Metode Pemahaman Islam Liberal Sebuah Percobaan Pemikiran Ulil Abshar –Abdalla Saya akan mengutarakan sebuah tema yang dalam satu segi mungkin merupakan kelanjutan dari apa yang pernah dirintis dengan cukup gemilang oleh Ibnu Rusy dalam karya seminarnya, “Fashlul Maqal Fi Ma Bainal Hikmati was Syari’ati Minal Ittishal”. Tema itu adalah mengenai kedudukan akal sebagai sumber pokok dalam era yang saya sebut “pasca-wahyu”. Beberapa inspirasi dalam tulisan ini saya ambil dari waliyyullah ad dihlawi, ulama india abad 18, dalam bukunya yang bagi saya amat mengasyikkan, “hajjatul lahi al balighah” (argumen puncak Tuhan), juga murid post-homous-nya, Fazlur Rahman. Tentu gagasan-gagasan saya disini tidak harus disesuaikan dengan tokoh-tokoh itu; saya malah berusaha mengembangkan gagasan yang “menyimpang” dari pikiran-pikiran mereka. Saya pernah menulis, bahwa dimana masyarakat di mana kita hidup ini adalah masyarakat pasca wahyu. Artinya, kematangan sosial umaat manusia sekarang ini menghendaki suatu keadaan yang begitu rupa di mana intervensi Tuhan yang sifatnya langsung kedalam sejarah manusia menjadi kurang atau malah diperlukan lagi. Kalau kita lihat kebelakang, gambaran wahyu-wayu semitik mengenai bagaimana Tuhan “berkarya” dalam sejarah manusia, sejujurnya tidak jauh berbeda dengan narasi-narasi timur tengah dewa-dewa seperti Ramayana dan Mahabharata. Kalau kita nonton wayang versi lokal (maksudnya sudah tentu Jawa dan Sunda) dari dua eppos besar India itu, kita akan disuguhi adegan-adegan yang tanpak wajar tentang bathara guru yang naik-turun dari dunia atas ke dunia bawah seperti warga Bogor yang pagi sore bolak-balik naik kereta listrik ke dan dari jakarta. Dalam wahyu-wahyu semitik, misalnya dalam perjanjian lama, uang digambarkan bagaimana Yahweh terjun langsung berkecimpung dalam perkaraperkara duniawi yang remeh tameh, bahkan sampai berkelahi segala dengan Yakob di pinggir sungai Yordan. dalam perjanjian baru kita baca “karya Tuhan” kedalam sejarah manusia terlaksana melalui mediator yang namanya “malaikat” (disini
gagasan ketuhanan sudah mengarah kecenderungan yang lebih transendental, sementara dalam perjanjian lama, gagasan tentang Tuhan yang sepenuhnya immanen dan tinggal bersama manusa masih cukup kuat). Kita baca dalam kitab Lukas, misalnya, tentang
penampakan malaikat kepada Zacharia untuk mengabarkan
kehamilan istrinya, Elizabet, meskipun istrinya itu sudah sangat tua dan mandul (Quran menyebutnya wa kanat imra’ati ‘aqiran). Elizabet kemudian melahirkan Yohannes (belakangan di sebut Yohannes sang pembabtis; dalam versi Arabnya, Yohanna al ma’madany). Penampakan malaikat, sebagai wakil Tuhan, tentu terjadi pada Maria, istri Yusuf saat di mengandung Yesus atau Isa. Dalam karir Isa sebagai nabi (versi Islam) dan anak manusia yang menggambarkan kerajaan Allah (versi Kristen ), penampakan malaikat juga berlangsung dalam pelbagai kesempatan. Dalam Islam, memang penampakan malaikat kepada nabi Muhammad jarang terjadi. Tetapi, wahyu dipahami oleh kebanyakan umat Islam sebagai “pendiktean langsung” oleh Tuhan-via malaikat kepada Muhammad, dalam kasus mana Muhammad sendiri diandaikan sebagai sepenuhnya “bejana kosong” yang tinggal menerima suatu “isi” untuk dituang kedalamnya. Muhammad sepenuhnya pasif. ( Rahman mengikuti Dihlawi dan Iqbal, tentu mempunya versi berbeda yang sangat saya suka : bahwa Muhammad mempunyai andil aktif dalam “produksi” wahyu itu sendiri). Dengan wahyu yang lagsung didektekan langsung dari atas itu Islam meletakkan diri dalam barisan yang sama dengan agama-agam alain yang mempunyai konsepsi tentang “intervensi langsung” ketuhanan dalam sejarah manusia. Intinya: dalam masa-masa kenabian dan kewahyuan itu, Tuhan diandaikan sebagi “pesona” yang sibuk terlibat dalam urusan duniawi, mulai dari mengajarkan diktum-diktum tetang benar-salah, mengintai tipu muslihat musuh-musuh para nabi yang diutus-Nya, hingga menimpakan azab yang langsung kepada manusia yang membengkang. Pokoknya, Tuhan itu sibuk sekali, tidak pernah lengah, tidak pernah ngantuk, seperti digambarkan dalam ayat Kursi itu. Sudah tentu, gambaran semacam itu hanyalah perlambang belaka ; celaknaya, difahami banyak orang sebagai sesuatu yang sepenuhnya harafiah). Kalau saya menyebut masyarakat sekarang sebagai pasca-wahyu, maksudnya sederhana: gambaran tentang Tuhan yang sibuk mengurusi segala tetek-bengek
urusan manusia itu sudah tidak tepat lagi. Gambaran Tuhan sebagi sejenis “Communiting God” (Tuhan yang wira-wiri dari kahyangan ke bumi dan balik lagi) juga tidak bisa lagi diterima. Salah satu warisan (yang kebetulan jelek) dari era kewahyuan itu adalah penggambaran Tuhan sebagai “Instansi” yang mendektekan secara detail apa yang baik dan apa yang buruk bagi manusia: Tuhan diandaikan sebagai “Bapak” yang tahu segala-galanya. Bukankah kata-kata yang sering diucapkan oleh kaum fundamentalis adalah seperti ini, “ bahkan sesuatu yang masuk akal saja jika, taruhlah, Sony mengeluarkan suatu produk maka dia juga akan mengeluarkan manual tentang bagaimana produk itu dioprasikan; demikian pula, Allah sebagai pencipta manusia, dia lebih tahu apa yang baik dan buruk bagi mereka, dan ajaran yang diberikannya adalah yang terbaik”. Sebagaiman dengan baik dikatakanoleh Haidar Bagir, piranti paling penting dala era pasca kewahyuan ini adalah akal. Akal adalah Rasul “imanen” yang di-instal kedalam setiap manusia untuk memandu mereka membina kehidupan yang baik (apa yang dalam debat kesarjanaan terakhir sering diistilahkan sebagai “good life”). Sejarah kehidupan manusia dalam era pasca kewahyuan itu adalah (mengutip anlis a yang terkenal dari Weber) sejarah rasionalisasi: sebagaimana
manusia membuat
kehidupannya “make sense”, masuk akal. Plausible, dan dapat ditinggali dengan nyaman. Sudah tentu rasio bukanlah sesuatu yang dalam dirinya terkandung suatu “kesempurnaan yang final” sesuatu yang dikehendaki oleh kaum fundamentalis. Rasio atau akal mempunyai kemungkinan “menuju” ke arah kesempurnaan itu. Saya kira, apa yang disebut oleh Immanuel Kant sangat bermanfaat buat kita dalam memetakan “situasi” setelah periode kewahyuan itu, di mana akal menjadi instansi penting. Dari Immanuel Kant, kita bisa belajar, bahwa apa yang disebut sebagai ide baik dan buruk, sebetulnya, bukanlah sebuah kategori yang untuk mengetahui manusia secara heteronim tergantung pada instalansi di luar dirinya. Ideide moral sejatinya telah tertanam dalam “fitrah” (ini bahasa Islam) manusia itu sendiri. Wahyu hanyalah mengafirmasi kategori-kategori itu sendiri. Tetapi harap dipertimbangkan bahwa apa yang disebut “wahyu” dan “fitrah” sebetulnya bukanlah konstruksi “verbal” dan “mental” yang telah selesai. Saya tidak setuju dengan gagasan bahwa wahyu dan fitrah itu adalah terisolir seluruhnya dari pengaruh-pengaruh sosial diluar dirinya. Kebalikan dari yang selama ini dipercayai banyak orang, saya
beranggapan baik wahyu dan fitrah adalah berkembang, menuai, berubah dan bergeser-geser terus sesuai dengan perkembnagan kematangan manusia itu sendiri. Dari sini, saya ingin mengembangkan sesuatu ide tentang hirarki sumber hukum dalam Islam dalam tatapan baru. Saya cenderung mendudukan akal dalam posisi pertama, disusul dengan al-Quran , Sunnah, kemudian Ijma’. Baiklah saya akan mengelaborasi sedikit mengenai hal ini. 1. Akal: kenapa akal berada ditempat pertama, jelas sekali bahwa akal manusia adalah peralatan yang saya pandang sebagai sangat pokok dalam era pasca kewahyuan. Akan mempunyai “keterarahan kepada kebenarankebenaran” dan dalam dirinya terkandung kategori-kategori moral yang membantu manusia untuk membangun sistim kehidupan yang rasional, plausible dan seterusnya, pendapat ini bukanlah baru. Kalau kita buka bab pertama buku-buku ushul fiqh di lingkungan madhab Syafi’i, akan terbaca disana perdebatan antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyyah mengenai watak dari kebaikan dan keburukan. Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa ketegori baik bruk itu dapat diketahui secara “otonom” oleh akal manusia; sebaliknya kaum kaum Asy’ariyyah yang menjadi landasan sekte sunni pada umumnya mengatakan bahwa manusia dapat mengetahui kategori baik buruk melalui penentuan Tuhan. Artinya: manusia tidak otonom, tetapi heteronom. Pandangan mu’tazilah, bagi saya, lebih tepat untuk era pasca kewahyuan. Mengikuti pembahasan-pembahasan oleh Dr. Hamid Abu Zaid perihal sifat-sifat teks termasuk didalamnya teks keagamaan), harus disadari bahwa baik teks al-Quran dan Hadis tidaklah bisa difahami secar langsung tanpa melalui perantara “hermeneutika”, dalam hal ini akal manusia. Sebagai catatan : akal disini tidak hanya difahami semata-mata secara Kantian, yaitu akal yang berada diluar sejarah, yang tertutup dalam dirinya sendiri: saya memahami akal dalam dua perspektif sekaligus, yaitu akal yang historis-konekstual, juga akal yang relasional. Dalam pengertian seperti ini, akal tidaklah bersifat seragam; akal sangat terkait dengan konteks sosial tertentu. Akal yang menafsir kitab suci bukanlah akal yang supra-historis, tetapi akal yang historis, sehingga dengan demikian hasil akhir tafsiran itu sendiri juga bersifat historis.
2.
Quran : Quran adalah sumber kedua yang kedudukannya terletak setelah akal. Seperti disebutkan di muka, Quran hanyalah mengafirmasi kategorikategori moral moral dan potensi-poteni kebaikan yang ada dalam akal manusia. Quran adalah wahyu yang verbal yang kedudukannya adalah sekunder terhadap akal non-verbal. Pertanyan ini tidak untuk merendahkan kedudukan Quran itu sendiri. Pada dasarnya, tidak ada pertentangan antara ide-ide moral dalam Quran dengan akal manusia itu sendiri. Saya, dalam hal ini, menggemakan saja apa yang sudah dikemukakan oleh Ibnu Rusy tentang persesuaian (muwafaoh) antara wahyu dan akal. Wahyu verbal saya letakkan dalam kedudukan yang sekunder karena dua alasan; Pertama, Quran sendiri tidak bisa tidak terperangkap dalam “jeratan linguistis” masyarakat Arab saat itu, sehingga dengan demikian, ide-ide moral Quran juga harus mengalami kompromi dengan konteks linguistis tersebut. Quran sebagai wahyu verbal jelas dibatasi oleh dua konteks: konteks sosial dan konteks linguitis. Kedua, sebagai teks, Quran sebetulnya adalah teks yang mati tanpa ada perantara hermeneutis yang dapat “membunyikannya”.
3. Sunnah: mengikuti Rahman, saya lebih suka mengikuti kata “Sunnah” dalam pengertian “tradisi yang hidup“, ketimbang hadist yang secara literal berarti “ujaran” (speech). Kita bisa menganggap sunnah sebagai sumber hukum dalam pengertian yang jauh lebih luas dari sekedar hadis, yaitu seluruh konteks sosial budaya yang melatari karir kerasulan nabi, entah di Mekah atau Madinah. Bagaimana kedudukan hadis dalam pengertian (sebgaimana pengertian dalam ulumul hadis), “ucapan, tindakan, dan penetapan nabi.”? Hadis dalam pengetian itu hanyalah salah satu aspek dari tindakan nabi itu sendri; tindalan nabi toh berpilih dengan konteks sosial secara lebih luas lagi. Dalam kaitan ini, saya berpendapat bahwa seluruh ucapan dan tindakan nabi pada zamannya adalah suatu cara yang dilakukan nabi untuk menerjemahkan ide-ide moral, baik yang terjkandung dalam Quran maupun yang terkandung dalam akalnya sendiri. (Catatan: saya keberatan dengan gagasan tradisional yang memandang seolah-olah nabi adalah person yang sepenuhnya pasif terhadap Quran, seperti pegawai rendahan yang selalu mendongak ke atas, “siap, pak!” ; Nabi, dalam pandangan saya adalah personal yang begitu aktifnya,
sehingga dapat menerjemahkan gagasan-gagasan moral yang terkandung dalam Quran dalam cara yang sesuai dengan konteks yang dihadapinya). cara yang dipilih nabi itu tidak serta merta mengikat generasi umat Islam yang hidup belakangan. Sunnah nabi adalah bahan pertimbangan untuk melihat bagaimana suatu ide universal dalam Quran diterapkan dalam konteks partikuler; kita yang hidup di abad 21, ditantang oleh membikin “Sunnah” baru yang sesuai dengan konteks kita sendiri. 4. Ijma’ : dalam pengetian klasik Ijmak sering dimaknai sebagai kesepakatan seluruh manusia (ahli ‘ashrin ‘ushur, dalam kata-kata ushul fiqh) pada suatu masa tertentu mengenai suatu ketentuan hukum tertentu dalam satu cara yang begitu rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya persekongkolan untuk menyepakati suatu kebohongan. Saya terinspirasi oleh pikiran-pikiran awal teman saya, Novriantoni, tentang Ijma’ sebagai landasan baru untuk pengembangan gagasan yang “Islami” tentang konsensus publik. ijma’ dalam pengertian klasik hampir mustahil di capai, tidak masuk akal, dan tidak realistis,. Saya sendiri memilih untuk meninggalkan sama sekali gagasan ijma’ klasik itu, tapi Ijmak sebagai peralatan hukum
tetaplah relefan untuk dikembangkan. Dalam tradisi
klasik, keabsahan Ijmak sebagai dasar hukum disandarkan kepada sebuah hadis, “la tajtami’u ummati ‘ala khatha’,” tidaklah umatku (Muhammad) akan bersepakat mengenai kesalahan. Hadis ini mempunyai makna yang ambigu, dan dari segi “isi” juga bermasalah; sebab hadis itu seolah-olah menganggap bahwa yang tak mungkin bersepakat akan kesalahan itu adalah umat Islam saja; ini jelas diskriminatif terhadap umat-umat yang lain. Tetapi nilai dasar yang terandung didalamnya sangat relevan: yaitu adanya kepercayaan terhadap adanya konsensus publik. Kata “publik” disini haruslah dimaknai secar inklunsif : yaitu semua anggota masyarakat yang menjadi bagian dari percaturan dalam ruang politik, tidak peduli apa agamanya, etniknya, warna kulitnya, kedudukan sosial ekonominya. Ijma’, dengan demikian, bukan suatu enterprise yang terbatas milik umat Islam saja, tetapi milik seluruh umat manusia, sesuai dengan prinsip kesederajatan martabat manusia yang ditekan oleh Islam.
Kalau mau diringkas seluruh gagasan baru tentang hirarki sumber hukum itu, maka saya menggambarkan segi tiga yang sambung menyambung: Akal/al-Quran
Sunnah/Konteks
Ijma’/Diskursus Publik
Catatan: (1) Akal al-Quran sebagai sumber moral yang saling berdialektik: wahyu verbal dan non-verbal. (2) Sunnah adalah pengejawantahan ide-ide moral itu kedalam konteks yang terus berubah. “sunnah” adalah konteks atau bejana sosial tempat nilai-nilai fundamental mendapatkan “wadah-nya” (3) Ijma’ adalah proses sosial bagimana suatu penerjemahan nilai-nilai itu dilaksanakan: yaitu diskursus publik yang bermuara pada terbentuknya konsensus publik. Wallahu a’la, bish shawab Makah ini di presentasikan dalam diskusi rutin IIIT-Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2002