ASAS KEADILAN DALAM PENGATURAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA Tesis Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum
Disusun Oleh:
Laurens NPM: 322010001
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA JULI 2012
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.1 Salah satu tujuan tersebut telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan prinsip yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.2 Dalam konteks investasi di bidang pertambangan yang dilakukan melalui penanaman modal asing
1 2
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
1
adalah dilakukan melalui joint venture yaitu suatu bentuk perjanjian usaha patungan antara Negara Indonesia dengan perusahaan pananaman modal asing, dimana Negara bertindak sebagai pemegang kuasa pertambangan menunjuk perusahaan penanaman modal asing yang bertindak sebagai kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan di bidang usaha Pertambangan Umum
yang
meliputi
penyelidikan
umum,
eksplorasi,
eksploitasi,
pemurnian, pengangkutan dan penjualan bahan-bahan galian yang berada di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas hukum Reschsstaat.3 Ciri-ciri negara hukum ialah, pertama, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, kedua, diakuinya hak asasi manusia yang dituangan dalam konstitusi, ketiga, adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintah (asas legalitas), keempat, adanya peradilan yang bebas dan merdeka, kelima, semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum4. Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu dalam pembentukan undang-undang harus didasarkan pada undang-undang dasar (konstitusi)5. Menurut penulis, hukum merupakan yang utama dalam mewujudkan kepastian hukum dan keadilan sosial demi terselenggaranya
3
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 Bagian Sistem Pemerintahan Negara. Angka 1. 4 Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Indonesia, Ceramah Umum Ikatan Alumi Universitas Jayabaya, Jakarta, 23 Januari 2010. 5 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2008, hal: 243-253.
2
kesejahteraan rakyat. Undang-undang yang ada harus mencerminkan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia. Indonesia adalah negara hukum, maka semua produk undang-undang harus didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945. Keadilan sosial merupakan cita-cita dari Negara Indonesia yang paling utama. Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapa pun sesuai apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum6. Menurut Notohamidjojo, keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat masingmasing harus diberi kesempatan menurut menselijke waardigheid (kepatuhan kemanusiaan). Menurut Soekarno, yang dimaksud sebagai keadilan sosial ialah: Suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada exploitation de I’homme par I’homme. Semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.7 Sedangkan menurut John Rawls, keadilan harus memenuhi tiga unsur yaitu: pertama diandaikan tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu di kemudian hari, karena abstraksi dari segala sifat individualnya orang mampu untuk sampai pada suatu pilihan yang rasional 6
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Cetakan keenam, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal 166-167. 7 Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Pressindo, Yogyakarta, 2006, hal 277-278.
3
tentang prinsip-prinsip keadilan; kedua diandaikan bahwa prinsip keadilan dipilih dengan semangat keadilan, yakni dengan kesediaan untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan yang telah dipilih. Sikap ini perlu karena sasaran individu yang harus dibagi rata antara banyak orang dan pasti tidak semua orang tidak menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya bertepatan dengan sikap rasional dari seorang yang bijaksana. Seorang yang bijaksana akan mengerti bahwa semua orang sungguh-sungguh berusaha memperhatikan kepentingan bersama secara dewasa, ia tidak akan merasa iri hati terhadap orang, sekurang-kurangnya tidak selama perbedaan tidak melampaui batas-batas tertentu; ketiga, diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individualnya dan baru kemudian kepentingan umum. Hal ini wajar karena orang berkembang secara pribadi dan ingin memperhatikan orang-orang dekatnya.8 Demi mewujudkan keadilan sosial, pemerintah selaku pelaksana dari negara berusaha memanfaatkan modal yang ada yang ada, baik berupa sumberdaya lewat hasil produksi atau sumber daya alam berupa mineral (emas, tembaga, perak, nikel, batubara, dan lain-lain) untuk dikelola dalam rangka mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, pemerintah telah menyusun dan
8
Theo Huijebers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ke 5, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal 198.
4
membuat undang-undang di bidang pertambangan. Pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia sendiri memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Pada tahun 1960, pada masa Orde Lama, Pemerintah Indonesia menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pertambangan 1960. Tahun 1966, lahirlah Orde Baru yang ditandai dengan perubahan besar dalam tata kehidupan masyarakat, peran militer dan modal asing semakin kuat dan luas. Saat itu pemerintah Orde baru menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1967
tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Pertambangan.
Meningkatnya sektor pertambangan pada era Orde Baru, karena sebagian besar disebabkan oleh sikap pemerintah yang lebih terbuka dengan modal asing. Setelah hampir selama kurang lebih empat dasawarsa sejak diberlakukannya Undang-Undang nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok pertambangan, maka lahirlah peraturan perundangundangan yang mengatur lebih spesifik tentang pertambangan mineral dan batubara, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Penyusunan dan pembentukan ketiga undang-undang di bidang pertambangan tersebut dimaksudkan guna mempercepat terlaksananya tujuan
5
negara dalam pembangunan ekonomi nasional guna menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara materiil dan spirituil berdasarkan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan negara tersebut dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensial di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil.9 Dengan demikian yang menjadi payung hukum dari UndangUndang Pertambangan adalah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 yang dirumuskan: 10 1. ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 2. ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3. ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat; 4. ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; 5. ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dengan Undang-Undang. Perwujudan dari pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tertuang juga dalam Pasal 1 Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Tentang Pertambangan, yang berbunyi:
9
Lihat Pertimbangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan, huruf a. 10 Lihat Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional.
6
Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.11 Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tentang Pertambangan tidak mengatur tentang bagian dari hasil pengelolaan
sumberdaya
alam
dari
pihak-pihak
yang
melakukan
pertambangan di Indonesia dengan negara yang mempunyai otoritas tinggi. Ketentuan dalam undang-undang ini Pasal 28 ayat 3, dikatakan bagian kepada daerah tempat lokasi di mana suatu perusahaan tambang tersebut beroperasi, pembagiannya hanya dari apa yang diperoleh oleh negara secara langsung dari perusahaan tambang tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Dalam hal pembagian hasil pengelolaan bahan tambang daerah tidak mendapat
langsung
dari
perusahaan
tambang
yang
beroperasi
(mengeksploitasi bahan tambang) di daerahnya. Dalam kaitannya dengan bagian daerah dalam hasil pengelolaan pertambangan menurut undangundang Undang-Undang No 11 Tahun 1967, daerah tempat beroperasinya suatu perusahaan pertambangan hanya bisa menerima berapa pun bagian yang menurut pemerintah pusat yang akan diberikan kepada daerah tersebut.
11
Lihat Pasal 1 Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
7
Hal ini jelas berdampak bagi daerah tersebut dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi rakyatnya. Salah satu contoh perusahaan pertambangan asing yang melakukan penanaman modal di Indonesia adalah PT Freeport. PT. Freeport telah beroperasi di Papua sejak bulan April Tahun 1967. Selama beroperasi di Papua, PT. Freeport telah berhasil mengeruk keuntungan hingga miliaran dollar pertahun—berdasarkan laporan keuangan Freeport pada 2008, total pendapatan Freeport adalah US$ 3,703 miliar dengan keuntungan US$ 1,415 miliar.12 Namun jika kita lihat, jauh dari apa yang dicita-citakan dalam konstitusi negara Indonesia, wilayah Provinsi Papua dalam rentang waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 dan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, tidak bertumbuh menuju suatu masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial. Aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari pengelolaan pertambangan belum memberikan kontribusi besar pada pembangunan ekonomi yang menguntungkan penduduk asli Papua13, tempat di mana beroperasinya perusahaan tambang tersebut. Contoh lainnya lagi adalah PT Newmont Nusa Tenggara, perusahaan pertambangan yang beroperasi di daerah Sumbawa. Perusahaan ini 12
http://www.tempo.co/hg/bisnis/2010/03/04/brk,20100304-229961,id.html, Penerimaan Negara dari Freeport Dinilai Tak Berimbang, diakses pada tanggal 29 September 2011. 13 http://www.jatam.org, Pertambangan Papua Kasus Freeport, diakses pada tanggal 14 Maret 2011.
8
diperkirakan membukukan pendapatan pada kuartal I 2011 sebesar US$ 484,67 juta.14 Selama ini PT Newmont Nusa Tenggara melakukan pembuangan sisa tambang ke dasar laut Teluk Senunu, Sumbawa, hal ini dinilai telah merugikan nelayan dan tidak sesuai dengan mekanisme perundangan.15 Selain PT. Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara tersebut, masih banyak perusahaan perusahaan pertambangan asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Indonesia, namun pengelolaan pertambangan belum memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan sosial wilayah tempat di mana beroperasinya perusahaan tambang tersebut sesuai dengan keadilan sosial yang diamanatkan oleh UUD 1945. Landasan konstitusional konsepsi keadilan dalam pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD Tahun 1945. Oleh sebab itu konsepsi keadilan dalam penguasaan dan penggunaan kekayaan alam haruslah sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian yuridis mengenai asas keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia.
14
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/6640/Pendapatan-Newmont-NusaTenggara-Kuartal-I-Diperkirakan-US-48467-Juta, Pendapatan Newmont Nusa Tenggara Kuartal I Diperkirakan US$ 484,67 Juta, diakses pada tanggal 29 September 2011. 15 http://cetak.kompas.com/read/2011/07/08/03493360/walhi.siap.gugat.kementerian .lingkungan, Dampak Pertambangan: Walhi Siap Gugat Kementerian Lingkungan, diakses pada tanggal 22 Juli 2011.
9
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: 1.
Apakah konsepsi keadilan mengenai penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
2.
Apakah
ketentuan
pengaturan
pengelolaan
pertambangan
di
Indonesia menerapkan prinsip keadilan sebagaimana dimaksudkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan:
1.
Mengetahui makna konsepsi keadilan dalam penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Mengetahui pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia apakah sesuai dengan prinsip keadilan sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10
D.
Manfaat Penelitian
1.
Memberi masukan terhadap kaidah hukum muatan materi dalam peraturan pengelolaan pertambangan yang membawa keadilan bagi daerah tempat pertambangan itu berlangsung.
2.
Memberi masukkan untuk merubah atau memperbaiki peraturan perundang-undangan
mengenai
eksploitasi
pertambangan
di
Indonesia yang memberikan keadilan bagi kepentingan daerah setempat dan sesuai yang dimaksud oleh UUD 1945.
E.
Landasan Teori Isu sentral penelitian ini adalah asas keadilan dalam pengaturan
pengelolaan pertambangan di Indonesia. Landasan teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Teori Keadilan Sosial Asas keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan yang
menjadi isu di sini adalah keadilan sosial, yang dalam hal ini yaitu keadilan bagi rakyat Indonesia. Dalam asas keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia, maka keadilan mencakup antara pihak perusahaan pertambangan dan rakyat Indonesia yang diwakili oleh Pemerintah Indonesia. Diskusi mengenai konsep keadilan di sini mau tidak
11
mau harus mengacu kepada pendapat para tokoh serta konsep keadilan yang memang telah ada di dalam Undang-Undang. Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.16 Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.17 Konsep keadilan Aristoteles ini terkait erat dengan pembentukan struktur kehidupan masyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Kemudian, Thomas Aquinas mengatakan keutamaan dalam keadilan adalah menentukan bagaimana hubungan orang dengan orang lain dalam hal iustum, yakni mengenai ’apa yang sepatutnya bagi orang lain menurut sesuatu kesamaan proporsional’ (aliquod opus adaequatum alteri secundum aliquem aequalitatis modum).18 Dari pemikiran Thomas Aquinas inilah kemudian terbit pemahaman mengenai keadilan proposional. Pemikiran mengenai keadilan dari Aristoteles dan Thomas 16
Theo Huijebers, Op.cit, hal 196. Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hal 24. 18 Theo Huijebers, Op.cit, hal 42. 17
12
Aquinas yang masih berpijak pada filsafat hukum alam inilah yang penulis anggap sebagai kategori konsep keadilan tradisional. Selanjutnya, menurut John Rawls, pada masyarakat yang telah maju (modern), hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsipprinsip keadilan.19 Pemikiran mengenai keadilan John Rawls inilah, yang penulis anggap sebagai kategori konsep keadilan modern. Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu. Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli, manusia akan sampai pada dua prinsip keadilan yang paling mendasar, yaitu:20 1) Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Menurut pinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. 2) Prinsip ketidaksamaan atau perbedaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga dapat menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas).
19 20
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. cit., hal. 161-162 Ibid, hal 165.
13
Konsep tentang keadilan memang selama ini mengandung banyak aspek dan dimensi. Kita dapat membedakan berjenis-jenis keadilan: 21 a. Keadilan komutatif (iustitia commutativa) Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada masingmasing bagiannya, dengan mengingat supaya prestasi atau sama-nilai dengan kontraprestasi. b. Keadilan distributif (iustitia distributiva) Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa) Keadilan vindikatif adalah keadilan yang memberikan kepada masingmasing hukumannya atau dendanya, sebanding dengan kejahatan atau pelanggarannya dalam masyarakat. d. Keadilan legal (iustitia legalis) Keadilan legalis ialah keadilan undang-undang. Keadilan legal menuntut supaya orang tunduk pada semua undang-undang, oleh karena undang-undang itu menyatakan kepentingan umum. Dengan mentaati hukum adalah sama dengan bersikap baik dalam segala hal, maka keadilan legal disebut keadilan umum (justitis generalis). e. Aeqsuitas 21
O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan: Beberapa Bab Dari Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hal 36-38.
14
Aeqsuitas memberikan koreksi apakah subjek dalam situasi dan keadaan (omstandingheden) tertentu patut memperoleh haknya atau kewajibannya. Jika dikaji lebih dalam lagi, menurut penulis, keadilan sosial sesungguhnya tidak identik dengan salah satu konsep keadilan yang telah dipaparkan oleh penulis sebelumnya. Bahkan keadilan sosial juga tidak sama dengan nilai-nilai keadilan yang diimpikan dalam falsafah kehidupan yang biasa dikembangkan oleh para filsuf. Namun, ujung dari pemikiran dan impian-impian tentang keadilan itu adalah keadilan aktual dalam kehidupan nyata yang tercermin dalam struktur kehidupan kolektif dalam masyarakat. Artinya, ujung dari semua berbagai ide tentang keadilan di atas adalah keadilan sosial yang nyata. Karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep keadilan sosial itu merupakan simpul dari semua dimensi dan aspek dari ide kemanusiaan tentang keadilan. Konsep keadilan sosial (social justice) berbeda dari ide keadilan hukum yang biasa dipaksakan berlakunya melalui proses hukum. Tetapi konsep keadilan sosial tentu juga tidak hanya menyangkut persoalan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain sehingga derajat universilitasnya menjadi tidak pasti. Seperti dikemukakan di atas, keadilan sosial memang harus dibedakan dari pelbagai dimensi keadilan, seperti keadilan equality, keadilan
15
proposional, keadilan liberal, keadilan komutatif, keadilan vindikatif, keadilan distributif, keadilan legal, dan sebagainya—meskipun dapat juga dipahami bahwa keseluruhan ide tentang keadilan itu pada akhirnya dapat dicakup oleh dan berujung pada ide keadilan sosial. Konsep keadilan sosial ini sebenarnya telah diusung oleh para pendiri negara Indonesia. Menurut Soekarno, yang dimaksud sebagai keadilan sosial ialah: Suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada exploitation de I’homme par I’homme. Semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.22 Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita dengan keadilan sosial ialah suatu masyarakat yang adil dan makmur. Saya tekankan adil dan makmur, makmur dan adil, dengan menggunakan alat-alat industri, alat-alat teknologi yang sangat modern....Tetapi industrialisme modern itu kita pergunakan untuk kepentingan umum.23 Mohammad Hatta juga menyadari mengenai pentingnya keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, yang berakibat kepada kesejahteraan rakyat, namun hal ini menurutnya harus mengandaikan kedaulatan rakyat. Dalam sebuah pidato di Aceh pada tahun 1970, ia mengatakan: “Apakah yang dimaksud dengan Indonesia yang adil? Indonesia yang adil maksudnya tak lain daripada memberikan perasaan kepada seluruh rakyat bahwa ia dalam segala segi penghidupannya diperlakukan secara adil dengan tiada dibeda-bedakan sebagai warga
22 23
Soekarno, Op.cit, hal 277-278. Ibid, hal 295.
16
negara. Itu akan berlaku apabila pemerintahan negara dari atas sampai ke bawah berdasarkan kedaulatan rakyat.”24 Selain itu, konsep keadilan sosial dapat dilihat pada Alinea IV Pembukaan UUD Tahun 1945 yang menyatakan: “…. susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.25 Dari rumusan keadilan sosial di atas penulis menyimpulkan bila disimpulkan dalam tataran praktis: Pertama, keadilan sosial itu dirumuskan sebagai “suatu” yang sifatnya konkrit, bukan hanya abstrak-filosofis yang tidak sekedar dijadikan jargon politik tanpa makna; Kedua, keadilan sosial itu bukan hanya sebagai subjek dasar negara yang bersifat final dan statis, tetapi merupakan sesuatu yang harus diwujudkan secara dinamis dalam suatu bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan bila dalam tataran normatif maka keadilan sosial dapat disimpulkan: Pertama, keadilan sosial adalah kesejaheraan rakyat. Dalam hal inilah maka keadilan sosial harus mengandaikan kedaulatan rakyat yang berakibat kepada kesejahteraan rakyat. Kedua, keadilan sosial merupakan maksimalisasi kemakmuran rakyat. Keadilan
24
Mohammad Hatta, dalam Franz Magnis Suseno, Bung Hatta dan Demokrasi, Tempo, 18 Agustus 2002. 25 Lihat Alinea IV Pembukaan UUD Republik Indonesia Tahun 1945.
17
sosial harus sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga, keadilan sosial itu seharusnya merupakan subjek dasar negara yang bersifat final dan statis yang terangkum dalam konteks (peraturan), kelembagaan, dan sistem nilai yang dapat berakibat kepada kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia; dan Keempat, keadilan sosial mengarah kepada kepentingan publik. Keadilan sosial akan tercipta jikalau kepentingan publik terlindungi. Jadi dalam penelitian ini, konsep keadilan sosial merupakan konsep utama yang melandasi isu pemaknaan keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. 2.
Teori Fungsi Pemerintah Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan
yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang
bertarung
dalam
kerangka
umum
tatanan
politik
untuk
mengaktualisasikannya.26 Jadi dalam hal ini keadilan berkaitan erat dengan negara untuk mewujudkannya. Negara terbentuk berdasarkan kesepakatan
26
Carl Joachim Friedrich, Op.cit, hal. 239.
18
masyarakat untuk membentuk kekuasaan untuk dapat menghentikan kekacauan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Dari kekuasaan yang diberikan pada negara tersebut negara mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk:27 1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosisal, yakni yang bertentangan satu sama lain yang menjadi antagonis yang membahayakan. 2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan masyarakat secara keseluruhan. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasiasosiasi masyarakat disesuaikan satu sama lain dan diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pengendalian dan pengorganisasian fungsi Negara mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tersebut dilakukan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya.28 Sebab dalam kenyataannya, pihak atau organ yang meyelenggarakan kekuasaan Negara adalah pemerintah, baik dalam arti sempit—lembaga eksekutif—maupun dalam arti luas, meliputi seluruh badan kenegaraan yang terdapat di dalam Negara.29 Keterlibatan pemerintah yang sedemikian luas dalam tugas Negara ini menempatkan dirinya sebagai servis publik, yakni menyelenggarakan dan mengupayakan suatu keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakatnya.30
27
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hal. 39. Krishna Djaya Darumurti, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2012, hal 16. 29 Ibid. 30 Ibid. 28
19
Selain itu, konsep fungsi pemerintah dalam pengaturan pengelolaan pertambangan dapat dilihat dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemerintahan daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan insentif dan/atau kemudahan dalam ketentuan di atas adalah pemberian dari pemerintah daerah antara lain dalam bentuk penyediaan sarana, prasarana, dan stimulasi, pemberian modal usaha, pemberian bantuan teknis, keringanan biaya, dan percepatan pemberian izin. Jadi konsep fungsi pemerintah dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di sini harus melihat kesejahteraan umum yang berlandaskan kepada keadilan sosial. Dengan demikian terdapat kaitan yang sangat erat antara keadilan sosial dengan fungsi pemerintah sebagai pewujud keadilan sosial dalam masyarakat. Pemerintah yang dimaksudkan di sini adalah alat perlengkapan negara (tingkat pusat dan daerah) yang menjalankan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan.31
31
Ibid, hal 9.
20
3.
Teori
Asas
Keadilan
Dalam
Materi
Muatan
Peraturan
Perundang-undangan Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:32 a. Mengantar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: 1. hak-hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara. b. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang. Banyaknya hal-hal yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan memunculkan kemungkinan ketidaktepatan materi muatan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan—oleh sebab itu penulis dalam menelaah pemaknaan keadilan dalam pengelolaan pertambangan melalui peraturan perundang-undangan akan memfokuskan kajiannya terhadap asas keadilan sebagai asas materi muatannya. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi
32
Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
21
muatan peraturan perundang-undangan harus mengandung asas-asas sebagai berikut:33 a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hakhak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan
materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
33
Lihat Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
22
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
mencerminkan
keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
23
k. Asas lain, sesuai substansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut, salah satu asas yang harus ada dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan adalah asas keadilan. Berpijak pada hal inilah, maka setiap materi muatan peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan pengelolaan pertambangan harus mempertanyakan makna pemahaman asas yang dimaknai sebagai keadilan secara secara proporsional, sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut. Jika kita kaji lebih dalam lagi, keadilan sosial dalam UUD 1945 sesungguhnya tidak identik dengan konsep keadilan dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Keadilan sosial dalam UndangUndang Dasar 1945 merupakan sesuatu yang harus diwujudkan secara dinamis dalam suatu bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, keadilan dimaknakan sebagai proporsional. Dalam hal inilah, maka penulis akan menelaah pemaknaan keadilan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan pengelolaan pertambangan apakah merupakan keadilan proporsional ataukah merupakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
24
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis penelitian Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk
menganalisa
pemaknaan
keadilan
dalam
pengaturan
pengelolaan
pertambangan di Indonesia, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.34
2.
Pendekatan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis,
maka untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan beberapa pendekatan: a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu keadilan dalam 34
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 101-102.
25
pengaturan pengelolaan pertambangan. Untuk itu peneliti harus melihat hukum
sebagai
sistem
tertutup
yang
mempunyai
sifat-sifat:
comprehensive, all-inclusive, systematic.35 Selain itu dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas
dalam peraturan perundang-undangan.36
Dengan
demikian, pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. b. Pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada.37 Dalam penelitian ini, maka penulis akan menggali konsep keadilan berdasarkan pandangan-pandangan tokohtokoh dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu Hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang.38 Jadi konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun argumen-argumen
hukum
dalam
memecahkan
isu
mengenai
35
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2006, hal. 303. 36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 96. 37 Ibid, hal 137. 38 Ibid, hal 138.
26
pemaknaan keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. c. Pendekatan filsafat (philosopical Approach) Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas isu hukum (legal issues) dalam penelitian
normatif
secara
radikal
dan
mengupasnya
secara
mendalam.39 Pemahaman akan makna merupakan hal yang esensial di dalam penelitian.40 Melalui pendekatan filsafat penulis akan menyusun pemahaman akan pemaknaan keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. 3.
Tehnik Pengumpulan Data dan Sumber Penelitian Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah
penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian.41 Oleh karena itu, sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.42 Bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:
39
Johnny Ibrahim, Op.cit, hal. 320. Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal 87. 41 Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 24. 42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39. 40
27
a.
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
b.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas bukubuku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan hasil simposium yang relevan dengan isu penelitian.
c.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
4.
Metode Analisis Penelitian ini menggunakan pula metode analisis deskriptif kualitatif
dengan penalaran deduktif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan
tersebut
dengan
sendirinya
mengandung
kegiatan
28
interprestasi.43 Dengan demikian penelitian ini termasuk dalam dogmatik hukum, yaitu deskripsi, sistematisasi, analisis, interprestasi, dan menilai hukum positif.44 Dalam penelitian ini yang diinterprestasikan yaitu mengenai pemaknaan keadilan sosial terhadap norma aturan di dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia.
G.
Sistematika Penulisan Bab II membahas tentang konsep keadilan atas penguasaan dan
penggunaan kekayaan alam pada tataran konseptual, filsafat, dan analitik. Tataran konseptual dan filsafat akan menjelaskan konsep keadilan dari pandangan tradisional, pandangan modern, pandangan tokoh bangsa Indonesia. Pada tataran analitik akan menjelaskan konsep fungsi pemerintah, dalam hal ini berkaitan dengan fungsi pemerintah sebagai pewujud keadilan sosial dalam masyarakatnya. Pada tataran yuridis akan menjelaskan konsep asas keadilan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan dan makna keadilan dalam penguasaan dan penggunaan kekayaan alam menurut Pasal 33 UUD 1945. Bab III membahas tentang keadilan di dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Sebelum menguraikan keadilan di dalam 43
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 149-150. 44 J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 169.
29
peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia, dalam bab ini penulis akan membahas mengenai sejarah pengaturan pertambangan di Indonesia. Sedangkan hal yang terkait dengan pembahasan keadilan di dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia adalah kaidah hukum asas keadilan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan Pertambangan, meliputi: PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan, UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu, dalam bab ini penulis juga akan membahas keadilan dalam peraturan pelaksana pertambangan sebagai contoh UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua berkaitan dengan pemaknaan keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Bab IV merupakan bab Penutup yang berisi mengenai kesimpulan dari makna keadilan yang ada pada UUD 1945, UU mengenai Pertambangan, dan Peraturan Pelaksanaannya serta saran dari penulis yaitu apa yang harus dituangkan dalam materi muatan peraturan perundangundangan terkait dengan perwujudan kaidah hukum atas asas keadilan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bidang pertambangan di masa depan.
30