BAB IV PENUTUP
A. 1.
Kesimpulan Konsepsi keadilan mengenai penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keadilan sosial. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD 1945. Secara historis, pembahasan mengenai Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Mohammad Hatta. Menurut Bung Hatta (dalam kerangka keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia) terhadap peranan modal bahwa perekonomian Indonesia di masa datang seharusnya diusahakan dengan jenjang prioritas berikut: Pertama, mendayagunakan rakyat sebagai pelaku pembangunan ekonomi dengan jalan koperasi; kedua, yaitu golongan swasta dan modal nasional; ketiga, bila tenaga dan modal nasional tidak mencukupi, maka kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam tenaga dan modal asing; keempat, bila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka
167
untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga. Pada Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konsepsi ‘dikuasai negara’ merupakan kata kunci Pasal 33 UUD 1945 dalam mengintreprestasikan
akses
mengusahakan
pertambangan
di
Indonesia. Bung Hatta menginterprestasikan mengenai penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut: Dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “pengisapan” orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal. Selain itu, dalam Pasal 33 UUD 1945 konsepsi “dikuasai oleh Negara” ini, merupakan kreasi dan kecerdikan intelektual dari para pendiri Negara kita tersebut, karena bila dirumuskan dengan kata “dikuasai oleh Pemerintah”, maka rumusan tersebut akan bermakna dapat dikuasai baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah. Sesuai konsep Hukum Administrasi Negara, bahwa Pemerintah dapat berarti Pemerintah Pusat maupun Pemerintah 168
Daerah. Jadi bila dirumuskan dengan kata dikuasai oleh Pemerintah, maka amanat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat menjadi hanya sebatas kemakmuran rakyat setempat tempat terdapatnya bahan galian dimaksud. Selanjutnya dalam Pasal 33 UUD 1945, dirumuskan oleh founding father bahwa: ...”dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”. Pemanfaatan bahan galian, tujuannya hanya satu yaitu: untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seluruh Indonesia.
Bila
yang
dimaksudkan
tujuannya
untuk
lebih
menekankan pada rakyat setempat (tempat terdapatnya bahan galian tersebut
),
maka
tentunya
akan
dirumuskan
dengan
kata
‘kemakmuran masyarakat’ dan bukan ‘kemakmuran rakyat’. Dari hal tersebut, jelas bahwa founding father Negara Indonesia menghendaki bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia—bukan hanya masyarakat setempat. 2.
Hanya ketentuan dalam Perpu 37 Tahun 1960 yang mendekati prinsip keadilan sosial dalam penguasaan dan penggunaan pertambangan berdasarkan UUD 1945 yaitu Pasal 33 UUD 1945. UU Nomor 11 169
Tahun 1967 hanya menekankan kepada keadilan distributif. Sedangkan UU No 4 Tahun 2009 dan UU No. 21 Tahun 2001 lebih menekankan kepada keadilan distributif dan komunitatif. a. Pada tataran konsepsi, pengertian ”dikuasai negara” dalam UU pertambangan ternyata telah ditafsirkan berbeda-beda dari waktu ke waktu. Pertama, pada masa Orde Lama, masa Perpu No. 37 Tahun 1960, pengertian ”dikuasai negara” diartikan sebagai negara memiliki wewenang untuk menguasai dan mengusahakan langsung semua sumber daya alam melalui perusahaan-perusahaan milik negara. Dalam hal ini hubungan dengan pemilik modal lebih merupakan Production Sharing (bagi hasil). Kedua, pada masa Orde Baru, yaitu masa UU No 11 Tahun 1967, pengertian ”dikuasai negara” telah bergeser dari ”pemilikan dan penguasaan secara langsung” menjadi ”penguasaan secara tidak langsung”. Hal ini terjadi karena pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa mengelola sumber daya alam secara langsung memerlukan sumber daya manusia yang terampil (skill), modal yang sangat besar (high capital), teknologi tinggi (high technology), dan berisiko tinggi (high risk). Hubungan dengan pemilik modal bersifat kontrak karya. Dalam hal ini, maka Negara cq Pemerintah dapat menjadi pihak 170
dalam sengketa dengan pihak swasta (asing) berkaitan dengan sumberdaya alam yang dikuasainya. Hal ini tidak lain karena Pemerintah dapat melakukan perjanjian atau kontrak dengan pihak swasta dalam ekonomi sumberdaya alam. Keadaan ini menurunkan derajat negara sebagai representasi “Yang Publik.” Degradasi ini terjadi secara sistematis lewat deregulasi yang dilakukan dengan mengadopsi hubungan perjanjian atau kontrak antara Pemerintah dengan Swasta dalam “pengalihan” suatu hak atas sumberdaya alam pertambangan. Hubungan keperdataan antara Pemerintah dengan Investor ini dapat menggeser urusan publik ke dalam ruang bisnis dan berorientasi pada keuntungan ekonomi. Pada hal-hal tertentu pemerintahan
yang
demikian
dapat
dikategorikan
sebagai
Corporatocracy. Corporatocracy tidak saja dimaknai bahwa orangorang di dalam pemerintahan didominasi oleh orang berlatarbelakang saudagar dengan motif ekonomi yang diraih dari kekuasaan politik, tetapi juga ditelaah dari konsep hubungan hukum yang dibangun dengan pihak investor. Ketiga, pada masa Reformasi, yaitu masa UU No 4 Tahun 2009, pengertian ”dikuasai negara” bergeser ke arah yang lebih praktis dan terbuka. Pemerintah memberikan peluang sebesarbesarnya kepada investor swasta atau asing untuk terlibat langsung 171
dalam pengusahaan sumber daya alam melalui pemberian izin langsung (license). Dalam hal ini hubungan dengan pemilik modal bersifat perizinan. Meski dalam UU Minerba telah merubah kontrak (pada UU UU Nomor 11 Tahun 1967) menjadi izin, tetap harus diperhatikan bahwa penguasaan negara mempunyai relasi dengan hak-hak individu masyarakat serta hak masyarakat adat atas sumberdaya alam. Selama ini dalam praktiknya formalisasi hak oleh negara malah menjauhkan masyarakat untuk memanfaatkan dan menikmati sumberdaya alam. Bahkan mengusir masyarakat dari wilayah yang mereka tempati karena izin sudah diberikan kepada pihak swasta. Jika kita cermati dalam peraturan pelaksanaan pertambangan, yaitu UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, akses mengusahakan adalah semua kelompok kegiatan, yaitu negara, daerah, pengusaha dan rakyat setempat, di mana hubungan dengan pemilik modal dalam adalah melalui perjanjian kontrak. Wajar saja jika UU No. 21 Tahun 2001 masih menganut sistem kontrak sama seperti di dalam UU No 11 Tahun 1967, karena UU No. 21 Tahun 2001 ini keluar di saat UU No 4 Tahun 2009 belum ada.
172
b. Pada tataran konsepsi, pengertian ’dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ dalam UU pertambangan ternyata telah ditafsirkan berbeda-beda dari waktu ke waktu. Pertama, pada masa Orde Lama, masa Perpu No. 37 Tahun 1960, pengertian ’dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ dalam konsideran Perpu No. 37 Tahun 1960 diartikan menjadi dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara gotong-royong maupun secara perseorangan. Dalam hal inilah maka keberpihakan Perpu No. 37 Tahun 1960 lebih pro-rakyat. Kedua, pada masa Orde Baru, yaitu masa UU No 11 Tahun 1967, pengertian ’dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ ternyata melenceng jauh, sejak dari konsiderans sudah terlihat bahwa UU Nomor 11 Tahun 1967 beorientasi kepada eksploitasi. Eksploitasi tambang yang diusung oleh UU Nomor 11 Tahun 1967 memang sejalan dengan politik pembangunan ekonomi yang digerakkan oleh rezim yang berkuasa saat itu. Dalam hal inilah maka keberpihakan UU Nomor 11 Tahun 1967 lebih pro-korporasi. Ketiga, pada masa Reformasi, yaitu masa UU No 4 Tahun 2009, pengertian ’dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’, diintreprestasikan menjadi memberikan perhatian terhadap peningkatan produksi di satu pihak dan konservasi sumberdaya 173
mineral dan batubara (minerba) pada lingkungannya. Dalam hal inilah maka keberpihakan dalam UU No 4 Tahun 2009 masih sama seperti UU Nomor 11 Tahun 1967 yaitu pro-korporasi. Namun, jika kita cermati dalam peraturan pelaksanaan pertambangan, yaitu UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pengertian ’dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di
dalam
kerangka
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua. Jadi keberpihakan dalam UU No. 21 Tahun 2001 adalah masyarakat setempat, dalam hal ini yaitu masyarakat Papua. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 2.
174
Tabel 2. Pemaknaan Keadilan Dalam UU Terkait Pertambangan Mineral dan Batubara No Aspek Keadilan
PERPU 37 UU No 11 UU No 4 UU No Tahun 1960 Tahun 1967 Tahun 2009 Tahun 2001 Mendekati Keadilan Sosial
Keadilan Distributif
Keadilan Komunitatif dan Distributif
21
Keadilan Komunitatif dan Distributif
Muatan 1
Orientasi
Kedaulatan Ekploitasi Negara dan kemakmuran rakyat.
2
Keberpihakan
Pro-rakyat
3
Hubungan Dengan Pemilik Modal Akses Mengusahakan
Production Kontrak Sharing (bagi Karya hasil)
Perijinan
Kontrak
Usaha Badan Usaha bersama & negara atau perorangan. daerah.
Semua kelompok kegiatan
Semua kelompok kegiatan, yaitu negara, daerah, pengusaha dan rakyat setempat.
4
Pro-korporasi
Peningkatan Pemberian Produksi dan kewenangan Konservasi untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua Pro-korporasi Masyarakat Papua
Sumber: UU terkait Pertambangan Mineral dan Batubara, diolah penulis.
B.
Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis paparkan, maka penulis
menyarankan dua hal berkenaan dengan keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia, yaitu:
175
1.
Masalah keadilan tidak hanya kompleks dalam tatanan operasional di masyarakat tetapi juga dalam tatanan konsep. Secara praktis permasalahan keadilan makin kompleks karena sangat mungkin konsep keadilan dalam tatanan nilai-nilai masyarakat menjadi berbeda dalam penilaian tiap-tiap rezim. Pada sisi lain implementasi konsep-konsep keadilan sering tidak didasarkan pada keadilan sosial dalam UUD 1945 sehingga justru sering menimbulkan konflik sosial. Untuk itu diharapkan pada masa mendatang berbagai kebijakan didasarkan pada pengaturan pengelolaan pertambangan yang sesuai dengan keadilan sosial dalam UUD 1945.
2.
Prinsip keadilan sosial menjadi salah satu cita hukum yang dalam hal ini secara eksplisit termuat dalam UUD 1945. Prinsip tersebut hendaknya menjadi pedoman di dalam melakukan penafsiran dan menjadi penguji kebenaran hukum positif serta menjadi arah hukum untuk dikristalisasikan dalam bentuk norma yang imperatif guna memperoleh
keadilan
sosial
dalam
pengaturan
pengelolaan
pertambangan di Indonesia. Terkait dengan hal itu, maka penulis menyarankan
supaya
pengaturan
pengelolaan
pertambangan
mengandung norma-norma sebagai berikut: a. Bercirikan keadilan sosial b. Berorientasi pada kemakmuran rakyat. 176
c. Keberpihakan: Pro rakyat. d. Hubungan dengan pemilik modal lebih ke Production Sharing (bagi hasil). e. Akses mengusahakan oleh negara.
177