perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
JARINGAN ISLAM LIBERAL (STUDI GERAKAN PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA TAHUN 2001-2005)
SKRIPSI
Oleh : CAHYANINGRUM TRI AGUS TINA K4408022
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
JARINGAN ISLAM LIBERAL (STUDI GERAKAN PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA TAHUN 2001-2005)
Oleh : CAHYANINGRUM TRI AGUS TINA K4408022
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Cahyaningrum Tri Agus Tina. K4408022. JARINGAN ISLAM LIBERAL (STUDI GERAKAN PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA TAHUN 2001-2005). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia, (2) Pemikiran dan strategi Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam mengembangkan Islam liberal di Indonesia, (3) Pengaruh Jaringan Islam Liberal (JIL) terhadap kehidupan agama dan politik di Indonesia tahun 2001-2005. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, menggunakan sistem resume katalog. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis dengan melakukan kritik ekstern dan intern Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) Latar belakang terbentuknya Jaringan Islam Liberal adalah menguatnya pengaruh orientalis dalam studi keislaman dan bangkitnya kelompok Islam fundamentalis yang cenderung radikal dalam mengatasi permasalahan pasca orde baru. Jaringan Islam Liberal diprakarsai Ulil Abshar Abdalla dan mulai aktif pada 8 Maret 2001, (2) Pemikiran Islam liberal tercermin dalam beberapa agenda penting JIL, yang meliputi: agenda politik (mendukung sekularisme), pluralisme agama, emansipasi wanita, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Strategi pengembangan pemikiran Islam liberal dilaksanakan dengan bantuan dana The Asia Fondation melalui forum kajian dan diskusi, media cetak seperti Gatra, Tempo, Jawa Pos hingga media elektronik (kantor berita radio 68H), dan internet dengan website resminya www.islamlib.com, (3) Pengaruh Jaringan Islam Liberal di Indonesia adalah penegasan terhadap gagasan teologi negara sekular dan pluralisme agama. Jaringan Islam Liberal bertujuan mencapai cita-cita civil society (kebebasan masyarakat sipil) yang dalam perkembangannya justru mengalami respon dan kritik dari berbagai pihak.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Cahyaningrum Tri Agus Tina. K4408022. LIBERAL ISLAM NETWORK (A STUDY THOUGHT MOVEMENT OF LIBERAL ISLAM IN INDONESIA 2001-2005). Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, July 2012. The aims of this research are to identify: (1) The background formation of Liberal Islam Network (JIL) in Indonesia, (2) Thoughts and strategies Liberal Islam Network (JIL) in developing a liberal Islam in Indonesia, (3) The effect of Liberal Islam Network (JIL) to the religious and political life in Indonesia 20012005. This research was conducted by using the historical method through heuristic, critical, interpretation and historiography steps. Source of data used in this study of primary sources and secondary sources. The techniques of data collection was done by literature study, using the resume and catalog system. The technique of analysis data used in this research was the historical analysis with external and internal critics. Based on this research can be concluded: (1) The background formation of Liberal Islam Network is the strengthening influence of orientalists in Islamic studies and the rise of fundamentalist Islamic groups that tend to be radical in overcome the problem post new order. Liberal Islam Network which initiated Ulil Abshar Abdalla and active on March 8, 2001, (2) Liberal Islamic thought are reflected in several important agenda of JIL, which include: the political agenda (secularism), religious pluralism, emancipation of women, freedom of opinion and freedom of expression. Liberal Islamic thought development strategies implemented with financial assistance of The Asia Foundation through study and discussion forums, print media such as Gatra, Tempo, Jawa Pos to electronic media (radio news agency 68H) and internet with the official website www.islamlib.com. (3) The effect of Liberal Islam Network in Indonesia is a confirmation of theology the secular state idea and religious pluralism.The aims of Liberal Islam Network to promote the ideals of civil society (freedom of civil society), the development would have a response and critique of various parties.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahanam; dan jahanam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. (QS. Ali Imran: 196-197)
Jika kau merasa bahwa segala yang di sekitarmu gelap dan pekat, tidakkah dirimu curiga bahwa engkaulah yang dikirim oleh Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka?, berhentilah mengeluhkan kegelapan itu, sebab sinarmulah yang sedang mereka nantikan, maka berkilaulah! (Salim A. Fillah)
Tak ada penciptaan yang sia-sia, maka yakinlah bahwa Allah SWT selalu memberi ganjaran pada perjuangan sekecil apapun. (Penulis)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur atas Rahmat Allah SWT, karya ini penulis persembahkan kepada: Bapak Ibu Tercinta, atas semua do’a, dukungan dan kasih sayang tiada henti Kakak-kakakku tersayang: Mas Aris dan Mas Bowo, karena tawamu ringankan langkahku Sahabat-sahabatku Teman-teman Sejarah ‘08, Kakak-kakak dan Adik-adik keluarga besar Prodi Sejarah Almamater
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpahkan pada junjungan Kita Rasulullah SAW. Skripsi ini ditulis guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selama masa penyelesaian skripsi ini, cukup banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan, namun berkat karunia Allah SWT dan peran berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada : 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin dalam penyusunan skripsi. 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan pengarahan demi kelancaran penyusunan skripsi ini. 4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum. selaku Pembimbing I, yang dengan sabar telah memberikan motivasi, masukan, dan saran yang membangun kepada penulis. 5. Drs. Saiful Bachri, M.Pd selaku Pembimbing II, yang dengan sabar juga telah memberikan motivasi, masukan, dan saran yang membangun kepada penulis. 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dengan tulus telah memberikan ilmu kepada penulis. 7. Teman-teman Prodi Sejarah khususnya Angkatan 2008, yang telah commit to user memberikan bantuan, doa dan dukungannya kepada penulis. ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah berperan dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan khususnya bagi mahasiswa Prodi Sejarah.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………….… .........................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN.......................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN …… ... ………………………………………...... ..
iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................
iv
ABSTRAK
……………...................................................................................
v
HALAMAN MOTTO ..............................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………...... ......................... viii KATA PENGANTAR
......................................................................................
ix
…………………………………………………………...... .........
xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
......................................................................................
xv
PENDAHULUAN ............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Rumusan Masalah ......................................................................
8
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
8
D. Manfaat Penelitian .....................................................................
9
LANDASAN TEORI .......................................................................
10
A. Tinjauan Pustaka ........................................................................
10
1. Liberalisme………………………………………………….. .
10
2. Demokrasi…………………………………….................. ......
14
3. Sekularisme ...........................................................................
19
4. Pluralisme Agama …………………………………………....
22
5. Masyarakat Madani ...............................................................
26
B. Kerangka Berpikir ......................................................................
33
METODOLOGI PENELITIAN...................................................... commit to user..................................................... A. Tempat dan Waktu Penelitian
36
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
BAB III
xi
36
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
digilib.uns.ac.id
1. Tempat Penelitian .................................................................
36
2. Waktu Penelitian ...................................................................
36
B. Metode Penelitian ......................................................................
37
C. Sumber Data ...............................................................................
38
D. Teknik Pengumpulan Data .........................................................
40
E. Teknik Analisis Data .................................................................
41
F. Prosedur Penelitian ....................................................................
42
1. Heuristik ...............................................................................
43
2. Kritik ...................................................................................
44
3. Interpretasi ............................................................................
46
4. Historiografi ..........................................................................
46
HASIL PENELITIAN .....................................................................
48
A. Latar Belakang Terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL) .........
48
1. Akar dan Wajah Pemikiran Liberal ........................................
48
a. Liberalisme di Barat .........................................................
48
b. Liberalisme dalam Islam ...................................................
54
2. Masuknya Pengaruh Islam Liberal Ke Indonesia .....................
59
c. Orientalisme .....................................................................
60
d. Kolonialisme di Indonesia ................................................
66
3. Politisasi Agama Pasca Orde Baru .........................................
70
4. Lahirnya Jaringan Islam Liberal di Indonesia .........................
75
B. Pemikiran dan Strategi PengembanganJaringan Islam Liberal (JIL) 2001-2005..........................................................................
80
1. Seputar Istilah dan Tokoh-tokoh Islam Liberal .......................
80
a. Istilah Islam Liberal ..........................................................
80
b. Tokoh-tokoh Islam Liberal ...............................................
82
2. Agenda Jaringan Islam Liberal tahun 2001-2005 ....................
95
a. Agenda Politik ..................................................................
99
b. Pluralisme Agama ............................................................ 102 user c. Kesetaraancommit Genderto............................................................ 104
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Metode Hermeneutika untuk Al-Qur’an ............................ 110 e. Konsep Jihad .................................................................... 113
3. Strategi Pengembangan Islam Liberal di Indonesia................. 115 C. Pengaruh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia tahun 20012005 ........................................................................................... 119 1. Jaringan Islam Liberal dan Cita-cita Civil Society ................... 119 a. Kehidupan Politik (Menggagas Agenda Penolakan Negara Syariat) ............................................................................. 123 b. Kehidupan Agama (Mengedepankan Pluralisme Agama) ... 126 2. Respon dan Kritik terhadap Jaringan Islam Liberal................. 128
BAB I
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ....................................... 138 A. Simpulan ...................................................................................... 138 B. Implikasi ...................................................................................... 140 C. Saran ............................................................................................ 142
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 143 LAMPIRAN ………………………………………………..................................... 151
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Bagan Kerangka Pemikiran ....................................................... 33 Gambar 2: Bagan Langkah-langkah/Prosedur Penelitian Sejarah ................ 43
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama .....
152
Lampiran 2: Kliping Kementerian Agama “Pikiran Sesat Anti Islam Kuasai Departemen Agama”...................................................
155
Lampiran 3: Artikel Kompas .....................................................................
158
a. Kompas 1 Februari 2002 1) “Kekerasan,
‘Sumbangan’
Modernisasi
dan
Fundamentalisme Agama” ........................................
158
2) “Momentum Kebangkitan Islam Moderat” ................
160
3) “Agama, Demokrasi dan HAM” ................................
162
b. Kompas 26 April 2002 “Islam Liberal, Keberagaman Pasca Politisasi Agama” ....
164
c. Kompas 18 November 2002 “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” ....................
165
Lampiran 4: Artikel Suara Merdeka ...........................................................
167
a. Suara Merdeka 28 Juni 2002 “Kecurigaan Seputar Islam Liberal”.................................
167
b. Suara Merdeka 30 September 2002 “Memahami Konsep Islam Liberal” .................................
168
Lampiran 5: Artikel Majalah Gatra ............................................................
170
c. Gatra 1 Desember 2001 “Perlawanan Islam Liberal” ..............................................
170
d. Gatra 8 Desember 2001 1) “Kampanye Baru Mengangkat Tabu” ..........................
172
2) “Tafsir liberal dari Utan Kayu” ...................................
175
3) “Berkutat Pada Wilayah Publik” .................................
177
4) “Melawan Ekstremisme Menuai Kesesatan” ..............
180
5) “Postra Mengais Makna” ........................................... commit to userKategorisasi ....................... 6) “Islam Liberal: Persoalan
182
xv
184
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Gatra 21 Desember 2002 1) “Bahaya Bola Liar Fatwa Mati” ..................................
185
2) “Tafsir Agama Pemicu Fatwa” ....................................
189
3) “Ganjaran Bagi yang Berbeda”....................................
191
4) “Di Belakang Fatwa yang Membawa Maut”................
194
Lampiran 6: Jurnal ...................................................................................
195
a. “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) : Produk Fikih Liberal” ............................................ b. “The
Rise
of
Liberal
Islam
Network
(JIL)
195
in
Contemporary Indonesia” ................................................
214
Lampiran 7: Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan tentang Ijin Penyusunan Skripsi ...........................
240
Lampiran 8: Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ..............................
241
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Liberalisme dalam ranah politik dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan melaksanakan demokrasi sekaligus menentang sentralisasi. Di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas yang membatasi intervensi pemerintah. Di wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, menurunnya kontrol sosial terhadap individu dan nilai-nilai kekeluargaan. Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut,
meyakini dan mengamalkan apa saja yang sesuai dengan
kecenderungan, kehendak masing-masing bahkan mereduksi agama menjadi urusan privat (Syamsuddin Arif, 2008: 77). Pada masa pemerintahan Belanda, Raffles berusaha melaksanakan pembaruan yang bersifat liberal di Nusantara dengan memperkenalkan sistem pemerintahan langsung dan sistem sewa tanah (land-rent) sebagai bentuk kebebasan di bidang ekonomi (Parakitri T. Simbolon, 2007: 97-98), namun dalam praktiknya cita-cita pembaruan tersebut hanya sebatas teori. Periode selanjutnya, diterapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diiringi penyimpangan dan kesengsaraan rakyat sehingga memicu tuntutan untuk beralih pada sistem usaha bebas yang bersifat liberal. Lahirnya UU Agraria dan UU Gula pada tahun 1870 membawa perekonomian bebas dengan masuknya modal swasta. Liberalisme di bidang ekonomi pada perkembangannya akan berpengaruh pada luasnya liberalisasi dalam aspek kehidupan lain. Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Belanda. Prinsip negara sekular telah menjadi dasar pemerintah untuk bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama (Aqib Suminto, 1985: 27). Mayoritas penduduk Hindia-Belanda yang beragama Islam, menyebabkan Islam dianggap sebagai kekuatan politik yang dikhawatirkan mampu mengancam posisi pemerintah Hindia-Belanda. Pada to tahun commit user1889 setelah kedatangan Snouck 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2 Hurgronje, pemerintah Hindia-Belanda baru mempunyai kebijakan yang jelas mengenai masalah Islam. Snouck menegaskan bahwa pada hakikatnya orang Islam di Indonesia penuh damai, tetapi di sisi lain Snouck tidak buta terhadap politik fanatisme Islam. Bagi Snouck, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (H.J. Benda, 1980: 45). Kenyataannya Islam berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap penjajah (Aqib Suminto, 1985: 16). Sehubungan dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, sosial-kemasyarakatan dan politik. Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial-kemasyarakatan, tetapi tidak dalam hal politik. Pemerintah mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Kebijakan pemerintah Hindia-Belanda dalam menghadapi tiga masalah ini dikenal dengan nama Politik Islam HindiaBelanda. Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad 20 semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakannya disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan yang disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meskipun ada perbedaan agama (Deliar Noer, 1991: 183). Secara langsung kebijakan politik balas budi khususnya dalam bidang pendidikan kepada golongan pribumi telah memperlebar jarak antara rakyat dan agamanya, dengan demikian Islam sebagai kekuatan politik akan mengalami krisis. Keterlibatan Barat dalam proses liberalisasi Islam mengantarkan banyak penelitian mengenai Islam liberal. Edward W. Said menjelaskan dengan Humanisme ia hendak mengatakan bahwa setiap bidang selalu berkaitan dengan bidang-bidang yang lain, dan bahwa tidak ada satupun di dunia ini yang pernah terisolasi dan bebas dari pengaruh dunia luar. Yang lebih menyedihkan adalah semakin banyak studi kritis kebudayaan menunjukkan pada kita munculnya commit user problem-problem ini, maka semakin keciltopengaruh yang dimiliki oleh pandangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3 tersebut, sehingga polarisasi reduktif seperti Islam versus Barat yang tampak sama-sama ingin menjadi penakluk juga akan semakin banyak (Said, 2010: xxiii). Perubahan strategi dalam mengenali lawan politik
pada masa
penjajahan Belanda adalah fakta menarik di mana Islam adalah kekuatan politik yang ditakuti. Kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, menyebabkan pemerintah Hindia-Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung. Kedatangan Snouck Hurgronje telah mengubah politik Islam masa itu, pemahamannya tentang Islam meyakinkan pemerintah Hindia-Belanda bahwa Islam sebagai kekuatan politik dan religius tidak bisa dipandang rendah. Apabila ideologi Islam disebarkan untuk membuat perlawanan terhadap pemerintahan asing maka bahaya fanatisme agama akan menggerakkan rakyat untuk menghapus orde kolonial. Hal ini membawa Snouck pada pola penghancuran lawan dengan terjun langsung mempelajari secara mendalam tentang Islam (Agustina Dwi P. A., 2010: 54-56). Maka secara nyata tidak jarang bahwa orang-orang Barat telah mempelajari nilai-nilai Islam sebagai kekuatan yang pantas diperhitungkan. Menurut keyakinan Islam, manusia adalah makhluk Tuhan. Ketinggian, keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lain terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akal yang membuat manusia memiliki kebudayaan dan peradaban tinggi, akal manusia yang mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan selanjutnya bermanfaat dalam mengubah dan mengatur alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Karena itu, akal mempunyai peranan penting dalam Islam. Dalam hal ini pandangan Islam rasional berkembang sebagai dinamika gagasan dan pemikiran Islam terutama di lingkungan pendidikan (Harun Nasution, 1995: 139). Islam rasional telah mempengaruhi cara pandang Islam terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang berpusat pada peradaban Barat. Keseriusan dalam mengembangkan gagasan dan pemikiran rasional secara langsung terlihat dari beberapa program Departemen Agama masa Orde Baru dengan mengirim para sarjana dan dosen-dosen Perguruan Tinggi Islam untuk melanjutkan studi dan belajar ilmu-ilmu Islam di negeri Barat pada kaum commit user orientalis (Budi Handrianto, 2007: 13).toLahirnya pemikiran Islam Liberal di
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4 kalangan pemikir dan intelektual Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam. Jika ditelusuri dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, liberalisasi Islam sudah ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi secara sistematis, dari dalam organisasi Islam, Liberalisasi Islam di Indonesia dimulai awal tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam dengan memperkenalkan konsep Islam Yes, Partai Islam No (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002:30). Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal daripada perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam. Pengaruh eksternal itu dapat ditelusuri dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder (2001: 4), di antara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah merinci agenda-agenda penting Islam Liberal. Ia menjelaskan perlu didukung dan disebarluaskannya pergerakan Islam Liberal. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamanya, gerakan ini tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Tema liberalisme Islam yang diangkat Binder merupakan tema yang menggunakan dialog terbuka antara dunia Islam dengan dunia Barat, antara pemikiran Islam dan pemikiran Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan hanya menarik akar-akar trend liberalisme Islam sampai ke dunia Barat, melainkan sebagai proses take and give yang saling mengisi dan menangani persoalan-persoalan kemodernan, transformasi sosial, dan tradisi lokal (dalam konteks Binder adalah tradisi Arab). Maka tokoh-tokoh yang diangkat adalah Ali Abd Roziq, Abdullah Laroi, Thariq al-Bisyri, Muhammad Imarah, Muhammad Arkoun, dan Sumir Amin, yang berdialog secara kritis dengan pemikir liberalisme Barat, sosialisme, marxisme dan postmodernisme (Binder, 2001: 25-32). Gerakan liberalisme dalam konteks Islam sebenarnya adalah pengaruh dari
commit to user falsafah liberalisme yang berkembang di negara Barat yang masuk ke dalam seluruh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5 bidang kehidupan seperti liberalisme ekonomi, liberalisme budaya, liberalisme politik, dan liberalisme agama. Pada periode ini pengaruh liberalisme yang telah terjadi dalam agama Yahudi dan Kristian mulai diikuti oleh sekumpulan sarjana dan pemikir muslim seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir), Muhammad Arkoun (Al Jazair), Abdulah Ahmed Naim (Sudan), Asghar Ali Enginer (India), Aminah Wadud (Amerika), Nurcholis Madjid, Syafii Maarif, Abdurrahman Wahid, Ulil Abshar Abdalla (Indonesia), Muhamad Shahrour (Syria), Fetima Mernisi (Marocco), Abdul Karim Soroush (Iran), Khaled Abou Fadl (Kuwait) dan lain-lain. Di samping itu terdapat banyak kelompok diskusi, dan institusi seperti Jaringan Islam Liberal (JIL-Indonesia), Sister in Islam (Malaysia) hampir di seluruh negara Islam (Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2007). Munculnya fenomena paham keIslaman yang beragam pada dasarnya menghendaki upaya dalam mencapai cita-cita Islam. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadist telah dipahami oleh para penganutnya dengan latar belakang sosial, kultural, politik, pendidikan, kecenderungan, disiplin, aliran dan sebagainya yang berbeda-beda. Berbagai keragaman latar belakang yang dimiliki penganutnya itu ternyata telah digunakan untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dari sinilah Islam dalam kenyataan empiris lahir dalam sosok dan cara yang bervariasi, meskipun sumber yang digunakan adalah sama (Abuddin Nata, 2001 : 211). Wacana rasional agama Islam bertujuan menyelaraskan antara amalan dengan norma wahyu, sejarah, nalar, atau penafsiran, sedangkan wacana rasional dalam pemikiran liberal selalu mengarah kepada kesepakatan yang berlandaskan kemauan baik. Pemikiran liberal Barat tidak memprediksikan bahwa wacana rasional akan selalu menuju kesepakatan tentang bangunan institusi yang sama (yakni negara demokrasi ideal) namun meyakini bahwa kesinambungan politikbudaya dalam peradaban Barat terlaksana karena upaya yang kontinue dalam menerapkan wacana rasional, meskipun dengan pengalaman sejarah yang heterogen (Binder, 2001: 6). Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaruan Islam atau Islam neo-modernis. Seperti diketahui istilah neo-modernis berasal dari Fazlur commit to user Rahman sebagaimana dikutip Greg Barton (1999: 9), membedakan gerakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6 pembaruan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu revivalisme Islam, Modernisme Islam, neo-revivalisme Islam dan neomodernisme Islam. Gerakan neo-modernisme Islam mempunyai karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Gagasan neo-modernisme Islam Fazlur Rahman di Indonesia telah muncul dalam kemasan baru yang disebut Islam Liberal (Abd A’la, 2003: 227). Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat gerakan tersebut diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. Greg Barton (1999: 8) menegaskan bahwa telah muncul gerakan intelektual Islam baru di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan tersebut selain lahir dari tradisi Modernisme Islam yang terdahulu dan telah ada di Indonesia, juga secara tangguh tampil berbeda baik dari sisi konsepsi maupun aplikasi gagasannya dengan pendekatan yang khas. Gerakan pemikiran baru ini berkembang membawa misi suci yaitu memadukan cita-cita liberal progresif dengan keimanan yang saleh. Selain itu Barton (1999: 15) menekankan konsep gerakan pembaruan pemikiran Islam bukan sebagai reaksi oportunistik terhadap realitas perubahan politik masa itu melainkan sebuah gerakan intelektual yang menghendaki rasionalitas dalam kehidupan beragama. Namun, Islam sebagai kekuatan Ideologis yang cukup besar telah berakibat pada konsekuensi politik yang ditampilkan tokoh-tokoh gerakan neo-modernis. Luthfi Assyaukanie dalam Adian Husaini dan Nuim Hidayat (2002 : 2-3) menegaskan bahwa Islam Liberal mulai dipopulerkan tahun 1950-an, tetapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun 1980-an yaitu oleh tokoh utama sekaligus sumber rujukan utama Jaringan Islam Liberal, Nurcholis Madjid. Meskipun Nurcholis tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan gagasannya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam Liberal. Karena itu, Islam Liberal diidentikkan dengan gagasan Islam yang dikembangkan oleh Nurcholis dan kelompoknya yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat commit to user Islam (secara formal oleh Negara), memperjuangkan sekularisasi, emansipasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7 wanita, menyamakan agama Islam dengan agama lain (Pluralisme teologis) dan memperjuangkan demokrasi Barat serta sejenisnya. Di Indonesia, dalam akhir abad 20 publikasi mazhab pemikiran yang disebut Islam liberal itu memang tampak dikerjakan secara sistematis. Pengelolanya menamakan diri dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Sebelum lahir Jaringan Islam Liberal, wacana Islam liberal beredar di meja-meja diskusi dan sederet kampus, akibat terbitnya buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal Islam (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman (Asrori S. Karni & Mujib Rahman, 2001 : 29). Beberapa basis Islam Liberal yang berkembang di masyarakat muncul dari puluhan aktivitas intelektual muda berbagai kelompok muslim moderat yang merasa bahwa kondisi sosial keagamaan pasca Orde Baru (menurut para pendiri JIL) dirasakan semakin menunjukkan wajah Islam yang tidak ramah dan cenderung menampilkan konservatifismenya. Dalam pandangan para tokoh JIL, publik saat itu diwarnai dengan pemahaman masalah sosial keagamaan yang radikal dan anti-pluralisme. Sejak akhir tahun 1990-an muncul dikalangan anak muda muslim yaitu kelompok yang menamakan dirinya Islam Liberal. Kelompok anak muda ini mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21. Jika kelompok cendekiawan masa orde baru tidak berani menyebut diri mereka secara langsung sebagai kelompok Islam Liberal, tetapi anak-anak muda yang muncul pada akhir tahun 1990-an (era reformasi) secara berani menyebut diri mereka Islam liberal yang terlihat dari berbagai agendanya tentu bisa dikaitkan dengan faham liberalisme yang ada di Barat (Adian husaini dan Nuim Hidayat, 2002:4) Agenda Jaringan Islam Liberal dan Sekularisasi yang menjadi gagasan sentral para tokoh liberal telah mengakibatkan respon yang beragam. Meskipun mengatasnamakan sebuah perlawanan terhadap golongan Islam fundamental yang cenderung bertindak radikal, Jaringan Islam Liberal pada akhirnya menjadi perdebatan panjang di kalangan Intelektual muslim dan masyarakat pada umumya. Ulil Abshar Abdalla koordinator Jaringan Islam Liberal ramai to user diperbincangkan ketika tulisancommit kontroversialnya ”Menyegarkan Kembali
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8 Pemahaman Islam” (Kompas, 18 November 2002) mengudara diberbagai forum diskusi Islam, bersama dengan itu Jaringan Islam Liberal justru semakin gencar mengibarkan bendera Islam Liberalnya (Mu’arif, 2005: 14). Berdasarkan latar belakang di depan, maka kajian mengenai sejarah Islam khususnya pasang surut sejarah pemikiran Islam liberal perlu dilakukan penelitian dengan judul “Jaringan Islam Liberal (Studi Gerakan Pemikiran Islam Liberal di Indonesia Tahun 2001 – 2005)”. Dalam pembahasan ini dilakukan pembatasan masalah pada latar belakang, perkembangan, gagasan, strategi serta pengaruh Jaringan Islam Liberal sejak kemunculannya dalam memperkenalkan Islam Liberal melalui media masa sampai keluarnya Fatwa haram Majelis Ulama Indonesia tahun 2005 bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah latar belakang terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia? 2. Bagaimanakah pemikiran dan strategi Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam mengembangkan Islam liberal di Indonesia pada tahun 20012005? 3. Bagaimanakah pengaruh Jaringan Islam Liberal (JIL) terhadap kehidupan agama dan politik di Indonesia tahun 2001-2005? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah untuk mengetahui : 1. Latar belakang terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia. 2. Pemikiran dan strategi Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam mengembangkan Islam liberal di Indonesia pada tahun 2001-2005. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9 3. Pengaruh Jaringan Islam Liberal (JIL) terhadap kehidupan agama dan politik di Indonesia tahun 2001-2005. D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian tentang Pemikiran Islam liberal di Indonesia. b. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah khususnya Sejarah Pemikiran Islam. c. Dapat menambah wawasan pembaca khususnya mahasiswa tentang Perkembangan Pemikiran Islam liberal di Indonesia yang difokuskan pada Jaringan Islam Liberal sehingga diharapkan nantinya ada studi lebih lanjut mengenai pemikiran Islam. 2. Manfaat Praktis a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Dapat memberikan motivasi kepada para sejarawan untuk selalu mengadakan penelitian ilmiah. c. Merupakan sumber referensi bagi mahasiswa Program Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang akan meneliti lebih lanjut mengenai perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia. d. Menambah bacaan di perpustakaan bagi mahasiswa ataupun pembaca pada umumnya mengenai Pemikiran Islam di Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Liberalisme Istilah liberalisme berasal dari bahasa latin, liber yang artinya bebas atau merdeka. Terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa sejak lahir ataupun merdeka setelah dibebaskan (mantan budak atau freedman). Prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk pada otoritas adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia (Syamsuddin Arif, 2008: 76). Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Syamsuddin Arif (2008: 77), menjelaskan bahwa di zaman pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain. Sebagai kata sifat, liberal digunakan untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, anti rasial, bebas merdeka, berpikir luas lagi terbuka. Liberalisme tumbuh dari konteks masyarakat Eropa pada abad pertengahan yang ditandai dengan karakteristik di mana anggota masyarakat terikat satu sama lain dalam suatu sistem dominasi kompleks yang kukuh dan pola hubungan dalam sistem ini bersifat statis serta sukar berubah. Masyarakat yang terbaik
menurut
paham
liberal
adalah
yang
memungkinkan
individu
mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya untuk dapat mengembangkan bakat dan pikirannya yang mengharuskan para individu untuk bertanggungjawab atas tindakannya. Menurut Ramlan Surbakti (1992: 35) ciri-ciri ideologi liberal, yaitu: a. demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik, b. anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan commit beragama dan kebebasan pers, c. pemerintah to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11 hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas, d. kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk, e. suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian terbesar individu berbahagia. Paham Liberalisme disimpulkan mencakup tiga hal, yaitu: a. kebebasan berpikir tanpa batas (free thingking), berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja, b. senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme, lebih dikenal dengan skeptisisme, agnotisisme dan relativisme, c. sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion), di mana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama (Syamsuddin Arif, 2008: 79). Sejarah liberalisme termasuk juga liberalisme agama adalah tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat. Karena itu, disebut dengan periode pencerahan. Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali di zaman renaissance. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung negara kota yang bebas melawan pendukung Paus. Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Prancis berupa sistem merkantilisme, feodalisme, dan gereja roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempermasalahkan kekuasaan gereja di zaman renaissance dan juga dari golongan Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja dengan menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk agama kuno. Liberalisme selalu menentang sistem kenegaraan yang didasarkan pada hukum agama. Tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yaitu kehidupan, kebebasan dan hak milik (life, liberty and property). Syeikh Sulaiman al-Khirasyi menyimpulkan
bahwa
Liberalisme
adalah
madzhab
pemikiran
yang
memperhatikan kebebasan individu dan memandang kewajiban menghormati kemerdekaan individu serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah adalah commit torakyat, user menjaga dan melindungi kebebasan seperti kebebasan berfikir,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12 mengungkapkan pendapat, kepemilikan pribadi dan kebebasan individu serta sejenisnya. Secara umum asas liberalisme terdiri dari tiga hal: kebebasan, individualis dan mendewakan akal. a. Asas pertama: Kebebasan Setiap individu bebas dalam perbuatannya dan mandiri dalam tingkah lakunya tanpa diatur negara atau lainnya. individu hanya dibatasi oleh undangundang yang dibuat sendiri dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian, liberalisme disini adalah sisi lain dari sekularisme secara pengertian umum yaitu memisahkan agama dan member ruang untuk lepas dari ketentuannya. Sehingga manusia itu bebas berbuat, berkata, berkeyakinan dan berhukum seperti apa yang diinginkan tanpa batasan syari’at Allah. Manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya serta bebas dari hukum ilahi dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran ilahi. b. Asas kedua: Individualisme (Al-Fardiyah) Ada dua pemahaman dalam Liberalisme: Pertama, Individual dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran Eropa sejak masa kebangkitan Eropa hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, Individual dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Inilah pemahaman baru dalam agama liberal yang dikenal dengan Pragmatisme. c. Asas ketiga: Mendewakan Akal (Aqlaniyah) Kemerdekaan akal dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan serta kemanfaatan tanpa membutuhkan kekuatan di luarnya. Hal ini dapat terlihat dari hal-hal berikut ini: 1) Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun atas dasar materi bukan permasalahan di luar materi yang dapat dilihat dan diketahuinya dengan akal, panca indera serta penelitian. 2) Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin. Karena itu, tidak mungkin mencapai hakekat dari sesuatu commit to user kecuali dengan perantara akal melalui hasil percobaan yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13 Sehingga sebelum melakukan percobaan, manusia tidak mengetahui apa-apa dan belum mampu untuk memastikan sesuatu. Ini dinamakan ideologi toleransi (al-Mabda’ at-Tasaamuh). Hakekatnya adalah menghilangkan komitmen agama, karena itu memberikan manusia hak untuk
berkeyakinan
dan
menunjukkannya
serta
tidak
boleh
mengkafirkannya. Negara berkewajiban melindungi rakyatnya, karena negara dalam hal ini terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang. Sehingga menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya beriman kepada perkara kasat mata sehingga menganggap agama itu tidak ilmiah dan tidak dapat dijadikan sumber ilmu. 3) Undang-undang yang mengatur kebebasan kelompok liberal adalah undang-undang buatan manusia yang bersandar pada akal yang merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hukum mereka dalam undang-undang dan individu adalah akal. Liberalisme berkaitan erat dengan perkembangan Jaringan Islam Liberal, bukan hanya terlihat dari nama yang diusung namun dari agenda yang dikembangkan oleh Jaringan Islam Liberal untuk menyegarkan pemikiran Islam melalui asas yang terdapat dalam liberalisme. Disatu sisi liberal berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme yang saat itu menguasai hampir seluruh dunia Islam. Di sisi lain berarti pembebasan kaum muslim dari cara berpikir dan berperilaku yang menghambat kemajuan. Islam liberal sebagai salah satu fenomenologi keislaman adalah bagian dari berkembangnya paham liberal terutama di kalangan intelektual muslim yang mendapatkan pendidikan Barat. Islam Liberal oleh Kurzman dinyatakan sebagai sekelompok pemikir Islam yang mencoba keluar dari tradisi dan menyejajarkan Islam dengan isu-isu global yang berkembang dalam dunia modern (Budi Handrianto, 2007: 1). Kenyataan bahwa Islam menghormati kebebasan akal telah terlihat sejak pikiran-pikiran rasional baik di bidang teologi maupun hukum Islam berkembang serta mewarnai Islam sejak zaman klasik. Tradisi liberalisme Islam user serta ulama terdahulu muncul telah di mulai sejak para filsof, commit ahli-ahlitohukum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14 dengan aliran-aliran rasional seperti Qadariyah, Mu’tazilah, Ahl ar-Ra’yi (Zuly Qodir, 2010: 84-85). Menurut Budi Handrianto (2007: 2), kriteria pengusung ide Islam Liberal adalah seseorang yang menolak pendirian Negara Islam atau menolak pemberlakuan syariat Islam baik total maupun parsial dalam sebuah Negara nonIslam sebagai hukum positif terutama berkaitan dengan hukum pidana, memisahkan antara peran agama dan Negara. Agama hanya mengurus masalah individu dan Negara tidak dibenarkan memasuki ruang privat termasuk di dalamnya agama. Melakukan tafsir bebas terhadap Al-Qur’an dan Hadist yang di luar mainstream pendapat ulama-ulama terkemuka dan literatur dari awal Islam hingga saat ini, membela hak-hak wanita dalam arti melepaskan wanita dari peraturan yang dirasa membelenggu dan membebaskan wanita dari sistem paternalistik dan dominasi pria, di mana wanita dan pria dianggap sama dalam segala hal. Membela kalangan non-muslim tanpa proporsi, membela kebebasan berpikir baik itu yang sejalan maupun tidak dengan agama di dalamnya adalah ide pluralisme agama, anti otoritas, merelatifkan kebenaran, membela gagasan kemajuan meskipun harus berbenturan dengan norma dan etika agama. Menurut Greg Barton (1999: 9), beberapa prinsip gagasan Islam liberal yang dikembangkan di Indonesia: a. pentingnya kontekstual ijtihad, b. komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan, c. penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, d. pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non sektarian negara. Beberapa megaproyek Jaringan Islam Liberal dengan jelas menunjukkan bahwa kebebasan adalah hal terpenting untuk diperjuangkan sesuai prinsip-prinsip liberalisme terutama dalam pengambilan hukum atau metode ijtihadnya menggunakan metode rasio bebas dan penafsiran Al-Qur’an dengan metode hermeneutika. Secara langsung, agenda-agenda Jaringan Islam Liberal berlandaskan pada paham liberal yang sebelumnya telah berkembang di Barat. 2. Demokrasi Demokrasi merupakan suatu sistem politik yang lahir pada abad ke-18, commit to user setelah kemerdekaan Amerika Serikat, kemudian meluas ke Eropa melalui proses
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15 monarki konstitusi dan bahkan revolusi, seperti di perancis, yang sekaligus merubah kerajaan menjadi republik. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan atau kratein
yang
berarti memerintah.
Demokrasi dapat
diterjemahkan sebagai “kekuasaan rakyat”. Dengan kata lain demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui perwakilan). Dengan demikian dalam suatu Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat sebagaimana pengertian demokrasi yang diucapkan oleh Abraham Lincoln the goverment from the people, by the people and for the people (suatu pemerinthan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat) (http://masri.blog.com, diakses 27 Desember 2011). Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana rakyat yang berkuasa. Pemerintah dalam Negara demokrasi pada dasarnya adalah pilihan rakyat yang berdaulat dan diberi tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan Negara serta mempertanggungjawabkan pada rakyat. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Robert A. Dahl dalam studinya Dilemmas of Pluralist Democracy menjelaskan bahwa demokrasi pada hakekatnya merupakan penataan hubungan antara pemberian otonomi di satu sisi dengan kebutuhan akan kontrol di sisi lain (Eep Saefulloh, 1994: 44). Lebih lanjut Dahl menggambarkan dalam hubungan tersebut demokrasi menghadapi 6 kontradiksi: a. hak versus kebutuhan umum, b. masyarakat yang terbuka versus masyarakat yang lebih tertutup, c. persamaan individu versus persamaan kolektif, d. persamaan versus perbedaan, e. sentralisasi versus desentralisasi, f. konsentrasi versus ketersebaran kekuasaan dan sumbersumber politik. Bagi Dahl, demokrasi tidak lain adalah satu model ideal pengelolaan konflik otonomi (kebebasan) versus kontrol (pengendalian). Istilah Dahl sebagai “demokrasi yang lebih maju”, yaitu demokrasi yang ditujukan untuk mencari sumber ketidaksamaan dan mengelolanya, bukan demokrasi yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16 memaksakan persamaan serta mematikan kemajemukan dan realitas konflik politik (Eep Saefulloh, 1994: 55). Demokrasi institusional atau prosedural dikemukakan oleh Joseph A. Schumpeter sebagai kesepakatan kelembagaan untuk mencapai keputusankeputusan
politik
di
mana
individu-individu
meraih
kekuasaan
untuk
menentukannya melalui sebuah perjuangan kompetitif yang mewakili suara rakyat. Sedangkan demokrasi menurut David Beetham adalah sebuah modus pembuatan keputusan tentang sejumlah peraturan dan kebijakan yang secara kolektif bersifat mengikat di mana rakyat menjalankan kontrolnya (Masdar Hilmy, 2009: 28). Tiga komponen demokrasi politik, yaitu: a. persaingan (competition) antara pribadi atau organisasi politik untuk merebut posisi pemerintahan, b. partisipasi politik yaitu dengan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk duduk di kursi parlemen, dan kebebasan serta persamaan (civil and political freedom), c. kebebasan untuk mengekspresikan dan mengeluarkan pendapat tanpa takut terhadap kekuatan manapun. Secara terminologi, demokrasi adalah suatu sistem yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan yang berdasarkankan pada kedaulatan di tangan rakyat yang kebijakan-kebijakannya ditujukan untuk mensejahterakan keseluruhan rakyat di dalam negara tersebut. Demokrasi mempunyai peran yang sinergis antara proses pembuatan kebijakan negara oleh institusi negara dengan rakyat yang menjadi penghuninya. Proses demokrasi menjadi wacana yang mudah diingat karena dalam lingkungan suatu negara harus berjalan sesuai dengan keinginan rakyatnya. Oleh sebab itu, proses demokratisasi diterapkan agar seluruh kepentingan yang bernaung dalam keinginan dan harapan rakyat atas proses pemerintahan harus mengikutsertakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negara tersebut, sehingga setiap kebijakan-kebijakan pemerintah semata-mata untuk kepentingan rakyatnya dan mencapai kemudahan hidup bernegara dengan keadilan dan kesejahteraan yang merata. Namun bukan hal mudah untuk melihat konsep demokrasi dalam konteks Indonesia (Masdar Hilmy, 2009: 99). Kejatuhan pemerintah Orde Baru yang commit to user otoriter memberikan harapan demokratisasi di Indonesia. Transisi politik yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17 direpresentasikan oleh era reformasi berdampak signifikan kepada pergantian sistem politik sentralistik menuju pemerintahan yang lebih demokratis (Masdar Hilmy, 2009: 101). Kondisi keagamaan yang cenderung mengalami penekanan masa Orde Baru juga secara langsung memberikan harapan baru di era selanjutnya (reformasi) Wacana Islam dan demokrasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa pemikiran, yaitu: Islam dan demokrasi sebagai dua sistem politik yang berbeda. Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) tidak saja mengatur soal keimanan (aqidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia. Dengan demikian, Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tetapi mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Islam merupakan sistem politik demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Islam dalam demokrasi tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma’ (konsesus) (http://alharasy.multiply.com/journal/item/4?&show_interstitial=1&u=%2Fjourn al%2Fitem diakses 3 januari 2012). Vali Nasr berpendapat bahwa “Muslim Demokrasi” (Masdar Hilmy, 2009: 105) telah lahir dan berkembang sejak awal 1990-an di beberapa Negara dengan jumlah mayoritas penduduk beragama Islam. Meskipun mendukung gagasan Islam dan demokrasi, dia berargumentasi bahwa demokrasi di dunia Islam tidaklah muncul dari kerangka konseptual keagamaan ideologis yang merepresentasikan sebuah sintesis antara islam dan demokrasi melainkan dari hubungan pragmatis yang muncul di banyak negara Islam sebagai respon politik. Demokrasi menjadikan suatu bangsa dan negara memiliki pandangan hidup yang pluralistik dan memiliki norma-norma yang timbul dari pandangan hidup setiap individu yang menjadi warganegara suatu bangsa dan negara tersebut. Adapun menurut Nurcholis Madjid di negara-negara yang memiliki user yang menjadi pandangan hidup kemapanan demokrasi mencakupcommit tujuh to norma
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18 demokratis, yaitu: 1) pentingnya kesadaran akan pluralism, 2) musyawarah, 3) perkembangan moral, 4) pemufakatan yang jujur dan sehat, 5) pemenuhan segisegi ekonomi, 6) kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai maksud baik masing-masing, 7) pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan. Robert Pinkney menjelaskan tentang model-model demokrasi di Indonesia. Dua model demokrasi yang relevan untuk dikemukakan, yaitu demokrasi berwawasan radikal (radical democracy), dan demokrasi berwawasan liberal (liberal democracy). Menurut Pinkney, demokrasi radikal ditandai dengan kuatnya pandangan bahwa hak-hak setiap warga negara dilindungi dengan prinsip persamaan di depan hukum, tetapi perhatian yang diberikan tidak sama dengan perlindungan hak individu di bawah demokrasi liberal. Sedangkan demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Oleh karena itu lebih bertujuan menjaga tingkat representasi warga negara dan melindunginya dari tindakan kelompok lain ataupun dari negara. Negara dalam hal ini tidak berposisi sebagai operator kehendak mayoritas, karena dikhawatirkan akan bertentangan dengan kepentingan minoritas. Kelompok yang berwawasan demokrasi radikal adalah mereka yang pro syariat. Dengan pemahaman utama bahwa karena mayoritas warga negara beragama Islam maka sudah seharusnya jika hukum yang diimplementasikan bersumber dari syariat. Namun disadari bahwa implementasi syariat hanya bisa dilakukan melalui mekanisme konstitusional, maka kelompok ini percaya bahwa usaha tersebut baru tercapai jika mampu mendominasi panggung politik (Arskal Salim dalam http://islamlib.com/id/artikel/islam-diantara-dua-model-demokrasi, diakses 19 Februari 2012). Dapat dipahami bahwa fungsi demokrasi menjadi penting (essential) bagi suatu negara untuk menerapkan demokratisasi ke dalam proses pemerintahannya. Bukan hanya menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup, namun juga menjadi dasar bagi proses pengambilan keputusan bagi setiap kebijakan oleh pemerintahan. Namun dalam negara yang mayoritas penduduknya muslim harus to user karena tidak semua pemegang lebih peka dalam melihat realitacommit di masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19 kekuasaan menyetujui demokrasi ala Barat. Dalam hal ini, Jaringan Islam Liberal berusaha menjadi bagian bahkan jaringan yang mempelopori agenda demokrasi di samping banyak organisasi dan institusi Islam yang telah ada. Secara umum, agenda Jaringan Islam Liberal menghendaki sebuah negara yang mengedepankan asas demokrasi terutama dalam penempatan agama. 3. Sekularisme Sekularisme di Indonesia menjadi bahan perbincangan terutama di kalangan intelektual muslim sejak dikenalkan Nurcholis Madjid melalui makalahnya yang berjudul ”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Gagasan sekularisasi yang menurut Nurcholis berbeda dengan istilah sekularisme menunjukkan analogi-analogi pemikiran yang dipengaruhi gagasan sekularisasi Harvey Cox dalam bukunya The Secular City. Menurut Cox, sekularisasi adalah suatu keharusan dalam Kristen, namun dengan lugas Nurcholis juga menyatakan bahwa sekularisasi adalah keharusan bagi semua agama khusunya Islam. Kemiripan analogi yang digunakan menimbulkan kritik berbagai kalangan karena jelas problem latar belakang sejarah Kristen dan Islam adalah berbeda (Adian Husaini, 2005: 257-265) Secara bahasa, sekuler berasal dari bahasa latin saeculum yang bermakna ganda yaitu ruang dan waktu. Istilah ruang merujuk pada pengertian dunia atau duniawi sedangkan waktu berarti sekarang atau kini. Kata secular akhirnya berkembang menjadi sebuah istilah yang bermakna duniawi. Sekularisme yang berkembang di dunia Barat pada era modern memisahkan hal-hal yang menyangkut masalah agama dan non-agama. Pemicunya adalah ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan dengan doktrin Kristen (Heri Ruslan, 2012: B1). Sekularisme yang dilahirkan di Barat telah berkembang pesat di negara-negara umat Islam. Ia telah berkembang dalam berbagai bidang termasuk politik, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, dominasi politik memberikan dampak secara tidak langsung kepada ekonomi dan sosial, maka sekularisme politik dianggap menyeluruh. Pembahasan akan berdasarkan perspektif agama Islam yang berpedoman dan Al-Hadist. commit toAl-Qur’an user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20 Ensiklopedi Islam yang dikutip Heri Ruslan dalam Republika (2012: B1) mendefinisikan sekularisme sebagai suatu aliran atau sistem doktrin dan praktik yang menolak segala bentuk yang diimani dan diagungkan oleh agama atau keyakinan harus terpisah sama sekali dari masalah kenegaraan (urusan duniawi). Sedangkan Sayyid Qutub memahami sekularisme sebagai pembangunan struktur kehidupan tanpa dasar agama, sehingga Qutub memandang sekularisme adalah musuh Islam yang paling berbahaya. Menurut Lutfi Assyaukani dalam Jawa Pos (11 April 2005), Sekularisme adalah sebuah istilah netral untuk merujuk konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (18171906) seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendirisendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja. Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak. Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar. Zia Gokalp, seorang sosiolog terkemuka dan politikus nasional Turki menggulirkan perlunya pemisahan antara masalah ibadah serta keyakinan dan muamalah. Sehingga, terjadi pemisahan antara kekuasaan spiritual Khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di Turki Usmani (Heri Ruslan, Republika 2012: B1). Sekularisme semakin meluas di dunia Islam pada era imperialisme atau penjajahan, karena harus berupaya agar mampu bertahan serta menjaga kemerdekaan dari penguasa-penguasa asing. Nurcholis Madjid adalah tokoh sentral dalam perkembangan sekularisme di Indonesia, meskipun Madjid menyebutnya sebagai bentuk sekularisasi bukan sekularisme yang mengubah kaum muslimin menjadi sekularis namun sekularisme berkembang pesat melebihi commit to user perkiraannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21 Sekularisme di Barat terus berkembang dan disebarluaskan seiring dengan proses penjajahan yang dilakukan. Ide-ide sekularisme terus ditancapkan dan diajarkan kepada generasi muda Islam. Hasilnya, begitu negeri-negeri Islam mempunyai kesempatan untuk memerdekakan diri,
bentuk negara dan
pemerintahan yang di bangun ummat Islam sepenuhnya mengacu pada prinsip sekularisme dengan segala turunannya. Mulai dari pengaturan pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, termasuk tentunya adalah dalam pengembangan model pendidikannya. Bahkan di lembaga pendidikan formal Islam di dunia Islam-pun tidak luput dari prinsip dan serangan sekularisme. Pada awalnya (di Indonesia tahun 1970-an), pembicaraan mengenai penelitian agama, yaitu menjadikan agama (lebih khusus adalah agama Islam) sebagai obyek penelitian adalah suatu hal yang masih dianggap tabu. Namun, jika diamati perkembangannya, khususnya mengenai metodologi penelitiannya, maka akan terlihat bahwa agama Islam benar-benar telah menjadi sasaran obyek studi dan penelitian. Agama telah didudukkan sebagai gejala budaya dan gejala sosial. Penelitian agama akan melihat agama sebagai gejala budaya dan penelitian keagamaan akan melihat agama sebagai gejala sosial. Jika obyek penelitian agama dan keagamaan hanya memberikan porsi agama sebatas pada aspek budaya dan aspek sosialnya, maka perangkat metodologi penelitiannya tidak berbeda dari perangkat metodologi penelitian sosial sebagaimana yang ada dalam episthemologi ilmu sosial dalam sistem pendidikan sekuler. Dengan demikian ilmu yang dihasilkannya tidak jauh berbeda dengan ilmu sosial lainnya, kecuali sebatas obyek penelitiannya saja yang berbeda yaitu agama. Oleh karena itu, jika disaksikan dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim, peran agama (Islam) tidak boleh nampak dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara riil, kecuali hanya sebatas spirit moral bagi pelaku penyelenggara negara, sebagaimana terlihat dalam penafsiran Ulil yang dikutip Budi Handrianto (2007: 265) mengenai Islam liberal yang berlandaskan pada keyakinan bahwa memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan commit to user dan politik harus dipisahkan. Islam liberal menentang negara agama (teokrasi).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22 Islam liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak memiliki hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. 4. Pluralisme Agama Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang atau bentuk kata yang digunakan untuk menunjukan lebih daripada satu. Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak makhluk. Pluralisme agama (religious pluralism) adalah sebuah paham tentang ”pluralitas” (Adian Husaini, 2005: 334). Merupakan paham bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama. John Hick, salah satu tokoh utama paham
religious
pluralism
mengajukan
gagasan
pluralisme
sebagai
pengembangan dari inklusivisme. Agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju pada keparipurnaan yang sama. Pluralisme dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian, yaitu: a. pengertian kegerejaan: sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan; b. pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu; c. pengertian sosiopolitis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompokkelompok tersebut. Para ahli sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya, yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23 substansinya yang sangat asasi yaitu sesuatu yang sakral. Dari definisi tersebut, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa "pluralisme agama" adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbedabeda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masiang-masing agama. Namun dari segi konteks dimana pluralisme agama sering digunakan dalam studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, memiliki definisi yang berbeda. John Hick, yang dikutip Anis Malik Thoha (2005: 15), menyatakan : …pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatanhakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama. Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Majelis Ulama Indonesia yang di kutip Syamsuddin Arif mendefiniskan Pluralisme Agama sebagai : Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga (www.salafiah.net) Nurcholish Madjid menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil dalam Islam, yaitu: a. sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya), b. sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama Islam), c. sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan
kebenaran-kebenaran yang sama sah atau setiap agama commit to user mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran. Sehingga menurut Madjid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24 Pluralisme adalah sebuah aturan Tuhan (Sunatullah) yang tidak akan berubah dan tidak mungkin diingkari atau dilawan
(Adian Husaini, 2010: 6 dalam
www.adianhusaini.com diakses 9 Nopember 2011). Sebagai sebuah bentuk liberalisasi agama, Pluralisme Agama adalah respon teologis terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal dan yang secara nyata dipraktikan oleh Amerika Serikat. Kecendrungan umum dunia Barat pada waktu itu telah berusaha menuju modernisasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka, dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks itu, maka Relegious Pluralism pada hakikatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama. Setiap manusia dipandang sama, tidak ada ras, suku, bangsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling unggul. Menurut Anis Malik Thoha yang dikutip Budi Handrianto (2007: L) mengatakan bahwa tren-tren pluralisme agama secara umum dapat diklasifikasi kedalam empat kategori: Humanisme Sekular (Secular humanism), teologi global (global theology), sinkritisme (syncretism atau eclectisicm) dan hikmah abadi (sophia perennis atau perennial philosophy). a. Humanisme Sekuler Humanisme sekuler adalah suatu sistem etika (ethical system) yang mengukuhkan dan mengagungkan nilai-nilai humanis, seperti toleransi, kasih sayang, kehormatan tanpa adanya ketergantungan pada akidah-akidah dan ajaranajaran agama. Ciri dari humanisme sekuler ini adalah "antroposentris", yakni menganggap manusia sebagai hakikat sentral kosmos atau menempatkannya dititik sentral. Pemikiran ini merupakan kebangkitan kembali secara sadar pemikiran relativisme Protagoras, yang ditafsirkan bahwa setiap manusia adalah standard dan ukuran segala sesuatu. Apabila terjadi perbedaan opini dalam suatu masalah, maka tidak ada apa yang disebut kebenaran obyektif, sehingga tidak bisa dikatakan yang satu benar dan yang lain salah. Diantara tokoh yang mengusung konsep ini antara lain adalah F.C.S Schiller (1863-1937), Bertrand Russel, August commit to user Comte (1798-1857)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25 b. Teologi Global Pengaruh "globalisasi" menjadi hal penting dan komplek dalam mengubah kehidupan manusia dengan segala aspeknya di luar apa yang dibayangkan sebelumnya. Ini menyebabkan menurunnya dan bahkan lenyapnya jati diri dan nilai-nilai suatu kultur atau budaya. Globalisasi juga telah mempengaruhi secara nyata dan sangat signifikan munculnya gagasan-gagasan dan wacana-wacana teologis baru yang sangat radikal, yang intinya menganjurkan bahwa tidak perlu bersikap resisten dan menentang globalisasi dan globalisme yang sudah nyata-nyata tak mungkin dihindari. Manusia harus mengubah dan merombak pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar sejalan dengan semangat zaman dan nilai-nilainya yang diyakini "universal". Berdasarkan perkembangan global ini menurut John Hick dalam Anis Malik Thoha (2005: 77), memprediksi bahwa secara gradual akan terjadi proses konvergensi cara-cara beragama dimasa yang akan datang, sehingga pada suatu ketika agama-agama ini akan lebih menyerupai sekte yang beragam dalam Kristen di Amerika Utara dan Eropa saat ini daripada merupakan entitas-entitas yang ekslusif secara radikal. Wacana atau pemikiran keagamaan lintas kultur ini, menurut Hick yang dikutip Anis harus dikemas dalam konsep yang disebut global theology. c. Sinkritisme Trend sinkritisme adalah suatu kecendrungan pemikiran yang berusaha menyatukan dan merekonsiliasi berbagai unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau dalam salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru) (Anis Malik Thoha, 2005: 93). Gagasan ini antara lain diusung oleh Friedrich Heiler dan Arnold Toynbee. Dalam sebuah konferensi Asosiasi Sejarah Agama Internasional di Tokyo pada bulan September 1958, dikemukakan gagasan bahwa "mewujudkan persatuan seluruh agama" merupakan satu tugas penting Ilmu Perbandingan Agama. Selanjutnya Arnold Toynbee menyatakan dalam salah satu bab bukunya An Historian's Approach to Relegion "Misi agama-agama besar commit to user tidaklah kompetitif, melainkan komplementer atau saling melengkapi”.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26 d. Hikmah Abadi (Shophia Perennis) Tema utama Hikmah Abadi adalah "hakikat esoteric" yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang berwujud dan terekspresikan dalam bentuk hakikat-hakikat exsoteric dengan bahasa yang berbeda. Hakikat yang pertama adalah hakikat transcendent yang tunggal, sementara yang kedua adalah hakikat relegius yang merupakan manifestasi eksternal yang beragam dan saling berlawanan dari hakikat transcendent tadi. Cara pandang ini kemudian menjadi cara Hikmah Abadi dalam memandang segala realitas pluralitas agama. Dengan kata lain bahwa agama terdiri dari dua hakikat atau dua realitas, yakni esoteric dan exsoteric (esensi dan bentuk) Dua hakikat ini dipisah antara keduanya oleh suatu garis horizontal; dan bukan pertikal, sehingga memisahkan antara yang satu dengan yang lain (Hindu-Budha-Kristen-Islam dan sebagainya). Yang berada di atas garis adalah hakikat bathiniyah (esoteric) dan yang berada di bawah adalah hakikat lahiriyah (exsoteric). Meskipun secara lahiriyah agama berbeda-beda tetapi secara bathiniyah semua agama menuju pada yang satu yakni Tuhan. Pluralisme menjadi agenda Jaringan Islam Liberal terutama dalam istilah Humanisme sekuler di mana toleransi atau pengatasnamaan bahwa semua agama adalah sama menjadi keharusan demi terciptanya kerukunan. Pemikiran kontroversial
ini
justru
semakin
diperjuangkan
oleh
jaringan
untuk
mengembangkan liberalisasi Islam dalam kehidupan beragama sehingga pandangan ini semakin membawa citra bahwa Jaringan Islam liberal adalah pemberi solusi keragaman di Indonesia (Budi Handrianto, 2007: 266). 5. Masyarakat Madani Masyarakat Madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi,
komparasi,
koordinasi,
simplifikasi,
sinkronisasi,
integrasi,
emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik. Masyarakat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27 madani jelas mengacu pada agama Islam Sedangkan Istilah civil society yang lebih dikenal lahir dari negara-negara Barat tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu namun pada dasarnya memiliki cita-cita membentuk sebuah tatanan yang demokratis. Maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat dipahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau masyarakat kota yang pluralistik (Husaini Usman dalam http://masyarakatmadani8.blogspot.com/, diakses 21 Maret 2012). Karena itu masyarakat madani sering disamakan juga dengan pemaknaan civil society meskipun masyarakat madani lebih terfokus pada tatanan Islam. Menurut Din Syamsuddin dalam M. Mawardi J. (2008: 18), Masyarakat madani secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama. Masyarakat madani secara substansial sudah ada sejak zaman Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan tunduk pada hukum. Penguasa, rakyat dan siapapun harus taat dan patuh pada hukum yang telah dibuat secara bersama-sama. Konteks masyarakat madani juga menjadi rangkaian perjuangan terutama dalam lingkungan masyarakat Islam tentang keinginan untuk mencapai kejayaan masa lalu khususnya masa Rasulullah Muhammad SAW. Hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah menjadi titik awal dalam menerapkan sistem agama-politik. Nabi mendirikan suatu persekutuan dengan menggabungkan kaum kaya dan miskin atas dasar yang sama, kebanggaan akan semua hal telah hilang dan semua unsur heterogen dilebur menjadi satu bangsa. Nabi Muhammad mendirikan suatu negara atas dasar prinsip-prinsip kesamaan, kebebasan dan persaudaraan. Bangsa Arab, bangsa Yahudi, dan semua warga negara persemakmuran Islam ditempatkan pada pijakan yang sama, diizinkan mengambil bagian secara bebas dan sederajat di dalam pendirian suatu struktur sosio-politik dan memajukan kemanusiaan bagi cita-cita moral yang lebih baik. Tidak ada prasangka-prasangka nasional atau rasial, larangan-larangan karena warna kulit, kepentingan pribadi, commit to user turunan di dalam persemakmuran dan tidak ada kependetaan serta kebangsawanan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28 Islam. Tidak ada hak-hak istimewa yang diberikan bagi individu, bahkan bagi pejabat negara yang tertinggi. Nilai manusia yang hakiki ditentukan bukan oleh pangkat atau nasib baiknya, melainkan oleh akhlak dan kemampuannya. Setiap orang diberi peluang dan ruang gerak untuk menggunakan bakat dan kemampuannya di jalan yang benar (Syed Mahmudunnasir, 1988: 129-131) Kebijakan itu dilakukan dengan menerapkan suatu piagam kepada orangorang berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban umat Islam dan non Islam. Piagam ini memberi perlengkapan bagi landasan suatu negara kota, suatu persemakmuran dan bagi suatu bangsa yang didasarkan atas ikatan kesatuan agama dan keimanan, kesamaan dan demokrasi. Piagam yang dikenal sebutan Piagam Madinah menurut beberapa penelitian merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia (Adian Husaini dalam www.insistnet.com diakses 10 Februari 2012). Syed Mahmudunnasir (1988: 131-132), menuliskan ketetapan-ketetapan utama Piagam Madinah sebagai berikut : a. Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, telah
ditetapkan oleh Muhammad, Nabi Allah, bahwa orang-orang yang beriman, baik suku Quraisy ataupun dari Yatsrib, dan semua orang dari manapun berasal yang memiliki tujuan yang sama, semuanya adalah satu bangsa. b. Perdamaian dan peperangan akan mengikat semua umat Islam , tidak seorangpun di antaranya akan mempunyai hak mengadakan perdamaian atau menyatakan perang dengan musuh-musuh dari teman-teman seagamanya. c. Orang-orang Yahudi yang menggabungkan diri dengan persemakmuran akan dilindungi dari semua penghinaan dan gangguan; orang-orang Yahudi akan mempunyai hak-hak yang sama dengan orang-orang Islam sendiri terhadap bantuan dan pelayanan yang baik. d. Orang-orang Yahudi bersama umat Islam akan membentuk suatu bangsa campuran dan akan mengamalkan agama sama bebasnya dengan umat Islam. e. Langganan dan sekutu orang-orang Yahudi akan memperoleh keamanan dan kebebasan yang sama. f. Langganan dan sekutu orang-orang Yahudi dan orang Islam akan dihormati commit to user sebagai penyokong
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29 g. Semua umat Islam yang sejati akan memandang rendah setiap orang yang berbuat kejahatan, ketidakadilan, atau pelanggaran ketertiban; tidak ada seorangpun yang akan melindungi yang bersalah meskipun saudara dekatnya. h. Yang bersalah akan dituntut dan dihukum. i. Orang-orang Yahudi akan bergabung dengan orang-orang Islam dalam mempertahankan kota Madinah terhadap semua musuh. j. Kota Madinah akan merupakan tempat yang suci dan aman bagi semua orang yang mengakui piagam ini. k. Orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu umat Islam, tidak akan menyatakan perang atau mengadakan persetujuan dengan musuh Islam untuk melawan umat Islam. l. Semua perselisihan di masa depan, yang terjadi di antaranya yang mengakui piagam ini, Insya Allah akan diserahkan kepada Nabi. Atas dasar toleransi yang diterapkan pada masa Rasulullah, maka citacita masyarakat Madani menjadi popular di kalangan umat Islam bahkan lebih luas di masyarakat dunia yang menginginkan sebuah demokrasi. Menurut Zbigniew Rau yang dikutip oleh M. Mawardi J. (2008: 19), masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang diyakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubunganhubungan yang menyangkut kewajibannya terhadap negara. Lebih tegasnya terdapat ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme. Sedangkan menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun diri dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang relatif otonom dari negara. Satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna menyatakan kepedulian dan memajukan kepentingan menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30 Gagasan civil society merupakan elemen penting dalam penegakan sistem demokrasi (Muhammad A.S. Hikam, 2000: 76). Civil society mengandaikan adanya suatu masyarakat modern yang visinya bermacam-macam. Dalam konteks politik terlihat dari bentuk masyarakat yang berorientasi pada kewarganegaraan yang berintikan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Menurut Hikam (2000: 78), masyarakat madani berusaha mengembalikan pada tatanan normatif yaitu pada konsep yang pernah diyakini ada pada aman Madinah. Konsep masyarakat madani bersifat utopian, sehingga yang tampak adalah sifat yang ideal. Masyarakat
madani
merupakan
format
kehidupan
sosial
yang
mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani terletak pada independensinya terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak kebebasan yang sama. Fenomena menarik dalam percaturan politik Indonesia mutakhir adalah meningkatnya pembahasan seputar Islam dan perkembangannya dalam bidang politik (Muhammad A.S. Hikam, 2000: 174). Dengan demikian, banyak pemimpin Islam mencari pendekatan-pendekatan yang berlainan dalam merespon kebijaksanaan pemerintah tentang Islam (pendekatan kompromi). Pemberdayaan masyarakat Islam Indonesia merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat Indonesia di mana faktanya bahwa masyarakat Islam adalah penduduk mayoritas. Karena itu, orang-orang Islam berusaha dijauhkan dari kecenderungan eksklusif (tertutup) dan justru mendorongnya untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia di mana hak dan kewajiban sebagai penduduk tidak dibedakan antara satu dan lainnya (Muhammad. A.S. commit to user Hikam, 2000: 179-180).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31 Karakteristik yang menjadi prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat madani tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, merupakan satu kesatuan yang terintegral dan menjadi dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Arendt dan Habermas yang dikutip oleh M. Mawardi J (2008: 21), antara lain : a. Free Public Sphere Adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukan pendapat. Pada ruang publik yang bebas, individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, free publik sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Tanpa ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan terjadi pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tirani dan otoriter. b. Demokratis Demokrasi merupakan suatu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani. Dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya,
termasuk
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. c. Toleran Toleransi merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain. d. Pluralisme Pluralisme adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32 e. Keadilan Sosial Keadilan sosial berarti adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. f. Partisipasi Sosial Partisipasi Sosial yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat
memiliki
kedewasaan
dan
kemandirian
berpolitik
yang
bertanggungjawab. g. Supremasi Hukum Supremasi hukum yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Impian menuju masyarakat madani telah merasuk dalam kelompok Jaringan Islam Liberal dengan wajah yang berbeda. Masyarakat madani yang dianggap sebagai masyarakat plural menjadi acuan dalam agenda-agenda Jaringan Islam Liberal, meskipun dalam praktiknya wacana civil society sebagai bentuk masyarakat madani yang telah dipengaruhi pemikiran barat lebih menjadi dasar kuat dalam melegalkan pluralisme, hak asasi, persamaan gender dan sebagainya yang termasuk dalam proyek liberalisasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33 B. Kerangka Berpikir
Liberalisme Barat
Perkembangan Sains & IPTEK (Wacana Rasional)
Islam Liberal di Indonesia
Pertentangan Liberal > < Radikal
JIMM
Postra
LKiS
FORMACI
JIL
Lain-lain
Demokrasi
Penyimpangan (Kontroversi Pemikiran Islam)
Agama : Pluralisme Agama
Politik : Sekularisme
Masyarakat Madani Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
Keterangan: Sejarah intelektual selalu meninggalkan jejak-jejak pemikiran yang secara langsung berpengaruh pada terbentukya pemikiran baru. Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam. commit to user Selain itu wacana rasional akibat berkembangnya ilmu pengetahuan menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34 akal dijunjung dan tidak jarang menyingkirkan agama sebagai dasar utama kehidupan. Hal ini menyebabkan Liberalisasi Islam yang diusung oleh bangsabangsa barat telah memberikan pengaruh besar terhadap munculnya ide-ide pembaruan di kalangan intelektual muslim Indonesia. Pemerintah liberal merupakan proses bersinambung dari wacana rasional, sedangkan wacana rasional dimungkinkan keberadaannya di kalangan mereka yang memiliki budaya atau kesadaran berlainan (Binder, 2001: 1) Pengembangan gagasan dan pemikiran rasional di Indonesia, secara langsung terlihat dari beberapa program Departemen Agama masa Orde Baru dengan mengirim para sarjana IAIN untuk melanjutkan studi dan belajar ilmuilmu Islam di negeri Barat pada kaum orientalis (Budi Handrianto, 2007: 13). Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam dan secara cepat meluas dalam berbagai aspek. Proyek imperialis yang masuk melalui jalur pendidikan menjadi alur terprogram dan memberikan pengaruh besar bagi pandangan ideologis negara Indonesia cenderung berpihak pada Barat yang dinilai sukses dalam pengembangan Ilmu pengetahuan sehingga negara-negara Barat berhasil maju pesat, dan Indonesia pantas belajar dari para orientalis. Menurut beberapa penelitian, grafik kebebasan beragama semakin mengalami penekanan masa Orde baru sehingga pasca runtuhnya Orde baru membentuk suatu optimisme masyarakat akan terwujudnya Demokrasi yang sesungguhnya (Masdar Hilmy, 2009: 15). Kebebasan digaungkan dalam berbagai bidang. Namun, bagaimana dengan kondisi kebebasan beragama dan semakin maraknya gerakan Islam Konservatif yang cenderung Radikal dan tanpa basa-basi dalam menindak kemaksiatan. Semangat reformasi dan munculnya fakta mengenai Islam radikal telah mendorong tumbuh dan berkembangnya kelompokkelompok Civil society yang memperluas ruang gerak kebebasan warga negaranya.
Masyarakat
madani
menjadi
alternatif
pemecahan,
dengan
pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakancommit to user kekuatan masyarakat sipil yang kebijakan pemerintah sehingga akan terwujud
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35 mampu merealisasikan dan mampu menegakkan konsep hidup demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia. Masyarakat madani dipercaya sebagai alternatif paling tepat bagi demokratisasi, terutama di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni negara (Mawardi J., 2008: 20). Tetapi dalam waktu yang sama masyarakat dihadapkan pada suhu perpecahan di kalangan golongan-golongan yang berbeda pandangan. Islam liberal bukan hal baru di Indonesia namun Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah jaringan pelopor yang mengembangkan pemikiran liberalnya dengan membawa bendera “Islam Liberal”. Dalam pemahaman lebih umum, seperti penelitian yang dikembangkan Greg Barton dalam melihat gagasan Islam Liberal di Indonesia, telah dikemukakan bahwa suburnya ide-ide Islam Liberal dikembangkan secara serius dan populer jauh sebelum reformasi dilancarkan sebagai hasil modernisasi dan globalisasi di masyarakat Indonesia (Barton, 1999: 3). Jaringan Islam Liberal muncul karena adanya perbedaan latar belakang budaya dari para pemikirnya dan sebagai pentuk respon atas Islam radikal yang dianggapnya cenderung kaku dan tidak kontekstual. Dengan mengembangkan konsep Demokrasi, khususnya di bidang agama dan politik Jaringan Islam Liberal mengembangkan strategi pembumian Islam Liberal yang sesuai modernisasi dengan intelektualitasnya melalui berbagai media masa baik cetak maupun elektronik. Keberhasilannya dalam mengembangkan pemikiran Islam liberal terutama di kalangan intelektual muda pada akhirnya menimbulkan kontroversi baik pro dan kontra dalam bentuk intelektual maupun fisik, namun keberadaannya semakin terdesak dengan keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 28 September dalam Munas-nya yang ke-7 (Budi Handrianto, 2007: xli) mengenai Haramnya pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama sehingga jaringan ini dinyatakan sesat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul ”Jaringan Islam liberal (Studi Gerakan Pemikiran Islam Liberal di Indonesia tahun 2001-2005)”, menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dari sumber primer, sekunder dan berbagai sumber yang relevan. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat pencarian data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta e. Monumen Pers Surakarta (Perpustakaan dan Arsip Media Cetak) f. Perpustakaan St. Kolose Ignasius Yogyakarta g. Perpustakaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Jogja Library) h. Perpustakaan STAIN Surakarta i. Perpustakaan Gajah Mada j. Buku-buku koleksi penulis
2. Waktu Penelitian Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Februari 2012 sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Juli 2012.
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37 B. Metode Penelitian Peranan metode ilmiah sangat penting dalam sebuah penelitian karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Sedangkan menurut Helius Sjamsudin (1994: 2), ”Metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti”. Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan Pergerakan Jaringan Islam Liberal (Studi Gerakan Pemikiran Islam Liberal di Indonesia tahun 2001-2005) . Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Hadari Nawawi (1998: 78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang. Metode sejarah dapat diartikan sebagai metode penelitian dan penulisan sejarah dengan menggunakan cara, prosedur atau teknik yang sistematik sesuai dengan asas-asas dan aturan ilmu sejarah (Daliman, 2012: 27) Gilbert J. Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (2011: 103) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Daliman (2012: 28) memaknai metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman, dokumen-dokumen dan peninggalan masa lampau yang otentik dan dapat dipercaya, serta membuat interpretasi dan sintesis atas fakta-fakta tersebut menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38 Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji untuk memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut untuk dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya. C. Sumber Data Sumber data sering juga disebut data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995: 94), ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan. Menurut Dudung Abdurrahman (2011: 35) data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorisasian. Menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Helius Sjamsuddin ( 1996: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber sejarah, yaitu: Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan). Sumber sejarah dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang disampaikan langsung oleh saksi mata. Dikatakan sebagai sumber sekunder karena tidak disampaikan langsung oleh saksi mata dan bentuknya dapat berupa buku-buku, artikel, koran, majalah (Dudung Abdurrahman, 2011: 105). Sedangkan Louis Gottschalk (1983: 35) berpendapat bahwa sumber-sumber tulisan dan lisan dibagi atas dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata-kepala sendiri atau saksi commit to user dengan pancaindera yang lain, atau dengan alat mekanis seperti diktafon (orang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39 atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya), oleh karena itu harus dihasilkan oleh orang yang sezaman dengan peristiwa yang dikisahkan. Akan tetapi sumber primer tidak perlu asli dalam arti hukum dari kata asli (dokumen itu sendiri yang biasanya versi tulisan pertama), namun dalam bentuk copy atau suatu edisi cetakan selanjutnya. Sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi pandang-mata (seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut diantaranya arsip yang meliputi: Artikel-artikel dalam surat kabar yang ditulis oleh tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal seperti Kompas edisi 18 November tahun 2002, Majalah Gatra 1 Desember 2001, 8 Desember 2001, 21 Desember 2002, Jawa Pos 11 April 2005, Tempo, Suara Merdeka, Republika. Beberapa tulisan tokoh-tokoh Islam Liberal terutama yang dimuat dalam kelompok diskusi (mailing list) JIL
[email protected], website www.islamlib.com serta blog yang dimiliki tokoh-tokoh yang pro ataupun kontra terhadap JIL (seperti : www.Assyaukanie.com,
gusulil.wordpress.com,
Islam-kucinta.blogspot.com,
alislamu.com, ulil.net, goenawanmohamad.com, nongmahmada.blogspot.com, pemikiranislam.net). Sumber data sekunder yang digunakan seperti penelitianpenelitian yang telah dibukukan berjudul Islam Liberal: Kritik terhadap ideologiideologi Pembangunan karya Leonard Binder, Gagasan Islam Liberal di Indonesia karya Greg Barton, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide-ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme agama karya Budi Handrianto, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya karya Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal karya Adnin Armas, Menangkal Bahaya JIL dan FLA karya Hartono Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori, serta beberapa karya dan sumber-sumber lain yang relevan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40 D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh dengan studi kepustakaan. Studi pustaka penting sebagai proses bahan penelitian. Tujuannya sebagai pemahaman secara menyeluruh tentang topik permasalahan. Teknik studi pustaka adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data ataupun fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan (Koentjaraningrat, 1986: 31). Teknik pengumpulan data studi pustaka adalah suatu penelitian yang berjuang untuk mengumpulkan data dan informasi dengan menggunakan bermacam- macam materi yang terdapat dalam buku, majalah, dokumen dan surat kabar (Kartini Kartono, 1990: 67). Teknik studi pustaka dapat dilakukan dengan menggunakan sistem katalog atau sistem kartu. Hal ini sejalan dengan pendapat Louis Gottschalk (1983: 46-47), bahwa tempat penelitian yang lazim bagi seorang sejarawan adalah perpustakaan dan alat yang paling bermanfaat bagi seorang sejarawan adalah katalogus. Mengenai katalogus perpustakaan, biasanya terkandung keterangan mengenai suatu masalah yang mencantumkan nama pengarang, judul buku, subyek yang dicatat dan sumber pada halaman. Karena itu perlu mengingat beberapa kata kunci (Key words) yang terdapat di dalam subyek yang dibahasnya, sehingga dapat menemukan buku, artikel dan jurnal yang dimasukkan ke dalam katalogus di bawah salah satu di antara kata-kata kunci. Tiap subyek sejarah mengandung beberapa indikasi mengenai orang, tempat, periode dan jenis jabatan manusia yang bersangkutan. Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut: a. Pencarian dan pengumpulan sumber-sumber data yang dibutuhkan baik itu sumber primer maupun sumber sekunder yang berkaitan dengan masalah Islam Liberal mulai dari awal munculnya hingga lahirnya JIL. Peneliti berusaha mengumpulkan sumber- sumber sejarah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti yaitu mengadakan studi referensi yang ada di Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41 Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan STAIN Surakarta, Perpustakaan Gajah Mada, Jogja Library, St. Kolose Ignasius Yogyakarta. b. Membaca dan mencatat data baik sumber primer maupun sumber sekunder yang relevan dengan materi pembahasan Jaringan Islam Liberal mulai dari Pergerakan Jaringan Islam Liberal dari sebelum hingga batasan tahun yang diteliti secara menyeluruh menggunakan sistem resume dan sistem katalog. Dengan meringkas dan mencatat beberapa sumber berbeda yang telah terkumpul namun dalam pembahasan materi yang sama kemudian merangkainya kembali dalam bentuk kalimat baru yang relevan dengan pokok pembahasan tanpa mengubah maksud dari sumber yang ditemukan. c. Penggalian seperti pada tahap sebelumnya dilakukan secara berulang-ulang pada pembahasa-pembahasan yang berbeda baik terhadap bahan-bahan pustaka seperti buku, majalah, artikel, jurnal yang dilakukan di perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang diteliti.
E. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (2011: 114), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Sjamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah. Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (2011: 114), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh commit to user dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42 itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992: 2) analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan penelitian. Analisis data merupakan langkah yang penting, dimulai dari melakukan kegiatan pengumpulan data kemudian melakukan kritik ekstern dan intern untuk mencari otensitas dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Dari langkah ini dapat diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan dengan materi penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah tersebut dengan bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian sejarah, kemudian menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami, fakta tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta menjadi karya yang menyeluruh dan masuk akal. F. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah tata urutan yang harus dilaksanakan dalam proses penelitian agar peneliti mendapat hasil yang optimal. langkah-langkah penelitian dari awal yaitu persiapan membuat proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Setiap penelitian mempunyai prosedur penelitian yang berbedabeda. Hal tersebut disesuaikan dengan disiplin ilmu san tujuan yang akan dicapai oleh peneliti. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus dipenuhi dalam melakukan penelitian. Empat langkah tersebut terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Heuristik
Jejak / Peristiwa Sejarah
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah Cerita Sejarah
Gambar 2. Bagan Langkah-Langkah/Prosedur Penelitian Sejarah Keterangan : 1. Heuristik Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang artinya memperoleh. Dalam pengertian lain, menurut G.J. Reiner yang dikutip oleh Dudung Abdurahman (2011: 104) heuristik adalah suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Oleh karena itu heuristic tidak mempunyai aturan-aturan umum. Heuristic sering kali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, menangani dan memperinci bibiliografi, atau mengklasifikasi dan merawat catatan-catatan. Pada tahap ini diusahakan mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku yang relevan dan surat kabar. Sumber tertulis primer berupa arsip yang meliputi: Artikel-artikel dalam surat kabar yang ditulis oleh para tokoh Jaringan Islam Liberal seperti Kompas edisi 18 November tahun 2002, Majalah Gatra 1 Desember 2001, 8 Desember 2001, 21 Desember 2002, Jawa Pos 11 April 2005, Tempo, Suara Merdeka, Republika. Beberapa tulisan tokoh-tokoh Islam Liberal terutama yang dimuat dalam kelompok diskusi (mailing list) JIL
[email protected], website www.islamlib.com serta blog yang dimiliki tokoh-tokoh yang pro ataupun kontra terhadap JIL (seperti : gusulil.wordpress.com, goenawanmohamad.com,
Islam-kucinta.blogspot.com,
alislamu.com,
nongmahmada.blogspot.com,
ulil.net,
pemikiranislam.net).
Sumber data sekunder yang digunakan seperti commit to user penelitian-penelitian yang telah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44 dibukukan
berjudul
Islam
Liberal:
Kritik
terhadap
ideologi-ideologi
Pembangunan karya Leonard Binder, Gagasan Islam Liberal di Indonesia karya Greg Barton, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide-ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme agama karya Budi Handrianto, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya karya Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal karya Adnin Armas, Menangkal Bahaya JIL dan FLA karya Hartono Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori, serta beberapa karya dan sumber-sumber lain yang relevan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan mengunjungi beberapa perpustakaan diantaranya Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan
Universitas
Indonesia,
Perpustakaan
STAIN
Surakarta,
Perpustakaan Gajah Mada, Jogja Library, St. Kolose Ignasius Yogyakarta. 2. Kritik Tugas penyelidik dalam penelitian historis ini adalah mengadakan rekonstruksi mengenai masa lampau. Tetapi di dalam mengadakan rekonstruksi itu, tidak semua peristiwa yang sudah silam dapat diulangi terjadinya, sehingga penyelidik harus banyak mendasarkan diri pada fakta-fakta sejarah dan membangun pemecaham masalah atas fakta itu. Fakta yang diterima dari berbagai sumber, banyak bergantung pada orang-orang yang terdahulu hidup dan menjadi pelaku atau pembuat sejarah yang diselidikinya. Karena itu, penyelidik harus mempunyai cara-cara untuk meneliti apakah fakta itu benar-benar asli dan dapat dipercaya ataukah tidak. Cara-cara meneliti data itulah yang dimaksud dengan kritik historis. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45 Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah itu sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik sumber dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Menurut Dudung Abdurahman (2011: 108), kritik ekstern yaitu menguji suatu keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) sedangkan kritik intern menguji keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas). Kritik ekstern adalah kritik terhadap autentisitas sumber, apakah sumber yang dikehendaki asli atau tidak, utuh atau turunan (salinan). Kritik ekstern dilakukan terhadap sumber yang diperoleh berdasarkan bentuk fisik atau luarnya berupa bahan (kertas atau tinta) yang digunakan dan segi penampilan yang lain. Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat kapan sumber itu dibuat, di mana sumber itu dibuat, siapa pengarangnya dan bagaimana latar belakang pendidikan pengarang. Sebagai contoh kritik ekstern terhadap buku “Islam Liberal : Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya” karya Adian Husaini dan Nuim Hidayat, buku yang merupakan penelitian menyeluruh mengenai Islam Liberal khususnya JIL dengan pengarang yang sejak awal fokus pada penelitian hubungan Islam dengan Barat. Karya ini juga diterbitkan tahun 2002 setelah muncul JIL dan berbagai kontroversinya. Kritik intern dilakukan dengan membandingkan antara isi sumber yang satu dengan isi sumber yang lain sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya dan dapat memberikan sumber yang dibutuhkan. Hal tersebut dilaksanakan agar dapat mengetahui bagaimana isi sumber sejarah dan relevansinya dengan masalah yang dikaji. Kritik intern sumber data tertulis dalam penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi gaya, tata bahasa, dan ide yang digunakan penulis, sumber data, dan permasalahannya kemudian dibandingkan dengan sumber data lainnya. Kritik ini bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Misalnya dengan membaca Artikel kontroversial Ulil Abshar Abdalla berjudul ”Menyegarkan kembali Pemahaman Islam”, Wajah Islam liberal di Indonesia karya ulil Abshar Abdalla, buku-buku karangan Nurcholis Madjid, Abdurrahman commit to user Wahid, serta catatan harian Ahmad Wahib. Semua itu adalah tokoh-tokoh liberal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46 yang telah menghasilkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Dengan demikian kritik intern dapat dilakukan untuk melihat seberapa relevan tulisan-tulisan tokoh tersebut mendukung karya peneliti. 3. Interpretasi Menurut Nugroho Notosusanto (1978 : 40), interpretasi adalah suatu usaha menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan perbandingan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga terbentuk rangkaian yang selaras dan logis. Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (2011 : 114) bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk analisa. Kegiatan menyeleksi dan menafsirkan tulisan buku dalam penelitian ini dilakukan
dengan
berkesinambungan,
penentuan
periodisasi,
merangkaikan
data
secara
misalnya dengan merangkaikan periode sejarah dan
menghubungkan sumber data sejarah yang ada pada tulisan Greg Barton dengan tulisan Leonard Binder maupun artikel-artikel tulisan Ulil Abshar Abdalla, sehingga menjadi kesatuan yang harmonis dan masuk akal melalui interpretasi. Dalam kegiatan interpretasi ini penelitian yang dilakukan berusaha bersikap obyektif yang disebabkan keanekaragaman data yang diperoleh. Fakta-fakta yang didapat kemudian ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya, sehingga dapat dipahami makna sesuai dengan pemikiran yang relevan, logis dan berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah. 4. Historiografi Historiografi adalah kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah. Peristiwa sejarah yang dikisahkan melalui historiografi akan sangat dipengaruhi oleh subyektifitas penulis dalam merekonstruksinya. Menurut Helius Sjamsuddin (1992: 153), historiografi merupakan kegiatan menyampaikan hasil sintesa fakta-fakta yang diperolehcommit dalam bentuk to userkisah sejarah. Dalam historiografi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47 seorang penulis tidak hanya menggunakan keterampilan teknis, penggunaan kutipan-kutipan
dan
catatan-catatan
tetapi
penulis
juga
dituntut
untuk
menggunakan pikiran kritis dan analisis. Interpretasi yang dilakukan terhadap fakta sejarah dapat menghasilkan suatu cerita atau kisah sejarah dan serangkaian kisah tersebut disajikan dalam suatu penulisan atau historiografi. Historiografi merupakan langkah terakhir dari metode sejarah untuk menyampaikan susunan fakta sejarah menjadi cerita sejarah menggunakan bahasa ilmiah, logis sehingga dapat diterima secara ilmiah. Historiografi dalam penelitian diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “Jaringan Islam Liberal (Studi Gerakan Pemikiran Islam Liberal di Indonesia tahun 2001-2005)”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN B. Latar Belakang Terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL) Sejak masuknya sekularisme dan liberalisme ke dunia Islam, baik melalui kolonialisme maupun interaksi budaya, polemik dan benturan pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban Islam. Menurut Daud Rasyid dalam Adian Husaini (2002: vii), apabila ditelusuri akar permasalahannya, dapat ditemukan ada dua kekuatan besar yang bertarung di panggung pemikiran yaitu Islam dan Barat. Jaringan Islam liberal yang berkembang di Indonesia secara massif sejak tahun 2001, diperkirakan muncul seiring atau bahkan akibat kemunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalis di Indonesia. Dalam sejarah, pemikiran Islam liberal selalu muncul sebagai reaksi atas kemunculan pemikiran Islam fundamentalis. Semakin menjamur kelompok-kelompok Islam fundamentalis, semakin kuat pula dorongan untuk mengorganisasikan jejaring Islam liberal. Jika dicermati, perkiraan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak pula salah karena bangkitnya Islam fundamentalis dengan berbagai aksinya bukan faktor tunggal munculnya gagasan Islam liberal. Menariknya, kemunculan Islam liberal di Indonesia seolah-olah terjadi setelah adanya persentuhan secara intens dengan Barat dengan demokrasi-liberalnya, sedangkan Islam fundamentalis muncul di Indonesia setelah terjadi persentuhan dengan Arab dengan puritanismenya. Hal ini menunjukkan bahwa kemunculan masing-masing kelompok bukan hanya karena merespon situasi yang ada di dalamnya atau bukan hal yang murni dari Indonesia, namun juga adanya pengaruh yang datang dari luar. 1. Akar dan Wajah Pemikiran Islam Liberal a.
Liberalisme di Barat Perkembangan sejarah manusia, memperlihatkan tahap di mana bangsa,
masyarakat, penduduk secara lahiriah hidup di tanah sendiri dan menurut adat user istiadat sendiri tampak secara commit bebas to(merdeka) mengatur, mengurus dan 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49 mengarahkan hidupnya sendiri, mengungkapkan dan menampilkan diri lewat seni musik, drama, lukis serta menghayati agama yang dianut. Namun, pada kenyataannya meskipun hidup di tanahnya sendiri, orang-orang dalam bangsa dan masyarakat tidak sepnuhnya bebas-merdeka. Masyarakat masih diatur dengan ketat dan harus menetapi peraturan dan undang-undang oleh lembaga negara dibawah penguasa, maupun oleh agama. Dari berbagai peraturan dan undangundang baik yang secara mendasar maupun dalam praktik banyak yang menindas, tidak sesuai dengan kebutuhan zaman serta aspirasi orang-orang yang harus menaati. Dalam suasana hidup yang semakin menekan tersebut lahir pandangan dan gerakan liberalisme (Mangunhardjana, A., 1997: 148) Secara umum pandangan dan gerakan liberalisme mengedepankan nilainilai
individual,
menjunjung
tinggi
martabat
pribadi
manusia
dan
kemerdekaannya. Kaum liberalis percaya akan kebaikan dan kemampuan manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan hidupnya, optimisme terhadap pandangan bahwa semua manusia adalah baik mengakar kuat dalam pemikiran ini. Dalam bidang ekonomi, kaum liberalis menuntut
kebebasan dan
dihilangkannya segala hambatan, halangan dan pembatasan yang menghadang kehidupan ekonomi baik dalam bentuk undang-undang atau aturan-aturan. Dalam bidang politik-kenegaraan, kaum liberalis menuntut agar hak-hak politis setiap orang dilindungi dan setiap orang bebas untuk bergerak dan ikut berpartisipasi dalam bidang politik sesuai dengan aspirasi dan cita-citanya, dan mendapat perlindungan masyarakat dan negara yang diperlukan, dengan cara itu ketertiban, keamanan dan kemajuan negara akan terjamin (Mangunhardjana, A., 1997: 149). Paham liberal (liberalisme) adalah satu di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissance yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti "bebas dari batasan" (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Bertolak belakang dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan pada saat gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan commit to user manusia. Sehingga dipercayai bahwa akar ideologi Barat adalah ide pemisahan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50 agama dari kehidupan (sekularisme), yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, bidang ekonomi, maupun bidang agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (M. Shiddiq Al-Jawi dalam http://hiin.facebook.com/topic.php?uid=75026590041&topic=9232, diakses 10 Februari 2012). Pada tingkat global, cara pandang sekular-liberal gaya Barat kemudian diglobalisasi sebagai bagian dari upaya pelestarian hegemoni yang dalam logika politis merupakan hal yang wajar dan menjadi dominan. Demokratisasi liberal mengharuskan sekularisasi dan sekaligus pluralisme yang tidak membedakan manusia atas dasar agama atau ras tertentu, tetapi manusia dikotak-kotakkan atas dasar bangsa dan negara. Proses imitasi terhadap pola pikir dan budaya kekuatan dominan akan memuluskan program hegemoni di bidang bisnis dan ekonomi (Adian Husaini, 2005: 17). Faktor penting yang menjadi latar belakang sejarah panjang pergeseran Barat menjadi sekular dan liberal yang kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk di dunia Islam oleh Adian Husaini (2005: 29-30) diklasifikasikan dalam tiga faktor penting : a. trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan (Problem sejarah Kristen), b. problem teks Bible, c. problem teologis Kristen. Ketiga problema tersebut saling berkaitan sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang selanjutnya melahirkan sikap berpikir sekularliberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modern. Problem sejarah Kristen dapat dipahami melalui perjalanan sejarah peradaban Barat (Western Civilization) dengan apa yang
disebut “Zaman
Kegelapan” (the dark ages) atau “Zaman Pertegahan” (the medieval ages). Salah satu fenomena penting dalam sejarah Abad Pertengahan di Eropa adalah upaya Gereja Kristen memperoleh dan memelihara kekuatan politiknya. Agama Kristen mulai mendapatkan peluang kebebasan (setelah beratus-tahun mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi) dari Kaisar Konstantin, yang pada tahun commit to user 313 M mengeluarkan Edict of Milan yang melarang penindasan terhadap semua
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51 jenis monoteisme di Romawi dan memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Gereja untuk
menjadi
bagian dari administrasi pemerintahan.
Dengan
dikeluarkannya Edict of Theodosius pada tahun 392 M, agama Kristen memegang posisi sebagai agama negara (state-religion) dari Imperium Romawi (Romawi Empire). Di akhir masa Kekaisaran Romawi, institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami kehancuran namun institusi Gereja meraih kekuatan dan signifikansinya. Organisasi Gereja tumbuh menjadi lebih kuat dan keanggotannya semakin meningkat. Agama Kristen (Christianity) merupakan prinsip pemersatu dan Gereja menjadi Institusi yang dominan dan sentral. Tidak ada satupun aspek kehidupan di Abad pertengahan yang tidak tersentuh oleh pengaruh Gereja. (Adian Husaini, 2005: 31) Di zaman hegemoni kekuasaan Gereja lahir sebuah institusi Gereja yang terkenal kejahatan dan kekejamannya yaitu “Inquisisi”. Karen Armstrong dalam Adian Husaini (2004: 148-149), menggambarkan kejahatan institusi Kristen tersebut yang merupakan instrumen terror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad ke-17. Gereja yang memegang otoritas atau wakil Tuhan, di mana Paus adalah wakil Kristus yang diklaim mempunyai sifat Infallible (tidak dapat salah) melegalisasikan berbagai kekejaman dan penindasan. Penyalahgunaan kekuasaan Gereja justru menimbulkan pemberontakan dari dalam tubuh Gereja sendiri yang sering disebut dengan istilah “reformasi”. Pergolakan pemikiran dan pertarungan gagasan, seperti tercermin dalam kasus Copernicus, Galileo, Darwin dan para saintis yang menentang doktrin gereja dan berusaha mengembangkan kejayaan akal di atas segalanya harus mendapat konsekuensi yang tidak sederhana dari pihak Gereja (Syamsuddin Arif, 2008: 86) Hegemoni kekuasaan Gereja mengakibatkan krisis kepercayaan dalam masyarakat, Gereja dan tokoh-tokohnya dianggap telah menyimpang dan melakukan banyak penyelewengan. Pemberontakan terjadi di berbagai wilayah, beberapa di antaranya adalah Martin Luther adalah tokoh pertama yang berani melakukan protes atau pemberontakan secara terang-terangan terhadap Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five These) di pintu commit 2005: to user37). Luther terutama menentang gerejanya, di Jerman (Adian Husaini,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52 praktik jual beli surat pengampunan dosa (indulgences) oleh pemuka gereja, selain itu juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus yang telah kehilangan legitimasi akibat penyelewengan yang dilakukan, akibatnya Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Luther mempercayai bahwa konsep keselamatan hanya datang dari Tuhan, dan dasar ajaran hanya dari kitab suci bukan tradisi suci, oleh sebab itu Luther meyakini bahwa Paus tidak memiliki wewenang dalam urusan keselamatan umat. Gerakan Luther kemudian dikenal dengan Protestan yang kemudian memisahkan diri dari Katolik Roma. Pemberontakan yang terus berlangsung kemudian memisahkan dunia Kristen Eropa menjadi dua bagian besar, yaitu Katolik dan Protestan. Bukan hanya memisahkan tetapi juga menimbulkan persaingan yang dibarengi dengan berbagai aksi pembantaian. Di Prancis, pertarungan antara Katolik dan Protestan terlihat dalam kisah mengerikan pembantaian kaum Protestan (terutama Calvinists) di Paris oleh kaum Katolik yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Prancis juga dikenal dengan Revolusinya (1789) yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity” (Adian Husaini, 2005: 38) Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat juga berpengaruh terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Trauma tersebut yang kemudian melahirkan paham sekularisme dalam politik, yaitu memisahkan antara agama dengan politik. Dalam pandangan kelompok penentang hegemoni Gereja meyakini bahwa jika agama dicampur dengan politik maka akan terjadi “politisasi agama”. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi (privat) dan politik (negara) adalah wilayah publik, agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor (Adian Husaini, 2005: 39) Di sisi lain, problem yang berkaitan dengan teks Bible semakin memperkuat kecenderungan terhadap munculnya penafsiran berbeda pada makna yang terkandung di dalamnya. Mulai dari Perjanjian Lama (Hebrew Bible) yang masih menjadi misteri sampai Perjanjian Baru (The New Testament) yang juga mengalami problem otentisitas teks. Bruce M. Metzger, seorang guru besar bahasa commit toSeminary user Perjanjian Baru di Princeton Theological menjelaskan ada dua kondisi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53 yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini dan bahan-bahan yang ada bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya (Adian Husaini, 2005: 42-43). Dominasi Gereja dinilai menghambat kemajuan penelitian ilmiah karena Bible mengandung hal-hal yang kontradiktif dengan akal hingga Revolusi ilmiah (scientific revolution) yang dirintis Copernicus dengan teori heliosentrisnya dianggap bertentangan dengan ajaran Bible (Adnin Armas, 2003: 3). Selain problematika sejarah dan problem otentisitas Bible, terdapat faktor lain yang menyebabkan Barat mengarahkan perubahan menuju secular-liberal, yaitu problem teologi Kristen. Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi berbagai persoalan dalam perdebatan teologis. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi pada zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Marvin Perry dalam bukunya Western Civilization: A Brief History, menggambarkan sikap para ilmuwan dan pemikir abad pertengahan yang menolak berbagai keyakinan Kristen di luar jangkauan akal manusia karena tidak dapat ditelaah dengan argumen rasional. Bagi para pemikir di zaman pertengahan, akal tidak memiliki keberadaan yang independen, tetapi pada akhirnya harus mengakui standar kebenaran yang bersifat suprarasional dan di luar jangkauan manusia agar pemikiran logis diarahkan oleh batasan-batasan Kristen dan dituntun oleh otoritas scriptural dan keagamaan (Adian Husaini, 2005: 47) Dari problem teologi Kristen inilah muncul gagasan yang menyatakan perlunya menjembatani dan mempertemukan antara iman dan akal. Sejarah intelektual Kristen adalah serangkaian upaya mencairkan konflik faith versus reason, konflik antara dogma dan filsafat, agama dan sains, dan seterusnya. Karena itu bisa dipahami mengapa Siger de Brabant yang dikecam, Bruno dieksekusi, Galileo di-immurasi (dibakar), dan Spinoza yang dikucilkan tentu dalam usahanya mengembangkan sains (Syamsuddin Arif, 2008: 173). Sebagai suatu peradaban besar yang masih eksis hingga kini, Islam commit to user memiliki banyak perbedaan fundamental dengan peradaban Barat. Problem
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54 teologis Kristen, problem teks Bible, dan juga pengalaman Barat terhadap hegemoni Gereja selama ratusan tahun telah membentuk konsep traumatis terhadap agama sehingga muncul paham sekularisasi yang menempatkan agama pada pojok kehidupan yang sempit (Adian Husaini, 2005: 55). Kejayaan dan kemajuan Barat yang dipercaya bisa tercapai karena mampu keluar dari kungkungan hegemoni kekuasaan Gereja, tanpa disadari telah menginspirasi kalangan umat Islam yang mengaku berpandangan kritis sehingga secara mudah mengimpor gagasan sekular-liberal peradaban Barat ke dalam pemikiran Islam. b.
Liberalisme dalam Islam Pemikiran Islam liberal telah menjalar dalam berbagai peradaban,
termasuk peradaban di Timur Tengah yang justru lebih identik dengan Islam puritan atau kelompok Islam fundamentalnya. Islam liberal tampil dengan wajah dan respon yang berbeda-beda, tentu hal yang membuatnya sama adalah berbagai keinginan untuk mencapai kebebasan. Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan (harakah al-nahdhah) di kawasan Timur Tengah hampir serentak dimulai (Luthfi Assyaukanie, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/wacana-islam-liberal-ditimur-tengah2, diakses 30 April 2012). Menurut Bernard Lewis (2004: 188), argumen yang sering dijadikan dalil dalam pola hubungan antara Timur dan Barat bukanlah kemunduran Timur dalam hal ini peradaban Islam namun bangkitnya Barat yang ditandai dengan berbagai penemuan, gerakan ilmu pengetahuan, revolusi teknologi, industri dan politik sehingga Barat mampu menegakkan hegemoninya di dunia. Bagi kelompok Islam yang dikenal sebagai kalangan fundamentalis menganggap kemunduran Islam disebabkan karena negara-negara muslim telah banyak mengadopsi gagasan dan praktik yang berasal dari luar Islam. Sedangkan kelompok yang dikenal sebagai pembaharu atau reformis berpandangan sebaliknya, bahwa penyebab hilangnya keagungan Islam karena dipertahankannya cara-cara lama terutama dalam hal kekakuan banyak pemimpin agama Islam. Praktik agama yang kolot membuat para reformis mengarahkan kritikan pada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55 sikap fanatis yang mendukung terhambatnya ilmu pengetahuan Islam yang dahulu pernah jaya dan secara lebih umum atas terkekangnya kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat (Lewis, 2004: 190). Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaru Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim. Albert Hourani adalah salah seorang pengajar di Oxford’s Middle East Centre. Hourani banyak mengkaji dan menulis tentang Timur Tengah. Dalam karyanya Arabic Thought in the Liberal Age 1798 – 1939, menegaskan dalam masyarakat Arab era liberal pernah muncul dan hidup selama beberapa waktu, sebelum kemudian mengalami pasang surut dalam menghadapi berbagai perlawanan. Pemikiran-pemikiran Islam yang liberal, dalam pandangan Hourani, didorong pertama kali pada tahun 1798 ketika pasukan Napoleon Bonaparte memasuki wilayah Mesir. kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak penting bagi Muslim Liberal dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim Liberal, kedatangan itu membuka kekaguman, betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan. Kedatangan Napoleon ke Mesir bukan sekadar invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan kaum Muslim. Hourani menjadikan era liberal sebagai rujukan masa kebangkitan Islam di dunia modern. Dunia Arab kemudian menyaksikan era liberal yang ditandai dengan berkembangnya respon yang positif terhadap kemajuan Barat. Indutrialisasi, rasionalisasi, dan modernisasi adalah pilar-pilar kehidupan Barat yang menjadi perhatian bersama sebagian besar orangorang Arab. Ketiga pilar tersebut dinilai penting untuk kehidupan manusia (Rimbun Natamarga, dalam http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/01/akar-danwajah-pemikiran-islam-liberal/, diakses 11 November 2011) Semangat kemajuan Barat mendorong para pemikir muslim dan nonmuslim bersama-sama mengadakan dialog secara bebas, mengekspresikan secara bebas pemahaman terhadap agama dan budaya di tengah-tengah masyarakat Arab. commit tomemenuhi user Berbagai wacana liberal silih berganti era 1798-1939, meskipun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56 beberapa tokoh pemikir dianggap kafir oleh tokoh-tokoh agama namun semangat kebebasan berpikir tidak surut. Selama 1798-1939, era tersebut diramaikan oleh tiga generasi pemikir. Generasi pertama muncul dan mewarnai pemikiranpemikiran pada 1830-1870. Generasi ini mempertanyakan mengapa dunia Barat bisa maju dan mengapa dunia Arab dan Islam mengalami kemunduran. Dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul beberapa pemikir yang mencoba memberi jawaban. Di antaranya yang terkenal adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ AthThahthawi (1801-1873) yang disebut sebagai bapak pembaruan pemikiran keagamaan Mesir dengan kekagumannya atas Paris yang disiplin dan tertib meskipun beberapa kritikan atas materialis Prancis juga ditulis dalam karyanya, Khairuddin Pasya At-Tunisi (1825-1889), Faris Asy-Syidyaq (1804-1887) dan Butrus Al-Bustani (1819-1883). Generasi kedua muncul pada rentang 1870-1900. Gagasan dimulai dengan beberapa wacana yang lebih berani, mengenai ketertinggalan Arab dan Islam dari Barat masih dibicarakan serta juga mendiskusikan rasionalisme Barat yang perlu diterapkan dalam menjalankan Islam. Artinya, akal perlu dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu, wacana yang mulai muncul adalah masalah persamaan gender. Pada rentang waktu, dibahas isu-isu emansipasi wanita di tengah-tengah masyarakat Arab pada umumnya dan masyarakat muslim secara khusus. Di antara pemikir-pemikir generasi kedua ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) yang bisa dikatakan aktivis umat yang hampir kehidupannya dihabiskan untuk berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain demi untuk merealisasikan cita-citanya yaitu mempersatukan umat dan bersama mengusir penjajah dari bumi timur., Muhammad Abduh (1848-1905), dan Qasim Amin (1865-1908). Tokoh Islam liberal yang dianggap paling kuat pengaruhnya terhadap orientasi pemikiran intelektual di Indonesia adalah Muhammad Abduh. Kendati dididik secara tradisional dan berguru pada beberapa ulama Universitas Al-Azhar, yang sebagian besar bersikap konservatif, Abduh menunjukkan dirinya sebagai intelektual yang terbuka dan progresif. Abduh dipercaya menjadi Mufti Agung commit to user ulama yang mempertahankan Mesir. Abduh bisa dipandang sebagai seorang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57 orisinalitas Islam, sekaligus intelektual modernis yang liberal. Misalnya, selama menjadi mufti, ia mengeluarkan fatwa kontroversial. Yaitu halalnya bunga bank dan daging hasil sembelihan orang-orang nonmuslim. Tidak mengherankan bila murid-murid Abduh terpecah menjadi dua kelompok besar. Ada kelompok Abduh al-Yamånå (kelompok kanan), yang cenderung mengembangkan pemikiranpemikiran keagamaannya. Ada pula kelompok Abduh al-YasÉrå (kelompok kiri), yang lebih berusaha mengembangkan gagasan-gagasan modern (Gatra, Kholis Bahtiar Bakri, 2001: 74). Kelompok kanan antara lain, Muhammad Rasyid Ridha dan Shakib Arselan. Kelompok ini menjadi lebih fundamental pada Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Merekalah yang kemudian melahirkan gerakan Ikhwan al-Muslimun dan kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya, seperti Hizb al-Tahrir. Sementara itu, Qasim Amin dan Ali Abdur Raziq dianggap sebagai murid Abduh beraliran kiri. Kelompok kiri mencapai puncaknya pada diri Hasan Hanafi, sebagai penggagas Islam kiri. Kemudian berkembang menjadi tokoh sekuler yang radikal, seperti Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud, dan Ahmad Said. Pemikiran kelompok kiri, yang bisa disebut Islam libera di kawasan Arab mengalami perkembangan cukup pesat. Murid-murid dan simpatisan Abduh yang berkecenderungan kiri makin menyebar, tak terbatas di kawasan timur Arab, melainkan juga meluas hingga ke barat seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair (Gatra, Kholis Bahtiar Bakri, 2001: 74). Generasi ketiga pada 1900-1939. Rentang ini adalah puncak era liberal di dunia Arab sekaligus menandai akhir era tersebut. Berbagai wacana liberal muncul dan dipikirkan. Namun, tema tentang kekhalifahan Islam mengenai perlunya kekhalifahan Islam bagi masyarakat Arab dan Islam adalah hal yang sering mendatangkan perdebatan sengit di antara pemikir pada generasi ini. Memasuki dasawarsa 1920-an, wacana mulai mengerucut menjadi wacanawacana politis. Muncul isu-isu tentang nasionalisme, baik itu nasionalisme Arab, nasionalisme Turki atau bahkan nasionalisme Mesir. Keadaan ini kemudian diikuti wacana-wacana yang bersifat fundamental, di mana tokoh-tokoh mulai commit todan usermodernisasi dalam beragama. Di meninggalkan upaya-upaya rasionalisasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58 antara tokoh-tokoh pemikir pada generasi ketiga adalah Ali Abdur Raziq (18881966), dan
Thaha
Husain
(1889-1973)
(Rimbun
Natamarga,
dalam
http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/01/akar-dan-wajah-pemikiran-islamliberal/, diakses 11 November 2011). Akhir generasi ketiga era liberal dalam pembahasan Hourani bukan berarti menandakan matinya pemikiran liberal dalam Islam selama-lamanya. Kemunculan gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan negara Israel adalah beberapa sebab signifikan yang mendorong kebangkitan kembali pemikiran liberal di dunia Arab dan terkhusus lagi di tengahtengah kaum muslimin di dunia. Tampil dengan corak yang lebih baru, era liberal yang kedua dimulai ketika negara-negara Arab kalah dalam Perang Tujuh Hari melawan Israel pada 1967. Setelah kekalahan itu, muncul tulisan-tulisan dengan semangat yang sama ketika era liberal pertama berlangsung. Di antara nama terkenal yang membawa semangat ini adalah Zaki Najib Mahmud, Najib Mahfouz, Nawal el Sadawi, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Adonis, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Khalid Abul Fadhl. Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan telah menyebar ke negara-negara Islam termasuk Indonesia. Tulisan-tulisan tokoh-tokoh ini dikaji dalam diskusi-diskusi, bahkan kadang kala beberapa pemikir itu pun diundang untuk berbicara langsung (Syamsuddin Arif, 2008: 78). Menurut Lutfi Assyaukanie, dosen filsafat dan sejarah pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, ruang gerak Islam liberal pada dasarnya mengalami hambatan. Islam liberal tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat secara luas. Bahkan cenderung mengalami konflik serius, karena berbenturan dengan otoritas agama dan masyarakat (Gatra, Kholis Bahtiar Bakri, 2001: 74). Misalnya kasus yang menimpa intelektual Mesir, Nasr Abu Zayd. Ia terpaksa diasingkan
ke
Belanda
oleh
Universitas
Al-Azhar,
karena
pemikiran-
pemikirannya yang kontroversial. Yang tragis adalah nasib Mahmud Mohammed Taha. Intelektual Sudan ini dihukum mati oleh pemerintah fundamentalis Sudan. Intelektual liberal, seperti Ahmad Khalafallah, Najib Mahfouz, Fuad Zakariyya, user mengalami beberapa pelecehan. Muhammad Syahrour, dan Hasancommit Hanafi,tojustru
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59 Akibatnya, menyebabkan tokoh-tokoh tersebut tidak mempunyai ruang gerak untuk berekspresi sesuai dengan keyakinannya. Tidak aneh jika di antarany ada yang pindah ke negara-negara Barat, seperti Mohammed Arkoun seorang pemikir asal Aljazair yang menetap di Prancis. Di Indonesia, gagasan Islam liberal yang pernah dirintis, antara lain, oleh Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Munawir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid juga mengalami nasib serupa dengan mendapat kecaman dan tuduhan sesat, bahkan dianggap sebagai agen zionis yang ingin merusak Islam. Meskipun pengalamannya tidak seburuk yang dialami intelektual Islam liberal di kawasan Timur Tengah, menurut Ulil Abshar Abdalla, gagasan Islam liberal sebenarnya telah gagal. Buktinya, tidak ada yang bisa diperbuat para intelektual Islam liberal Indonesia pada saat kekerasan atas nama agama terus berkecamuk, bahkan fundamentalisme dan ekstremisme agama semakin kuat. Kegagalan Islam liberal, menurut Ulil, antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Berbeda dengan kelompok fundamental yang memiliki infrastruktur jaringan umatnya yang solid dan sudah terbangun lama. Dalam pandangan Lutfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal terlalu elitis, dan tidak mengakar ke masyarakat bawah. Pada masa awal kebangkitan Islam liberal, pemegang isu-isu pembaruan adalah tokoh-tokoh agama yang memiliki otoritas dan berpengaruh di masyarakat, seperti Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, dan Qasim Amin. Sedangkan di Indonesia, gagasan lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti, yang tidak mengakar di masyarakat. Akibatnya, masyarakat merasa asing dengan isu-isu pembaruan. Bahkan, mereka menjadi reaktif karena menerima doktrin bahwa gagasan Islam liberal adalah sesat (Gatra, Kholis Bahtiar Bakri, 2001: 75). 2. Masuknya Pengaruh Islam Liberal ke Indonesia Berkembangnya Islam liberal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari besarnya peran orientalis yang mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh dan generasi muda Muslim serta masuknya penjajah Barat ke tanah Indonesia yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60 secara langsung menerapkan sistem liberal dalam berbagai bidang kehidupan termasuk urusan agama. a. Orientalisme Orientalisme adalah gerakan pemikiran dan berbagai studi orang Barat (nonmuslim) tentang Timur (Islam) yang mencakup pokok syariat Islam, ilmu, peradaban, sastra, bahasa, dan kebudayaan. Gerakan pemikiran tersebut telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat tentang Islam. Mengopinikan kemunduran pola pikir umat Islam dalam rangka pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat yang kemudian bergerak dengan berbagai motif, mulai motif agama, ekonomi dan penjajahan, politik, maupun keilmuan. Orientalis menjadikan ilmu sebagai alat untuk menggerogoti da’wah Islam dan bersembunyi di balik pembahasan dan penelitian ilmiah. Memasukkan bibit-bibit (benih-benih) kebatilan terutama ke dalam Syari’ah Islamiyah, masalah-masalah Fiqih, muamallah dan lain-lain, dengan sengaja menyusun halhal menyesatkan terhadap generasi muda Islam, yang belajar kepada orientalis, memantapkan serta memberikan hal-hal yang membuat orang merasa cukup terhadap pikiran-pikiran yang merusak dan berbahaya, kemudian menarik secara halus agar para mahasiswa yang belajar dengan Orientalis dan yang belajar di Barat bergabung dengan Orientalis dalam merusak dan tanpa disadari mencaricari kejelekan Islam (Abdul Mun’im Hasanain, 2008: 10). Di antara cara orientalis dalam menggerogoti da’wah Islam adalah membenamkan umat Islam ke dalam pemikiran yang menyesatkan terutama generasi mudanya dengan memalingkan dan mengaburkan ajaran Islam yang telah memiliki landasan jelas (Al-Qur’an serta Hadist). Faham-faham tersebut diajarkan dengan memperlihatkan Firman Allah yang sesuai dengan pemahaman orientalis, tentu dengan tujuan menciptakan keragu-raguan dalam jiwa-jiwa umat Islam. Seperti melanggengkan materialism, faham yang mementingkan nafsu dan kesenangan dunia. Eksistensialisme, aliran kebebasan yang merupakan kelanjutan dari materialism modern. Ditanamkan pada pemuda-pemuda Islam untuk pendangkalan, yang dianggap sebagai commitgerakan to user kebebasan. Peranan besar yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61 dilakukan oleh oriental untuk menyesatkan pemuda-pemuda Islam dengan semboyan
“Gerakan
pembebasan
yaitu
bebas
dari
Agama,
akal
dan
perikemanusiaan supaya mereka menjadi hewan yang lebih sesat, tidak khawatir lagi pada bahaya-bahaya kolonialis, dan Orientalis untuk memerangi Islam dan penggerogotan da’wahnya”. Selain itu, Orientalis juga menyebarkan faham kepada ilmuwan Islam, agar memisahkan antara ilmu dengan agama (yang disebut Sekularisme), yaitu propaganda dengan Orientalis
-
IndoForum
wajah intelektualisme (Islam dan
http://www.indoforum.org/t239248/#ixzz1ytiaHLsV,
diakses 26 Juni 2012) Menurut Syamsuddin Arif (2008: 282), orientalisme dalam arti kata kajian terhadap kebudayaan dan peradaban Timur telah bermula paling tidak setelah terjadi kontak dan interaksi antara orang-orang Yunani dengan orang Mesir Kuno, Babylonia, dan Persia. Sedangkan di abad pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari karya-karya ilmuwan Islam bahwa “Cahaya berasal dari Timur” (Ex Oriente Lux). Kemudian sejak zaman Renaissance, orientalis bukan hanya mempelajari bahasa, agama dan peradaban Mesir Kuno, Parsi, Zoroaster, Arab dan Islam, tapi juga bahasa dan peradaban India, Cina dengan agama Hindu dan Budhanya. Namun dengan motif dan tujuan yang lebih sempit, yaitu sebagai alat dan senjata untuk menjajah, menguasai, dan mempengaruhi bangsa dan peradaban Timur yang membawa slogan 3G (gold, glory, gospel). Atas motif tersebut maka lahirlah orientalis (seperti: Goldziher, Alphonse Mingana, Noldeke, Hurgronje, Lewis, Arthur J., Binder, dll) yang mendalami kajian Timur untuk menghancurkan Islam. Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis Yahudi terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Pada usia 16 tahun, Goldziher telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Nabi Muhammad SAW. Prof. Ahmad Muhammad Jamal commitJamal, to user Goldziher melontarkan tuduhan mengkritik keras karyanya. Menurut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62 bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain (Yahudi, Nasrani, Majusi dan pemuja berhala) yang sengaja dipilih Muhammad. Menurut Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher sama halnya ketika turun Al-Qur’an, orang-orang Musyrik juga menyatakan Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain
(Tabrani
dalam
http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosok-
orientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012). Pada tahun 1927 Alphonse Mingana, pendeta asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa IbraniArami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. Pernyataan orientalismissionaris tersebut
dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan
Yahudi terhadap kitab sucinya dan juga disebabkan oleh kecemburuannya terhadap umat Islam dan kitab suci nya Al-Quran (Syamsuddin Arif, 2008: 3). Jauh sebelum Mingana, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Fluegel menerbitkan mushaf hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu dinamakan Corani Textus Arabicus. Naskah ini sempat dipakai tadarrus oleh aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) (http://annastacy.wordpress.com/2008/06/29/tokoh-idola-uli-abshar-abdallaorientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana-keislaman-mutakhir/, diakses 26 Juni 2012). Kemudian datang Theodor Noeldeke seorang pakar semitik Jerman yang menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin. Pada tahun 1859 tulisannya tentang Sejarah Al-Qur`an memenangkan penghargaan dari French Academie des Inscription. Noeldeke yang ingin merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860). Tulisan Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul: The Origin of the Qur’an (1909). Pada tahun 1919 Schwally menyelesaikan edisi keduanya dengan judul The Collection of The Qur’an. Schwally juga merintis penyusunan, user Schwally meninggal, usahanya penyusunan buku The History of commit the Text.toSetelah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63 dilanjutkan oleh Bergstassser dan terakhir disempurnakan oleh Otto Pretzl. Jadi buku tentang Sejarah Al-Qur’an itu ditulis oleh beberapa orientalis yang terus menerus disempurnakan. Hasil karya tersebut menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis. Taufik Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur’an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku “Rekonstruksi Sejarah Al-Quran”
(Tabrani
dalam
http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosok-
orientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012) Pada tahun 1937, Arthur Jeffery datang dengan ambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, berkeinginan merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang dianggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Quran tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia II berkecamuk (Syamsuddin Arif, 2008: 5). Christian Snouck Hurgronje, orientalis yang banyak dikenal masyarakat Indonesia. Snouck meraih gelar sarjananya di Fakultas Teologi, Universitas Leiden. Kemudian Snouck melanjutkan ke jurusan sastra Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun. Disertasinya tentang Perjalanan Haji ke Mekkah (Het Mekkanche Feest). Tahun 1884 Snouck pergi ke Jeddah sampai 1885, Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam dengan menggunakan nama Abdul Ghaffar agar bisa ke Mekkah dan menjalankan ibadah haji, namun enam bulan kemudian diusir karena terbongkar jati dirinya. Snouck kembali ke Belanda sebagai lektor di Universitas Leiden hingga tahun 1887. Selanjutnya Snouck tinggal di Indonesia, dengan kedudukan sebagai penasihat pemerintah Belanda. Selain itu, juga menulis De Atjehrs (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894). commit to user Dalam disertasinya Het Mekkanche Feest, Snouck menjelaskan arti ibadah haji
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64 dalam Islam, asal usul dan tradisi yang ada di dalamnya dan mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliyah (http://myquran.org/forum/index.php?topic=65952.0, diakses 26 Juni 2012). Keinginan orientalis untuk terus meningkatkan keragu-raguan di kalangan umat Islam tidak pernah surut bahkan semakin gencar dengan cara-cara baru sampai tujuan yang diinginkan benar-benar tercapai, seperti tercantum dalam Al-Qur’an: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (QS. Al-Baqarah {2}: 120). Pada tahun 1930, Samuel Zwemer pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem menyatakan: "Misi kolonialisme dan misionaris terhadap Islam bukanlah menghancurkan kaum Muslimin. Namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar dia menjadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam." Samuel Zwemmer yang juga orientalis-Yahudi ini bahkan mendirikan Jurnal the Muslim World, namun isinya bukan untuk membela Islam bahkan ingin melemahkannya. Bahkan pada tahun 1978 di Colorado, tepatnya di Green Area, Amerika Serikat (AS)
seluruh
melumpuhkan
pendeta
dunia
berkumpul
umat
Islam.
(Qosim
untuk
membicarakan
Nursheha
strategi
Dzulhadi
dalam
http://www.akhirzaman.info/islam/miscellaneous/1256-metode-studi-islamorientalis-bahayakan-keilmuan-islam.html, diakses 30 Juni 2012) Selain itu, lahir juga orientalis modern dengan berbagai karyanya yang banyak menjadi rujukan dan menginspirasi intelektual muslim Indonesia khusunya yang tergabung dalam kelompok Islam liberal. Leonard Binder adalah seorang Yahudi yang dikenal sebagai ahli Internasional untuk bidang Politik Timur Tengah dan Pemikiran Politik Islam ini juga memperoleh gelar Guru Besarnya dengan sponsor dari University Of California Los Angeles (UCLA). commit to user Dalam malakukan panelitian Binder sering bersama-sama Fazlur Rahman. Di
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65 antara penelitiannya adalah tentang “Islam dan Perubahan Sosial”. Riset yang dibiayai oleh Ford Foundation itu melibatkan puluhan ahli dan meneliti lima masalah pokok (Binder, 2001: v). Hasil risetnya kemudian di bukukan oleh Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity : Tranformation of an Intellectual Tradition (1982). Di antara karya-karya yang telah dipublikasikan: Religion and Politics in Pakistan (1961), Iran : Poolitical Development in a Changing Society (1962), The Ideological revolution in the Middle East (1964), In a Moment of Enthusiasm : Political Power and the second Stratum in Egypt (1978), Islamic Liberalism(1988) (Moh. Rofiq dalam http://musrofiq.blogspot.com/2012/06/vbehaviorurldefaultvmlo_13.html#!/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo_13.html, diakses 26 Juni 2012). Philip K. Hitti, Guru Besar Emeritus Sastra Semit di William and Annie S. Paton Foundation, Universitas Princeton, selama beberapa dasawarsa diakui oleh dunia internasional sebagai ahli Islam (orientalis) yang paling berbobot di Barat. Salah satu karyanya, Islam and the West : An Historical, Cultural Survey, meskipun ringkas namun secara garis besar menyoroti berbagai hal paling penting mengenai hubungan antara dua peradaban yang berlawanan (Islam dan Barat) semenjak abad pertengahan hingga sekarang. Selain itu Bernard Lewis, sejarawan Yahudi Inggris-Amerika yang menjabat sebagai Profesor Kehormatan bidang Timur Tengah di Universitas Princeton. Lewis mendalami sejarah Islam serta interaksi kebudayaan Barat dan Islam. Lewis adalah salah satu dari sedikit cendekiawan Eropa diizinkan untuk mengakses arsip dari Kekaisaran Ottoman di Istanbul. Selain itu dalam studi sejarah keislaman, telah diterbitkan terjemahan klasik Arab, Turki, Persia dan puisi Ibrani. Beberapa karya Lewis di antaranya , The Arabs in History , What Went Wrong? and The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror. Selain orientalis-orientalis tersebut, masih banyak orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu. Bahkan kini mendirikan Islamic-Islamic Studies di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejaknya. Di commit to userC Smith dengan konsep World antara tokoh yang terkenal adalah Wilfred
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66 Theology yang digulirkan Smith lahir sebagai respons terhadap proses globalisasi sehingga muncul keharusan mengkaji ulang terminologi agama dan Samuel P. Huntington dengan teori Benturan Peradabannya. Ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya. Seperti John L Esposito dan Karen Armstrong. Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, namun tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh “Islam Radikal”. Karen Armstrong menyamakan “Islam Fundamentalis” dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam (Tabrani dalam http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosokorientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012) b. Kolonialisme di Indonesia Kedatangan penjajah Belanda dan Portugis ke Indonesia dengan melaksanakan program trilogy Imperialisme, yaitu Gold, Glory, Gospel, sangat jelas memperlihatkan bahwa di samping untuk menguasai kekayaan alam , para penjajah berusaha untuk menyebarkan agama, dalam hal ini adalah Kristen. Kekhawatiran akan munculnya kekuatan Islam yang akan melawan hegemoni penjajah, mengingat Islam adalah mayoritas di Hindia Belanda maka pemerintah kolonial berupaya untuk mempersempit peran Islam (Adian Husaini, 2005: 371). Pemerintah baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran Aufklarung atau Enlightenment memerintah di Indonesia, mulai diterapkan politik pengajaran liberal (Haidar Putra Daulay, 2007: 29). Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : a. dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; b. dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; c. dalam bidang politik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67 atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Aqib Suminto, 1985: 12). Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. Namun beberapa tahun setelah keluar Undang-undang tersebut beberapa pemberontakan terjadi, hal ini tentu melatarbelakangi penyimpangan kebijaksanaan netral pemerintah kolonial demi terpeliharanya ketertiban dan keamanan. Puncaknya pada tahun 1882 Lembaga Peradilan Agama diresmikan oleh pemerintah, dengan demikian maka politik tidak mencampuri masalah agama telah berakhir. Sejak itulah pemerintah semakin mencampuri agama Islam, terutama di bidang pendidikan (Aqib Suminto, 1985: 27-29). Selanjutnya, Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad ke-20 semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakannya disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama (Deliar Noer, 1991: 183). Bidang pendidikan menjadi jalur pilihan penjajah dalam memperluas liberalism. Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dipengaruhi ide-ide pembaruan pemikiran Islam yang juga memasuki dunia pendidikan. Terlihat dari munculnya upaya-upaya pembaruan dalam bidang materi, metode. Bidang materi tidak hanya berorientasi pada mata pelajaran agama, tetapi dimasukkan pula mata pelajaran umum. Metode pengajaran telah lebih bervariasi, tidak lagi semata-mata membaca kitab dalam bentuk sorogan dan wetonan. Hingga bentuk lembaga pendidikan Islam yang tidak lagi berorientasi pada ilmu agama saja (Haidar Putra Daulay, commit to user 2007: 35).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68 Selain faktor kolonialisasi masa pemerintahan Hindia-Belanda, pada abad ke 20 dan 21 mulai banyak generasi muda Muslim yang memutuskan untuk belajar keislaman di negara-negara Barat (Eropa, Amerika dan Australia) di bawah bimbingan mahaguru bukan Muslim (Yahudi, Nasrani, ataupun atheis) dan dengan bahasa pengantar selain Arab (Syamsuddin Arif, 2008: 280). Hal ini telah membentuk pandangan atau pemahaman generasi muda Muslim dalam mengkritisi Islam. Bibit-bibit sekular telah benar-benar tertanam di Indonesia, bahkan setelah pemerintah kolonial Belanda meninggalkan tanah jajahan, bukan berarti paham sekular telah hilang. Beberapa peristiwa yang memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh dan aturan yang ditetapkan masa penjajahan masih diwarisi oleh tokoh-tokoh bangsa. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rezim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Menurut Adian Husaini (2005: 374), dapat dicermati dalam sidangsidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Salah satu hal penting untuk diingat adalah seputar pembentukan konstitusi negara Indonesia. Perdebatan terjadi antara dua kelompok yaitu kelompok nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekular (golongan kebangsaan). Perdebatan dalam BPUPKI diakhiri dengan pembentukan Panitia Sembilan yang berhasil menyusun suatu Gentlemen’s Agreement, yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Tetapi dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Piagam Jakarta digugat oleh seorang Kristen dari Maluku bernama Latuharhary, dengan alasan akan dapat mengalami kesulitan dalam aplikasinya di berbagai daerah, khususnya ketika berhadapan dengan adat istiadat. Sehingga, Piagam Jakarta yang sudah disepakati di BPUPKI dihapus, dengan alasan ada keberatan dari pihak Kristen Indonesia Timur yang menghendaki dicoretnya kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mohammad Natsir menyebut ini sebagai “peristiwa to user ultimatum terhadap Republik commit Indonesia yang baru saja diproklamirkan”.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69 Kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkar, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Pemerintahan yang sekular tidak hanya berhenti dalam perjalanan sekitar proklamasi, dari awal masa Orde Baru sampai sekitar tahun 1988 dapat disebut sebagai tahapan antagonis antara pemerintah dan Islam, di mana semakin memperlihatkan sekularisasi dan deislamisasi. Pengembangan gagasan dan pemikiran rasional di Indonesia, secara langsung terlihat dari beberapa program Departemen Agama masa Orde Baru dengan mengirim para sarjana IAIN untuk melanjutkan studi dan belajar ilmu-ilmu Islam di negeri Barat pada kaum orientalis (Budi Handrianto, 2007: 57). Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam dan secara cepat meluas dalam berbagai aspek. Proyek imperialis yang masuk melalui jalur pendidikan menjadi alur terprogram dan memberikan pengaruh besar bagi pandangan ideologis negara Indonesia cenderung berpihak pada Barat
yang dinilai sukses dalam
pengembangan Ilmu pengetahuan sehingga negara-negara Barat berhasil maju pesat, dan Indonesia pantas belajar dari para orientalis. Dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini berwujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang mengharuskan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. Dalam bidang agama, liberalisme diwujudkan dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah commit to user pluralisme nilai-nilai peradaban Barat yang mengedepankan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70 Gagasan liberalisasi Islam tampak nyata masuk dan berkembang di Indonesia, terlihat dengan hadirnya Nurcholish Madjid dengan ide pembaruannya tahun 1970-an. Menurut Ulil Abshar Abdalla, tradisi liberal sebenarnya sudah ada dan berkembang kuat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak 1980-an, banyak isu-isu sensitif dalam Islam yang dipecahkan oleh NU dengan tidak biasa. Mulai dari Pancasila sebagai asas tunggal, bunga bank, bank konvensional, sampai ke isu insklusivisme Islam Indonesia. Wajar, jika citra NU sebagai organisasi Islam tradisionalis, sudah lama harus ditinggalkan. Sejak 1970-an, sudah dapat dikatakan mengisi posisi yang pernah ditempati Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) pada 1920-an. Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, meyakini bahwa posisi sebagai kelompok Islam konservatif sekarang ini justru dipegang oleh Muhammadiyah dan Persis (Rimbun Natamarga, dalam http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/01/akar-dan-wajah-pemikiran-islamliberal/, diakses 11 November 2011). 3. Politisasi Agama Pasca Orde Baru Banyak kalangan menganggap bahwa masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah rezim Soekarno maupun era Orde Baru Soeharto adala rezim yang tidak apresiatif terhadap Islam, bahkan dipandang telah melakukan proses peminggiran aspirasi umat Islam di Indonesia (Syarif Hidayatullah, 2010: 27). Permasalahan besar dan mendasar yang dihadapi pemerintah masa Orde Baru telah mendorong penentu kebijakan untuk melakukan rekontruksi sistem ekonomi dan politik yang diarahkan kepada modernisasi dengan menggunakan pendekatan pragmatis dalam pemecahan permasalahan yang justru mengundang perbedaan pendapat yang tajam antara tokoh-tokoh muslim dengan intelektual sekuler. Kebijaksanaan berkembang bersamaan dengan restrukturisasi partaipartai politik, serta pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan sosial politik dan organisasi masa (Asas tunggal Pancasila). Keharusan pemberlakuan asas tunggal, berimplikasi kepada peniadaan asas, serta ciri yang menjadi identitas organisasi politik dan organisasi masa, sehingga peluang membangkitkan Islam Politik secara ideologis menjadi tertutup. Puncaknya adalah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71 penerapan konsep masyarakat politik birokratik yaitu satu sistem politik di mana kekuasaan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan nasional, terbatas pada lingkaran pegawai-pegawai pemerintah terutama perwira-perwira militer dan pejabat-pejabat tinggi birokrasi termasuk di dalamnya para tehnokrat (Muslih Fuadie, dalam http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/11/usahamemahami-ide-pembebasan-telaah-sosiologis-atas-pembaharuan-nurcholishmadjid-1970-1972/, diakses 9 Juni 2012) Perubahan setting politik pasca Orde Baru tanpa diduga memberi ruang bagi berkembangnya wacana penegakan syariat Islam di Indonesia. Pro dan kontra tentu bermunculan, setiap kelompok mengajukan argumentasi untuk meneguhkan pendirian masing-masing, argumentasi yang dibangun tidak lagi ditujukan untuk berusaha meyakinkan pihak lain, tetapi justru melakukan stigmatisasi satu sama lain. Di mata kelompok pro pelaksanaan syariat, kelompok yang menolak syariat dianggap
Islamophobia.
Sementara
kelompok
anti
pelaksanaan
syariat
memandang sebagian kelompok pro pelaksanaan syariat sebagai orang-orang yang
hendak
melakukan
politisasi
agama
(Arskal
Salim
dalam
http://islamlib.com/id/artikel/islam-di-antara-dua-model-demokrasi, diakses 19 Februari 2012). Pada saat rezim Orde Baru tumbang, euphoria reformasi telah mendukung kebebasan tanpa batas sebagai bentuk pelampiasan kegagalan pemerintah orde baru. Semangat demokrasi memberikan landasan bagi kelompok Islam untuk menjalankan kembali aktivitasnya yang sempat dikurung masa Orde Baru. Munculnya kelompok Islam radikal (yang lebih dikenal dengan Islam fundamentalis) di garis depan mengambil bagian dari euphoria tersebut. Pada saat beberapa kelompok fokus kampanye damai untuk pelaksanaan syari’ah Islam, kelompok lain menggunakan cara-cara kekerasan seperti penyerangan sporadis pada tempat-tempat hiburan dan jihad dengan berbagai asumsi perang fisiknya. Krisis tersebut digunakan sebagai dasar kelompok Islam radikal untuk memproklamirkan Islam murni sebagai satu-satunya solusi bagi krisis multidimensional (Masdar Hilmy, 2009: 154). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72 Dalam perspektif historis dan sosiologis, politisasi agama berkembang pada saat suatu komunitas agama tertentu mengalami proses marginalisasi dalam kehidupan yang terus berubah. Ketidakmampuan merespons kehidupan, membuat kelompok tersebut meneguhkan identitas dirinya melalui simbol dan atribut keagamaan. Melalui peneguhan tersebut kelompok ini berusaha membedakan diri dari kelompok lain. Pada waktu yang sama, akan merasa memiliki energi baru untuk melawan kelompok atau umat yang selama ini dituding sebagai penyebab ketidakberdayaannya. Selain itu, juga bisa terjadi ketika rezim penguasa berkeinginan melanggengkan kekuasaannya sehingga mencari legitimasi pada agama. Dengan legitimasi agama, kekuasaan yang dipegang dimanifestasikan sebagai titah ilahi yang tidak boleh diganggu gugat, serta harus dipatuhi secara mutlak. Politisasi agama membuat ajaran agama akan terpangkas dari nilainya yang universal. Ajaran agama ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi temporal, lokal, atau sektarian. Agama menjadi alat kepentingan sekelompok manusia tertentu, baik elite penguasa, kelompok oposisi, atau kaum agamawan sendiri. Masing-masing menjadikan agama sebagai ajaran yang bersifat reaktif guna meneguhkan ambisi, kepentingan, memberantas perbedaan, dan melawan segala sesuatu yang dianggap bertentangan atau berbeda dengan pandangan atau kepentingan kelompok tertentu (Abd A’la, 2002: 4). Keberagaman respon pemikir politik Islam kontemporer dalam menanggapi sistem politik Barat menjelang abad ke-19, dengan penetrasi Barat ke Dunia Islam juga membawa konsep politik yang baru bagi kaum Muslim. Pertikaian yang berkelanjutan di antara sesama Muslim tentang bagaimana seharusnya respon dunia Muslim terhadap nilai-nilai Barat. Kelompok konservatif merespon dengan penolakan sepenuhnya yang percaya dengan paradigma bahwa hubungan antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Asumsi tersebut ditegakkan berdasarkan pemahaman bahwa Islam adalah satu agama yang sempurna dan mempunyai kelengkapan ajaran di semua segmen kehidupan manusia termasuk di bidang praktik kenegaraan, pandangan ini yang mengilhami gerakan fundamentalisme (Zainal Abidin Amir, 2003: 14-15) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73 Menghindari reduksi agama semacam itu, sekularisasi menjadi signifikan untuk diangkat. Menurut Cassanova, sekularisasi sebagai proses sosial adalah konseptualisasi dalam proses modernisasi sosial yang berbentuk diferensiasi wilayah sekular dari institusi keagamaan. Berdasarkan sekularisasi semacam itu, politik (dan aspek-aspek sejenis yang bersifat sekular) disikapi sebagai persoalan duniawi yang tidak dapat dilepaskan dari perubahan dan kehidupan yang terus berkembang. Dimensi kehidupan tidak dapat dianggap sakral sehingga disamakan dengan aspek keimanan dan sejenisnya. Aspek tersebut merupakan persoalan yang dinamis sehingga harus dibedakan dengan keyakinan dan ritual-ritual keagamaan yang tidak akan pernah mengalami perubahan. Sekularisasi mensyaratkan dimensi kehidupan sekular yang harus dibedakan dari nilai-nilai agama yang sakral, tetapi pada saat yang sama kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan. Agama dijadikan sebagai pijakan bagi persoalan kehidupan yang dinamis: politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pendidikan (Kompas, Abd A’la, 2002: 4). Di Indonesia muncul gerakan Islam Liberal, yang cenderung moderat dalam melemparkan isu-isu keagamaan global. Tema-tema moderat Islam Liberal, dilengkapi arus lain dari tumbuhnya moderatisme Islam Indonesia, yakni, posttradisionalisme Islam (postra), yang digerakkan anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran kelompok ini, terlihat hendak meneguhkan moderatisme Islam Indonesia, yang sebenarnya secara organisatoris telah lama dikembangkan secara dominan oleh dua varian pergerakan Islam terbesar di Indonesia, yaitu: NU dan Muhammadiyah. Kehadiran dua arus utama moderatisme Islam Indonesia (Islam Liberal plus Post-Tradisionalisme Islam), tidak terlepas dari kemunculan fenomena fundamentalisme-radikal yang semakin ekspresif pasca Orde Baru. Kehadiran kelompok-kelompok yang sering melakukan aksi-aksi, yang dalam konteks tertentu mengedepankan kekerasan,
dengan dalih
memberantas
kemaksiatan dan melindungi kaum Muslim dari keteraniayaan (semisal kasus Maluku dan Poso), bagaimanapun menunjukkan sisi lain citra Islam Indonesia. Namun citra yang terbentuk oleh mengerasnya kelompok fundamentalismecommit user menguntungkan, terutama bila radikal di Indonesia, dalam banyak hal tokurang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74 dilihat dari sisi moderatisme Islam. Dalam konteks ini, Islam moderat, bertugas mencairkan kebekuan dengan menampilkan Islam dalam tema perdamaian, dialogis, dan toleransi (Kompas, M. Alfan Alfian M, 2002: 5). Islam moderat, bila ditinjau dari pilihan atas doktrin amar ma’ruf nahi munkar, pilihannya lebih terletak pada amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan). Maka, pendekatan yang digunakan lebih dialogis dan persuasif, daripada kekerasan. Sementara pihak fundamentalisme-radikal, memilih nahi munkar (mencegah kejahatan). Maka, terlihat gerakan-gerakannya yang massif dan cenderung memakai kekerasan, terpaksa dilakukan dengan dalih demi memberantas kejahatan dan kemaksiatan. Persoalannya adalah, bagaimana penegakan hukum dilakukan di Indonesia, sehingga kelompok-kelompok fundamentalisme-radikal tidak bertindak sendiri, meskipun didasari niat baik, tetapi tetap melanggar hukum positif di Indonesia. Dalam konteks ini, sebenarnya tidak bisa dipertentangkan atas kedua doktrin tersebut. Maka, kelompok Islam moderat juga bertugas membendung tindakan fatal kelompok fundamentalismeradikal. Meskipun dominan kelompok Islam moderat di Indonesia, kurang memiliki daya greget, dan seolah kurang mampu menjawab banyak pertanyaan seputar realitas dinamika keislaman dan keindonesiaan, kecuali melalui wacanawacana
semata.
Inilah
yang
membuat
kelompok
fundamentalis-radikal
mengerucut, seolah mengambil-alih hal-hal yang di lapangan tidak dilakukan kalangan moderat. Oleh karena itu, dalam konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderat, bukan hanya bergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata di lapangan. Kalangan Islam moderat harus berjuang meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmonisan dalam konteks multikulturalisme Indonesia (Kompas, M. Alfan Alfian M, 2002: 5). Namun di sisi lain Islam Liberal yang cenderung moderat juga mengalami tantangan dalam sepak terjangnya. Sidik Jatnika dalam Adian Husaini dan Nuim Hidayat (2002: 122), mencatat bahwa agen gerakan Zionisme di Indonesia yang paling mutakhir adalah gerakan dengan membonceng euphoria reformasi. Atas nama kebebasan, hak asasi manusia secara terang-terangan mulai commitberbagai to user perilaku penyimpangan sosial memperjuangkan pengakuan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75 maupun seksual sebagai realitas yang harus dihargai dan diberi hak hidup di Indonesia. Kelompok ini dengan lantang mengkampanyekan agar komunisme dan atheisme ataupun pemujaan terhadap setan di beri hak hidup di Indonesia seperti sebuah agama atu ideologi. Bahkan tidak malu memperjuangkan agar pelacuran, homoseksual, lesbian dianggap sebagai profesi dan perilaku yang sah keberadaannya. Namun, jika masyarakat melakukan penggrebekan terhadap para pelaku penyimpangan tersebut justru masyarakat yang disalahkan karena dianggap telah melanggar hak individu manusia. 4. Lahirnya Jaringan Islam Liberal di Indonesia Jaringan Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari ajang diskusi di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur. Ulil Abshar Abdalla bersama Ahmad Sahal, editor jurnal Kalam dan Goenawan Mohamad, redaktur senior majalah Tempo adalah penggagas kehadiran Komunitas Islam Utan Kayu. Jauh sebelum Komunitas Islam itu lahir, Utan Kayu sejak 1996 telah menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema ‘pembaruan’ pemikiran Islam. Akhir tahun 1999 para pengusung wacana Islam Liberal menemukan titik temu dan sepakat mendirikan wadah diskusi yang tanpa basa-basi membawa bendera Islam liberal dengan nama ‘Jaringan Islam Liberal’ yang lebih dikenal dengan JIL pada 8 Maret 2001 (Gatra 8 Desember 2001: 66-67). Beberapa tokoh Jaringan Islam Liberal yang berada dalam jajaran pendiri menunjukkan sikap kritis bukan hanya karena lingkungan yang mendukung sikap kritisnya dalam menelaah konsep-konsep Islam namun dari perjalanan pendidikan yang dilalui memberikan warna dalam menggagas Islam liberal. Goenawan Muhammad adalah seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah memperjuangkan kebebasan commit to user berbicara dan berpikir melalui
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76 berbagai tulisan yang mengangkat tema HAM, agama, demokrasi dan organisasi yang didirikannya. Meskipun jarang memberikan pernyataan tentang Islam liberal dan pluralisme, Goenawan adalah tokoh yang paling berperan bagi tumbuhnya bibit-bibit Islam liberal di Indonesia melalui perannya di media, memfasilitasi terbentuknya kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan jabatannya sebagai pemimpin redaksi beberapa majalah termasuk majalah Tempo yang sering mengangkat Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Ulil Abshar Abdalla hingga dikenal secara nasional bahkan menjadi ditokohkan oleh masyarakat (Budi Handrianto, 2007: 110). Nama Islam liberal menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosialpolitik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Pelopor JIL percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Dan kemudian memilih satu jenis tafsir, dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam Liberal, membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Kehadiran JIL semakin melengkapi Komunitas Utan Kayu, menjadi perpaduan antara kebebasan seni-budaya dan agama. Berawal dari dunia maya, JIL mulai menyebarluaskan pemikiran dan tulisan tokoh-tokohnya, menjadikan mailing list (milis) yang tergabung dalam
[email protected] sebagai media diskusi dan berdebat secara bebas. Diskusi pertama yang menjadi cikal bakal terbentuknya JIL terjadi pada tanggal 21 Februari 2001 dengan topik “Akar-akar Liberalisme Islam : Pengalaman Timur Tengah” yang di presentasikan oleh Luthfi Assyaukanie. Dari diskusi mengenai wacana Islam liberal di Timur Tengah kemudian muncul gagasan untuk membuat sebuah website sebagai wahana ajang diskusi secara luas yang dapat diakses masyarakat umum dalam www.islamlib.com. Islam Liberal melekat bukan hanya sebagai formalisasi nama website, namun telah terlihat dalam berbagai diskusi yang ingin mencari sebuah model Islam yang bebas, mencerahkan dan penuh dengan toleransi. Pasca runtuhnya commit sebagai to user bentuk reformasi. Namun seiring rezim Orde Baru, kebebasan digaungkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77 dengan itu suasana politik di Indonesia dipenuhi isu dan aksi sosial yang dekat dengan terorisme, isu tersebut dipandang oleh para pengagum liberalisme dekat dengan model pemahaman keagamaan yang kaku, sempit dan radikal. Karena itu nama islam liberal seringkali disinggungkan atau menjadi lawan dari gerakan “Islam radikal”. Gerakan Islam liberal yang terbentuk dalam Jaringan Islam Liberal tidaklah bentuk pengerucutan namun sebuah bentuk perkembangan dari gerakan Islam liberal pada periode sebelumnya karena terbukti muncul kelompokkelompok atau perhimpunan lain yang juga terpengaruh kondisi sosial politik Indonesia masa reformasi. Terkhusus Jaringan Islam liberal, dengan tegas merumuskan latar belakang pendirian JIL, sebagai berikut: Kekhawatiran akan bangkitnya ‘ekstremisme’ dan ‘fundamentalisme’ agama sempat membuat banyak orang khawatir akhir-akhir ini. Gejala yang menunjukkan perkembangan seperti itu memang cukup banyak. Munculnya sejumlah kelompok militant Islam, tindakan pengrusakan gereja (juga tempat ibadah yang lain), berkembangnya sejumlah media yang menyuarakan aspirasi “Islam militant”, penggunaan istilah “jihad” sebagai alat pengesahan serangan terhadap kelompok agama lain, dan semacamnya adalah beberapa perkembangan yang menandai bangkitnya aspirasi keagamaan yang ekstrem tersebut (www.islamlib.com, rubrik tentang kami diakses 10 Februari 2012). Ketegangan
dan
kecurigaan
yang
ditimbulkan
oleh
pandangan
keagamaan yang berbeda menyebabkan kesulitan dalam membangun suatu kehidupan yang damai di antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada. Menurut kelompok Jaringan Islam Liberal, pandangan keagamaan yang terbuka, plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis. Pandangan tersebut semakin meredup karena hanya menjadi konsumsi kalangan akademis dan kalangan terdidik di kelas menengah dan sulit dipahami oleh kalangan masyarakat awam, karena bahasa yang digunakan bersifat elitis. Kekhawatiran yang dirasakan kelompok Jaringan Islam Liberal, mengantarkan para tokohnya secara serius dan sistematis merumuskan apa yang menjadi fokus tujuan atau misi dalam pembentukan JIL. Dalam website www.islamlib.com, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78 a. Membuka Pintu Ijtihad pada Semua Dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). b. Mengutamakan Semangat Religio Etik, Bukan Makna Literal Teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal. c. Mempercayai Kebenaran yang Relatif, Terbuka dan Plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah. d. Memihak pada yang Minoritas dan Tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi. e. Meyakini Kebebasan Beragama. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79 Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan. f. Memisahkan Otoritas Duniawi dan Ukhrawi, Otoritas Keagamaan dan Politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. Berdasakan landasan tersebut JIL bertujuan untuk menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Karena itu
dipilih bentuk
jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik, sehingga tidak ada struktur organisasi yang resmi, namun tetap dikoordinasi. Sebagai koordinator JIL dikenal nama Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa kontributor yang bertanggungjawab juga sebagai editor website www.islamlib.com seperti: Akhmad Sahal, Anick, Burhanuddin, Hamid Basyaib, Lanny Octavia, Luthfi Assyaukanie, Malja Abrar, Abd. Moqsith Ghazali, Nong Darol Mahmada, Novriantoni, Saidiman Ahmad, Taufik Damas (Sumber: Rubrik Kontak Kami http://islamlib.com/id/halaman/kontak). JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. Keyakinan tokoh-tokoh JIL bahwa cara tersebut adalah pilihan tepat untuk memperoleh dukungan untuk mengembangkan gagasan liberalisme dalam Islam semakin ditegaskan dengan merumuskan misi, sebagai berikut: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog to user Islam yang sehat. Ketiga, akan memekarkan pemikiran commit dan gerakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80 mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi. (Budi Handrianto, 2007: 266) C. Pemikiran dan Strategi Jaringan Islam Liberal (JIL) Tahun 2001-2005 1. Seputar Istilah dan Tokoh-tokoh Islam Liberal a. Istilah Islam Liberal Istilah “Islam Liberal” pertama kali dipopulerkan oleh Asaf ‘Ali Asghar Fyzee (1899-1981), seorang sarjana hukum berkebangsaan India yang juga professor tamu di Cambridge University dan University of California Los Angeles. Fyzee menggunakan istilah ini untuk merujuk kelompok Islam yang memberikan apresiasi terhadap tradisi intelektual yang menentang gagasan teokrasi, memberikan dukungan terhadap demokrasi, menjamin hak-hak nonMuslim dan kaum perempuan, membela kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan. Kurang lebih ungkapan Islam liberal bisa dibaca dalam sebuah konteks bagaimana apresiasi kaum intelektual Muslim terhadap proses perubahan dari modernisasi ke demokratisasi Dunia Islam. Masalah demokratisasi Dunia Islam dapat dipetakan dalam dua kerangka masalah pokok: antara minimnya pengalaman empiris baik di masa lalu atau masa kini dan masalah interpretasi sistem nilai yang memberikan apresiasi terhadap demokrasi. Yang pertama berimplikasi pada keharusan mempersiapkan infrastruktur sosial, seperti kemajuan ekonomi dan pendidikan, sedangkan yang kedua berimplikasi pada keharusan melakukan reinterpretasi sistem nilai Islam dengan cara menemukan substansi ajaran Islam untuk mengapresiasi kebebasan berpikir dan gagasangagasan kemajuan lainnya (Taufik Rahman, 2004: 49-50) Terminology Islam liberal menjadi polpuler setelah Leonard Binder mempublikasikan mengenai pemikiran politik di Timur Tengah melalui bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis (Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan) pada tahun 1988. Dalam buku ini Binder mengkaji beragam pendekatan mengenai perubahan dalam pemikiran Barat dan Islam untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81 mengenai politik liberalisme di Timur Tengah dengan beberapa landasan asumsi (Binder, 2001: 1-2), antara lain: 1.
Pemerintah liberal merupakan hasil proses bersinambung dari wacana rasional. 2. Wacana rasional dimungkinkan keberadaannya di kalangan mereka yang memiliki budaya atau kesadaran yang berlainan. 3. Wacana rasional dapat mewujudkan konsensus budaya dan sikap saling pengertian, serta kesepakatan mengenai hal-hal tertentu. 4. Konsensus memungkinkan adanya tatanan politik yang stabil, dan merupakan landasan rasional dalam memilih strategi-strategi politik. 5. Pemilihan strategi secara rasional merupakan landasan peningkatan kondisi kesejahteraan manusia melalui upaya bersama. 6. Liberalisme politik, dalam konteks ini, bisa dikotak-kotakkan. Ia bisa saja didapati di manapun, atau mesti dipertahankan tanpa menggunakan wacana. 7. Penolakan liberalisme di Timur Tengah atau di manapun bukan semata persoalan moral atau ketidakpedulian politis. 8. Liberalisme politik hanya akan ada bila prasyarat sosial dan intelektual terpenuhi. 9. Prasyarat ini telah terpenuhi di sebagian kawasan Timur Tengah yang mayoritas Islam. 10. Dengan melibatkan diri dalam wacana rasional bersama mereka yang kesadarannya telah dibentuk oleh budaya Islam, upaya peningkatan prospek liberalisme politik di kawasan itu dan kawasan lain yang belum akrab dengan wacana bukanlah sesuatu yang mustahil. Leonard Binder menempatkan gerakan Islam liberal sebagai sebuah proses kritik terhadap modernisme pembangunan di dunia ketiga dengan mengambil kasus di Timur Tengah. Ia mengasumsikan bahwa gerakan Islam liberal sebagai sebuah gerakan kultural yang mengusung proses yang berkesinambungan mengenai wacana rasional. Dengan rasionalisme inilah diharapkan adanya sebuah perubahan pola pemerintahan yang lebih liberal sehingga terbuka kemungkinan menciptakan sebuah konsensus budaya dan sikap saling pengertian, serta kesepakatan mengenai hal-hal tertentu berdasarkan strategi yang rasional untuk meningkatkan kesejahteraan manusia melalui upaya bersama (Binder, 2001: 2-4). Dari hasil penelitiannya di Timur Tengah, Binder menyebutkan bahwa kalangan tradisi merupakan rival utama gerakan Islam liberal. Kaum tradisionalis didefinisikan Binder sebagai kelompok yang menjadikan bahasa Al-Quran sebagai basis dari pengetahuan absolut tentang commit to user dunia. Sedangkan bagi islam liberal bahasa Al-Quran berkoordinasi dengan esensi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82 wahyu, namun isi dan makna dari wahyu tidaklah esensial bersifat verbal, mengingat kata-kata Al-Quran membutuhkan pemahaman dan penafsiran di balik pernyataan verbalnya itu. Untuk itu konteks dan makna interpretative dari wahyulah yang sebenarnya bekerja. Dan tentu ini sebuah pemahaman yang debatable dan bersifat relative, tidak suci dan kaku seperti diyakini kaum tradisionalis. Mohammad Nasih, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal Semarang memberikan jawaban atas kontroversi pengertian Islam liberal. Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang. Penekanan pada semangat religioetik, bukan pada makna literal teks, kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, pemihakan pada yang minoritas dan tertindas, kebebasan beragama dan berkepercayaan, bahkan untuk tidak beragama sekalipun, dan pemisahan otoritas agama dan otoritas politik. Menurut Nasih nama Islam liberal hanyalah menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi (meminjam istilah Mu’tazilah, salah satu sekte Islam yang terkenal karena penekanannya pada aspek rasionalitas”kebebasan manusia”), dan pembebasan struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Jadi adjektif liberal mempunyai dua makna sekaligus yaitu kebebasan dan pembebasan. Oleh karena itu, menurut Nasih tidak tepat jika Islam liberal dikaitkaitkan secara berlebihan dengan liberalisme yang dianut Barat (Suara Merdeka, 30 September 2002: VI). b. Tokoh-Tokoh Islam Liberal Menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat (2002: 18-19), Ali Abdul Raziq (1866-1966) adalah tokoh pertama yang merupakan rujukan kaum Islam liberal. Bila Raziq dikenal hanya melalui karya tulisnya. Maka Fazlur Rahman bisa disebut sebagai tokoh pertama Islam liberal yang melakukan aksi gerakan, selain juga tulisan-tulisan. Rahman dilahirkan di Indo-Pakistan (sebelum terpecah dengan India) dan ketika mulai dewasa Rahman merasa tidak cocok dengan gerakan Jamaat Islami yang dirintis Maududi. commit to user Ketidakpuasaan Rahman dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83 suasana keislaman di Pakistan membuat Rahman tertarik melanjutkan studi Islam ke Barat. Kiprah dan studinya di Barat, mendorong Rahman untuk kembali ke Pakistan dan berusaha menuangkan pikiran-pikiran liberalnya melalui lembagalembaga pemerintahan yang dipercayakan kepada Rahman. Jabatan ganda sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan sebagai dewan Penasihat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, mulai digunakan secara agresif untuk menyerang hukum-hukum Islam,
misalnya: menentang dalil-dalil
kebolehan poligami, hak cerai laki-laki, mendukung Keluarga Berencana (KB), dan menurutnya bunga bank kecil halal namun bunga bank berlipat ganda haram. Pendapat-pendapat Rahman secara langsung mendapat serangan-serangan tajam dari para ulama Islam Pakistan. Serangan tersebut membuat Rahman kembali memantapkan perjalanannya ke Amerika (1970) sebagai Guru Besar Kajian Islam di Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Selain Fazlur Rahman di Universitas Chicago, para mahasiswa juga dididik oleh ilmuwan politik yang bernama Leonard Binder. Rahman dan Binder sering bersama-sama mengadakan proyek penelitian, di antaranya penelitian tentang “Islam dan Perubahan Sosial” yang meliputi masalah pokok, seperti: pendidikan agama dan perubahan peran ulama dalam Islam, syariat dan kemajuan ekonomi, keluarga dalam masyarakat dan hukum Islam masa kini, Islam dan masalah legalitas politik, perubahan konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat muslim masa kini (Sibawaihi, 2007: 17-21). Hasil riset tersebut kemudian dibukukan oleh Rahman dalam karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, sedangkan Binder menyusun buku dari penelitian tersebut dengan judul Islamic Liberalism. Tokoh-tokoh Islam liberal lainnya yang cukup berpengaruh di Dunia Islam, khususnya Mesir adalah Dr. Farag Faudah yang dituduh anti-syariat Islam dan divonis kafir, terbunuh tidak beberapa lama setelah peristiwa debat dengan kelompok Islam (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 23), Dr. Muhammad Khalafullah dan Dr. Fuad Zakaria. Selain itu juga dikenal penganut paham Islam liberal, yaitu Nashr Abu Zayd yang dianggap murtad dan pengadilan memutuskan commit to user Yunis sehingga Nashr pindah ke perkawinannya dengan Istrinya Profesor Ibtihal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84 Leiden, Belanda (Gatra, 21 Desember 2002: 30), Hassan Hanafi, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Mohammad Arkoun, Mohammad Abed Al Jabiri, Mustafa Kemal Attaturk dengan penerapan sekularismenya di Turki, sedangkan dari kalangan wanita (tokoh-tokoh feminis) antara lain Fatimah Mernissi dan Rif’at Hassan. Selain itu muncul tokoh-tokoh Indonesia yang mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran liberalnya. Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaruan Islam atau Islam neo-modernis. Seperti diketahui istilah neo-modernis berasal dari Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Greg Barton (1999: 9), membedakan gerakan pembaruan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu revivalisme Islam, Modernisme Islam, neo-revivalisme Islam dan neo-modernisme Islam. Gerakan neo-modernisme Islam mempunyai karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat gerakan tersebut diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. Greg Barton (1999: 8) menegaskan bahwa telah muncul gerakan intelektual Islam baru di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan tersebut selain lahir dari tradisi Modernisme Islam yang terdahulu dan telah ada di Indonesia, juga secara tangguh tampil berbeda baik dari sisi konsepsi maupun aplikasi gagasannya dengan pendekatan yang khas. Gerakan pemikiran baru ini berkembang membawa misi suci yaitu memadukan cita-cita liberal progresif dengan keimanan yang saleh. Lebih jauh Budi Handrianto dalam bukunya menyebutkan 50 pengusung ide Sekularisme, pluralisme dan liberalisme dalam tiga kategori: c. Para Pelopor yang terdiri dari 8 orang : Abdul Mukti Ali, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Harun Nasution, M. Dawam Rahardjo, Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid d. Para Senior yang terdiri dari 15 orang : Abdul Munir Mulkhan, Ahmad Syafi’I Ma’arif,
Alwi
Abdurrahman Shihab, Azzyumardi Azra, Goenawan commit to user Mohammad, Jalaluddin Rahmat, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hudayat,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85 M. Amin Abdullah, M. Syafi’i Anwar, Masdar Farid Mas’udi, Moeslim Abdurrahman, Nasaruddin Umar, Said Aqiel Siradj, Zainul Kamal. e. Para Penerus Perjuangan yang terdiri dari 27 orang : Abd A’la, Abdul Moqsith Ghazzali, Ahmad Fuad Fanani, Ahmad Gauss AF, Ahmad Sahal, Bahtiar Effendi, Budhy Munawar Rahman, Denny J.A., Fathimah Usman, Hamid Basyaib, Husein Muhammad, Ihsan Ali Fauzi, M. Jadul Maula, M. Luthfi Assyaukanie, Muhammad Ali, Mun’im A. Sirry, Nong Darol Mahmada, Rizal Malarangeng, Saiful Mujani, Siti Musdah Mulia, Sukidi, Sumanto Al Qurthuby, Syamsu Rizal Panggabean, Taufik Adnan Amal, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Zuly Qodir. Menurut Budi Handrianto (2007: 4), pada dasarnya yang masuk dalam kategori daftar nama pengusung atau pendukung sekularisme, pluralisme dan liberalisme adalah tokoh di Indonesia yang mempunyai pandangan tersebut baik dinyatakan secara lisan maupun tulisan dan pengaruhnya sudah jelas terlihat. Kategorisasi tersebut bukanlah hal yang mutlak dan sewaktu-waktu bisa terjadi perubahan sesuai gagasan yang dikembangkannya. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, pesantren menjadi bagian penting dalam pembentukan moral generasi bangsa. Namun globalisasi dan modernisasi seringkali berbenturan dengan pemikiran serta doktrin-doktrin kyai pesantren. Kehidupan tradisional makin subur terlembagakan dengan sistem pendidikan
yang
cenderung
mengajarkan
literature
kuno
dibanding
mengembangkan kajian keagamaan yang sedang muncul di permukaan. Pesantren mempertahankan tradisi-tradisi nilai yang bersendikan pengabdian, keikhlasan, kejujuran dan kepatuhan pada kyai dalam mempelajari ilmu agama. Menentang rasionalisme seperti berpikir terbuka dan mengembangkan nalar kritisisme serta minimnya ijtihad dengan mengajarkan ilmu yang berorientasikan fiqih merupakan topic utama pesantren sebagai akar tradisionalisme yang dimonumentalkan sebagai ajaran ritual umat Islam (Fakhruddin Karmani, 2004: 65-66). Kondisi pesantren yang dekat dengan tradisi-tradisi lama dan cenderung eksklusif membuka paradigm liberalisasi dalam pemikiran santri-santri kritis yang to user menghendaki Islam dinamis dancommit mengikuti perkembangan zaman. Maka tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86 mengherankan jika gagasan Islam liberal berkembang subur di kalangan individuindividu yang pernah ada dalam kungkungan pesantren maupun lingkungan yang mengharuskan untuk berpikir kritis. Berikut adalah beberapa tokoh yang berpengaruh dan bahkan menjadi pelopor terbentuknya Jaringan Islam Liberal di Indonesia: 1) Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid atau biasa disapa dengan nama Cak Nur, lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiyai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH. Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Dari kedua orang tuanya, Cak Nur mewarisi darah intelektualisme dan aktivisme dua organisasi besar Islam di Indonesia, yaitu Masyumi yang modernis dan Nahdlatul Ulama (NU) yang tradisionalis. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyah (Budi Handriyanto, 2007: 63). Mantan ketua HMI di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah ini pernah berjasa dalam krisis kepemimpinan yang dialami bangsa Indonesia pada tahun 1998. Cak Nur adalah orang yang sering dimintai nasehat oleh Presiden Soeharto mengenai kerusuhan dan krisis negara. Pembaruan Islam yang dicetuskan tokoh yang mendapat julukan sebagai “Penarik gerbong kaum pembaru” oleh Majalah Tempo ini adalah ide dan gagasan Nurcholis tentang gerakan sekularisasi di Indonesia sejak tahun 1970, dalam acara halal bi halal di Jakarta 3 Januari yang dihadiri para aktivis penerus Masyumi, Nurcholish Madjid menyampaikan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran dan Masalah Integrasi Umat”. Selain menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina Mulya, semasa hidupnya Nurcholish juga aktif menjadi pembicara dalam seminar internasional Islam di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya bahkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87 berbahasa Inggris
(http://profil.merdeka.com/indonesia/n/nurcholish-madjid/,
diakses 26 Juni 2012). Kesan mendalam selama Nurcholis berkesempatan mengunjungi Amerika membuatnya tertarik ketika Falur Rahman dan Leonar Binder (keduanya merupakan Guru Besar Chicago University) menawari Nurcholish proyek penelitian di Amerika pada tahun 1976. Proyek penelitian yang sebagian besar berbentuk seminar dan lokakarya serta di danai oleh Ford Foundation, sebuah yayasan Amerika yang hingga saat ini masih bekerjasama dengan kegiatankegiatan Jaringan Islam Liberal dan Yayasan Paramadina yang pernah dipimpin Nurcholish (Budi Handrianto, 2007: 64). Nurcholish banyak terinspirasi pandangan tokoh-tokoh orientalis baik melalui pertemuan dalam studinya maupun dengan karya-karya yang pernah dibaca. Demikian juga dengan kalangan aktivis Jaringan Islam Liberal yang menganggap Nurcholish sebagai “Bapak Pluralisme dan Toleransi” dan bertekad akan meneruskan perjuangannya (Budi Handrianto, 2007: 74). 2) Siti Musdah Mulia Siti Musdah Mulia. Lahir 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Putri pertama pasangan H. Mustamin Abdul Fatah dan Hj. Buaidah Achmad. Ibunya, merupakan gadis pertama di desanya yang menyelesaikan pendidikan di Pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), Pare-Pare, sedang ayahnya pernah menjadi Komandan Batalyon dalam Negara Islam pimpinan Abdul Kahar Muzakkar yang kemudian dikenal sebagai gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Musdah adalah perempuan pertama yang meraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di IAIN Jakarta (1997), dengan disertasi: Negara Islam: Pemikiran Husain Haikal (diterbitkan menjadi buku oleh Paramadina tahun 2000); Perempuan pertama dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan di Departemen Agama (1999) dengan Pidato Pengukuhan: Potret Perempuan Dalam Lektur Agama (Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Masyarakat Egaliter dan Demokratis). Atas upayanya mempromosikan demokrasi dan HAM pada tahun 2007 dalam peringatan International Women Days di Gedung Putih, Musdah commit to user menerima penghargaan International Women of Courage mewakili Asia Pasifik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88 dari Menlu Amerika Serikat, Condoleeza Rice. Akhir tahun 2009 menerima penghargaan
Internasional
dari
Itali,
Woman
of
The
Year
2009
(http://mujahidahmuslimah.com/component/content/article/41-biografi/47biografi-musdah-mulia-dalam-buku-muslimah-sejati-.html, diakses 26 Juni 2012). Pendidikan formal dimulai dari SD di Surabaya (tamat 1969), Pesantren As’adiyah, Sulawesi Selatan (tamat 1973); Fakultas Syari'ah As’adiyah (1977). Menyelesaikan Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar (1980); Program S1 Jurusan Bahasa dan Sastera Arab di Fakultas Adab, IAIN Alaudin, Makasar (1982); Program S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam (1992) dan Program S3 Bidang Pemikiran Politik Islam di IAIN IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (Budi Handrianto, 2007: 235) Pendidikan non-Formal antara lain: kursus singkat mengenai Islam dan Civil Society di Universitas Melbourne, Australia, kursus singkat Pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand, kursus singkat Advokasi Penegakan HAM dan Demokrasi (International Visitor Program) di Amerika Serikat, kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas George Mason, Virginia, Amerika Serikat, kursus singkat Pelatih HAM di Universitas Lund, Swedia, kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh. Visiting Professor di EHESS, Paris, Perancis,
International
Leadership Visitor Program, Departement of State, Washington (Mohammad Nasor, 2008: 30). Kiprahnya dalam menyuarakan, membela dan mengembalikan hak-hak perempuan di mata agama telah membawa Musdah dikenal banyak kalangan terutama kalangan pemerhati dan aktivis isu perempuan di Indonesia. Di samping pegawai negeri sipil (PNS), sejak mahasiswa Musdah dikenal sebagai aktivis organisasi pemuda dan ormas atau LSM Perempuan. Karya intelektualnya semakin lengkap dengan tulisannya terkait dengan isu perempuan, antara lain: Lektur Agama Dalam Media Massa (Depag 1999), Anotasi Buku Islam Kontemporer (Depag 2000), Islam Menggugat Poligami, Kesetaraan dan Keadilan commit toAnalisis user Gender, Pedoman Dakwah Muballighat, Kebijakan Publik, Muslimat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89 NU, Meretas Jalan Awal Hidup Manusia: Modul Pelatihan Konselor Hak-Hak Reproduksi, Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru keagamaan, dan Perempuan dan Politik, Gramedia,. Islam and Violence Against Women, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Poligami : Budaya Bisu yang
Merendahkan
Martabat
Perempuan,
Menuju
Kemandirian
Politik
Perempuan, Islam dan HAM. Selain itu, Musdah Mulia adalah staf ahli pada Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) Badan Litbang Departemen Agama dan Sekretaris umum ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) (Budi Handrianto, 2007: 237). Akhir tahun 2004, Musdah Mulia menjadi koordinator dalam tim Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama RI membuat rumusan tandingan bagi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres tahun 1991 yang secara resmi menjadi referensi para hakim agama di Peradilan Agama, terutama dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan perkawinan. Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), bertujuan untuk mengkaji kembali hukum-hukum yang dianggap merugikan kaum perempuan. CLD-KHI menjadi kontroversi di kalangan pakar Islam yang berkeberatan dan menolak gagasan tersebut. Kegagalan CLD-KHI tidak membuat Musdah berhenti menyuarakan isu-isu gender yang mendukung paham liberalisme dan pluralisme, bersama rekan-rekan dalam satu tujuan baik di ICRP maupun JIL dibantu The Asia Foundation lembaga donasi dari Amerika. Musdah bahkan muncul kembali bersama para penulis buku Fiqih Lintas Agama, yang oleh sebagian umat Muslim dianggap banyak membuang makna teks dan menggunakan aspek konteks secara amburadul (Budi Handrianto, 2007: 240). 3) Goenawan Mohamad Goenawan Mohamad adalah seorang jurnalis dan sastrawan kritis yang terus memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui tulisan dan berbagai organisasainya. Pendidikan formalnya hingga SMA banyak dihabiskan di Pekalongan, kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Fakultas Psikologi UI namun tidak sampai lulus namun justru menuntut ilmu ke College of Europe, commit to usersempat menjadi wartawan harian Belgia. Sepulangnya ke tanah air Goenawan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90 KAMI, kemudian turut mendirikan Majalah Ekspres. Pada tahun 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Banyak tulisan tentang agenda-agenda politik Indonesia. Jiwa kritis membawa Goenawan untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi dan merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994. Goenawan kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang pertama di Indonesia. Goenawan juga turut mendirikan
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang
bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia (Budi Handrianto, 2007: 107-108). Beberapa karya Goenawan yang telah dihasilkan seperti kumpulan esai antara lain Seks, Sastra, Kita (1980); Kekuasaan dan Kesusastraan (1993); Catatan Pinggir (mencapai tujuh jilid); Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001); Eksotopi (2002), dan Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai (2009). Terjemahan bahasa Inggris atas esainya dikerjakan oleh Jennifer Lindsay dan terbit sebagai Sidelines (1994) dan Conversations with Difference (2002). Goenawan telah menerbitkan enam buku puisi: Parikesit (1971) dan Interlude (1973) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Asmaradana (1992), Misalkan Kita Di Sarajevo (1998), Sajak-sajak Goenawan Mohamad: 1961-2001 (2001) dan Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004), diedit oleh Laksmi Pamuntjak. Ia juga menulis tiga libreto untuk opera kontemporer: Kali, The King’s Witch, dan Tan Malaka. (http://salihara.org/about/curators/goenawanmohamad, diakses 26 Juni 2012) Menurut Budi Handrianto (2007: 110), “meskipun jarang memberikan pernyataan tentang Islam liberal dan pluralisme, Goenawan adalah tokoh yang paling berperan bagi tumbuhnya bibit-bibit Islam liberal di Indonesia melalui perannya di media”. Goenawan memfasilitasi terbentuknya kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) di markas teater Utan Kayu yang sejak tahun 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teter, music, film dan seni rupa. Dengan commit Abdurrahman to user majalah Tempo, Goenawan mengangkat Wahid, Nurcholish Madjid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91 dan Ulil Abshar Abdalla hingga dikenal secara nasional bahkan menjadi ditokohkan oleh masyarakat. Popularitas Goenawan bukan hanya dalam lingkup nasional tetapi telah meluas hingga Internasional. Beberapa penghargaan diterimanya baik dari Universitas Tel Aviv, Universitas Leiden, yang didasarkan pada aktivitas goenawan selama 30 tahun terakhir yang memperjuangkan kebebasan pers dan jurnalisme yang independen di Indonesia (negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia). Terlepas dari kualitas teknik jurnalistiknya, goenawan merupakan sosok tokoh pers yang konsisten dalam meliberalkan islam di Indonesia (Budi Handrianto, 2007: 112). 4) Ulil Abshar Abdalla Ulil Abshar Abdalla yang aktif dalam lingkungan Nahdlatul Ulama menjadi sosok kontroversial pada saat Jaringan Islam Liberal juga ramai diperbincangkan kalangan intelektual muslim. Predikat liberal melekat kuat dalam diri koordinator JIL ini. Pendidikannya dilalui mulai dari Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pondok Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Pondok Pesantren AlAnwar, Sarang, Rembang. Pernah kuliah di Fakultas Syari’ah (LIPIA) dan sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Perjalanan karirnya di habiskan dengan aktif dalam berbagai organisasi, ketua Lakpesdam NU, staf di ISAI, Direktur program (Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Direktur Freedom Institute. Puncaknya pada tahun 2001 Ulil Abshar Abdalla mendirikan sebuah jaringan yang dikenal dengan nama Jaringan Islam liberal dengan tujuan sebagai berikut yang dikutip dari blog pribadinya, Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua. Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan. Paham-paham semacam ini muncul bak cendawan setelah era reformasi di Indonesia sejak 1998. Bagi saya, paham Islam yang radikal, eksklusif, dan pro-kekerasan ini sangat berbahaya bukan saja bagi masyarakat Indonesia yang plural, tetapi juga bagi Islam sendiri. Sebagai seorang Muslim, saya tidak mau agama saya”dibajak” oleh kaum radikal-fundamentalis untuk mengesahkan kekerasan atas nama agama. Kedua, untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lebih rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis. Di mata saya dan teman-teman yang menggagas JIL, Islam harus terus-menerus dikonfrontasikan dengan realitas sosial yang terus berubah. Jawaban yang diberikan oleh agama atau ulama commit user zaman sekarang. Oleh karena, di masa lampau, belum tentu tepatto untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92 sikap kritis dalam membaca pemikiran Islam yang kita warisi dari ulama masa lampau sangat penting. Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus dimaknai secara harafiah. Quran dan hadis dibentuk oleh konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial-politik. Bagi saya dan teman-teman JIL, misalnya, sistem pengelolaan “negara” yang pernah dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat sesudahnya di Madinah tidak mesti kita contoh mentahmentah untuk dipraktekkan pada zaman sekarang, sebab kita berhadapan dengan konteks sejarah yang berbeda (Ulil Abshar Abdalla dalam http://ulil.net/page/6/, diakses 26 juni 2012). Ulil Abshar Abdalla semakin dikenal masyarakat karena berbagai tulisannya di media massa yang menghebohkan kalangan Islam. Salah satunya yang membawa Ulil mendapat Fatwa mati oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) adalah artikel provokatifnya dalam Kompas 18 November 2002 berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (http://islamlib.com/id/artikel/telaahkritis-konstruktif-pemikiran-ulil-abshar-abdalla, diakses 2 Mei 2012). Dalam beberapa diskusi yang diterbitkan www.islamlib.com, Ulil terlihat sebagai pengagum Barat yang melihat agama secara lebih longgar dengan toleransi yang dianggapnya menjadi modal Indonesia sebagai negara yang beragam. Sebagai pendiri dan koordinator JIL yang sering menyuarakan liberalisasi tafsir Islam, Ulil menuai banyak kritik dan atas pergerakannya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam liberal Ulil disebut sebagai pewaris pembaru pemikiran Islam melebihi Nurcholish Madjid. Pemikiran anehnya tentang beberapa konsep dalam Islam semakin diperkuat dengan pendidikan S2 dan S3 bidang perbandingan agama di Universitas Boston, Amerika Serikat
(Budi
Handrianto, 2007: 261-263). Ulil memanfaatkan setiap kesempatan untuk memahami apa yang Ulil sebut pemahaman Islam liberal. Ketika mendapat undangan dari University of Michigan untuk menjadi guest lecturer dengan memberi mata kuliah tentang “Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia” selama setengah bulan di universitas yang terletak di kota Ann Arbor. Setelah mengajar, Ulil kemudian menetap di Athens, negara bagian Ohio, tepatnya di user Ohio University. Ulil berkeinginan commit to
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93 merealisasikan obsesinya untuk menulis buku. Buku yang merupakan penafsiran Ulil secara utuh tentang Alqur’an dan ajaran Islam secara umum dari perspektif Islam liberal (kutipan wawancara dalam http://islamlib.com/id/artikel/saya-inginmeniru-al-tahtawi, diakses 6 Mei 2012), dalam akhir wawancara Ulil menegaskan Terus terang, saya ingin meniru Rifa’ah Rafi’Al-Tahtawi, seorang ulama Mesir yang dikirim ke Perancis pada abad ke-19 oleh pemerintah Mesir untuk menjadi pemimpin mahasiswa Mesir yang sekolah di Perancis. Dia menulis kesannya mengenai kota Paris khususnya, dalam kitabnya yang terkenal Tahlîsul Ibrîs fi Talkhîsil Bâris. Kesimpulannya kira-kira, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari orang lain, siapapun mereka. Dalam kehidupan orang Amerika, saya menemukan banyak hal yang menurut standar Islam akan sangat Islam sekali, sekalipun banyak juga hal lain yang menjauhi nilai islam. Tapi kalau ditotal, yang sesaui dengan nilai-nilai Islam lebih banyak ketimbang yang tidak sesuai. Hal ini menggambarkan bagaimana sosok Ulil yang kagum dengan kehidupan Barat khususnya Amerika, negara yang menempanya dalam proses mencari dan menemukan konsep Islam liberal. 5) Luthfi Assyaukanie Luthfi Assyaukanie adalah pengajar Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina. Pendidikan tingginya dihabiskan di luar negeri, mulai dari Jordan University, Aman, ISTAC, kuala lumpur hingga University of Melbourne. Sebagai salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal, Luthfi meyakini bahwa Islam dating sebagai bentuk protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks, baik dalam wajahnya yang fundamentalis (dalam sikap politis) maupun konservatif (dalam pemahaman keagamaan). Sehingga dalam pandangan Luthfi, Islam liberal adalah sebuah gerakan reformasi dengan semangat protestanisme klasik yang berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam (Budi Handrianto, 2007: 216-218). Karya monumental Luthfi adalah sebagai penyunting buku “Wajah Islam Liberal di Indonesia”. Buku yang menjadi propaganda pertama Islam liberal di Indonesia. Keberaniannya dalam menyampaikan komentar tentang Islam membuat Luthfi dikenal sebagai aktivis JIL yang menganggap bahwa mempelajari karya orientalis adalah suatu keharusan untuk membuka pemahaman umat Islam agar commit to user mampu berhadapan dengan apa yang ada diluar pandangannya. Dalam blog
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94 pribadinya (www.assyaukanie.com), menurut Luthfi sumbangan Orientalisme terhadap khazanah keislaman begitu besar. Salah satu jasa terbesar para Orientalis adalah meneliti sumber-sumber awal Islam yang masih dalam bentuk manuskrip, lalu mengedit (tahqîq), mengkatalogisasi, dan menerbitkannya dalam bentuk buku yang kemudian bisa diakses oleh setiap orang. Buku-buku hadis banyak di-tahqîq oleh para Orientalis. Luthfi berpendapat bahwa tidak melihat sisi negatif dari Orientalisme kecuali pada aspek-aspek metodologis seperti banyak dikritik oleh sarjana studi budaya (cultural studies), seperti Edward Said. Namun pertengkaran soal metodologis adalah sesuatu yang wajar dalam dunia akademi di Barat. Edward Said mengecam para Orientalis karena mereka dianggap sebagai perpanjangan kuasa, kolonialisme, dan hegemoni Barat. Kritik Luthfi terhadapnya adalah Said terlalu sibuk dengan kekeliruan-kekeliruan Orientalisme sehingga mengabaikan dinamika yang kompleks dari disiplin ini. Satu hal yang sering dilupakan bahwa kaum Orientalis adalah para ilmuwan juga yang akan mengkritisi
temuan-temuan
koleganya
yang
dianggap
tidak
akurat
(http://www.assyaukanie.com/interviews/islamic-studies-di-barat, diakses 26 Juni 2012) Selain beberapa tokoh tersebut, ada juga intelektual seperti; Nong Darol Mahmada adalah salah satu aktivis yang giat menyuarakan masalah-masalah gender. Santri yang menyelesaikan kuliah di jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta dan pernah aktif dalam kelompok belajar yang bermukim di Ciputat dikenal dengan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) ini aktif dalam Jaringan Islam Liberal, mengelola website Islamlib.com dan salah satu koordinator di divisi pengembangan media dan advokasi Institut Studi Arus Informasi
(ISAI).
Pengamat
masalah
gender
dan
Islam
ini,
gencar
mengkampanyekan tidak wajibnya jilbab bagi wanita muslim melainkan lebih pada keharusan budaya daripada keharusan agama (Budi Handrianto, 2007: 227). Ahmad Sahal, salah satu koordinator diskusi pada Komunitas Utan Kayu pernah mengenyam pendidikan pesantren Futuhiyyah, Demak dan Al Falah, Kediri serta Perguruan Tinggi Islam di Yogyakarta. Sahal aktif dalam commit user redaktur Jurnal Kalam (Budi pergerakannya di Freedom Institut jugatosebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95 Handrianto, 2007: 187). Denny J.A., rutin menulis kolom politik di sejumlah media masa, tulisan-tilisannya juga mampu membawa Denny meraih sejumlah penghargaan di bidang akademis, jurnalistik dan konsultan politik. Denny meyakini bahwa komunitas Islam liberal di Indonesia sudah saatnya mengembangkan sebuah teologi tersendiri yang sah secara substansi dan metodologi, yaitu teologi Islam liberal yang dalam politik teologi itu menjadi teologi negara sekular (Budi Handrianto, 2007: 196). Taufik Adnan Amal, dosen mata kuliah ulumul Qur’an pada Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makasar dan anggota Forum Kajian Budaya dan Agama (FKBA). Taufik merupakan intelektual yang aktif menggagas edisi kritis Al-Qur’an dengan bukunya Rekonstruksi sejarah Al-Qur’an. Selain beberapa tokoh-tokoh tersebut, banyak aktivis yang bergabung dengan Jaringan Islam liberal, baik melancarkan gagasannya dalam kebebasan beragama sampai kebebasan berpendapat baik politik maupun isu-isu gender. 2. Agenda Jaringan Islam Liberal Tahun 2001-2005 Secara umum Islam liberal memiliki dua agenda besar. Pertama, secara internal adalah sebuah proses kritik diri bagaimana keberagamaan itu bukan sesuatu yang instant, tapi ia melibatkan sebuah pencairan yang serius dan tentu beresiko diasingkan (bahkan dikafirkan) oleh kaumnya sendiri. Kedua, secara eksternal adalah masalah strategi bagaimana menempatkan Islam dalam proses perubahan sosial dan global yang mengarah pada pelembagaan nilai-nilai demokrasi (Taufik Rahman, 2004: 63) Charles Kurzman (2001: xliii-lx) dalam pengantar bukunya “Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global” menjelaskan Enam formulasi agenda Islam liberal antara lain : Pertama, melawan Teokrasi (against theocracy). Kalangan Islam liberal menolak ide penyatuan agama dan negara, dan menolak pandangan bahwa syariat Islam mewajibkan sistem politik tertentu bagi tegaknya tatanan politik Islam. Kedua, mendukung gagasan dan ide demokrasi. Kalangan Islam liberal berpendapat bahwa pada dasarnya Islam memberikan dukungan sepenuhnya terhadap ide demokrasi, seperti adanya konsep commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96 syura atau musyawarah yang tidak harus dibatasi pada bentuk-bentuk institusional khusus . Ketiga, Rights of Women, yaitu membela hak-hak kaum perempuan. Berkaitan dengan pembelaan terhadap hak-hak perempuan, posisi kalangan Islam liberal berhadapan dengan pandangan konvensional yang membentuk konstruksi pandangan konservatif dalam memberikan pemaknaan terhadap teks-teks Islam baik Al-Quran maupun hadist Nabi yang menjelaskan tentang poligami, hak-hak kewarisan, hak kaup pria untuk bercerai, otoritas kesaksian hukum pria yang lebih besar, tentang jilbab, pemisahan gender, ketidaksesuaian kaum perempuanuntuk menjadi pemimpin sebuah komunitas Muslim. Keempat, membela hak-hak nonMuslim (minoritas). Pandangan kalangan Islam liberal terhadap hak-hak nonMuslim maupun kalangan minoritas, mendapatkan basis historisnya yang kuat, terutama melalui kesepakatan Piagam Madinah pada masa kepemimpinan Rasulullah. Kelima, Freedom of Thought, yaitu membela kebebasan berpikir. Gagasan tentang kebebasan berpikir merupakan ide yang sangat fundamental bagi kalangan Islam liberal. Kebebasan berpikir menjadi suatu wacana yang substansial dalam ide-ide Islam liberal, agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran Islam lainnya. Keenam, Progress, yaitu ide membela gagasan kemajuan. Posisi kalangan Islam liberal yang mendukung gagasan tentang kemajuan, berhubungan erat dengan posisi kalangan Islam liberal yang melihat modernitas dan perubahan sosial sebagai proses transformasi yang bersifat positif dan potensial. Sejak era kebangkitan Islam, berbagai persoalan menyangkut kehidupan kaum muslim telah didiskusikan. Terlihat bahwa Jaringan Islam Liberal terinspirasi dengan formulasi yang dikembangkan oleh Charles Kurzman, karena pada perkembangannya agenda besar yang diusung tidak jauh berbeda dengan formulasi Islam Liberal Charles Kurzman. Menurut Luthfi Assyaukanie (2001 dalam
http://islamlib.com/id/artikel/empat-agenda-islam-yang-membebaskan,
diakses 10 Februari 2012), melihat paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, user agenda emansipasi wanita, dan commit agenda tokebebasan berekspresi. Kaum muslim
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97 dituntut melihat keempat agenda ini dari perspektifnya sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi daripada penyelesaian yang baik. Agenda pertama adalah agenda politik. Yang dimaksud dengan agenda ini adalah sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Dengan kata lain, agenda ini berusaha untuk menolak sistem pemerintahan Islam dan mendukung sekularisme. Secara teologis, persoalan ini bisa dikatakan telah selesai, khususnya setelah para intelektual muslim, semacam Ali Abd al-Raziq, Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Majid (Indonesia), menganggap persoalan tersebut sebagai persoalan ijtihadi yang diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslim. Pilihan terhadap bentuk negara, apakah republik, kerajaan, semikerajaan, parlementer adalah pilihan manusiawi, dan bukan pilihan ilahi. Umat Islam lebih mengetahui urusan dunia mereka, persis seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad: “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian). Dan karena urusan politik adalah urusan dunia, maka menjadi hak kaum muslim untuk mengaturnya sendiri. Tak ada satu ayatpun di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan manusia menentukan satu bentuk atau sistem politik tertentu. Allah hanya mengisyaratkan perlunya memiliki tatanan yang jujur dan adil. Dan dalam hal politik, bisa apa saja, termasuk sistem demokrasi yang kini dianggap sebagai alternatif terbaik dari sistem politik yang pernah ada. Agenda kedua adalah agenda yang menyangkut kehidupan antar-agama kaum muslim (toleransi agama). Dengan semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negara-negara muslim, pencarian teologi pluralisme tampaknya menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar. Pengalaman awal-awal masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi, kerap dijadikan model percontohan adanya toleransi kehidupan antar-agama dalam Islam. Dengan model ini, Islam dianggap sebagai agama yang menghormati keberadaan agama-agama lain, inklusif, dan toleran. Menurut pemahaman tokoh-tokoh JIL, asas teologi Islam yang lebih penting menyangkut kehidupan antar-agama tidak terbatas hanya pada commit to user pengalaman Madinah. Al-Qur’an, sebagai kitab suci yang menjadi rujukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98 teologis kaum muslim, memiliki banyak sekali ayat yang memerintahkan umat Islam untuk, bukan saja menghormati keberadaan agama-agama lain, tapi mengajak mereka mencari kesamaan-kesamaan (QS. 3: 64). Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah menjamin para penganut agama-agama lain (seperti Yahudi, Kristen, Sabean) akan mendapatkan pahala sesuai dengan perbuatan baik mereka dan dijamin berada dalam lindungan Allah (QS. 2: 62 dan QS. 5: 69). Ayat-ayat seperti ini memperkuat ayat-ayat lainnya yang menyatakan bahwa semua agama, selama mengakui ketertundukannya kepada Allah (yang merupakan makna dari kata “Islam”), pada dasarnya adalah sama. Agenda ketiga adalah agenda emansipasi wanita. Agenda ini mengajak kaum muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini karena doktrin-doktrin tersebut bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak semua jenis kelamin (lihat misalnya QS. 33:35, QS. 49: 13, QS. 4: 1). Sudah saatnya kaum muslim bersikap kritis dalam melihat dan membaca warisan keagamaannya, karena sebagian dari pesan-pesan yang terkandung dalam warisan-warisan keagamaan itu dibentuk dalam kondisi sosialbudaya tertentu. Dan karenanya, perlu penafsiran dan pemahaman ulang. Agenda keempat tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Agenda ini menjadi penting dalam kehidupan kaum muslim modern, khususnya ketika persoalan tersebut berkaitan erat dengan masalah Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Islam sangat menghormati hak-hak asasi manusia, dengan demikian, juga menghormati kebebasan berpendapat. Sejak dibukanya kembali “pintu ijtihad” lebih dari satu abad silam, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk takut memiliki pendapat pribadi. Pendapat (ijtihad) adalah sesuatu yang sangat dihargai dan dihormati dalam Islam. Begitu dihormatinya sebuah pendapat, sebuah kaedah fikih menegaskan bahwa seseorang akan diberikan dua pahala jika benar dalam berijtihad, dan diberikan satu pahala jika salah. Atas dasar hal itu, Islam menghargai pendapat atau karya seseorang. Tidak ada hak bagi siapapun untuk melarang seseorang memiliki kebebasan commitmengakui to user adanya batasan-batasan dalam berpendapat. Namun demikian, Islam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99 berekspresi. Ekspresi adalah persoalan cara yang berimplikasi pada masalah hukum yang menjadi urusan negara. Seseorang yang melanggar cara-cara berekspresi, akan berhadapan dengan undang-undang yang telah diatur oleh negara (Luthfi Assyaukanie, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/empatagenda-islam-yang-membebaskan, diakses 10 Februari 2012). Sedangkan Ulil Abshar Abdalla yang dikutip oleh Budi Handrianto (2008: xlviii), mengungkapkan bahwa untuk menandingi kalangan revivalis, JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: Kampanye sekularisasi seraya menolak konsep Islam Kaffah (total) dan menolak penegakan syariat islam, menjauhkan konsep Jihad dari makna perang, penerbitan Al-Qur’an edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta pluralisme. Menurut Ulil, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari berbagai segi, agama yang kaffah hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami kehidupan seperti zaman modern. Bagi Ulil, beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah. Berdasarkan agenda yang digagas oleh tokoh-tokoh JIL, selanjutnya akan dibahas secara rinci beberapa proyek besar agenda JIL sejak tahun 20012005. a.
Agenda Politik Pada dasarnya istilah Islam progresif, Islam liberal, Islam sekular, Islam
reduksionis, Islam akomodatif dan sejenisnya merujuk pada hal yang senada, yaitu tentang Islam yang tunduk atau tersubordinasikan kepada Barat. Komaruddin Hidayat menyebutkan bahwa ekspresi pemikiran liberal dalam politik adalah menolak formula klasik, dengan contohnya yang diterapkan oleh Ali Abdur Raziq dan Kemal Attaturk (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 33). Pemecatan Raziq dari anggota ulama Al-Azhar, dilakukan oleh Haiah Kibaril Ulama (Dewan Ulama Terkemuka) yang terdiri dari 19 orang ulama dan mengklasifikasikan kesalahan fatal Raziq dalam tujuh butir, yaitu: 1) Menjadikan syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau tata laksana urusan duniawi, 2) berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan commit to user setingkat raja dan bukan untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100 mensyiarkan agama ke seluruh dunia, 3) menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit, dan membingungkan (bagi yang mencoba memahaminya), 4) berpendapat bahwa tanggungjawab (Muhammad) Rasulullah hanya menyebarluaskan syariat tanpa menjadi penguasa atau pemerintah, 5) menganggap sepi ijma’ (kesepakatan) para sahabat Rasul yang menetapkan umat harus menunjuk seorang untuk mengelola urusan keagamaan da keduniaan serta mengakui adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam, 6) mengingkari bahwa qudhat (kehakiman) merupakan fungsi syariat, 7) berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar dan Khulafaur Rasyidin merupakan pemerintahan sekuler (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 13) Selain itu proses sekularisasi Turki secara resmi dimulai dengan proklamasi negara Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Mustafa Kemal terpilih sebagai presiden pertama, lalu mengganti nama menjadi Kemal Attaturk (Bapak Bangsa Turki). Turki secara tegas menyebut dirinya sebagai negara sekuler. UUD Turki pasal 1 menegaskan, Turki adalah negara (1) Republik, (2) Nasionalis, (3) Kerakyatan, (4) Kenegaraan, (5) Sekularis, (6) Revolusioneris. Karena itu, hal-hal yang dianggap membahayakan prinsip sekuler akan diserang. Islam yang dipeluk oleh 99 % rakyat Turki dianggap suatu ancaman potensial yang dapat menghancurkan prinsip sekuler, kenyataan menunjukkan bahwa Islam tidak pernah mati di Turki, meskipun segala macam cara telah dilakukan untuk mensekulerkan rakyat Turki. Bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki, lembaga pendidikan agama ditutup, wanita dan pria dipaksa berpakaian ala Barat, Huruf Arab diganti dengan huruf latin, kalender Islam diganti dengan kalender Masehi (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 34) Kedua tokoh tersebut cukup menginspirasi tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal dalam mengembangkan agenda sekularisme di Indonesia. Diskursus negara sekular tidak terlepas dari keterbatasan dan kekurangannya, mengalami pembusukan dari dalam dan dari luar. Dalam tataran nasional, ditemukan ketidakmampuan dan ketidaktegasan sistem sekular dalam menyelesaikan user berbagai persoalan, seperti konflikcommit etnis, to penggusuran dan krisis ekonomi. Begitu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101 juga dalam tataran global, sistem global telah menjerat dunia ketiga dengan hegemoni politik dan ekonomi sekaligus. Hal Ini menjadi amunisi kalangan pro negara syariat untuk menghancurkan sistem sekuler. Akibatnya, stigmatisasi terhadap sistem sekuler semakin kuat, bukan untuk keluar dari krisis kemanusiaan, politik, budaya dan lain-lain, melainkan untuk kembali kepada syariat (Zuhairi Misrawi 2002, dalam http://islamlib.com/id/artikel/negarasyariat-atawa-negara-sekuler, diakses 2 Mei 2012) Karena itu, yang patut disadari bersama adalah bagaimana memahami kembali sistem sekuler, dalam hal ini adalah demokrasi. Sebagai sebuah sistem, demokrasi merupakan jalan tengah untuk keluar dari ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Yang menjadi kata kuci dalam demokrasi adalah pelembagaan yang didasari atas nilai-nilai persamaan, pluralitas, kemanusiaan dan kesetaraan. Demokrasi meniscayakan terwadahkannya keadilan, sehingga dapat menghindari dari otoritarianisme dan meminimalisir segala bentuk penindasan, baik yang dilatarbelakangi agama, politik maupun ekonomi. Dalam konteks masyarakat beragama, seperti di tanah air, pemikiran keagamaan tidak hanya dikampanyekan dalam hal formalisasi, melainkan adanya pelembagaan pemikiran yang didasarkan atas nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan persamaan hak. Olivier Roy (1994) dalam The Failure of Political Islam mempunyai kritikan yang tajam bagi kalangan
Islam
Politik
yang
hanya
berkutat
pada
kekuasaan
dan
mengesampingkan dimensi kemanusian, pluralitas, keadilan dan kesetaraan. Menurutnya, model yang diterapkan di Iran merupakan contoh terbaik yang tersedia dalam komunitas muslim, karena menjadikan sistem sekuler sebagai upaya melembagakan pemikiran keagamaan (the Iranian model is in fact a “secular” model, in the sense that it is the state that defines the place of the clergy and not the clergy who define the place of politic). Dengan demikian, sebenarnya permasalahan bukan hanya terletak pada akhir mendirikan negara syariat atau negara sekuler, melainkan berupaya melembagakan keadilan, kemanusiaan, kesetaraan dan kebhinnekaan (Zuhairi Misrawi 2002, dalam http://islamlib.com/id/artikel/negara-syariat-atawa-negara-sekuler, diakses 2 Mei commit to user 2012)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102 b.
Pluralisme Agama Islam adalah agama yang dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif
sebagai tantangan yang mengancam struktur yang menindas baik di dalam maupun luar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice). Islam menekankan kesatuan manusia, dan menekankan keadilan pada semua aspek kehidupan (Engineer, 1999: 33). Atas dasar keadilan dan kesetaraan maka umat manusia diharuskan untuk hidup berdampingan secara damai dan berusaha membebaskan golongan masyarakat lemah dari penderitaan. Bahkan Ibn Taymiyyah seorang ahli hukum abad pertengahan, menganggap keadilan adalah hal sentral, “Kehidupan manusia di muka bumi ini akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai perbuatan dosa, daripada dengan tirani yang alim” (Engineer, 1999: 39). Keyakinan semacam itu juga tercermin pada pemikiran tokoh-tokoh liberal yang berusaha mengembangkan pluralisme. Sebelumnya perlu dibedakan antara makna pluralitas dan pluralisme. Pluralitas agama adalah wujud fakta keberagaman dan perbedaan agama-agama di dunia ini. Sebagai fakta, pluralitas merupakan ketentuan Tuhan (Sunnatullah), dan karenanya tidak dapat dihapuskan. Adapun pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, sikap dan pendirian yang dimiliki seseorang terhadap kenyataan akan keberagaman dan fakta perbedaan tersebut. Secara khusus, pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, keyakinan bahawa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Seperti dikemukakan Peter Byrne, profesor di King’s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis. Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang lebih benar dari yang lain, artinya setiap agama harus senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau kembali (Syamsuddin Arif, 2010: 2). Pluralisme didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103 jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama (Budi Handrianto, 2007: xxxi). Menurut Budhy Munawar Rachman, ide toleransi dan pluralisme antaragama, akan membawa umat manusia kepada paham “kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah”. Walaupun berbeda agama, tetapi iman di hadapan Allah adalah sama. Karena iman menyangkut penghayatan manusia kepada Allah, yang jauh lebih mendalam dari segi-segi formal agama, berkaitan dengan religiusitas atau bahasa keilmuan sekarang spiritual intelligence. Oleh karena itu, yang diperlukan dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, adalah pandangan bahwa siapapun yang beriman (tanpa harus melihat agamanya apa) adalah sama di hadapan Allah. Karena Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu (http://islamlib.com/id/artikel/basis-teologi-persaudaraan-antar-agama,diakses 30 April 2012). Menurut Rachman (2001), dari segi teologi Islam seharusnya tidak menjadi masalah. Al-Qur’an menegaskan bahwa keselamatan di hari akhir hanya tergantung kepada apakah seseorang itu percaya kepada Allah, percaya kepada hari akhir dan berbuat baik, dan inti ajaran agama adalah mengenai ketiga hal tersebut. Hal Ini dikemukakan Al-Qur’an dalam Al-Baqarah dan Al-Maidah (Q.S. 2: 62 dan 5: 69). Dalam mengomentari ayat tersebut, Abdullah Yusuf Ali menegaskan bahwa ajaran Allah itu satu, Islam mengakui keimanan yang benar dalam bentuk yang lain, asal dijalankan dengan sungguh-sungguh dan didukung oleh akal sehat, disertai tingkah laku yang baik (sebagaimana hal yang sama berlaku bagi orang Islam sendiri). Sementara Muhammad Asad dalam tafsirnya mengomentari, the idea of “salvation” here made conditional upon three elements only: belief in God, belief in the Day of Judgement, and rightous action in life. Dengan begitu, agama jelas mengakui adanya kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah. Kalau orang Islam diwajibkan menjalankan agamanya, begitu juga umat dalam agama lain. Dalam QS. Al-Maidah (5: 66) tertera: “Dan sekiranya mereka mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala yang diturunkan dari Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati kesenangan dari setiap penjuru”. commit useradalah takwa, bukan formalisme Ukuran derajat seseorang dengan orangtolain
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104 agama apa yang dianut. Perspektif ini akan sangat membantu dalam membangun kembali cintakasih dan persaudaraan antar agama (dari basis teologisnya) yang dicita-citakan
dapat
lebih
baik
di
masa-masa
mendatang
(http://islamlib.com/id/artikel/basis-teologi-persaudaraan-antar-agama,
diakses
30 April 2012). c.
Kesetaraan Gender Kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad dan pemahaman Al-Qur’an
khususnya ayat-ayat yang dianggap merugikan kaum perempuan kembali terjadi dan bahkan lebih besar, didemonstrasikan dengan gamblang oleh kelompok Islam liberal (sekuler) yang memberikan salah satu bukti lain bahwa upaya melahirkan ijtihad yang benar di tengah-tengah umat Islam belum berhasil, dan kesalahan ekstrem ini jelas akan lebih menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya. Di Indonesia paham ini ditumbuhsuburkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani Ulil Abshar Abdalla yang bersinergi dengan Yayasan Paramadina Jakarta pimpinan mendiang Cak Nur (Nurcholish Madjid) (Ade Fariz Fazrullah, 2007: 466). Gerakan feminis di Barat tidak dapat dipungkiri merupakan respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Salah satu penyebabnya ialah pandangan ‘sebelah mata’ terhadap perempuan (Misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) serta citra negative yang dilekatkan kepada wanita, bahkan telah terwujud dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik. Pada abad pertengahan hingga di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki, peran wanita dibatasi hanya dalam lingkup rumah tangga. Wanita disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi gereja menuding perempuan sebagai sumber malapetaka dan pembawa sial (Syamsuddin Arif, 2008: 103-104) Kaum feminis di Barat umumnya menganggap Mary Wollstonecraft (1759-1797) sebagai nenek moyang dan pelopor commit to user feminis. Melalui A Vidication of
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105 Rights of Woman, Wollstonecraft mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan diperjuangkan untuk bersekolah dan memberikan suara dalam pemilihan umum (suffrage). selain hak pendidikan dan politik, para aktivis perempuan juga menuntut reformasi hukum dan undangundang negara agar lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Berbagai agenda emansipasi dilakukan secara intensif, termasuk menolak pembedaan di lingkungan kerja. Namun pada perkembangannya, gerakan feminis di Barat terlihat mengalami stigmatisasi dengan munculnya feminis-feminis radikal yang bersikap anti laki-laki, mengutuk sistem patriarki, mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianism dan revolusi seks, justru menodai reputasi gerakan emansipasinya (Syamsuddin Arif, 2008: 106-107) Gerakan feminisme juga disalahkan karena semakin menyuburkan pergaulan sesama jenis, menjauhkan keinginannya untuk menjalin perkawinan, dan mengubah perempuan menjadi makhluk yang gila karier. Emansipasi di Barat terbukti telah merusak sendi-sendi masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Banyaknya wanita yang mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan akan berdampak buruk bagi negara-negara yang bersangkutan karena menghentikan populasi generasi baru. Karena terlalu radikal dan melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan feminis di Barat berangsur-angsur surut dan nyaris tinggal wacana. Syamsuddin Arif (2008: 109), menjelaskan bahwa gerakan feminis hanya akan menyengsarakan kaum wanita. Relasi gender tidak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle) dengan saling menegasikan dan berebut posisi, melainkan dalam perspektif kerjasama dan hubungan timbal balik, dalam arti saling menopang dan bahu membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu sama lain. Wacana emansipasi di kalangan umat Islam, pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis dari Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita Muslimah commit to dan userperguruan tinggi agar mengetahui mendapatkan pendidikan formal di sekolah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106 hak-hak dan tanggungjawab sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan umat. Menurut Hasan at-Turabi, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah public, termasuk hak dan kebebasan mengemukakan pendapat, mengikuti pemilu, berdagang, menghadiri shalat berjamaah, ikut ke medan perang, dan lain-lain. Namun ada juga yang menggunakan pendekatan secular-liberal yaitu Qasim Amin. Intelektual yang disebut-sebut sebagai “bapak feminism Arab” meulis buku yang menyeru emansipasi wanita ala Barat, menurut Amin jika ingin maju buanglah
jauh-jauh
doktrin-doktrin
agama
yang
konon
menindas
dan
membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya (Syamsuddin Arif, 2008: 109-110). Gagasan Qasim Amin telah mendapat sanggahan dan tolakan keras yang sekaligus membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, ternyata kedatangan Islam adalah agama yang emansipatoris dan telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 M. Islam telah mengeliminasi adat istiadat Jahiliyah yang berlaku di Jazirah Arab, seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan sesuka hati, serta mempraktikan bermacam-macam pola perkawinan yang jelas sangat merugikan dan menindas perempuan. Mulai dari anak sulung laki-laki yang boleh menikahi janda (istri) mendiang ayahnya, ada bapak yang saling menukarkan putrinya untuk dinikahi satu sama lain, bertukar istri hanya dengan kesepakatan suami tanpa membayar mahar, hingga maraknya suami yang yang dengan paksa menyuruh istrinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil semata-mata hanya untuk mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang istimewa (Syamsuddin Arif, 2008: 110-111). Gerakan feminis radikal nampaknya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hasan dari Pakistan (pendiri International Network fot the Rights of Female Victims of Violence in Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh, Assia Djebar dari Aljazair, Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh dengan ulahnya menjadi khatib dan imam shalat jum’at, Zainah Anwar dari Sisto Mulia user dari Indonesia. Beberapa tokoh ters In Islam (SIS) Malaysia, Siticommit Musdah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107 tersebut hanya sebagian dari banyak tokoh yang tercatat dalam survei tentang feminism di negara-negara Muslim, dan tentunya masih banyak perempuan yang memandang emansipasi dari segi yang salah kaprah (Syamsuddin Arif, 2008: 112) Di Indonesia, wacana tersebut terlihat dari dukungan JIL terhadap Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang disusun sebagai laporan dari hasil penelitian selama dua tahun yang dilakukan oleh sebuah tim yang menamakan dirinya dengan Kelompok Kerja Pengarus Utamaan Gender (Pokja PUG) pimpinan DR. Siti Musdah Mulia, MA staf ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil Husein al-Munawwar, yang diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Depag RI untuk meneliti, mengkaji ulang dan menyusun draft pembaruan (revisi) terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1 tahun 1991. PUG dibentuk berdasarkan Inpres No. 9 tahun 2001, yang di dalamnya tertuang pernyataan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender (Ade Fariz Fahrullah, 2007: 467). Isu gender yang dihembuskan dunia Barat telah memberikan efek bius yang sangat kuat di bumi pertiwi seiring dengan kecenderungan naiknya kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Kasus-kasus kekerasan yang marak diperlihatkan media masa menjadi acuan Pokja PUG dalam menyusun CLD KHI, namun permasalahannya adalah banyak argumentasi dari gagasan-gagasan feministik seputar gender yang tertuang dalam CLD KHI. Jika dicermati mengandung banyak kerancuan, sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan ulama khususnya dan umat Islam pada umumnya. Karena pembaruan terhadap KHI yang diajukan oleh Tim Pokja PUG, bukan lagi dalam konteks tajdid (pemurnian) maupun ishlah (perbaikan), tetapi justru terjebak dalam konsep bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli. Selain itu, pendekatan yang digunakan bukan pendekatan syari’at, tetapi pendekatan gender, pluralisme, hak azasi manusia, dan demokrasi (Ade Fariz Fahrullah, 2007: 469).commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108 Masalah Kesetaraan Gender selalu menjadi polemik dalam pemahaman muslim yang meyakini emansipasi wanita dengan model Barat. Fatimah Mernissi adalah salah satu tokoh feminis yang tergerak untuk membuka belenggu aturan agama terhadap perempuan. Tidak lain karena lingkungan Mernissi kecil yang meyakinkannya untuk bergerak memperjuangkan keadilan bagi perempuan. karya-karya Mernissi sarat
dengan pengalaman individualnya. Setidaknya
pengalaman individual tersebut yang memacunya untuk melakukan riset historis tentang sesuatu yang dirasa mengganggu paham keagamaannya. Misalnya kita lihat dalam karyanya The
Veil
and Male Elite (Menengok kontroversi
Keterlibatan Wanita Dalam Politik) yang kemudian direvisi menjadi Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry. Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash suci baik Al-Qur’an dan Hadist didasari pada pengalaman individunya sehari-hari ketika berhubungan dengan masyarakat. Soal lain yang menjadi concern Mernissi adalah hijab. Tema hijab sangat dominan dalam karir intelektual Mernissi karena soal itulah yang sejak kecil mempengaruhi dirinya dan keluarganya, dan tentunya keluarga muslim lainnya. Hijab, yang merupakan instrumen pembatasan, pemisahan
dan
pengucilan terhadap perempuan dari ruang publik bagi Mernissi merupakan bentuk pemahaman keagamaan dominan. Hijab juga berarti sarana pemisahan antara penguasa dan rakyat. Pemikiran hijab yang terakhir ini dipengaruhi oleh realitas kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat Arab (Nong Darol Mahmada, 2001
dalam
http://islamlib.com/id/artikel/berontak-demi-kaum-perempuan,
diakses 2 Mei 2012). Dengan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an dan Hadist, riset sejarah dan analisa sosiologis, Mernissi berusaha keras untuk membongkar pemahaman tersebut, untuk kemudian memberikan tafsir alternatif. Pemikiran Mernissi mengenai hal ini bisa dilihat dalam dua bukunya The Forgetten of Queen in Islam (Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan) dan Islam and Democracy (Islam dan demokrasi: antologi Ketakutan) Dalam beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba menunjukkan bahwa kekurangan-kekurangan yang ada dalam pemerintahan Arab bukanlah karena commit to user secara inheren ajaran-ajaran religius yang nota bene menjadi undang-undang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109 dasar pemerintahan tersebut cacat. Namun karena ajaran agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun dalam beberapa hal Mernissi membela Arab, ketika negara-negara ini disorot dan dicitrakan negatif oleh pers Barat (Fatima Mernissi, 1994: 26). Menurut Nong Darol Mahmada (2001), Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, aktivitas perempuan berangsur-angsur surut. Ditambah dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah (isteri Nabi) dalam memimpin perang unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa itu kontroversial dikalangan pemikir Islam klasik. Ada satu pendapat yang mengatakan, tindakan itu merupakan ijtihad Aisyah sehingga tidak berdampak politis apapun dan mendapatkan satu pahala. Ada juga sebagian kalangan yang mengatakan, peristiwa itu merupakan sebab perpecahan umat Islam. Sehingga menjadi legitimasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah di bidang politik. Puncak pembatasan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan Abbasiyah. Pada dinasti Umayah masa Khalifah Al-Walid II (743-744 M), perempuan pertama kalinya ditempatkan di harem-harem dan tidak mempunyai andil dalam keterlibatan publik. Suara keterlibatan perempuan pada masa ini hampir tidak terdengar. Pada akhir kekhalifahan Abbasiyah yaitu pada pertengahan abad ke-13 M, sistem harem telah tegak kokoh. Pada periode inilah, lahirnya tafsir-tafsir Al-Qur’an klasik semisal Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya. Ini mempengaruhi penafsiran-penafsiran mereka yang mengabaikan ayat-ayat kesetaraan
(http://islamlib.com/id/artikel/hijabisasi-perempuan-dalam-ruang-
publik, diakses 2 Mei 2012). Di Indonesia, hijabisasi terhadap perempuan sempat ramai seiring dengan derasnya tuntutan diberlakukannya syari’at Islam. Dan hijabisasi merupakan agenda pertama dari penerapan syariat Islam. Ini bisa dilihat dalam bentuk diwajibkannya peemakaian jilbab, pembatasan ruang gerak dan sebagainya. Contohnya di Aceh dan Padang atau daerah-daerah yang menghendaki pemberlakuan syariat Islam. Bahkan masjid yang sebelumnya berfungsi sebagai ruang publik sekarang hanya milik kaum lelaki. Praktik-praktik seperti ini terjadi commit user di negara-negara yang mendasarkan padato syari’at Islam, misalnya Afghanistan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110 Pakistan, Arab Saudi, Sudan dan sebagainya. Dalam konteks kekinian, dimana kesetaraan perempuan tidak lagi dipersoalkan, membatasi perempuan dari ruang publik merupakan langkah yang mundur bagi keberlangsungan masa depan Islam (Nong Darol Mahmada, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/hijabisasiperempuan-dalam-ruang-publik, diakses 2 Mei 2012). d.
Metode Hermeneutika Secara etimologi istilah Hermeneutics berasal dari bahasa Yunani kuno
hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan, hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan (Sibawaihi, 2007: 6). Menurut para ahli, pembakuan istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks baru terjadi sekitar abad ke-18 Masehi, menyusul terjadinya gerakan Reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther di Jerman. Para teolog Protestan menolak klaim otoritas Gereja Katolik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci. Bagi kaum Protestan, setiap orang berhak menafsirkan Bible, dengan catatan mengetahui bahasa dan konteks sejarahnya. Friedrich Schleiermacher, seorang teolog Protestan yang pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik interpretasi kitab suci (biblische Hermeneutik) menjadi hermeneutika umum yang mengkaji prasyarat atau kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya suatu pemahaman atau penafsiran yang benar dari sebuah teks. Schleiermacher bukan hanya berupaya membebaskan tafsir dari dogma, tetapi juga mengajukan perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, semua teks harus diperlakukan sama, tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa (Syamsuddin Arif, 2008: 178-180). Bagi Habermas, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideology, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna sistematis. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111 Menurut Syamsuddin Arif (2008: 181), hermeneutika jelas tidak bebas dari nilai, hermeneutika mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan terhadap Bible, di mana campur tangan manusia dalam perjanjian lama (Torah) dan perjanjian baru (Gospels) jauh lebih banyak dibandingkan apa yang diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. Bila diterapkan pada Al-Qur’an, hermeneutika secara otomatis menghendaki penolakan terhadap status Al-Qur’an sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya. Hermeneutika menganggap setiap teks sebagai produk sejarah, sebuah asumsi yang tepat dalam kasus Bible mengingat sejarahnya yang problematis. Hal ini tidak berlaku untuk Al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia. Selain itu, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran darimanapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis, di mana makna senantiasa berubah. Terakhir, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistimologis, bahwa tidak ada tafsir yang mutlak benar (semuanya relative). Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir gadungan dan pemikir-pemikir liar (Syamsuddin Arif, 2008: 182-183). Menurut Ahmad Fuad Fanani (2002), hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan dipakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad tidak hanya dipahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar commit user dan tempat di mana manusia selaras dan cocok dengan kondisi ruang,to waktu,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112 berada dan hidup. Diskursus hermeneutika tidak bisa dilepaskan dari bahasa, karena problem hermeneutika adalah problem bahasa. Untuk itu, dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) teks tersebut. Dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure (seorang ahli bahasa dari Swis) adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana. (http://islamlib.com/id/artikel/metode-hermeneutika-untuk-al-quran, diakses 30 April 2012). Analisis yang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Fazlur Rahman harus diakui sebagai prestasi intelektual. Analisisnya telah mampu membongkar apa yang selama ini tidak tersentuh (unthoucable) oleh akal klasik maupun modern. Al-Qur’an sesungguhnya mempunyai visi transformatif dan liberatif untuk kemanusiaan. Ayat-ayat mengawali misi penurunan Al-Qur’an dengan mengadakan
revolusi
teologis.
Revolusi
teologis
ini
mengartikulasikan
substansinya melalui jargon “Tauhid” yang menegasikan seluruh sesembahan selain Allah. Tauhid ini juga menegaskan semangat egalitarianisme sebagai simbol perlawanan terhadap perbudakan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Makkah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah mengindikasikan semangat revolusi sosiologis terhadap tatanan dan struktur sosial kehidupan masyarakat dengan menjadikan keadilan dan kemakmuran sebagai doktrin sandaran (Ahmad Fuad Fanani, 2002 dalam http://islamlib.com/id/artikel/metode-hermeneutika-untuk-alquran, diakses 30 April 2012). Hermeneutika yang merupakan metode penafsiran yang memadai pada era modern, perlu memberikan tujuan penafsiran yang tegas dan jelas. Tugas hermeneutika Al-Qur’an yang mendesak adalah untuk pembebasan sosial kemanusiaan dari berbagai eksploitasi yang merugikan. Eksploitasi itu bisa berbentuk ekonomi, politik, sosial, budaya, serta pengekangan keberagamaan. Maka umat Islam Indonesia harus mempelopori penafsiran AlQur’an yang berimplikasi pada pembebasan sosial. Sudah waktunya para agamawan terjun untuk membebaskan penindasan, membela hak-hak wanita, dan berdiri pada garda terdepan menumbangkan segala ketidakadilan. Usaha yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113 dilakukan Farid Esack dalam menumbangkan rezim apartheid di Afrika Selatan, layak dipertimbangkan sebagai pemandu gerakan dan wacana keilmuan. e.
Konsep Jihad Jihad merupakan salah satu tema penting dalam ajaran Islam. Tiang
Islam adalah Shalat dan atapnya adalah jihad. Upaya mereduksi makna Jihad, karena besarnya kecenderungan untuk mengkonotasikan jihad dengan perang. Jika dihadapkan kepada kelompok yang memusuhi Islam, maka umat Islam harus berjihad. Mengingat jalan kekerasan fisik bari bisa dilakukan jika umat Islam diserang secara fisik pula, maka penerapan Jihad bisa berbeda-beda, tergantung skala prioritas, karena itu tidak perlu dimaknai secara tunggal sebagai perang fisik secara frontal (Nur Rachmat Yuliantoro, 2002: 6-7). Dalam pandangan Jaringan Islam Liberal pemaknaan Jihad jelas tidak bisa disamakan dengan perang. Tema Jihad menguat semenjak Amerika merencanakan serangan ke Afganistan menyusul tragedi 11 September. Beberapa organisasi keislaman mengangkat tema jihad untuk membangun solidaritas antiAmerika (Gatra, Asrori S.Karni & Hendra Makmur, 2001: 70).
Berbagai
demonstrasi dan aksi anti-Amerika dan sekutu-sekutunya telah menggeser citra Islam di Indonesia sebagai Islam yang lebih toleran, menekankan kedamaian dan perdamaian, harmonis, selalu menempuh jalan tengah moderat (ummatan washatan), atau bahkan digambarkan media massa internasional sebagai Islam with a smiling face. Pergeseran citra ini dapat mengubah pandangan dan harapan banyak kalangan, khususnya kalangan Islam internasional di negara-negara lain, bahwa Islam Indonesia merupakan alternatif bagi kemajuan Islam di tengah peradaban dunia dan modernisme yang tidak terelakkan. Islam di Indonesia dalam pandangan dunia adalah Islam yang kompatibel dengan modernisme, kemajuan sains dan teknologi, dan multikulturalisme. Pada waktu yang sama, pemerintahan Presiden Megawati juga mengambil posisi dan sikap yang lebih tegas terhadap kelompok-kelompok garis keras. Sikap tegas dimulai dengan ancaman mencabut kewarganegaraan bagi yang akan pergi ke Afghanistan dan bergabung commit todengan user tentara Taliban sampai kepada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114 tindakan keras polisi menghadapi demonstrasi bahkan menahan sejumlah orang (FPI-Solo) dan memanggil pimpinan FPI, Habib Riziq Shihab ke kantor polisi. Dengan sikap tersebut, gelombang demonstrasi dan sikap anti-Amerika, serta tuntutan-tuntutan kepada pemerintah Indonesia terlihat menurun secara signifikan. Menurut Azyumardi Azra (2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/jihadproporsional, diakses 2 Mei 2012), memandang dampak yang terjadi terhadap kondisi politik dan ekonomi nasional, maka sebaiknya seluruh elemen bisa melihat masalah konfrontasi Amerika Serikat (AS) dengan Bin Laden (Taliban) secara lebih jernih, dingin dan obyektif dengan titik tolak kepentingan nasional. Juga perlu pengamatan yang lebih jernih tentang Bin Laden maupun rezim Taliban dilihat dari perspektif Islam di Indonesia. Dalam berbagai segi pemahaman dan praktek keagamaan yang dianut Bin Laden maupun Taliban memiliki perbedaan yang mencolok dengan pemahaman dan praktik Islam umumnya di Indonesia. Solidaritas Islam (ukhuwwah Islamiyyah) sangat dianjurkan dalam ajaran Islam, karena sebagaimana dikemukakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, setiap Muslim merupakan saudara bagi Muslim lainnya, penderitaan yang dialami seorang atau sekelompok Muslim lainnya juga merupakan penderitaan bagi Muslim lainnya. Tetapi ekspresi solidaritas Islam itu harus ditempatkan pada proporsinya. Dalam kerangka proporsionalitas, maka ukhuwah Islamiyah terhadap Muslim Afghanistan yang menjadi korban serangan AS tidak harus selalu dalam bentuk jihad dalam arti perang bersama-lama melawan AS. Berbagai constraints yang ada, baik di dalam negeri sendiri dan di luar negeri (khususnya di Afghanistan dan Pakistan) seharusnya mendorong ungkapan solidaritas Islam itu dalam bentuk lain, seperti pengumpulan dana, makanan, pakaian, obat-obatan untuk membantu saudara-saudara Muslim di Afghanistan (Azyumardi Azra, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/jihad-proporsional, diakses 2 Mei 2012). Proporsionalitas ungkapan solidaritas Islam seharusnya juga lebih berorientasi ke dalam. Keadaan ekonomi Indonesia yang masih terpuruk telah menjadikan kaum Muslimin sebagai korban yang paling menderita, apakah dalam to user bentuk merosotnya pendapatan commit maupun dalam bentuk pengangguran yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115 semakin meluas. Selain itu, sekitar 1,3 juta anak bangsa telah menjadi pengungsi di mana-mana. Bisa dipastikan, sebagian besarnya adalah kaum Muslimin. Ukhuwwah Islamiyah yang begitu menggelora lebih tepat ditujukan kepada permasalahan
tersebut.
Memandang
berbagai
gejala
yang
kurang
menggembirakan, maka para pemimpin organisasi-organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, dan organisasi-organisasi besar lainnya mengambil sikap lebih pro-aktif. Sikap pro-aktif bisa dilakukan dengan lebih sering melakukan dialog dengan kelompok-kelompok garis keras untuk merumuskan sikap yang lebih proporsional dalam menyikapi berbagai perkembangan baik di dalam maupun luar negeri yang mempengaruhi kaum Muslimin dan Islam. Para pemimpin mainstream Muslim juga harus lebih outspoken dan asertif untuk menyatakan kepada publik umumnya tentang sikap proporsional dalam merespon dan menyikapi berbagai perkembangan tersebut (Azyumardi Azra, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/jihad-proporsional, diakses 2 Mei 2012). Sikap kalangan Islam Liberal terhadap konsep Jihad tentu bukan tanpa tantangan, karena pandangan yang berbeda dengan pemahaman kelompok Islam Radikal dalam memahami jihad, sementara dapat dilihat, kelompok Islam radikal semakin berkembang dan memperoleh banyak simpatisan serta tetap memegang teguh prinsipnya. 3. Strategi Pengembangan Islam Liberal di Indonesia Sejak berdiri, Jaringan Islam Liberal nampaknya kurang memperlihatkan jumlah simpatisan yang berarti, namun dibalik itu ternyata kesuksesan Jaringan Islam liberal dalam membumikan Islam liberal di Indonesia pasca Orde Baru terlihat nyata. Ada beberapa kegiatan pokok Jaringan Islam Liberal yang sudah dilakukan (http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil, diakses 10 Februari 2012) a. Sindikasi Penulis Islam Liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan commit to useruntuk mendapatkan penulis yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116 baik. Dengan adanya “otonomi daerah”, maka peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah. b. Talk-show di Kantor Berita Radio 68H. Talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh). c. Penerbitan Buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tematema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul Wajah Liberal Islam di Indonesia. d. Penerbitan Buku Saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan Buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menajdi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari perspektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syari’at Islam, jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf, nahy munkar), dll. e. Website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal (
[email protected]) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117 radio, dll.) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL. f. Iklan Layanan Masyarakat. Untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi
sejumlah
Iklan
Layanan
Masyarakat
(Public
Service
Advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan, dan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul “Islam Warna-Warni”. g. Diskusi Keislaman. Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dll. Strategi pengembangan Jaringan Islam Liberal dapat dikatakan meraih kesuksesan berkat dukungan media. Di mana era global telah membawa dominasi informasi oleh negara-negara maju berkembang pesat. Pakar komunikasi Wilbur Schramm membenarkan bahwa hampir terdapat monopoli media internasional, adanya orientasi pasar pada media internasional. Dengan dominasi komunikasi, maka rekayasa informasi global sangat leluasa dilakukan. Dapat dipahami bahwa peran opini publik terhadap pola pikir, pola sikap, dan perilaku masyarakat sangat besar. Banyak pemilik media massa seolah-olah tidak peduli dengan informasi yang di sampaikan akan merusak atau mendidik (Adian Husaini, 2002: xxxvii) Menurut Adian Husaini (2002: xlvii), bagi Barat tampaknya ada rumus yang dipegang: siapa yang mendukung sekularisme, tidak mencampurkan agama dengan politik, melawan Islam garis keras, bersahabat dengan zionis, itu yang akan dijadikan kawan dan dibantu oleh Barat. Selain itu Agenda yang diusung JIL dapat disadari ataupun tidak telah menampakkan kemiripan dengan warisan imperialis. Secara jujur, sebenarnya, ide-ide besar JIL dapat dipahami dalam commit user kerangka warisan imperalisme Barat ke to atas Dunia Islam. Jika diamati tentang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118 agenda-agenda JIL, maka kita akan menemukan perkaitan antara imperialisme barat dan agenda JIL. Dalam agenda politik, kaum muslimin diarahkan oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam agenda plurarisme, kelompok ini menyeru bahawa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, adalah menyamaratakan secara total peranan hak lelaki dan perempuan, dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama, tak jauh berbeda dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide tersebut pada akhirnya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis. Kerana itu, sulit untuk tidak menganggap bahwa JIL adalah proyel imperialis dengan mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam secara murni, kecuali setelah melalui penyelewengan teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya teologi pluralisme menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II 1963-1965 yang mengambil prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan mungkin berada di luar Katolik. (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 97). Dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak persamaan dengan ideologi liberalism-kapitalisme. Ide-ide besar kapitalisme itu antara lain: sekularisme, demokrasi, dan kebebasan. Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme sehingga tokoh JIL menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standard pemikiran. Meminjam bahasa Al Jawi, idea-idea kapitalisme diterima terlebih dulu secara taken for granted dan dianggap benar secara total, tanpa diberi peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir) kemudian ide-ide tersebut dijadikan dasar untuk menilai dan mengadili Islam. Selain itu, peran The Asia Foundation dalam pemberian dana untuk kegiatan-kegiatan JIL semakin memperkuat adanya kerjasama khususnya dalam membentuk opini publik untuk mendukung pengembangan JIL (Thoriq dalam http://islamicunderstanding.wordpress.com/2011/09/23/jil-cia-asia-foundationrancak-serang-muslim-indonesia/, 29 Feb 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119 Dapat dilihat dalam website www.islamlib.com kesuksesan programnya dalam mengelola berbagai rubrik mulai dari reportase, kolom, editorial, wawancara, klipping, pernyataan pers, tokoh, sampai resensi buku, tercatat sejak tahun 2001 sampai 2005 berjumlah 743 tulisan (rubrik, judul, penyusun, dan waktu terbit: Terlampir) yang setiap tahunnya dapat diamati memperjelas agenda JIL sesuai dengan isu yang berkembang dan perlu didiskusikan. Sejak berdiri tahun 2001 JIL mulai dari diskusi-diskusi mengenai istilah liberal dalam Islam Liberal dan menyusun agenda-agenda yang harus dikerjakan. Tahun 2002, seiring dengan datangnya respon, kritik dan sejumlah peristiwa politik yang banyak mengusung Islam sebagai kekuatan ideologis, sehingga muncul penolakan terhadap penerapan syariat dalam negara, JIL mulai menggagas secara serius mengenai teologi negara sekular. Tahun 2003, pluralisme Nampak menjadi puncak dari agenda-agenda JIL, di mana sikap toleransi, kebebasan menafsirkan Al-Qur’an, kebebasan berekspresi (mulai pembahasan agama, seni, dan batasannya) menjadi tema diskusi yang diusung. Tahun 2004, seiring maraknya pemilu 2004, di mana partai Islam bersaing dengan legitimasi agama untuk meraih simpati masyarakat, diskusi JIL diwarnai dengan pembendunganpembendungan politisasi agama dalam pemilu, posisi ulama dengan godaan politik kekuasaan sehingga gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid dianggap perlu dikembangkan dengan tidal mencampuradukkan antara kepentingan politik menggunakan label Islam. Tahun 2005, memuncaknya respon dengan hadirnya Fatwa MUI mengenai haramnya Sekularisme, pluralisma dan liberalisme semakin memojokkan posisi JIL, namun JIL tetap intens dalam berbagai diskusinya dan mulai menegaskan kembali mengapa perlu meniru Barat yang maju, karena Islam terus berubah. D. Pengaruh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia Tahun 2001-2005 1. Jaringan Islam Liberal dan Cita-cita Civil Society Civil society, dipadankan dalam bahasa Indonesia dengan “masyarakat sipil”, “masyarakat kewargaan” adalah suatu istilah yang pada mulanya berasal to user yang sedang giat melakukan dari Barat kemudian masuk kecommit negeri-negeri
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120 demokratisasi, termasuk Indonesia. Telah menjadi agenda penting yang sering dibicarakan banyak pemikir sebagai wacana dari praktik politik kontemporer. Sebagaisalah satu ajaran yang mwmpunyai misi mengubah tatanan sosial masyarakat, Islam memiliki konsep tentang masyarakat ideal dank arena itu Islam juga berkepentingan untuk mengubah masyarakat menuju cita-cita idealnya. Kesesuaian ajaran-ajaran Islam dengan civil society disepakati bahwa Islam mendorong penciptaan masyarakat madani, Nabi Muhammad bahkan telah mencontohkan secara aktual bagaimana perwujudan civil society yaitu ketika Nabi mendirikan dan memimpin Yatsrib yang kemudian dikenal sebagai kota Madinah dengan Piagam Madinah sebagai aturan yang disepakati bersama antara siapapun yang ada di Madinah (Masduki, 2007: 159). Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat nongovermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena
itu,
tekanan sentral masyarakat
madani adalah terletak pada
independensinya terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak kebebasan yang sama (Mawardji J., 2008: 20) Terdapat beberapa unsur yang merupakan bagian dari proses pemaknaan masyarakat madani yang lebih dari sekadar gerakan-gerakan pro-demokrasi yang menekankan peranan Islam, demokratisasi sebagai pemberdayaan, bukan oposisi, pemerintah tetap merupakan faktor yang krusial bagi demokratisasi dan reformasi politik, kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil, bukan konflik dan perebutan kekuasaan, pemerintah memerintah masyarakat sipil, tatanan demokratis tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara, menjamin stabilitas, di samping unsur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121 kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamaddun atau civility (Ahmad Baso, 1999: 257) Memasuki dekade 1990-an, orang banyak berbicara tentang civil society yang oleh kalangan Islam disebut sebagai masyarakat madani. Tidak jarang terjadi salah kaprah dalam memberikan interpretasi tentang konsep dasar apa yang disebut sebagai civil society. Dan tidak jarang pula ada yang memahami dengan melihat civil society sebagai masyarakat sipil vis a vis militer dalam kehidupan politik di Indonesia (Afan Gaffar, 1999: 176). Sebutan masyarakat madani, seperti banyak diakui para pendukungnya, pertama kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim sewaktu masih menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia dalam satu forum ilmiah menyampaikan ceramah berjudul “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani”, bahwa dalam sejarah Asia Tenggara, Islamlah yang pertama kali memperkenalkan cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis. Meskipun Anwar menyadari bahwa konsep civil society berasal dari Barat, tetapi Ernest Gellner juga menyebut konsep High Islam yang menegaskan bahwa budaya tinggi Islam yang juga beroperasi dalam sejarah Asia Tenggara (Ahmad Baso, 1999: 258) Menurut Hikam dalam Ahmad Baso (1999: 259-260), civil society diperlukan untuk menjembatani kemungkinan terjadinya dominasi oleh kekuatan primordial seperti agama. Maka, jika disepakati untuk membangun sebuah civil society dengan agama sebagai panglimanya akan mengalami kesulitan sebab dalam civil society agama ditempatkan sebagai salah satu elemen identitas. Hal ini berbeda dengan apa yang berlaku dalam wacana masyarakat madani yang menjadikan peranan Islam sebagai faktor dominan. Arena konsep civil society sepenuhnya berawal dari kemaslahatan manusia sebab civil society bukan berdasarkan prinsip agama, tetapi kewarganegaraan. Senada dengan itu, kelompok JIL sejak awal telah bekerjasama dengan Asia Foundation dalam mendorong demokratisasi dan civil society di Indonesia. Seperti dijelaskan Ulil dalam Gatra (8 Desember 2001: 66), “kami susun program, kami ajukan ke Asia Foundation, dan disetujui”. Hal tersebut to user Officer Islam dan Civil Society dibenarkan oleh Ahmad Suaedy, commit selaku Program
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122 Asia Foundation, “Dalam rangka mendorong demokratisasi dan civil society, kami memang bekerjasama dengan banyak organisasi Islam”. Bukan hal yang mustahil bahwa organisasi Islam yang dirangkul dalam kerjasama tersebut adalah organisasi yang mengangkat agenda-agenda sejalan dengan Barat. Dari penjelasan program-program JIL sebelumnya selama lima tahun (2001-2005), dapat diamati beberapa tahapan besar yang berjalan dalam pengembangan gagasan-gagasan liberalnya. Sejak berdiri tahun 2001 JIL mulai dari diskusi-diskusi mengenai istilah liberal dalam Islam Liberal dan menyusun agenda-agenda yang harus dikerjakan. Tahun 2002, seiring dengan datangnya respon, kritik dan sejumlah peristiwa politik yang banyak mengusung Islam sebagai kekuatan ideologis, sehingga muncul penolakan terhadap penerapan syariat dalam negara, JIL mulai menggagas secara serius mengenai teologi negara sekular. Tahun 2003, pluralisme Nampak menjadi puncak dari agenda-agenda JIL, di mana sikap toleransi, kebebasan menafsirkan Al-Qur’an, kebebasan berekspresi (mulai pembahasan agama, seni, dan batasannya) menjadi tema diskusi yang diusung. Tahun 2004, seiring maraknya pemilu 2004, di mana partai Islam bersaing dengan legitimasi agama untuk meraih simpati masyarakat, diskusi JIL diwarnai dengan pembendungan-pembendungan politisasi agama dalam pemilu, posisi ulama dengan godaan politik kekuasaan sehingga gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid dianggap perlu dikembangkan dengan tidal mencampuradukkan antara kepentingan politik menggunakan label Islam. Tahun 2005, memuncaknya respon dengan hadirnya Fatwa MUI mengenai haramnya Sekularisme, pluralisma dan liberalisme semakin memojokkan posisi JIL, namun JIL tetap intens dalam berbagai diskusinya dan mulai menegaskan kembali mengapa perlu meniru Barat yang maju, karena Islam terus berubah. Agenda tersebut mengarahkan pada cita-cita Jaringan Islam Liberal dalam Islam dan civil society yang sebenarnya adalah implementasi dari bentuk masyarakat madani dalam terjemahan era modern karena menurut Ulil (Kompas, 18 November 2002) menjelaskan, …Di sini, saya mempunyaicommit perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam to user usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123 tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilainilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”. Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi. Jadi dalam konteks ini Ulil menganggap bahwa masyarakat madani hanya ada pada masa Rasulullah, yang tidak akan bisa diterapkan di masa sekarang. Anggapan tersebut jelas bertentangan dengan konsep konstitusi Modern. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, & Ni’matul Huda (2008: 47), menjelaskan bahwa Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang dibuat
untuk
mempersatukan kelompok-kelompok sosial di Madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-haknya demi kepentingan bersama, merupakan contoh atau teladan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Ide-ide dalam ketetapan Piagam Madinah tetap mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini, dan telah menjadi pandangan hidup modern berbagai negara di dunia. Tujuan membentuk masyarakat beradab atau dalam konteks ini disebut civil society yang penuh dengan toleransi antar umat beragama direpresentasikan dalam menggagas sekularisme dan pluralisme agama. a. Kehidupan Politik (Menggagas Agenda Penolakan Negara Syariat) Diskursus negara syariat sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana Islam Politik. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.toBisa commit user dilihat dari maraknya organisasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124 keagamaan yang lantang menyuarakan isu negara syariat di berbagai dunia Islam, seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India, Pakistan dan Bangladesh) dan FIS (Aljazair). Syariat Islam menjadi istilah penting dalam kajian hubungan Islam dengan negara. Sejak terbentuk kesadaran nasionalisme Indonesia, syariat Islam menjadi salah satu ideologi yang bersaing dengan kekuatan ideologi lain, pada era tertentu syariat Islam dianggap sebagai kekuatan yang bisa mengganggu stabilitas Nasional sehingga perlu dikendalikan. Dan di masa transisi Indonesia menuju Demokrasi, syariat Islam kembali memasuki arena wacana politik dan gerakan yang cukup sistematis untuk diterapkan sebagai hukum nasional (Taufik Rahman, 2004: 105-106). Menguatnya keinginan masyarakat
muslim di tanah air untuk
menerapkan syariat Islam merupakan gejala yang menarik, bukan hanya dalam hal penerapan yang bersifat teknis, akan tetapi dalam mengungkap dimensi yang hilang dalam wacana syariat Islam. Terdapat ruang yang lebar untuk memahami kembali syariat Islam yang hanya dianggap identik dengan istilah “penerapan dan formalisasi”. Arus reformasi dan demokratisasi yang berkembang pesat pascatotalitarianisme Orde Baru telah mengilhami keterbukaan dan kebebasan untuk mendiskusikan wacana keagamaan yang telah mengalami keterkungkungan (Zuhairi Misrawi, 2001: dalam http://islamlib.com/id/artikel/tafsir-humanis-atassyariat-islam, diakses 30 April 2012). Demokrasi yang dicita-citakan tentunya mempunyai keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik. Demokrasi tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya melalui lembaga pengadilan dan kepolisian. Setiap Muslim memiliki kepercayaan bahwa kultur politik Nabi Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang dibangun, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukan saja seorang pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan commit to user Berdasarkan keterangan tersebut kepemimpinan politiknya atas dasar Syari’ah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125 Saiful Mujani, (2001: dalam http://islamlib.com/id/artikel/syariat-islam-danketerbatasan-demokrasi diakses 30 April 2012) menegaskan Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur massa mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka sistem politik yang cocok untuk ini adalah nondemokrasi, misalnya saja otoritarianisme atau bahkan totalitarianisme. Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam keberadaannya. Maka, pada dasarnya penerapan syariat dianggap sebagai hal yang mengancam keragaman di Indonesia yang multikultural sehingga kelompok Islam liberal begitu menolak wacana syariat diterapkan di Indonesia. Penerapan syariat dikhawatirkan akan menjadi penghambat proses demokrasi yang diharapkan mampu menampung kebebasan. Secara umum argumentasi kaum liberal untuk menolak penerapan syariat Islam dapat dikategorikan menjadi tiga. Argumentasi historis, bahwa hukum Islam adalah produk masa lalu yang dibentuk berdasarkan latar belakang sosial dan politik masyarakat dan merupakan sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat itu. Karena itulah, syariat Islam tidak mungkin diaplikasikan untuk saat ini karena tidak merefleksikan kepentingan masyarakat saat ini. Berdasarkan pertimbangan maqashid syariah, argumentasi ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai objektif/maqasid utamanya sendiri. Dan objektif utama syariat Islam secara umum adalah menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Konsep maslahat itu sendiri commit to Apa useryang dianggap maslahat pada saat berubah seiring dengan berjalannya waktu.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126 tertentu dan oleh masyarakat tertentu belum tentu dianggap sama oleh masyarakat lain dan dalam konteks waktu yang lain. Yang terakhir berdasarkan argumen pertimbangan Hak Asasi Manusia, syariat Islam yang diterapkan dalam aturan pemerintahan sebagai dasar hukum dikhawatirkan akan menghambat toleransi dan melanggar
HAM
(Wildan
Hasan
dalam,
http://www.voa-
islam.com/news/indonesiana/2011/03/16/13797/kejanggalan-pemikiran-ulilabshar-abdalla-tentang-islam/, diakses 10 Juni 2012). Menurut Ulil (Gatra, 21 Desember 2002: 29), pemberlakuan syariat Islam sama saja melibatkan secara penuh peran negara dalam kehidupan beragama, cara ini bisa mempersempit cara pandang Islam, Syariat menjadi terjebak dalam urusan larangan-larangan seperti minuman keras, Jilbab, perzinaan, perkawinan sesama jenis. b. Terhadap Kehidupan Agama (Mengedepankan Pluralisme Agama) Pengaruh cara pandang JIL terhadap kehidupan beragama jelas menimbulkan kontroversi luar biasa khususnya artikel yang ditulis Ulil dalam Kompas 18 November 2002. Menurutnya, temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugrah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya adalah milik orang Islam juga, tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam. Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri, yang harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu. Ulil berpandangan lebih jauh lagi, bahwa setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai commit Islam juga. Islam (seperti pernah dikemukakan to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127 Cak Nur dan sejumlah pemikir lain) adalah nilai generis yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme. Paham pluralisme sangat dekat dan didukung oleh pandangan Islam inklusif yang terbuka terhadap kemajuan. Idea of progress bertitik tolak pada konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik , suci dan cinta kepada kebenaran dan kemajuan (manusia diciptakan Allah dalam fitrah dan berwatak hanif). Konsistensi idea of progress adalah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran. Jadi, sejalan dengan intellectual freedom, manusia harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spectrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang menurut ukuran objektif mengandung kebenaran (Nurcholish Madjid, 2008: 234). Menurut Madjid (2008: 235), sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari Allah, sedangkan sikap tertutup, sehingga “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit”, merupakan salah satu tanda kesesatan. Di satu sisi, JIL mengedepankan toleransi beragama, namun di sisi lain pengaruhnya sangat buruk bagi manusia, kelonggaran-kelonggaran yang dipercaya datang dari Al-Qur’an sebenarnya merupakan kelonggaran yang dibuat oleh manusia itu sendiri, bisa jadi kelonggaran tersebut telah malampaui batas toleransi. Kebebasan yang diususng oleh JIL telah meresahkan umat muslim khususnya bagi kelompok yang awam dan menerima mentah-mentah indahnya sebuah kebebasan termasuk kebebasan untuk tidak beragama. Menurut Djohan Effendi (dalam wawancaranya dengan Nong Darol Mahmada, Agustuss 2001, http://islamlib.com/id/artikel/harus-ada-kebebasan-untuk-tidak-beragama, diakses 30 April 2012) Pertama, keberagamaan harus menjadi suatu pilihan, keyakinan. Dan setiap orang harus meyakini bahwa keberagamaannya itu merupakan keyakinan yang ultimate. Kalau tidak seperti itu, buat apa beragama kalau kita tidak meyakini bahwa agama yang kita pegang akan menyelamatkan kita. Kedua, salah satu wujud keberagamaan yang commit to paling user dalam adalah ketulusan. Jadi ia harus secara tulus, tidak ada paksaan untuk menganut agama. Karena itu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128 segala macam bentuk paksaan tidaklah dibenarkan, karena musuh yang paling fundamental dari agama adalah kemunafikan. Jadi kalau orang tidak memperoleh kebebasan untuk menentukan pilihannya, entah karena paksaan secara halus ataupun kasar, dalam bentuk apapun, menurut saya tidak akan lahir keberagamaan yang tulus, yang betul-betul murni. Kalau tidak ada kemurnian dalam beragama, buat apa? Pluralisme yang disalahartikan telah menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan umat Islam khususnya di Indonesia. Pluralisme dan toleransi disuguhkan dengan berbagai argumentasi yang menolak adanya pemaksaan untuk memeluk satu agama. Menurut Nurcholish Madjid (2001), tidak boleh ada pemaksaan agama artinya tidak boleh memaksa manusia untuk memeluk satu agama. Agama-agama yang ada (sepanjang benar-benar bersifat standar dan mempunyai kitab suci) harus ditolerir dan juga harus diberi hak hidup. Al-Qur’an bahkan menuntut agar menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Berdasarkan hal itu, secara historis, masyarakat yang paling berhasil belajar soal kemajemukan adalah masyarakat Islam. Karena itu, negara-negara Islam rata-rata multi-agama, kecuali Arab Saudi, negara ini menerapkan kebijakan politik yang dimulai Umar bin Khattab untuk daerah Hijaz. Untuk Hijaz tidak boleh ada agama lain, karena dimaksudkan sebagai sebuah homebase yang aman. Mereka yang keluar dari hijaz, dan mereka yang bersedia keluar ke Irak atau Yaman, diberi kompensasi yang besar. Tapi kalau kita ke Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, Libanon dan lainlain masih banyak orang-orang Nasrani, Yahudi dan lain-lain, dengan Gereja dan Sinagogenya
(http://islamlib.com/id/artikel/dalam-hal-toleransi-eropa-jauh-
terbelakang, diakses 30 April 2012). Pemahaman-pemahaman semacam ini telah merasuk dalam pandangan masyarakat Indonesia bukan hanya di kalangan tokohtokoh intelektual saja melainkan hingga lapisan bawah, pemahaman pluralisme telah mengakar mulai dari pendidikan tingkat Sekolah Dasar, dengan menanamkan bahwa semua agama adalah sama sehingga perlu adanya toleransi antarumat beragama. 2. Respon dan Kritik terhadap Jaringan Islam Liberal Kehadiran dan sepak terjang JIL sejak awal telah memancing respon commit to user yang berbeda baik dari masyarakat awam, lintas agama, para ulama bahkan dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129 sesama kelompok muslim moderat-progresif yang memiliki basis teologis yang mirip. Mulai dari kritik metodologi, respon terhadap proyek-proyek JIL (masalah penolakan negara syariat, agenda pluralisme, dukungan akan betuk-bentuk kesetaraan gender, serta kebebasan berekspresi). Respon masyarakat bukan hanya bersifat diplomatis namun ada juga yang konfrontatif, menggunakan cara-cara kekerasan untuk membubarkan kelompok JIL, bahkan “Gerakan Indonesia tanpa JIL” ramai diperjuangkan oleh banyak kalangan yang merasa bahwa JIL telah sewenang-wenang dalam menginterpretasikan pemahaman kebebasan beragama secara berlebihan hingga dianggap merusak tata aturan Islam yang telah jelas. Dukungan
dan
penolakan
mewarnai
perjalanan
JIL
dalam
melanggengkan gagasan Islam Liberal agar dikenal masyarakat dalam kelas yang beragam. Kelompok pertama datang dari sekelompok intelektual tradisionalis muda yang sebagian besar adalah staf Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU, di mana Ulil Abshar Abdalla sebagai koordinator JIL masih menjadi ketua. Sejalan dengan itu Jadul Maulana seorang pemikir muda NU yang menjadi ketua Yayasan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), Yogyakarta membenarkan keberatan sebagian kalangan muda NU terhadap kampanye Islam Liberal. Respon muncul dengan mengajukan kritik atas orientasi liberal JIL yang menurut kelompok ini memiliki bias dan mengarah pada liberalisme Barat yang tidak memiliki kecocokan dengan Islam. Kemudian mengajukan sebuah pendekatan alternatif yang disebut dengan post tradisionalis Islam (Postra). Walaupun mengakui perbedaan atas penafsiran modernitas dan liberalisme namun Jadul Maulana menyebut “kalangan Post Tradisionalisme Islam masih bisa mencari dan mencapai titik temu dengan Islam Liberal, terutama dalam menghadapi dua musuh yang sama: fundamentalisme dan konservatisme“ (Gatra, 8 Desember 2001: 68). Beberapa repon keras datang dari Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Adnin Armas dan Hartono Ahmad Jaiz. Menurut Husaini dan Hidayat, argumenargumen JIL adalah menyesatkan, meskipun keduanya berusaha untuk tidak membuat ‘cap sesat’ pada siapapun yang dikritik (Adian Husaini dan Nuim commit user diperhatikan adalah kritiknya Hidayat, 2002: ix). Beberapa fokus yangto penting
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130 kepada argumen JIL yang menyatakan orang Budha, hindu, Kristen dan Yahudi hari ini sebagai ahli kitab, penolakan JIL pada pelembagaan syariat dan tuduhan mereka kepada JIL sebagai kelompok yang membawa kepentingan imperialis Barat, Zionisme (Israel) dan jebakan Misionaris Kristen. Poin ini penting diperhatikan bahwa untuk menggagas agenda masyarakat pluralis sebagai cita ideal JIL masih akan banyak mendapatkan hambatan dari kebanyakan kaum Muslim, kritik tersebut dirangkum dalam sebuah karya yang dipublikasikan. Buku Armas memuat keterlibatan penulis dalam diskusi di milis
[email protected]. Armas menyatakan bahwa apa yang digagas dan dikembangkan JIL adalah bentuk lain tradisi orientalis yang mencoba mendangkalkan iman. Selain JIL mencoba menggunakan problem dan sejarah agama Barat (khususnya Kristen) sebagai masalah yang harus dihadapi umat Islam, terutama berkenaan dengan gagasan mengenai sekularisasi yang sebenarnya sama sekali tidak memiliki persamaan historis maupun dukungan teks dalam Islam. Armas menilai bahwa konsep liberal yang diusung tidak dieksplorasi secara mendalam sehingga memunculkan ide kebebasan yang liar tanpa batas (Adnin Armas, 2003: xiv). Sedangkan Jaiz mengkritik identifikasi mengenai pembaharu Islam sebagai modernis atau liberalis. Pengecapan label modernis atau liberalis sama sekali tidak Islami sebab terminologi ini menunjukkan sebuah kontaminasi nilai-nilai Barat yang secular dan tidak Islami. Jaiz menyatakan bahwa JIL adalah sebuah gerakan yang berbahaya bagi umat Islam, sebab berupaya
mendangkalkan akidah di balik
anjuran-anjurannya
mengenai
pentingnya ijtihad. Khoirul Huda (2009: 37), mengutip pandangan Luthfi Assyaukanie bahwa pertentangan terjadi antara kelompok yang mempunyai cara pandang dan logika berfikir yang berbalik dalam memaknai Islam sehingga agenda masingmasing kelompok tentu berbeda. Berikut beberapa pandangan yang berbeda di antara keduanya yang berimplikasi pada agenda gerakan: a. Di bidang politik, Muslim liberal berpandangan bahwa persoalan politik adalah masalah ijtihadi yang diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin, bentuk commit republik, to user negara dan pemerintahan berupa kerajaan, parlementer, atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131 presidential diserahkan pada kesepakatan anak bangsa. Sedangkan Muslim Fundamentalis berpandangan bahwa bentuk negara adalah khilafah dengan dasar syari‘at Islam. b. Berkaitan dengan hubungan internal umat Islam dan antar umat beragama. Kelompok Liberal meyebarkan faham pluralisme, inklusivisme dan toleransi, serta terbuka terhadap peradaban Barat, sebaliknya Islam fundamentalis cenderung mengembangkan anti-pluralis, eksklusif, menganggap agama lain sebagai orang kafir dan kelompok terkutuk serta mempercayai secara berlebihan teori konspirasi Barat dan umat Islam sebagai korbannya. c. Emansipasi wanita, kelompok liberal berkeinginan kuat mendekonstruksi beberapa doktrin Islam yang cenderung mendiskreditkan dan merugikan kaum wanita melalui gerakan feminisme dan persamaan gender. Sedangkan Islam Fundamentalis lebih membatasi emansipasi secara konservatif pada kewajiban wanita di sekitar rumah tangga, memakai jilbab, melayani suami dan membolehkan suami untuk berpoligami. d. Mengenai kebebasan berpendapat. Islam liberal sangat menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat karena merupakan wilayah privat seseorang, yang dibatasi hanya kebebasan berekspresi karena dilakukan secara berlebihan akan berbenturan dengan wilayah Negara. Sedangkan Islam Fundamentalis lebih cenderung mempromosikan peradaban tekstual Islam. Kasus-kasus aktual yang menandai adanya konflik tidak sebatas wacana antara sesama kelompok Islam progresif namun semakin berkembang di antaranya, tahun 2002 Ulil Abshar Abdalla menuai kritik para ulama dengan artikel provokatifnya di Kompas 18 November, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Sejumlah ulama menjatuhkan fatwa mati akibat artikelnya yang
dianggap
menghina
dan
memutarbalikkan
kebenaran
agama.
Menindaklanjuti apa yang kemudian dikenal dengan “Pernyataan Bersama Ulama dan Umat Islam Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur” di Bandung. Satu di antara isi pernyataan bersama itu berbunyi, “Menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan masif commitRasulullah, to user melakukan penghinaan terhadap Allah, umat Islam dan para ulama”.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132 Seorang perumus fatwa tersebut, KH. Athian Ali Muhammad Da’I yang menjadi pemimpin acara Silaturahmi Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) bersama beberapa ulama dari berbagai organisasi ataupun pribadi mengusulkan agenda actual tertentu agar diangkat dalam pernyataan bersama dan menyepakati empat poin untuk dinyatakan bersama. Mulai soal penyelesaian hukum kasus Abu Bakar Ba’asyir, seruan memboikot produk coca-cola, fatwa mati Islam liberal, serta seruan menentang hegemoni politik Amerika Serikat (Gatra, 21 Desember 2002: 24-25). Bahkan FPI (Front Pembela Islam) adalah lawan yang paling gencar untuk membubarkan JIL. Habib Riziq menyebut bahwa Islam Liberal adalah “Plagiat pemikiran”, karena gagasan-gagasannya hanya meniru tokoh-tokoh orientalis yang menggagas pembaruan terutama dalam memahami dan menilai Islam. Kaum Liberal Indonesia dengan semangat mengkampanyekan tentang perlunya membuat Tafsir Al-Qur’an edisi kritis. Padahal, jauh sebelum kaum Liberal Indonesia mengkampanyekan hal tersebut, adalah Arthur Jeffery (18931959) seorang tokoh Kristen Methodist dari Australia, dalam buku “The Qur’an as Scripture” yang diterbitkan pada tahun 1952. Selain itu, masih ada Abraham Geiger (1810-1874) yang melakukan kajian Al-Qur’an dari konteks ajaran Yahudi, dan Gustav Weil (1808-1889) yang melakukan kajian Al-Qur’an secara kronologis, serta Theodor Noldeke (1836-1930) yang melakukan kajian kritis asal muasal Al-Qur’an, juga Pdt. Edward Sell (1839-1932) yang menggunakan metodologi “Higher Criticism” terhadap Al-Qur’an, lalu Ignaz Golziher seorang Yahudi asal Hungaria yang pernah menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar (Habib
Rizieq
dalam
http://pondokhabib.wordpress.com/2011/11/08/liberal-
pelacur-pemikiran/, diakses 26 juni 2012). Kaum Liberal Indonesia dengan agresif mendorong penyatuan semua agama dengan konsep pluralisme, inklusivisme dan multikulturalisme. Jauh sebelum ini, Theolog dari kalangan Protestan seperti John Hick dan Paul F. Knitter, maupun dari kalangan Katholik seperti Raimundo Panikkar, sudah lebih dulu menyuarakannya. Di kalangan umat Hindu ada nama Ram Mohan Roy commitajaran to user (1772-1833) yang mencampur adukkan semua agama, kemudian ajarannya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133 dilanjutkan oleh Debendranath Tagore dan Kashub Chandra Sen. Kemudian gerakan ini semakin kuat diusung di kalangan Hindu oleh Ramakrishna (18361886) dan Vivekananda (1863-1902). Kaum Liberal Indonesia menggelorakan semangat perkawinan sejenis. Namun, jauh sebelum kaum Liberal Indonesia menyuarakan legalisasi homoseksual dan lesbianisme, Eric James, seorang pejabat gereja Inggris melalui bukunya “Homosexuality and a Pastoral Church” telah menghimbau gereja agar mengedepankan toleransi kehidupan homoseksual dan lesbianisme serta mengizinkan perkawinan sejenis. Bahkan pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS sepakat mengangkat Uskup Homoseks bernama Gene Robinson. Maka, di negara Barat, Homosex dan Lesbi tidak dianggap sebagai kejahatan selama masyarakat menerimanya (Habib Rizieq
dalam
http://pondokhabib.wordpress.com/2011/11/08/liberal-pelacur-
pemikiran/, diakses 26 juni 2012). Kritik lain juga datang dari Mustofa Bisri yang banyak menyorot gaya tulisan Ulil yang provokatif dan terkesan emosional, sementara Haidar Bagir yang menyatakan bahwa gagasan-gagasan yang dipromosikan JIL cenderung tidak memiliki basis teori dan metodologi yang jelas, terutama berhubungan dengan makna liberal yang multitafsir dan memiliki pengertian yang tidak terbatas (Gatra, 21 Desember 2002: 27). Syamsuddin, tokoh yang belajar pada orientalis namun kemudian membuat sebuah karya yang menunjukkan bagaimana orientalis ingin mengaburkan apa yang sudah jelas dalam aturan Islam juga turut memberikan kritik atas pandangan orang liberal yang menjelma sebagai intelektual muslim terutama masalah kesetaraan gender yang sering digaungkan tokoh-tokoh JIL. Menurut Syamsuddin (2008: 113), tidak ada ayat Al-Qur’an yang menampakkan misogyny ataupun bias gender. Justru begitu mulianya wanita dalam Islam hingga berbagai keistimewaan melekat pada diri perempuan. Pada skala hidup rumah tangga, perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tanggungjawab berbeda namun saling melengkapi, adapun pada skala yang lebih luas, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan commit to user amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134 Respon bukan hanya datang dari individu atau kelompok diskusi tertentu. Sekularisme, pluralisme dan liberalisme yang marak dan menjalar di kalangan Islam telah memanggil MUI untuk bertindak. Tanggal 26-29 Juli 2005 dalam Musyawarah Nasional (Munas)-nya yang ke-7, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan 11 fatwa, yaitu; 1.
MUI mengharamkan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual termasuk hak cipta.
2.
MUI mengharamkan perdukunan dan peramalan termasuk publikasi hal tersebut di media.
3.
MUI mengharamkan do’a bersama antaragama, kecuali do’a menurut keyakinan atau ajaran agama masing-masing dan mengamini pemimpin do’a yang berasal dari agama Islam.
4.
MUI mengharamkan kawin beda agama.
5.
MUI mengharamkan warisan beda agama kecuali dengan wasiat dan hibah.
6.
MUI mengeluarkan kriteria maslahat atau kebaikan bagi orang banyak.
7.
MUI mengharamkan pluralisme (pandangan yang menganggap semua agama sama), sekularisme dan liberalisme. (Keputusan fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005) Terlampir
8.
Fatwa yang memperbolehkan pencabutan hak pribadi untuk kepentingan umum. Fatwa MUI ini sama dengan kebijakan pemerintah, asal diberikan ganti rugi yang layak dan tidak untuk kepentingan komersial.
9.
MUI mengharamkan imam shalat perempuan.
10. MUI mengharamkan aliran Ahmadiyah. 11. MUI memperbolehkan hukuman mati untuk tindak pidana berat Kontroversi
dan
reaksi
negatif
dari
berbagai
pihak
langsung
bermunculan, fatwa tersebut dianggap tidak mendorong terjadinya dialog antaragama serta kerukunan dan saling pengertian antar pemeluk agama dan juga antargolongan dalam satu agama. Terdapat beberapa poin penting karena dijadikan landasan argument penolakan terhadap fatwa tersebut. Pertama, soal definisi liberalisme, pluralisme, sekularisme yang dimaksud. Kedua, soal commitKetiga, to usersoal pernyataan seseorang corong kekuatan dan pengaruh fatwa tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135 liberal bahwa MUI bukanlah wakil resmi dan satu-satunya kebenaran dalam Islam (Syamsuddin Arif, 2008: 116-118). Respon balik juga datang dari pihak JIL yang mempertegas posisinya yang tidak akan membubarkan diri, fatwa MUI dianggap telah membatasi kebebasan berpendapat di negara yang demokrasi. Namun seiring dengan itu pergerakan JIL mulai dirasakan pudar dengan perginya Ulil Abshar Abdalla ke Amerika untuk melanjutkan studinya sekaligus meredam respon berlebih dari pihak lawan. Menyimak situs www.islamlib.com, sebagai situs resmi yang terbuka untuk umum dan memuat banyak lontaran pemikiran yang sangat bervariasi dalam berbagai bidang, mulai akidah, syariat, sosial dan budaya, politik sampai politik internasional. Dalam lapangan akidah promosi terhadap teologi inklusif dan pluralisdipandang sebagai hal yang sangat serius dalam penghancuran akidah Islam. Konsep persamaan agama dengan menggunakan pemahaman Al-Qur’an sebagai legitimasi dianggap telah mengaburkan konsep Tauhid Islam (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 82). Reinterpretasi terhadap basis teologi seperti diusulkan oleh kalangan pemikir muslim yang menamakan dirinya liberal, inklusif, dan pluralis, tampak sekali terlalu dipaksakan. Hal itu karena Islam hanya mengajarkan toleransi, sebatas menghormati agama lain bukan pluralisme, dalam arti mengakui kebenaran agama lain. Adanya hambatan teologis seperti diakukan oleh JIL, dikatakan tidak berdasar. Sejarah Islam dan umat Islam dari Rasulullah hingga beberapa abad sesudahnya, termasuk hari ini, tidak pernah menemukan hambatan teologis ketika berinteraksi dengan umat antar-agama. Karena memang basis teologi yang diajarkan Islam sudah cukup jelas dan mudah untuk diaplikasikan. Selain teologi inklusif-pluralis penolakan terhadap penegakan syariat Islam adalah misi penting yang sangat berpengaruh dalam munculnya responrespon kelompok lawan. Menurut pemahaman kelompok JIL Banyak dampak negatif yang bakal muncul dari pemaksaan penerapan syariat Islam di Indonesia. Dari soal kemiskinan, ketidakadilan hukum, hingga perampasan hak-hak kewarganegaraan akibat sentralisme kekuasaan pada hanya satu penafsiran. commit to user Korban pertama yang bakal muncul akibat penerapan syariat Islam itu adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136 kaum perempuan. Karena, menurut Dr. Moeslim Abdurrahman, banyak sekali regulasi dalam Islam yang membatasi ruang gerak kaum perempuan (Kutipan wawancara
Ulil
dan
Moeslim
Abdurrahman,
2001
dalam
http://islamlib.com/id/artikel/korban-pertama-dari-penerapan-syariat-adalahperempuan, diakses 30 April 2012). Seperti kutipan jawaban Ulil dalam menjawab pertanyaan mengenai dampak dari pelaksanaan syariat Islam yang sekarang ramai dituntut sebagian kaum muslim di Indonesia: Kalau kita belajar dari pengalaman di Sudan atau Pakistan atau negeri Islam lainnya yang lebih dahulu melakukan penerapan syariat Islam, saya kira, pihak pertama yang paling merasakan dampak pelaksanaan syariat islam adalah kaum perempuan. Ini karena banyaknya regulasi dalam Islam dalam pelbagai hal. Misalnya, soal pengenaan pakaian dan lain-lain. Kedua, kelompok minoritas non-muslim. Alasannya, saat ini kita sedang mencari tafsiran sesungguhnya kalau syariat islam diterapkan dalam bentuk hidup bersama. Apakah kalau kita merefer kepada Piagam Madinah, masih tergambar bahwa kelompok Islam berkuasa dan oleh karenanya ada perlindungan. Sementara kelompok non-Muslim menjadi warga kelas dua. Ketiga, sebagaimana yang terjadi di Sudan dan lain-lain, kalau syariat Islam diterapkan dengan asumsi hukum hudud dilaksanakan secara konsisten, maka orang-orang miskin menjadi korban paling pertama. Pandangan yang tidak menyeluruh mengenai konsep syariat telah menjebak kelompok Islam Liberal tidak lain adalah proses pertempuran peradaban global yang terjadi pada berbagai lini:politik, ekonomi, pemikiran, informasi. Hal ini dianggap sebagai agenda imperialis sejati yang diteruskan oleh tangan-tangan kelompok liberal. Syariat Islam yang sudah baku diacak-acak dan dianggap kuno, ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi dengan nilai-nilai demokrasi Barat (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 166) Perlu dipahami, bahwa respon dan kritik tajam atas pergerakan JIL bukan tanpa alasan. Artikel-artikel kontroversial semakin sring di muat, mulai dari urusan negara, proyek menerbitkan Al-Qur’an edisi kritis, pelegalan pernikahan beda agama, masalah seni (pornoaksi dan pornografi hingga goyang inul) di mana fanatik beragama akan menghapus seni budaya, pandangan terhadap jilbab yang dianggap budaya arab saja, sampai tuntutan pelegalan hubungan sesama jenis commit to user yang dirasa merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi (seperti kasus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137 Irshad Manji, muslimah pendukung dan penganut lesbianisme yang justru dianggap pejuang wanita yang mampu berontak dengan tulisan-tulisannya). Penyimpangan-penyimpangan itu bukan hanya terjadi karena pemikiran tokohtokoh JIL yang terlalu liberal sehingga melampaui batas-batas agama. Namun kepercayaan akan teori Francis Fukuyama yang mengasumsikan bahwa sejarah akan berhenti pada prototype liberal Barat dan seluruh dunia harus mengikuti prototype ini (Khadhar, 2005: 99). Kegandrungan akan kemajuan Barat masih dijunjung tinggi oleh kelompok Jaringan Islam Liberal sehingga bukan hal yang mustahil bahwa jaringan ini akan terus ada dan mengembangkan gagasan melalui tulisan-tulisan
tokoh-tokohnya
karena
bentuknnya
(menggunakan istilah ”jaringan” bukan organisasi resmi).
commit to user
yang
tidak
formal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN C. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Di Indonesia prinsip liberal-sekular masuk bersama dengan kolonialisasi dan pengaruh orientalis. Kedatangan Snouck Hurgronje dengan politik Islam pemerintah Hindia-Belanda telah memberi kebebasan dalam hal ibadah dan sosial kemasyarakatan, tetapi dalam politik pemerintah mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Gagasan Islam liberal kembali berkembang pada tahun 1970-an. Pasca penumpasan PKI, pemerintah Orde Baru yang lebih dekat dengan pengaruh Barat mempercayai bahwa Islam dapat menghambat pembangunan. Gerakan radikal seperti Komando Jihad serta penerapan Pancasila sebagai asas tunggal berdampak pada dibubarkannya sejumlah partai politik dan ormas Islam. Virus Islam phobia semakin memarjinalkan Islam khususnya dalam bidang politik karena dikhawatirkan akan mengancam kedudukan pemerintah. Reformasi juga menjadi pendorong luasnya politisasi agama dan tuntutan negara syariat yang menganggap
rezim
Orde
Baru
telah
mengalami
kegagalan
dengan
pemerintahan sekularnya, sehingga bermunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalis yang radikal dan represif dalam mengatasi masalah umat. Beberapa faktor tersebut telah mendorong Ulil Abshar Abdalla dan aktivis pro kebebasan termasuk pejuang kebebasan pers seperti Goenawan Mohammad yang tergabung dalam kelompok diskusi (Kajian Utan Kayu) pada awal tahun 2001 menggagas jaringan yang mewadai diskusi-diskusi seputar isu-isu kontemporer yang dikenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). 2. Jaringan Islam Liberal memperkenalkan pemikiran Islam Liberal secara luas melalui beberapa agenda yang diklasifikasikan dalam empat agenda utama. Agenda pertama adalah agenda politik, berusaha menolak penegakan syariat commit to user Islam dalam sistem pemerintahan dan mendukung sekularisme. Agenda kedua 138
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139 adalah agenda yang berkaitan dengan kehidupan antar-agama (toleransi agama),
mendorong teologi pluralisme menjadi sesuatu yang
harus
dikembangkan dalam masyarakat majemuk. Agenda ketiga adalah agenda emansipasi wanita, difokuskan pada kajian kritis terhadap beberapa doktrin agama yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Agenda keempat tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi, berkaitan erat dengan masalah Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Strategi pengembangan gagasan Islam liberal dilaksanakan dengan bantuan dana dari The Asia Fondation. Kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara, mulai dari forum kajian dan diskusi dalam kelompok kecil ataupun kampus-kampus, melalui media cetak seperti Gatra, Tempo, Jawa Pos (mendapat porsi khusus dengan nama Kajian Islam Utan Kayu), hingga media elektronik (kantor berita radio 68H) termasuk internet dengan website resmi yang memuat seluruh arsip diskusi dan rubrik lainnya (www.islamlib.com). 3. Jaringan Islam Liberal mengarahkan tujuannya pada cita-cita civil society. Penegasan terhadap penolakan negara syariat (menggagas teologi negara sekular) dan pluralisme agama sebagai pembentuk civil society yang dalam perkembangannya justru mengalami respon dan kritik berbagai pihak. Kesuksesan dalam mengelola website www.islamlib.com,
mulai rubrik
reportase, kolom, editorial, wawancara, klipping, pernyataan pers, tokoh, sampai resensi buku, tercatat sejak tahun 2001 sampai 2005 berjumlah 743 tulisan memperjelas agenda JIL sesuai dengan isu yang berkembang pada masing-masing periode. Sejak berdiri tahun 2001 JIL mengawali diskusidiskusi mengenai istilah liberal dalam Islam Liberal dan menyusun agendaagenda penting. Tahun 2002, bersamaan dengan datangnya respon, kritik dan sejumlah peristiwa politik yang banyak mengusung Islam sebagai kekuatan ideologis, sehingga muncul penolakan terhadap penerapan syariat dalam negara, JIL mulai serius menggagas teologi negara sekular. Tahun 2003, pluralisme menjadi puncak dari agenda-agenda JIL, di mana sikap toleransi, kebebasan menafsirkan Al-Qur’an, kebebasan berekspresi (mulai pembahasan commit to user agama, seni, dan batasannya) menjadi tema diskusi yang diusung. Tahun 2004,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140 partai Islam bersaing dalam Pemilu dengan menggunakan agama sebagai legitimasi untuk meraih simpati masyarakat, diskusi JIL diwarnai dengan pembendungan-pembendungan politisasi agama, posisi ulama dan politik kekuasaan, sehingga mendorong gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid dianggap perlu dikembangkan. Tahun 2005, puncaknya respon terhadap sepak terjang JIL dengan keluarnya Fatwa MUI mengenai haramnya sekularisme, pluralisme dan liberalisme semakin memojokkan posisi JIL, namun JIL tetap intens dalam berbagai diskusi dan mulai menegaskan kembali perlunya meniru Barat yang maju karena jauh dari dominasi agama. D. Implikasi 1. Teoritis Implikasi Teoritis dari hasil penelitian ini adalah proyek Jaringan Islam Liberal yang terangkum dalam beberapa agenda khususnya isu-isu kontemporer mengenai penerapan sekularisme, pluralisme, kebebasan berpendapat, dan masalah kesetaraan gender adalah rangkaian yang dipercaya mampu mewujudkan masyarakat demokratis. Fungsi demokrasi menjadi penting (essential) bagi suatu negara untuk menerapkan demokratisasi ke dalam proses pemerintahannya. Dalam penelitian ini menemukan bahwa bagi negara yang mayoritas penduduknya muslim harus lebih peka dalam melihat realita di masyarakat karena tidak semua pemegang kekuasaan menyetujui demokrasi ala Barat. Jaringan Islam Liberal berusaha menjadi bagian bahkan jaringan yang mempelopori agenda demokrasi di samping banyak organisasi dan institusi Islam yang telah ada. Secara umum, agenda Jaringan Islam Liberal menghendaki sebuah negara yang mengedepankan asas demokrasi terutama dalam penempatan agama sehingga pluralism dan sekularisme dianggap menjadi jalan untuk terbentuknya masyarakat Madani yang dalam konteks ini disebut dengan civil society. Selain itu, pemahaman pada pemaknaan sekularisme dan sekularisasi, serta pluralisme dan pluralitas juga menjadi kajian penting yang memerlukan pendalaman teori bagi peneliti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141 2. Praktis Implikasi secara praktis dari hasil penelitian ini dalam dunia pendidikan adalah memperlihatkan bagaimana pertentangan antara kelompok fundamentalis dan liberalis merupakan fenomena yang telah mengakar dari peradaban kuno dengan nama dan tokoh yang berbeda namun pada dasarnya memiliki substansi yang sama. Bahkan pada tingkat sekolah terutama perguruan tinggi, kelompokkelompok yang mewakili dua kubu tersebut juga mengalami pertentangan. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa liberalisasi agama sangat mudah masuk melalui jalur pendidikan, hal ini terlihat pada sebagian besar tokoh-tokoh JIL yang justru berlatar belakang pendidikan tinggi. Keberadaan Jaringan Islam Liberal (JIL) di era reformasi yang menuai berbagai protes terutama dari kalangan ulama bahkan tokoh-tokoh progresif yang sama-sama mengusung ide kemajuan, hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pandangan bisa disebabkan bukan hanya karena pengaruh luar namun dari subyektifitas tokoh-tokoh tersebut (baik dari latar belakang pendidikan atau kondisi sosial yang membesarkannya). Bagaimanapun juga ajaran Islam adalah ajaran yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, sehingga konsep relativitas tidak bisa diterapkan dalam segala bidang kehidupan karena tidak semua yang diajarkan dalam Islam bisa dirasionalkan. 3. Metodologis Implikasi metodologis dari penelitian ini adalah dengan penggunaan metode historis memudahkan peneliti dalam mengumpulkan sumber melalui studi pustaka, namun banyaknya sumber yang ditemukan dengan berbagai sudut pandang masing-masing penulis membuat proses kritik dan interpretasi data harus ditempuh dalam waktu yang lama. Perbedaan dalam hal-hal pemaknaan dan pengklasifikasian beberapa definisi penting membuat peneliti harus menelaah berulang kali sumber-sumber yang diperoleh agar meminimalisir subyektivitas dalam penulisan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142 E. Saran Berdasarkan pembahasan dalam hasil penelitian di atas, maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti sebagai berikut: 3. Bagi Para Pembaca Bagi para pembaca, terutama pendidik dan pelajar, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai sejarah pemikiran Islam di Indonesia khususnya Islam Liberal yang oleh beberapa pihak dianggap sesat karena telah menunjukkan penyimpangan dalam proses liberalisasi Islam. Masalah Pemikiran Islam masih dianggap tabu untuk diketahui masyarakat awam, sehingga tidak di semua pembelajaran hal-hal mengenai konflik dalam tubuh Islam di bahas secara mendalam. Arus Islam Liberal yang mudah masuk melalui jalur pendidikan mendorong pihak-pihak dilingkungan pendidikan harus secara intens
melakukan
pembendungan
terhadap
paham-paham
Islam
yang
menyimpang. Diskusi dan kajian keislaman terutama dilingkungan perguruan tinggi diharapkan bisa dilaksanakan secara terbuka dan mampu menarik seluruh kalangan, karena diketahui selama ini sebagian besar acara dengan tema keislaman kurang diminati mahasiswa secara umum. 4. Bagi Para Peneliti Selanjutnya Bagi para peneliti, diharapkan ada yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai perkembangan Jaringan Islam Liberal, karena diketahui pasca keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2005 aktivitas JIL sempat memperkecil intensitas pergerakannya namun tetap dengan tegas tidak akan membubarkan diri. Bahkan mulai ramai kembali dengan munculnya isu-isu terorisme yang mengancam tokoh-tokoh JIL di Indonesia. Selain itu, bersamaan dengan semakin kerasnya perlawanan dari kalangan Islam Fundamentalis di tahun 2012 ini kelompok Islam Liberal muncul dengan wajah-wajah baru yang kebanyakan digawangi oleh aktivis muda pengagum kebebasan. Fenomena tersebut menarik untuk menjadi bahan kajian para peneliti terutama yang menekuni bidang pemikiran Islam guna membendung imperialisme gaya baru yang beralih dari commit to user perang fisik ke perang pemikiran.