium sosialisasi pada 2001 keberadaan JIL di atas tetap dilanjutkan dengan fokus dan sasaran lebih luas, sehingga gagasan-gagasan JIL tidak bersifat elitis dan bisa diterima lebih luas di lapisan masyarakat. Pada 2002 ini juga, jaringan radio yang dimiliki JIL sekitar 50 radio di seluruh Indonesia yang merelai talkshow mingguan tentang isu-isu terkait dengan para narasumber yang kredibel. Selain itu, mereka berusaha meng-up date secara reguler tampilan dan contents website http://www.islamlib.com. Pada tahun kedua ini pula, mereka mulai menerbitkan artikel, wawancara, diskusi dan milis ke dalam penerbitan buku (“Wajah Liberal islam Indonesia”). JIL juga menerbitkan booklet dari naskah-naskah berkualitas, baik dari intelektual tanah air seperti Prof. Dr. Nasaruddin Umar lewat buku “Qur’an untuk Perempuan” atau terjemahan buku karya Muhammad Said al-Asymawi tentang hijab. Di 2002 ini JIL sudah mulai merambah dunia kampus, dengan mengadakan diskusi-diskusi secara langsung di kampus-kampus umum. Pelaksanaan diskusi di kampus sekuler merupakan masukan dari peserta workshop jaringan JIL di kampus-kampus yang merasa gerah dengan fenomena revivalisme keagamaan yang cenderung literal dan fundamentalistik. Melaksanakan workshop bagi para penulis dan kontributor JIL juga digelar pada 2002 ini. Tak terkecuali penayangan iklan layanan masyarakat di stasiun-stasiun televisi. Sudah dua tema yang mereka tayangkan, yakni tema keberagaman intra-Islam dan pluralisme beragama. Salah satu iklan layanan masyarakat tersebut (iklan Islam Warna-warni) menjadi kontroversi dan sekaligus
menjadi bahan baku penulisan skripsi, tesis dan disertasi dari aspek semiotik sebagaimana yang sudah tercantum dalam agenda di atas. Pada 2003 JIL, mereka tetap melanjutkan kegiatan-kegiatan reguler di atas. Ada beberapa tambahan agenda kegiatan seperti menggelar workshop bersama Abdullah Ahmed An-Naim dan Nasr Hamid Abu Zayd. Yang pertama bahkan telah dibukukan sebagai kompilasi dari hasil workshop yang menggairahkan. Pada 2003 ini, JIL melakukan pembenahan dan perluasan agenda kerja sebagai berikut: Pertama, untuk sindikasi media berhasil dikembangkan tidak hanya dengan memanfaatkan jaringan Jawa Pos, tapi juga dengan jaringan Kompas, Media Indonesia, Pikiran Rakyat dan Suara Merdeka. Hanya saja, perluasan sindikasi tersebut tidak sampai pada tahap pemuatan secara reguler. Kedua, untuk program radio, berhasil diadakan survei pendengar untuk acara talk show “Agama dan Toleransi” yang sesuai dengan hasil yang didapat yang kemudian dimuat oleh majalah Time, terdapat lima juta pendengar acara talkshow. Ketiga, untuk jaringan kampus yang awalnya hanya dikonsentrasikan di kampus-kampus di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Ciputat dan Bandung, pada 2003 ini berhasil diluaskan ke seluruh kampus di Jawa. Keempat, JIL juga mulai meluaskan kapling garapan dengan menyentuh isuisu kebebasan politik (political rights). mereka menyadari bahwa isu-isu kebebasan sipil tak mungkin terselenggara dengan baik di tengah iklim politik otokrasi. Hal inilah yang menjadi raison d’etre keterlibatan dalam Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)-The Asia Foundation. Adapun keterlibatan JIL dalam pendidikan pemilih (voters education) melalui JPPR diaplikasikan dalam dua kegiatan utama, yakni, pembuatan dan penayangan iklan melalui televisi. JIL menggarap tiga iklan dengan tema besar,
antara lain: Menolak politisasi agama, toleransi politik, pilihan politik atas dasar program dan platform. JIL juga telah merilis program sindikasi penyadaran hak-hak politik melalui di Jawa Pos dan Media Indonesia. Di kedua media besar di tanah air ini, sindikasi pemilu yang digalang JIL mempublikasikan artikel-artikel yang mencerahkan dua artikel setiap minggunya. Dalam tulisan yang berjudul ”Empat Agenda Islam Yang Membebaskan”, Lutfhi Assyaukanie salah seorang pelopor JIL yang juga Dosen di Universitas Paramadina memperkenalkan empat agenda atau kegiatan Islam liberal, yaitu. Pertama, agenda politik. Maksudnya urusan negara adalah urusan dunia, sistem kerajaan dan demokrasi. Kedua, mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya perlu dipraktikkan teologi pluralisme karena semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negara Islam. Ketiga, emansipasi wanita. Keempat, kebebasan berependapat.
BAB IV TELAAH TERHADAP ISU WACANA PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
A. Islam dan Sekularisme (Negara Sekuler) Islam dan sekularisme adalah sebuah istilah yang sangat berbeda, sekularisme bagi kebanyakan orang selalu dikaitkan dengan permasalahan negara. Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan panjang dalam dunia keislaman. Dalam konteks agama dan negara, banyak kalangan pemikir yang merujuk kepada sekularisme untuk mengartikan masalah dalam agama, negara dan masyarakat, banyak para pemikir Islam yang menolak secara tegas tentang sekularisme, dengan alasan ideologi tersebut yang membuang Islam dari permasalahan negara. Dalam musyawarah nasionalnya tanggal 26-29 Juli 2005, MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa diantaranya adalah pernyataan bahwa sekularisme, pluralisme dan liberalisme dalam pemikiran keagamaan tidak sesuai dengan ajaran Islam dan karena itu diharamkan untuk mengikutinya1. Setelah fatwa haram tersebut terdengar beberapa intelektual Muslim merasa gerah atas fatwa haram tesebut, banyak pula dari intelektual tersebut menjawab fatwa tersebut melalui wacana dan dialog. Sekularisme telah banyak digunakan oleh beberapa negara Islam dan noIslam, sekularisme diartikan sebagai suatu kebijakan yang memisahkan agama dari negara, faham ini yang kebanyakan diadopsi oleh kebanyakan negara Kristen Eropa dan Barat 1
M. Dawam Raharjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009, dari http//www.ircp.online.org?.
Sebuah negara demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme yang benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal dan buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme yang benar, atau menerapkan Islam dalam konteks negara, seperti Turki, Mesir dan Irak, adalah contoh negara yang berusaha mengadopsi sekularisme, tapi menerapkannya salah. Kesalahan dalam mempersepsi dan menerapkan konsep ini berakibat fatal, karena bukan saja gagal dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis, tapi juga mencemari konsep sekularisme yang luhur.2 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penolakan sebagai kaum Muslim terhadap sekularisme selama ini karena mereka merujuk kepada pengalaman negara-negara yang gagal dalam menerapkan prinsip ini. Seperti yang disebut diatas. Sekularisme Turki, misalnya diidentikan dengan serial pelanggaran terhadap atribut-atribut dan praktik-praktik keagamaan, sekularisme berarti pelanggaran jilbab, penutupan institusi pengajaran Al-Qur’an dan penangkapan aktivis Islam. Selama ini sebagian masyarakat Muslim mencurigai dan sangat takut dengan istilah sekularisme yang dimengerti sebagai pemisahan agama (Islam) dan politik, atau lebih luas lagi, antara agama (Islam) dan kehidupan publik. Sebagian Muslim memandang pemisahan tersebut sebagai pemisahan yang menempatkan Islam jauh dari campur tangan negara. Sikap sebagian Muslim takut akan laranganlarangan sekularisme seperti pelanggaran jilbab, menikah beda agama, dan lainlain. Dalam websitnya JIL mengatakan bahwa kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Mereka menentang negara agama (teokrasi) atau sistem pemerintahan 2
Lutfhi Assyaukanie, “Berkah Sekularisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009 dari http//www.islamlib.com/id/index.php?page=article&id=799//.
Islam, mereka meyakini bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak mempunyai hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada diruang privat dan unsur publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. Mengamati berbagai persoalan yang berkembang khususnya dalam bidang politik Islam, dan jika kita mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis dan rasional. Ulil Mengatakan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan porsi politik dalam Islam sangatlah kecil, itupun berkaitan langsung dengan kepentingan banyak orang yang berarti kepentingan rakyat kecil, bukan pada tatanan model-model politik.3 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa politik dan negara adalah sesuatu yang terpisah, dan mempunyai bagian masing-masing Dan sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfa’at-manfa’at amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.4 Al-Qur’an sendiri di dalamnya tidak membahas persoalan negara, Al-Qur’an tidak menyuruh untuk mendirikan negara yang berdasarkan Islam, tapi hanya memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum lemah dan melarang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, tercela serta durhaka. AlQur’an hanya meletakkan garis besar pada kaum Muslimin, kemudian memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak sampai melanggar basis-basis yang telah di tetapkan. 3 4
Ulil Abshar Abdalla, ”Politik Dalam Islam”, Jawa Pos, 1 Juni 2003. Abdalla, ”Politik Dalam Islam”.
Aktivis JIL Novriantoni, kerap mengkritisi peran ulama, yang baginya cenderung berubah menjadi qodoh (hakim) ketimbang berperan sebagai dai. Menurutnya ulama itu seharusnya berposisi sebagai dai bukam sebagai hakim. Ia mengutip pendapat tokoh Ikhwanul Muslimin Makmun Hudaibi, yang mengatakan nahnu du’ad wa lasna qodoh (kita adalah dai bukan hakim).5 Karena itulah perlunya sekularisme, pemisahan antara wewenang agama dan negara, negara teokrasi itu adalah negara-negara yang membawa bencana lebih besar dari pada negara sekular, ia mengatakan bahwa, khilafah adalah utopia yang harus mulai ditinggalkan oleh umat Islam.6 JIL dikenal sebagai jaringan dan paham yang mengusung sekularisme, FUUI (Forum Ulama Umat Islam) dibawah pimpinan KH. Atian Ali Da’i telah mengeluarkan semacam fatwa hukuman mati terhadap Ulil Abshar Abdalla dkk, dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagaimana yang penulis uangkapkan di awal telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan JIL, tentang ide-idenya, sebagaimana kesesatan Ahmadiyah dan LDII. Ulil menilai definisi MUI dan FUUI tentang sekularisme terlalu sederhana, memaknai sekularisme sebagai memisahkan urusan dunia dari agama (Islam). Menurutnya sekularisme adalah memisahkan kekuasaan kaum agama (Islam) dan kekuasaan negara. Negara sekular artinya negara yang tidak dikuasai ulama seperti Iran yang mengenal konsep wilayatul faqih (kekuasaan kaum ulama), sekularisme tidak menghalangi dan memusuhi peran agama dalam rung publik.7
5 Hasil Wawancara antara Suparni Surjono, mantan duta besar RI di Suriname dengan Novriantoni tentang Islam dan Sekularisme, artikel diakses tanggal I September 2008, dari http//www.islamlib.com//. 6 Hasil Wawancara antara Suparni Surjono dengan Novriantoni tentang Islam dan Sekularisme dari http//www.islamlib.com//. 7 Hasil wawancara antara Majalah Sabili dengan Ulil Abshar Abdalla, tentang sekularisme dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008, dari http//www.islamlib.com
Burhanuddin, mantan Presiden Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia juga mantan aktivis JIL mengatakan Islam dan sekularisme merupakan sesuatu yang berbeda, menurutnya terlalu dini untuk mengadopsi Islam dalam konteks negara, tidak mungkin Islam disatukan dalam permasalahan negara, bukan berarti Islam tidak secara penuh diletakkan di ruang publik, tapi Islam pun layak ambil peran dalam persamalahan negara jika dibutuhkan.8 Para intelektual kelompok liberal seperti, Ulil abshar Abdalla, Lufhi Assyaukanie, Saiful Mujani dan Hamid Basyaib, menampilkan antitesis dari kelompok Harakah Islamis (yang ingin menerapkan syariat Islam), sekularisme dipandang sebagi satu-satunya juru selamat. Mereka menentang setiap bentuk Islam politik yang hendak menerapkan sistem nilai dan simbol-simbol Islam di bidang politik, mereka juga menolak gagasan negara Islam serta formalisasi syariat. Mereka menganggap bahwa sekularisasi (diartikan sebagai pemisahan agama dan negara) adalah pilihan terbaik kaum Muslim untuk menghadapi tantangan modernitas. Lebih jauh mereka menganjurkan agar agama ditarik mundur dari ruang publik keruang privat. Karena dianggap keluar dari mainstream ajaran Islam, beberapa pihak menyarankan agar JIL membikin agama baru dan tidak mengatasnamakan Islam, karena sebagian Muslim mengatakan bahwa JIL telah keluar dari Islam yang sebenarnya, sekularisme adalah tidak bisa diterima dalam konteks Islam.
8
Hasil wawancara langsung dengan Burhanuddin, tanggal 23 April 2009.
B. Islam, Pluralisme dan HAM (Negara Plural) Seperti halnya Islam dan sekularisme, Islam dan pluralisme juga merupakan persoalan yang berbeda. Islam dan pluralisme telah menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering dibicarakan pada akhir-akhir abad ke-20 khususnya Indonesia. Inti dari wacana ini sebenarnya adalah mencoba menjembatani hubungan beragam agama yang seringkali terdengar dampak yang tidak harmonis dengan mengatasnamakan agama yang kemudian muncul konflik yang menimbulkan kekerasan atas nama agama. Pluralisme adalah tren pemikiran baru yang berada di dunia global, yang merupakan suatu faham dimana setiap pemeluk agama tidak berhak mengklaim bahwa agama tersebut sebagai agama yang paling benar (true religion). Dawam Raharjo mengatakan pluralisme dapat dilaksanakan dengan tiga cara yaitu, saling memahami dan memperoleh, saling pengertian dan penghargaan, berlomba dalam kebajikan dan kerja sama dalam kebaikan.9 JIL dibawah kepemimpinan Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju yang maha benar. Semua agama, dengan demikian adalah benar (the religion is true) dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu, semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama, yaitu keluarga pencipta, jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.10 Budhy Munawar Rahman salah satu aktivis JIL memberikan legitimasi kepada ”kebenaran semua agama” bahwa pemeluk semua agama layak disebut sebagai ”orang yang beriman”, oleh karena itu yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah
9
M. Dawam Raharjo “Mengapa Semua Agama itu Benar”, Tempo. 1 Januari 2006, h. 207. Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Litbang. Dep. Agama, 2005), h. 41. 10
pluralisme antara agama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman tanpa harus melihat agamanya adalah sama di hadapan Allah, karena tuhan kita semua adalah tuhan yang satu.11 Ulil mengatakan bahwa ”kebenaran tuhan lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Islam hanyalah sebuah ”proses” yang tak pernah selesai tak akan selesai. Oleh sebab itu ayat ”inna al-dinna inda Allahi al-islam” (Qs: 3. 19), lebih tepat di artikan sebagai ”sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tidak pernah selesai menuju ketundukan” (kepada yang Maha Esa).12 Pluralisme sebagaimana yang tercantum dalam websitnya merupakan salah satu agenda penting JIL disamping banyak agenda-agenda lain. Lutfhi Assyaukanie juga ikut berbicara dalam hal ini, Lutfhi mengatakan bahwa pentingnya pluralisme dan tidak bisa ditawar-tawar. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pengalaman sejarah (historis) bisa dilihat pada awal-awal masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw. Sering dijadikan model percontohan adanya toleransi kehidupan antar agama dalam Islam. Dengan model ini, Islam dianggap sebagai agama yang menghormati keberadaan agama-agama lain, inklusif dan toleran. Dengan melihat konsep pluralisme ini, ia lebih lanjut mengatakan bahwa tidak ada halangan untuk melakukan pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda baik laki-laki maupun perempuan, karena pada hakikatnya semua agama adalah sama menuju tuhan, hanya saja ada perbedaan dalam ekspresi beragama masing-masing umat.13
11
Adian Husaini, Membedah Islam Liberal (Bandung: PT. S. Anvil Cipta Media, 2002), h.
65. 12 Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islamliberal.html. 13 Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Libera, h. 42.
Lutfhi Assyaukanie yang menjabat koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Deputy Director dari The Freedom Institute, lebih lanjut mengatakan pluralisme dalam beragama adalah kenyataan, manusia hidup di dunia ini dengan banyak etnis, banyak agama, dan setiap agama mempunyai yang disebut true claim, klaim kebenaran. Mereka yang Muslim menganggap Islam sebagai agama yang benar yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an (Qs. 3: 19), begitu juga Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha dan lain-lain. Pertanyaan selanjutnya adalah kalau setiap warga mempunyai klaim kebenaran, bagaimana mereka bisa hidup bersama. Salah satu tawaran yang diberikan oleh para ilmuan, sarjana dan lain-lain termasuk JIL adalah dengan memeluk konsep pluralisme. Artinya saling menghormati bahwa setiap agama menurut perpektif masing-masing memiliki kebenaran, ia menyatakan negara tidak perlu campur tangan dalam mengurusi masalah agama, mungkin ada regulasi yang terkait dengan hal-hal yang umum saja, tetapi tidak masuk kedalam urusan kecil. Urusan-urusan yang terkait dengan pemahaman keagamaan biarkan masyarakat yang mengurusi.14 Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa pluralisme adalah suatu konsep dimana umat yang menjadi mayoritas dimana pun ia berada baik itu Islam, Kristen, Yahudi dan sebagainya harus dapat menghargai dan menghormati umat-umat yang menjadi minoritas, pluralisme harus dipahami sebagai suatu yang harus dijalankan oleh seluruh umat, dan yang terpenting katanya adalah bersama-sama beribadah dan jangan mengklaim kebenaran.15 Islam sebagaimana kita mengetahui sangat mengakui fakta akan pluralisme dan kemerdekaan kebebasan beragama. Dasar pengakuan itu terdiri dari dua hal 14
Hasil Wawancara Antara Jeleswari Pramodhawardani dengan Lutfhi Assyaukanie. Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. 15 Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 25 Mei 2009.
yakni, Pertama, karena pluralisme merupakan ajakan terhadap penggunaan pikiran manusia, Al-Qur’an sangat memberikan kedudukan yang sangat penting terhadap pilihan rasional dan dorongan individu. Menjadi seorang Muslim (to be a Muslim) adalah urusan pilihan rasional dan cara respon individu. Dalam Al-Qur’an pun tidak terdapat paksaan dalam beragama, karena beragama merupakan pilihan dan kebebasan individu, bahwa seorang keluarga pun tidak boleh memaksa anaknya untuk menganut agama bapak-ibunya. Kedua, penerimaan sosial atas nilai Islam sebagai sebuah pemahaman oleh individu dan masyarakat yang berbeda-beda. Maksudnya, basis pluralisme ini senantiasa dikelola oleh perbedaan pendapat yang secara luas di perbolehkan oleh norma-norma social. Dialektika sosial akan mengembangkan dan menguatkan definisi yang bisa diterima oleh nilai etika. Maka tradisi dialog antara agama menjadi penting guna mengembangkan nilai-nilai etika Islam yang sangat menghargai kebebasan beragama. Berdasarkan keterangan diatas, maka peranan negara sebagai penjamin kebebasan beragama sangat penting dan perlu dipertegas lagi. Negara harus menjamin bahwa kemerdekaan beragama tidak akan melanggar hak-hak orang lain. Negara tidak boleh mendukung satu agama serta satu kelompok paham serta menindas yang lainnya. Fungsi negara adalah menjamin kebebasan menjalankan agama diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamannya. Sebab pada dasarnya ada hubungan yang mutlak antara kebebasan beragama, institusi yang dapat menjamin kebebasan itu, seandainya salah satunya tidak dapat dijalankan, maka kehidupan demokrasi dan jaminan kebebasan warga negara akan terancam juga Relasi antara agama, etnik, budaya bahkan sesama Muslim sendiri terus mengalami kehancuran pada dasawarsa tahun ini. Kehancuran tersebut di sebabkan
adanya perbedaan perpektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama (the first key) agar tetap bertahan tergantung pada cara belajar mengelola keragaman dan konflik (universalis and conflict). Nyatanya bahwa prioritas untuk menghadapi pluralisme bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui globalisasi, pasti akan memperoleh solusi ketika pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa. Dalam konteks ini Islam semestinya muncul sebagai agama yang universal (universalism religion). Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Sebagian kaum liberal berharap, abad 21 ini akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius spiritual global baik dalam wilayah politik dan prifat, meskipun peran marjinal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Disinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.16 Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik dan kebudayaan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas nama kemanusiaan. Maka dari itu diperlukan dialog dua pikiran dan hati mengenai pikiran bersama, dan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang. Pluralisme untuk dialog, bukan pertentangan. Pencelaan dan mengklaim kebenaran
16 Zakiyuddin Baidhawy, Berislam Di Era Multikulturalisme, Dalam Buku Abdul Moqsith Ghazali (peny), Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan Yanag Dinamis (Jakarta: JIL 2005), h. 50.
beragama yang dianutnya tetapi pluralisme merupakan teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional autentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan yang tidak parsial dan tidak diskriminatif. Pola pikir manusia yang monolog yang membuat bangsa menderita dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralisme. Pasti akan merasakan betapa pedihnya kekerasan, relasi antara sesama atas nama etnik, budaya bahkan agama, jika umat manusia mengklaim semuanya yang terjadi dalam diri manusia adalah yang paling benar. Selain pluralisme, HAM juga sesuatu yang sangat penting yang penulis perlu kaji dalam pandangan JIL, yang kita semua mengetahui bahwa HAM adalah segala sesuatu yang berada dalam diri kita yang wajib ditegakkan dan perlu diperjuangkan tanpa ada penindasan dari negara atas nama apapun. Banyak gagasan besar bekenaan dengan HAM selaras dengan pemikiran Islam, kaidah hukum, prinsip dasar kepemimpinan demokratik dalam yurispundensi Islam (fiqih) sangat sentral sudah berabad-abad yang lalu. Islam mengakui bahwa setiap keputusan, aturan dan prosedur dari penguasa publik disetiap jenjang tidak sah atau tidak mengikat karena legal jika mereka tidak konsisten dengan hukum (syariat).17 Ini tentu saja berkaitan dengan konsep perlindungan hak asasi manusia. HAM menurut JIL sebagai sesuatu yang semi wajib dimanapun manusia berada, termasuk di sebuah negara yang mungkin tidak menjamin hak manusia itu ditegakkan. HAM menjadi sesuatu yang harus dihargai dan dilindungi bahkan
17
Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global Barat. Penerjemah Poerwanto (Bandung: Mizan, 1995), h. 58.
dihormati oleh negara.18 Negara harus menjamin hak asasi manusia baik laki-laki maupun perempuan. Lebih jauh JIL menegaskan bahwa hukum Islam (syariat) yang sebagian kelompok radikal mengagung-agungkan supaya diterapkan di Indonesia, menurut JIL sebenarnya sangat mengekang HAM secara umum, syariat Islam sangat membatasi HAM pada umumnya. Islam sebagaimana agama yang diyakini sangat menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dalam mengapresiasikan tindakan dan pendapatnya, Islam sendiri adalah agama yang memperhatikan hak asasi manusia. JIL menegaskan jika syariat Islam ditegakkan, jangan sampai HAM yang menjadi sesuatu yang sangat penting bagi manusia dilanggar oleh kelompok lain baik didalam maupun diluar komunitas Islam, bahkan negara pun tidak berhak melanggar. Islam sebagaimana yang orang pahami yang juga terdapat dalam Al-Qur’an, yakni sangat toleran terhadap manusia untuk memeluk agama yang mereka yakini, negara dalam hal ini tidak boleh memaksakan kehendak untuk masuk kedalam agama Islam tersebut, tidak boleh ada proses Islamisasi terhadap agama diluar Islam, karena hak beragama merupakan sesuatu dasar bagi keyakinan umat manusia. Seandainya Syariat Islam diterapkan di Indonesia khususnya, yang menjadi probelem masalah adalah kaum minoritas dan perempuan, bagi kaum minoritas mereka akan susah bergerak diruang publik karena syariat dikhususkan bagi umat Islam an sich, mereka akan susah mengaktualisasikan hak mereka. Sedangkan kaum perempuan akan terjegal turun langsung dalam kegiatan publik, seperti
18
Artikel diakses tanggal 31 Mwei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islamliberal.html.
perempuan sekarang banyak bergerak dalam wilayah negara dan banyak beraktifitas dimana-mana.19 Islam dan HAM merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam yang menjadi umat terbesar di Indonesia. Islampun sebenarnya sangat menjunjung tinggi HAM, sebagaimana Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa umat Islam yang menjadi umat terbesar di Indonesia tidak boleh atau harus menyadari bahwa hak orang lain diluar Islam pun memiliki hak yang sama dengan hak umat Islam, negara pun harus bisa memahami dengan hal ini.20 Islam sendiri harusnya tidak menekankan HAM yang sedikit keluar dari mainstream hukum Islam, seperti menikah beda agama, wanita mengimami lakilaki yang dilakukan Aminah Wadud, memperoleh warisan dari keluarga yang berbeda agama, umat Islam sekolah di sekolah Kristen atau agama yang lain, mengenai hal tersebut JIL menegaskan bahwa tidak ada salahnya dan tidak ada sejarah yang berkenaan dengan diskriminasi berdasarkan agama, dan menilai bahwa diskriminasi mengenai segala sesuatu tersebut atas dasar agama adalah sangat melanggar penegakkan HAM. Hal tersebut adalah titik ketegangan antara syariat sebagai hukum dan HAM. Oleh karena itu JIL dalam websitnya sangat mendukung, menghormati serta mendukung kalangan yang tertindas dan sangat melindungi terhadap kelompok yang sewenang-wenang menindas kelompok minoritas. HAM dalam Islam bukan hanya dilindungi tetapi juga diakui, sebagimana JIL mengatakan Islam sebagai agama sangat melindungi HAM, oleh sebab itu
19 Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses tanggal 31 Mwei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. 20 Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 25 Mei 2009
banyak kalangan yang sewenang-wenang menindas segala sesuatu atas nama Islam, menurutnya hal itu tidak benar.21
D. Penerapan Syariat Islam di Indonesia Wacana mengenai syariat Islam sering menjadi perdebatan dan menuai kontroversi dalam memahami dan menafsirkan wacana tersebut dalam konteks negara. Banyak diskusi, seminar tentang persoalan ini, banyak pula kalangan yang pro dan kontra terhadap wacana tersebut serta banyak pula kalangan yang tidak mau tau dan membisu dalam persoalan ini. Syariat Islam merupakan pembahasan terakhir penulis, karena itu syariat Islam jadi pembahasan penting, sebagaimana penulis mengkaji pembahasanpembahasan penting sebelumnya. Syariat mempunyai reputasi yang buruk dan tidak jelas dalam konteks Indonesia, syariat Islam menjadi perdebatan di Indonesia, sejak zaman kemerdekaan dan sekarang, persoalan ini tidak akan membuahkan hasil yang signifikan bagi umat manusia di Indonesia. Syariat tidak lain hanyalah wadah yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Syariat Islam menghendaki hukum dan keputusan yang benar jika hukum itu diletakkan dihadapan manusia, sebagai sebuah metode dan jalan menuju kemajuan dan kemuliaan. Syariat bukan seperangkat aturan dan kaidah, syariat juga bukan fiqih yang selama ini diyakini umat Islam. Hukum-hukum syariat mengikuti perkembangan realitas sosial, dan selalu melangkah dalam perkembangan tersebut. Oleh karena itu, ia menjelaskan tentang dasar-dasar syariat dan membatasi objeknya dengan realitas sosial dalam membahas prinsip dasar syariat harus menjadi tujuan utama ketika hendak menerapkan syariat Islam. Jika
21
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal, h. 42
tidak, maka ia hanya menjadi sekedar pembahasan teoritis dan penyelidikan logis yang bertentangan dengan syariat agama dan inti Islam itu sendiri. Oleh karena itu, menurutnya dalam Islam tidak jarang menemukan orangorang salah paham dalam memaknai syariat, bisa jadi apa yang selama ini mereka anggap syariat bukanlah syariat itu sendiri. Sebaliknya, apa yang selama ini tidak bisa anggap syariat, justru merupakan inti syariat. Oleh karena itu, menangkap arti hakiki syariat dalam konteks keberagamaan menjadi hal yang niscaya.22 Sebagaimana kita mengetahui bahwa dewasa ini muncul kecenderungan baru di banyak negara Muslim untuk menerapkan syariat Islam dengan cara memanfaatkan kebebasan dan demokrasi yang suka tidak suka juga memberi peluang bagi munculnya ekspresi keagamaan dalam kutub paling ekstrem tersebut. Aspirasi penerapan syariat Islam berbanding lurus dengan pasang naik demokrasi di negera-negara Muslim. Di antara mereka yang menginginkan syariat Islam diterapkan, mereka juga paham dan fasih melahirkan idiom-idiom demokrasi dan memaksimalkan lembaga-lembaga demokrasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Tuntutan penerapan syariat Islam ujung-ujungnya selalu saja bertendensi mengelompokkan umat Islam kedalam dualisme secara semampunya, kaum yang beriman dan golongan murtad atau kafir. Tuntutan itu selalu mempolarisasi warga negara menjadi orang Islam dan bukan orang Islam. Ide penerapan syariat Islam menurut JIL malah tak jarang melontarkan aroma permusuhan kepada Barat, khususnya Amerika Serikat, dan kebanyakan negara lain di dunia, tanpa mereka sendiri siap untuk menghadapi konsikuensi yang mungkin muncul akibat hembusan angin permusuhan tersebut. 22
Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, h. vi.
Sampai detik ini, belum terdapat batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan penerapan syariat Islam. Slogan penerapan syariat Islam dalam pengertian kelompok yang lebih ambisius menegakkan bermakna seperangkat hukum-hukum agama seperti ibadah. Di lain kesempatan, syariat Islam dimaksudkan sebagai sebuah sistem yang Islami, pada lain waktu, syariat juga berarti hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan persoalan muamalah, sebagaimana dalam Al-Qur’an dan sunnah. Mereka juga memasukkan sebagai opini, hukum ataupun fatwa yang serangkum dalam khazanah fiqih Islam. JIL secara terang-terangan mengkritisi kelompok yang ambisius terhadap penerapan syariat Islam lewat surat kabar, milis internet, buku dan diskusi. JIL mengatakan bahwa kelompok tersebut menyeru tuntutan legalisasi syariat atau lebih berani mengubah sistem hukum yang sudah ada. Penerapan syariat Islam bertendensi sektarianisme dengan memperlakukan agama sebagai kedok, dan syariat Islam sebagai topeng. Yang mereka harapkan dengan berlaku apologetik. Publik tidak akan mampu membaca maksud dan tendensi mereka. Semua ini selalu dilakukan mereka dengan cara mengekploitasi sentimen masa, ketidakpuasan publik dan aura Islam itu sendiri.23 JIL mengatakan syariat Islam tidak akan mampu berperan dalam menegakkan sistem pemerintah yang baik dan tidak akan berhasil melayani kepentingan rakyat.24 Kegagalan pemerintah menegakkan hukum di Indonesia, seperti menghentikan hiburan malam, diskotik, rumah-rumah maksiat dan lain-lain, membuat umat Islam gerah dan menuntut pemberlakuan hukum syariat Islam ditegakkan. Penerapan syariat Islam secara formal bisa mengarah kepada pendirian
23 Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal (Jakarta: JIL & The Asia Fundation, 2003), h. 17. 24 Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal, h. 17.
negara Islam, tetapi pemerintah Indonesia tidak akan pernah mengizinkan penerapan syariat Islam yang mengarah kepada pendirian negara Islam.25 Kita semua dapat mengetahui bahwa JIL sangat kritis dalam permasalahan ini. Aktivis JIL, Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan dalam wawancara di koran Tempo, ia mengatakan, ”Makannya kita termasuk orang yang menentang pelaksanaan dan penerapan syariat Islam di Indonesia, karena hukum disitu permasalahannya. Ia mengatakan bahwa tidak ada hukum yang Islami (nothing Law of Islam), syariat Islam akan menimbulkan perpecahan umat.26 Menurut JIL, sebenarnya umat Islam Indonesia harus belajar dari pengalaman Sudan dan Pakistan, bila syariat Islam ditegakkan ada tiga kalangan yang menjadi korban. Pertama, kaum perempuan. Kedua, minoritas non-Muslim. Ketiga, orang-orang miskin.27 Seandainnya syariat Islam diterapkan disebuah negara yang sekuler, plural dan majemuk seperti Indonesia ini, dan seandainnya semua masyarakat Muslim, mungkin tidak ada masalah. Sebelum berbicara tentang sanski hukum, termasuk kemungkinan penerapan potongan tangan, yang lebih penting menurut Azumardi Azra adalah menciptakan tatanan yang adil terlebih dahulu. Laksanakan dulu syariat yang mendorong proses perubahan sosial menuju tatanan yang lebih adil dimana orang-orang miskin dijamin oleh negara, baru membicarakan syariat yang memberikan hukuman, lebih penting memperhitungkan realitas sosial yang plural.
25
Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal, h. 79-80.. Ulil Abshal Abdalla, “Penerapan Syariat Islam”, Tempo 22 Januari 2002. 27 Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam/ 26
Bila tidak, ia khawatir penerapan syariat Islam itu justru tidak berjalan atau malah kontraproduktif.28 Azra kemudian menegaskan kembali, jika syariat Islam diterapkan secara terburu-buru akan memunculkan paradoks dan konflik diantara kaum Muslim dan juga masyarakat Indonesia secara umum. Syariat atau hukum apapun berlakunya hanya di dalam masyarakat, jangan membawa permasalahan ini kedalam negara. Ia kembali mengatakan, syariat Islam diterapkan harus memperhitungkan kenyataan yang ada, bukan hanya kenyataan masyarakat bahwa Indonesia itu sebagian besar umat Islam, tetapi juga ada kelompok-kelompok minoritas lain yang non-Muslim. Umat Islam Indonesia bukanlah realitas monolithik, tetapi realitas yang beragama, banyak golongan, pemahaman keislamannya, tujuan kecintaannya, ketertarikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, ini mungkin tidak akan bisa bertahan, bahkan bisa memyebabkan kehancuran, makannya ia mengatakan bahwa penerapan syariat Islam harus dipikirkan kembali. Pentolan JIL Ulil Absahar Abdalla mengatakan, dalam sebuah sejarah Islam klasik tidak diketemukan rekaman sejarah (historis record) yang menunjukkan syariat Islam merupakan peradilan negara. Tradisi pemikiran hukum Islam, menurutnya bukan hasil peradilan Islam yang betul-betul pernah ada, melainkan hanya kumpulan-kumpulan pendapat hukum (legal opinion) yang dikembangkan dari bagian sebuah latihan intelektual (intellectual exercise). Para pemuka Islam sebagai respon terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada tanpa pernah dipraktikkan dalam suatu praktik peradilan. Syariat Islam bukan instrumen yang
28
Hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel diakses tanggal 21 Juni 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
dihasilkan oleh negara, itu tidak pernah ada buktinya, kalaupun ada menurutnya buktinya tersebut sangat lemah.29 Kemudian ia mencontohkan, pada zaman Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh, apakah pernah ada suatu peradilan perdagangan yang betul-betul menggunakan hukum Islam dalam menyelesaikan kasus-kasus perdagangan?, tidak pernah ada, juga kasus-kasus perdata, rekamannya tidak pernah ada. Jargon Islam negara dan agama,
sebenarnya
konstruksi modern.
Menurutnya, Islam di zaman klasik itu merupakan suatu agama yang hidup (living religion) di dalam masyarakat yang disangga sejumlah organisasi sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, yang kalau di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah. Kemudian publik mengenal semacam hukum (law) yang hidup dikalangan mereka. Hukum itu biasannya ditegakkan lewat figur-figur para tokoh agama atau kiai. Namun negara sama sekali tidak pernah menjalankan fungsinya sebagai pembuat peraturan perundang-undangan. Negara sebagai the enforcer of law itupun tidak pernah ada. Lebih
lanjut
ia
mengatakan,
fundamentalisme
Islam
atau
yang
menginginkan syariat Islam diterapkan itu merupakan respon terhadap modernitas. Respon ini pun dilakukan dengan logika atau prosedur peralatan teoritik modern menggunakan bahasa-bahasa agama, contohnya jargon Al-Qur’an sebagai konstitusi. Menurutnya itu suatu loncatan logika yang hingga kini belum ada pertanggung jawabannya. Di dalam seluru sejarah Islam klasik (histories classic of
29
Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses tanggal 31 Mei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
Islam) tidak pernah ada suatu gerakan yang mengatakan Al-Qur’an itu adalah konstitusi.30 Syariat Islam menurutnya merupakan gagasan abstrak yang dikembangkan menjadi tradisi ilmiah yang kemudian dikenal dengan fikih. Hal ini dipakai untuk landasan hukum pengaturan kehidupan umat Islam pada masa modern. Hukum Islam sebenarnya pemikiran hukum yang dikembangkan secara independen diluar istana, hal ini seperti pemikiran filsafat dan teologis klasik dalam Kristen (theology classic of Kristian). Koordianator JIL, Lutfhi Assaukanie mengatakan, konsep syariat Islam itu sebenarnya tidak pernah ada, itu merupakan karangan orang-orang yang datang belakangan yang memiliki idealisasi yang berlebihan terhadap Islam (sama seperti negara Islam, ekonomi Islam, Bank Islam dan lain-lain).31 semua hukum yang diterapkan dalam masyarakat pada dasarnya adalah hukum yang positif, termasuk hukum yang yang diberlakukan oleh Nabi Muhammad, kalupun sumber konstitusinya berasal dari Al-Qur’an, hal itu karena Muhammad adalah seorang Rasul, dan beliau tidak memiliki konstitusi yang lebih baik yang available pada saat itu selain Al-Qur’an. Pada banyak kasus, delik-delik perundangan yang diterapkan Muhammad dan kawan-kawannya sebenarnya mengambil semangat hukum adat (urf), termasuk dalam kasus rajam, potong anggota badan secara silang, pembakaran manusia (dalam kasus sodomi) dan denda (diyat, yang diambil dari kondifikasi Romawi dan Nabatean). Hanya sedikit yang beliau ambil dari Al Qur’an.
30 Hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel diakses tanggal 21 Juni 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html 31 Lutfhi Assyaukanie, ”Menolak Syariat Untuk Menagatur Kehidupan Publik”, Kompas, 18 September 2002.
Menurutnya, Muhammad sedang berinteraksi dengan manusia, dengan orang Yahudi dan orang-orang tribal Madinah. Selama hukum merupakan refleksi dari dinamika sebuah masyarakat, maka apa yang dipraktikkan oleh Nabi (yang Anda sebut sunnah fi’liyyah) adalah keputusan manusiawi belaka. Tidak ada sesuatu yang istimewa yang harus dianggap sebagai sesuatu yang ‘unik’ atau Islami. Lebih kritis ia mengatakan, Ibadah haji saja, sebut Luthfi, warisan jahiliyyah, zakat warisan Romawi yang direvisi, sholat warisan Daud yang dimodifikasi, dan dalam sistem ekonomi Rasulullah menyetujui semua praktik ekonomi orang-orang Romawi yang saat itu mendominasi hampir semua urusan administrasi dan tata negara, kecuali riba. (orang orang Romawi atau siapa pun sesungguhnya akan berkeberatan jika riba yang dimaksud adalah transaksi merugikan orang lain). Menurutnya tidak ada yang Islami dari semua itu. Aktivis JIL Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pasang naik-surutnya tuntutan mengimplementasikan syariat Islam berhubungan dengan terlepasnya suatu negara dari rezim pemerintahan otoriter, ia mengatakan gejala ini merupakan gejala global yang terjadi hampir diseluruh negara-negara dengan mayoritas Muslim yang baru saja mengalami kemerdekaan maupun terlepas dari rezim otoriter.32 Sistem demokrasi yang terwujud ketika sebuah negara terlepas dari rezim otoriter, membuka peluang bagi semua faham termasuk radikalisme agama untuk masuk kedalam sistem ketatanegaraan. Paradoks ini terjadi karena kelemahan sistem demokrasi adalah tidak adanya self defence mechanism untuk menghalau kekuatan yang mementang demokrasi itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari
32
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal, h. 42.
berkembangnya kelompok yang pro terhadap penerapan syariat Islam dan anti demokrasi, seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).33 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa agama bagaikan dunia metaphor, yang tidak bisa dipandang dari satu kacamata saja. Ayat-ayat kitab suci jagan ditafsirkan secara literal karena akan kehilangan nilai universal dan humanisnya, tidak ada contoh keberhasilan dari negara dengan sistem syariat Islam di dunia ini. Sistem pemerintah Taliban, ketika masih berkuasa di Afghanistan, misalnya hanya dikenal karena kekuasaan dari hasil opiumnya, apalagi syariat Islam memang hanya menang di jargon tapi sangat susah bila diterapkan. Tapi bagaimanapun juga ia mengagumi efisikasi atau keyakinan tinggi dari para ekstrim Islam dalam memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam sistem pemerintahan. JIL menegaskan dalam websitenya, yakni penerapan syariat Islam di Indonesia tidak akan pernah berhasil, karena akhirnya masyarakat akan sadar bahwa syariat Islam hanya menjadi alat bargai politik bagi segelintir orang politikus. Syariat Islam akan berhadapan langsung dengan syariat itu sendiri, syariat Islam yang mana, dan menurut pemahaman siapa yang akan diterapkan nantinya. Inilah tantangan penerapan syariat Islam itu sendiri. Syariat Islam tidak akan masalah, tapi pemaksaan pada pemahaman itu yang salah, syariat Islam harus dibuat sebegitu kuat dan dinamis sehingga orang akan mengikuti syariat karena kesadaran sendiri bukan paksaan oleh negara.
33
Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 12 Juli 2009
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan Perdebatan mengenai pola hubungan agama dan negara di dunia Islam, masih terus berlangsung antara kalangan yang pro dan kontra, hingga saat ini belum ada kesepakatan final tentang topik ini. Di beberapa negara Muslim hal ini masih menjadi perdebatan antara intelektual-intelektual Muslim, tentang bagaimana pola hubungan antara keduanya tersebut, karena beberapa intelektual Muslim ada yang menginginkan integritas agama dan negara, beberapa yang lain menghendaki pemisahan agama dan negara dengan memadukan nilai-nilai Islam, bahkan ada pula yang sama sekali menginginkan pemisahan antara keduannya tersebut dengan alasan Islam tidak mempunyai konsep tentang negara (Islam nothing consept). Sebagimana yang sudah dijelaskan pada bab II, bahwa ada tiga paradigma yang menjelaskan pola hubungan Islam dan negara. JIL merupakan salah satu organisasi keagamaan, tetapi kelompok ini tidak menamakan organisasi melainkan menamakan dirinya sebagai jaringan yang intens mengkaji tentang pola hubungan Islam dan negara. JIL yang dalam websitenya mempunyai empat agenda politik, mereka mencoba menawarkan konsep sekularisme yang intinya adalah pemisahan antara konsep agama dan negara. Mengenai pola hubungan Islam dan negara menurut JIL, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantarannya sebagai berikut Pertama, mengenai pola hubungan Islam dan negara, JIL dalam hal ini mengatakan bahwa Islam dan negara adalah sesuatu yang berbeda dan harus dipisahkan. Secara jelas dalam buku Wajah Islam Liberal di Indonesia, JIL menolak
konsep negara Islam (Ad-Daulah Al-Islamiyah), dan konsep sekularisme (secularism concept) sebagai pemisahan antara negara dan agama yang merupakan konsep yang ideal (ideal concept) untuk Indonesia. Hal ini tertera juga pada agenda politik JIL yang pertama, yakni, urusan negara adalah murni urusan dunia tanpa ikut campur negara. Kedua, mengenai pluralisme agama, JIL menegaskan bahwa setiap agama tidak boleh menyatakan dengan istilah truth claim, mereka mengatakan semua agama yang ada di dunia ini adalah sama dan benar. Ketiga, persoalan HAM. JIL mengatakan bahwa jika negara berpenduduk mayoritaas Muslim tidak boleh mengekang masyarakat untuk melakukan sesuatu tanpa melihat agama yang lain, negara harus dapat menjamin kebebasan agamaagama lainnya. HAM menjadi sesuatu yang harus dihargai dan dihormati oleh siapapun, bahkan negara pun tidak boleh melanggar dan mengekang warganya untuk melakukan sesuatu. Keempat, mengenai syariat Islam dalam konteks Indonesia, JIL mengatakan syariat Islam adalah penafsiran manusia, syariat Islam tidak akan bisa diterapkan dan tidak boleh dipaksakan.
2. Saran dan Kritik Berdasarkan pemaparan dari hasil skripsi tersebut dan sudah barang tentu skripsi inipun sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga melalui inilah penulis mengajukan beberapa saran dan kritik terhadap gagasan pemikiran JIL. Dengan saran dan kritik ini penulis berharap dapat memberi kontribusi bagi perkembangan intelektual, secara khusus bagi penulis dan umumnya bagi pemikir-pemikir Islam masa depan yang diharapkan dapat menelaah lebih jauh penelitian ini:
Pertama, mengenai hubungan Islam dan negara dimasa depan dan akan datang, saran yang utama adalah komunitas politik Islam tidak perlu mengembangkan hubungan Islam dan negara yang bersifat simbolistik-formalistik, hal ini sangat penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan antara Islam dan kalangan non-Muslim yang sangat berbaur di negara ini. Kedua, gagasan sekularisme yang sangat digemborkan JIL supaya menjadi dasar negara, penulis melihat JIL terlalu ceroboh untuk mengartikan sekularisme, Islam sebenarnya tidak mengenal istilah sekularisme, sekularisme yang ditafsirkan oleh JIL sebagai pemisahan total layaknya Turki, pemisahan secara total akan berdampak buruk pula, sekularisme yang dikembangkan jangan mencontoh kegagalan Turki yang menghapus beberapa lembaga keagamaan dan menempatkan agama berada di ruang privat. Dasar negara akan terwujud sesuai dengan zaman dimana ideologi apa yang saat itu berkemabang, pasti ideologi tersebut yang akan dipakai oleh hampir semua negara bahkan Indonesia sekalipun, sebagai dasar negara. Sekularisme jangan diartikan sebagai pemisahan total yang harus memisahkan agama dari negara. Ketiga, pluralisme agama yang dikembangkan JIL, penulis sangat mengkritisi gagasan tersebut, salah-satu pengertian pluralisme yakni semua agama adalah sama dan benar, penafsiran tersebut menurut hemat penulis akan menimbulkan dampak yang sangat fatal, yakni terjadinya pendangkalan akidah dikalangan umat Islam, sehingga akan menggoncangkan jati diri umat Islam, sebagai seorang Muslim harus meyakini agama Islam adalah agama yang benar sesuai dengan Qs. 3: 15, agama yang berada disisi Allah Swt, pluralisme harus diartikan sama-sama menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-
masing, biarlah manusia dan tuhannya masing-masing yang mengklaim kebenaran, bukan antara sesama agama saling mengakui kebenaran. Keempat, mengenai HAM, penulis beranggapan bahwa jangan ditafsir secara semaunya, HAM pun harus disesuaikan dengan Islam sebagai agama itu sendiri, memahami HAM harus dicermati lagi dan harus juga berpegang kepada pedoman yakni, Al-Qur’an dan Hadis. Kelima, gagasan pengimplementasi syariat Islam, bagi penulis setiap umat Islam harus menjalankan syariat Islam dimanapun ia berada, permasalahan kemudian adalah jika syariat Islam dijadikan hukum negara ini juga harus ditafsir ulang, karena Indonesia negara yang tidak hanya Islam saja yang berada didalamnya, agama-agama lain pun banyak yang menghuni negara ini, syariat Islam sebagai hukum harus diperbincangkan dan diadakan ruang dialog. JIL tidak akan bisa dipahami hanya dengan pendekatan wacana pemikiran dan gagasan an sich, yang steril dan vakum dari berbagai pertimbangan lain, sebab eksistensi JIL sesungguhnya tidak lepas dari konteks-konteks ideologi, politik, sosiologis dan historis yang melingkupnya. JIL tidak bisa dipahami secara lugu hanya sebatas wacana dan sebagainnya, tetapi harus dilihat secara komprehensif sebagai sebuah ideologi yang tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik nasional dan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Abshar, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Nalar, 2005. Al-Asmawi, Muhammad Said, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKIS, 2004. Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniah, Kairo: Maktabat Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1973. An-Naim, Abdullahi Ahmed, Dekontruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKIS, 1994. -----------, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, Jakarta: Mizan, 2007. -----------, The Future of Syari’a in The Muslim World, Tanpa Tahun Terbit. Anwar, M Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995. Assyaukanie, Lutfhi, (ed), Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002. Azra, Azumardi, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Baehr, Peter R, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Baidhawy, Zakiyuddin, Berislam Di Era Multikulturalisme, Dalam Buku Abdul Moqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan Yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005. Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Pustaka Antara Paramadina, 1999. Berger, Peter L, The Secred Canopy: Element of Social Theory of Religion, New York: Doulbleday and Company Inc, 1969. Binder, Leonard, Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Bolkestein, Frits, Liberalisme Dalam Dunia Yang Tengah Berubah, Jakarta: Sumatera Institute, 2006. Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1981.
Burhanuddin, (ed), Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL & The Asia Fundation, 2003. Cassese, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Davies, Peter, Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000. Echols, Jhon M dan Hasan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996. Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005. ----------, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama 40 Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001. Espositto, Jhon L, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan, 1999. Furqon, Aay Muhammad, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Bandung: Mizan, 2004. Ghazali, Abdul Moqsith, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan Yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005. Hamid, Shalahuddin, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Amisco, 2000. Husaini, Adian, Membedah Islam Liberal, Bandung: PT. S. Anvil Cipta Media, 2002. ---------,
dan
Nuim
Hidayat,
Islam
Liberal
(Sejarah,
Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani, 2002. Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan Dalam Bingkai Persatuan, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. ---------, Perang Terminologi Islam Versus Barat, Jakarta: Rabbani Press, 1998. Jaiz, Hartono Ahmad, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2004.
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Magelang: Indonesia Tera, 2001. -------------------, Wajah Baru Islam di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2004. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997. Kurzman, Charles, (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001. Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. --------, Islam Komodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1992. Mahmada, Nong Darul dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Litbang Dep. Agama, 2005. Mardjono,
Hartono,
Menegakkan
Syariat
Islam
Dalam
Konteks
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997. Mas’udi F. Masdar, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan Mardinah, (ed), Diseminasi Hak Asasi Manusia, Jakarta, Rajawali Press, 2000. Moten, Abdul Rasyid, Political Science an Islamic Perspektif, London: Macmalian Press, 1996. Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiyai Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2007. Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global Barat, Bandung: Mizan, 1995. Osman, Muhammad Fathi, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan (Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2006. Qardhawi, Yusuf, Membumikan Syariat Islam: Kekuasaan Aturan Ilahi Untuk Manusia, Bandung: Mizan, 2003. Rahman, Budhy Munawr, HAM dan Persoalan Relativisme Budaya, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus F, (ed), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005. Rais, Amien, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan, 1998.
Rodee, Carlton Clymer, (ed), Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1996 Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), Jakarta: UI PRESS, 1993. Sommerville, The Sucularazation of Early Modern England, New York: Oxford, 1992. Suharto, Rudy, Islam dan Tantangan Modernitas: Kajian Metode Ijtihad Islam Liberal, Jakarta: Jurnal Al-Huds, 2002. Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Jakarta: Teraju, 2002. ----------, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999. Syamsuddin M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001. Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005. Urbaningrum, Anas, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika, 2004. Vaezi, Ahmad, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra, 2006. Zein, Kurniawan dan Sarifuddin, Syariat Islam Yes-Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001.
Koran dan Majalah Abdalla, Ulil Abshar, ”Penerapan Syariat Islam”, Tempo 22 Januari 2002. ---------, ”Politik Dalam Islam”, Jawa Pos 1 Juni 2003. ---------, ”Menyegarakan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas 18 November 2003. Assyaukanie, Lutfhi, ”Cerita Panjang Sejarah Islam Liberal”, Kompas 2 Maret 2007. ---------------, ”Menolak Syariat Islam Untuk Mengatur Kehidupan Publik”, Kompas 18 November 2002.
Bot, Edward, ”Islam dan Negara Menurut Said Al-Asmawi”, Suara Muhammadiyah 1-15 Desember 2008. Effendy, Djohan, ”Kebebasaan Beragama Harus Berarti Kebebasan Untuk Tidak Beragama, Jawa Pos 26 Agustus 2001. Misrawi, Zuhairi, ”Tafsir Humanis Atas Syariat Islam, Gatra, 22 Juli 2001. Mujani, Saiful, ”Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi”, Gatra 5 Agustus 2001. Sumber Internet Luthfi Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal,” Artikel
diakses
tanggal
20
Januari
2009
dari
http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. Assyaukanie, ”Berkah Sekularisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009 dari http//www.islamlib.com/id/index.php?page=article&id=799//. Luthfi Assyaukanie “Sejarah Liberalisasi Islam,” Artikel diakses tanggal 20 Januari
2009
dari
http://www.islamlib.com//agenda-islam-
liberal.html. Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,”artikel diakses tanggal
1
Desember
2008
dari
http://islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=148.html//
Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politikdalam-islam/ Artikel
diakses
tanggal
20
Januari
2009
dari
http://www.
islamlib.com/id/halaman/tentang-jil/html. Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses tanggal 31 Mei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islamliberal.html. Wawancara antara Majalah Sabili dengan Ulil Abshar Abdalla, tentang sekularisme dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008, dari http//www.islamlib.com. Wawancara
Antara
Jeleswari
Pramodhawardani
dengan
Lutfhi
Assyaukanie. Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
Wawancara antara Suparni Surjono dengan Novriantoni tentang Islam dan Sekularisme dari http//www.islamlib.com//. Wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel diakses
tanggal
21
Juni
2009
dari
http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. Hasil Wawancara Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Muhtadi (Mantan aktivis JIL), Jakarta, tanggal 23 April 2009 dan 25 Mei 2009.
POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
Cirendeu, Tanggerang tanggal 23 April 2009, melakukakn wawancara guna menyelesaikan tugas akhir karya ilmiah strata I. Ihsan Maulana Mahasiswa Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Burhanuddin Muhtadi mantan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Wawancara dilaksanakan pada jam 07: 30 WIB. Ihsan
: Assaalamu’alaikum, Wr. Wb. Apa kabarnya mas Burhan? Mas Burhan : Wa’alaikum Salam, Wr. Wb, alhamdulillah baik, sekarang bagaimana Ihsan sudah lulus belum kuliahnya? Ihsan : Belum Mas, sekarang lagi menyusun skripsi Mas, judulnya Hubungan Islam dan negara menurut Jaringan Islam Liberal, apakah sekarang masih di JIL Mas? Mas Burhan : Bagus, lebih fokus kemana kamu menulis itu, sekarang Mas sudah tidak aktif di JIL, saya sekarang bersama Bpk. Saiful Mujani di LSI, memang dulu Mas aktif, tapi sekarang sudah malas berbicara JIL lagi pula Mba Rahma melarang saya di JIL.dia takut nanti saya liberal dari semua pemahaman keislaman. Ihsan : Setelah studi ke Australia, terus Mas ambil tesis apa? Mas Burhan : Sekolah di luar negeri dan di dalam negeri sama saja, tergantung dari kita mau belajar yang sungguh-sungguh atau tidak, apa serius apa cuma gayagaya saja, tesis saya tentang PKS. Ihsan : Mas, saya agak kesulitan dalam penyelesaian skripsi saya, soalnya tokohtokoh tidak ada di Indonesia, saya sama Mas Burhan saja, oh iya Mas, kapan ya JIL berdiri? Mas Burhan : Sebelum saya aktif, JIL sebenarnya sudah ada, kalau tidak salah tanggal 09 Maret 2001, kamu liat aja di situsnya. Ihsan : Mas atas dasar apa JIL berdiri, tujuannya apa mas? Mas Burhan : Setahu dan seingat saya, JIL berdiri atas kumpul-kumpul intelektual muda yang pola pikirnya sama dengan intelektual-intelekyual yang senior seperti Nurcholish Madjid, berawal dari diskusi lama-lama terbentuk itu JIL, kalau tujuanya pasti berbeda-beda antara saya dan tokoh-tokoh yang lain, kalau saya melihat tujuannya kearah pemikiran yang lebih terbuka tapi tetap berdasarkan Al-Qur’an. Mungkin menyebarakan pemikirannya kepada masyarakat luas, terutama kalangan akademisi.
Ihsan
: Mas, bagaimana perkembangan, nah dananya dari mana tuh? Mas Burhan : Kalau perkembangan sekarang saya kurang tahu, yang waktu saya aktif banyak perkembangan dan program, seperti diskusi lewat kampus, lewat via internet, menerbitkan buku yang dibuat sendiri oleh JIL, mengundang tokoh-tokoh yang JIL anggap sama daya pikir kritisnya dan tokoh yang menginspirasi JIL itu sendiri, soal dana banyak dari kocek sendiri, LSM dan The Asia Fundation. Ihsan : Mas, masa perkembangan sedikit bangat? Mas Burhan : Saya banyak lupa, kamu liat aja di internet, saya kasih buku kemudian kamu baca, jagan diliat aja. Ihsan : Mas, sebagaimana mas katakan tadi The Asia Fundation, kalau di bukubuku JIL, banyak ada bacaan JIL dan The Asia Fundatioan, itu organisasi atau apa Mas? Mas Burhan : Ah kamu sudah tau malah tanya saya! The Asia Fundation itu LSM, kadangkadang JIL itu bekerja sama dengan pihak tersebut tapi kadang-kadang juga tidak Ihsan : Ah Mas sembunyi-sembunyi ni, tidak kenapa-kenapa ko Mas, kan saya saudara Mas juga, hehehe? Mas Burhan : Tidak ko, tidak sembunyi, lebih jelas kamu liat di internet aja Ihsan : Mas suruh saya liat internet melulu, saya kan tidak punya komputer, mengerjakan skripsi aja di rumah Mba Lia, saya bagi satu ya Laptopnya, hehehe...! Mas saya pinjem buku-buku yang ada sangkut pautnya tentang JIL ya? Mas Burhan : Ya, pinjam saja, nanti kalau sudah selesai kembalikan lagi, tulis saja buku yang kamu pinjam, Mas juga sudah lupa bukunya ada di rak mana. Ihsan : Mas, saya kan bab empat membahas tentang Islam dan Sekularisme, Islam dan Pluralisme, HAM serta Penerapan Syariat Islam di Indonesia, bagaimana Mas? Mas Burhan : Ya udah tidak kenapa-kenapa, kata pembimbing kamu bagaimana ko malah tanya saya! Ihsan : Katanya tidak kenapa-kenapa, oh ya mas saya minta pendapat tentang masalah tersebut ya. Mas, Islam dan Sekularime bagaimana? Mas Burhan : Islam dan Sekularisme itu dua konsep yang berbeda, Islam ya Islam sekularisme ya sekularisme. Islam tidak mengenal sekularisme. Sekularisme itu suatu paham yang memisahkan urusan agama dan negara, bukan berarti yang tidak ada itu kita tinggalkan. Masalah ini sebenarnya menyangkut
masalah politik. Sekularisme itu lawan dari fundamentalisme Islam yang mencoba menyatukan agama dan negara, dalam hal ini Islam tidak mungkin disatukan kedalam permasalahan negara. Islam harus dipisahkan dengan negara, yang ditakutkan Islam cuma sebagai simbol saja, sebagai alat legitimasi politik, oleh karena itu harus ada pemisahan antara agama dan negara, bukan berarti jauh dari agama. Islampun harus berperan dalam negara. Ihsan : Kenapa harus sekularisme? Mas Burhan : Indonesia bukan negara Islam, Al-Daulah Al-Islamiyah tidak ada, kita juga tidak mengenal wilayatul faqih dalam konsep syiahnya Iran, jangan dipikirkan sekularisme itu seperti banyak orang, pasti akan buruk pemikiran tersebut, bukan berarti yang dari Barat itu buruk. Ihsan : Kalau Islam dan Pluralisme bagaimana Mas? Mas Burhan : Saya tidak bisa lama-lama disini, saya mau jalan kerja, lain kali aja ya? Ihsan : Terim kasih ya Mas Mas Burhan : Sama-sama oh ya, kalau mau datang lagi telepon dulu, takutnya saya tidak ada di rumah. Ihsan : Ya, terima kasih.
Cirendeu, Tanggerang tanggal 25 Mei 2009, melakukakn wawancara guna menyelesaikan tugas akhir karya ilmiah strata I. Ihsan Maulana Mahasiswa Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Burhanuddin Muhtadi mantan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Wawancara dilaksanakan pada jam 21: 00 WIB. Mas Burhan : Sudah lama apa baru sampai ? Ihsan : Lumayan Baru 15 menit Mas Burhan : Dari mana? Ihsan : Dari rumah Mas Burhan : Kabar Ma’ Aji bagaimana? Ihsan : Alhamdulillah sehat, oh ya Mas langsung aja ya karena sudah malam, kemarin kan saya bertanya tentang sekularaisme sekarang pluralisme, bagaimana menurut Mas? Mas Burhan : Pluralisme apa saya lupa,
Ihsan
: Mas, sudah malam, besok saya mau kerja masuk pagi! Mas Burhan : Pluraalisme itu suatu paham yang banyak intelektual Muslim mengatakan bahwa semua agama itu sama, kita tidak berhak mengklaim agama kita paling benar dari pada agama yang lain, dihadapan pemeluk-pemeluk agama. Tapi kita sebagai Muslim berhak meyakini bahwa Islam adalah agama yang berada disisi Allah, pluralisme merupakan agenda JIL, dimana pluralisme harus dijalankan dalam kehidupan beragama, karena Indonesia itu banyak beragama etnik dan agama yang berbaur. Dimanapun kita berada, apakah itu sebagai minoritas atau mayoritas, intinya adalah sama-sama menghargai dan menghormati, yang terpenting adalah jangan mengklaim kebenaran, kalu sama-sama mengklaim kebenaran, akan terjadi konflik antar agama nantinya. Ihsan : Mengenai Islam dan HAM bagaimana Mas? Mas Burhan ; HAM merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam yang menjadi mayoritas. Islam pun sebenarnya sangat menjunjung tinggi HAM, hak orang lain diluar Islam pun memiliki hak yang sama dengan hak umat Islam, negara pun harus bisa memahami tentang hal ini. Ihsan : Bagaimana tentang syariat Islam Mas? Mas Burhan : Mengenai syariat Islam, sebenarnya ini gagasan fundamentalis dan Islam radikal, ide ini sebenarnya timbul ketika suatu agama yang telah merdeka atau peralihan kemerdekaan, kemudian orang-orang tersebut gerah terhadap pemerintahan otoriter, setelah pemerintahan jatuh, kalangan tersebut membuka peluang untuk masuk kedalam sistem kenegaraan. Ihsan : Apakah syariat Islam wajib dijalankan? Mas Burhan : Wajib lah, tetapi banyak dari syariat Islam itu dijadikan alat politik para pemuka politikus Islam, jadi syariat Islam sebatas topeng saja Ihsan : Sudah malam nih Mas, Terima Kasih ya? Mas Burhan : Sama-sama Ihsan : Assalamu’alaikum Mas Burhan : Waalaikum Salam