PERKEMBANGAN KESULTANAN BANTEN PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN MAULANA YUSUF (1570-1580)
RINGKASAN SKRIPSI
Oleh: Tubagus Umar Syarif Hadiwibowo 09406241008
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013
PERKEMBANGAN KESULTANAN BANTEN PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN MAULANA YUSUF (1570-1580) Oleh: Tubagus Umar Syarif Hadiwibowo dan M. Nur Rokhman, M. Pd. ABSTRAK Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1. menggambarkan perkembangan Banten sebelum masa kesultanan dan menjelang masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf; 2. menjelaskan pengembangan infrastruktur Kesultanan Banten dengan konsep gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis oleh Sultan Maulana Yusuf; 3. menguraikan pengembangan pemukiman masyarakat di Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Yusuf. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian sejarah kritis yang meliputi lima tahap: 1. pemilihan topik; 2. heuristik; 3. kritik sumber; 4. interpretasi; 5.historiografi. Berdasarkan hasil kajian melalui studi pustaka dan kajian lapangan maka dapat disimpulkan 1. Banten sebelum masa kesultanan merupakan daerah vassal dari Kerajaan Hindu (Pajajaran) yang sudah dikenal sebagai daerah perdagangan yang banyak disinggahi oleh para pelaut asing. Setelah memasuki masa kesultanan dan menjelang masa pemerintahan Maulana Yusuf, perubahan besar terjadi pada infrastruktur kota dan pemukiman masyarakat di Kesultanan Banten. 2. Kebijakan Sultan Maulana Yusuf dalam memimpin dan mengembangkan Kesultanan Banten tercermin dalam sebuah kalimat yang sarat dengan nilai historis dan budaya, yaitu gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis (membangun kota perbentengan dengan bata dan karang). Menariknya, kalimat tersebut dijadikan pijakan dalam membangun segala struktur primer kota dengan menggunakan bahan baku batu bata dan karang, seperti: Keraton Surosowan, masjid, pasar dan pelabuhan, sistem irigasi pertanian dan jaringan air bersih, jaringan jalan dan jembatan penyeberangan. 3. Sultan Maulana Yusuf mengembangkan pemukiman bagi masyarakat dengan menyediakan dan mengelompokkan pemukiman sesuai dengan lapisan masyarakat yang terdapat di Kesultanan Banten. Pengelompokkan didasari atas empat kriteria, yaitu ras & suku, sosial-ekonomi, status dalam pemerintahan, dan keagamaan. Kata Kunci: Kesultanan Banten, Sultan Maulana Yusuf (1570-1580), Infrastruktur, Pemukiman.
I.
Pendahuluan Banten merupakan salah satu bumi intelektualitas yang banyak melahirkan ulama ilmiah dan pejuang. Banten tidak hanya dikenal dengan intelektualitas keulamaannya, tetapi juga dari segi pewacanaan masa lampau, daerah ini menyimpan segudang sejarah yang banyak dikaji oleh peneliti dari dalam maupun manca.Memotret perkembangan Banten yang kini tengah menjadi salah satu daerah industri nusantara, tidak terlepas dari sejarah yang menyelimuti sebelumnya. Sejak awal abad ke-16, pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan besar Kerajaan Pajajaran setelah Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Wilayah ini dikuasai oleh suatu kerajaan bercorak Hindu dan merupakan daerah vassal dari Kerajaan Pajajaran, nama kerajaan itu terkenal dengan nama Banten Girang. Penguasa terakhir Kerajaan Banten Girang adalah Pucuk Umun. Berkembangnya agama Islam secara bertahap di wilayah Banten pada akhirnya menggantikan posisi politis Banten Girang sebagai kerajaan bercorak Hindu. Era Kesultanan pun perlahan mulai menggoreskan tinta sejarah
di
Tatar
Banten.Penting
untuk
dikaji,
adalah
mengenai
perkembangan Kesultanan Banten sekitar abad ke-16 dan ke-17, yang menurut kabar dari orang Perancis saat itu melihat Kesultanan Banten sebagai kota kosmopolitan bersanding dengan Kota Paris, Perancis. Sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin, memerintah tahun 1527-1570. Pada masa pemerintahan Hasanuddin, kekuasaan Kesultanan Banten diperluas ke Lampung hingga Sumatera Selatan. Pasca Maulana Hasanuddin, Kesultanan Banten menunjukkan signifikansi kemajuan sebagai sebuah kerajaan Islam di Nusantara. Sultan Maulana Yusuf, sebagai pengganti ayahnya, memimpin pembangunan Kesultanan Banten di segala bidang. Strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan infrastruktur kota, pemukiman penduduk, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Sultan
Maulana
Yusuf
juga
mencetuskan
sebuah
konsep
pembangunan infrastruktur kota yang dikenal dengan semboyannya gawe
kuta baluwarti bata kalawan kawis.Sultan Maulana Yusuf membangun pemukiman-pemukiman masyarakat sesuai dengan pembagian penduduk berdasarkan pekerjaan, status dalam pemerintahan, ras dan sosial ekonomi. Kampung Kasunyatan merupakan salah satu pemukiman yang dibangun bagi kaum ulama. Sesuai dengan namanya kampung ini merupakan pusat pembelajaran agama Islam masa Sultan Maulana Yusuf, bahkan sampai sekarang. Hadirnya Sultan Maulana Yusuf memberikan arti penting bagi kemajuan Kesultanan Banten. Periode pemerintahannya selama kurun waktu sepuluh tahun (1570-1580) dapat dianggap sebagai fase awal bagi pembangunan Kesultanan Banten sebagai kota kosmopolitan yang maju pesat di segala bidang. A. Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka atau teori yang menjadi landasan pemikiran (Jurusan Pendidikan Sejarah, 2006: 3) Pustaka-pustaka digunakan untuk menelaah setiap pertanyaan dalam rumusan permasalahan secara garis besar. Rumusan masalah pertama mengkaji keadaan umum Banten sebelum era kesultanan dan menjelang Maulana Yusuf memerintah sebagai sultan kedua. Termasuk awal berdirinya Kesultanan Banten. Membahas pula perpindahan ibukota Kesultanan Banten yang sebelumnya berada di Banten Girang. Pustaka yang memiliki kedekatan tema dengan rumusan masalah pertama terdapat dalam hasil penelitian. Claude Guillot dalam bukunya,Banten (Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII). (Gramedia, 2008) menjadi acuan utama untuk menelaah rumusan masalah pertama. Buku ini membicarkan tiga topik utama tentang Banten, yaitu sejarah kuno Banten
sebelum
kedatangan
Islam;
komponen-komponen
dari
masyarakat Banten melalui tata perekonomian, perjuangan-perjuangan merebut kekuasaan dan terikatnya Banten pada dunia agraria; dan yang terakhir yaitu hubungan Banten dengan pihak-pihak asing.
Rumusan masalah kedua mengkaji pengembangan infrastruktur Kesultanan Banten dengan konsep gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis oleh Sultan Maulana Yusuf. Pustaka yang digunakan untuk mengkaji
masalah
pada
rumusan
ini,
Djajadiningratdalam
buku
Tinjauan
Kritis
Banten(Djambatan. 1983); 2.
yaitu:
1.
Hoesein
Tentang
Sajarah
Karya Supratikno Rahardjo, dkk.
berjudul Kota Banten Lama: Mengelola Warisan Untuk Masa Depan. Rumusan masalah ketiga membahas pengembangan pemukiman masyarakat di Kesultanan Banten pada masa Sultan Maulana Yusuf. Pustaka yang digunakan untuk mengkaji masalah pada rumusan ini, yaitu: 1. Hasan Muarif Ambary yang berjudul Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia(Logos Wacana Ilmu, 2001); 2. A. Rohman, Peranan Desa Kasunyatan dalam Pendidikan Islam Pada Masa Sultan Maulana Yusuf (STAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2002). Kasunyatan menjadi pusat pembelajaran
agama Islam di Kesultanan Banten pada masa Sultan Maulana Yusuf.Sesuai dengan namanya, pemukiman ini dihuni oleh orang-orang yang ahli dalam agama Islam atau ulama/kyai. Di pemukiman itu terdapat pula Masjid Kesunyatan yang dibangun pada masa Sultan Maulana Yusuf, dimana dari segi arsitektur bangunan masjid ini memiliki keunikan yang patut untuk dibahas. B. Historiografi yang Relevan Historiografi merupakan rekonstruksi sejarah melalui proses pengujian dan menganalisis secara kritis dari peninggalan masa lampau (Ankersmith, 1984: 268). Tujuan dari historiografi yang relevan adalah untuk menunjukkan orisinalitas atau objektivitas karya skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa historiografi yang relevan dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut. Pertama, Sri Utami. (2007). Proses Islamisasi Di Jawa Barat Pada Masa Sultan Hasanuddin Tahun 1525-1579.Kajian Sri Utami dalam skripsinya memiliki kemiripan dengan kajian yang dibahas oleh
penulis, terutama dengan latar tempatnya yang kebanyakan mengambil lokasi di Banten sebagai penulisan sejarah. Perbedaan dengan tulisan yang akan dibuat ini adalah terletak pada bagian isi tulisan. Sri Utami lebih menjelaskan tentang proses Islamisasi Jawa Barat pada masa Sultan Hasanudin sedangkan tulisan ini lebih mengutamakan kepada perkembangan Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf. Kedua, Siti Aspariah (2010), Kesultanan Banten Pada Masa Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).Skripsi yang ditulis oleh Siti Aspariah ini sangat relevan sebagai acuan pembanding dimana nantinya akan terlihat bagaimana perbedaan pola pemerintahan pada masa Sultan Maulana Yusuf dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dua orang ini memiliki kesamaan dalam kebijakan pemerintahannya yaitu lebih memfokuskan pada pembangunan perkotaan dan pertanian. Namun nuansa sejarah keduanya sangat berbeda, dimana nuansa yang paling mencolok tersebut adalah eksistensi kolonial Belanda (VOC) pada masa Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak ditemui pada masa Sultan Maulana Yusuf. Khususnya yang menjadi pembeda dari skripsi milik Siti Aspariah, penulis lebih menekankan pada perkembangan sebuah kota, dalam hal ini Kesultanan Banten yang diihat dari segi pengembangan infrastruktur primer dan pemukiman penduduk dalam kota itu sendiri. Kedua historiografi yang relevan di atas memiliki perbedaan dengan topik penelitian yang dikaji penulis. Perbedaan yang paling mencolok adalah periodisasi sejarah dalam topik penelitian. Periodisasi merupakan hal yang penting dalam sejarah, karena dengan periodisasi akan dapat memehami peristiwa sejarah itu lebih jelas, tahap demi tahap atau periode demi periode dan kemudian dapat memahami keterkaitan antara periode yang satu dengan periode yang lainnya. (Sardiman, AM., 2004: 76) Periodesasi juga dapat mengetahui tokohtokoh yang berperan penting sebagai penggerak sejarah di masanya.
C. Metode dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode sejarah kritis menurut teori Kuntowijoyo. Penelitian sejarah mempunyai lima tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan (5) penulisan (Kuntowijoyo, 1995: 90). a. Pemilihan Topik Pemilihan topik merupakan langkah awal dalam penelitian untuk mnentukan permasalahan yang akan dikaji. Topik dalam penulisan didasarkan pada tingkat intelektualitas serta ketertarikan penulis terhadap tema yang dikaji. Semua itu dilakukan uttuk mempermudah dan memerlancar dalam proses penulisan yang sedang dikaji oleh penulis mengenai “Perkembangan Kesultanan Banten Pada Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (15701580).” b. Heuristik Istilah heuristik berasal dari bahasa Yunani yaitu heurisken yang berarti menemukan. Pada penulisan sejarah, heuristik berarti usaha untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah baik sumber benda, sumber tertulis maupun sumber lisan. Sumbersumber tertulis yang ditemukan penelitian ini adalah buku-buku, koran-koran dan dokumen lokal yang didapatkan dariLaboratorium dan Perpustakaan Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial UNY, Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Gajah Mada (UGM), Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Kota Yogyakarta, Perpustakaan Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta, Perpustakaan Daerah Provinsi Banten, Perpustakaan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, dan Kantor Arsip Daerah Provinsi Banten. Penelitian ini juga menggunakan sumber-sumber
baik karya-karya para sarjana dan peneliti maupun media cetak dan media online (internet), yang langsung atau hanya terkait dengan informasi mengenai topik penelitian. Penulis melakukan observasi lapangan dengan mendatangi langsung lokasi penelitian, diantaranya yaitu: Situs Kuno Banten Girang, Keraton Surosowan, Masjid Agung Banten, Situ Tasikardi, Pelabuhan Karangantu, Kampung dan Masjid Kasunyatan dan Makam Sultan Maulana Yusuf di Pekalangan Gede, Banten. Penulis
juga
melakukan
pengamatan
langsung
dengan
mendatangani Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama yang menyimpan
benda-benda
peninggalan
penting
pada
masa
kesultanan Banten, baik itu berupa prasasti, keramik dan barang pecah belah, peta-peta, uang kuno, dan lain sebagainya. Lokasi penelitian diamati lebih awal guna memperoleh gambaran tentang jejak-jejak masa lalu. Sehubungan dengan itu, kenadziran Masjid Kasunyatan dan Makbaroh (tanah khusus/wakaf untuk pemakaman) Panembahan Maulana Yusuf yang letaknya di Kampung Kasunyatan, turut dikunjungi penulis untuk mendapatkan data wawancara dari salah satu keturunan Sultan Maulana Yusuf, yang juga menjadi Ketua Kenadziran Masjid Kasunyatan saat ini, yaitu Tubagus Ali Ma’mun Isya. Meskipun bukan termasuk sumber primer, data wawancara tersebut berguna untuk mengetahui secara garis besar topik penelitian dari seorang ahli dan termasuk tokoh lokal yang menjadi pemerhati sejarah dan kebudayaan Banten. c. Verifikasi (Kritik Sumber) Langkah selanjutnya setelah penulis berhasil mengumpulkan sumber-sumber dalam penelitiannya, yaitu menyaring sumbersumber sejarah secara kritis. Langkah-langkah ini lazim disebut juga dengan kritik sumber (verivikasi) yang berusaha untuk menguji kebenaran dan ketepatan dari sumber sejarah, baik
terhadap bahan materi (ekstern) sumber maupun terhadap substansi (isi) sumber (Helius Sjamsuddin, 2007: 131). d. Interpretasi Interpretasi, atau penafsiran sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Namun Kuntowidjoyo berpendapat analisis dan sintesis sebagai tahapan-tahapan dalam interpretasi (Kuntowidjojo, 2005: 102). Analisis sejarah itu sendiri bertujuan melakukan sintesis (menyatukan) atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. e. Historiografi Historiografi atau penulisan sejarah merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Dudung Abdurrahman, 2011: 117).Historiografi merupakan tahapan akhir dalam metode penulisan sejarah kritis. Dalam hal ini penulis dituntut untuk mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipankutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia (penulis) pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi. 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut: a. Pendekatan politik dalam penulisan ini digunakan sebagai pisau bedah untuk mengurai sosok Maulana Yusuf sebagai pemimpin politik di Kesultanan Banten yang telah melakukan kebijakan modernisasi pemerintahan, seperti; membangun kota dengan
perbentengan, memperluas dan mengembangkan daerah pertanian dan perluasan wilayah. b. Pendekatan sosiologi untuk mengkaji pola interaksi pada lapisan sosial masyarakat Banten saat itu, baik antara masyarakat lokal, antara masyarakat lokal dengan masyarakat asing maupun antara pihak kraton dengan masyarakat lokal dan asing. Pola interaksi tersebut mengakibatkan terbentuknya ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat di Kesultanan Banten yang dibedakan berdasarkan ciriciri sosial, seperti ras dan suku; keagamaan; sosial-ekonomi; dan status dalam pemerintahan dan masyarakat. c. Pendekatan ekonomi.Penulis mengkaji perkembangan Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Maulana Yusuf dari pendekatan ekonomi untuk melihat bagaimana pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh sultan kedua Banten ini berpengaruh pada pesatnya perkembangan kesultanan Banten sebagai kota perdagangan. d. Pendekatan antropologi. Penulis akan lebih banyak menggunakan sudut pandang antropologi untuk membedah segala aspek yang terdapat dalam penelitian ini. Pendekatan budaya (antropologi) dalam studi ini, salah satunya gunakan untuk mengkaji sosok Maulana Yusuf beserta aspek pemikiran yang mempengaruhi kebijakannya dalam membangun dan mengembangkan Kesultanan Banten pada tahun 1570-1580.
II.
Banten Sebelum Masa Kesultanan Dan Menjelang Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf A. Berdirinya Kesultanan Banten Sebagai bandar dagang di pesisir utara Jawa bagian barat, Banten diperkirakan muncul pada masa Kerajaan Sunda. Dalam buku kisah perjalanan Ceng Ho yang ditulis oleh Ma Huan yang terbit pada tahun 1416,
yaitu
Ying-Yai-Sheng-Lan
(Catatan
Umum
Pantai-Pantai
Samudera), Banten disebut dengan nama Shun-t’a (Sunda). Demikian pula halnya dalam berbagai sumber Cina yang dihimpun oleh Groeneveldt, salah satu daerah di Nusantara yang mereka kenal pada masa Dinasti Ming adalah Sun-la, yang dianggap lafal Cina untuk Sunda.Supratikno Rahardjo, dkk,2011:32). Letak Banten yang berada di dekat Selat Sunda menjadikan kedudukannya sangat strategis, mengingat kegiatan perdagangan di Nusantara dan Asia serta kedudukan barang dengan rempah-rempah di pasar internasional makin meningkat, seiring dengan berdatanganya para pedagang Eropa ke wilayah ini. setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, Selat Sunda menjadi pintu masuk utama ke Nusantara bagian timur lewat Pantai Barat Sumatera bagi pedagangpedagang muslim, dan kemudian bagi para pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudera Hindia (Sri Sutjianingsih (Ed.), 1997: 18). Masuknya pedagang-pedagang asing, terutama para pedagang muslim ke wilayah Banten telah mengakibatkan perubahan dalam pemerintahan. Dalam naskah cerita Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang usaha Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Cirebon bersama sembilan puluh delapan orang muridnya mengislamkan penduduk Banten. Maulana Hasanuddin melanjutkan Islamisasi, setelah Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon. Ia berdakwah dari satu daerah ke daerah lain yang merupakan tempat-tempat keramat dimana para ajar bersemayam, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang, Gunung Aseupan, sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Usaha-usaha yang dilakukan Maulana Hasanuddin bertujuan untuk melukiskan penguasaan rohani atas wilayah politik Banten Girang, yang nantinya akan direbut secara militer. Hasanuddin berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun yang merupakan penguasa lokal di Wahanten Girang (Banten Girang) pada
tahun 1525. Kemudian atas petunjuk Sunan Gunung Jati, Hasanuddin memindahkan pusat pemerintahan Banten yang tadinya berada di pedalaman Banten Girang (tiga kilometer dari Kota Serang) ke dekat pelabuhan Banten (Nina H. Lubis, 2003:27). B. Perpindahan Ibukota dari Banten Girang ke Banten Lama Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama di Kesultanan Banten, memimpin Banten setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun di Banten Girang. Kebijakan pertama dalam pemerintahannya adalah memindahkan pusat kerajaan dari Banten Girang ke Banten Lama. Pemindahan pusat pemerintahan Banten dari pedalaman ke pesisir merupakan petunjuk dari Sunan Gunung Jati kepada Maulana Hasanuddin. Pusat pemerintahan, yang tadinya berada di pedalaman Banten yakni Banten Girang, dipindahkan ke dekat Pelabuhan Banten. Sunan Gunung Jati menentukan posisi dalem (istana), benteng, pasar, dan alunalun yang harus dibangun.1 Tempat ini kemudian diberi nama Surosowan dan menjadi Ibu kota Kerajaan Islam Banten, setelah penaklukan Banten Girang oleh orang-orang Islam. Penaklukan Ibukota oleh Maulana Hasanuddin diceritakan dengan singkat dalam Sajarah Banten (SB), dan tahunnya terungkap dalam candrasengkalabrastha gempung warna tunggal, yang oleh Hoesein Djajadiningrat ditafsirkan sebagai tahun 1400 Saka, atau 1478 M. tenyata tahun 1400 Saka disebut juga dalam babad-babad Jawa sebagai tahun keruntuhan Majapahit, yaitu saat awal zaman Islam di Jawa. Menurut sumber Portugis, Banten Girang jatuh ke tangan kaum Muslim pada akhir tahun 1526 atau awal tahun 1527. Namun, tradisi lokal banyak yang menyebutkan bahwa pemindahan ibukota terjadi pada tahun 1526 M.
1
Ovi Hanif Triana (Ed.), op.cit., hlm. 26.
C. Dampak Perpindahan Ibukota Terhadap Tata Kota Kesultanan Banten Perkembangan Banten sebagai kota pelabuhan dan perdagangan mungkin hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah transformasi pusat administratif politik dari Banten Girangdi pedalamanyang berada di bawah subordinasi Pakuan-Pajajaran yang Hinduistik- ke daerah pantai yang dikenal dengan Banten Lama. Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin. Sejak itu, embrio dan fondasi masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan ditetapkan dalam format yang bercirikan keIslaman (Ovi Hanif Triana (Ed.), 2003:507) Daerah pesisir pantai menjadi tempat strategis bagi terciptanya hubungan dengan dunia internasional. Perdagangan-perdagangan yang dilakukan di sekitar pelabuhan utama, memunculkan kebudayaan pesisir yang heterogen. Lewat daerah pesisir, awalnya Islam di Kesultanan Banten berkembang dan memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam ke wilayah pedalaman. Maka tidak heran, jika faktor penyebab perpindahan ibu kota kesultanan Banten, selain faktor ekonomis dan magis, dilakukan untuk memudahkan proses penyebaran agama Islam ke daerah-daerah pedalaman. Terlebih kerajaan-kerajaan Islam banyak berkembang di wilayah sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa, seperti Demak, Cirebon, Gresik, Tuban, Jepara dan Surabaya. Peristiwa perpindahan administratif politik di atas, tidak dapat dipungkiri membawa dampak yang sangat berarti pada pengembangan kota di Kesultanan Banten selanjutnya. Perpindahan ibukota Banten pada awal Kesultanan Banten mendorong terjadinya perubahan tata kota di Kesultanan Banten, terutama pada perubahan ekologi juga sosiokultural kota dan sosial ekonomis masyarakat. D. Perkembangan Infrastruktur dan Pemukiman Banten Sebelum Masa Kesultanan dan Menjelang Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf Tidak banyak keterangan dari sumber-sumber asing yang menyebutkan pengembangan dan pemukiman masyarakat Banten
sebelum masa Kesultanan, baik secara fisik maupun non fisik, pada waktu bersubordinasi di bawah Kerajaan Tarumanegara. Setelah Kerajaan Tarumanegara berakhir pada akhir abad ke-7, pengembangan kota dapat ditelusuri dari penggalian yang dilakukan oleh arkeolog di daerah pedalaman Kota Serang. Hasil penggalian membuktikan sudah berdiri Kerajaan Banten Girang yang senantiasa terkena pengaruh ganda, pengaruh Jawa dan Melayu (Claude Guillot, Lukman Nurhakim & Sonny Wibisono, 1996:130). Keraton KerajaanBanten Girang sebagai pusat kerajaan saat itu dibangun pada tempat yang memiliki topografi dataran tinggi. Keraton sebagai pusat kerajaan yang dibangun diatas topografi yang lebih tinggi dari daerah bawahannya merupakan tiruan dari susunan gunung Mahameru. Puncak Mahameru adalah tempat tinggal raja yang melambangkan kekuatan dan kekuasaan. Berdasarkan hasil ekskavasi atau penggalian di situs Banten Girang, didapati fakta bahwa struktur infrastruktur kota Banten Girang terdiri atas enam bagian, yaitu: 1. Kelunjukkan (pintu gerbang bagian utara), 2. Telaya (pusat kota), 3. Pandaringan (kolam dan lumbung), 4. Banusri (pasar), 5. Alas Dawa (pos pengawasan/pintukeluar bagian selatan) 6. Asam Reges. Sudah ada pembagian pemukiman berdasarkan struktur ekonomi, tapi masih terbatas. Baru setelah orang-orang Islam berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan Banten, pemukiman-pemukiman masyarakat dapat diketahui dari berbagai sumber-sumber asing,yaitudari Cina dan Portugis.
III. Pengembangan Infrastruktur Kesultanan Banten Dengan Konsep Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis Oleh Sultan Maulana Yusuf A. Riwayat Singkat Sultan Maulana Yusuf Maulana
Yusuf
merupakan
putra
pertama
Maulana
Hasanuddin.Beliau mempunyai fisik yang sangat kuat (SB, Pupuh XXII).Beliau lahir dari rahim keluarga bangsawan dan pemuka agama Islam yang sangat dihormati. Anak salah seorang yang mendeklarasikan diri sebagai sultan pertama di Kesultanan Banten, kelak menjadi daerah yang maju pesat di bidang perdagangan dan pelayaran nusantara, yaitu Sultan Maulana Hasanuddin. Kakek beliau merupakan ulama terkemuka yang mendakwahkan agama Islam di wilayah Jawa Barat (termasuk Banten) dan menjadi salah satu tokoh walisongo sekaligus pendiri Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten, yaituSunan Gunung Jati.Bak singa yang melahirkan singa, bukan singa yang melahirkan anak kambing, prasasti pemikiran dan pendidikan Maulana Yusuf sangat terefleksi dari kedua tokoh di atas. Latar keluarga yang berasal dari kalangan ulama dan paham betul mengenai agama, mendorong Maulana Yusuf untuk mendalami pendidikan keagamaan Islam semenjak belia. Apalagi untuk anak sultan atau pangeran yang akan menjadi penerus kerajaan, maka pendidikan agama adalah syarat utama yang harus dimiliki. Ajaran Islam membentuk kepribadian Maulana Yusuf yang taat akan perintah agama. Pemimpin politik sekaligus pemimpin agama yang menyebarkan agama Islam di Banten. Seorang sultan dalam perspektif Islam adalah dia yang menjadi pemimpin dan pengayom masyarakatnya. Terminologi sultan bukan sekadar menjadi pemimpin politik tetapi juga menjadi pemimpin agama. Seorang Sultan bisa dipilih melalui pemilihan atau keturunan, dengan satu syarat dia adalah pemimpin terbaik. Khususnya, terbaik dalam segi akhlak atau karakternya.
B. Konsep Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis Konsep pengembangan infrastruktur kota dengan membangun benteng-benteng
pertahanan
dalam
sumber
lokal
tersebut
diejawantahkan dalam suatu semboyan, yaitu gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis. Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, semboyan ini berarti “membangun kota perbentengan dengan (batu) bata dan karang”. Semboyan diatas memiliki makna yang sangat mendalam bila dipahami lebih lanjut. Terdapat dua konsep mendasar dari semboyan tersebut yang dapat ditelaah dari sudut historis dan simbolis (budaya). Konsep Historis.Kalimat Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawisterdapat dalam Sajarah (Babad) Banten, pupuh 22: Hasanuddin mencapai usia seratus tahun (sirna ilang iku tuwan ingkang yuswa kangjeng gusti). Ia digantikan oleh puteranya, Molana Yusup. Molana Yusup mempunyai tenaga jasmani yang besar. la membangun sebuah kubu pertahanan (gawe kuta bulawarti bata kalawan kawis) dan membuat kampung-kampung, sawah-ladang, terusan-terusan, dan bendungan-bendungan. Sekitarnya dikumpulkannya orang-orang yang saleh dan bersifat pahlawan. Bata (batu terbuat dari tanah liat) dan kawis (karang) digunakan sebagai bahan bangunan utama bagi pembangunan infrastruktur Kota Banten. Konsep Simbolis. Kalimat Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawismenjadi ruh dansemangan dalam pengembangan Kota Banten yang mensenyawakan unsur buatan (simbol dari bata) dan unsur alamiah (simbol Karang) secara selaras. C. Penerapan Konsep Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis Pada Pengembangan Infrastruktur Kesultanan Banten Tahun 1570-1580 Bata dan karang (bata kalawan kawis), ternyata bukan bahan baku bangunan yang hanya memiliki satu fungsi untuk bahan baku pembangunan perbentengan. Tetapi, hampir seluruh infrastruktur primer di Kesultanan Banten, dari mulai keraton, masjid, pelabuhan, jembatan, jaringan irigasi dan jaringan jalan, mengunakan dua bahan baku buatan dan alami ini, sebagai elemen penting bangunan pada saat itu. Bahan
baku bata dan karang juga menjadi unsur pendukung bagi pemerintahan Maulana Yusuf dalam pengembangan kota perbentengan (gawe kuta baluwarti) secara besar-besaran pada periode 1570-1580. Penerapan konsep Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawisdiwujudkan dalam membangun berbagai infrastruktur kota, yaitu: 1. Pengembangan Keraton Surosowan , 2. Masjid Agung Banten dan Masjid Kasunyatan, 3. Pasar dan Pelabuhan, 4. Irigasi Pertanian dan Jaringan Air Bersih, 5. Jaringan Jalan dan Jembatan Rante,
IV. Pengembangan Pemukiman Masyarakat Di Kesultanan Banten Pada Masa Sultan Maulana Yusuf A. Lapisan Masyarakat di Kesultanan Banten
Pada masyarakat kerajaan yang masih bersifat tradisional atau pra-industrial, penggolongan masyarakat jauh lebih bersahaja daripada masyarakat industri. Sifat sistem lapisan di dalam masyarakat kerajaan umumnya bersifat tertutup. Khususnya dalam kerajaan bercorak Hindu yang menekankan sistem kasta dalam penggolongan masyarakat. Lambat laun sistem kasta memudar seiring dengan tumbuhnya pengaruh Islam di kerajaan-kerajaan Nusantara. Islam lebih luwes dalam menempatkan seseorang pada status dan peranannya. Bahkan, dalam status di hadapan Tuhan, bukanlah dinilai dari tingginya kekayaan dan kedudukan. Tetapi berdasarkan ketinggian akhlak seorang muslim. Meskipun bersifat luwes, pelapisan sosial dalam masyarakat kerajaan bercorak Islam masih terpengaruh oleh tradisi Hindu yang bersifat tertutup. Khususnya pada status diri seorang sultan yang masih dianggap sebagai wakil dewa di bumi. Penggolongan masyarakat kotakota zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Indonesia, terutama di Kesultanan Banten itu dapat dibagi atas:
(1) golongan raja-raja dan keluarganya (b) golongan elite (c) golongan non elite, dan (d) golongan budak. Tidak ketinggalan peran perempuan di Kesultanan Banten merupakan unsur pendukung dalam lapisan sosial masyarakat. Peran perempuan tersebut meliputi: sebagai ibu suri, penasehat sultan, pemimpin politik (Dewan Perwalian), pengajar dan penyebar agama Islam, pengawal keraton, pembawa bunga di makam keramat (bedhaya). B. Penyediaan Pemukiman Masyarakat Berdasarkan Pengelompokkan Lapisan Masyarakat 1. Pengelompokkan atas dasar ras dan suku, seperti: Pecinan, Pekojan, Karoya, Kebalen, dan Bugis. 2. Pengelompokkan atas dasar sosial-ekonomi, seperti: Pamarican, Pabean, dan Kagongan. 3. Pengelompokkan atas dasar status dalam. pemerintahan dan masyarakat,
seperti:
Keraton,
Kesatrian,
Kawangsan,
dan
Kawiragunaan. 4. Pengelompokkan atas dasar keagamaan, seperti: Kapakihan dan Kasunyatan. C. Pemukiman Kasunyatan Sebagai Pemukiman Agama 1. Pemukiman Agama di Kerajaan Islam. a. Disebut juga Kauman, Pekauman, Kampung Santri, Desa Pesantren, Kampung Arab, dan Kampung Pekojan. b. Kenampakan umum di Kerajaan Islam, yang terdapat di dekat masjid utama kesultanan (masjid gedhe). 2. Kasunyatan sebagai Kauman-nya Kota Banten. a. Berarti sunyi, sunyata atau kenyataan, dan sunat (tempat penyunatan para muallaf di Kesultanan Banten). b. Tempat
pembelajaran
Kesultanan Banten.
dan
pendidikan
agama
Islam
di
V.
Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perkembangan Banten sebelum masa kesultanan ditunjukkan dengan keberadaaan Kerajaan Banten Girang yang terlebih dahulu telah berdiri di Tatar Banten. Banten Girang yang merupakan kerajaan bercorak Hinduistis telah dikenal sebagai kota penghasil lada. Para pedagang pun berdatangan di kota yang terletak jauh dari pelabuhan utama. Meski begitu, Banten Girang tetap saja ramai dan terus didatangi oleh para pelaut asing dari berbagai daerah, seperti dari Cina, India dan Eropa. Terbukti dengan peninggalan berupa pecahan keramik dan mata uang kuno dari Cina yang didapatkan dari hasil penggalian di situs Banten Girang pada tahun 1988-1992. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati setelah berhasil menaklukkan kerajaan Banten Girang yang bercorak Hindu, ia memberikan nasihat kepada anaknya, Maulana Hasanuddin, untuk memindahkan Ibukota kerajaan di Banten Girang ke Banten Lama. Disinilah awal kejayaan itu disemaikan. Kesultanan Banten tumbuh bersemi sebagai kota bandar terkemuka dengan hasil bumi utamanya, yaitu lada.Maulana Hasanuddin menjadi sultan pertama Kesultanan Banten dan mulai membangun Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten secara bertahap. Perkembangan Kesultanan Banten menunjukkan signifikansinya ketika pemerintahan dikendalikan oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). Anak kandung Maulana Hasanuddin ini memiliki kepribadian jasmani yang kuat. dia merupakan manusia multidimensi yang selalu memimpin pasukannya di garda terdepan. Dalam peperangan merebut Pajajaran (1579), Maulana Yusuf menjadi panglima perang yang memimpin pasukannya. Dalam melanjutkan misi dakwah, Maulana Yusuf menjadi pemimpin cum ulama yang menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok Banten. Dan dalam pengembangan Kesultanan Banten, Maulana Yusuf menjadi teknokrat yang mengembangkan Kesultanan Banten sebagai salah satu bandar utama di Nusantara.
Dalam Sajarah Banten (SB), tercatat Sultan Maulana Yusuf melakukan pembangunan besar-besaran dalam bidang infrastruktur, seperti: pengembangan Keraton Surosowan, masjid, pasar dan pelabuhan, irigasi pertanian dan jaringan air bersih, dan jaringan jalan. Maulana Yusuf juga membangun dan membagi pemukiman-pemukiman berdasar latar belakang lapisan penduduk. Penerapan konsep gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis pada pengembangan Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Yusuf dilakukan dengan
membangun
berbagai
infrastruktur
primer
kota,
dengan
menggunakan bahan baku bangunan utama berupa batu batu dan karang (kawis). Infrastruktur Kota Banten yang terpenting yang dibangun dan dikembangkan oleh Sultan Maulana Yusuf adalah: Pertama, pengembangan Keraton Surosowan;Kedua, pengembangan Masjid Agung Banten Ketiga, pengembangan pasar dan pelabuhan;Keempat, jaringan irigasi dan juga air bersih; Kelima, pembangunan Jembatan Rante sebagai fasilitas transportasi darat yang menghubungkan dua jalan utama di Kesultanan Banten dan menjadi tolhuis atau tempat untuk menarik pajak kapal-kaplkecil yang melintas diatasnya. Pengembangan
pemukiman
masyarakat yang
beraneka
latar
belakang oleh Sultan Maulana Yusuf difasilitasi dengan penyedian pemukiman berdasarkan pengelompokkan lapisan masyarakat di Kesultanan Banten. Lapisan Masyarakat di Kesultanan Banten digolongkan menjadi empat kelompok status sosial yang memiliki perananya masing-masing. Penggolongan Masyarakat di Kesultanan Banten, teridiri atas: golongan sultan dan keluarganya, golongan elit (wong gede), golongan non elit (wong cilik) dan golongan budak. Dari penggolongan atas lapisan masyarakat di Kesultanan Banten, maka
pengembangan
dan
penyedian
pemukiman
turut
mengikuti
atasperbedaan dalam masyarakat tersebut. Pengembangan pemukiman terdiri atas empat kriteria pengelompokkan, yaitu pengelompokkan pemukiman berdasar ras dan suku, seperti Pecinan dan Pekojan;
pengelompokkan pemukiman berdasarkan sosial-ekonomi, seperti Pabean, Pawilahan dan Pamarican; pengelompokkan pemukiman berdasarkan status dalam pemerintahan dan masyarakat, daiantaranya Keraton, Kesatriaan dan Kewiragunaan; dan terakhir adalah pengelompokan berdasarkan status keagamaan, dua dikenal adalah pemukiman Kasunyatan dan Kefakihan. Dari sekian banyak pemukiman diatas, terdapat pemukiman agamayang khusus digunakan untuk kepentingan syiar agama Islam di Kesultanan Banten.Pemukiman Agama di Kerajaan Islam sering disebut denganKauman, Pekauman, Kampung Santri, Desa Pesantren, Kampung Arab, dan Kampung Pekojan.Pemukiman ini meruprakan kenampakan umum di Kerajaan Islam, yang terdapat di dekat masjid utama kesultanan (masjidgedhe). Di Kesultanan Banten, pemukiman agama tersebut dikenal dengan Kasunyatan. Kasunyatan sebagai Kauman-nya Kesultanan Banten memiliki arti sunyi, sunyata atau kenyataan, dan sunat (tempat penyunatan para muallaf di Kesultanan Banten). Di pemukiman ini dijadikan tempat pembelajaran dan pendidikan agama Islam pada masa Kesultanan Banten.
Daftar Pustaka Buku-Buku: A. Bagoes P. Wiryomartono. (1995). Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. A. Daliman. (2012). Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Abdurrahman Wahid. (2010). Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur). Yogyakarta: LkiS. Agus Sunyoto. (2012). Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: Pustaka IIMaN bekerja sama dengan LTN PBNU dan Trans Pustaka. Ahmad Mansur Suryanegara. (2009). Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
Anggar Kaswati. (1998). Metodologi Sejarah dan Historiografi. Yogyakarta: Beta Offset. Ankersmith. (1984). Refleksi tentang Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arwan Tuti Artha & Heddy Shri Ahimsa. (2004). Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan Budaya. Yogyakarta: Kunci Ilmu. Badri Yatim. (2011). Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: Rajawali Pers. Bambang Heryanto. (2011). Roh dan Citra Kota: Peran Perancangan Kota Sebagai Kebijakan Publik. Surabaya: Brilian Internasional. Bottomore, T.B. (2006). Elite dan Masyarakat, Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006 DE Graaf, H.J. & Pigeaud, TH. (2003). Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Dorleans, Bernard. (2006). Orang Indonesia & Perancis Dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Dudung Abdurrahman (2011). Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak. Edi Sedyawati, dkk (Ed.). (2001) Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka. Feby Nurhayati, Reny Nuryanti & Sukendar, Wali Sanga dan Profil dan Warisannya. Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007, Gazalba, Sidi. (1981). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Goodrich, L. Carrington. A Shorth History of the Chinese People. New York: Harper and Brothers Publishers. Gottschalk, Louis. Understanding History: A Primer of Historical Method, ab, Nugroho Notosusanto. (1975). Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Guillot, Claude. (2008). Banten (Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Guillot, Claude., Lukman Nur Hakim & Sonny Wibisono. (1996). Banten Sebelum Zaman Islam Kajian Arkeologis di Banten Girang (932?1526). Jakarta: Bentang. Guillot, Claude., Hasan M. Ambary, & Dumarcay, Jacques. (1990). The Sultanate Of Banten, Jakarta: Gramedia Publishing Book Division. Hamid Fahmi Zarkasyi. (2010). Peradaban Islam (Makna dan Strategi Pembangunannya). Ponorogo: CIOS. Hasan Muarif Ambary. (2001). Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Helius Sjamsuddin. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Heriyanto Atmojo. (2008). Batik Tulis Tradisional, Kauman, Solo Pesona Budaya Nan Eksotik. Solo: Tiga Serangkai. HM. Nasruddin Anshoriy Ch & Dri Arbaningrum. (2008). Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejara yang Terhapus. Yogyakarta: Tiara Wacana. Husein Djajadiningrat. (1983). Tinjauan Historis Sajarah Banten. Djakarta: Djambatan. I Ketut Riana. (2009). Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara Krtagama, Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Inajati Adrisijanti. (2000). Arkeologi Kota Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela. J.S. Badudu & Sutan Muhammad Zain. (1996). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Juliadi. (2007). Masjid Banten, Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Ombak. Jurusan Pendidikan Sejarah. (2006). Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kuntowidjoyo. (2013). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
_______. (2008). Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. _______. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang. Lapidus, Ira M. (2000). Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada. La Ode Rabani. (2010). Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara: Perubahan Dan Kelangsungannya. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Lilie Suratminto dan Mulyawan Karim (Ed.). (2012). Kota Tua Punya Cerita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lukman Hakim. (2006). Banten dalam Perjalanan Jurnalistik. Pandeglang: Divisi Publikasi Banten Haeritage. Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto (Ed.). (2008). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno- Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. _______. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III-Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Muchlis PaEni (Ed.). (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Arsitektur. Jakarta: Rajawali Pers. _______. (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Mundardjito (Ed.). (2003). Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang. Nasikun. (2010). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajawaliPers. Nasir, Abdul Halim. (1990). Kota-Kota Melayu. Kualalumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka Kemendik Malaysia Kuala lumpur. Nina H. Lubis. (2003). Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Jawara, Ulama. Jakarta: LP3ES. Nugroho Notosusanto. (1971). Norma-norma Dasar Penelitian Sejarah. Jakarta: Dephankam.
Oni Hanif Triana (Ed.). (2003). Proses Islamisasi Di Banten (Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten Halwany Michrob & Mudjahid Chudari). Serang: Dinas Pendidikan Provinsi Banten. Pijper, G.F. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 19001950. Jakarta: UI Press, 1984, hlm. 14-15. _______. Fragmenta Islamica, Studien Over Het Islamisme in Nederlandsch-Indie. a.b., Tudjimah. 1987. Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam Di Indonesia Awal Abad XX. Jakarta: UI-Press. Pradjarta Dirdjosanjoto. 1999. Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LkiS. Purnawan Basundoro. (2012). Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Ombak. Pusat Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Reid, Anthony. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. _______. (2004). Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Sartono Kartodirdjo. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. _______. (1984). Pemberontakan Petani Banten 1888. Yogyakarta: UGM Press. Sardiman, AM. (2004). Mengenal Sejarah. Yogyakarta: FIS-UNY & BIGRAF Publishing. Sidik Pramono (Ed.). (2008). Ekspedisi Anjer-Panaroekan Laporan Jurnalistik Kompas: 200 Tahun Anjer Panaroekan, Jalan (Untuk) Perubahan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Soerjono Soekanto. (2010). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. _______. (1985). Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Sri Sutjianingsih (Ed.). (1994). Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudyaan. Supratikno Rahardjo, dkk. (2011). Kota Banten Lama: Mengelola Warisan Untuk Masa Depan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Tb. Hafidz Rafiuddin. (2006). Riwayat Kesulthanan Banten. Serang: ____. _______. (2001). Banten di Era Maulana Yusuf 1570-1580. Serang: Kencana Grafika. Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Van Bruinessen, Martin. (1999). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. Van Leur, J.C. (1960 ). Indonesian Trade And Society (Essays in Asian Social and Economic History). Bandung: Sumur Bandung (formerly, N.V. Mij Vorkink-Van Hoeve, The Hague (2nd. Edition). Yulianto Sumalyo. (2006). Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Yogyakarta: Gajah Mada University-Press, Zamakhsyari Dhofier. (2011). Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai masa depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. Artikel/Bab dalam Suatu Buku: Edi S. Ekadjati. (1997). “Kesultanan Banten dan Hubungan Dengan Wilayah Luar”. Dalam Sri Sutjianingsih (Ed). Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Endang Widyastuti. (2010). “Aktivitas Perekonomian Masyarakat di Muara Ciaruteun Pada Masa Klasik”. Dalam Naniek Th. Harkantiningsih (Ed). Perdagangan dan Pertukaran Masa Prasejarah – Kolonial, Bandung: Balai Arkeologi Nasional & Alqaprint. Desril Riva Shanti. (2010). “Bukti Hubungan Perdagangan Antara Cina dengan Banten”. Dalam Naniek Th. Harkantiningsih (Ed). Perdagangan dan Pertukaran Masa Prasejarah – Kolonial. Bandung: Balai Arkeologi Nasional & Alqaprint. Hasan Muarif Ambary. (1997). “Agama Dan Masyarakat Banten”. Dalam Sri Sutjianingsih (Ed). Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra:
Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Heriyanti O.Untoro. (1997). “Pemanfaatan Sumber Daya Lingkungan di Bandar Banten”. Dalam Sri Sutjianingsih (Ed). Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Heather Sutherland. (2008). “Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah”. Dalam Henk Schulte Nurdholt, dkk (Ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – KITLV-Jakarta, Denpasar: Pustaka Larasan. Artikel dari Jurnal/Seminar Makalah: Said D., Muhammad. Dari Kota Kolonisl Ke Kota Niaga : Sejarah Kota Kendari Abd XIX-XX. Makalah yang disampaikan pada Konferensi Sejarah Nasional VIII diselenggarakan oleh Direktorat Nilai Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Depertemen Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 13-16 November 2006 di Hotel Milenium Jakarta. Purnama, Yuzar. (2008). “Budaya Spiritual Di Lingkungan Makam Sultan Maulana Yusuf”. Jurnal Penelitian, Vol. 40, No. 2, Agustus 2008, hlm. 952. Sumber Koran/Majalah Edi Hudiata, HMT. “Menyongsong Babad Baru Banten”. Fajar Banten, Senin, 11 April 2005. Imam Solichudin, “Pelajaran dari Seba Baduy”, Fajar Banten, Rabu, 1Mei 2009, hlm. 7. Iwan K. Hamdan, “Romantisme Sejarah Banten”. Fajar Banten, Senin, 28 Juni 2010. Khairunnisa, “Masjid Kasunyatan, Warisan Berharga yang Tersembunyi”. Fajar Banten, Sabtu 14 Agustus 2010, hlm. 11. Lukman Hakim, “Babad Banten”, Fajar Banten, Sabtu, 17 April 2010. Mu’arif, “Pendekatan Budaya dalam Penulisan Sejarah”, Koran Seputar Indonesia, Minggu, 20 Januari 2008. Ranta Soeharta, “Kebudayaan Banten: Masa Lalu dan Kekinian (1)”, Fajar Banten, Jumat, 8 Januari 2010.
Tubagus Najib, “Tradisi Haul Maulana Yusuf”, Fajar Banten, Rabu, 28 November 2013.
Sumber Skripsi dan Tesis: A. Rohman. (2002). “Peranan Desa Kasunyatan dalam Pendidikan Islam Pada Masa Sultan Maulana Yusuf”. Skripsi. Serang: STAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Siti Aspariah. (2006). “Kesultanan Banten Pada Masa Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).” Skripsi. Yogyakarta: UNY. Sri Utami. (2007). “Proses Islamisasi di Jawa Barat pada masa Sultan Hasanudin tahun 1525 – 1579.” Skripsi. Yogyakarta: UNY. Halwany Michrob. (1987). “A Hypothetical Reconstruction Of The Islamic City Of Banten. Tesis. Philadelphia: The Graduate Program in Historic Preservation Presented to the -Faculties of the University of Pennsylvania. Internet: Gambaran Umum Kecamatan Kasemen. Terdapat pada www.bpbdserang01.page4.me/86.htm .com, diunduh pada tanggal 2 Juni 2013. Gedung Arsip Nasional. Tersedia pada http://www.streetdirectory.com, diunduh pada tanggal 17 Juni 2013. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Pengaruh Kadhi. Tersedia pada http://www.hasanalbanna.com. Diunduh pada tanggal 28 Mei 2013. Peta
wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Tersedia pada http://commons.wikimedia.org. Diunduh pada tanggal 26 Juni 2013.
Peta Pusat Kesultanan Banten abad ke-16 berpola Gridiron (papan catur). Tersedia pada http://www.sanderusmaps.com Diunduh pada tanggal 26 Juni 2013. Peta
Kesultanan Banten Pada Abad ke-16. Tersedia pada http://commons.wikimedia.org. Diunduh pada tanggal 26 Juni 2013.
Peta
lokasi Kota Tihamah di Arab Saudi. Tersedia http://www.laskarislam.com, diunduh tanggal 30 Juni 2013.
pada
Tb. A. Fauzi S, (2009), Konsep Tata Ruang Wilayah Era Kesultanan Banten. Tersedia pada http://www.radarbanten.com. diunduh pada tanggal 1 Maret 2013. Tokoh Tome Pires.Tersedia pada http://id.wikipedia.org/. diunduh pada tanggal 10 April 2013. Sumber Lisan: 1. Wawancara KH. Tubagus Ali Makmun Isya, Ketua Kenadziran Masjid Kasunyatan dan Makbaroh Sultan Maulana Yusuf, pada hari Jumat, 7 Juni 2013. 2. Wawancara Drs. Sarimin Sumowidjojo (pensiunan guru, umur 76 tahun) di kediaman beliau, pada tanggal 17 Mei 2013.
3.
Wawancara Tubagus Arobbi, tokoh masyarakat dan pengasuh pondok pesantren Ummul Qurro wal Hufadz, di kediaman beliau (Jalan Raya Banten, Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten), pada tanggal 7 Juni 2013.
4.
Wawancara Wahyu Satria selaku pemandu wisata dari Dinas Pariwisata Karanganyar, pada saat kunjungan ilmiah penulis ke Candi Sukuh pada hari Sabtu, 3 Juli 2010, dalam rangka tugas matakuliah Komputer dan Laboratorium Sejarah.