Bab IV Penutup
IV.1. Kesimpulan Penelitian ini dilakukan dengan berpegang pada rumusan masalah, yakni, “Mengapa Bali Process gagal dalam menyelesaikan permasalahan penyelundupan pencari suaka ke Australia?”. Ada tiga indikator kegagalan yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, tujuan awal dari terbentuknya Bali Process adalah untuk policy change, yaitu, koordinasi kebijakan yang mampu mengurangi jumlah penyelundupan pencari suaka di kawasan Asia Pasifik (kawasan negara-negara anggota Bali Process). Tujuan akhir para pencari suaka yang diselundupkan adalah Australia. Kedua, mengimplementasikan prinsip – prinsip dasar dalam RCF. Ketiga, menjalankan apa yang disepakati dalam Jakarta Declaration. Penelitian awal menunjukkan bahwa ketiga indikator tersebut telah gagal dilaksanakan dan dicapai selama kurun waktu duabelas tahun, yakni, sejak tahun 2002 hingga tahun 2014. Dengan merinci rumusan masalah penelitian menjadi beberapa pertanyaan yang lebih spesifik peneliti membuat hipotesa bahwa ada tiga penyebab utama kegagalan Bali Process. Penyebab pertama adalah ketiadaan pertemuan tingkat tinggi dalam Bali Process. Pertemuan tingkat tinggi yang dimaksud adalah Senior Officials Meeting dan Regional Ministerial Conference. Kekosongan terjadi sejak tahun 2004 hingga tahun 2008. Sedangkan penyebab kedua berkaitan sangat erat dengan yang ketiga.
75
Unilateralisme Australia dalam membuat dan menjalankan kebijakan Operation Sovereign Borders di saat seharusnya kebijakan-kebijakan yang dianut dikomunikasikan terlebih dahulu dengan negara tetangga yang terkena dampaknya. Indonesia, sebagai negara tetangga dan Co-Chairs, merasa dirugikan oleh Australia yang secara sepihak mengembalikan para pencari suaka yang diselundupkan ke perairan Indonesia. Bahkan, Angkatan Laut Australia terhitung sebanyak tujuh kali sejak Desember 2013 hingga Februari 2014 telah memasuki perairan Indonesia tanpa ijin. Peristiwa itu dinilai Pemerintah Indonesia sebagai tindakan yang mencederai kedaulatan negara dan berkorelasi terhadap hubungan kedua negara dalam segala aspek, termasuk Bali Process, sebagai penyebab kegagalan yang ketiga. Hal tersebut dikarenakan Indonesia dan Australia adalah Co-Chairs Bali Process yang mengemban tugas untuk membangun dialog dan kesepahaman antar anggota. Dalam dua bab yang berisi penjelasan-penjelasan lebih detil mengenai hipotesa-hipotesa tersebut ditemukan bahwa hipotesa yang diajukan tidak terbukti, yaitu, bahwa perubahan prinsip dan norma Bali Process yang menjadikannya gagal disebabkan oleh ketiadaan komitmen dari Co-Chairs. Ketiadaan komitmen menjadi penyebab paling dasar dari kegagalan tersebut yang kemudian implikasinya bisa dilihat langsung dari ketiadaan Regional Ministerial Conference dan Senior Officials Meeting. Jika kita menarik ke belakang, yakni ke tahun 2002, kebutuhan untuk membentuk Bali Process sebagai rejim yang mampu mengatasi persoalan penyelundupan pencari suaka disebabkan masing-masing negara memerlukan
76
kerjasama regional untuk isu tersebut. Membangun kesamaan perspektif bagi sebuah rejim dengan anggota yang besar, isu yang sensitif, dan gap yang dalam antar masing-masing anggota tidak mudah. Perlu komitmen nyata dari seluruh pihak dan sebagai awalnya Co-Chairs harus memiliki kemampuan untuk menggerakkan anggota. Kemampuan tersebut rupanya tidak dimiliki oleh CoChairs Bali Process, Australia dan Indonesia, selama duabelas tahun ini. Kondisi regional Asia Pasifik, di dalamnya termasuk negara anggota Bali Process, sangat bervariasi. Seperti telah disebutkan di bab II bahwa enam negara anggota Bali Process termasuk sepuluh besar negara asal pencari suaka. Ini belum termasuk negara lain di kawasan Afrika (misalnya Somalia dan Ethiopia) serta Asia (seperti Bangladesh dan Myanmar) yang juga memiliki status serupa, hanya saja dalam jumlah yang lebih kecil. Ini adalah sebuah kenyataan dan semestinya menjadi tantangan yang harus dihadapi untuk menemukan solusi jangka panjang dalam konteks penyelundupan pencari suaka. Kenyataan akan kondisi regional seperti ini bisa diperbaiki jika Bali Process memberi kontribusi nyata. Kontribusi untuk melakukan capacity building seperti yang disepakati dalam RCF maupun Jakarta Declaration. Hal tersebut juga yang berkali-kali didengungkan oleh beberapa anggota Bali Process melalui pernyataan penutup Senior Officials Meeting bahwa mengatasi akar permasalahan merupakan langkah vital. Ini tentu saja membutuhkan komitmen yang sangat besar dan kesabaran dari seluruh anggota. Sayangnya, langkah tersebut tidak terlihat nyata dalam praktek Bali Process.
77
Komitmen yang besar ditandai dengan tindakan nyata. Ia bukan sekedar pro-forma membership dengan segala retorika – retorika tanpa praktek yang jelas dan terukur. Salah satu cacat terbesar dalam komitmen Bali Process adalah ketiadaan pertemuan tingkat tinggi selama tahun 2004 hingga 2008. Dialog harus dilakukan secara terus – menerus untuk membangun kepercayaan antar anggota dan memahami bahwa seluruh anggota memiliki banyak kepentingan yang dipertaruhkan di dalamnya. Seluruh anggota menjadi korban dan mereka memiliki andil besar dalam memperburuk atau memperbaiki situasi. Sekali lagi, tanpa mengecilkan peran dan arti penting dari workshop, namun persoalan komitmen berada di level yang lebih tinggi. Di bab sebelumnya disebutkan bahwa Bali Process dikontrol oleh orang – orang dan institusi politik. Menteri dan jajarannya mempunyai kapasitas politik yang lebih besar dan akses ke kepala negara yang lebih mudah. Disini letak kesalahan Bali Process karena engagement tersebut tidak terjadi selama empat tahun. Lebih krusial lagi karena Bali Process masih berusia sangat muda sehingga kebutuhan untuk membangun kepercayaan dan perencanaan yang matang sangat diperlukan. Persoalan komitmen ini tidak bisa dilepaskan dari peran Co-Chairs karena Co-Chairs itu ada pasti bukan tanpa alasan. Mereka bertanggungjawab sebagai pemimpin dan pemimpin yang baik memiliki visi jelas serta pemahaman isu yang diharapkan jauh lebih mendalam. Mereka semestinya telah memiliki kedewasaan dalam membentuk rejim karena kapasitas mereka. Selama ini tidak bisa dipungkiri bahwa Bali Process sangat Australian driven.
78
Australia, sebagai Co-Chairs, memiliki kapasitas paling besar dalam hal pendanaan dan sumber daya manusia di antara anggota Bali Process lainnya. Negara ini juga memiliki kepentingan besar dalam persoalan penyelundupan pencari suaka karena wilayahnya menjadi tujuan akhir. Dengan kemampuan yang dimiliki tersebut justru melahirkan ironi tersendiri bagi Bali Process. Negara – negara lain menaruh ekspektasi besar bahwa Australia mampu menjadi Co-Chairs yang baik, namun kapasitas Australia tidak digunakan untuk tujuan Bali Process dalam jangka panjang. Dari berbagai workshop Australia memimpin sebagian besar acara. Begitu pula dalam hal penyediaan akomodasi bagi perwakilan negara – negara anggota Bali Process yang tidak mempunyai budget memadai untuk hadir dalam acara – acara Bali Process. Tentu saja ini adalah hal baik dan berpotensi membangun komunikasi yang lebih intens. Tetapi, bayangkan bila perwakilan yang dikirimkan tanpa pengetahuan yang memadai dan tidak ada kapasitas membuat keputusan. Jauh lebih besar lagi adalah ketika hasil workshop tidak ditindaklanjuti karena tidak ada wadah, yaitu, Senior Officials Meeting dan Regional Ministerial Conference. Australia dan Indonesia punya andil besar dalam ketiadaan pertemuan tingkat tinggi tersebut seperti telah dijelaskan di bab II. Menurunnya jumlah pencari suaka yang datang ke Australia seharusnya tidak menjadi alasan negara tersebut berhenti bersikap sebagai Co-Chairs dengan segala tanggungjawab yang ada. Begitu juga Indonesia yang tidak bisa bersikap pasif menunggu niat baik Australia. Unilateralisme Australia dalam Operation Sovereign Borders yang berdampak terhadap Indonesia memperuncing perkara
79
kurangnya komitmen dalam Bali Process. Jika diperhatikan dengan seksama seluruh
poin
kebijakan
Operation
Sovereign
Borders
menunjukkan
ketidaksabaran Australia dalam menyelesaikan persoalan penyelundupan pencari suaka. Australia tidak mengindahkan kesepakatan Jakarta Declaration dan RCF yang menggaungkan perlunya menjalankan prinsip menghargai harkat martabat manusia dalam implementasi kebijakan. Perlindungan terhadap korban penyelundupan pencari suaka dan menjamin akses terhadap sistem evaluasi status pengungsi telah disetujui dalam RCF, tetapi Operation Sovereign Borders justru melenceng dari komitmen tersebut. Australia yang berani mengingkari hukum internasional mengingat statusnya sebagai Negara Pihak Konvensi Pengungsi 1951, tentu bukan kejutan bila berani keluar dari kesepakatan Bali Process. Segala tindakan – tindakannya tidak mengejutkan, tetapi merupakan disgraceful actions terhadap aspek – aspek kemanusiaan. Kesimpulannya
bahwa
penyebab
kegagalan
Bali
Process
dalam
menyelesaikan permasalahan penyelundupan pencari suaka adalah karena tidak adanya komitmen dari negara-negara anggota Bali Process, terutama dari CoChairs, yang tidak memberikan usaha maksimal dalam menjalankan tugastugasnya. Australia dan Indonesia memiliki peran dan tanggungjawab besar dalam membentuk rejim Bali Process. Mereka juga memiliki tanggungjawab besar dalam mempertahankan atau mengakhirinya. Kepentingan dua negara ini sangat besar dan memiliki kapasitas untuk mendorong negara-negara anggota lain untuk ikut serta memikirkan risiko tidak adanya solusi yang komprehensif,
80
berkelanjutan, dan manusiawi bagi kepentingan mereka, pencari suaka, dan para pengungsi. Dalam setiap kerjasama akan selalu ada variasi prioritas yang dikedepankan oleh setiap anggota. Co-Chairs, sebagai pemimpin, semestinya berusaha untuk menyamakan persepsi dan membentuk agenda jelas untuk menanganinya. Jesse Louise Jackson, Sr., aktivis hak-hak sipil Amerika, berkata: “Leadership has a harder job to do than just choose sides. It must bring sides together.”
Masih sangat relevan juga untuk melihat perkembangan terbaru dari hubungan Indonesia dan Australia dalam konteks kebijakan penyelundupan pencari suaka dan kebijakan Australia yang semakin melenceng dari prinsip Bali Process. Misalnya, ketika Perdana Menteri Tony Abbott menolak undangan Presiden Yudhoyono untuk hadir dalam Open Government Conference di Bali bulan Mei 2014. Pemerintah Australia tidak menjelaskan alasan mengapa Perdana Menteri Abbott menolak undangan tersebut. Namun, sumber pemerintah yang dikutip oleh ABC News menyebutkan ini karena "[O]n-water operation taking place on the high seas which could cause embarrassment to the Indonesian President” (Bourke 2014). Pada tanggal 6 Mei 2014 Angkatan Laut Indonesia menemukan satu orange lifeboat yang mengangkut 19 pencari suaka dikembalikan oleh Angkatan Laut Australia tanpa berkomunikasi terlebih dahulu dengan otoritas Indonesia (Channel NewsAsia 2014). Begitupun dengan kerjasama bilateral Australia dan Kamboja untuk menempatkan pengungsi di Kamboja. Seperti Papua
81
Nugini dan Nauru, Kamboja bukan rekan yang tepat untuk mekanisme sharing responsibility karena kondisi domestiknya.
IV.2. Rekomendasi Rekomendasi diberikan kepada dua pihak. Pertama, kepada Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), terutama Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika (P3K2 Aspasaf) yang bertindak sebagai think-tank kementerian. Pendekatan sharing responsibility dalam Bali Process sangat diperlukan, namun setiap anggota yang menggunakan pendekatan ini baik dalam kerjasama bilateral, trilateral, maupun regional memiliki kewajiban untuk memperhatikan kapasitas yang dimiliki negara lain. Ini sesuai dengan prinsip dan norma dalam Bali Process bahwa “promoting human life and dignity” itu bersifat esensial. Koordinasi antar instansi pemerintah sangat penting untuk menjamin kebijakan Indonesia, baik secara domestik, maupun dalam kerangka Bali Proces menganut norma tersebut. Kementerian Luar Negeri harus lebih gigih dalam mengupayakan kembalinya dialog dalam Bali Process. Protes sangat berhak diajukan kepada Pemerintah Australia, namun ini tidak bisa menjadi satu-satunya jalan. P3K2 Aspasaf harus kreatif dalam mencari alternatif lainnya. Keluar dari Bali Process bukanlah solusi yang tepat karena pendekatan regional dalam penyelesaian persoalan ini ada pada level regional dan internasional. Tahun 2015 Indonesia akan menjadi Chair dari IORA. Kesempatan itu bisa digunakan oleh Indonesia untuk memperluas cakupan diskusi mengenai penyelundupan pencari suaka dan
82
keamanan laut. Indonesia harus mempersiapkan agenda yang jelas, detail, dan terukur mengenai isu ini. Misalnya, peningkatan kesadaran mengenai kaitan antara kebijakan pemerintah dan institusi internasional seperti IMF yang berpotensi mengancam keselamatan nyata manusia atau membuat mereka miskin. Indonesia harus belajar dari kesalahan dalam Bali Process sehingga menjadi Chair yang lebih proaktif dalam merangkul IORA agar menemukan solusi regional atas isu penyelundupan pencari suaka dan keamanan di laut. Persuasi kepada anggota-anggota IORA (dimana diantarana juga anggota Bali Process) untuk menekan Australia bisa saja dilakukan. Hanya saja tantangannya adalah apakah Indonesia bisa melampaui kekuatan Australia untuk mempengaruhi negara lain. Namun, Indonesia wajib memastikan bahwa Australia harus mematuhi prinsip dan norma Bali Process. Untuk Bali Process sendiri, Indonesia harus berkomunikasi dengan Australia untuk menegaskan dimana posisi keduanya saat ini. Indonesia wajib mengajak Australia untuk mematuhi jadwal pertemuan Bali Process yang telah disepakati sehingga tidak ada lagi kekosongan pertemuan seperti tahun-tahun sebelumnya. Indonesia harus melaksanakan prinsip sharing responsibility dengan Australia karena Indonesia lebih memiliki kapasitas dibandingkan Papua Nugini, Nauru, atau Kamboja. Penulis memahami bahwa Indonesia juga tidak ingin kehilangan harga diri dan tercoreng kedaulatannya akibat dari kebijakan Australia. Tetapi, komunikasi antar kedua negara harus terus dijalankan karena ini juga menyangkut keselamatan para pencari suaka. Selain IORA, Indonesia juga harus berani untuk mulai membawa isu ini ke PBB.
83
Pendekatan regional akan jauh lebih baik jika disandingkan dengan pendekatan internasional yang lebih komprehensif. Rekomendasi kedua adalah untuk UNHCR. Pertama, UNHCR memiliki tanggungjawab untuk memastikan efisiensi evaluasi penetapan status pengungsi. The long tunnel thesis bisa terjadi akibat pemrosesan yang terlalu lama dan bertele-tele sehingga pencari suaka terpaksa menggunakan penyelundup manusia. Kedua, UNHCR harus memastikan bahwa rumah-rumah detensi bagi pencari suaka dan pengungsi layak huni. Hak-hak mereka juga wajib dipenuhi. Ketiga, UNHCR berhak untuk mengajukan protes kepada Australia atas kebijakannya melalui rapat Komite Eksekutif UNHCR dimana Australia masih menjadi anggota. Keanggotaannya adalah paradoks baik bagi Australia maupun bagi UNHCR. Keempat, UNHCR perlu untuk membawa isu penyelundupan pencari suaka ke PBB. Dalam membentuk rejim diperlukan kebijakan dan tindakan yang tidak lagi independen, melainkan dependen. Bukan semata – mata karena negara tidak mampu bertindak independen, melainkan karena mengambil keputusan secara independen justru akan merugikan. Tujuan – tujuan yang ingin dicapai disadari negara tidak bisa memperolehnya bila tidak melakukan kerjasama. Sayangnya, dalam konteks Bali Process, apa yang dibahas bukan persoalan ekonomi dan perdagangan yang membutuhkan konektivitas tinggi antar anggota karena ekonomi dan perdagangan berarti segala–galanya bagi negara. Ketika komitmen kerjasama yang ada rendah sebab masing – masing negara merasa bisa mencapai tujuan secara mandiri, maka disitulah disintegrasi rejim sangat mungkin terjadi.
84
Untuk mengatasi persoalan penyelundupan pencari suaka semestinya dibutuhkan komitmen sama besarnya dengan mengatasi persoalan ekonomi maupun perdagangan. Bali Process yang bersifat terlalu politis, tidak ada komitmen jangka panjang, justru akan menempatkan pencari suaka pada kondisi berbahaya. Ada persoalan-persoalan jangka pendek yang harus diatasi terlebih dahulu dan ini terjadi hampir di setiap rejim kerjasama. Tetapi, optimisme semestinya bisa terus dijaga untuk jangka panjang karena Bali Process penting dalam menyelesaikan persoalan penyelundupan pencari suaka. Deterrence hanya akan menimbulkan krisis-krisis kemanusiaan yang baru. Begitu pula dengan membiarkan akar permasalahan seperti konflik dan kemiskinan berlanjut tanpa solusi. Aliran pencari suaka, pengungsi, dan organisasi kriminal transnasional tidak berhenti di batas negara. Kerjasama yang visioner dan manusiawi sangat diperlukan. Mengutip Josiah Mc Heyman (1995): “[T]he more removed bureaucrats produced cleaner, more simplistic narratives of human smuggling as bad, enabled by distance and dehumanization”.
Kutipan di atas mengilustrasikan mengapa para birokrat mudah sekali membuat kebijakan yang hanya berbasis keamanan negara tanpa memperhatikan hak pencari suaka yang diselundupkan. Tanpa berkomunikasi langsung dengan pencari suaka dan mendengarkan cerita mereka yang harus melalui berbagai kesulitan demi memperoleh perlindungan, tidak ada rasa empati yang muncul dari para birokrat. Meski demikian, seharusnya para birokrat, para pembuat keputusan, tidak semudah itu dalam mengeluarkan kebijakan yang keras tanpa disertai
85
pemahaman konteks irregular migration yang lebih luas. Konteks yang dimaksud berkaitan sangat erat dengan proses penyelesaian akar permasalahan, jaminan perlindungan yang manusiawi, akses terhadap evaluasi status, hingga resettlement maupun pengembalian ketika terbukti sebagai pengungsi. Semua proses tersebut harus berdasarkan prinsip dan norma yang disepakati,yakni, bersifat manusiawi dan dengan memperhatikan harkat martabat para pencari suaka.
86