161
BAB IV PENUTUP
4.1
Kesimpulan Makna demokrasi di dalam ketiga teks sajak karya Taufiq Ismail ini terbentuk
melalui pengukuhan struktur hierarki vertikal dan struktur formasi horizontal. Dalam teks sajak yang pertama, “Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini”, hierarki demikian diisi oleh relasi vertikal Tuan-Budak (persoalan kekuasaan). Sementara itu, masih dalam teks sajak yang sama, formasi horizontal diisi oleh satuan yang mendominasi suara dan satuan yang suaranya dipinggirkan. Dalam pada itu, ketika aksi demonstrasi belum terjadi, pihak penindas (satuan “para pembunuh tahun yang lalu”) masih mendominasi pemerolehan suara melalui partnernya, yaitu legislator-resmi (satuan “pengeras suara yang hampa suara”) dan penggunaan slogan, sedangkan pihak tertindas, yaitu satuan “berpuluh juta manusia (yang) bermata sayu”, terpinggirkan. Kemudian, ketika aksi demonstrasi penyair (“Kita”) berlangsung, suara pihak tertindas justru semakin dipinggirkan karena kini suara “Kita”-lah yang mendominasi. Salah satu wujud suara “Kita” adalah bahwa “Kita” menolak “duduk satu meja” dengan pihak penindas. Adapun suara pihak penindas menempati posisi lebih pinggir daripada “Kita”, namun lebih utama daripada suara pihak tertindas.
161
162
Demikianlah struktur horizontal yang dikukuhkan dengan dasar logos “harga pengabdian.” Dalam teks sajak yang kedua, “Benteng”, hierarki diisi oleh relasi vertikal menang-kalah atau satuan yang mendominasi suasana pertempuran (bakal pemenang) dan satuan yang didominasi (bakal pecundang). Sementara itu, masih mengenai teks sajak yang kedua, formasi horizontal diisi oleh satuan yang merupakan kawan seperjuangan penyair (“Kita”) dan satuan yang merupakan musuh pejuang. Dalam pada itu, ada pula satuan anonim (“Para dermawan tidak dikenal”) yang diposisikan sebagai pihak yang berkepentingan, meskipun oleh penyair sendiri—dengan dasar logos “solidaritas pertempuran”—satuan anonim tersebut diposisikan sebagai massa atau pihak yang tanpa kepentingan (interest). Dalam teks sajak yang ketiga, “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, hierarki diisi oleh relasi vertikal penindasan, yaitu bahwa peran pihak penindas diisi oleh dua satuan sekaligus (“birokrasi” yaitu Negara dan pedagang “modal raksasa” yaitu Swasta), sedangkan peran pihak tertindas diisi oleh satuan “rakyat” (yaitu orang Indonesia di “di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi”, “Udin dan Marsinah”, “pedagang jelata”, dan sebagainya). Sementara itu, masih mengenai teks sajak yang ketiga, formasi horizontal adalah tentang hubungan horizontal penyair (“Aku”) dengan orang asing (sahabat “Aku”, yaitu “Stone” dan orang asing pada umumnya di “Roxas Boulevard … dsb.”). Hubungan tersebut meminggirkan “Aku” dan memusatkan orang asing karena inferioritas “Aku”—yang disebabkan bahwa “Aku” merasakan malu, meski
163
tidak harus pernah melakukan hal yang memalukan. Di sisi lain, “Aku” tidak akrab dengan sesama orang Indonesia di dalam identitas “bangsa kita.” Baik hierarki maupun formasi horizontal demikian didasarkan pada logos “kekuasaan yang memalukan”, yang kemudian membuat penyair menyertakan seluruh orang Indonesia untuk turut merasakan malu. Oleh karena ada pengukuhan hierarki dan formasi horizontal di dalam ketiga teks sajak, closure demokrasi pun terjadi. Kemudian, closure demokrasi ini retak karena ketidakstabilan logos-logos teks sajak yang di atasnya baik hierarki maupun formasi horizontal berdiri. Logos “harga pengabdian” tidak stabil karena penyair (“Kita”) tidak bisa (atau tidak mau) membedakan suara mayoritas rakyat, yaitu berupa pertanyaan retoris “inikah yang namanya merdeka”, daripada suaranya sendiri, yaitu berupa penolakan untuk “duduk satu meja”, sehingga emansipasi demokratis sirna. Logos yang sama juga retak oleh ungkapan violent closure yang dicantumkan sebagai judul teks sajak: “Kita adalah pemilik sah republik ini.” Ungkapan ini kejam (violent) karena penyair (“Kita”) telah menduduki kepemilikan “republik ini” secara nirdemokratis, sehingga bukan “rakyatlah pemilik sah republik ini.” Lebih dari itu, aksi demonstrasi (“berjalan terus” sebagai bentuk “pengabdian”) yang dilakukan oleh penyair justru tidak berharga karena penyair tidak mengesampingkan suaranya sendiri demi mengemansipasi seluruh rakyat, yang termasuk di dalamnya pihak penindas. Emansipasi demikian dilakukan antara lain dengan cara meruangkan forum demokratis “duduk satu meja”, sehingga pemulihan chaos dapat terjadi.
164
Logos “solidaritas pertempuran” tidak stabil karena penyair (“Kita”) sendiri tidak solid terhadap sesama Pergerakan Mahasiswa yang berasal dari Periferi (“Kontingen Bandung … Bogor”), yaitu dengan cara pemilahan kami-mereka dan oposisi Metropol-Periferi. Oleh karena itu, solidaritas pun sirna dengan sendirinya. Lebih lagi, eksklusi ini diperparah oleh tendensi penyair untuk menunjukkan bahwa kami (“Kita”) lebih unggul daripada mereka yaitu dengan pernyataan bahwa mereka “semuanya kumal, semuanya tak bicara”, sedangkan “Kita”—secara implisit ditegaskan—sebaliknya, yaitu berkondisi lebih prima (tidak kumal dan bersuara). Bahkan, penyair justru lebih solid terhadap pihak anonim (“Para dermawan tidak dikenal”) yang terhadapnya pergerakan “Kita” bersikap dependen. Padahal, pihak anonim ini berpeluang untuk menyembunyikan kepentingan di balik runtuhnya “Tiran”, sehingga pemulihan chaos hanya akan terganti bukan oleh pemulihan demokrasi, melainkan oleh situasi kompromi elitis. Hal demikian tidak lepas dari perspektif hierarkis “Kita” dalam memandang situasi pertempuran sebagai konflik (kalah-menangnya) kepentingan, bukan sebagai pemulihan menuju demokrasi bagi semua orang Indonesia, termasuk di dalamnya “Tiran” bersenjata. Logos “kekuasaan yang memalukan” tidak stabil karena perbedaan—antara penyair (“Aku”) dan kekuasaan pihak penindas (Negara dan Swasta)—ternyata tampil sebagai persamaan di antara keduanya. “Aku” merasa malu (“malu aku jadi orang Indonesia”), meskipun tidak melakukan hal yang memalukan. Sementara itu, pihak penindas tidak merasa malu, meskipun telah melakukan kekuasaan yang memalukan. Itulah perbedaan keduanya. Persamaannya adalah bahwa keduanya
165
pasif—mendiamkan penindasan atau chaos demokrasi yang dialami “bangsa kita”—di dalam situasi malu masing-masing. Maka, kepasifan “Aku” tidak beda dengan memalukannya kekuasaan pihak penindas yaitu sama-sama pasif terhadap upaya pemulihan demokrasi. Oleh karena itu, penyertaan rasa malu “Aku” kepada seluruh orang Indonesia—dengan cara menggunakan tanda kurung yang mengapit kata aku di dalam judul teks sajak—tidak bisa diterima. Rasa malu ini hanya logis diemban oleh penyair dan sesama Pergerakan Mahasiswa sendiri (Angkatan 66), terutama yang berasal dari Metropol dan yang mengadakan kompromi elitis “Semangat 10 Djanuari” bersama dengan Orde Baru. Sebab, rasa malu ini muncul akibat kegagalan closure demokrasi penyair sendiri yang disuarakannya pada 1966 dan yang justru memunculkan sosok penindas baru, yang bahkan berkekuatan dobel, pada tahun 1998. Closure demokrasi dari penyair retak karena adanya eksklusi di dalam relasi horizontal demokratis dan adanya hierarki di dalam relasi vertikal demokratis. Eksklusi demikian berupa (1) pemusatan suara “Kita”, (2) anonimitas pihak yang berkepentingan, (3) dikotomi kami-mereka, dan (4) ketidakakraban “Aku” dalam “bangsa kita.” Adapun hierarki yang dimaksud berupa (1) dikotomi Tuan-Budak, (2) dikotomi Metropol-Periferi, (3) dikotomi menang-kalah, dan (4) dikotomi Penindas-Tertindas. Keretakan closure demikian juga tidak lepas dari aporia yang ada di dalamnya. Sebab, penyair pun di dalam teks sajaknya juga berusaha memunculkan
166
inklusi berupa (1) pemusatan suara pihak tertindas, (2) anonimitas mayoritas rakyat, (3) soldiaritas Pergerakan Mahasiswa, dan (4) emansipasi “bangsa kita” secara keseluruhan. Selain itu, penyair pun berusaha menunjukkan adanya relasi vertikal demokratis berupa (1) adanya forum “satu meja”, (2) solidaritas bagi pemulihan demokrasi, dan (3) pengakraban diri. Oleh karena itu, ada gerak aktif dari penyair untuk menerapkan demokrasi. Baik inklusi maupun relasi vertikal demokratis itu menunjukkan adanya makna inkalkulatif yang ingin penyair tuju. Akan tetapi, penyair—yang berada di ranah kalkulatif—di saat yang sama memaknai demokrasi sebagai sebuah closure, bukan sebagai demokrasi yang-akan-datang, sehingga selalu ada demos Indonesia yang dipinggirkan atau diinklusi secara selektif-elitis. Kemudian, penyair pun (sebagai “Kita” atau “Aku”) di saat yang sama melakukan autoimunitas terhadap sesama demos Indonesia yaitu dengan cara memecah-belah demos Indonesia ke dalam definisi pendukung atau peragu Orde Baru. Autoimunitas ini berpuluh tahun kemudian membuat kecewa dan memalukan penyair sendiri. Akan tetapi, keadaan itu sesungguhnya dapat saja dihindari jika penyair sadar akan adanya karakteristik différance di dalam demokrasi. Sebab, kesadaran akan différance—yang mengakui keberagaman dan keunikan tiap demos—dapat menunda pemaknaan closure-sentris mengenai demokrasi. Dengan demikian, hasil dekonstruksi atas ketiga teks sajak ini mengajak kepada upaya mencairkan batas-batas yang mengukuhkan demos di dalam baik struktur hierarki vertikal maupun struktur formasi horizontal. Satuan-satuan yang
167
dieksklusi dapat diinklusi, sedangkan satuan-satuan inferior di dalam hierarki dapat diposisikan setara dengan satuan-satuan yang superior. Kemudian, persoalan keadilan (yang inkalkulatif dan mensyaratkan kejujuran) dan pengampunan (yang juga inkalkulatif dan mengandaikan pemaafan) dapat menjadi fokus, sehingga penerapan demokrasi yang-akan-datang—yang sama sekali menolak pemaknaan demokrasi kini-disini dan apalagi yang bertendensi closure—dapat berlangsung aktif.