BAB IV PENERAPAN SISTEM PEMERINTAHAN SULTAN NUKU PADA ABAD KE XVIII 4.1 Sistem pemerintahan Sultan Nuku pada pemerintahan sultan Nuku terdapat dewan wazir dengan empat tugas pokok: penetapan undang-undang, menentukan garis kebijakan, pemerintahan mengesahkan
peperangan
dan
perdamaian,
serta
mengangkat
dan
memberhentikan Raja-raja, Sangaji,sangaji, Hukum-hukum dan Gimalahagimalaha. (Maswin. M. Rahma 2006:9) 4.1.1 Kepemimpinan Dari aspek proses, ada lima sistem kepemimpinan di Tidore: 1). Tipe Papa Setete: Sistem pewariasan kepemimpinan hanya sebatas klen. Pemerolehan sifat tradisional magic. Sumber legitimasi magic, merupakan bentuk legitimasi dengan sumbernya dari mahluk tak terjangkau. Penyeleksian kepemimpinan kadang-kadang diikuti oleh hampir seluruh klen. Siapa yang merasuki mahluk yang tak terjangkau (papa setete) itu maka dialah yang dinobatkan sebagai masimo. 2). Tipe Kepala Klen: Kepemimpinan ini merupakan sistem pewarisan dengan kekuasaan sebatas klennya
atau kelommpok kerabat menurut tata urut
senioritas keturunan dan kelahiran. Kedudukan pemimpin selalu berada pada klen yang paling senior dengan jabatan yang dipegang oleh anak sulung lakilaki maka diurutkan kepada urutan-urutan tertua, kedua dan seterusnya.
52
53
3). Tipe pria perkasa: yaitu untuk memperoleh kekuasaan dengan usaha pencapaian yang dapat dilakukan secara pribadi melalui usaha kekayaan ekonomi, kepandaian berdiplomasi dan berpidato. Selain itu unsur utama yang dituntut adalah keberanian dalam memimpin perang, dan dapat memiliki tubuh yang besar dan tegap tetapi sekali gus sikap murah hati. 4). Tipe Jou Kolano (Raja/Sultan ) : yaitu kepemimpinan menganut sistem pewarisan. Artinya kepemimpinan memperoleh karena warisan dari sang ayahnya. Biasa calon penggantinya adalah anak sulung. Namun anak sulung tidak memnuhi persyaratan. Maka pergantian berdasarkan pewarisan itu, terdapat pula sistem birokrasi yaitu birokrasi tradisional yang berperan sebagai mesin
berjalannya
pemerintahan
dan
permainan
politik
dilinkungan
masyarakat. 5). Tipe Campuran: yaitu terdapat pada individu-individu yang tampil sebagai pemimpin selain atas dasar keturunannya, juga memiliki kewibawaan, keuletan, keberanian menegakan keadilan dan kebenaran (loa sebanari) serta menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Tradisional (Megic): Merupakan bentuk legitimasi dengan sumber dari Tuhan, Dewa, ataupun Mahluk-mahluk yang tak terjangkau. • Taradisional rasional: yaitu bersumber pada aturan-aturan rasional yang disepakati bersama oleh mereka yang mengangkat. Begitupun ada juga aturanaturan yang tidak tertulis yang secara terbuka
54
• Campuran: yaitu pendukun dua legitimasi melahirkan sifat campuran, yang dikedepankan bisa saja sistem pertama menyusul legitimasi kedua maupun sebaliknya. Maswin. M. Rahman (2006:13) Pada sistem kepemimpinan ini untuk menstabilkan jajaran pemerintahan Tidore agar tidak terjadi keambisian oleh orang-orang tertentu dan dapat menjalankan roda pemerintahannya dengan baik harus konsisten dengan aturanaturan yang sudah ditetapkan. Selain itu harus objektif dan tidak berpihak kepada siapapun,
sebab
ini
membuat
masyarakat
sendiri
merasa
adil
dalam
kepemimpinan tersebut, karena semua itu dibentuk melalui permusyawaran bersama sehingga tidak bisa dirubah, sampai sekarang pun tradisi itu masih berlaku. 4.1.2 Pemerintahan Pusat Sultan pemegang tampuk atas kekuasaan tertinggi dalam kedudukan tersebut. Sultan dibantu oleh Syara, Adat Se Nakudi (dewan wazir). 1). Syara adat senakudi (dewan wazir) adalah dewan kerajaan yang beranggotakan bobato pehak raha serta wakil dari wilayah-wilayah kekuasaan. Dewan wazir dipimpin oleh sultan dan kewenanganya diberikan oleh sultan dan kewenangannya diberikan kepada jou jau. Jou jau pada dewan wazir adalah mewakili sultan. 2). Bobato Pehak Raha (empat pihak bobato), semacam depertemen yang mengatur dan melaksanakan keputusan-keputusan dewan wazir. Yang terdiri dari:
55
a) Pehak Labe (Semacam Departemen Agama), membidangi fiqi dan syariah yang terdiri dari kadhi (penanggung jawab) imam,
sangaji-sangaji, dan khatib-
khatib. b) Pehak adat dalam bidang pemerintahandan kemasyarakatan terdiri dari, Joujau (perdana menteri), hukum yade (menteri dalm negeri urusan luar), hukum soasio (menteri dalam negeri urusan dalam) dan bobato ngofa (semacam menteri urusan kabinet). c) Pehak komponia (bidang pertahanan dan kemanan) terdiri dari kapita kie, jou myor, dan kapita ngofa mereka inilh sebagai penanggungjawab. d) Pehak juru tulis dipimpin oleh seseorang yang berpangkat tulamu (sekretaris dalam kerajaan), sadaha (kepala rumah tangga kerajaan), sowohi kie (protokoler kerajaan urusan kerohanian) fomanyira ngare (humas kesultanan) syahbandar (urusan administrasi pelayaran). Pada struktur pemerintahan juga terdapat urusan-urusan khusus, yang dirangkap oleh pejabat pehak raha maupun dari pihak luar yang dianggap berkompoten antara lain: • Kapita Lau
: Urusan khusus peperangan (Panglima perang)
• Fomanyira Ngare : Urusan Logistik • Gonone
: Urusan Intelejen
• Serang Oli
: Urusan Propaganda
Setelah terbentuknya struktur pemerintahan maka tidak adanya ketimpangan dalam pemerintahan di kepulauan Tidore itu sendiri, karena dapat ditata sesuai dengan prioritasnya masing-masing baik dalam pemerintahan pusat maupun di
56
Daerah, sehingga kehidupan masyarakat berjalan dengan teratur, baik dalam bidang perekonomian, budaya, dan lain-lain. STRUKTUR PEMERINTAHAN KESULTANAN TIDORE SULTAN
BOBATO SYARAH ADAT SENAKUDI D EWAN WASIR
PEHAK SYARA LABE
PEHAK ADAT
KADHI IMAM NGOFA IMAM TOGUBU IMAM JAWA KONORA
PEHAK JURUTULIS
JOUJAU KAPITA LAU HUKUM YADE HUKUM SOASIO KAPITA LAU SARANG OLI GONONE
GIMALAHA MARSAOLI GIMALAHA FOLA RAHA GIMALAHA SIBU GIMALAHA MATAGENA GIMALAHA SIBU MABELO GIMALAHA TOMALOU GIMALAHA TONGOWAI GIMALAHA MARE
GIMALAHA TOGUBU GIMALAHA SOA KONORA GIMALAHA KALAODI GIMALAHA MALIGA GIMALAHA DOYADO FOMANYIRA TUMCALA FOMANYIRA YABA FOMANYIRA FAILUKU FOMANYIRA DIKITOBO FOMANYIRA TASUNA FOMANYIRA JAWA FOMANYIRA SOASELI FOMANYIRA TOMADOU FOMANYIRA COBO FOMANYIRA RUM
TULLAMO SADAHA SOWOHI KIE SYAHBANDAR FOMANYIRA NGARE
PEHAK KOMPANIA KAPITA KIE JOU MAYOR KAPITA NGOFA
GIMALAHATOMAYOU JURUTULIS -LOALOA MOTE-MOTE JODATI NGOFA JODATI JUDATI ALFARIS SARJENTI BORU KABO AL BAHDIR
IMAM DARI SANGAJI IMAM DARI NYILIGAM TUFKANGE IMAM GAMTUMDI IMAM DARI GIMALAHA RORA KHATIB-KHATIB KIE NEGERI OTONOM TERKECUALI NYILI GAMTUFKANGE
NEGERI OTONOM KECUALI GAMTUFKANGE
BALA RAKYAT NEGERINYA
Maswin. M. Rahman (2006:14)
BALA RAKYAT MARGANYA
BALA RAKYAT NEGERINYA
57
4.1.3 Tata Pemerintahan di Daerah 1) Pemerintahan di Ibu Kota kesultanan Di ibukota kesultanan pemerintahan dilaksanaka oleh wakil-wakil marga yang mendiami ibukota, dan wakil-wakil marga dikawasan yang tidak diberi otonomi khusus. Wakil-wakil marga tersebut, selain melaksanakan tugas dan fungsinya, juga berperan membantu roda pemerintahan pehak raha terutama pehak adat antara lain : • Bobato Yade: Gimalaha Marsaoli, Sangaji Moti,Tomalou, Tongowai. • Bobato Soasio: Gimalaha Togubu, Soa Konora, Soa Mafu, Fomanyira Rum 2) Pemerintahan didalam Pulau Tidore Pemerintahan dipulau tidore dilimpahkan adat dan syara. Kewenangan kompania diberi peran terbatas kepada seorang kapita, begitupun kewenangan juru tulis dilakukan oleh sadaha pada masing-masing pemerintahan: • Bobato Adat Nyili Gamtufkange ( Delapan Kampung/ Marga) yang terdiri dari; Gimalaha Tomayou, Fomnyira Tambula, Ngosi, Tuguwaji, tomagoba. • Bobato Adat Nyili Gamtumdi ( Tuju Kampung/ Marga) yang terdiri dari; Sowohi Kie, Gimalaha Seli, Fomanyira Topo, Taran, Lage-Lage, Tomawonge, Tofo Jio. • Bobato gimalaha rora (Enam Pemimpin Marga): Gimalaha Gamtohe, Tomaidi, Tahisa, Dokiri, dan Banawa. • Bobato sangaji jiko malofo (Sangaji Laisa dan Sangadji Laho) meliputi : Fomanyira Afa-afa, Sirongo, Tomakusu, Bua-bua, Todorabu, Tomarora.
58
3) Diluar pulau Tidore • Bobato nyili lofo-lofo. (Wilayah Oba, Weda, Patani, Maba ) sekarang Kecamatan Oba Utara antara lain: Sadaha, Sangaji Weda, Patani, Maba, Ake Lamo, Payahe, Ake Mayora. 4) Bobato Nyili Papua, terbagi dalam tiga wilayah : • Wilayah Raja Emat terdiri dari: Kolano Waigeo, Kolano Salawati, Kolano Umsowol, dan Kolano Waigama. • Wilayah Papua Gamsio, terdiri dari 9 Sangadji: Sangadji Umka, Usba, Barey, Boser Kafdarum, Waken, Warijo, War, dan Sangadji Marasai. • Wilayah Mafa Soa Raha terdiri dari 4 Sangadji: Sangadji Rumbarpon, Rumanssar, Anggardifu, Dan Sangadjii Waropen. berdasarkan uraian tentang sistem pemerintahan diatas maka keputusan untuk kepentingan rakyat disuatu wilayah tidak didasarri atas pertimbangan seorang pemimpin semata, tetapi dengan dimusyawarahkan dan diputuskan secara kolektif oleh perwakilan-perwakilan yang ada di Bobato. Ini merupakan sebuah antisispasi yang telah dilakukan untuk mencegah jangan smpai terjadinya konflik horisontal,berupa perseteruan antara suku, agama, dan kepentingan lainnya yang termuat dalam otonomisasi khusus (Ator Se Fato dalam bidang pemerintahan,dan bidang keuangan yang dikenal Fara Sefilang) sebagaimana yang diungkapkan oleh Vander Laiden bahwa lembaga-lembaga politik yang ada di Papua berasal dari Tidore. Jadi pada peraturan Sultan dalam kedudukanya dapat disamakan dengan undang-undang dasar (UUD) atau konstitusi negara moderen. Karena dalam
59
menjalankan pemerintahan sultan dapat dibantu oleh para bobato syariat dan bobato hakekat itu sendiri. Perlu diketahui bahwa bobato syariat merupaka pejabat kesultanan yang menjalankan fungsi pemerintahan (Eksekutif) dan musyawarah sedangkan Bobato hakekat dapat membantu sultan dalam bidang spiritual. Begitupun dalam pemelihan bila ada kekososngan pimpinan tertinggi dikesultanan Tidore, apabila Sultan meningal atau mengundurkan diri maupun diberhenti, maka pergantian sultan Tidore tidak melalui pewarisan secara langsung kepada anak laki-laki atau saudara kandung laki-lakinya sultan, melainkan pemelihan yang sudah diajukan nama-nama calon dari Dano-Dano Folaraha yang terdiri dari Fola Yade, Fola Akesahu, Fola Rum dan Fola Bagus, yang dilakukan oleh pejabat kesultanan sebagai pengganti sultan (Bobato Syariat). Hasil Wawancara (Bapak Yunus Hatari 2011) 4.2 Peralihan Pemerintahan Paska Sultan Saifuddin 4.2.1 Secara Kronologis Pemerintahan Sultan Saifuddin Selama pemerintahan Sultan Saifuddin yang berkisar 32 tahun, tidak pernah terdengar berita bahwa Sultan Saifuddin pernah menghunus pedang atau mengarahkan tentara untuk menyelesaikan suatu masalah. Sesuai dengan wataknya, karena saifuddin merupakan seorang pasifis, serta ide-ide yang kadang sukar diimplementasikan. Pada saat itu Tidore dapat merehabilitasikan dirinya sebagai kerajaan yang terpenting disamping kerajaan Ternate. Munculnya sebuah gagasan dari Sultan Saifuddin tentang restorasi empat pilar Maluku, disitu terdapat satu gagasa yang sangat kuat dan dapat
60
diperjuangkannya secara konsisten adalah membangun kembali Maluku yang bertopang diatas empat pilar; Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Dari gagasan Sultan Saifuddin itulah yang dapat mengilhami Sultan Nuku diakhir abad keXVIII dan untuk mengimplementasikannya Nuku dapat mendirikan kembali Kerajaan Jailolo. Di sisilain terjadi negosiasi yang dilakukan oleh Sultan Saifuddin terhadap Laksamana Spelman beliau adalah salah seorang petinggi VOC di Batavia dalam negosiasi itu terdapat pemasukan masalah kepulauan Raja Empat dan Papua daratan sebagai salah satu agenda perundingan, disamping masalah monopoli cengkeh yang telah lama dituntut oleh VOC. M. Adnan Amal (2007:177) Dalam perundingan itu, Saifuddin berhasil menukar hak monopoli atas cengkeh dengan pengakuan VOC terhadap hak-hak Kerajaan Tidore atas kepulauan Raja Empat dan Papua daratan. Kandungan pokok perjanjian yang disepakati pada tanggal 28 Maret 1667, setelah berunnding selama dua hari, adalah sebagai berikut: a. Kompeni VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas kepulauan Raja Empat dan Papua daratan. b. Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya terhadap kompeni. Disaat Saifuddin membuat perjanjian untuk memberikan hak monopoli pedagang rempah-rempah terhadap VOC, terjadi reaksi keras yang datang dari kalangan ulama dan para sangaji di Daerah-daerah, padahal pemberian hak monopoli oleh Saifuddin 150 lebih belakangan dibandingkan dengan Ternate. Untuk pemberian hak monopoli ini, Tidore memperoleh 2.400 ringgit tiap tahun
61
sebagai imbalannya. Begitupun didalam kalangan rakyat dan orang-orang yang tantang monopoli, beredar rumor bahwa Saifuddin telah mendatangani pembrian hak monopoli perdagangan rempah-rempah dengan Gubernur Belanda untuk Maluku Simon Cos, juga telah menggadaikan Kerajaan Tidore kepada VOC. Saifuddin membantah rumor tersebut dan beliau menjelaskan bahwa tujuan yang ingin diraih adalah untuk memperbesar peranan Tidore dalam pecaturan regional. Karena Saifuddin tahu bahwa setelah wafatnya Sultan Babullah, maka semakin merosot dan kekuatan Kerajaan Ternate hanya bergantung pada dukungan dan kesediaan Negara Asing untuk menolongnya. Oleh sebab itu pendapatan kopensasi yang diterima dari VOC untuk pemberian hak monopoli perdagangan cengkeh, hanya dipakai sedikit untuk menunjang kehidupan
sederhananya,
dan
bagian
terbesarnya
dapat
dipakai
untuk
kemakmuran Kaulanya. Dan beliau dapat bergaul dengan siapapun saja, bahkan pintu istananya terbuka lebar bagi rakyatnya dan apa bila seorang rakyat mengadukan perlakuan bobato terhadapnya ia segera menyelesaikannya. Pada pemerintahan Sultan Saifuddin sangat bijaksana dan begitu cerdas dalam menjalankan roda pemerintahan dimana beliau mengadakan perundingan untuk memasukan Raja Empat dan papua dalam hak Kerajan Tidore begitupun menggantikan hak monopoli cengkeh sehingga kopensasi yang diterima dapat mensejatrakan kaula atau bawahannya untuk melakuan pengurusan dalam pemerintahan, dan beliau dapat meluncutkan gagasan tentang empat pilar Maluku sehingga gagasantu dapat diperjuangkan oleh Nuku setelah dinobatkan dirinya menjadi sultan Tidore.
62
4.2.2 Pengisihan Kekuasaan Oleh Sultan Jamaludin Sepeninggalan sultan saifuddin, gubernur Belanda di Ternate dan sultan Tidore pun silih berganti naik tahta. Sewaktu pemerintahanya sultan malikul manan syah, Belanda menuduh rakyat Tidore yang membajak dan merampok kapal-kapal Beland. Karena ada pengeluaran perintah secara rahasi kepada seluruh rakyat Tidore berkewajiban dengan cara apapun harus mengenyahkan Belanda dari wilayah maluku. Dalam pasal 2 kontrak 23 Januari 1733, Sultan Malikul Manan Syah berjanji akan menyuruh hentikan dan mencegah rakyatnya membajak dan mencekal kapal-kapal kompeni. Pasal 3 memuat tarif pengganti kerugian perang atau denda yang harus dibayar oleh sultan kepada Belanda terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi lagi, jika satu perhu kapal atau kora-kora Papua atau dari rakyat Tidore lainnya nampak diseram kompeni, daerah-daerah Maluku, Ambon dan Banda yang dibawah kuasa pemerintahan kompeni tanpa surat pas Gubernur, harus dibayar kepada kompeni oleh sultan Tidore dua orang budak berlian tanpa cacat, sehat dan tegap yang berharga 40 ringgit seorang. Untuk menjalankan ekstripasi dan mencegah bajak laut sekurang-kurangnya sultan Tidore menyerahkan sebuah hongi (eskade perahu perang) kepada Belanda. Sultan Tidore tegas menolak permintaan kompeni dan pasall 3 ini, bahkan sri sultan mengirimkan kurir-kurir seluruh wilayah kekuasaannya untuk mencegah ekstripasi Belanda. Maswin M. Rahman (2006:46) Ketika Sultan Jamaluddin mengganti Sultan Malikul Manan Syah maka Belanda kembali menunding bahwa rakyat Tidore melanggar perjanjian yang
63
ditanda tangani oleh Sultan Malikul Manan Syah. Belanda menuntut ganti rugi sebesar 50.000 ringgit. Jamaludin menolak tuntutan Belanda, namun tidak kehilangan akal Belanda diberikan bukti-bikti pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat Tidore. Sultan Jamaluddin tahu persis bahwa bukti yang disodorkan oleh Belanda itu benar. Karena beliau dengan Sultan-sultan Tidore sebelumnya eksis mengeluarkan instruksi rahasia bahwa Belanda adalah penjajah yang harus dienyahkan dari wilayah kekuasaan Tidore, dari Maluku sampai Papua. Jamaludin akhirnya mengirimkan delegasi Tidore ke Ternate untuk merundingkan protokol persetujuan dengan Belanda. Dalam delegasi itu turut serta anaknya Nuku. Dalam perundingan belanda menyodorkan tawaran lain, uang sebesar 50.000 ringgit tiak perlu diganti, asalkan sultan Tidore menyerahkan wilayahnya Seram Timur kepada Kompeni. Tawaran tersebut disanggupi oleh Sultan Jamaluddin tetapi ditantang oleh putranya Nuku. Nuku berpendapat bahwa Seram Timur hanya diserahkan berupa gadaian dalam batas waktu beberapa tahun. Protes opsi Nuku tidak menuai hasil apa-apa. Maswin M. Rahman (2006:47) Merasa gagal, Nuku yang pada waktu itu berkedudukan panglima perang mengadakan organisasi rahasia “pergerakan dibawah tanah” untuk menyabot monopoli dan ekstripasi Belanda. Usaha mereka membuahkan hasil, beberapa ektripasai Kompeni mengalami kegagalan. Belanda menaruh curiganya kepada Sri Sultan dan Putra-putranya. Jamaluddin ditangkap dan diasingkan ke Batavia dan meninggalnya disana.
64
4.2.3 Pengambilalihan Kekuasaan Oleh Sultan Nuku Ketika sepeninggalanya Sultan Jamaludin, Belanda memahami benar tentang wataknya Nuku, sehingga mereka mempersiapkan Patra Alam putra Gaijira sebagai pengganti mahkota Kesultanan Tidore. Patra Alam dinina bobokan dengan fasilitas kompeni, momentum yang tepat disaat Gaijira wafat dalam bulan April 1780 Gubernur Belanda Cornabe mengangkat Patra Alam sebagai Sultan Tidore. Menjelang tiga bulan kemudian Patra Alam dibantu oleh kompeni Belanda menyerbu dan membakar hanguskan kediaman Nuku, harta bendanya dirampas, sehingga Nuku bersama istri dan anaknya Abdul Gafar, yang ditemani oleh Tulamo Ismail (Sekretaris Kesultanan), Hairum Gimalaha Toloa, Kaicili letnan Walaudin lolos dengan sebuah kora-kora menuju Patani. Sehingga Patra Alam tampil sebagai Sultan bonekanya kompeni, praktis seluruh wilayahnya Kesultanan Tidore untuk sememtara berada dalam cengkraman kompeni. Maswin M. Rahman (2006:48) Setelah Nuku melarikan diri dari Tidore ke Patani, disana beliau dapat menghimpun kekuatan diberbagai macam Daerah, baik di Paua, Halmahera, Gebe, Seram, dan lain sebagainya, untuk melakukan penyerangan ke Kerajaan Tidore untuk mengambil alih kekuasaan tersebut. Ketika pada tanggal 12 April 1797, mrupakan sebuah hari yang paling bersejarah bagi masyarakat Tidore, disaat itu seluruh armada Nuku mengepung Tidore dari berbagai penjuru. Sepasukan korakora berpatroli di Ternate agar tidak mengirimkan bantuan ke Tidore. Diatas anjungan kapal Rosource Nuku mengepalai langsung pendudukan atas Tidore. Beliau mengutuskan Abdul Jalal menghadap dan meminta Patra Alam untuk
65
menyerahkan mahakota kepada Nuku, ternyata Patra Alam menolak dan mnyerukan perlawanan bersenjata menghadapi Nuku. Seruan Patra Alam tersbut ditanggapi dingin oleh rakyat Tidore bahkan seluruh kampung melalui Sangaji, Gimalaha, Fomanyira, dan Mahimo menyatakan kesetiaannya dan mendukun Nuku sebagai Sultan Tidore. Melihat kondisi yang tidak trkendali ini membuat Patra Alam dan beberapa pengikut setianya melarikan diri dari Tidore untuk memohon perlindungan kepada Belanda di Ternate. Di Tidore Nuku disambut dengan baik oleh masyarakat serta pengikutpengikutnya dan sekalian Bobato-bobato, tidak ada perlawanan apapun. Perebutan dan pendudukan kembali Tidore telah berlangsung dengan cara “Revolusi Tanpa Pertumpahan Darah” sehingga Nuku dinobatkan sebagai Sultan atas seluruh Kesultanan Tidore dengan segala upacara oleh sekalian Bobato, Sangaji-Sangaji, Gimalaha-Gimalaha, Fomanyira-Fomanyira, Kapita-Kapita Perang, Kadhi, Imam, dan Khatib-Khatib dengan gelarnya Sri Paduka Maha Tuan Sultan Said,ul Jehad Muhammad EL Mabus Amirudin Syah Kaicili Paparangan Jou Barakati. Maswin M. Rahman (2006:62) Selama sepekan Nuku bekerja siang malam untuk menyusun Pemerintahan dan mengatur roda ekonomi. Semuanya itu dapat ditata, diatur sebagaimana sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Ditetapkannya pemberian otonomi khusus arah Todore (Fara Se Filang). Selama pemerintahan Nuku dari tahun 1797-1805 Tidore, Papua, Seram serta Wilayah-wilayah dibawah daulat Sultan Tidore menghirup udara Kemerdekaan.
66
M. Adnan Amal (2007:186) Disaat penghujung abad ke 18 dan permulaan abad ke 19 adalah era keemasan Tidore dibawah Sultan Nuku, ada empat konsep politik yang ingin diwujudkan Nuku: a.
mempersatukan seluruh wilayah Kesultanan Tidore sebagai suatu kebulatan yang utuh.
b.
Memulihkan kembali empat pilar kekuasaan kerajaan Maluku.
c.
Mengupayakan sebuah persekutuan antara keempat kerajaan Maluku.
d.
Mengenyahkan kekuasaan dan penjajahan asing dari Maluku.
4.3 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Tidore Setelah Belanda berhasil mengusir portugis dari Maluku pada 1605, dan Indonesia umumnya, maka sejak itu berbondong-bondong kapal Belanda ke Indonesia. Akibatnya persaingan diantara mereka tidak dapat terelakan. Untuk menghindari persaingan tersebut, maka pada tahun 1602, didirikan Perserikatan Perusahan Hindia Timur atau Vereenigde Oost Indische Companie (VOC). VOC juga berusaha memaksa Monopoli perdangangan rempah-rempah sebagai tujuan utamanya, langkah awal yang dilaksanakan adalah upaya untuk mengusai salah satu kota pelabuhan penting yang dijadikan pusat VOC. Maka pada tahun 1619 Jakarta kemudian menjadi pusat VOC dulu dikenal dengan nama Batavia. Setelah memiliki sebuah kota sebagai pusatnya maka kedudukan VOC semakin kuat. Usaha untuk menguasai kerajaan-kerajaan dan kota-kota pelabuhan penting lainya semakin ditingkatkan. Cara yang digunakan adalah dengan melakukan politik Devide Et Impera.
67
Dari segi ekonomi, VOC sama sekali tidak mengubah tatanan agraria di Nusantara kecuali di Maluku. Di Wilayah tersebut intervensi VOC mengakibatkan daerah produksi cengkeh yang sebelumnya berlokasi di Maluku Utara Ternate, Tidore, Makian, dan Moti dialihkan ke kepulauan Ambon. Sebab tindakan VOC bersifat dua-listik. Kalau di Utara ditegakkan larangan menanam dan menjual rempah-rempah (extierpati stelsel), di kepulauan Ambon justru penduduk diwajibkan menanam cengkeh untuk dijual kepada VOC (cultur stelsel). Di kepulauan Banda terjadi sedikit pula dengan mengalihkan pengelolaan kebunkebun pala milik penduduk orang Eropa (perkeniers). Untuk pemeliharaan, pemetikan dan penyerahan kepada loji-loji VOC dijalankan dengan ketat oleh VOC, baik di Ambon maupun di Banda.(leirissa, 1996 :51). Dalam usaha melaksanakan monopoli, VOC menetapkan beberapa peraturan sebagai berikut: e. Rakyat Maluku dilarang menjual rempah-rempah selain kepada VOC] f. Jumlah tanaman rempah-rempah ditentukan VOC g. Tempat menanam rempah-rempah ditentukan VOC. Martono, (dalam Bunyamin, 2005 :19). Menyangkut dengan seistem perdagangan yang dilakuan, Apakah mengunakan sistem Kapitalis atukah ada sistem perdagangan lain yang berada pada penduduk lokal ? Untuk menjawab pertannya tersebet, pada pihak VOC, hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Erpao. Kota-kota dangang dan jalur-jalur palayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atau komoditi itu (rempah-rempah). Selain itu VOC tidak
68
memikirkan untuk membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk, kecuali bahan-bahan pakaian (tekstil) yang produksinya di India dikasasinya juga. Maka ditengah celah yang disediakan sisitem VOC itu muncullah pola perdagangan lain yang samasekali berada dalam tangan penduduk lokal. Seperti penjelasan tersebut maka satu hal adalah jelas, yaitu pola perdagangan ini tidak bersifat kapitalis dalam arti mengejar keuntungan dan kekayaan untuk investasi dan perluasan usaha. Sistem nilai yang berada dibalik kegiatan ini lain samasekali dan mengacu pada sistem budaya setempat. Sistem pertanian, industri dan sosial di Maluku ( Tidore, Ternate) di dasari pada pemahaman bahwa tanah (lahan) dan pengusahaan lahan, termasuk juga laut dan ikan di dalamnya, adalah milik masyarakat sebuah pedesaan tertentu secara bersama, artinya setiap penduduk Desa memiliki hak mengusahakan sebidang lahan untuk kebunya, dan mencarai ikan dilaut mana saja. Para penguasa tradisional biasanya menghendaki pelayanan masyarakat untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam untuk kebutuhan bersama. Pemberian pelayaan seperti itu bukan saja meliputi panen cengkeh, tetapi juga mengumpulkan hasil-hasil hutan lainnya, seperti rotan dan bambu serta segala bahan lain yang dibutuhkan untuk memilihara pasar, istana dan mesjid. (Des Alwi, 2005 :305). Masyarakat Tidore pada saat itu dibawah penjajahan, namum dengan kemampuan dan kekuatan seorang keturunan sultan mempertahannkan kedaulatan masyarakat Tidore dari pihak penjajah. Pada tahun 1790, Nuku telah menang dalam menghadapi pihak Kompeni Belanda pada suatau peperangan. Dan mampu
69
menghentikan politik ekstirpasi (penebangan, pemusnahan atas cengkeh-cengkeh) di Tidore. (E. Katoppo: 1984). Dari perjuangan Nuku selama 25 tahun untuk mengangkat derajat masyarakat Tidore dari tangan penjajah dengan menunjukan sikap yang tidak mau kompromi dengan pihak penjaja Belanda. Hal ini sebagaimana terlihat dalam suatu perjanjian Cranssen – Zainal Abidin orang kepercayaan Nuku, persetujuanpersetujuan yang telah dicapai sebagian besar mengenai perdagangan. Maka perniagaan yang sebelumnya sudah hampir membeku, menjadi ramai pulah, kemakmuran rakyat bertambah maju. Kecakapan diplomasi Zainal Abidin sungguh dapat pujian, terlihat pada fasal-fasal finek, dapat dicapainya hasil yang memuaskan, sesudah tawarmenawar dengan Cranssen harga pala yang dibeli oleh kompeni dari Tidore. Ditetapkan 40 ringgit sepikul, sebelumnya 20 ringgit. Jadi harga di naikkan 100 %. Nilai mata uang masa itu dapat ditaksir 100 kali lipat nilai uang sekarang. Persetujuan yang dilakukan itu lebih mirip pada suatu persetujuan dagang antara dua Negara yang merdeka dan berdaulat, sedang suatu perjanjian perdamaian dan persahabatan “seperti yang dimaksudkan oleh komperni belum juga dibuat). Jadi yang paling untung dalam hubungan baru ini, ialah Tidore, yang menggunakan kesempatan sebik-biknya untuk memperbaiki ekonominya dan keuangannya. (E. Katoppo :1984). Cita-cita yang luhur yakni memajukan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di Maluku, yang hendak dicapainya saking memerdekakan rakyat dari pemerasan dan tindasan kepada-kepala; yakni meluaskan penduduk melakukan
70
perdagangan dan pelayaran dengan bebas; memberi petunjuk kepada kepalakepala negeri (negorijhofden) supaya rakyat memajukan pertanian dan peternakan; mengadakan statestik tentang pendataan (sebenarnya kejarangan) penduduk dari hal kemakmuran rakyat dan mata pencahariannya, yaitu pertanian, peternakan, perikanan dan lain-lain. Sangat menyedihkan bagi Goldbach bila dibandingkan keadaan wilayah Nuku dengan wilayah kesultanan Ternate yang ada tetap dibawah pengawasan langsung kompeni Belanda. Dikeluhkan bahwa disana (Tidore) kampungkampung yang makmur dan aman, pemerintahan yang disegani dan dipatuhi, disini (Ternate) kampung yang rumah-rumahnya bobrok, penghuni yang jarang dan melarat, hampir-hampir tak berpakaian apa-apa, pemerintahan yang dibenci dan ditakuti rakyat, mengeluh Goldbach pada suatu saat, “dat hij nu bijna vernderstellen
moet
het
bestier
aan
de
Ternataanze
zeide
voor
de
ongereegeldheeden...” (didapatkan kesan seolah-olah ia memerintah atas suatu wilayah yang hanya didiami oleh orang-orang perampok dan pembunuh, yang menandakan pangreh praja Ternate terlampau amat buruknya, sebab yang bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan itu tidak lain dari pada kepalakepala rakyat sendiri). (E. Katoppo, 1984 :196). Sejak tercapinya persetujuan Cranssen–Zainal Aidin besar manfatnya bagi kedua belah pihak, maka ramailah orang Tidore berdagang, dapat dikatakan barang niaga Tidore tumpah ruah di Ternate. Lain dari pada bahan ekspor pala dan fuli, kulit-kulit mosi, dan lain-lain. Juga keperluan hidup sehari-hari : sagu, ubi, ikan segar, ikan asing, ikan fufu, penyu, ayam, telur, kelapa, minyak kelapa,
71
madu dan gula aren, damari, papan, bambu, atap rumbia, gaba-gaba, periuk belanga dari Mare, pisau dan parang dari Pulau Tidore dan lain-lain sebaginya. Dibelinya di Ternate beras, tekstil perhiasan dan lain-lain. Dengan tegas dan keras menentang pengumutan cukai atas beras yang di beli orang Tidore dari pachter Tionghoa itu, dan kenaikan cukai atas ikan yang dijual orang Tidore yaitu dari 4 % menjadi 6 % sedang bea pelabuhan untuk perahu-perahu kecil dari 10 sen dinaikan 15 sen perperahu. Dituntutnya perlakuan yang adil terhadap rakyatnya, penghapusan cukai atas beras yang penjualannya harus bebas dari bea dan cukai, penurunan bea dan cukai yang telah dinaikan dengan sewenang-wenang oleh Pachter dan pegawai kompeni dan larangan bagi pachter-pachter dan pegawai-pegawai pabean dan pasar untuk menuntut peran dari pedagang-pedagang Tidore. Sehingga Nuku memberitahukan kepada rakyat Tidore, jika mereka diperlakukan lagi kurang adil di Ternate dengan segera mengadukannya langsung kepada wakil Gubernur sendiri, yang akan menghukum berat pelanggaranpelanggaran peraturan itu. Agar dapat diketahuinya, apakah sesuatu dilanggar atau tidak Wieling menyertakan daftar bea dan cukai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
72
Tabel 4.3 Daftar Bea Dan Cukai. Barang-barang yang dimasukkan dan dijual di Ternate 1 - Budak belian
Bea dan cukai yang dipungut 2 0%
-
Kambing, rusa, ayam, itik, dll binatang hidup
2%
-
Dendenga, daging fufu, ikan fufu, asin
6%
-
Ikan segar
4%
-
Atap, gabagaba, bambu, kelapa, minyak, gula
-
1 Kain-kain tenunan, dan hiasan
2 15 %
-
Tenunan dan anyaman dan lain-lain barang
6%
-
Beras yang dibeli untuk dikeluarkan ke tidore
-
Tekstil
5 ringgit/kapala
0 % (bebas) 6%
(E. Katoppo, 1984 :210) Dari data yang terdapat pada tabel tersebut diatas, menunjukan bahwa bea dan cukai yang dipungut dari barang-barang yang dijual di Ternate, kain-kain tenunan dan hiasan merupakan barang yang mendapat biaya bea dan cukai tertinggi yakni 15 %, sedangkan biaya bea dan cukai terendah yakni; kambing, rusa, ayam, itik, ikan fufu dan beras yang dibeli untuk dikeluarkan ke Tidore yakni 0 % (bebas). Sudah 25 tahun Nuku berjuang untuk melaksanakan cita-citanya, yaitu kemerdekan Maluku, bebas dari kompeni Belanda, bebas dari sesuatu kuasa asing; untuk mencapai maksud itu, maka usaha melaksanakan program kerjanya, yaitu : -
Mempersatukan dan membulatkan kerajaan Tidore,
-
Memulihkan empat kesultanan Maluku,
-
Persatuan empat kesultanan Maluku itu, untuk menentang.
73
-
Mengeluarkan penguasa asing, menghapuskan penjajahan asing di Maluku. Dari
empat
pasal
program
kerjannya,
maka
pasal
satu
yaitu
mempersatukan kembali dan memerdekakan seluruh kerajaan Tidore, dalam tahun 1805 dapat dikatakan sudah tercapai. Dengan menjalannkan politik kedalam dan keluar , maka kerajaan Tidore utuh dan kuat politik dan ekonomi. Secara politik; sejak berdirinya kerajaan Tidore kira-kira 500 tahun lalu, dalam tahun 1805 itu kesultanan Tidore mempunyai daerah wilayahnya yang terluas, kerajaan Jamaludin; Terdiri dari Pulau Tidore, Maitara, Mare dan bagian terbesar yaitu bagian tengah Halmahera, Gebe, wilayah Kolano Fat atau Raja Ampat, yaitu Waigeo, Salawati, dan Misol dengan ratusan pulau-pulau kecil taklukannya, dan Papua Besar atau Irian Barat. Atas kekuatan hak rampasan perang, dan atas kemauan rakyat, maka wilaya Kerajaan Jamaluddin telah diperbesar Nuku dengan seluruh seram Timur, pulau-pulau Keffing, Geser, Seram Laut, pulau-pulau Gorong, pulau-pulau Watubela dan Tior. Secara Ekonomi; bertambah maju sejak Nuku bertahta kerajaan Tidore tidak tertekan oleh ekstirpasi dan monopoli kompeni. Hasil bumi dan laut untuk ekspor dapat di jual denga harga yang lumayan kepada pedagang-pedangang asing; cengkeh, pala, fuli, kulit mosi, mutiara, karet (kulit penyu), ambar (amber-degriz), kulit burung cendrawasi, ikan kering, kulit rusa dan tanduk rusa dan lain-lain mendapat pasaran yang lumayan. Hal ini sebagai mana menurut informasi, wawancara (M. Amin Faruok 05 November 2011). Menuturkan bahwa pada masa kesultanan Nuku masyarakat Tidore telah hidup makmur, indikator kemakmuran yang dimaksudnya adalah
74
terlihat dari perumahan dan menolak kerja sama dengan pihak penjajah ketika merugikan masyarakat. Terkait masalah kemakmuran dan menolak untuk bekerja sama dengan pihak penjajah Nuku sering berpesan kepada masyarakat bahwa “Bolito se noeli lada kie segam duka se balisa”(jika engkau bertuan kepada Belanda negeri ini akan bermuara durja). (Wawancara Muhammad Abdullah 28 Oktober 2011.) Dalam hal pembagian spesialisasi kerja dan spesialisasi produksi, di tiaptiap wilayah sudah tertata dengan baik pada masa itu. Karena setiap wilayah sudah memiliki tugasnya masing-masing, misalnya Kampung Gurabati mengusahakan sagu, kampung Tomalou Nelayan khusus menangkap ikan tongkol, kampng Toloa pandai besi, kampung Mareku nelayan khusus menangkap ikan julung, kampung Dowora sampai ke bagian barat Tidore membuat industri rumah dan tebikar. Hasil-hasil tersebut dijualnya di pasar. Pasar-pasar pada waktu itu terdiri dari; Pasar Selasa di Mareku, pasar Garolaha di Gamtufkange, pasar Rabo di Toloa, pasar Ahad di Rum (Wawancara Mahmud Muhammad 11 November 2011).
Untuk lebih jelasnya dapat melihat spesialisasi kerja dan spesialisasi produksi pada daftar tabel berikut ini:
75
Tabel : 4.3 Spesialisasi Kerja Dan Spesialisasi Produksi Di Wilayah Tidore NAMA KAMPUNG MAREKU
SPESIALISASI KERJA
KETERANGANG
PEMBUATAN IKAN KERING/ IKANA ASIN
TOLOA TOMALOU
PANDE BESI •
PENANGKAPAN IKAN BESAR
KURANG 1 LOKASI JENIS CAKALANG
PEMBUATAN KAPAL TUGUWIHA MARE
GOTO
PENGHASILAN SAGU
DI BAGIAN HALMAHERA
•
PEMBUATAN TEMBIKAR
MASIH ADA
•
PEMBUATAN GARAM
TIDAK ADA
PEMBUATAN BATA DAN PEMBUATAN
SUDAH SEDIKIT BERKURANG
GILINGAN JAGUNG GURABATI
PENGUMPULAN BAHAN SEKALIGUS PEMBUATAN ATAP RUMAH DAN
-
PEMBUATAN SAGU TOPO, KALAODI, DOWORA
PENGHASILAN DAN PEMBUATAN ANYAMAN BAMBU, PERALATANNYA DARI
MASIH ADA
BAMBU KALAODI
•
PENYUPLAI KAYU BAKAR BAGI
-
ISTANA •
PERKEBUNAN CENGKEH DAN PALA
TOPO
PERKEBUNAN CENGKEH DAN PALA
WILAYAH PERKEBUNAN CENGKEH DAN PALA WILAYAH PERKEBUNAN CENGKEH DAN PALA
KALOA
PERKEBUNAN CENGKEH DAN PALA
WILAYAH PERKEBUNAN CENGKEH DAN PALA
GURABUNGA
WILAYAH KAMPUNG ADAT
WILAYAH PERKEBUNAN
KADATON TIDORE
CENGKEH DAN PALA
PERKEBUNAN CENGKEH DAN PALA
Laporan Penelitian Arkeolog 23 september - 7 Oktober 2010 Dinas Pariwisata Maka Tidore dibawah perjuangan sultan Nuku, khususnya dari segi perekonomian telah mengalami pertumbuhan, karena dilihat dari cita-cita
76
perjuangan yaitu untuk memakmurkan masyarakat Tidore serta mempertahannkan kedaulatan masyarakat dari pihak penjajah. Dari uraian tersebut diatas, penulis dapat simpulkan bahwa kondisi perekonomian masyarakat Tidore pada abad ke XVIII mengalami perkembangan yang cukup menjanjikan. Hal ini terbukti dengan terjadinya kenaikan harga pala dari 20 ringgit perpikul menjadi 40 ringgit perpikul. Atas berkat perjuangan (negosiasi) Zainal Abidin dengan pihak Belada. Hal lain yang membuktikan bahwa masyarakat Tidore pada abad ke XVIII ekonomi mengalami perkembangan yakni dari segi tempat-tempat tinggal (perumahan) pada umumnya rekyat Tidore sudah memiliki tempat tinggal yang layak jika dibandingkan dengan rakyat Ternate, Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan Gubernur Belanda Goldbach bahwa Tidore kampung-kampung yang makmur dan aman, pemerintahan yang disegani dan dipatuhi, sedangkan Ternatae kampung yang rumah-rumahnya bobrok penghuni yang jarang dan melarat, hampir-hampir tak berpakaian apa-apa, pemerintahan yang dibenci dan ditakuti rakyat. 4.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kehidupan Sosial Ekonomi
Masyarakat Tidore Masa Pemerintahannya Sultan Nuku Pada Abad Ke XVIII Proses kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tidore pada masa pemerintahan Sultan Nuku dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; pendidikan, faktor ekonomi dan non-ekonomi, kehidupan ekonomi tergantung pada sumber alam, sumber daya manusia, modal usaha, teknologi, dan
77
sebagainya. Semua itu meruapakan faktor ekonomi. Tetapi kehidupan ekonomi tidak mungkin terjadi selama lembaga sosial, kondisi politik, dan nilai-nilai moral jadi yang dapat menunjang kehidupan ekonomi adalah bakat, kemapuan, kualitas kapasitas dan kecakapan, sikap, adat-istiadat, nilai, tujuan dan motivasi, serta struktur politik dan kelembagaan. Oleh karena itu kehidupan ekonomi ini satu kesatuan untuk mengukur kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tidore pada masa pemerintahan Sultan Nuku abad ke XVIII 4.4.1 Faktor Pendidikan Perlu diketahui bahwa Pendidikan merupakan salah satu prioritas pembangunan sebagai upaya untuk meningkatkan kwalitas sumber daya manusia. Dilaksanakan dengan sadar dan penuh tanggung jawab dalam meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, sikap serta nilai-nilai yang bersifat normatif sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, juga dapat meningkatkan kesempatan berfikir baik secara teoritis maupun praktis untuk melanjutkan hidup dan kehidupan dalam lingkungan yang selalu berubah dan menuntut adanya perubahan pendidikan yang berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan sedini mungkin, merupakan tanggung jawab bersama baik keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Oleh karena itu peran aktif masyarakat dalam semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan perlu didorong dan ditingkatkan. Pada permulan abad ke XVIII kebijakan kolonial Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Politik kolonial Belanda di Indonesia pada permulaan abad ini mulai memperlihatkan pemberian perlindungan pada hak dan kepentingan penduduk pribumi. Hal itu dirasakan
78
sebagai kewajiban moral dan hutang budi pemerinta kolonial Belanda terhadap penduduk jajahannya. Politik yang dilakukan oleh kolonial Belanda itu disebut sebagai politik etis dengan tiga program pokok yaitu: Irigasi, Edukasi, dan Imigrasi. Pada priode ini mendapatkan perhatian besar dari kolonial Belanda dalam sektor pendidikan. Jika dicermati tujuan pendidikan selama priode kolonial Belanda tidak dinyatakan secara tegas. Tujuan pendidikan dimasa kolonial itu antara lain: untuk memenuhi keperluan tenaga buru guna kepentingan kaum modal Belanda, penduduk setempat dididik untuk menjadi buru-buru tingkat rendah (buruh kasar) ataupun untuk memperoleh tenaga murah, dan ada pula sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknis, tenaga pertanian, dan lainnya yang diangkat sebagai pekerja-pekerja sejak masa VOC. Sistem pendidikan itulah yang bersifat diskriminatif dalam pengertian, ada pembatasan dalam penerimaan murid dan perbedaan klas menurut kedudukan dan agama penduduk. pemerintah kolonial Belanda memberi batasan hanya penduduk yang beragama kristen yang diperbolehkan masuk sekolah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Djoko Suryo (dalam Syahril Muhammad 2004:130) “ penyelenggaraan pendidikan kolonial berorientasi prinsip-prinsip garis warna, diskriminatif segregasi dan non akulatif ”. prinsip-prinsip ini direalisasikan dengan penyelenggaran pendidikan yang dibedakan menurut jenis dan tingkat berdasarkan pembagian golongan masyarakat kolonial, yaitu Golongan Eropa, Timur Asing (Cina), dan Golongan Pribumi.
79
Dalam penyelenggaraan pendidikan, dibedakan menurut kedudukan sosial yaitu untuk kaum elite dan untuk rakyat kebanyakan. Pemisahan menurut golongan ras dan kedudukan sosial itu dipertegas dalam diferensiasi dalam hal penggunaan bahasa pengantar, yakni bahasa Belanda untuk orang eropa dan golongan elite, serta bahasa melayu atau daerah bagi pendidikan golongan rakyat kebanyakan. Perlu diketahui bahwa di Maluku Utara hanya terdapat 24 sekolah desa dan sekolah sambungan (sampai kelas 5), yang berlokasi di Ternate, Tidore, Sanana, Ngofakiyaha, dan Labuha. Disamping itu ada beberapa Sekolah dan Madrasa yang didirikan pihak swasta, seperti Taman Siswa, Al-Islamiah School dan BABPMAN di Ternate, Wustha Mualimin Muhammadiyah di Galela dan Tobelo, kemudian Kao, masing-masing sebuah Madrasa di Tidore, Weda, dan Sanana. Begitupun pihak gereja mendirikan sejumlah sekolah desa kelas 3 diberbagai daerah Halmahera Utara dan Selatan, yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang didirikan pemerintah. (Syahril Muhammad 2004:130 )
Tabel 4.4 Sekolah Rakyat Di Maluku Utara
80
TEMPAT
JUMLAH SEKOLAH
TERNATE
20
TIDORE
8
BACAN
4
JAILOLO
14
TOBELO
2
WEDA
4
OBI
2 JUMLAH
54
Oleh karena itu, Tidore merupakan kepulauan yang telah berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan baik peningkatan tenaga pengajar maupun sarana penunjang seperti gedung-gedung sekolah maupun penambahan tenaga pengajar. Upaya ini dilakukan agar dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak-anak usia sekolah sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan mulai dari SD sampai ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. 4.4.2 Faktor Politik Penyerangan atas kerajaan wilayah Tidore oleh Kolonial Belanda agar Sultan Tidore tunduk pada pemerintahan Kolonial Belanda. Salah satu diantara para Raja dan Sultan di Maluku adalah Sultan Tidore yang tidak tunduk pada pemerintahan Kolonial Belanda dan tidak dapat dipaksa menjalankan ekstripasi, karena Tidore pada waktu itu adalah sekutu Sepanyol, sebagai sekutu Spanyol, wilayah kerajaan Tidore tidak termasuk dalam berbagai perjanjian dengan Kolonial Belanda karena dijamin oleh perjanjian munser antara Spayol dengan Belanda pada tahun 1648. Berdasarkan uti prossidentis, masing-masing pihak (Belanda dan Spanyol) berjanji tidak saling menyerang, tidak menyinggung jajahan atau milik pihak lain
81
dan tidak menaklukan Raja-Raja dann bangsa-bangsa yang berada dibawah kekuasaan lain, Katopo (1984:32) walaupun demikian pihak pemerintahan Kolonia Belanda terus berupaya agar wilayah kerajaan Tidore, daerah penghasil Cengkeh terbesar di Maluku, juga dapat dimasukan dalam suatu lingkaran monopoli untuk seluruh kepulauan rempah-rempah untuk itu diupayakan pengaturan
langka-langka strategi menguasai kerajaan Tidore, tanpa
menyinggung kedaulatan Spanyol dan tanpa melanggar perjanjian munser. Para ahli hukum Internasional di Negara Belanda
secara serius
memikirkan hal ini untuk mempelajari pasal demi pasal dan memberikan penafsiran atas isi perjanjian munser itu, suatu kata kunci yang mereka temukan dalam perjanjian munser itu adalah Tidore hanya menjadi sekutu Spanyol bukan jajahan Spanyol. Dalam perjanjian munser tidak mengatur tentang sekutu Spanyol tetapi hanya jajahan dan bangsa-bangsa dibawah kekuasaan Spanyol. Menurut para ahli hukum Internasional itu bahwa Tidore tidak termasuk dalam daerahdaerah yang ada dibawah kekuasaan Raja Spanyol. Katopo (Bunyamin Marasabessy 2003:52) Spanyol bukanlah daulat sultan Tidore maka sangat wajar Tidore dimasukan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Ternate yang ada dalam kedaulatan Belanda, dan jalan satusatunya untuk menguasaai ialah menyampaikan maklumak perang. Fatwa ini disampaikan Belanda kepada Gubernur Spanyol D.Esteber yang berkedudukan di Gamalamo Ternate. Dalam perundingan itu dijelaskan bahwa Belanda tidak mengganggu milik warga Negara Spanyol. Belanda tidak akan menyerang benteng-benteng dan kantor-kantor dagang Spanyol di Tidore, melainkan hanya
82
dihalmahera dan Papua, diluar pulau Tidore. Bilamana Spanyol turut campur dalam persengketaan antara Belanda dan Tidore, maka orang spanyol
akan
diperlakukan oleh tentara Belanda sebagai orang-orang Tidore. Gubernur Spanyol D.Esteber nampaknya tidak mengetahui secara pasti sejarah bangsanya sendiri. Ia lupa bahwa lebih dari seabad yang lalu seorang pelaut Spanyol Ortis De Retes setelah mempermaklumatkan kedaulatan raja Spanyol atas Nueva Gunea atas tanah Papua termasuk didalamnya wilayahwilayah yang berada dibawah kekuasaan Sultan Tidore. Ketidak pahaman sejarah bagsa ini maka Gubernur D.Esteber mengiyakan rencana Kolonial Belanda ini, dan ia berjanji tidak akan mencampuri peperangan antara Belanda dan Tidore nanti. Pada tahun 1653 beanda mengumumkan perang terhadap Tidore. Simon Cos diperintahkan memimpin satu angkatan kora-kora melakukan ekstirpasi di Seram, Halmahera dan pulau-pulau Raja Ampat wilaya wilayah kekuasaan Tidore, dan menembak sebuah kampung dipantai Weda. Sultan Tidore tidak tinggal diam dan memerintahkan raja Salawati melakukan serangan balasan dan berhasil pukul mundur pasukan Belanda didaerah Petani, serangan balasan sultan Tidore ini meluas sampai ke Ambon terutama di pantai Hitu. Dengan mengarahkan 15 buah armada kora-kora yang dipimpin oleh raja Salawati. Akibat dari serangan balasan yang dilakukan kerajaan Tidore sehingga pemerintah Belanda menempuh jalan damai dan pada tahun 1654 berhasil mengadakan perdamaian dengan Tidore. Walaupun demikian Sultan Tidore bersifat kukuh dan tidak tunduk pada pemerintahan Kolonial Belanda yang
83
bermaksud memasukan kerajaan Tidore kedalam kekuasaan monopoli dengan cara menggunakan politik eksterpasi Kolonial Belanda. Pada tahun 1762 permintaan Gubernur Ternate terhadap Sultan Jamaludin di Tore untuk ikut serta dalam ekspedisi kora-kora hongi untuk melakukan tugas sebagai berikut: a. Menumpas semua pohon Cengkeh dan pala yang didapati dipulau-pulau yang akan dikunjungi b. Menghukum dan menghajar Salawati , Onim, Waigama, dan Misol serta menangkap hidup atau mati raja Salawati dan Kapitan Lautnya. c. Menyelidikan pulau Monfor, Waigeo, Batanta juga telah turut serta membuat pelanggaran-pelanggaran, mengambil tindakan setimpal terhadap pulau-pulau tersebut. d. Terserah pada pemimpin ekspedisi, jika keadaan memungkinkan supaya menindak penyelundup Makasar dan Bugis, yang diduga waktu itu berada diujung barat pulau Misol. Hongi itu terdiri 28 buah kapal besar dan 8 buah kapal kompeni, 2 perahu burgers, dan 28 kora-kora ternate. Pemerintah Gubernur Ternate untuk ikut serta melakukan tugas-tugas tersebut diatas, ditolak oleh Sultan Jamaludin karena tugas ini untuk memusnakan sumber-sumber kemakmuran Rakyat. Bahkan Sultan Tidore dengan prantara perahu-perahu Rorehe dan Giup (penangkap ikan) dikirimnya berita-berita rahasia ini keseluruh wilayah yang menjadi sasaran kedatangan hongi Kompeni Belanda. Ekspedisi ini ternyata tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, terutama raja Salawati tidak sempat tertangkap karena telah mengungsi
84
sehari sebelum kedatangan kedatangan ekspedisi Hongi itu. Hubungan antara kerajaan Tidore dan Kolonial Belanda semakin buruk lagi, setelah terdengar berita melalui majalah De Postrizer yang terbit pada bulan Maret 1771 yang mengangkat bahwa seorang Perancis yang bernama Mr. Profot telah berhasil menyelundupkan bibit Pala ke pulau Mauritius jajahan Prancis dilaut Hindia, Katopo (1984:43). Berita itu sempat menggerakan pemerintahan pusat di Batavia. Gubernur Valk Kenear melaporkan bahwa setelah diadakan penyelidikan ternyata ada dua orang Perancis yang memasuki daerah Tidore tanpa izin, tanpa surat pas dari Gubernur Ternate. Bibit-bibit Pala yang dibawah keluar maluku, berasal dari patani Gebe, dan Salawati. Bagi kolonial Belanda menyelundup itu adalah suatu malapetaka yang sangat besar yang telah menimpa monopoli rempah-rempah di Maluku. Pada rangkaian pristiwa ini kolonian Belanda tetap menuduh Sultan Jamaludin dan Raja Muda Garomahongi telah bersekongkol dengan para penyelundup. Katopo (1984;47) dalam tahun 1779 Gubernur Thomaszen dari Ternate menangkap Sultan Jamaludin, Kaicili Goromahongi dan Sultan Bacan dikirim ke Batvia untuk mengadili. Beberapa pangeran Bobato serta putranya Nuku mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan akan tetapi berhasil dinasehati oleh Sultan Jamaludin dengan pesan jangan mengadakan perlawanan sementara belum disusun satu angkatan perang yang kuat.
4.4.3 Faktor Ekonomi 1. Sumber Alam
85
Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan suatu perekonomian adalah sumber alam atau tanah. Tanah sebagaimana dipergunakan dalam ilmu ekonomi mecakup sumber alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber laut, dan sebagainya. Jadi dalam pertumbuhan ekonomi, kekayaan alam yang melimpah saja belum cukup. Yang terpenting ialah pemanfaatannya secara tepat dengan teknologi yang baik sehingga efesiensi dipertinggi dan sumber dapat dipergunakan dalam jangka waktu yang lebih lama. Dari faktor sumber alam, Tidore merupakan daerah yang sangat potensial dan memiliki cukup banyak hasil-hasil kekayaan alam dan letak geografis yang strategis serta laut yang cukup luas, sehingga pulau Tidore ditumbuhi cengkeh dan pala, sangat berhasiat. Cengkeh banyak digunakan baik masak daging maupun meramu obat. Cengkeh memudahkan keluarnya kencing dan menghentikan diare dan bila ditees dimata dapat memilihara penglihatan, bilah diminum dengan susu akan mendatangkan gairah seks. Williard A & Des Alwi(dalam Bunyamin :2002). Selain cengkeh, juga terdapat hasil laut berupa, teripang, ikan, kemudian dibuat ikan asing, serta ikan segar untuk dipasarkan. 2. Akumulasi Modal Foktor ekonomi penting kedua dalam kehidupan ialah akumulasi modal. Menurut Nurke (dalam M.L. Jhingan, 2000:69) “makna pembentukan modal ialah, masyarakat tidak melakukan keseluruhan kegiatannya saat ini tidak sekedar unuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumsi yang mendesak, tetapi
86
mengarahkan sebagian daripadanya untuk pembuatan barang modal, alat-alat dan perlengkapan, mesin dan fasilitas pengangkutan, pabrik dan peralatannya. Untuk menggali sumber daya alam yang ada, kita memerlukan sarana (alat) yang dapat digunakan untuk mengelola (memproduk/menghasilkan) sumber daya alam menjadi sesuatu yang dapat dikonsumsi oleh rakyat, dalam penyediaan alat, modal yang memegang peranan penting. Oleh karena itu, penulis dapat katakan bahwa untuk mengoptimalisasikan sumber daya alam bagi rakyat, kahussusnya pada tahun 1797-1805 sangat diperlukan alat-alat sebagai hasil akumulasi modal itu sendiri. Terkait dengan modal, dapat menghasilkan alat yang selanjutnya membantu peningkatan pendapatan masyarakat dari pendapatan masyarakat sebagian disisipkan, kemudaian diserahkan kepada sultan dalam bentuk pajak (upeti) dan dipergunakan untuk penyediaan alat-alat perang seperti, pembuatan perahu kora-kora, pembenahan kadaton serta Mesjid (Wawancara La Raman 29 Oktober 2011). 5) Organisasi Organisasi adalah salah satu faktor pendorong lajunya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Organisasi sangat terkait dengan penggunaan faktor produksi dalam kegiatan ekonomi. Organisasi bersifat melengkapi (komplemen) modal, buruh dan membantu meningkatkan produktivitasnya. Organisasi yang nampak dari masyarakat Tidore pada masa itu adalah: a. Mayae, yaitu bentuk tolong menolong dalam hal perbersihan kebun dan membangun rumah,
87
b. Bari dan Marong, memiliki arti yang sama dengan Mayae dan bentuk kegiatannya yang sama dengan gotongroyong (Wawancara Abdulla Rabo 27 Oktober 2011). Menurut hemat penulis, organisasi Mayae, Bari dan Marong sudah menjadi budaya yang dipatuhi oleh masyarakat Tidore dalam hal kegiatannya, sedangkan bentuk organisasinya masih bersifat tidak resmi (pengakuan kelompok). 6) Pembagian Kerja Dan Skala Produksi Spesialisasi
dan
pembagian
kerja
menimbulkan
peningkatan
produktivitasnya. Keduanya membahwa kearah ekonomi produksi skala besar yang selanjutnya membantu perkembangan industri. Sebagaimana
yang telah
dijelaskan diatas bahwa Tidore sebagai daerah kesultanan dan pada masa itu sultanlah yang memegang peranan penting dalam mengatur kehidupan masyarakat. Sehingga sultan sudah mulai membagikan wilaya-wilayah untuk bidang kerjanya masing-masing. Misalnya Kampung Gurabati mengusahakan sagu, kampung Tomalou Nelayan khusus menangkap ikan tongkol, kampng Toloa pandai besi, kampung Mareku nelayan khusus menangkap ikan julung, kampung Dowora sampai ke bagian barat Tidore membuat industri rumah dan tembikar. 4.4.4 Faktor Sosial Faktor sosial juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kekuatan faktor ini akan mengahsilkan perubahan pendangan, harapan, struktur dan nilai-nilai sosial. Kehidupan sosial masyarakat Tidore pada masa itu, sudah mulai berkembang hal ini karena dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam pada
88
masa itu, sehinga sering dengan bahasa kiasan “adat bersendihkan agama dan agama bersindihkan kitabullah”. Sehinga dampak dari kehidupan sosial masyarakat Tidore adalah budaya dipengaruhi oleh adat. lebih yang sangat menonjol dalam tata pergaulan masyarakat adalah tolong menolong atau gotong royong yang merupakan sikap mental masyarakat Tidore yang terpelihara sampai sekarang. Kehidupan sosial masyarakat Tidore sebagaimana diuraikan diatas, dimana masyarakat Tidore tetap patuh terhadap budaya tolong menolong, saling menghargai dan menghormati terhadap pemimpin. 4.4.5
Faktor Agama Dan Kebudayaan
a. Agama Penduduk Kepulauan Tidore yang pribumi semuanya beragama Islam dan sebagian penduduk yang berstatus sebagai etnis pendatang beragama Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Budha. Kondisi ini berubah setelah terjadi konflik horizontal pada tahun 1999 sehingga Kerukunan hidup antar umat beragama di Kota Tidore Kepulauan saat itu yang cukup harmonis karena adanya toleransi antar umat beragama yang sangat tinggi diakhiri dengan pecahnya konflik horizontal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik horisontal yang bernuansa SARA di Maluku dan Maluku Utara pada umumnya dan Kota Tidore Kepulauan khususnya pada beberapa tahun yang lalu telah merombak sendi-sendi kehidupan umat beragama yang telah dibina bertahuntahun lamanya.
89
Menyadari akan pentingnya persatuan dan kesatuan serta kerukunan antar umat beragama, maka Pemerintah Daerah Kota
Tidore
Kepulauan bersama
tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh adat selalu berusaha untuk melakukan kegiatan pembinaan keagamaan baik secara interen maupun ekstern melalui BKKHAGA (Badan Konsultasi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama), PGI (Persatuan Gereja Indonesia) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dalam rangka untuk mendukung kegiatan pembinaan umat beragama di Kota
Tidore
Kepulauan, Pemerintah Daerah juga mengalokasikan dana pada APBD untuk kegiatan pembinaan keagamaan maupun pembangunan sarana dan prasarana keagamaan, seperti pembangunan Mesjid dan Gereja. b. Budayan Kebudayaan Kepulauan Tidore yang dikenal dengan Kesultanan Tidore atau termasuk salah satu kerajaan Moloku Kie Raha mempunyai latar belakang historis yang panjang dan berpengaruh terhadap budaya dan adat istiadat
di
daerah ini. Kerajaan Moloku Kie Raha (Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo) pada dasarnya mempunyai budaya yang sama yang sering dikenal dengan budaya Moluku Kie Raha, hal ini karena empat kerajaan yang dipimpin oleh Sultan yang mempunyai satu garis keturunan atau
kakak beradik dalam sejarah
mempunyai satu garis keturunan bangsa Arab, berbarengan dengan hal tersebut masuknya agama Islam di Maluku juga turut mempengaruhi budaya serta adat istiadat di daerah ini sehingga sering kita dengar satu bahasa kiasan “Adat bersendikan agam dan agama bersendikan kitabullah”. Sehingga dampak dalam
90
kehidupan masyarakat di Kepulauan Tidore ini adalah budaya dipengaruhi oleh adat. Selain dari pada itu di Kepulauan Tidore cukup kaya berbagai ragam bahasa, daerah yang terdiri dari beberapa Suku Bangsa. Dari beragam suku bangsa itulah yang melahirkan budaya dan adat istiadat serta kebiasaanya, yang sangat menonjol dalam tata pergaulan masyarakat di Kepulauan Tidore adalah tolong menolong atau gotong royong yang merupakan satu sikap mental yang hidup dan terpelihara sampai masa kini yang merupakan peninggalan masa lalu seperti nampak pada beberapa adat kebiasaan yang bersifat sosial antara lain:(a) Mayae, adalah bentuk tolong menolong dalam hal pembersihan kebun dan membangun rumah, (b). Bari dan Morong, mempunyai arti sama dengan Mayae dan mempunyai bentuk kegiatan yang sama dengan gotong-royong.