BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hutan1 merupakan sumber daya alam. Definisi sumber daya alam didasarkan atas landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan, “bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian, hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang dikuasai oleh negara. “Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan”.2‟3 Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam hutan. Pada tahun 1960an, Indonesia memiliki sedikitnya 143 juta hektar hutan alam dan sekitar 64 juta hektar ditetapkan sebagai hutan produksi.4 Sementara itu, sisanya ditetapkan
1
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yangdidominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapatdipisahkan. Pasal 1 Huruf b, Undang-undang No. 41 Tahun 1999TentangKehutanan. 2 Penjelasan Umum UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 3
Lihat putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012“penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakathukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembanganmasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diaturdalam undang-undang”. 4 Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pasal 1 Huruf g, Undang-undang No. 41 Tahun 1999TentangKehutanan.
1
sebagai hutan lindung,5 hutan mangrove,6,7 dan hutan konservasi.8‟9 Setengah abad kemudian atau pada tahun 2013, luas hutan Indonesia menurun menjadi sekitar 130 juta hektar dari 180 juta hektar luas Indonesia.10 Selanjutnya, menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan berdasarkan fungsinya dibagi ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu hutan konservasi (kawasan hutan suaka alam,11 kawasan hutan pelestarian alam,12 dan taman buru13), serta hutan lindung dan hutan produksi. Hutan sebagai sumber daya alam mengandung banyak kepentingan yang menyangkut masyarakat, negara, dan pemerintah.14 Sumber daya hutan mempunyai peran penting sebagai sumber pendapatan negara, terutama dalam 5
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistempenyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusiair laut, dan memelihara kesuburan tanah. Pasal 1 Huruf h, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999TentangKehutanan. 6 Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannyabertoleransi terhadap garam. Cecep Kusmana, et.all., 2003, Jenis-Jenis Pohon Mangrove Di Teluk Bintuni, Papua, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries, Bogor., hlm. 2. 7 Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah komunitastumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. http://indonesiaforest.webs.com/manfaat_hutan_mangrove.pdf., diakses tanggal 24 April 2014. 8 Hutan konservasi adalahkawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokokpengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pasal 1 Huruf i, Undang-undang No. 41 Tahun 1999TentangKehutanan. 9 San Afri Awang, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Center For Critical Studies (CCSS) bekerjasama dengan Kreasi Wacana Yogyakarta, Yogyakarta., hlm. 17. 10 “Menhut: 60 Persen Hutan Indonesia Rusak”, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/09/mjdqy3-menhut-60-persen-hutanindonesia-rusak, diakses tanggal 24 April 2014. 11 Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokoksebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang jugaberfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Pasal 1 Huruf j, Undang-undang No. 41 Tahun 1999TentangKehutanan. 12 Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokokperlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pasal 1 Huruf k, Undang-undang No. 41 Tahun 1999tentangKehutanan. 13 Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Pasal 1 Huruf l, Undang-undang No. 41 Tahun 1999tentangKehutanan. 14 San Afri Awang, op. cit., hlm. 4
2
penyediaan bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja, dan kesempatan berusaha. Selain itu, hutan juga mempunyai peranan penting sebagai penyangga kehidupan dan penyeimbang lingkungan global yang berkaitan erat dengan kepentingan dunia internasional.15 Masyarakat internasional semakin fokus pada standardisasi global mengenai praktik pengelolaan hutan, terutama masalah lingkungan dan ekonomi.16 Hal tersebut berkaitan dengan bergantungnya 1,6 miliar manusia pada hutan untuk mata pencaharian.17,18 Berdasarkan jumlah tersebut, sekitar 350 juta manusia secara tingkat tinggi bergantung pada hutan, termasuk 60 juta masyarakat hukum adat yang hampir sepenuhnya bergantung pada hutan.19 Di Indonesia jutaan masyarakat pedesaan menggantungkan kehidupannya pada produksi dan jasa hasil hutan. Selain itu, jutaan manusia lainnya baik regional dan mondial yang berada di luar orbit pedesaan juga sangat memerlukan produksi dan jasa dari sumber daya hutan untuk rekreasi, penelitian, sumber ekonomi, penjaga lingkungan, serta penjaga kelestarian plasma nutfah untuk
15
Ahmad Ubbe,dkk., 2013, Penelitian Hukum Tentang Peran Masyarakat Hukum Adat Dalam Penanggulangan Pembalakan Liar, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta., hlm. 30. 16 Blake Hudson, Spring 2011, “Climate Change, Forests, And Federalism: Seeing The Treaty For The Trees”, 82 U. Colo. L. Rev. 363, University of Colorado Law Review, pp. 363-429, hlm. 365. 17 Katharina Kunzmann, August 1, 2008, “The Non-Legally Binding Instrument On Sustainable Management Of AllTypes Of Forests - Towards A Legal Regime For Sustainable ForestManagement?”, 9 German L.J. 981, German Law Journal, pp. 981-1005, hlm. 982. 18 Forest communities live in and depend on forests, so their incentive structure must be targeted. Maron Greenleaf, 2011, “Using Carbon Rights To Curb Deforestation And Empower Forest Communities”, 18 N.Y.U. Envtl. L.J. 507, New York University Environmental Law Journal, pp. 507-599, hlm. 512. 19 Andrew Long, Winter 2011, “Global Climate Governance To Enhance Biodiversity And Well-Being:Integrating Non-State Networks And Public International Law In Tropical Forests”, 41 Envtl. L. 95, Environmental Law, pp. 95-164, hlm. 105.
3
kebutuhan manusia, tumbuhan, hewan, dan lain-lain.20,21 Di samping itu, hutan juga diasosiasikan dengan nilai-nilai spiritual dan budaya.22 Hutan sering menjadi arena pertentangan (konflik) antara berbagai pihak yang berkepentingan.23 Pada umumnya, konflik-konflik kehutanan bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat hukum adat atau lokal yang kemudian ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan.24,25‟26 Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan mengabaikan seluruh masyarakat terutama yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasan hutan merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai wilayah.27 Bentuk ketidakpuasan masyarakat
20
San Afri Awang, op. cit.,hlm. 15. Sustainable forestry has obvious environmental, social, and economic benefits. Robert Jackson Allen, Winter 2007 , “Sustainable Forestry In Virginia: Opportunities For Overdue LegislationAnd Options For Private Landowners”, 7 Appalachian J.L. 1, Appalachian Journal of Law, pp. 1-33, hlm. 4. 22 Katharina Kunzmann, loc. cit. 23 Sumber daya alam hutan pada kenyataannya telah menjadi sumber konflik yang tidak kunjung terselesaikan oleh pemerintah yang berkuasa dengan masyarakat, terutama rakyat yang terpinggirkan oleh proses kapitalisasi. San Afri Awang, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Center For Critical Studies (CCSS) bekerjasama dengan Kreasi Wacana Yogyakarta, Yogyakarta., hlm. 4 24 Kondisi masyarakat hukum adat saat ini terancam baik itu hak atas tanah maupun hak atas budaya, sehingga pemulihan hak mereka menjadi kebutuhan yang mendesak. Bantu Purba, 2012, Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai (Studi tentang Peraturan Hukum dan Implementasinya terhadap Kebijakan Pemerintah yang Menimbulkan Konflik Masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau), Ringkasan Disertasi, Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,. hlm. 55. 25 In environmental policies today, there is an ideological conflict between the Western conservationist view of property and the perception of property by indigenous people who find sustenance through the land.Kirsten Westerland, Winter 2007 , “Nepal's Community Forestry Program: Another Example Of The Tragedy OfThe Commons Or A Realistic Means Of Balancing Indigenous Needs WithForestry Conservation?”, 18 Colo. J. Int'l Envtl. L. & Pol'y 189, Colorado Journal of International Environmental Law and Policy, pp. 189-216, hlm. 190. 26 Sumber sengketa yang terjadi antar masyarakat dan/atau antar masyarakat dengan pelaku usaha disebabkan distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial. 21
27
When protected areas are declared in some distant capital by officials who fail to consider or inform local populations, residents of the reserve may not even know a protected area exists. Furthermore, even when locals are informed of the protected status, those who have relied on the resources for their own livelihoods for long periods of time, or perceive it to be their right to exploit the natural resource system, may continue their old practices and engage in violent
4
pada proses penetapan kawasan hutan yang seringkali berujung konflik adalah salah satu bentuk aspirasi masyarakat hukum adat dan pertentangan norma hukum nasional dengan norma hukum adat serta nilai budaya yang dianut masyarakat hukum adat.28 Konflik di sektor kehutanan dapat berpotensi melibatkan berbagai pihak, mulai dari skala lokal sampai skala nasional, bahkan skala internasional.29,30 31Di Indonesia, konflik hutan berskala lokal maupun nasional sering terjadi. Kebijakan dan pengelolaan secara ekstraktif dengan dominasi negara telah menyebabkan deforestasi dan kerusakan terhadap sumber daya hutan.32 Hal itu seringkali memicu berbagai konflik sosial karena telah menimbulkan hilangnya hak
protests when officials are sent to enforce a law that is not perceived locally as legitimate and is not consistently enforced. When residents do not believe that the government has the right to regulate their resource use, they will often find ways to resist or sabotage park regulations. Tanya Hayes dan Elinor Ostrom, “2005, Conserving The World's Forests: Are Protected Areas The Only Way?”, 38 Ind. L. Rev. 595, Indiana Law Review, pp. 595-617,hlm. 600. 28 I Nyoman Nurjaya, 2005, “Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil, Demokratis, dan Berkelanjutan : Perspektif Hukum dan Kebijakan”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 1, pp. 122, hlm. 19-20. 29 Yuliana Cahya Wulan, et.al, 2004, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2003, Center for International Forestry Research, Bogor., Hlm. 1. 30 Konflik-konflik muncul dalam setiap masyarakat. Salah satu fungsi hukum yang pokok adalah menyediakan mesin dan tempat yang bisa dituju oleh orang untuk menyelesaikan konflik mereka dan merampungkan sengketa. Lawrence M. Friedman, 1975, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial The Legal System A Social Science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim, 2011, Cetakan IV, Nusa Media, Bandung., hlm. 20. 31 Masyarakat Internasional termasuk Indonesia telah menyepakati melalui komitmen Clean Development Mechanism (COM) dan pengharusan pengelolaan hutan berbasis sustainable forest management principle serta kemungkinan investasi HTI sebagai alat penghapus hutang (debt for nature swaps) dalam CDM dinyatakan bahwa negara yang mengabsorbsi carbon akan memperoleh imbalan berupa incentif melalui carbon trade. Sedangkan bagi negara yang mengeluarkan carbon (negara-negara industri) diberikan kewajiban untuk membayar kompensasi bagi negara penghasil oksigen. Sedangkan dalam sustainable forest management principle diatur bahwa negara-negara pembeli mensyaratkan kayu yang dijual berasal dari hutan tanaman yang dikelola secara lestari. 32 Good forest governance requires government inclusiveness, accountability, participation of civil society, fair and clean tenure rights, legal clarity and control, inter-sectoral linkages, effective delegation among government levels and provisions of adequate resources for managers. Rowena Maguire, 2011, “Opportunities for Forest Finance: Compliance and Voluntary Markets”, 5 Carbon & Climate L. Rev. 100, Carbon & Climate Law Review, pp. 100-112, Hlm. 101.
5
masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal terhadap hutan.33 Penyebab lain mengenai konflik hutan adalah adanya tumpang tindih klaim atas kawasan hutan. Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan terjadi akibat legislasi dan kebijakan yang tidak terfomulasi dengan jelas, pemberian izin yang tidak terkoordinasi, serta penafian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat34, dan masyarakat lokal pengguna hutan lainnya.35 Hal tersebut seringkali memicu terjadinya konflik tenurial36 di kawasan hutan.37,38 Konflik tenurial hutan terjadi hampir merata di seluruh Indonesia.39 Data yang dirilis HuMa (2011) menyebutkan bahwa terdapat 85 kasus konflik terbuka 33
Tata Kepemerintahan Dalam Sektor Kehutanan Ringkasan Capaian Kegiatan Forest Governance (FGP2) 2011-2012, Kemitraan Untuk Tata Kepemerintahan di Indonesia. 34 The right of indigenous and tribal peoples to control their own resources is a principle both of treaty law and of customary international law.David Takacs, 2010, ” Forest Carbon Offsets And International Law: A Deep Equity Legal Analysis”, 22 Geo. Int'l Envtl. L. Rev. 521, Georgetown International Environmental Law Review, pp. 521-574, hlm. 565. 35 Tanpa pengawasan, industri tidak akan bertanggung jawab melanggar batas tanah adat. Pencarian mereka atas mineral dan hasil hutan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi dalam beberapa hal telah menyebabkan kerusakan hutan. Lennon Banks Haas, Spring 2012, “SavingThe Trees One Constitutional Provision At A Time: Judicial Activism AndDeforestation In India”, 40 Ga. J. Int'l & Comp. L. 751, Georgia Journal of International and Comparative Law, pp. 751-779, hlm. 771. 36 Tenurial lahan hutan berkenaan dengan siapa yangmemiliki lahan hutan, dan siapa yang memanfaatkan, mengelola, dan memutuskanperihal sumber daya hutan. Tenurial lahan hutan menentukan siapa yang diizinkan untuk menggunakan sumber daya apa, dengan cara bagaimana, selama berapa lama, dan dengan syarat apa, serta siapa yang berhak mengalihkan hak kepada pihak lain dan bagaimana caranya. Anne M. Larson, 2013, Hak Tenurial dan Akses Ke Hutan: Manual Pelatihan Untuk Penelitian, CIFOR, Bogor, hlm., 8. 37 Myrna A. Safitri, et. al., 2011, Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta., Hlm. 1. 38 Mengenai tenure, Noer Fauzi menguraikan, kata tenure berasal dari bahasa Latin tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Menurut Wiradi (1984), istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah mendasar dari aspek penguasaan suatu sumber daya yaitu mengenai status hukum. Dengan kata lain, membicarakan persoalan tenurial sumber daya hutan adalah membicarakan soal status hukum suatu penguasaan tanah dan segala tanam-tumbuh yang ada di atasnya. Kurnia Warman, et.al., 2012, Studi Kebijakan Penguatan Tenurial Masyarakat Dalam Penguasaan Hutan, World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office and Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum yang Berbasiskan Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Bogor, hlm. 9. 39 Konflik antara pengguna hutan yang berbeda terus meningkat. Hal ini meperjelas bahwa ilmu pengetahuan dapat menginformasikan, tetapi tidak membuat keputusan. William J. Wailand, April2006, “A New Direction? Forest Service Decisionmaking And Management
6
di kawasan hutan Indonesia. Konflik itu telah menyebabkan hilangnya ketenangan, penghidupan, bahkan nyawa anggota masyarakat terlibat konflik. Konflik juga tidak memberikan kepastian usaha bagi pemegang izin dan mengganggu kinerja pemerintah.40‟41,42 Salah satu konflik tenurial hutan yang telah menyebabkan hilangnya ketenangan, penghidupan, bahkan nyawa adalah konflik tenurial hutan di kawasan hutan Register 45 di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung. Konflik di kawasan hutan Register 45 Mesuji telah ada sejak era penjajahan.43 Walaupun telah
OfNational Forest Roadless Areas”, 81 N.Y.U. L. Rev. 418, New York University Law Review, pp. 418-453, hlm. 418. 40 Myrna A. Safitri, dkk., 2011, op. cit.,hlm. 23. 41 Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut, rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam,benci, antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang berkonflik sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial. 42 Pada saat menjelang akhir dalam penulisan disertasi ini di konflik di kawasan hutan kembali terjadi. Konflik tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Konflik ini di picu ada kelompok preman yang secara sengaja sebagai kelompok yang menarik uang garapan (pungli) terhadap kawasan hutan yang di rambah. Akibat tindakan kelompok preman tersebut warga perambah tidak terima. Hingga pada suatu saat tepatnya tanggal 11 Maret 2016 sekitar pukul 10.30 WIB kelompok preman tersebut menculik 2 orang warga yang sedang bercocok tanam di ladang, 2 orang tersebut yang bernama Bapak Eko dan bapak Supadi dibawa di posko milik kelompok preman tersebut yang berjumlah 7 orang. Mendengar ada penculikan dan penyekapan maka 10 orang warga perambah mendatangi posko tersebut, akan tetapi baru tiba dalam posko justru warga di serang oleh 7 orang kelompok preman tersebut hingga pada akhirnya 1 orang yang bernama bapak Anggi tewas dengan luka tembakan di dada, sedangkan 4 mengalami luka berat 5 berhasil meloloskan diri dari tindakan brutal preman tersebut. Setelah kejadian tersebut ribuan warga perambah mendatangi posko yang di miliki preman tersebut untuk mencari temanya yang di sekap, akan tetapi yang di dapati justru kedua orang yang disekap telah meninggal dengan mengenaskan dengan tangan kepala terpotong dan terpisah. Pada akhirnya konflik yang terjadi dalam kawasan Hutan Tanaman Industri Register 44 pada 11 Maret 2016 di ketahui 3 orang meninggal dan 4 orang luka berat. 7 orang preman yang kabur telah di tetapkan sebagai tersangka oleh Polda Lampung. Hal ini memberikan gambaran jika konflik yang terjadi dalam kawasan hutan tersebut telah menghantarkan pada sebuah realita bahwa penyelesaian konflik yang parsialistik akan meredamkan konflik sesaat. Penyelesaian konflik yang ada dalam kawasan hutan bukanlah perkara yang mudah untuk diselesaikan dengan hanya menggunakan sudut pandang yang sempit. Oleh karena itu diperlukan sudut pandang yang menyeluruh hingga penyelesaian konflik yang ada mampu di wujudkan secara berkeadilan dan tidak meninggalkan ketidakadilan. 43 Abdurachman Sarbini, 2008, Analisis Filosofis Makna Keadilan Sosial Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Relevansinya Bagi Pengelolaan Hutan Register 45 di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung, Disertasi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hlm.148.
7
berlangsung lama, sampai saat ini konflik tersebut masih belum selesai dan bahkan semakin mengkhawatirkan. Berbagai pendekatan penyelesaian mengenai konflik tersebut belum mampu menciptakan sebuah ketertiban. Konsep penyelesaian konflik yang telah dibangun belum mampu menunjukkan rasa keadilan. Konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung diawali dari adanya sebuah pertentangan dalam penguasaan kawasan hutan antara pemegang izin dan munculnya masyarakat perambah dalam melakukan penguasaan pada kawasan hutan tersebut.44 Pertentangan dalam penguasaan kawasan tersebut telah mengakibatkan konflik yang berkepanjangan dan meluas. Konflik Tenurial Hutan, terdapatnya kondisi pertentangan antara banyak kepentingan-kepentingan, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan terhadap sumber daya hutan, yang merujuk pada hubungan sosial dan lembaga yang mengatur akses dan tata guna lahan dan sumber daya hutan, (konflik berkenaan dengan siapa yang memiliki lahan hutan, dan siapa yang memanfaatkan, mengelola, dan memutuskan perihal sumber daya hutan. Tenurial lahan hutan menentukan siapa yang diizinkan untuk menggunakan sumber daya apa, dengan cara bagaimana, selama berapa lama, dan dengan syarat apa, serta siapa yang berhak mengalihkan hak kepada pihak lain dan bagaimana caranya).
44
Menurut Angel dan Korf, konflik adalah suatu hubungan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki kepentingan, tujuan yang bertentangan. Pengertian konflik yang diberikan oleh Angel dan Korf sejalan dengan pengertian konflik yang diberikan oleh Johnson dan Dunker yang menyatakan konflik adalah pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada.
8
Tidak dapat dipungkuri akibat adanya pertentangan tersebut telah mengakibatkan timbulnya konflik-konflik baru dan menjadikan konflik sangat kompleks. Noer Fauzi menguraikan, kata tenure berasal dari bahasa Latin tenere yang mencakup arti memelihara, memegang, memiliki. Menurut Wiradi (1984), istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah mendasar dari aspek penguasaan suatu sumber daya, yaitu mengenai status hukum. Dengan kata lain, membicarakan persoalan tenurial sumber daya hutan adalah membicarakan soal status hukum suatu penguasaan tanah dan segala tanam-tumbuh yang ada di atasnya.45 Secara historis adat Mesuji, kawasan hutan Register 45 Mesuji berasal dari rimbo larangan. Rimbo larangan adalah kawasan hutan yang berdasarkan kesepakatan adat ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dilarang dan terbebas dari adanya pemanfaatan oleh seluruh masyarakat.46 Masyarakat hukum adat pada saat itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam kawasan hutan yang ditetapkan sebagai rimbo larangan. Masyarakat hukum adat beranggapan bahwa menjaga hutan adalah suatu usaha untuk mendapatkan keselamatan.
45
Op.Cit. Pada awalnya dari perhimpunan Dewan Mesuji Lampung Onderafdeeling Menggala yang bersidang di Kampung Wiralaga, Sungai Badak, Seri Tanjung, keagungan Dalam, Nipah Kuning, Sungai Campai, Sungai Sidang dan talang Batu membicarakan akan mengadakan Rimba Larangan gouverment “Sungai Buaya” yang menerangkan dan menyetujui bahwa di Marga Mesuji Lampung akan diadakan Rimba Larangan gouverment yang batas-batasnya diterangkan dalam schetskaart yang terlampir pada Besluit Raad Marga ddo 25 Januari 1940 No. 01/1940. Abdurachman Sarbini, 2008, Analisis Filosofis Makna Keadilan Sosial Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Relevansinya Bagi Pengelolaan Hutan Register 45 di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung, Disertasi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hlm. 148-149. 46
9
Rimbo larangan juga mengandung nilai-nilai hutan yang disakralkan oleh masyarakat hukum adat Mesuji. Siapapun yang memetik sehelai daun dari hutan tersebut, diyakini akan terkena karma (kualat).47 Penetapan kawasan rimbo larangan bertujuan agar hutan tersebut mampu menjaga keberadaan masyarakat yang ada untuk selamanya. Pada waktu itu, nilai-nilai terhadap kawasan rimbo larangan sangat kuat. Masyarakat hukum adat tidak berani merusak pohon walau hanya sehelai daun pun, meskipun tidak ada larangan dari pemerintah atau negara. Mitos yang dipercaya masyarakat adalah barang siapa yang melakukan penebangan, akan mendapatkan hukum karma. Sejak ditetapkannya hutan tersebut sebagai kawasan hutan produksi atau yang sering disebut dengan hutan Register 45, mitos (nilai magis) tersebut hilang dengan sendirinya. Kawasan Hutan Produksi (KHP) Register 45 Sungai Buaya ditetapkan berdasarkan Besluit Residen Lampung Districten No. 249 Tanggal 12 April 1940 seluas 33.500 ha. Sejak saat itu, penggundulan hutan terjadi begitu gencar. Di sisi lain, masyarakat setempat hanya mampu menjadi penonton. Pada tahun 1986, pemerintah memberikan hak pengelolaan hutan rimbo larangan kepada PT. Silva Budi. Perusahaan tersebut diberi hak untuk mengelola “hutan larangan” itu seluas 10 ribu hektar dengan syarat hanya diizinkan menanam tanaman industri seperti akasia dan sengon. Tanaman lain seperti sawit,
47
Hutan bagi warga Mesuji adalah sakral. Turun-temurun mereka begitu menghormati hutan Mesuji yang sekarang lebih dikenal dengan kawasan Register 45. Sejak zaman dulu, warga yang mendiami sekitar kawasan itu tak ada yang berani menebang pohon yang berada di hutan itu. “Kisah di Balik Penjarahan Hutan Larangan Mesuji”, Senin, 19 Desember 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/12/19/058372426/Kisah-di-Balik-Penjarahan-HutanLarangan-Mesuji, diakses tanggal 8 April 2014.
10
karet, dan tanaman pertanian tidak boleh ditanam di kawasan itu.48 Perusahaan tersebut kemudian membabat kawasan itu untuk ditanami akasia. Pada perkembangannya, PT. Silva Budi kemudian berganti nama menjadi PT. Silva Inhutani karena bekerja sama dengan PT. Inhutani V. Setelah melakukan kerja sama, perusahaan perkebunan itu semakin ekspansif dalam penguasaan hutan Register 45 Mesuji. Areal penguasaannya bertambah menjadi 25 ribu hektar hingga tahun 1997. Pada saat ini, perusahaan tersebut telah menguasai sekitar 43 ribu hektar.49 Penguasaan atas kawasan hutan Register 45 Mesuji semakin parah dengan hadirnya ribuan orang yang mengkapling-kapling kawasan itu. Ribuan orang tersebut datang dari Jawa, Bali, Palembang, Makassar, dan sebagian daerah di Lampung.50 Orang-orang tersebut membabat hutan dan menanaminya dengan tanaman singkong, jagung, nanas, karet, dan sawit. Para perambah marak berdatangan setelah tahun 1999. Pada saat masih masuk wilayah Kabupaten Tulang Bawang, pemerintah dan aparat kerap menertibkan para perambah itu. Akan tetapi, langkah itu tidak membuahkan hasil, bahkan jumlah warga yang datang semakin banyak. Para perambah itu justru kemudian mendirikan Desa Moro-Moro, yang terdiri atas Kampung Moro Seneng, Moro Dewe, dan Moro-Moro. Mereka membuka ladang singkong, 48
“Kisah di Balik Penjarahan Hutan Larangan Mesuji”, Senin, 19 Desember 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/12/19/058372426/Kisah-di-Balik-Penjarahan-HutanLarangan-Mesuji, diakses tanggal 8 April 2014. 49 Ibid. 50 Dulu yang menduduki dan mengaku pemilik sah kawasan Register 45 Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung ada 5.000 orang, lalu bertambah menjadi 10 ribu orang, dan tahun 2013 sudah lebih dari 10 ribu orang. “Konflik Lahan di Mesuji Makin Parah”, Minggu, 12 Mei 2013, http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/05/12/mmnqgh-konflik-lahandi-mesuji-makin-parah, diakses tanggal 8 April 2014.
11
pemukiman, delapan sekolah dasar, dan tempat ibadah. Setiap warga mengelola dua hingga dua puluh hektar lahan, bahkan ada yang menguasai hingga seratus hektar lahan.51 Gelombang perambahan hutan kembali terjadi pada tahun 2003. Ratusan perambah membuka lahan di Alpha 8. Para perambah kemudian menyebut perkampungan itu dengan Pelita Jaya. Pada tahun 2009, warga kembali dikoordinasi oleh Pekat Raya, sebuah organisasi masa yang meminta pembayaran 3 sampai 15 juta rupiah bagi warga yang hendak mendapat kapling. Keberadaan perambah yang perlahan menguasai kawasan hutan Register 45 itu, membuat Pemerintah Provinsi Lampung membentuk Tim Gabungan Penertiban Perlindungan Hutan. Anggota tim itu terdiri atas Polri, TNI, jaksa, pemerintah, serta satuan pengamanan perusahaan dan swakarsa. Tim itu melakukan aksinya pada bulan September 2010. Tim yang beranggotakan ribuan orang itu menggusur pemukiman dan gubuk-gubuk liar yang dibangun oleh Pekat Raya. Perlawanan terhadap penggusuran itu sempat terjadi tetapi tidak ada korban jiwa. Di sisi lain, penertiban yang digelar pada 06 November 2010 menyebabkan satu warga tewas dan satu lainnya terluka.52 Setelah memukul mundur warga, tim yang terdiri atas Polri, TNI, dan PAM Swakarsa kemudian membongkar gubuk serta rumah semipermanen milik warga. Ratusan warga terpaksa harus mengungsi ke desa terdekat karena kehilangan tempat tinggal. Aparat juga mengusir 51
“Inilah Peta Konflik Lahan di Mesuji”, 16 Desember 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/12/16/173372087/Inilah-Peta-Konflik-Lahan-di-Mesuji, diakses tanggal 7 April 2014. 52 Pascaperistiwa itu polisi menangkap sejumlah pengurus Pekat Raya karena telah mengkapling-kapling lahan Register 45 dan diperjualbelikan. “Inilah Peta Konflik Lahan di Mesuji”, 16 Desember 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/12/16/173372087/Inilah-PetaKonflik-Lahan-di-Mesuji, diakses tanggal 7 April 2014.
12
perambah yang dikoordinasi oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal, yaitu Pekat Raya.53 Pada 21 Februari 2011, tim itu kembali menggusur warga di Simpang De, Kecamatan Mesuji Timur. Para perambah melakukan perlawanan dengan memblokir Jalan Lintas Timur Sumatera. Belasan orang terluka terkena gas air mata, termasuk anak-anak yang terjebak dalam bentrokan itu. Akibat perlawanan itu, tim gabungan memberikan waktu kepada perambah hingga panen singkong selesai. Pada Rabu 14 Desember 2011, akhirnya warga Pelita Jaya mengadu ke DPR RI terkait adanya pembantaian.54 Sementara itu, konflik juga terjadi di Area Perkebunan PT. Barat Selatan Makmur Investindo. Perusahaan itu terlibat sengketa dengan penduduk asli di Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji. Perusahaan dianggap telah menyerobot lahan milik warga yang telah digarap secara turun-temurun. Puncak konflik tersebut terjadi pada 10 November 2011. Warga yang akan memanen sawit di lahan yang mereka klaim, diberondong peluru aparat.55 Seorang warga tewas dengan luka tembak di kepala.56 Akibat peristiwa itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengadvokasi para korban sengketa lahan di Desa Nipah Kuning, Desa Kagungan Dalam, dan Desa Tanjung Raya. LBH menuding bahwa tragedi berdarah itu disebabkan karena polisi lebih 53
”Begini Kasus Pembantaian Mesuji Versi Polisi”, 15 Desember 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/12/15/063371846/Begini-Kasus-Pembantaian-Mesuji-VersiPolisi, diakses tanggal 8 April 2014. 54 “Inilah Peta Konflik Lahan di Mesuji”, 16 Desember 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/12/16/173372087/Inilah-Peta-Konflik-Lahan-di-Mesuji, diakses tanggal 7 April 2014. 55 Ibid. 56 ”Begini Kasus Pembantaian Mesuji Versi Polisi”, 15 Desember 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/12/15/063371846/Begini-Kasus-Pembantaian-Mesuji-VersiPolisi, diakses tanggal 8 April 2014.
13
berpihak pada perusahaan.57 Masyarakat dinilai tidak memperoleh keadilan dalam penyelesaian konflik tersebut. Berdasarkan terjadinya konflik tersebut, dapat dilihat bahwa aturan hukum pada sektor kehutanan tidak serta-merta dapat mencegah dan/atau menyelesaikan konflik. Berbagai peraturan yang terkait dengan penyelesaian konflik kehutanan belum mampu mengantisipasi timbulnya konflik-konflik baru. Konflik kehutanan antara masyarakat dan pemilik konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH)58 telah terjadi secara luas di berbagai daerah di Indonesia,59 seperti yang terjadi di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung yang sampai saat ini belum terselesaikan, bahkan semakin meluas.60 Konflik di kawasan hutan Register 45 Mesuji yang terus berkepanjangan telah mengakibatkan kerusakan hutan hingga mencapai 25 ribu ha. Seiring dengan hal itu, setidaknya 16 ribu jiwa telah berdomisili di kawasan hutan Register 45 Mesuji. Aturan hukum yang ada tidak mampu merespon timbulnya konflik yang terjadi di kawasan tersebut. Apabila konflik tersebut terjadi secara terus-menerus, tentu akan membahayakan semua pihak. 57
“Inilah Peta Konflik Lahan di Mesuji”, 16 Desember 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/12/16/173372087/Inilah-Peta-Konflik-Lahan-di-Mesuji, diakses tanggal 7 April 2014. 58 Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam kawasan hutan produksi, yang kegiatannya terdiri dari penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 307/Kpts-II/1999. 59 Herman Hidayat, loc. cit. 60 Menurut para anggota komunitas adat, dalam penelitian di Kabupaten Tulang Bawang, perusahaan-perusahaan perkebunan melakukan perluasan area HGU (Hak Guna Usaha) tanpa persetujuan komunitas adat. Komunitas adat menduga perusahaan melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk menciptakan dokumen “legal” yang memberi lisensi luas area lebih dari kontral awal dengan komunitas adat. Akibatnya anggota komunitas adat dilarang mengelola area lahan tersebut. Mereka terusir dari lahan-lahan wilayah adat yang diklaim sebagai area HGU. Di sisi lain, perusahaan sering mangkir membayar ganti rugi atas penyerahan lahan oleh komunitas adat. Novri Susan, 2012, Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia, KoPi bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta., hlm. 78.
14
Konflik di kawasan hutan Register 45 Mesuji sulit diselesaikan akibat adanya berbagai permasalahan yang timbul di kawasan itu. Hukum yang mengedepankan keberlakuan sulit diwujudkan di kawasan itu. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa terjadi konflik, mengapa hukum yang ada dirasa belum memenuhi rasa keadilan, dan bagaimana perwujudan konsep penyelesaian konflik yang dapat memenuhi rasa keadilan. Di sisi lain, pihak yang terlibat tidak menyadari bahwa akibat konflik yang berkepanjangan telah menyebabkan kerusakan kawasan hutan Register 45 Mesuji semakin parah.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa timbul konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung? 2. Mengapa penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung yang berdasarkan peraturan perundang-undangan belum memenuhi rasa keadilan? 3. Bagaimana konsep penyelesaian konflik tenurial hutan di Indonesia yang memenuhi rasa keadilan?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisis konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung.
15
2. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung berdasarkan peraturan perundang-undangan yang belum memenuhi rasa keadilan. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep penyelesaian konflik tenurial hutan di Indonesia yang memenuhi rasa keadilan.
D. Keaslian Penelitian Sepanjang pemeriksaan dan penelusuran yang telah peneliti lakukan, penelitian tentang “Penyelesaian Konflik Tenurial Kawasan Hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam Perspektif Keadilan” belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, baik dalam bentuk hasil penelitian maupun yang telah dibukukan. Peneliti juga telah membuktikan bahwa disertasi ini sangat berbeda dengan tulisan-tulisan atau hasil-hasil penelitian dari para penulis atau peneliti sebelumnya karena tulisan-tulisan atau hasil-hasil penelitian sebelumnya tidak ada yang terfokus pada penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. Terdapat beberapa penelitian yang hampir sama dan memiliki keterkaitan serta dijadikan bahan rujukan untuk penulisan disertasi ini, yaitu antara lain: 1. Penelitian disertasi yang berjudul “Analisis Filosofis Makna Keadilan Sosial Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Relevansinya Bagi Pengelolaan Hutan Register 45 di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi
16
Lampung” oleh Abdurachman Sarbini.61 Disertasi pada Program Pascasarjana, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada ini mengangkat permasalahan mengenai, apa dasar filosofis Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? apa makna keadilan sosial menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? Dan bagaimana relevansi keadilan sosial dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bagi pengelolaan hutan Register 45 di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung? Penelitian ini mengupas secara tuntas mengenai relevansi keadilan sosial dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagi pengelolaan hutan Register 45 di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Kesimpulan dalam penelitian disertasi tersebut antara lain, dalam konteks kawasan hutan Register 45 terdapat tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan, yaitu keadilan yang tertuju pada orang lain, keadilan yang harus ditegakkan, dan keadilan yang menuntut persamaan. Keadilan sosial untuk bangsa Indonesia merupakan pandangan dan sikap hidup yang dikembangkan untuk menghadapi kehidupan ini. Bangsa Indonesia telah menerima Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah kehidupannya, serta sebagai satusatunya asas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sehingga modernitas untuk bangsa Indonesia tidak lepas dari Pancasila. Ukuran mengenai apakah Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila telah berhasil dalam hal keadilan sosial atas kasus di kawasan hutan Register 45 adalah terciptanya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin di wilayah tersebut.
61
Abdurachman Sarbini, 2008, Analisis Filosofis Makna Keadilan Sosial Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Relevansinya Bagi Pengelolaan Hutan Register 45 di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung, Disertasi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
17
Hal itu berarti, komunitas yang berkonflik dalam kawasan hutan Register 45 perlu mengembangkan sikap rasional sesuai dengan keadilan sosial dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan luas dan mendalam. Hal tersebut merupakan jaminan bagi kesejahteraan rakyat. Penelitian disertasi dengan judul “Analisis Filosofis Makna Keadilan Sosial Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Relevansinya Bagi Pengelolaan Hutan Register 45 di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung” oleh Abdurachman Sarbini, memiliki perbedaan dengan disertasi yang disusun oleh peneliti. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup penelitian yang dilakukan oleh Abdurachman Sarbini, yaitu mengenai keadilan sosial dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi lain, ruang lingkup dalam disertasi ini adalah penyelesaian konflik dalam perspektif keadilan. Dalam hal ini ruang pembahasanya berfokus pada mengapa timbul konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung. Pada penelitian disertasi ini, peneliti juga meneliti mengenai mengapa peraturan perundang-undangan
belum
mampu
memenuhi
rasa
keadilan
dalam
penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung. Selanjutnya, penelitian ini juga akan menitikberatkan pada sebuah konsep penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan di Indonesia yang memenuhi rasa keadilan. 2. Penelitian disertasi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung”
18
oleh Bambang Soepijanto, Program Doktor Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang.62 Permasalahan dalam penelitian tersebut di antaranya, (1) Bagaimanakah implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mesuji? (2) Siapakah aktor yang terlibat dan bagaimana peran dari masing-masing
aktor
tersebut
dalam
proses
implementasi
kebijakan
pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan di Mesuji Lampung? (3) Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mesuji? (4) Bagaimanakah dampak implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat? (5) Bagaimanakah konsep implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat yang efektif bagi masyarakat sekitar kawasan hutan di Kabupaten Mesuji? Penelitian
tersebut
menyimpulkan
bahwa
implementasi
kebijakan
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang dilaksanakan selama ini, masih belum berhasil dengan baik dan bahkan memunculkan konflik sosial. Pada penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan melalui kemitraan kehutanan telah berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu dapat dilihat dari pencantuman kegiatan-kegiatan dalam RKT 62
Bambang Soepijanto, 2013. Implementasi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung. Disertasi. Malang: Program Doktor Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang.
19
perusahaan
dan
adanya
kesepakatan
dengan
petani
mitra
binaan.
Pemberhentian implementasi kebijakan ini disebabkan oleh faktor internal, yaitu pertama, ketidakmampuan meneruskan produksi dan faktor eksternal karena adanya perambahan hutan. Kedua, aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan, belum bekerja secara sinergis sesuai dengan fungsinya masingmasing dalam mencapai tujuan pemberdayaan. Ketiga, terdapat tiga dampak positif implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat setempat, penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi, serta penciptaan kesadaran dan perilaku positif terhadap pengelolaan sumber daya alam. Di sisi lain, dampak negatifnya adalah muncul klaim dan perambahan kawasan hutan. Keempat, implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan yang dalam pelaksanaannya memperoleh dukungan dari faktor-faktor kebijakan, ketersediaan lahan, dan adanya masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan pemberdayaan. Faktorfaktor penghambat utama dari implementasi kebijakan ini adalah adanya perambahan hutan dan konflik agraria. Secara praktis, disertasi dengan judul “Implementasi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung” oleh Bambang Soepijanto merupakan penelitian di bidang ilmu administrasi publik. Hal itu tentu memiliki perbedaan secara praktis keilmuan dengan penelitian yang dilakukan penulis.
20
3. Penelitian disertasi yang berjudul “Rekonstruksi Kearifan Lokal untuk Membangun
Hukum
Kehutanan
yang Berkelanjutan
(Studi
terhadap
Masyarakat Hukum Adat Kajang dan Tenganan Pegrinsingan)” oleh Caritas Woro Murdiati Runggandini, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.63 Permasalahan dalam penelitian disertasi itu antara lain, bagaimana keberadaan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan yang masih berlangsung? bagaimana ketahanan kearifan lokal terhadap pengaruh budaya luar dan intervensi
kebijakan
perundang-undangan
pemerintah? dalam
bagaimana
pengelolaan
singkronisasi
sumber
daya
peraturan
hutan?
Dan
bagaimanakah upaya merekonstruksi kearifan lokal dalam pembangunan hukum kehutanan yang berkelanjutan? Kesimpulan dalam penelitian tersebut adalah kearifan lokal perlu dijadikan sebagai asas atau prinsip hukum dalam pembangunan hukum kehutanan dan mengedepankan
paradigma
pembangunan
berkelanjutan.
Keberadaan
pembangunan hukum kehutanan yang berkelanjutan, diharapkan akan mewujudkan hukum yang efektif, berkeadilan, dan pembangunan
hukum
kehutanan ke depan harus didukung adanya paradigma community based forest management dengan lebih memberikan peran kepada masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan untuk dapat mewujudkan tujuan hukum. Penelitian disertasi dengan judul “Rekonstruksi Kearifan Lokal untuk Membangun
Hukum
Kehutanan
yang Berkelanjutan
(Studi
terhadap
63
Caritas Woro Murdiati Runggandini, 2012. “Rekonstruksi Kearifan Lokal Untuk Membangun Hukum Kehutanan Yang Berkelanjutan (Studi Terhadap Masyarakat Hukum Adat Kajang Dan Tenganan Pegrinsingan)”. Disertasi. Yogyakarta: FH Universitas Gadjah Mada.
21
Masyarakat Hukum Adat Kajang dan Tenganan Pegrinsingan)” oleh Caritas Woro Murdiati Runggandini, memiliki perbedaan dengan disertasi yang disusun oleh peneliti. Perbedaan tersebut terletak pada: a. Penelitian disertasi oleh Caritas Woro Murdiati Runggandini terfokus pada sinkronisasi peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Di sisi lain, penelitian disertasi yang peneliti lakukan terfokus pada penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. b. Penelitian disertasi oleh Caritas Woro Murdiati Runggandini terfokus pada rekonstruksi kearifan lokal dalam pembangunan hukum kehutanan yang berkelanjutan. Di sisi lain, penelitian disertasi yang peneliti lakukan terfokus pada penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. 4. Penelitian disertasi yang berjudul “Konsistensi Pengaturan Penyerahan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Pemberian Izin Pemanfaatan Hasil Hutan (Studi Desentralisasi Bidang Kehutanan di Provinsi Riau)” oleh Sudi Fahmi, Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.64 Permasalahan dalam penelitian disertasi itu antara lain, bagaimanakah konsistensi pengaturan penyerahan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pemberian izin pemanfaatan hasil hutan di Provinsi Riau? serta 64
Sudi Fahmi, 2006. “Konsistensi Pengaturan Penyerahan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Pemberian Izin Pemanfaatan Hasil Hutan (Studi Desentralisasi Bidang Kehutanan di Propinsi Riau)”. Disertasi. Yogyakarta: Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
22
apakah dampak dan upaya pencegahan terhadap adanya pengaturan dalam bidang kehutanan yang tidak konsisten antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Riau? Kesimpulan dalam penelitian tersebut adalah inkonsistensi hukum dalam penyerahan kewenangan pemerintah pusat dan daerah di bidang kehutanan, antara Undang-Undang dengan UUD, PP dengan UU, dan SK Menteri Kehutanan dengan PP. Di tingkat daerah inkosistensi tersebut juga muncul, yaitu antara Surat Keputusan Bupati dan Gubernur yang bertentangan dengan PP secara vertikal sehingga banyak menimbulkan kasus di daerah. Selain itu, secara horizontal inkonsistensi hukum juga terjadi antara UU dan UU, PP dan PP, Kepmen dan Kepmen. Dampak yang ditimbulkan dari inkonsistensi hukum dalam penyerahan kewenangan pemerintah pusat dan daerah pada bidang kehutanan, terutama dalam bidang perizinan pemanfaatan hasil hutan telah menyebabkan timbulnya tumpang tindih aturan yang berkenaan dengan perizinan dalam bidang ini. Penelitian disertasi dengan judul “Konsistensi Pengaturan Penyerahan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Pemberian Izin Pemanfaatan Hasil Hutan (Studi Desentralisasi Bidang Kehutanan di Provinsi Riau)” oleh Sudi Fahmi, memiliki perbedaan dengan disertasi yang disusun oleh peneliti. Perbedaan tersebut terletak pada: a. Penelitian disertasi oleh Sudi Fahmi terfokus pada konsistensi pengaturan penyerahan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pemberian izin pemanfaatan hasil hutan, sedangkan dalam penelitian
23
disertasi yang dilakukan penulis terfokus pada penyelesaian konflik hutan di wilayah masyarakat hukum adat dalam perspektif keadilan. b. Penelitian disertasi oleh Sudi Fahmi meneliti mengenai dampak dan upaya pencegahan yang ditimbulkan akibat adanya pengaturan dalam bidang kehutanan yang tidak konsisten antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Riau. Di sisi lain, penelitian disertasi yang penulis lakukan meneliti mengenai apakah bentuk penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. Selain itu, peneliti juga meneliti tentang mengapa peraturan perundang-undangan belum memenuhi rasa keadilan dalam penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung. Selanjutnya, penelitian itu juga akan menitikberatkan pada sebuah konsep penyelesaian konflik di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. 5. Penelitian yang dibukukan dengan judul “Analisa Konflik Sektor Kehutanan Di Indonesia 1997-2003” oleh Yuliana Cahya Wulan, Yurdi Yasmi, Christian Purba, dan Eva Wollenberg.65 Penelitian itu secara khusus mempunyai dua tujuan utama, yaitu: a. Menyajikan profil konflik kehutanan, khususnya yang terjadi di areal HPH, HTI, dan kawasan lindung untuk melihat persebarannya secara geografis (perprovinsi). b. Membandingkan konflik yang terjadi sebelum dan sesudah masa Reformasi serta mencoba untuk menarik beberapa pelajaran atas kejadian tersebut. 65
, Yuliana Cahya Wulan dkk, 2004, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2003, Bogor: Center for International Forestry Research.
24
Hasil dari penelitian itu adalah sebagai berikut: a. Penelitian itu memberikan gambaran bahwa konflik kehutanan merupakan masalah yang keberadaannya perlu diakui dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Konflik kehutanan telah ada sepanjang sejarah perkembangan pengelolaan kehutanan Indonesia karena sumber daya alam ini diperebutkan untuk diambil manfaatnya oleh berbagai pihak yang berbeda kepentingan, baik individu atau kelompok, serta antara kepentingan lokal, nasional, maupun internasional. b. Dilihat dari frekuensinya, konflik kehutanan cenderung meningkat setelah masa Reformasi, baik di tingkat nasional maupun di provinsi (Kalimantan Timur). Masa Reformasi dan kebijakan desentralisasi ternyata merupakan alasan utama meningkatnya frekuensi konflik kehutanan, baik pada tingkat nasional maupun provinsi. Penelitian mengenai “Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 19972003” yang dilakukan oleh Yuliana Cahya Wulan, Yurdi Yasmi, Christian Purba, dan Eva Wollenberg berbeda dengan penelitian disertasi yang dilakukan peneliti. Penelitian itu khusus meneliti penyebab timbulnya konflik, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis adalah pengkajian pada aspek penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung guna mewujudkan rasa keadilan.66 6. Penelitian yang dibukukan dengan judul “Kepentingan Nasional atau Lokal? Konflik Penguasaan Lahan di Hutan Penelitian Sebulu di Kabupaten Kutai
66
Ibid
25
Kertanegara, Kalimantan Timur” oleh Catur Budi Wiati.67 Penelitian itu bertujuan menganalisis konflik yang terjadi di hutan penelitian untuk membantu pemerintah dalam menyeimbangkan pengelolaan kepentingan lokal dan nasional. Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik sudah terjadi jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi hutan penelitian. Faktor lain yang mendorong terjadinya konflik adalah tidak dilakukannya tahap sosialisasi sebelum pengukuran tata batas, tidak dirasakannya manfaat adanya hutan penelitian oleh masyarakat, tingkat kesejahteraan masyarakat yang kurang, kurangnya kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam yang masih tersisa, mudahnya masyarakat terprovokasi oleh pihak lain, dan tidak adanya dukungan pemerintah kabupaten maupun provinsi dalam kegiatan pengelolaannya. Konflik tidak hanya menyebabkan masyarakat menolak kehadiran “hutan penelitian sebulu” di wilayah mereka. Akan tetapi, juga menimbulkan
pengelompokan-pengelompokan
dalam
masyarakat
yang
berpotensi menjadi konflik internal. Penelitian “Kepentingan Nasional atau Lokal? Konflik Penguasaan Lahan di Hutan Penelitian Sebulu di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur” oleh Catur Budi Wiati berbeda dengan penelitian disertasi yang dilakukan peneliti. Perbedaan tersebut terletak pada:
67
Catur Budi Wiati, 2005. Kepentingan Nasional atau Lokal? Konflik Penguasaan Lahan di Hutan Penelitian Sebulu di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Bogor: Center for International Forestry Research.
26
a. Penelitian oleh Catur Budi Wiati terfokus pada penguasaan lahan hutan yang dijadikan hutan penelitian. Di sisi lain, penelitian disertasi yang dilakukan penulis terfokus pada penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. b. Pada penelitian disertasi yang penulis lakukan, akan dianalisis mengenai mengapa penyelesaian konflik tenurial hutan berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia belum memenuhi rasa keadilan. c. Pada penelitian disertasi yang penulis lakukan juga memfokuskan pada konsep penyelesaian konflik di kawasan hutan Register 45 Mesuji. 7. Artikel “Hutan Negara di dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktrin, Fakta, dan Implikasinya bagi Kelestarian Hutan” oleh Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor).68 Artikel itu terfokus pada keberadaan hutan negara di wilayah masyarakat hukum adat berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berbagai fakta menunjukkan bahwa “hutan adat sebagai hutan negara” tidak dimaknai sebagai upaya penghormatan dan perlindungan terhadap hutan adat oleh negara karena hutan adat tetap termarjinalkan, dibiarkan bersaing dengan para pemegang izin, dan pengelolan hutan dilakukan tanpa kepastian hukum. Perbedaan mendasar antara artikel ilmiah “Hutan Negara di dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktrin, Fakta, dan Implikasinya bagi Kelestarian 68
Hariadi Kartodihardjo, Hutan Negara di dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktrin, Fakta, dan Implikasinya bagi Kelestarian Hutan, (Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan), Institut Pertanian Bogor.
27
Hutan” oleh Hariadi Kartodihardjo dengan penelitian disertasi peneliti, antara lain sebagai berikut: a. Artikel itu terfokus pada pengaturan hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di sisi lain, penelitian disertasi yang dilakukan penulis terfokus pada penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. b. Penelitian disertasi yang dilakukan penulis juga dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan.
E. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan menghasilkan dua aspek kegunaan, yaitu dari aspek teoritis dan dari aspek praktis. 1. Dari aspek teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum yang berkaitan dengan penyelesaian konflik di kawasan hutan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada lembaga-lembaga terkait, para penegak hukum, akademisi, dan masyarakat umum. 2. Dari aspek praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi para penegak hukum, pembuat undang-undang, dan masyarakat mengenai penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan yang memenuhi rasa
28
keadilan. Dengan demikian, di masa yang akan datang penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan dapat memenuhi rasa keadilan.
F. Landasan Teori 1. Teori Keadilan Keadilan merupakan konsep yang memiliki arti umum. Hal itu tergantung pada bagaimana dan di mana konsep tersebut diberlakukan. Secara umum, uraian mengenai ketidakadilan ditujukan kepada seseorang yang telah mengambil haknya lebih dari yang seharusnya atau kepada orang yang telah melanggar hukum. Begitu juga sebaliknya, apabila seseorang tidak mengambil hak orang lain dan tidak melanggar hukum disebut orang yang adil. Persoalan keadilan merupakan masalah yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi. Keadilan dianggap sebagai salah satu kebajikan utama (cardinal virtue). Pada konsep ini, keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat anggota masyarakat dalam hubungan satu dengan yang lainnya. Pada zaman itu, dipelopori oleh filsuf Plato dalam bukunya “republic I”, mengemukan ada empat kebajikan pokok, yaitu kearifan (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline), dan keadilan (justice). Di sisi lain, terdapat filsuf lain yang mengatakan bahwa keadilan tidak berada dalam tingkatan yang sejajar dengan kejujuran, kesetiaan, atau kedermawanan tetapi merupakan sebuah kebajikan yang mencakup secara keseluruhan (all-embraching virtue). Hal itu berarti, keadilan mendekati
29
pengertian kebenaran-kebaikan (righteousness).69 Berdasarkan kedua pandangan filsuf tersebut, terdapat perbedaan mengenai ruang lingkup keberadaan keadilan. Filsuf Stanly mengemukakan pandangannya bahwa keadilan mendekati kebenaran dan kebaikan. Pandangan itu berarti merupakan suatu hal yang ideal dan merupakan suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam hukum. Hal itu disebabkan, hukum membicarakan tentang tujuan yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum, antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan pemerintah, dan di antara negara-negara yang berdaulat. Pandangan
bahwa
keadilan
adalah
sesuatu
yang
akan
dicapai
menyebabkan lahirnya konsep keadilan sebagai hasil atau keputusan yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan yang sama persis dengan asas-asas dan perlengkapan hukum. Keadilan dalam pengertian ini disebut keadilan prosedural (procedural juctice) dan konsep ini akhirnya dikenal dalam lambang dewi keadilan, pedang, timbangan, dan penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tidak memihak dan tidak memandang orang.70 Hukum dan keadilan merupakan satu kesatuan yang padu sebab hukum tanpa keadilan bukanlah hukum. Suatu hukum yang tidak berkeadilan tidak dapat dijuluki sebagai hukum tetapi lebih merupakan pelaksanaan kewenangan yang tidak legitimate (an unjust law does not merit the name at all but is a mere exercise of illegimitame power).71
69
Stanley I. Benn,” Justice” dalam Paul Edwards, ed., dalam The Liang Gie.,1979, TeoriTeori keadilan, Penerbit Super, Yogyakarta, Hlm.9. 70 Ibid. hlm.12 71 Allen, 1956, sebagaimana dikutip oleh Jawahir Thontowi, “Pengembangan Ilmu Hukum berbasis Religious Science: Dekonstruksi Filosofis Pemikiran Hukum Positivistik”, dalam
30
Menurut Aristoteles dalam buku yang berjudul “Nichomachen Ethis” menyatakan bahwa keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia (fairness ini human action). Kelayakan adalah titik tengah di antara kedua ujung yang merupakan dua orang atau benda. Keadilan juga terdapat pada keseimbangan dalam persamaan atas dua perbandingan yang disebut dengan keadilan distributif. Aristoteles membagi keadilan menjadi empat bagian, yaitu keadilan persamaan (equality justice), keadilan distributif, keadilan perbaikan (remedial justice), dan keadilan niaga (commercial justice). Keadilan perbaikan dimaksudkan untuk mengembalikan persamaan dengan memberikan hukuman kepada pihak yang bersangkutan. Keadilan ini juga merupakan titik tengah antara kedua kutub, yaitu keuntungan dan kerugian. Di sisi lain, keadilan komersial merupakan suatu perimbangan yang bercorak timbal balik dalam usaha pertukaran benda atau jasa di antara para anggota masyarakat. Pertukaran harus berupa timbal balik yang proporsional (proportionate reciprocity). Hal ini dikarenakan, sifat timbal balik dalam pertukaran tempat atau arah disebut pula dengan keadilan komutatif. Keadilan menuntut bahwa dalam keadaan yang sama, setiap orang harus menerima bagian yang sama pula.72 Keadilan seperti ini sejalan dengan keadilan distributif menurut Aristoteles, yang berpendapat bahwa keadilan merupakan fairness in human action. Aristoteles membagi keadilan menjadi sebagai berikut: a. Keadilan Distributif
Pandecta, Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, Nomor 2, Juli 2012, hlm. 101. 72 Johny Ibrahim, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan kedua, Edisi Revisi, Bayu Media Publishing, Malang, Jawa Timur, Hlm. 5.
31
Keadilan distributif adalah keadilan mengenai pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan sama, memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum. b. Keadilan Korektif Keadilan korektif adalah keadilan yang menetapkan kriteria dalam pelaksanaan hukum sehari-hari, yaitu manusia harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan manusia dalam relasinya satu sama lain. Sanksi pidana yang dijatuhkan dapat memulihkan sesuatu yang telah dilakukan oleh kejahatan dan ganti rugi telah memulihkan kesalahan perdata. Standar tersebut ditetapkan tanpa membeda-bedakan orang.73 Dengan demikian, keadilan berarti bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama apabila dalam keadaan yang sama. Ulpianus, seorang pengemban hukum kekaisaran Romawi pernah menuliskan, “Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” yang mengandung makna bahwa keadilan adalah kehendak yang bersifat tetap dan yang tidak ada pada akhirnya memberikan kepada tiap-tiap orang yang menjadi haknya.74 Berdasarkan hal itu, apabila seseorang tidak menerima apa yang menjadi haknya, keadilan tidak terlaksana.
73
Acrill, 1981, dalam Abdurachman Sarbini, 2008, Analisis Filosofis Makna Keadilan Sosial Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Relevansinya Bagi Pengelolaan Hutan Register 45 di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung, Disertasi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hlm. 62. 74 John Rawls, 2006, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 3.
32
Menurut Niebuhr, keadilan yang sempurna adalah suatu kondisi “persaudaraan” yang di dalamnya tidak terjadi konflik kepentingan.75,76 Akan tetapi, kondisi ini mustahil terjadi karena konflik justru timbul ketika berbagai kepentingan saling berbenturan satu sama lain. Konflik terjadi ketika salah satu pihak atau masing-masing pihak merasa haknya telah dilanggar dan mencari jalan agar dapat memulihkannya kembali. Dalam hal ini, keadilan akan tercapai apabila penyelesaian konflik dilakukan dengan cara masing-masing pihak memperoleh apa yang menjadi haknya dengan tidak melanggar hak pihak lain. Terkait dengan hukum dan keadilan serta perbedaan cara pandang terhadap
hukum,
dapat
ditelusuri
pemikiran-pemikiran
yang
mendasari
kemampuan hukum dalam mencapai cita keadilan. Berdasarkan hasil penelusuran, terdapat perbedaan cara pandang dan pemberian pengertian hukum yang telah terjadi sejak zaman ahli-ahli pandang filsafat dan hukum, seperti Aristoteles, Jeremy Bentham, John Austin, Hans Kelsen, Friedrich Carl von Savigny, Eugen Ehrlich, maupun Roscoe Pound. Aristoteles, tokoh aliran hukum alam, memberikan uraian bahwa hukum merupakan
suatu kumpulan peraturan-peraturan
yang mengikat
seluruh
masyarakat, baik itu pejabat maupun rakyat.77 Pandangan Aristoteles tentang
75
Niebuhr, 1979, dalam Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan Six Theories of Justice, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, 2011, Nusa Media, Bandung , Hlm. 161. 76 Namun kondisi seperti ini sama mustahilnya dengan kondisi kasih yang sempurna untuk dicapai di dunia penuh dosa ini. Karena keadilan yang sempurna adalah kasih itu sendiri, sehingga jika kasih tidak bisa direalisasikan sepenuhnya, tidak akan pernah ada keadilan yang sempurna., Karen Lebacqz, 2011, Teori-Teori Keadilan Six Theories of Justice, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, Nusa Media, Bandung , Hlm. 161. 77 Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar Ke Filsafat Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, Hlm. 56-57. Dijelaskan pula bahwa: Aristoteles mengikuti pemikiran gurunya yaitu Plato, yang dikenal dengan ajaran cita-citanya (ideenleer). Pandangan Plato tentang hukum berbeda pada masa mudanya dengan pada masa tuanya. Ketika
33
hukum tersebut disandarkan pada sifat dualisme manusia, baik sebagai makhluk bebas karena akalnya maupun sebagai bagian dari alam semesta. Hal itu memunculkan konsep mengenai adanya hukum kodrat yang mendasarkan kekuatannya pada pembawaan manusia dan hukum positif yang mendapatkan kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum. Menurut Aristoteles, hukum dikatakan memiliki tujuan semata-mata untuk mewujudkan keadilan.78 Keadilan itu sendiri menurut Aristoteles dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu pertama, keadilan distributif merupakan keadilan yang didasarkan pada jasa, artinya sesuatu yang harus diterima oleh seseorang dapat dilihat dari seberapa besar jasanya sesuai dengan posisinya di dalam masyarakat. Kedua, keadilan komutatif, yaitu keadilan yang sifatnya menyamaratakan tanpa melihat posisi seseorang di dalam masyarakat, umumnya menyangkut hal-hal yang bersifat perseorangan, seperti misalnya perjanjian tukar menukar.79
masih muda, dalam bukunya yang berjudul Republic atau dikenal pula dengan istilah Politiea, hukum dipandang sebagai suatu sistem peraturan yang diorganisasi dan diformulasi, yang mengikat masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat dalam negara diklasifikasikan ke dalam masyarakat yang memerintah yakni para raja-raja yang arif dengan mereka yang diperintah. Plato dalam idenya memimpikan tentang suatu hukum yang adil yang dijelmakan pada raja-raja serta pembantu-pembantunya yang mampu berbuat bijak, sehingga fungsi dan peranan hukum hanyalah sebagai alat saja yang dapat menjamin adanya ketertiban sosial. Sebab hukum dalam hal ini menetapkan setiap orang untuk berada di tempatnya masing-masing, artinya masing-masing orang harus puas dengan keberadaan dirinya. Sedangkan pada masa tuanya, dalam karyanya yang berjudul Law atau Nomoi, terlihat Plato menyadari bahwa sangat sulit mengharapkan suatu tindakan yang bijak walau dari seorang raja sekalipun. Beliau merasa kecewa sebagai seorang penasehat raja, sehingga akhirnya tidak lagi menempatkan negara pada posisi yang utama, melainkan kedua. Menurutnya, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dalam merealisasikan keadilan haruslah dengan hukum yang tertulis, walaupun tetap berpendirian bahwa keadilan adalah masalah ilham/inspirasi karena keadilan adalah suatu keadaan keseimbangan roh dari dalam yang tak dapat dianalisis dengan akal. Uraian ini juga dapat dilihat dalam: Soetiksno, 2004, Filsafat Hukum, Bagian 1, Cetakan Kesebelas, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 13 78 Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Cetakan Kedua, PT. Refika Aditama, Bandung , Hlm. 23. 79 Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, op. cit, Hlm. 57.
34
Teori mengenai keadilan pada abad pertengahan dipelopori oleh Augustinus dalam bukunya “Civitas Dei” (kerajaan Tuhan), yang mengatakan bahwa keadilan didasarkan atas pandangan mengenai hukum alamiah yang mendasari akal manusia yang dapat merenungkan sifat dasarnya sebagai makhluk berakal dan bagaimana seharusnya tindakan yang patut di antara manusia. Menurutnya, keadilan adalah “justitia est constans et perpetua voluntas jus suum quique tribuendi” (keadilan adalah kecenderungan yang tetap dan kekal untuk diberikan kepada setiap orang atas haknya). Keadilan adalah asas dari ketertiban yang muncul dalam perdamaian, sedangkan perdamaian adalah dambaan dalam pergaulan manusia. Keadilan terdapat pada kerajaan Tuhan yang tercermin pada kehidupan gereja dan di luar itu tidak didapatkan makna keadilan tersebut. Pada zaman modern yang dipelopori oleh Thomas Hobbes, terdapat pandangan tentang makna keadilan yang bersandar pada hukum alamiah yang dikoreksi dengan analisis yang bercorak empirik, materialisitik, mekanistik, dan individualistik. Prinsip ajarannya menyatakan bahwa keadilan yang terdapat pada hukum positif jauh melebihi keadilan pada hukum alamiah. Adanya perasaan adil dan tidak adil dalam bernegara tergantung dari pelanggaran atau ketiadaan pelaksanaan dari perjanjian yang telah dilakukan pada saat penyerahan sebagian hak-hak alamiahnya kepada suatu kekuatan yang berdaulat dalam bernegara. Pada saat bersamaan, di dunia barat muncul pula teori keadilan aliran liberalisme. Teori itu pada dasarnya mengajarkan bahwa manusia pada sifat dasarnya adalah makhluk moral dan mendasarkan dirinya pada aturan-aturan yang berdiri sendiri untuk mewujudkan posisinya sebagai pelaku moral itu. Aliran itu
35
menjunjung kehidupan bernegara yang demokrasi serta dapat mewujudkan kebebasan individu dalam kehidupan bersama dan saling menghormati satu sama lain. Tokoh aliran ini adalah Samuel Pufendorf. Teori keadilan mengalami kemajuan seiring dengan perkembangan zaman. Hal itu sejalan dengan ketidakpuasan manusia dalam mencari kehidupan yang damai. Dewasa ini lahir teori keadilan yang berdasarkan pada aliran filsafat analitik. Teori tersebut menganggap bahwa filsafat sebagai kegiatan mental dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai konsep. Menurut H.L.A. Hart, dalam filsafat hukum terdapat tiga gugus permasalahan, yaitu permasalahan tentang definisi hukum, penalaran hukum, dan kritik-kritik terhadap hukum. Jadi pada prinsipnya, keadilan merupakan pokok permasalahan hukum. Keterkaitan hukum dan keadilan juga dipaparkan oleh John Rawls dengan menyebutkan bahwa keadilan yang berbasis hukum dan sifat administratifformalnya sekalipun, tetaplah penting. Pada dasarnya, paparan itu memberikan jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama harus diperlakukan secara sama80. Pemikiran John Rawls tentang keadilan dilatarbelakangi oleh
80
Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi , Telaah Filsafat Politik John Rawls, Cetakan Kelima, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Hlm.27. Dijelaskan pula dalam hlm. 72-73, bahwa arti penting dari keadilan adalah sebagai kebajikan utama yang harus dipegang teguh dan sekaligus menjadi semangat dasar dari pelbagai lembaga sosial dasar suatu masyarakat. Menurut Rawls, dengan memperlakukan keadilan sebagai kebajikan pertama berarti memberikan kesempatan secara adil dan sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Teori keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, pada intinya terkristalisasi pada dua rumusan keadilan yang disebutnya prinsip-prinsip pertama keadilan, sesungguhnya bertolak dari suatu model keadilan yang lebih umum, yang dirumuskannya sebagai: “Semua nilai-nilai sosial – kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis harga diri – harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang bermanfaat bagi setiap orang”. Rumusan model keadilan umum tersebut mengandung dua hal penting, pertama, kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai lainnya dan dengan itu juga model umum keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap kebebasan. Kedua, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu
36
persoalan adanya penilaian masyarakat terhadap praktik-praktik dari lembaga pemerintah tentang kepentingan yang sah dari lembaga atau ketentuan hukum positif
dengan
tuntutan
yang
bertentangan
dalam
masyarakat.
Pada
penyelesaiannya, diperlukan penetapan serangkaian tata cara yang adil sehingga hasilnya juga adil. John Rawls, seorang profesor di Harvard University, yang disemangati oleh sikap etis yang besar, seperti tampak dalam bukunya “A theory of Justice”, tahun 1973 (suatu teori keadilan), mengemukakan bahwa dalam masyarakat ideal, institusi-institusi sosial tidak lagi merupakan daya upaya yang bertujuan mencari keuntungan sendiri. Hal itu berarti, orang yang hidup dalam masyarakat dapat melakukan dan menggunakan institusi-institusi sosial untuk bersatu dalam mengejar tujuan yang sama atau tujuan-tujuan yang saling melengkapi menjadi satu kesatuan. Kesatuan sosial yang dimaksud adalah mendapat aturan melalui keadilan. Keadilan merupakan suatu nilai yang mewujudkan keseimbangan antara bagianbagian dalam kesatuan dan antara tujuan pribadi dengan tujuan bersama. Keadilan dapat menjamin stabilitas hidup. Nilai ini tidak mengenal kompromi karena dalam masyarakat yang adil, timbulnya ketidakadilan tidak akan pernah diizinkan,
mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama. Keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu. Artinya, ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan, asalkan kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang. Mengacu pada prinsip umum keadilan, selanjutnya Rawls merumuskan dua prinsip keadilan dalam arti fairness, yaitu: (1) Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang; (2) Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memberi keuntungan bagi setiap orang, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Keadilan dalam arti fairness tersebut hanya dapat diterapkan dalam masyarakat ideal, yaitu masyarakat demokratis. Dengan demikian, berarti masyarakat harus tunduk pada peraturanperaturan hukum yang dibuat, diterima dan diakui keberlakuannya oleh masyarakat itu sendiri.
37
kecuali untuk menghindarkan suatu ketidakadilan yang lebih besar. Hubungan antara fair procedures dan substantive justice digambarkan oleh John Rawls dalam frase “justice as fairness”. Apabila prosedur untuk menerapkan keadilan adalah “fair”, hasilnya adalah adil. Berdasarkan Distributive Justice Theory, dapat dipahami bahwa fairness is considered the essence of justice.81 John Rawls menyatakan bahwa dalam keadilan terdapat dua asas, yaitu setiap orang hendaknya memiliki suatu hak yang sama atas sistem menyeluruh mengenai kebebasan-kebebasan dasar, serta perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa. Hal itu diharapkan dapat memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang berkedudukan pada posisi yang paling tidak menguntungkan dan bertalian dengan jabatan, seperti kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak. Perkembangan teori keadilan yang tergolong modern adalah aliran utilitarianisme yang mendasarkan pada asas kemanfaatan. Tokoh terkenal pada zaman ini adalah Jeremy Bentham, yang memandang keadilan atas dua hal, yaitu kesenangan dan kesakitan. Apa yang benar adalah yang baik dan hal yang baik merupakan kesenangan. Di sisi lain, kesakitan adalah hal yang buruk serta tindakan yang wajib dipilih seseorang dengan tujuan memberikan kesenangan terbesar bagi banyak orang (the greates good of the greates number). Jeremy Bentham, penganut aliran utilitarianisme, memberikan pengertian hukum secara lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup peraturan-peraturan tertentu tetapi juga seluruh bentuk peraturan termasuk bidang administrasi. Pemikirannya 81
Henry R. Cheeseman, 2000, Contemporary Business Law, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey, USA,Hlm. 39
38
yang cukup besar pada bidang hukum adalah analisis tentang struktur konsepsi dan fungsi sistem hukum termasuk istilah-istilah hukum, seperti kekuasaan, hak, dan kewajiban kebebasan yang mempunyai makna dalam kehidupan praktis.82 Hukum yang adil menurut mashab utilitarianisme adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi masyarakat. Kemanfaatan dalam hukum sangat berguna, khususnya hukum yang bersifat mengatur.83 Hukum adalah untuk manusia sehingga pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hal itu jangan sampai menimbulkan keresahan yang justru disebabkan oleh hukum yang dilaksanakan atau ditegakkan.84 Menurut Bentham, kemanfaatan dapat diartikan dengan kebahagiaan (happiness). Ajaran teori utility dari Jeremy Bentham disebut dengan utilitarianisme. Ide dasar utilitarianisme sangat sederhana, yaitu yang benar untuk dilakukan adalah yang menghasilkan kebaikan terbesar. Definisi singkat mengenai
prinsip
utilitarian
dikemukakan
John
Stuart
Mill
sebagai
“kemanfaatan” atau “prinsip kebahagiaan terbesar”, menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan dan salah jika cenderung menyebabkan berkurangnya kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagian yang mengandung kesenangan dan tidak adanya rasa sakit.85
82
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Op. cit, hlm.58. Fence M. Wantu, 2011, Peranan Hakim Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan di Peradilan Perdata, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 99. 84 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 160. 85 John Stuart Mill, 1957, dalam Karen Lebacqz, 2011, Teori-Teori Keadilan Six Theories of Justice, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, Nusa Media, Bandung, hlm. 14. 83
39
Menurut teori utility, hukum bertujuan untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebagian besar orang (the greatest happiness for the greatest numbers).86 Hukum semata-mata menghendaki hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna. Hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah manusia yang terbesar (utilitarianisme).87 Rumusan yang sama juga diberikan oleh E. Utrecht, yang menyatakan bahwa menurut Bentham hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang dan hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya.88 John Austin, salah seorang pendiri aliran analitis tetapi ajarannya lebih dikenal dengan sebutan ajaran imperatif, menekankan hukum dari aspek perintah dan kedaulatan negara. Konsepsi Austin yaitu, hukum merupakan perintah penguasa. Tujuan konsepsi itu adalah membedakan hukum di satu pihak dengan ketentuan sosial lainnya secara tajam, seperti kebiasaan dan moralitas. Konsekuensi dari konsepsi itu adalah setiap bangsa memiliki sistem hukumnya sendiri dan berbeda antara bangsa yang satu dengan lainnya. Di samping itu, Austin menyebutkan adanya perbedaan antara hukum buatan manusia untuk manusia (hukum positif) dengan hukum buatan Tuhan untuk manusia. Hukum buatan manusia dibedakan lagi antara hukum yang dengan tepat disebut hukum atau hukum positif, yaitu ketentuan umum perilaku yang ditetapkan oleh penguasa
86
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, Hlm. 119. L. J. van Apeldoorn, 1990, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht), terjemahan Oetarid Sadino, Cet. Keduapuluhempat, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 16. 88 E. Utrecht, 1964, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan VIII, PT. Penerbitan Dan Balai Buku „Ichtiar‟, Djakarta, Hlm. 27. 87
40
untuk warga masyarakat dan hukum yang tidak dengan tepat disebut sebagai hukum, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan tertentu di masyarakat, misalnya perkumpulan sepak bola. 89 Selanjutnya menurut pandangan Hans Kelsen, seorang penganut aliran positivisme hukum, menyebutkan bahwa hukum seharusnya dipisahkan dari tinjauan yang bersifat metafisika dan spekulasi dalam mencari pengertian keadilan dalam masyarakat. Menurut pandangan Kelsen, keadilan adalah sesuatu yang bersifat irasional yang berarti tidak jelas batasannya sehingga tidak bisa menjadi konsep yang memuaskan bagi ilmu hukum murni. Di sinilah letak perbedaan pandangan Kelsen dengan Austin dalam mengartikan hukum sebagai perintah penguasa. Hal itu dikarenakan, apabila hukum diterjemahkan sebagai perintah penguasa, berarti terdapat unsur subjektivitas dari penguasa dan juga pertimbangan politik yang dapat mengakibatkan hukum dan ilmu hukum tidak objektif. Kelsen menginginkan ilmu hukum tersebut mandiri, yaitu terbebas dari campur tangan ilmu-ilmu lainnya dan hukum harus dipelajari terlepas dari kondisi sosial. Pemikiran Kelsen yang lebih dikenal dengan ajaran murni tentang hukum atau teori hukum murni (Reine Rechtslehre atau Pure Theory of Law), menghendaki hukum tidak boleh dicampuri oleh hal-hal yang berada di luar hukum, seperti politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan, ataupun keadilan. Menyangkut pengertian hukum, Kelsen menyatakan bahwa:90
89
Ibid, Hlm. 59 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, Hlm. 4. Lihat juga terjemahannya dalam: Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Cetakan I, Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung, Hlm. 3. 90
41
“Law is an order of human behavior. An “order” is a system of rules. Law is not, as it is sometimes said, a rule. It is a set of rules having the kind of unity we understand by a system. It is impossible to grasp the nature of law if we limit our attention to single isolated rule. The relations which link together the particular rules of a legal order are also essential to the nature of law. Only on the basis of clear comprehension of those relations constituting the legal order can the nature of law be fully understood” Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. “Tatanan” adalah suatu sistem aturan. Hukum bukanlah “seperti yang terkadang dikatakan”, melainkan sebuah peraturan. Hukum adalah seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan yang kita pahami melalui sebuah sistem. Apabila kita membatasi perhatian pada suatu peraturan yang tersendiri, mustahil untuk menangkap hakikat hukum. Hubungan-hubungan yang mempertautkan peraturanperaturan khusus dari suatu tatanan hukum juga penting bagi hakikat hukum. Hakikat hukum hanya dapat dipahami dengan sempurna berdasarkan pemahaman yang jelas tentang hubungan yang membentuk tatanan hukum tersebut. Berdasarkan pandangan tokoh aliran filsafat sejarah, Friedrich Carl Von Savigny, hukum berada dalam hubungan langsung dengan masyarakat. Hukum bukan sesuatu yang dibuat tetapi hidup dan tumbuh di dalam penghidupan masyarakat. Penghidupan masyarakat merupakan suatu proses pertumbuhan menurut sejarah. Oleh karena itu, sumber pertumbuhan hukum bukanlah perintah penguasa sebagaimana disebutkan Austin. Pertumbuhan hukum merupakan kesadaran mengenai hak atau kebenaran yang dimiliki oleh masing-masing bangsa. Savigny juga menegaskan bahwa hukum harus dibedakan dengan kebiasaan dalam masyarakat yang hanya merupakan pertanda saja dari hukum.
42
Konsekuensi logis dari pendapat Savigny adalah suatu peraturan baru akan berhasil jika harmonis dengan keyakinan masyarakat di tempat hukum tersebut berlaku. Apabila hal ini dikaitkan dengan ajaran yang disampaikan oleh Kelsen, teori hukum murni tidak memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hukum. Teori hukum hanya melihat rangkaian hierarki peraturan perundang-undangan tanpa melihat kekuatan-kekuatan lain di luar hukum yang secara langsung atau tidak langsung memberikan sumbangan terhadap terbentuknya hukum. Gambaran mengenai ajaran Kelsen itu dapat dilihat pada stufen theory yang dikemukakan oleh muridnya yang bernama Adolf Merkl.91 Pandangan yang dapat dikatakan dibangun atas ajaran Savigny adalah pendapat Eugen Ehrlich yang menyebutkan bahwa hukum tergantung pada apa yang secara populer telah diterima masyarakat, di mana setiap kelompok masyarakat membangun hukumnya sendiri (living law) yang mempunyai kekuatan kreatif. Dengan demikian, kebiasaan (custom) pada masa lalu merupakan ketentuan untuk masa yang akan datang. Dengan kata lain, kebiasaan adalah cikal bakal hukum yang akan berlaku. Menurut pandangan Ehrlich, hukum tidak akan efektif jika tidak bersandar pada hukum yang hidup di dalam masyarakat. Secara singkat, Ehrlich membedakan hukum positif yang umumnya merupakan hukum dalam arti seharusnya dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law).92 Roscoe Pound, seorang tokoh aliran teleologis, mengatakan bahwa hukum merupakan alat untuk merubah masyarakat atau law is a tool of social 91
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Op. cit, Hlm.63. Ibid, Hlm. 65-66.
92
43
engineering. Menurutnya, hukum merupakan sesuatu yang tidak saja didasarkan atas pengalaman tetapi juga dikembangkan dan diatur oleh akal yang selanjutnya diumumkan dan diberi bentuk oleh negara dengan segala konsekuensinya. Pada pelaksanaannya,
hukum
dapat
dipaksakan
dan
terhadap
mereka
yang
melanggarnya dapat dijatuhkan tindakan hukuman maupun pidana.93 Pandangan para pakar di atas menunjukkan bahwa di samping hukum yang berasal dari negara, masih ada hukum yang berlaku pada organisasi sosial. Akan tetapi, hukum dari negara lebih tinggi tingkatannya dan dapat memberi sanksi pelanggaran terhadap organisasi sosial tersebut. Terkait hubungan hukum dengan masyarakat, hukum memang dapat ditemukan dalam setiap masyarakat atau istilahnya cicero,94 ubi societas ibi ius, yang berarti bahwa di mana ada masyarakat, di sana pasti ada hukum. Menurut The Liang Gie, konsep keadilan dewasa ini adalah keadilan sebagai suatu nilai (value). Nilai dari sisi keadilan menurut Richard Bender adalah sebagai berikut: A value is an experience which provides a recognized integrated, coherent need sanstifantion, or which contributes to such satisfaction. Worhtwhile living, then, is the achievement of an increasing amount of value experience. (suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, tersatupadukan, atau yang menyumbang pada pemuasan hal demikian itu. Dengan demikian, kehidupan yang bermanfaat adalah pencapaian sebuah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah).95
93
Ibid, hlm. 68-69. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 21. 95 Karen Lebacqz, Op.cit, Hlm.14. 94
44
Nilai dari pandangan filsuf Richard Bender merupakan kenyataan objektif dari hal-hal di luar manusia maupun kesadaran subjektif berupa sikap dalam diri manusia. Suatu nilai akan terbentuk apabila terdapat hubungan timbal balik antara kenyataan objektif dengan kesadaran subjektif yang berupa sikap dalam diri manusia. Suatu nilai dapat juga terjelma jika terdapat sikap manusia yang menanggapi sesuatu hal dan secara bersamaan terdapat hal tertentu yang dapat menjawab kebutuhan atau hasrat manusia itu. Sebaliknya, nilai tertentu juga dapat tercipta jika sewaktu-waktu ada hal tertentu yang merangsang suatu kebutuhan atau hasrat manusia dan serta merta ada sikap yang tergugah untuk menanggapi hal tersebut. Di bidang filsafat, pada umumnya nilai dibedakan menjadi dua jenis, yaitu nilai instrumental dan nilai intrinsik. Nilai instrumental adalah nilai yang terdapat pada benda, sedangkan nilai intrinsik adalah nilai yang bertalian dengan pengalaman yang bersifat baik atau bernilai dalam hal itu sendiri atau sebagai tujuan demi pengalaman itu sendiri. Jadi, nilai dalam filsafat membahas tentang ragam intrinsik. Berdasarkan uraian di atas, keadilan dapat dipandang dari nilai. Keadilan tergolong sebagai nilai sosial yang pada satu segi menyangkut aneka perserikatan manusia dalam suatu kelompok apapun (keluarga, perhimpunan, bangsa, atau persekutuan internasional). Keadilan dalam hukum merupakan sesuatu yang didambakan dalam negara hukum. Keadilan menjadi sangat mahal manakala berkaitan dengan hak dan kewajiban dalam hubungan bernegara. Pemerintah dalam arti luas akan melaksanakan kebijakan negara, mulai dari membuat
45
peraturan perundang-undangan, melaksanakan, hingga mengawasi dari produk hukum tersebut. Istilah keadilan dalam kehidupan bernegara dinyatakan dalam dasar Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila sila kedua, yang menyatakan bahwa “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan pada sila ke lima, yang menyatakan bahwa “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kata adil dan keadilan sekilas mangandung makna sama, yakni setiap warga negara diberlakukan secara adil dan saling menghargai antarmanusia. Makna keadilan secara khusus dan rinci tidak didapatkan dengan jelas tetapi hanya berupa pernyataan-pernyataan yang bersifat umum saja. Persoalan tentang keadilan, baik dari sifat dasar maupun penjelasannya, menyatakan bahwa mengapa sesuatu yang dikatakan tidak adil menjadi pembahasan dari zaman filsuf dahulu hingga sekarang. Teori Keadilan berkembang dari zaman teori klasik, teori keadilan abad pertengahan, dan teori zaman modern. Pelopor teori klasik yang terkenal adalah Plato yang juga terkenal dengan tulisannya “Republic”, yang memandang bahwa keadilan adalah sesuatu yang terlepas dari hukum. Menurut Plato, suatu negara harus diperintah oleh orang yang arif dan bukan hukum. Pendapat Plato adalah hukum tidak memahami secara sempurna apa yang paling adil untuk semua orang dan tidak dapat melaksanakan apa yang terbaik (the law doesn’t perpectly comprehend what is noblest and most just for all and thereforce what is best). Di sisi lain, penguasa yang arif hendaknya berjiwa filsuf yang memandang sangat perhatian dengan keadilan dan bagaimana keadilan harus ada dalam suatu negara. Plato
46
mendefinisikan keadilan sebagai the supreme virtue of the good state (kebajikan tertinggi dari negara yang baik). Orang yang adil adalah orang yang mengendalikan perasaaan hatinya dengan akal (the self disciplined man whose passions are controlled bay reason). Keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Pada masyarakat yang adil, tercipta setiap manusia yang menjalankan pekerjaan yang menurutnya paling cocok. Hal itu sesuai dengan konsep keadilan moral yang mendasarkan pada keharmonisan. Keadilan ini dapat tercipta jika penguasa dapat membagikan fungsi masing-masing orang berdasarkan asas keserasian, tanpa adanya campur tangan satu dengan yang lainnya sehingga mencegah pertentangan dan menciptakan keserasian.
Intisari
keadilan
adalah
tidak
adanya
pertentangan
dan
terselenggaranya keserasian. Berdasarkan uraian perkembangan teori keadilan, baik teori klasik hingga modern dapat disimpulkan bahwa teori keadilan pada prinsipnya berbicara mengenai hak dan kewajiban manusia sesuai dengan pemahaman filsafat atau aliran tertentu, yaitu realisme, idealisme, utilitarianisme, liberalisme, atau perspektif lainnya. 2. Teori Hukum Responsif Hukum modern pada dasarnya adalah suatu peralihan dari hukum tradisional dengan tujuan untuk mencari tatanan yang lebih baik. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya “Law and Society in Transtition: Toward Responsif Law”, hukum berkaitan erat dengan kekuasaan
47
karena tata hukum senantiasa terikat pada status quo. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada satu tatanan tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaan. Hal yang demikian menyebabkan pihak yang berkuasa dengan baju otoritasnya mempunyai kewenangan yang sah dalam menuntut warga negara agar mematuhi kekuasaan yang bertahta. Penggunaan kekuasaan itu bisa melahirkan karakter hukum yang represif, otonom, maupun responsif. Hal itu tergantung pada tahap pembentukan tata politik masyarakat yang bersangkutan. Terdapat tiga tipe tatanan hukum yang menunjukan perkembangan hukum dalam masyarakat yang memiliki organisasi politik dalam bentuk negara, yaitu: a. Tatanan Hukum yang Represif Tatanan hukum tipe ini bertugas menyelesaikan masalah yang sangat mendasar dalam mendirikan tatanan politik dan menjadi prasyarat bagi sistem hukum serta sistem politik untuk mencapai sasaran yang lebih maju. Menurut Nonet dan Selznick, masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas melalui hukum, berhubungan erat dengan masalah kemiskinan sumber daya pada elite pemerintah. Penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas, terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan tatanan politik tertentu. Hukum represif menunjukkan karakter-karakter sebagai berikut: 1) Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik. Hukum diidentifikasikan dengan negara. 2) Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam administrasi hukum.
48
3) Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi menjadi pusat kekuasaan yang independen. 4) Sebuah rezim dual law (hukum berganda) yang melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan mengonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial. 5) Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan dan menunjukkan moralisme hukum yang akan datang.96 b. Tatanan Hukum yang Otonom Tatanan hukum pada tipe ini menunjukkan suatu proses menuju ke arah yang lebih baik dari tatanan hukum yang represif. Pada hukum otonom, orientasi ditujukan pada pengawasan kekuasaan represif. Hukum otonom menunjukkan karakter-karakter sebagai berikut: 1) Hukum terpisah dari politik. Sistem hukum menyatakan kemandirian kekuasaan peradilan dan membuat garis tegas antara fungsi legislatif dan politik. 2) Tertib hukum mengandung konsep peraturan. 3) Prosedur adalah jantung hukum. Keteraturan dan ketertiban merupakan tujuan utama dan kompetensi utama dari tertib hukum sehingga mengabaikan keadilan substantif. 4) Ketaatan pada hukum dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan hukum positif.
96
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, Penerbit Grasindo, Jakarta, Hlm. 160
49
Masyarakat yang baru dilahirkan harus menunjukkan dan membuktikan bahwa ia bisa mengatasi keadaan, menguasai anggota-anggotanya, atau menciptakan ketertiban. Tujuan utama yang harus dicapai oleh suatu mayarakat sebagai komitmen politik adalah ketertiban. Negara baru
yang lebih
mengutamakan tujuan, tentu lebih mengutamakan isi dan substansi di atas prosedur atau cara-cara untuk mencapai substansi tersebut. Hal itu berarti, prosedur atau cara-cara (hukum) dapat didorong ke belakang apabila substansi (tujuan) bisa dicapai. Keadaan tersebut akan berubah apabila tujuan-tujuan fundamental sedikit demi sedikit telah tercapai. Pada akhirnya, hukum akan terpisah dari politik dan menjadi subsistem yang lebih otonom. Ciri yang menonjol dari hukum otonom adalah terikatnya masyarakat secara kuat pada prosedur. Elite penguasa tidak lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komitmen masyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan tata cara yang diatur. c. Tatanan Hukum Responsif Strategi pembangunan hukum responsif meletakkan peranan yang besar pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Tatanan hukum responsif menghasilkan hukum yang berifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakatnya. Menurut Mahfud MD, karakter produk hukum responsif dilahirkan oleh konfigurasi politik yang demokratis dengan ciri-
50
ciri yaitu, proses pembuatannya partisipatif, muatannya aspiratif, dan rincian isinya limitatif.97 Hukum responsif mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) Dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan dalam pertimbangan hukum. 2) Tujuan
membuat
kewajiban
hukum
semakin
problematik
sehingga
mengendurkan klaim hukum terhadap kebutuhan dan membuka kemungkinan bagi suatu konsepsi tatanan publik yang semakin tidak kaku dan semakin bersifat perdata. 3) Karena hukum memiliki keterbukaan dan fleksibilitas, advokasi hukum memasuki dimensi politik yang meningkatkan kekuatan dapat membantu mengoreksi dan mengubah institusi hukum tetapi dapat juga mengancam dan memperlemah integrasi institusional. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, produk hukum responsif merupakan akibat dari konfigurasi politik yang demokratis. Robert A. Dahl mengetengahkan bahwa dalam sistem demokrasi, paling tidak ditunjukkan oleh lima prinsip, yaitu sebagai berikut:98 1) Adanya prinsip hak yang tidak dibedakan antara rakyat yang satu dengan yang lain.
97
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, Hlm. 7 98 Muladi, 2004, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Model, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Penerbit Refika Aditama, Bandung, Hlm. 76.
51
2) Adanya partisipasi efektif yang menunjukan proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusankeputusan yang diambil. 3) Adanya pengertian yang menunjukkan bahwa rakyat mengerti dan memahami keputusan-keputusan yang diambil negara, tidak terkecuali birokrasi. 4) Adanya kontrol akhir yang diagendakan oleh rakyat menunjukkan bahwa rakyat mempunyai kesempatan istimewa untuk membuat keputusan dan dilakukan melalui proses politik yang dapat diterima dan memuaskan berbagai pihak. 5) Adanya inclusiveness, yakni suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat. Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan maupun kebijakan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan, masyarakat merupakan objek sekaligus subjek yang akan menentukan keberhasilan kebijakan tersebut. Penelitian ini dikaji berdasarkan tipologi hukum responsive, sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan Selznick. Maksudnya, penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan Register 45 Mesuji harus merespon atau menanggapi kepentingan-kepentingan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, konsep dalam berhukum seharusnya sejalan dengan perkembangan masyarakat. Apabila menyoroti konsepsi Nonet dan Selznick,
52
“perkembangan hukum harus sejalan dengan perkembangan negara”.99 Selain itu, tipologi hukum responsif merupakan jawaban atas kritik bahwa hukum seringkali lepas dari realitas sosial dan cita-cita keadilan.100 Jadi, hukum yang responsif sesungguhnya dimaksudkan untuk mengatasi kekakuan dan tidak sensitifnya hukum terhadap perkembangan sosial. Kewenangan pembuatan hukum harus diserahkan kepada unit-unit kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan masyarakat.101 Searah dengan hal itu, dapat dikemukakan bahwa: Pound’s theory of social interests was a more explicit effort to develop a konsep of responsive law. In this perspective good law should offer something more than procedural justice. It should be competent as well as fair; it should help define the public interest and be committed to the achievement of substantive justice”. 102 Teori Pound tentang kepentingan-kepentingan sosial adalah suatu usaha yang lebih tegas mengembangkan suatu pola tentang hukum responsif. Menurut pandangan ini, hukum yang baik seharusnya mempersembahkan sesuatu yang lebih daripada keadilan prosedural. Hukum yang baik seharusnya mempunyai wewenang yang baik maupun adil. Selain itu, juga harus membantu menentukan kepentingan publik dan dilakukan untuk mencapai keadilan substantif. Berdasarkan tipologi hukum responsif, penyelesaian konflik tenurial hutan seharusnya sesuai dengan kepentingan masyarakat dan rasa keadilan masyarakat. Philipe Nonet dan Philip Selznick merumuskan suatu konsep hukum yang dapat memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap 99
Sabian Utsman, 2008, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 29-30. 100 A. Mukthie Fadjar, 2008, Teori-teori Hukum Kontemporer, In-Trans Publishing, Malang , Hlm. 55. 101 Sabian Utsman, Menuju Penegakan …, loc. cit. 102 Philippe Nonet and Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper and Row, New York, Hlm. 73-74.
53
kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendesak dan masalah-masalah keadilan sosial dengan tetap mempertahankan hasil-hasil pelembagaan yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasarkan hukum (Rule of law). 103 Philipe Nonet dan Philip Selznick tidak bermaksud bahwa: “Penggunaan hukum merupakan alat untuk mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan secara sewenang-wenang tetapi hukum yang mengarahkan pada perwujudan nilai-nilai yang pada dasarnya terkandung dalam cita-cita dan kehendak yuridis dari seluruh masyarakat. Nilai-nilai ini tidak dapat begitu saja dianggap sebagai data politik yang dapat dibaca pada penjelasan kebijakan pemerintah. Akan tetapi, nilai-nilai ini harus tercermin secara jelas di dalam praktik penggunaan dan pelaksanaan hukum sehingga dalam penghayatannya, nilai-nilai ini mampu untuk memberikan arah pada kehidupan politik dan kehidupan hukum secara umum pada masyarakat”.104
Dengan demikian, sifat responsif dapat diartikan sebagai
melayani
kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami serta penemuannya bukan oleh pejabat, melainkan oleh rakyat.105 3. Teori Hukum Progresif Dogmatisme dan positivisme yang menawarkan kebenaran hukum secara mutlak, pada kenyataannya tidak mampu membuat sistem hukum menjadi manusiawi. Hukum yang pada mulanya milik manusia, pada akhirnya menjadi asing bagi pemiliknya karena perlakuan yang tidak terkontrol. Hukum tidak lagi memihak kepada fakta tetapi lebih memihak kepada tulisan dan naskah. Apabila kondisi ini terus berlangsung, hukum pada akhirnya akan mengalami kebuntuan.
103
A. Mukthie Fadjar, Teori-teori …Loc. cit. Prasetijo Rijadi, 2005, Pembangunan Hukum Penataan Ruang Dalam Konteks Kota Berkelanjutan, Airlangga University Press, Surabaya, Hlm. 68. 105 A. Mukthie Fadjar, Teori-teori …, Op. cit.,Hlm. 61. 104
54
Hukum akan menjadi diam seperti layaknya robot yang dikelola oleh kepentingan di luar dirinya. Di sinilah arti penting hukum harus dibebaskan dari elemen-elemen di luar dirinya yang telah menutupnya untuk memfungsikannya sebagai kontrol realitas. Hukum adalah masyarakat sehingga harus dikembalikan kepada habitatnya agar dapat bekerja untuk kepentingan masyarakat. Hukum juga diharapkan mampu mengintervensi ketidakadilan agar membersihkan keadilan itu dari cara pandang yang tidak holistik. Kondisi masyarakat dengan cara pandang yang jernih dan holistik akan mampu menangkap suatu aturan hukum bahwa ternyata sarat dengan berbagai kepentingan-kepentingan dalam produk dan penegakan peraturan perundangundangan. Oleh karena itu, situasi “the disorder of law” akan muncul di manamana dengan berbagai reaksi seperti pertentangan, pengabaian peraturan, dan bahkan pelanggaran-pelanggaran yang mengarah pada konflik. Produk-produk hukum negara, baik yang terbentuk melalui proses legislasi maupun yang lahir karena perjanjian internasional, seringkali sangat positivis dan tidak sesuai dengan kehidupan sosial masyarakat setempat. Kondisi seperti itu menyebabkan, hukum menjadi asing di tengah-tengah masyarakatnya, hukum tidak bersentuhan dengan realita sosial masyarakatnya, dan akhirnya keberadaan hukum itu pun cenderung terabaikan karena hakikat keberadaannya tidak menyentuh rasa keadilan masyarakatnya.
55
Charles Sampford dalam bukunya “The Disorder of Law; A Critique of legal Theory”,106 mencoba menyusun teori hukum yang sering disebut sebagai teori chaos. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kekhasan dari teori chaos memperlihatkan penolakan-penolakan terhadap ide keteraturan yang melekat pada hukum, yang pada umumnya dikembangkan oleh para penganut aliran positivistik.107 Sampford dengan teori chaos-nya, teori kekacauan, atau teori kompleksitas (Complexity Theory), sangat jelas memperlihatkan penolakan terhadap teori sistem hukum yang menganggap masyarakat selalu dalam keadaan tertib dan teratur. Menurut Sampford, basis sosial dari hukum penuh dengan hubungan asimetris, yaitu sesuatu yang tampak di permukaan sebagai tertib dan teratur serta jelas, pada kenyataannya penuh dengan ketidakpastian.108 Situasi disorder atau situasi ketidakpastian yang tercipta dari konstruksi hukum yang sangat berbeda (distinct), seringkali dalam penegakan hukumnya memunculkan kondisi kesemrawutan atau konflik. Pandangan Satjipto Rahardjo dipahami bahwa ketika masyarakat dihadapkan pada situasi chaos, anarki, atau konflik yang berkepanjangan, cara pemecahannya pun tidak bisa menggunakan cara yang biasa-biasa saja, melainkan harus dengan cara berhukum yang extra ordinary. Pada konteks ini, kiranya pendekatan hukum progresif dapat menjadi solusinya. Hukum bukanlah sesuatu yang terbatas (finite), “harga mati” atau sesuatu yang steril dan isolated. Hukum diperuntukkan bagi manusia, bukan manusia diperuntukkan bagi hukum. Perubahan pada manusia serta hukum yang 106
Charles Sampford, 1989, The disorder of Law, Critique of Legal theory, Basil Blackwell, Oxford, Hlm. 150-264 107 Anthon F. Susanto, 2008, Menggugat Pondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia, Dalam Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, Refika Aditama, Bandung, Hlm. 18. 108 Ibid.
56
tidak sesuai dengan pemahaman sosial manusia dan masyarakatnya menyebabkan hukum itu harus mengalami progress sesuai dengan perubahan dan perkembangan sosial tersebut. Selain memahami hal di atas, para pegiat hukum harus mengerti dan memahami bahwa dalam mengkaji hukum, tidak hanya membaca teks-teks undang-undang apa adanya (textual reading) tetapi juga menjangkau sampai the moral reading of the law.109 Berdasarkan pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick, pada tahun 70an muncul persoalan-persoalan sosial di Amerika, seperti kejahatan, kemerosotan lingkungan, protes massa, hak-hak sipil, kemiskinan, kerusuhan di kota-kota, dan abuse of power pada tahun 1960-an. Masyarakat merasakan kegagalan hukum dalam menangani berbagai masalah sosial tersebut. Kondisi hukum di Amerika tersebut memunculkan suatu kritik oleh para pakar hukum di Amerika melalui “Critical Legal Studies Movement”. Tulisan Philippe Nonet dan Philip Selznich yang bertitik tolak dari teori sosial tentang hukum, membedakan 3 (tiga) tipe hukum, yaitu hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Sebagaimana evolusi yang terus berkembang dari sisi keilmuan, pemikiran mengenai pengukuhan keberadaan ilmu hukum untuk menjadi ilmu yang sebenarnya juga terus berkembang. Hukum progresif lahir sebagai akibat ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia selama ini tidak memuaskan. Gagasan Hukum Progresif muncul atas keprihatinan terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia, terutama sejak terjadinya reformasi pada
109
Ibid
57
pertengahan tahun 1997. Fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal. Akan tetapi, yang dialami dan terjadi di Indonesia sekarang ini justru sangat bertolak belakang dengan citacita ideal tersebut.110 Sebagai solusi atas kegagalan penerapan analytical jurisprudence, hukum progresif memiliki asumsi dasar mengenai hubungan antara hukum dengan manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat dasar hukum, yaitu untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif. Akan tetapi, hukum hadir untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status “law in the making” (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).111 Gagasan tersebut jelas berbeda dengan aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika. Berdasarkan ilmu hukum positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Hal itu mendapat kritik dari hukum progresif dengan alasan bahwa melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal, jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak 110
Satjipto Rahardjo,2005. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Vol. 1/No. 1/April 2005, Hlm. 3-5. 111
Ibid
58
bisa menjelaskan kebenaran secara kompleks dari realitas-empirik, jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenar-benarnya ilmu (genuine science).112 Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan yang erat dengan manusia dan masyarakat. Hukum Progresif dapat dikaitkan dengan developmetal konsep, hukum dari Nonet dan Selznick. Hukum progresif juga berbagi paham dengan legal realism dan freirechtslehre. Hukum progresif memiliki tipe responsif. Pada tipe tersebut, hukum selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Sebagaimana disebutkan oleh Mulyana dan Paul S.Baut, hukum responsif mencoba mengatasi kepicikan (prokialisme) dalam moralitas masyarakat serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada masalah yang secara sosial terintegrasi. Hukum progresif melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan melihatnya dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Kehadiran hukum yang dikaitkan dengan tujuan sosialnya, membuat hukum progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi mengenai peraturanperaturan. Dengan demikian dalam berolah ilmu, hukum progresif melampaui peraturan dan dokumen hukum yang positivistik.113 Harapan ilmu hukum agar dapat tampil sebagai ilmu yang benar, menyebabkan pemahaman, penggarapan, dan penyelenggaraan hukum dilakukan 112
Sudjito, 2005, Ringkasan Disertasi, Hukum Pengelolaan Irigasi: Suatu Percobaan untuk Melakukan Pengaturan Secara Holistik. Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, Hlm. 10. 113
Ibid
59
secara holistik. Untuk mencapai tujuan itu, hukum harus diterima sebagai realitas yang utuh tanpa ada reduksi. Oleh karena itu, cara pandang, pemikiran, ataupun pendekatan yang bersifat linier-mekanistik-rasional perlu direkonstruksi secara menyeluruh, bukan saja pada tataran normative, melainkan juga pada tataran paradigmatis. Paradigma baru yang dibutuhkan adalah paradigma holistik.114 Pada perspektif paradigma holistik, tujuan saintifik (termasuk ilmu hukum) adalah pengungkapan kesatuan yang mendasari semua alam ciptaan-Nya. Beragam disiplin ilmu dipahami, digarap, dan diselenggarakan secara holistik untuk memberikan gambaran alam serta kehidupan yang utuh. Ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu yang benar, apabila segenap aktivitas keilmuannya dapat mendekatkan orientasi manusia kepada Tuhan, berporos pada Tuhan, dan dimaksudkan untuk menuju pada keridhaan Allah SWT, baik secara teoretis maupun praktis. Rumusan-rumusan paradigma holistik dipandang sebagai escape into total order. Paradigma holistik merupakan upaya untuk mengetahui alam dengan norma-norma sains-sakral, yaitu sains yang terbingkai dalam pandangan dunia yang teistik. Paradigma holistik merupakan upaya untuk menuju dan memperoleh kebenaran absolut yang memberikan pencerahan rohani, berakar pada kalbu dan akal, berpegang pada pandangan kesatuan alam, serta berperhatian luas pada perikemanusiaan. Paradigma inilah yang dapat menjadikan ilmu hukum sebagai ilmu yang bermanfaat. Ilmu hukum yang demikian itulah yang membantu manusia hidup serasi dengan dirinya, alam, dan Tuhan.115
114 115
Ibid. 10. Ibid, Hlm. 16.
60
Mengonsepkan hukum sebagai order membawa konsekuensi bahwa teori yang dapat memberi penjelasan dengan baik terhadap realitas hukum yang kompleks adalah chaos theory of law. Ketertiban, konflik, dan kekacauan bukanlah dua hal yang dikotomi (hitam atau putih), melainkan sebagai realitas yang saling berhubungan, saling mengisi, dan berkelindan dalam suatu proses perubahan secara terus-menerus. Chaos bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan dapat diubah menjadi sebuah peluang masa depan. Syaratnya adalah kesediaan untuk melihat hukum sebagai “tumbuhan merambat” (rhizome) yang bersifat chaotic, dengan menerapkan prinsip-prinsip hubungan (connection), musyawarah dialogis, adaptasi (adaptability), dan keutuhan (wholenessity).116 Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, hukum dipahami sebagai realitas yang tak henti-hentinya menghubungkan dirinya dengan realitas lain dalam pola chaotic. Nilai-nilai keadilan hukum yang relatif dan plural dikomunikasikan terhadap pihak lain melalui musyawarah atau dialog. Penilaian etis terjalin dengan penalaran. Bernalar atau berpikir mencakup pula mawas diri dengan jujur, sampai pada andaian-andaian dasarnya (Begruendungs-verfahren). Lebih lanjut, hasil musyawarah atau dialog dirangkum (integrated) ke dalam kerangka kefilsafatan yang lebih luas. Dengan demikian, pertemuan dua sistem hukum atau lebih akan menjadikan hubungan timbal balik yang saling mengisi. Segala bentuk pemahaman, penggarapan, dan penyelenggaraan hukum dilakukan secara simultan, konsisten, dan terpadu.117
116
Ibid Ibid, Hlm. 15-16.
117
61
4. Teori Sistem Hukum Pembahasan mengenai sistem hukum diawali dengan pemahaman oleh Friedman bahwa di dalam sistem hukum tercakup tiga elemen, yaitu struktur, substansi, dan kultur hukum. Pembicaraan dalam struktur pada sistem hukum meliputi, unsur kelembagaan, pembentukan, penegakan, pelayanan, dan pengelolaan hukum. Sebagai contoh misalnya, badan pembentuk undang-undang, peradilan, kepolisian, dan administrasi negara sebagai pengelola pembentukan dan pelayanan. Pendekatan ini menyatakan bahwa hukum merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri atas tiga unsur yang saling terkait, yaitu (a) struktur (structure), (b) substansi (substance), dan (c) kultur hukum (legal culture). Pendekatan sistem bukanlah pendekatan baru dalam dunia pengetahuan. Menurut Agrippa “...the state, like a living body, is a whole, andjust as the part of the body are interrelated and require each other’s presence, sow ith the various strata of society.”118 Secara teoritis, keragaman budaya (multikultural) merupakan konfigurasi budaya (cultural configuration) yang mencerminkan jati diri bangsa dan secara empirik menjadi unsur pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, kemajemukan budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, kemajemukan budaya juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam keutuhan dan integrasi bangsa karena konflik antarbudaya dalam wujud pertikaian antaretnik, agama, ras, maupun antar golongan yang bersifat sangat sensitif dan rentan terhadap suatu 118
Lili Rasdjidi, Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional dalam Arief Sidharta, 2008, Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, Penerbit Rafikat Aditama, Hlm. 133.
62
kondisi yang menjurus ke arah situasi disintegrasi bangsa. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila konflik tersebut tidak dikelola, dimaknai, dan diselesaikan secara santun, damai, serta bijaksana, oleh pemerintah bersama seluruh komponen anak bangsa.119 Fenomena kemajemukan hukum dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan tujuan, fungsi, dan peran hukum dalam memelihara, mengukuhkan, dan mengokohkan integrasi seluruh komponen anak bangsa. Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah yang sedang berkuasa dan lembaga legislatif untuk segera melakukan reorientasi dan reformasi paradigma pembangunan hukum yang bersifat legal centralism keanutan pembangunan hukum yang berideologi legal pluralism, bertipe hukum yang responsif (rensponsive law) dan berkarakteristik hukum yang progresif (progresive law) dalam kemasan hukum nasional (national law).120 Secara lebih hakiki dan umum, fungsi gerak sistem hukum terletak pada kualitas dan profesionalisme manusia pendukungnya sehingga jalan pintas untuk mengatasi
kelemahan
masing-masing
komponen
sistem
adalah
dengan
meningkatkan kualitas sumber daya pendukungnya121. Substansi dalam sistem hukum (legal substance) memuat berbagai aturan formal, aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, dan produk-produk yang timbul akibat penerapan hukum. Budaya hukum (legal culture) berkaitan dengan sikap terhadap hukum. Sikap ini berkaitan dengan sikap budaya pada umumnya
119
I Nyoman Nurjaya, 2007, Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara Dalam Masyarakat Multikultural : Perspektif Antropologi Hukum, Hlm. 1 120 Ibid, Hlm. 28 121 Arief Sidharta, 2008, Op.cit, Hlm. 147.
63
sehingga menyangkut hal-hal seperti keyakinan (belief), nilai (valute), cita (idea), dan harapan-harapan (expectation). Dampaknya, terkait dengan akibat-akibat yang timbul dari suatu keputusan atau penerapan.122 Relevansi penelitian dengan pandangan Friedman adalah penyelesaian konflik tenurial Register 45 Mesuji Lampung yang sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian yang memberikan rasa keadilan. Oleh sebab itu, harus ditemukan cara dan titik pemersatu (konvergensi) hukum itu sendiri. Menurut teori sistem hukum mengikuti pandangan Friedman, tampak bahwa keberlakuan hukum akan baik apabila, pertama dari sisi lembaga pembentuknya apakah sudah memenuhi ketentuan yang benar. Sebuah pembentukan undang-undang tentu yang berperan banyak adalah lembaga legislatif yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Hendaknya, kedua unsur lembaga mengetahui apa yang menjadi kepentingan dan resiko sebuah undang-undang. Kedua, unsur substansi, yakni merupakan materi muatan undang-undang. Ketiga, unsur kebudayaan dalam hubungannya dengan sistem hukum adalah menentukan materi undang-undang. Dalam hal ini, sebaiknya unsur nilai dan harapan-harapan masyarakat juga tertuang dalam materi perundangan. Pemahaman mengenai sistem hukum Menurut Jan Gijssels-Mark Van Hoecke, adalah sebagai berikut: “Bahwa analisis terhadap sistem hukum dapat diawali dengan mengajukan pertanyaan “dalam derajat apa bangunan dari sistem hukum itu dideterminasi oleh suatu struktur formal dan dalam derajat apa oleh asasasas hukum substansial, apa yang dalam hal ini mewujudkan unsur-unsur yang berdasarkan struktur dari tatanan hukum itu dibangun bagaimana hubungan antara hukum yang dikonstruksi (perundang-undangan dan
122
Lawrence M. Friedman, 1997, American Law An Introduction, Revised and Updated, W.W Norton & Company, Hlm. 9-22
64
sejenisnya) atau pertanyaan dalam derajat apa common law dapat dipandang sebagai suatu sistem hukum yang distruktur.”123 Pandangan Jan Gijssels-Mark Van Hoecke terhadap tema penelitian tentang penyelesaian konflik tenurial, yaitu seharusnya sebuah undang-undang yang dibentuk harus sesuai dengan dasar pembentukannya. Mengenai sistem hukum, juga diberikan pandangan oleh Sri Soemantri yang menyatakan bahwa: “Bahwa sistem hukum itu terdiri dari kata sistem yang berarti, sekelompok bagian-bagian (alat dsb) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud, misalnya sistem urat syaraf dalam tubuh manusia, sistem pemerintahan, memahami sistem hukum yakni menganalisa hubungan antara jenis-jenis hukum formil dengan jenis-jenis hukum materil, atau hukum publik dengan perdata, sehingga pandangannya merujuk pada bagan hukum dari Crince Le Roy”.124
Lebih lanjut pemahaman sistem hukum sering dikaitkan dengan sistem politik, yaitu sistem supra struktur politik di antaranya adalah sistem pemerintahan. Pada kesempatan itu, Samuel H. Beer dalam bukunya “Patterns Of Government”, mengatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu mengenai kelakukan politik dan kelakuan politik sebaiknya dipelajari sebagai suatu sistem politik yang memiliki empat variabel, yakni sebagai berikut: 1. Budaya politik yang menyangkut nilai-nilai politik, sistem-sistem kepercayaan, dan sikap emosional. 2. Kekuasaan sebagai alat untuk mencapai sesuatu. 3. Kepentingan sebagai tujuan hendak dicapai. 4. Kebijaksanaan yang merupakan konsekuensi dan akibat daripada proses saling mempengaruhi antar kekuasaan dan kepentingan.125
123
Jan Gijssels Mark Van Hoecke, dalam terjemahan Arief Sidharta, 2000, Apakah Teori Hukum Itu ? (What is rechts teorie ?), Bandung,Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas katolik Parahyangan, Hlm. 97. 124 Sri Soemantri dalam M.Busyro Muqoddas (el), Op.,Cit., Hlm 32. 125 Sri Soemantri, 1976, Sistem-Sistem Pemerintaahan Negara-Nagara Asean, Tarsito, Bandung, Hlm. 5.
65
Pemahaman sistem hukum suatu negara dapat dipandang dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar dan peraturan-peraturan lainnya. Pada pemahaman konstitusi, Herman Heller membaginya menjadi sebagai berikut:126 1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Konstitusi dalam hal ini masih merupakan pengertian sosiologis. 2. Konstitusi dalam pemahaman abstraksi, yaitu penelitian tentang unsurunsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum untuk dijadikan kaidah hukum. 3. Konstitusi dalam bentuk tertulis, yaitu menempatkan hukum tertulis tersebut sebagai naskah tertinggi yang berlaku dalam suatu negara yang dalam hal ini disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Teori Sistem hukum sangat dibutuhkan pada pembahasan mengenai analisa dan efektivitas hukum dalam penerapannya, khususnya dalam rangka menyelesaikan konflik di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung yang memberikan rasa adil bagi semua pihak. Brian Tamanaha berpendapat bahwa identifikasi karakter sistem hukum, yaitu (1) Legal system are comprehensive in the sense that the claim authority to regulate any type of behavior. (2) Legal system claim supremacy over all other institutialized normative system in society. (3) Legal system are open system in the sense that they maintain and support other from of social grouping.127 Berdasarkan ketiga karakter sistem hukum tersebut, dapat diketahui bahwa tidak ada sistem hukum yang tidak tertanam dalam bentuk kehidupan sosial tertentu.
126
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1976, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Jakarta, Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, PT Sastra Hudaya, Jakarta, Hlm. 64. 127 Brian Z Tamanaha, 2001, A general Jurisprudence of law And Society, Oxford University Press, New York, Hlm. 139.
66
Oleh karena itu, hukum sudah selayaknya dapat mengakomodasi sesuai dengan rasa keadilan masyarakatnya.
G. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian mengenai ”Penyelesaian Konflik Tenurial Kawasan Hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam Perspektif Keadilan” ini merupakan penelitian hukum normatif empiris. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dilakukan untuk mengidentifikasi asas-asas dan nilai-nilai yang melatarbelakangi sebuah formulasi peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum nondoktrinal digunakan untuk menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, disertai dengan perubahanperubahan yang terjadi dalam proses perubahan sosial.128 Menurut Maria Sumardjono,129 sebagai suatu penelitian hukum empirik yang menggunakan data primer, cara penelitian ini dapat juga mengikuti sebagian cara penelitian ilmu sosial. Lahirnya pendekatan penelitian hukum empiris merupakan konsekuensi dari ilmu hukum yang memang bersifat terbuka sehingga interaksi antara ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya, terutama ilmu sosial merupakan keniscayaan.130 Pendekatan seperti ini lahir karena memang secara
128
Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum : Paradigma, Metode dan Masalah, Elsham dan HuMa, Jakarta, Hlm. 90. 129 Maria, S. W. Sumardjono, 1996, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Hlm. 11. 130 Sutandyo Wignjosoebroto, 2002, Op.cit, Hlm. 121.
67
teori bahwa ilmu-ilmu hukum itu bermakna jamak, terdiri atas kelompokkelompok, yaitu: a) Dalam arti sempit disebut dengan ilmu normatif (Normwissenschaft atau Sollenwissenschaft-Jerman, dan Normwetenschap-Belanda), serta b) Ilmu hukum empiris (Tatsachenwissenscahft atau Seinwissenscahft), misalnya sosiologi hukum, antropologi hukum, dan sejarah hukum. Penelitian hukum normatif-empiris ini bersifat evaluatif. Metode berpikir evaluatif dimaksudkan untuk melihat dan menemukan hukum seperti apa yang lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan kajian tentang penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. Dengan demikian, dapat ditemukan hukum yang lebih baik dan konsep penyelesaian konflik kawasan hutan yang memenuhi rasa keadilan. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Mesuji Lampung. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa konflik kawasan hutan Register 45 berada di wilayah Kabupaten Mesuji. Konflik yang terjadi di daerah tersebut sudah berkepanjangan dan belum mampu terselesaikan. 3. Jenis Data Berdasarkan sumber data, dalam penelitian hukum terdapat 2 (dua) macam data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer (data dasar) adalah data yang langsung diperoleh dari masyarakat, sedangkan data sekunder adalah data
68
yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.131 Oleh karena itu, data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. a. Data Primer Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara (interview),132 yaitu dengan panduan wawancara (interview guide) tidak terstruktur terhadap responden atau narasumber yang ditentukan dengan purposive sampling. Dalam melakukan pencarian data, khususnya bagi para perambah, pertamatama penulis diantar Wakil Bupati Mesuji untuk bertemu dengan Kepala Dinas Kehutanan Mesuji. Selanjutnya, penulis menjumpai masyarakat perambah, baik dalam acara resmi atau tidak resmi. Selebihnya, penulis melakukan komunikasi langsung dengan para perambah untuk bisa bertemu, baik secara berkelompok atau perseorangan. Dalam hal ini, penulis mengawalinya dengan meminta bantuan pimpinan para perambah mengenai kapan masyarakat perambah melakukan kumpul-kumpul. Setelah mendapat informasi tentang waktu bagi masyarakat untuk melakukan kumpul-kumpul, penulis hadir untuk mengajak ngobrol (berdiskusi) santai dengan para perambah. Jumlah yang ikut melakukan diskusi adalah 25 orang. Setidaknya, dalam hal ini penulis mengajak ngobrol ringan (berdiskusi) dengan perambah hinga 8 kali di tempat yang berbeda. Setelah melakukan obrolan ringan, penulis menentukan para perambah yang memiliki tingkat pemahaman yang lengkap atas konflik tersebut. Setelah tahapan tersebut selesai, penulis melakukan obrolan lagi 131
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm 12-13. 132 Tujuan dari wawancara adalah untuk mengetahui hal-hal yang terkandung dalam pikiran dan pandangan orang lain.Nasution S, 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito, Jakarta, hlm 73.
69
(wawancara) terhadap responden yang telah penulis tentukan. Dalam hal ini, penulis mengawalinya dengan menanyakan, kapan bisa ketemu, kapan belanja, kapan keluar area, dan kapan bisa diskusi. Oleh karena itu, di tengah kesempatan tersebut penulis melakukan wawancara secara lebih mendalam. Selanjutnya, data-data yang diperoleh dari diskusi dan atau wawancara dicatat. Begitu juga langkah pencarian data lapangan dengan narasumber. Pencarian data narasumber dari DPRD diawali dengan melihat latar belakang tentang sejauhmana
tingkat
pemahaman
anggota
DPRD
atas
konflik
dan
perkembangan Kabupaten Mesuji. Dalam hal ini, penulis melakukannya dengan meminta saran dan masukan dari anggota DPRD yang paling senior, yang ikut “membidani” kelahiran Kabupaten Mesuji. Penulis kembali lagi menemui wakil Bupati Mesuji, Bapak Ismail Ishak, untuk meminta pandangan mengenai sejauhmana pemahaman DPRD Mesuji atas konflik yang terjadi. Selanjutnya, penulis menjumpai para anggota DPRD tersebut dan meminta waktu kapan bisa bertemu untuk berdiskusi atau wawancara. Narasumber yang lain pun demikian, penulis mengawalinya dengan mengajukan surat permohonan sebagai narasumber dilampiri dengan proposal disertasi yang telah disahkan. Setelah itu, penulis meminta waktu kapan bisa ketemu dan menanyakan kapan dapat diterima untuk melakukan wawancara.
b. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer (primary legal
70
source), bahan hukum sekunder (secondary legal materials), maupun bahan hukum tersier (bahan nonhukum)133. 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: a)
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia
b) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria c)
Undang-Undang
No.
10
Tahun
1992
tentang
Perkembangan
Kependudukan dan Keluarga Sejahtera d) Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity) e)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
f)
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
g) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan h) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi i)
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
j)
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
k) Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup l)
Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
133
Ada penulis yang menyebut dengan istilah bahan nonhukum. Lihat Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 158.
71
m) Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini, meliputi: a)
Hasil-hasil penelitian,
b) Buku-buku teks, c)
Jurnal ilmiah, dan
d) Surat kabar atau pun berita internet yang berkaitan dengan tema penelitian. 3) Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yang digunakan berupa: a)
Kamus hukum “Black’s Law Dictionary”,
b) Terminologi Hukum, c)
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
d) Kamus Bahasa Inggris, e)
Ensiklopedi, dan
f)
Brosur atau leaflet yang berkaitan dengan hutan dan masyarakat adat.
4. Responden dan Narasumber a). Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat perambah yang berada di kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung yang telah bermukim sebelum tahun 2009. Dengan kata lain responden dalam penelitian ini memfokuskan pada
72
masyarakat perambah yang telah berdomisili di kawasan hutan Register 45 Mesuji sebelum terbentuknya DOB Mesuji Lampung. Pembatasan hanya sebelum tahun 2009 bertujuan untuk melihat motivasi perambah. Hal itu dikarenakan, tahun 2009 adalah tahun terbentuknya DOB Mesuji. Hal itu sekaligus untuk melihat pengaruh DOB pada terjadinya perambahan di kawasan hutan Register 45 Mesuji. Berdasarkan data diperoleh, jumlah perambah sebelum terbentuknya DOB Mesuji adalah 5.000 orang dan saat ini jumlah perambah telah mencapai 16.000 orang. Pada penelitian ini, pengambilan responden dilakukan dengan cara purposive sampling. Purposive sampling juga disebut judgmental sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan “penilaian” (judgment) peneliti mengenai siapasiapa saja yang pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan sampel. Dari segi pengertian purposive sampling dapat diartikan dengan pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Dilihat berdasarkan bahasa sederhana, purposive sampling dapat dikatakan sebagai secara sengaja mengambil sampel tertentu. Dengan menggunakan purposive sampling, diperoleh sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Pada penelitian ini, yang menjadi responden khususnya dari masyarakat perambah adalah para ketua kelompok yang menurut penulis mampu memberikan informasi yang terkait dengan data yang dibutuhkan. Dengan kata lain, responden yang dipilih harus memahami permasalahan tentang motif dan perkembangan tentang terjadinya perambahan. Responden dalam penelitian ini, khususnya dari masyarakat perambah secara keseluruhan berjumlah dua ratus (200) orang, baik yang diwawancara atau
73
yang diajak diskusi. Jumlah tersebut di bagi menjadi 2 kategori, yaitu 150 orang tidak dilakukan wawancara tetapi diajak diskusi dengan diberi pertanyaan tertulis dengan cara melingkari dan memberi catatan argumentasi bagi yang mampu menulis. Di sisi lain, terhadap 50 orang responden dilakukan wawancara. Para perambah diwawancara dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai nilai-nilai keadilan yang diharapkan oleh masyarakat yang melakukan pendudukan kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung. Hal ini dilakukan untuk menggali permasalahan mendasar mengapa masyarakat sebegitu kuat untuk tetap bertahan di kawasan hutan meskipun berbagai keputusan pengadilan telah menyatakan legalitas atas kawasan hutan. Keberanian dalam melakukan pertentangan baik dengan aparat dan tim perlindungan seolah tidak pernah berhenti. Hal ini mengisyaratkan adanya kebuntuan hukum. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah perspektif keadilan dari para pihak yang terlibat konflik di dalam kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung. b). Narasumber Pihak yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen Planologi), yang diwawancarai Bapak Gunardo Agung Prasetyo. b. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen Bina Usaha Kehutanan), yang diwawancarai Bapak Taufik Hidayat. c. Pemerintah Kabupaten Mesuji (Wakil Bupati Mesuji), yang diwawancarai Bapak Ismail Ishak.
74
d. Anggota DPRD Mesuji, yang diwawancarai Bapak Musoli, Mego, dan Mulyadi. e. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, yang diwawancarai Bapak Samsurizal, Jimi, dan Tri. f. Dinas Kehutanan Pemerintah Kabupaten Mesuji (Kepala Dinas Kehutanan Mesuji), yang diwawancarai Bapak Murni. g. Anggota Tim gabungan perlindungan kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung, Bapak Arbiyanto. h. Pengadilan Negeri Menggala (Panitera Pidana), yang diwawancarai Bapak Sungkono. i. Polres Mesuji (Kapolres Mesuji), yang diwawancarai Bapak Trisna AS. j. Ketua Adat Mesuji, yang diwawancarai Bapak Ismail Ishak. k. Walhi pusat di Jakarta, yang diwawancarai Bapak Mukri. l. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang diwawancarai Bapak Iwan Nurdin. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menggali dan memperoleh jawaban yang selengkap-lengkapnya mengenai penyelesaian konflik di kawasan hutan Register 45 Mesuji dalam perspektif keadilan. Wawancara dilakukan secara langsung dengan cara bertatap muka. 5. Pengumpulan Data Pada penelitian ini, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara. Adapun alat yang digunakan adalah pedoman wawancara dan alat perekam. Hal itu dilakukan terhadap 50 orang responden, yaitu masyarakat perambah di
75
kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung. Penelitian ini juga menggunakan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan untuk 150 orang yang diajak berdiskusi tetapi tidak dilakukan wawancara secara langsung. Data primer, baik dari responden yang diwawancara maupun yang diajak diskusi, diperlukan dalam rangka memperoleh gambaran tentang penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung dalam perspektif keadilan. Di samping melakukan pengumpulan data primer, penelitian ini juga menitikberatkan pada pengumpulan data sekunder atau data kepustakaan. Hal itu dilakukan dalam rangka memberikan pemahaman yang utuh terkait dengan penyelesaian konflik kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung. 6. Analisis Data Pada penulisan disertasi ini, penulis menggunakan 4 teori pokok, yaitu teori hukum responsif, teori hukum progresif, teori keadilan, dan teori sistem hukum. Di sisi lain, penelitian disertasi ini menetapkan 3 rumusan masalah. Oleh karena itu dalam menganalisis setiap permasalahan tersebut, teori yang ada tidak dilakukan pemisahan. Akan tetapi, teori yang ada digunakan secara bersama-sama untuk menganalisis permasalahan yang dibahas. Penelitian ini menggunakan teknik atau metode analisis data kualitatif. Analisis kualitatif yang digunakan berupa analisis kualitatif yang bersifat yuridis.134 Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif atau metode penalaran merupakan metode untuk menarik kesimpulan dari hal-hal umum ke hal-hal khusus, sedangkan
134
Maria SW. Sumardjono, 1996, Op.cit, hlm 36.
76
metode induktif adalah kebalikan dari metode deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang khusus ke hal-hal yang bersifat umum.135 Berdasarkan rumusan masalah di atas, analisis data dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Analisis data untuk menjawab rumusan masalah pertama dengan pertanyaan, mengapa timbul konflik tenurial kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung. Analisis data didasarkan pada wawancara langsung ke lapangan. Hasil wawancara yang telah dilaksanakan, dikumpulkan dan dipilah-pilah untuk menentukan persamaan dan perbedaan data yang diperoleh. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya untuk menentukan perbedaan serta persamaan hasil penelitian guna menentukan originalitas dan urgensi penelitian yang dilaksanakan. Selanjutnya, hasil penelitian tersebut disandingkan dengan teori hukum responsif, teori hukum progresif, teori keadilan, dan teori sistem hukum untuk memperkuat argumentasi guna mendapatkan jawaban dari masalah penelitian. Rumusan masalah kedua dengan pertanyaan, mengapa penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung berdasarkan peraturan perundang-undangan belum memenuhi rasa keadilan. Analisis data diawali dengan melihat pemberlakuan hukum di kawasan hutan, selanjutnya mengevaluasi berdasarkan rentetan sejarah penyelesaian konflik sebelumnya dan upaya yang dilakukan dalam mewujudkan penyelesaian konflik. Ditemukannya beberapa permasalahan pokok dalam proses penyelesaian konflik tersebut, 135
Soerjono Soekanto, 1990, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press, Jakarta, hlm. 75.
77
menyebabkan diperlukannya analisis yang lebih mendalam, yaitu substansi hukum, penegak hukum, dan kultur hukum masyarakatnya, sehingga didapatkan gambaran yang lebih luas untuk disandingkan dengan teori hukum responsif, teori hukum progresif, teori keadilan, dan teori sistem hukum dengan tujuan didapatkan alat penyatu dari persoalan-persoalan yang tercerai berai sebelumnya. Analisis data tidak selesai pada proses penyelesaian konflik saja. Akan tetapi, analisis dilakukan lebih jauh berdasarkan pada latar belakang dari substansi, struktur, serta kultur hukum yang menyebabkan penyelesaian konflik yang didasarkan peraturan perundang-undangan yang belum bisa memenuhi rasa keadilan. Berdasarkan hasil pengkajian terhadap latar belakang tersebut, diperoleh sarana untuk mengevaluasi penyelesaian konflik yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pada rumusan masalah berikutnya, dengan pertanyaan mengenai bagaimana konsep penyelesaian konflik tenurial hutan di Indonesia yang memenuhi rasa keadilan. Analisis data diawali dengan memandang bahwa untuk menjawab permasalahan, harus menggunakan ilmu-ilmu sosial lainnya. Berangkat dari cara berfikir holistik, menggunakan seperangkat asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi ilmiah yang lebih memandang aspek keseluruhan lebih utama daripada bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanistik, dan nonlinier. Analisis dilakukan dengan menghubungkan temuan-temuan dalam penelitian, baik yang menjawab permasalahan-permasalahan sebelumnya ataupun temuan-temuan baru yang diperoleh di akhir-akhir penelitian dengan terus mencari kemungkinankemungkinan data yang belum lengkap. Teori hukum responsif, teori hukum
78
progresif, teori keadilan, dan teori sistem hukum digunakan sebagai pisau analisis sehingga
ditemukan
koherensinya,
memberikan
penghubung
terhadap
permasalahan, serta solusi dan konsep untuk menjawab permasalahan. 7. Kesulitan dalam Penelitian dan Cara Mengatasinya a. Penulis tidak mendapatkan data (tidak diizinkan untuk melakukan penelitian) terutama data yang bersumber dari perusahaan pemegang konsesi. Dalam hal ini, penulis berusaha mendapatkan data-data dengan mengandalkan pada seorang teman yang kebetulan bekerja di perusahaan. Meskipun demikian, data yang diperoleh atau yang dibutuhkan tidak semua didapatkan. b. Penulis terkendala dalam memperoleh Besluit Residen Lampung Districten No. 249 Tanggal 12 April 1940 dalam bentuk tulisan. Dalam hal ini, penelusuran telah dilakukan diberbagai tempat, seperti di arsip daerah, Arsip Nasional di Jakarta (Anri), dan perpustakaan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Usaha untuk mendapatkan data tersebut dengan berbagai cara, tetapi tidak didapatkan. Sebagaimana penjelasan dari pihak perpustakaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dijelaskan bahwa data tersebut hanya ada satu-satunya. Diperkirakan data tersebut masih berada di Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, seiring dengan adanya permasalahan konflik berdarah di Kabupaten Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatra Selatan pada waktu itu dalam upaya pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus tersebut yang hingga saat ini, data tersebut
79
belum dikembalikan di Perpustakaan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Penjelasan yang disampaikan dari pihak Arsip Nasional (Anri) bahwa keputusan tersebut dimungkinkan berada di wilayah. Dengan dasar bahwa keputusan tersebut menyangkut kewilayahan sehingga dimungkinkan berada di arsip daerah. Akan tetapi, setelah penulis telusuri di arsip daerah, data tersebut juga tidak ada. Data tersebut penulis butuhkan untuk melihat bunyi status kawasan hutan pada waktu itu yang masih dalam bentuk kawasan rimbo larangan. Dengan kata lain, data tersebut penulis butuhkan untuk melihat isi dari ketentuan tersebut sebelum kawasan hutan tersebut menjadi kawasan yang telah dibebani hak penguasaan hutan. Dengan tidak didapatkannya data tersebut, cara mengatasinya adalah penulis mencoba menggali tentang isi dari data tersebut dengan cara meminta keterangan dari para tokoh-tokoh adat yang relevan dalam penyerahan kawasan rimbo larangan kepada negara. Di samping itu, penulis juga mencari informasi dari Arsip Nasional, sebenarnya apa isi dan maksud dari data tersebut. c. Data perizinan yang diterbitkan juga tidak ditemukan. Instansi terkait tidak sedemikian terbuka atas data yang dibutuhkan. Dalam hal ini, penulis bersyukur diberi arahan oleh Bapak Budi Riyanto pada saat melakukan penelitian di Departeman Kehutanan. Begitu juga saat penelitian di Dinas Provinsi Lampung, peneliti juga mengalami kesulitan tetapi dengan
80
pendekatan terhadap teman yang penulis kenal, pada akhirnya data yang peneliti cari dapat diperoleh meskipun tidak semuanya didapatkan.
81